I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Sudah lebih dari dua dekade terakhir banyak publikasi penelitian yang terkait dengan hubungan antara luas hutan dengan hasil air dan respon hidrologi (Bosch dan Hewlett, 1982; Bruijnzeel, 2004; Brown et al., 2005; Farley et al., 2005). Pada umumnya hasil hasil penelitian tersebut dilakukan di daerah sub tropika dan hasilnya menyatakan bahwa hutan yang luas mengkonsumsi air lebih banyak dibandingkan dengan padang rumput. Tanaman hutan mempunyai Leaf Area Index (LAI) yang lebih besar serta tingkat kekasaran daun yang lebih kasar, perakaran yang lebih dalam, dan perkembangan akar yang lebih baik sehingga hutan mempunyai laju evapotarsnpirasi yang tinggi.
Intersepsi oleh tajuk dan
serasah hutan juga memperbesar laju intersespsi hutan (Farley et al., 2005). Pada hutan konifer intersepsi mencapai 24 %
(Le Maitre et al., 1999).
Namun
demikian besaran perubahan hasil air (water yield) akibat perubahan penambahan hutan (afforestrasi)
sangat tergantung pada kondisi iklim, tipe vegetasi hutan,
umur dan akitivas silvikultur (Bosch dan Hewlett, 1982). Hubungan antara hutan dengan hasil air telah menjadi debat sejak abad sembilan belas (Saberwal, 1997),
terdapat disparitas antara kubu peneliti di
daerah sub tropik yang meyakini bahwa luas hutan berkorelasi negatif dengan hasil air Bruijnzeel (1990), Calder (2003), Zhang (2009), Buytaert (2007) dan persepsi “publik” dan sebagian peneliti yang yakin bahwa makin banyak hutan makin banyak air, akan tetapi seberapa luasan hutan yang efektif yang memberikan pengaruh yang optimal terhadap tata air DAS belum terjawab.
2
Dengan berkembangnya ilmu komputer dan ilmu pemodelan matematika saat ini maka, hidrologi
proses-proses yang rumit dan kompleks yang terkait dengan
dapat dipahami dan dilakukan pemodelan.
Proses-proses hidrologi
yang ada di dalam suatu Daerah Alian Sungai (DAS) khususnya di daerah tropik menjadi pertanyaan besar bagaimana hal itu bisa diterangkan lebih jelas dan terperinci sehingga diperlukan penelitian yang lebih terarah tentang hubungan antara luasan hutan dengan hasil air.
Untuk itu diperlukan pemodelan yang
memperhatikan dimensi ruang dan waktu, serta meniru proses-proses yang terjadi sebenarnya di alam. Pemodelan hidrologi terus berkembang seiring dengan berkembangnya pengetahuan dan teknologi komputer. DAS merupakan batas ekologis sehingga pemodelan berbasis DAS merupakan pemodelan yang paling mewakili kondisi di alam. Proses-proses pemodelan iklim, vegetasi, pola manajemen, tipe penutupan lahan, erosi, kualitas air dan jumlah air dapat dimodelkan dengan akurat dengan mengggunakan DAS sebagai unit kajian. Perkembangan pemodelan hidrologi DAS di Indonesia dimulai dengan model neraca air dengan pendekatan analisa sistem (Budiono, 1978). Kemudian berkembang sering dengan adanya pemodelan erosi USLE (Weismier, 1978), model simulasi penutupan lahan berbasis DAS (Mulyana, 1990) dan pemodelan hidrologi berbasis model dinamik powersim (Mulyana, 2000) dan pemodelan hidrologi dengan Tank Model (Setiawan, 2003).
