1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manajemen atau pengelolaan pengetahuan mendapatkan banyak perhatian dari para praktisi dan peneliti (Grant, 1996; Teece, 2007) dalam dua dekade terakhir ini. Manajemen pengetahuan merupakan praktik manajerial yang diimplementasikan dengan tujuan utama menciptakan, mendesiminasikan, dan mengeksploitasi pengetahuan organisasi (Davenport & Prusak, 1998). Inti manajemen pengetahuan adalah desiminasi atau berbagi pengetahuan (Llopis-Corcoles, 2011). Beberapa ahli juga sependapat bahwa praktik berbagi pengetahuan merupakan komponen kunci dari program manajemen pengetahuan (Alavi & Leidner, 2001; Earl, 2001; Nahapiet, & Ghoshal, 1998). Berbagi pengetahuan merupakan
tindakan yang membuat pengetahuan
tersedia bagi orang lain dalam organisasi (Ipe, 2003). Berbagi pengetahuan antar individu merupakan proses mengubah pengetahuan yang dimiliki individu ke dalam sebuah bentuk yang dapat dipahami, diserap dan digunakan oleh individu lain (Ipe, 2003). Liebowitz (2001) mendefinisikan berbagi pengetahuan sebagai kekuatan yang mendorong pertukaran dan penciptaan pengetahuan serta berdampak meningkatkan performansi yang tinggi pada kapasitas intelektual. Performansi pada berbagai
organisasi
dapat
ditingkatkan
secara
efisien
jika
karyawan
mengkomunikasikan informasi, pengalaman, opini, dan pemahaman mereka satu sama lain (Liao, Chang, Cheng & Kuo, 2004; Liebowitz, 2001). Davenport dan Prusak (1998) berpendapat bahwa perilaku berbagi pengetahuan sebenarnya sudah
2
terjadi di dalam organisasi, namun yang menjadi permasalahan utama adalah bagaimana organisasi akan mentransfer keahlian dari yang memiliki kepada yang membutuhkan (Hinds, Patterson, & Pfeffer, 2001). Pengetahuan sesungguhnya adalah keunggulan kompetitif dan bersifat melekat pada individu, padahal individu pemilik pengetahuan merupakan sumber daya dengan mobilitas tinggi. Perusahaan akan mengalami kerugian yang signifikan apabila individu yang berpengetahuan keluar dari perusahaan. Survei yang dilakukan oleh konsultan auditor berkelas dunia bernama KPMG (Klynveld Peat Main Goerdeler) pada tahun 1998 terhadap perusahaan-perusahaan besar di Eropa menemukan bahwa keluarnya orang-orang yang berpengetahuan tinggi dari perusahaan menyebabkan perusahaan mengalami penurunan pendapatan yang signifikan. KPMG (2003) kembali melakukan survey pada 500 perusahaan besar di Eropa yang semakin menguatkan temuan sebelumnya bahwa 78 persen dari perusahaan-perusahaan mengakui kehilangan peluang bisnis dan pendapatan
sebanyak
memanfaatkan
6
persen
pengetahuan.
setiap
Survei
ini
tahunnya
akibat
menunjukkan
penurunan
ketidakmampuan
bahwa
pengetahuan
merupakan aset penting yang berpengaruh signifikan bagi keberhasilan organisasi. Penelitian yang dilakukan oleh Mohrman dan Finegold (2000) menemukan banyak organisasi mengalami kerugian finansial dan membuang kesempatan akibat dari karyawan-karyawannya yang menghabiskan waktu untuk menemukan kembali pengetahuan, mempelajari hal yang sama, atau menemukan kembali solusi yang pernah ada. Organisasi-organisasi yang kurang mampu mengelola pengetahuan dengan baik tidak akan mampu bersaing dalam lingkungan kompetitif yang berubah
3
sangat cepat. Kerugian-kerugian yang dialami oleh banyak organisasi mendorong para manajemen puncak mencari cara untuk menyebarkan pengetahuan ke seluruh lapisan organisasi agar
semakin banyak karyawan yang memiliki pengetahuan
tinggi. Berbagi pengetahuan menjadi solusi yang krusial yang dapat dilakukan supaya pengetahuan yang dikuasai oleh satu orang menjadi pengetahuan yang dapat dimiliki dan dimanfaatkan setiap karyawan dalam mencapai
keunggulan
kompetitif organisasi (DeNisi, Hitt, & Jackson, 2003). Penerapan perilaku berbagi pengetahuan secara sistematis dalam sebuah organisasi memberikan manfaat yang sangat besar. Manfaat-manfaat tersebut berupa keuntungan finansial maupun non finansial. 50 persen perusahaan yang disurvei mengalami peningkatan keuntungan finansial dan laba perusahaan. Sementara itu, manfaat non finansial yang diperoleh, antara lain: perbaikan kualitas yang dialami perusahaan (73%), kerjasama dalam tim yang meningkat (68%), meningkatkan inovasi (63 %), kecepatan dan responsiveness meningkat (64%) dan sebanyak 55 % merasakan pengambilan keputusan yang semakin baik oleh karyawan di garis depan (Survey KPMG, 2003). Manfaat perilaku berbagi pengetahuan juga ditemukan oleh Michailova dan Husted (2003) yaitu berbagi pengetahuan berdampak pada efisiensi organisasi, karena dapat menghindari pengulangan dalam menciptakan pengetahuan baru, dan dapat mengurangi kesenjangan pengetahuan (Michailova dan Husted, 2003).
