BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Studi Kreativitas menjadi topik yang “hangat” dan agenda penting dalam dua dekade terakhir (Jaussi & Dionne, 2003; Joo, McLean, & Yang, 2013). Fokus terhadap kreativitas menjadi meningkat karena perubahan lingkungan bisnis yang terjadi begitu cepat. Memang, di pasar yang dinamis saat ini, satu-satunya yang konstan adalah perubahan, yang mana perubahan tersebut terjadi terus menerus dan berlangsung dengan cepat (Jaramillo, Mulki, Onyemah, & Pesquera, 2012). Disadari atau tidak, perubahan terjadi dan mempengaruhi hampir di seluruh aspek kehidupan. Organisasi beroperasi dalam lingkungan kompetitif yang ditandai dengan meningkatnya pergolakan dan ketidakpastian akibat perubahan ekonomi (seperti, globalisasi pasar), perubahan teknologi (misalnya, kemajuan teknologi informasi), perubahan pasar (yaitu, tingkat perubahan dalam komposisi dari pelanggan dan preferensi), perubahan politik (seperti, privatisasi), perubahan sosial (seperti, keprihatinan yang meningkat bagi lingkungan), dan intensitas persaingan (misalnya, pengenalan berbagai produk baru dan siklus hidup produk yang lebih pendek) (Weeks, Robert, Chonko, & Jones, 2004). Laju perubahan mengharuskan organisasi untuk lebih terbuka dan responsif terhadap usulan perbaikan yang berasal dari karyawan lini manapun, aktif menemukan peluang dan dapat 1
menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan sekitar agar tidak kalah dalam persaingan. Dalam kondisi dunia bisnis yang tidak statis dan laju perubahan yang cepat, tidak ada organisasi (perusahaan) yang bertahan lama dengan hanya memberikan produk dan jasa yang sama dengan cara yang sama. Sebaliknya, organisasi yang menyiapkan masa depannya dengan menerapkan ide yang berorientasi pada perubahan cenderung lebih berkembang dan bertahan lama (Amabile, 1997). Kreativitas tidak datang secara tiba-tiba tetapi berasal dari individu (Joo et al., 2013). Kehadiran dan kinerja individu yang kreatif menjadi kebutuhan organisasi saat ini (Egan, 2005; Shalley & Gilson, 2004). Kreativitas karyawan menjadi penting karena merupakan starting point atau permulaan inovasi (Amabile, Conti, Coon, Lazenby, & Herron 1996; Amabile, 1997). Ketika karyawan menampilkan kinerja kreatif, karyawan menyarankan ide baru dan berguna bagi organisasi yang menjadi prasyarat untuk pengembangan dan pengimplementasian selanjutnya (Amabile et al., 1996). Kreativitas karyawan menjadi kunci dalam meningkatkan keunggulan bersaing dengan memberikan kontribusi fundamental terhadap keefektifan dan kelangsungan hidup organisasi (Shalley, Zhou, & Oldham, 2004). Kreativitas karyawan dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu internal dan eksternal. Faktor internal berasal dari dalam diri karyawan seperti kepribadian dan gaya kognitif (Oldham & Cummings, 1996; Shalley et al., 2004). Sementara faktor eksternal berasal dari pengaruh luar berupa karakteristik kontekstual seperti
2
dukungan pemimpin, dukungan rekan kerja dan karakteristik pekerjaan (Oldham & Cummings, 1996; Tierney, Farmer, & Graen, 1999; Shin & Zhou, 2003). Dua orang dalam peran yang sama mungkin berperilaku dengan cara yang berbeda (Bateman & Crant, 1993). Begitu juga jika dikaitkan dengan kecenderungan individu untuk menghasilkan kinerja kreatif. Kepribadian merupakan salah satu faktor internal yang dapat mendorong atau menghambat kreativitas (Shalley et al., 2004). Meneliti tentang pengaruh kepribadian pada kreativitas penting dilakukan karena setiap individu memiliki potensi yang berbeda untuk menghasilkan kreativitas (Baron & Harrington, 1981; Martindale, 1989 dalam Zhou & Shalley, 2003). Oleh karena itu, agar dapat mengembangkan kreativitas di tempat kerja, perlu diteliti karakteristik individu yang menghasilkan kreativitas kerja. Hubungan antara kepribadian dan kreativitas telah dibahas dalam beberapa