Sejalan dengan itu banyak
digunakan model juga model ANSWERS dan AGNPS pada era tahun 19952005, akan tetapi model tersebut tidak berbasis ruang (spasial) yang memadai
3
sehingga tidak mampu menggambarkan distribusi proses yang mendekati proses sebenarnya di alam dalam suatu DAS. Dalam perkembangan pemodelan DAS yang menghubungkan proses hidrologi dan aktivitas manajemen pertanian secara keseluruhan mulai berkembang dengan adanya adalah model CREAMS (Chemicals, Run off, and Erosion from Agricultural Management System) (Knisel, 1980), kemudian berkembang
GLEAMS
(Groundwater
Loading
Effects
Management System dan EPIC, (Leonard et al., 1987).
on
Agricultural
Model terakhir yang
banyak digunkaan saat ini dalam pemodelan DAS adalah model SWAT (Soil Water Assessment Tool). Model SWAT yang dikembangkan oleh (Arnold et al., 1998; Arlnold dan Fohrer, 2005) telah terbukti dan efektif untuk menilai dan menganalisis ketersediaan air, neraca air, limpasan, erosi, sedimentasi dan kualitas air DAS dan sumber pencemar, baik yang berasal dari sumber pencemar tetap (poin sources) maupun dari sumber pencemar yang acak (non point sources) dari lahan pertanian dalam sutau DAS.
Model SWAT telah dijadikan model secara
resmi untuk menduga Total Maximum Daily Load (TMDL) di USA atau beban maksimum pencemar yang diperkenankan di dalam suatu DAS (Borah et al., 2006). Demikian juga untuk wilayah Eropa dan Asia telah banyak publikasi dan aplikasi model SWAT dengan hasil yang memuaskan. Sampai saat ini terdapat lebih dari 250 karya tulis khusus aplikasi SWAT untuk pemodelan DAS di seluruh dunia (Gassman et al., 2007). Model SWAT adalah model yang paling banyak digunakan di seluruh dunia saat ini yang berkait dengan pemodelan hidrologi DAS.
4
Khusus untuk aplikasi model SWAT di Indonesia sampai saat ini belum banyak dilakukan untuk analisis DAS dengan menggunakan data dari Indonesia, dilakukan oleh peneliti Indonesia. Permasalahan ini disebabkan karena penerapan model SWAT memerlukan data
yang lengkap, kontinyu
dari data harian
sehingga diperlukan jangka waktu lama. 1.2. Perumusan Masalah Permasalahan hasil air dalam suatu DAS sangat tergantung kepada kondisi topografi, geologi dan bentuk DAS, serta unsur cuaca, iklim dan terutama curah hujan dan pola tutupan lahan memegang peranan penting sebagai input dalam suatu sistem DAS. Untuk melihat pengaruh tutupan lahan hutan terhadap ketersediaan sumber daya air maka timbul pertanyaan: 1. Metode seperti apa untuk menetapkan luas hutan dalam suatu DAS ? 2.
Berapa luas hutan optimal untuk pengelolaan sumber daya air dalam DAS?
3. Apakah dapat dibuktikan bahwa luasan hutan di daerah tropis berfungsi sebagai pengatur sumberdaya air ? 1.3.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini mempunyai tujuan untuk: 1. Mendapatkan model yang sesuai untuk menentukan hubungan luasan hutan dan hasil air 2. Mendapatkan luasan hutan optimal di Sub DAS Gumbasa dan Sub DAS Cisadane Hulu 3. Mengetahui distribusi green water dan blue water dan Sub DAS Gumbasa dan Sub DAS Cisadane Hulu
5
1.4. Manfaat Penelitian Dalam perkembangan sains dan ilmu pengetahun penelitian ini bermanfaat sebagai penjelasan tentang karakteristik dan hubungan antara DAS luas hutan dan ketersediaan air di Indonesia serta sebagai salah satu metode aplikasi pemodelan hidrologi DAS berbasis data spasial dan proses hidrologi. Buat para pengambil keputusan penelitian ini sebagai metode pendekatan dan pengumpulan informasi dalam pemodelan berskala DAS sebagai dasar perencanaan wilayah berbasis daya dukung DAS. Bagi para praktisi bermanfaat untuk mengetahui secara detail neraca air dan distribusi air dalam suatu DAS. 1.5.