Siemens dan Xerox
merasakan adanya berbagi pengetahuan dapat meningkatkan volume penjualan, menghemat biaya yang tidak penting dan dapat belajar dari pengalaman sukses rekan kerja sebelumnya untuk mencapai hasil yang lebih baik (Ewing & Keenan,
4
2001; Hickins, 1999). Hasil survey dan temuan penelitian yang telah dikemukakan menunjukkan bahwa perilaku berbagi pengetahuan berdampak yang signifikan terhadap performansi organisasi. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi kehadiran komputer dan internet mempengaruhi
yang ditandai dengan kemudahan penyebaran
pengetahuan, karena dengan adanya teknologi ini, pertukaran informasi
tidak
terbatas waktu dan lokasi geografis (Bergeron, 2003). Setiap saat orang dapat berbagi informasi kapanpun dikehendaki. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi
menjadi solusi bagi distribusi pengetahuan ke seluruh lapisan di
organisasi. Beberapa organisasi besar seperti: Chevron, McKinsey, Bank Dunia, Telkom dan lain-lain berinvestasi dengan membangun portal intranet sebagai saluran berbagi yang dikenal dengan knowledge management systems atau sistem manajemen pengetahuan (KMS).
Salah satu perusahaan nasional di Indonesia
yang telah menerapkan praktik berbagi pengetahuan adalah PT. Telkom Indonesia tbk yang memfasilitasi
perilaku berbagi pengetahuan dengan menyediakan
berbagai saluran dan sarana. Beberapa
di antaranya yaitu membangun media
khusus on-line (KAMPIUN), mengadakan pelatihan-pelatihan, kegiatan tatap muka pada briefing patriot 135 tiap rabu pagi sebagai sarana bertukar informasi dan praktik-praktik terbaik,
dan Telkom juga memiliki media
Inovasi dan Sumbang
Saran yang merupakan media bagi karyawan untuk mendaftarkan inovasi bagi perbaikan sistem. Meskipun Telkom berinvestasi mahal dengan membangun fasilitas sistem manajemen pengetahuan secara on-line yang dikenal dengan Kampiun yang
5
diharapkan mempermudah setiap karyawan untuk berbagi pengetahuan, namun dalam beberapa survei yang dilakukan menunjukkan bahwa fasilitas ini tidak termanfaatkan secara optimal. Survei yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti terhadap Kampiun antara lain dilakukan oleh dilakukan oleh Sari (2004) pada Telkom Divisi Regional V hanya sekitar 22 % dari jumlah karyawan yang memanfaatkan, dan hanya 2% yang berkontribusi. Dari data yang diperoleh selama bulan Januari sampai Mei 2009 untuk karyawan PT. TELKOM seluruh Indonesia (data dari server Kampiun) diperoleh rata-rata per hari hanya sekitar 7 artikel yang dimasukkan ke dalam KMS selama ini dengan kualitas yang belum sepenuhnya dianggap sesuai dengan kebutuhan organisasi (Elita, 2009). Purwati, Pasaribu & Lumbantobing (2009) melakukan survei pada tahun 2009 terhadap penggunaan Kampiun (Telkom knowledge management systems) pada semua karyawan Telkom seluruh Indonesia. Hasilnya menunjukkan bahwa Kampiun kurang menarik bagi kebanyakan karyawan TELKOM. Hal ini dapat dilihat dari rendahnya kontribusi karyawan dalam Kampiun dan kualitas tulisan yang dimasukkan kurang memberikan kontribusi bernilai bagi perusahaan. Kontribusi karyawan masih sangat rendah bila dibandingkan dengan jumlah seluruh karyawan yang sekitar 23.000 orang, kurang dari 1000 artikel atau sekitar 4,3 persen dalam setahun dengan kualitas yang dianggap kurang baik. Kegagalan praktik berbagi pengetahuan melalui portal pengetahuan juga dialami oleh PT. Indosat tbk. Hasil wawancara dengan salah satu manajer menyatakan bahwa sistem manajemen pengetahuan pada beberapa tahun lalu pernah diaplikasikan kepada karyawan sebagai sarana bertukaran pengetahuan,
6