literatur (seperti George & Zhou, 2001; Oldham & Cummings, 1996). Kebanyakan penelitian kreativitas menggunakan variabel kepribadian seperti Creative Personality Scale (CPS) atau menggunakan salah satu dari Big Five Factor yaitu openness to experience (Shalley et al., 2004). Namun masih sedikit penelitian yang menyelidiki bagaimana kepribadian proaktif mempengaruhi kreativitas karyawan (Kim, Hon, & Lee, 2010). Padahal, kepribadian proaktif menjadi faktor perbedaan individu yang penting dalam memprediksi tingkat kreativitas seseorang. Penelitian terdahulu mengenai pengaruh kepribadian proaktif pada kreativitas karyawan dilakukan oleh Kim, Hon, & Crant (2009) dan
3
Kim et al., (2010). Penelitian tersebut mendukung gagasan bahwa kepribadian proaktif berpengaruh positif terhadap kreativitas karyawan. Karena penelitian mengenai peran kepribadian proaktif masih jarang, dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk memperoleh sebuah dukungan yang kokoh (Kim et al., 2010). Dari sisi praktis, karyawan dengan kepribadian proaktif sangat dibutuhkan sebagai penentu kesuksesan organisasi saat ini (Crant, 2000). Pada waktu dulu, tugas manajer adalah memikirkan, merencanakan, dan mengorganisasikan sedangkan tugas karyawan adalah melaksanakan instruksi manajer. Namun dalam situasi yang penuh ketidakpastian dan lingkungan yang berubah dengan cepat, manajer tidak dapat mengantisipasi kondisi dimasa datang. Selain itu, manajer juga tidak dapat menentukan perilaku yang diharapkan dari anggota organisasi (Van Dyne et al., 2000 dalam Kim et al., 2009). Oleh karena itu, dibutuhkan karyawan dengan karakteristik aktif terlibat dan mencoba menghasilkan hal-hal baru dalam pekerjaannya (Shalley & Gilson, 2004). Karyawan dengan kepribadian proaktif akan aktif mencari peluang, memperlihatkan inisiatif, dan gigih sampai membawa perubahan yang bermakna (Bateman & Crant, 1993). Karyawan proaktif cenderung menyarankan cara baru mencapai tujuan dan mengusulkan ide baru untuk meningkatkan kinerja. Dengan demikian, karyawan dengan kepribadian proaktif cenderung untuk menjadi kreatif (Kim et al., 2009). Walaupun Kim et al. (2009) menetapkan secara umum pengaruh kepribadian proaktif pada kreativitas karyawan, terdapat isu penting yang belum banyak dibahas. Literatur kreativitas memberikan sedikit perhatian untuk menguji
4
bagaimana faktor situasional mempengaruhi hubungan kepribadian proaktif dan kreativitas karyawan (Kim et al., 2010). Penting bagi penelitian selanjutnya untuk mempertimbangkan faktor situasional untuk kepribadian proaktif karena manfaat merekrut individu dengan kepribadian proaktif tergantung pada konteks organisasi dan karakteristik pekerjaan (Campbell, 2000; Crant, 2000). Menurut teori trait activation yang dikemukakan oleh Tett dan Burnett (2003), aktivasi sifat adalah proses dimana individu mengekspresikan sifat yang dimiliki ketika dipadukan dengan isyarat situasional yang relevan dengan sifat tersebut. Tett dan Burnet (2003) menyebutkan sumber dari isyarat atau situasi yang relevan berasal dari karakteristik tugas (seperti prosedural, autonomi kerja), sosial (seperti kebutuhan dan harapan supervisor), dan organisasi (seperti iklim dan budaya organisasional). Penelitian
sebelumnya
menyarankan
bahwa
gaya
kepemimpinan
merupakan variabel kontekstual yang diduga dapat mengaktifkan kepribadian proaktif berkaitan dengan kreativitas (Kim et al., 2010). Penting untuk menyelidiki peran pemoderasian gaya kepemimpinan dalam mempengaruhi hubungan antara kepribadian proaktif dan kreativitas. Kreativitas selalu dibayangi oleh risiko kegagalan dan ketidakpastian karena kreativitas tidak terjadi begitu saja melainkan melalui proses trial and error dalam hal usulan terhadap ide baru yang bermanfaat (Shalley & Gilson, 2004). Perilaku kreatif juga mensyaratkan penyimpangan dari jalan standar pekerjaan (Ford, 1996).