Kerangka Pikir Penyelesaian Masalah Permasalahan
pemodelan hidrologi DAS sangat kompleks karena
melibatkan komponen biofisik berupa topografi, tanah, tutupan lahan, geologi, karakteristik sungai, pola hujan, yang sangat beragam. hidrologi DAS berdasarkan data
Untuk memodelkan
yang rinci, waktu harian yang relatif
menggambarkan kondisi sebenarnya merupakan tantangan tersendiri. Pemodelan DAS selama ini yang paling mutahir adalah pemodelan dengan model SWAT yang dikembangkan oleh
Arnold et al. (1998) dan sekarang sudah sangat
berkembang akan tetapi pemodelan tersebut umumnya dilakukan di luar Indonesia, sehingga parameter-paremeter yang terkandung dalam model tersebut bukan parameter yang dikembangkan di Indonesia. Setelah memilih SWAT tentunya ada suatu teori yang dibuktikan kehandalan model SWAT.
Karena parameter model SWAT tidak menggam-
barkan kondisi lokal Indonesia maka diperlukan kalibrasi dan validasi model dengan nilai variabel yang sesuai. Kondisi DAS di Indonesia sangat beragam
6
sehingga diperlukan pemodelan di dua lokasi yang menggambarkan lokasi basah dan kering, Tahapan dalam penyelesaian permasalahan dalam penelitian ini secara komprehensif disajikan pada Gambar 1.
Penerapan SWAT
Gambar 1. Skema skenario pola pikir penyelesaian masalah Tahapan dalam penelitian ini dilakukan dengan melakukan pemilihan model yang mampu menggambarkan fenomena dan karakteristik hidrologi DAS yang mampu memperhatikan aspek iklim, tanah, topografi, karakteristik sungai dan tutupan lahan. Setelah dilakukan pemilihan model, dilakukan kalibrasi parameter yang sesuai dengan kondisi di Indonesia, setelah itu dilakukan validasi untuk melihat konsistensi model.
7
Hubungan antara luasan hutan dalam suatu DAS sampai saat ini masih sangat kontroversi sehingga ada yang beranggapan bahwa penghijauan dan reboisasi
adalah sangat positif terhadap hasil air di lain pihak hasil-hasil
penelitian di tempat lain menunjukkan bahwa penghutanan daerah hulu menyebabkan air berkurang.
Rincian mengenai tinjauan pustaka tentang green
water dan blue water serta hubungan antara tipe hutan dan hasil air disajikan pada BAB II, metode penelitian secara rinci disajikan pada BAB III. Dalam rangka membuktikan permasalahan hubungan luasan hutan dan hasil air
diperlukan pemodelan untuk mensimulasikan skenario perubahan luasan
hutan dalam suatu DAS terhadap kondisi hidrologi. dan validasi
Setelah dilakukan kalibrasi
model dapat diterima berdasarkan prinsip-prinsip pemodelan,
sebagimana disajikan pada BAB IV maka tahap selanjutnya dilakukan simulasi. Alternatif simulasi luasan hutan dalam suatu DAS dipilih dengan melakukan alternatif perubahan tutupan lahan yang rasional karena tutupan lahan sangat menentukan karakteristik hidrologi DAS. Dalam hal ini dilakukan 10 alternatif simulasi luasan hutan dalam suatu DAS serta 3 simulasi perubahan iklim (curah hujan) di Sub DAS Gumbasa sebagaimana disajikan pada BAB V. Perubahan dan distribusi blue water dan green water serta luasan hutan optimal dalam suatu DAS disajikan pada pembahasan BAB VI. Kesimpulan dan saran hasil penelitian ini disajikan pada BAB VII serta daftar pustaka dan rujukan yang dipakai pada penelitian ini disajikan pada Daftar Pustaka dan hasil olahan data yang terkait dengan hasil model disajikan pada Daftar Lampiran.