5
Karyawan proaktif akan efektif dalam mencari jalan terbaik untuk melakukan sesuatu di tempat kerja ketika diberikan peluang untuk melakukan hal tersebut (Kim et al., 2009). Jika karyawan meyakini bahwa pimpinan menghargai ide yang diusulkan (apapun hasilnya nanti, baik ataupun buruk), maka kreativitas karyawan akan meningkat. Namun, jika pimpinan cenderung bersikap skeptis dan menghukum karyawan atas dampak dari ide tersebut, maka kreativitas karyawan akan menurun. Padahal, ketika kreativitas dimatikan, organisasi akan kehilangan “senjata” kompetitif berupa ide baru (Amabile, 1998). Organisasi saat ini membutuhkan pemimpin yang lebih adaptif dan fleksibel karena dihadapkan pada perubahan lingkungan yang sangat cepat (Bass, Avolio, Jung, & Berson, 2003). Oleh karena itu, gaya kepemimpinan transformasional dipilih menjadi variabel pemoderasi karena lebih efektif dalam menanggapi perubahan (Bass, 1999). Selain itu, kepemimpinan transformasional juga terbukti lebih efektif (dibandingkan kepemimpinan transaksional) dalam mempengaruhi dan mendorong karyawan untuk menghasilkan kreativitas (Herrmann & Felfe, 2013). Kepemimpinan
transformasional
mempengaruhi
karyawan
melalui
rangsangan intelektual, pertimbangan individu, motivasi inspirasional, dan pengaruh ideal (Herrmann & Felfe, 2013; Shin & Zhou, 2003). Perilaku ini mengubah serta membantu karyawan untuk mencapai potensi yang maksimal dan menghasilkan tingkat kinerja yang lebih baik (Bass & Avolio,1990 dalam Dvir, Eden, Avolio, & Shamir, 2002).
6
Kepribadian proaktif diprediksi akan kuat mempengaruhi kreativitas karyawan ketika pemimpin menggunakan gaya kepemimpinan transformasional. Ketika dipimpin oleh pemimpin yang transformasional, karyawan yang proaktif akan lebih responsif dan termotivasi untuk aktif mencari dan mengambil peluang dalam bekerja bahkan melebihi harapan pekerjaannya. Selain itu, karyawan proaktif juga lebih termotivasi untuk mencari cara baru dalam menyelesaikan tugas sehingga berpotensi menghasilkan kreativitas. Hal ini dimungkinkan karena kepemimpinan
transformasional
memberikan
pengaruh
positif
dengan
memperluas dan mendukung tujuan karyawan sehingga membuat karyawan lebih percaya diri untuk tampil melebihi harapan yang ditentukan (Dvir et al., 2002). Karyawan
dengan
kepribadian
proaktif
memiliki
potensi
untuk
menghasilkan kreativitas yang mana kreativitas seringkali menghasilkan ide yang menyimpang dari standar yang telah ditetapkan. Ketika dipimpin oleh pemimpin yang menampilkan gaya transformasional, karyawan dengan kepribadian proaktif (aktif mengusulkan cara baru menyelesaikan pekerjaan) menjadi lebih yakin untuk berfikir dan bertindak “diluar kotak” (out of the box) karena pemimpin menantang karyawan untuk melawan status quo. Hal ini memberikan isyarat jika tindakan itu diinginkan di dalam organisasi. Selain kepemimpinan, Tett dan Burnett (2003) mengatakan bahwa karakteristik tugas seperti autonomi kerja merupakan salah satu sumber isyarat yang relevan bagi kepribadian. Dibandingkan karakteristik pekerjaan lainnya, autonomi kerja mendapat banyak perhatian dalam literatur desain pekerjaan (Joo,
7
Jeung, & Yoon, 2010). Autonomi kerja dibutuhkan organisasi saat ini untuk menghadapi perubahan lingkungan yang cepat seperti kemajuan teknologi dan ekonomi berbasis pengetahuan. Lingkungan yang dinamis mengharuskan organisasi bergerak cepat agar tidak kalah dalam persaingan. Agar dapat memanfaatkan potensi yang dimiliki secara maksimal, knowledgeable workers harus difasilitasi dengan karakteristik pekerjaan yang lebih fleksibel. Autonomi kerja memungkinkan karyawan lebih fleksibel dalam membuat keputusan tanpa menunggu perintah rinci dari atasan atau mengikuti prosedur kerja (Hackman & Oldham, 1976). Dengan demikian, karyawan dapat lebih efektif menggunakan pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan sehingga dapat menampilkan aktivitas produksi dan layanan yang maksimal (Park & Searcy, 2012). Pada literatur kreativitas, autonomi kerja cukup banyak mendapat perhatian (Ford & Kleiner, 1987 dalam Shalley & Gilson, 2004). Autonomi kerja memiliki peran penting dalam mendorong kreativitas karena memberikan kebebasan pada karyawan tentang bagaimana merencanakan dan melaksanakan pekerjaan sehingga meningkatkan motivasi intrinsik dan perasaan memiliki pekerjaan tersebut (Amabile, 1998; Shalley & Gilson, 2004). Desain autonomi kerja mengizinkan karyawan untuk memenuhi tanggung jawab pekerjaan dengan cara kreatif (Wang & Cheng, 2009). Kreativitas mengandung unsur ketidakpastian hasil dan risiko kegagalan. Dengan diberikannya izin untuk menyelesaikan tugas dengan cara kreatif, karyawan lebih cenderung untuk terlibat dalam pengambilan risiko dan mengusulkan berbagai solusi alternatif.
8
Dalam kondisi kerja yang memberikan ruang gerak dan keleluasaan untuk mengambil keputusan mengenai cara kerja terbaik, karyawan proaktif akan lebih efektif mencari dan memanfaatkan peluang yang ada serta membawa perubahan yang bermakna. Sebaliknya dalam posisi pekerjaan yang dikontrol, karyawan proaktif akan merasa tertekan. Akibatnya, karyawan tampil tidak maksimal atau rendah kreativitasnya. Autonomi kerja sebagai variabel pemoderasi telah diteliti oleh Fuller, Hester, & Cox (2010). Penelitian tersebut meneliti peran autonomi kerja dalam memoderasi pengaruh kepribadian proaktif pada kinerja pekerjaan. Berbeda dari penelitian sebelumnya, penelitian kali ini menggunakan kreativitas karyawan sebagai hasil. Hal ini senada dengan usulan penelitian terdahulu yang mengharapkan agar penelitian selanjutnya melihat peran pemoderasian autonomi kerja pada hasil yang lain (Fuller et al., 2010), seperti kreativitas karyawan. 2.1 Perumusan Masalah Masalah dalam penelitian ini dibagi menjadi beberapa bagian. Pertama, masih sedikitnya penelitian yang berfokus mengukur pengaruh variabel kepribadian proaktif pada kreativitas karyawan (Kim et al., 2010). Kepribadian proaktif menjadi penting karena keberhasilan untuk merespon perubahan sangat bergantung pada sikap proaktif dan kegigihan karyawan dalam mencari peluang untuk mengusulkan cara baru menyelesaikan pekerjaan. Kedua, literatur kreativitas memberikan sedikit perhatian untuk menguji bagaimana faktor situasional mempengaruhi hubungan kepribadian proaktif dan kreativitas 9
karyawan (Kim et al., 2010). Penelitian terdahulu menyebutkan bahwa perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai faktor situasional yang mempengaruhi manifestasi kepribadian proaktif pada kreativitas karyawan (Kim et al., 2010). Variabel kontekstual atau isyarat situasional seperti gaya kepemimpinan mungkin akan memberikan penemuan bermakna untuk penelitian selanjutnya (Kim et al., 2010). Selain kepemimpinan, autonomi pekerjaan juga memberikan isyarat penting bagi karyawan proaktif untuk mengekspresikan kepribadiannya (Fuller et al., 2010). Oleh karena itu, penelitian kali ini akan menguji peran kepemimpinan transformasional (salah satu bentuk gaya kepemimpinan) dan autonomi kerja (salah satu bentuk karakteristik pekerjaan) dalam memoderasi pengaruh kepribadian proaktif pada kreativitas karyawan. 3.1 Pertanyaan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka pertanyaan yang diajukan yaitu 1.
Apakah kepribadian proaktif berpengaruh positif pada kreativitas karyawan?
2.
Apakah pengaruh kepribadian proaktif pada kreativitas karyawan dimoderasi oleh kepemimpinan transformasional ?
3.
Apakah pengaruh kepribadian proaktif pada kreativitas karyawan dimoderasi oleh autonomi kerja ?
4.1 Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki beberapa tujuan, yaitu
10
1.
Menguji pengaruh kepribadian proaktif pada kreativitas karyawan.
2.
Menguji peran pemoderasian kepemimpinan transformasional terhadap pengaruh kepribadian proaktif pada kreativitas karyawan.
3.
Menguji peran pemoderasian autonomi kerja terhadap pengaruh kepribadian proaktif pada kreativitas karyawan.
5.1 Kontribusi Penelitian 1.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pada pengembangan teori mengenai kreativitas karyawan. Pertama, mengenai pengaruh langsung kepribadian proaktif karyawan. Kedua, mengenai peran kepemimpinan transformasional dan autonomi kerja dalam “mengaktifkan” karyawan dengan kepribadian proaktif sehingga kreativitas karyawan dapat tumbuh di dalam organisasi.
2.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi dan bahan pertimbangan bagi praktisi dalam proses perekrutan (recruitment), pemilihan (selection), dan penempatan (placement) karyawan.
11