namun portal pengetahuan ini akhirnya dihapuskan oleh pihak manajemen karena penggunaan fasilitas tersebut tidak dimanfaatkan secara optimal. Permasalahan di lapangan ini menunjukkan bahwa praktik perilaku berbagi pengetahuan di dalam organisasi masih belum optimal. Meskipun perusahaan telah berinvestasi dengan membangun sistem manajemen pengetahuan berbasis teknologi informasi dan komunikasi, namun kenyataan di lapangan pemanfaatan masih jauh dari
yang
diharapkan organisasi. Kondisi di lapangan yang telah dipaparkan sebelumnya membuktikan bahwa penggunaan teknologi informasi dan komunikasi secanggih apapun tidak menjamin perilaku berbagi pengetahuan sebanyak yang diharapkan oleh organisasi. Temuan ini menjadi hal yang menarik oleh banyak peneliti (Brown & Duguid, 1991), sehingga terjadi pergeseran penelitian perilaku berbagi pengetahuan yang pada mulanya didominasi oleh perspektif teknologi, namun akhir-akhir ini mengalami pergeseran menuju ke perspektif manusia. Teknologi disadari sebagai alat atau perangkat yang memfasilitasi
manusia
untuk
berbagi.
Peran
manusia
merupakan
pemilik
pengetahuan dan pengambil keputusan untuk berbagi pengetahuan, sementara teknologi hanya sarana untuk memudahkan proses berbagi pengetahuan terjadi. Keuntungan dalam pemanfaatan teknologi pada portal-portal pengetahuan adalah kemudahan untuk mengevaluasi penggunaannya, karena aktivitas yang berlangsung dalam sistem informasi on-line telah terekam. Oleh karena itu, organisasi dapat melakukan pelacakan jumlah kontribusi yang telah dimasukkan baik ide, dokumen, laporan dan lain-lain, serta dapat juga mengamati berapa banyak karyawan yang
7
telah mengaksesnya (Yi, 2009), sedangkan melacak frekwensi terjadinya perilaku berbagi pengetahuan dalam interaksi sosial sangat sulit dilakukan (Yi, 2009). Kegagalan perilaku berbagi pengetahuan melalui media on-line dijelaskan oleh Cabrera dan Cabrera (2002) sebagai
dampak dari public good dilemma.
Individu dalam organisasi menganggap bahwa pengetahuan organisasi merupakan barang publik yang dapat dinikmati secara gratis tanpa harus berkontribusi. Individu cenderung mengikuti perilaku rasional, sehingga akan selalu ada godaan untuk menjadi free-rider dengan menikmati pengetahuan tanpa berkontribusi pada penciptaan ataupun pemeliharaan. Hal ini akan berdampak buruk jika banyak orang melakukan hal seperti itu karena pengetahuan organisasi tidak akan bertambah. Davenport dan Prusak (1998) juga mengungkapkan kegagalan berbagi pengetahuan dalam organisasi dikarenakan individu menganggap pengetahuan yang dimiliki adalah sesuatu yang berharga dan penting. Individu-individu ini berasumsi dengan berbagi pengetahuan menyebabkan lebih banyak karyawan yang memiliki pengetahuan sama, sehingga pengetahuan dipandang bukan lagi sebagai keunggulan kompetitif individu. Individu dengan keahlian tertentu biasanya akan memiliki
kekuasaan
dan
rasa
aman
dalam
pekerjaannya
sehingga
ada
kecenderungan untuk tidak mau berbagi pengetahuan (Ba, Stallaert & Whinston, 2001; Miller, 1999). Survei yang dilakukan KPMG (2003) mengungkapkan penyebab kegagalan berbagi pengetahuan lebih disebabkan oleh variabel non teknologis, yaitu menganggap bahwa perilaku berbagi pengetahuan bukan prioritas harian (83 %), kurangnya budaya berbagi pengetahuan (66 %), kurangnya waktu untuk berbagi
8
(55%), kurang pemahaman akan pentingnya berbagi pengetahuan pada level manajemen puncak(46%), dan manajemen pengetahuan tidak terintegrasi dalam proses bisnis (48%). Sementara variabel ketidakpahaman akan teknologi yang digunakan hanya sekitar 15 persen. Penelitian Riege (2005) pada perusahan menengah (SMEs/medium-size enterprises) dan perusahaan besar menemukan bahwa ada tiga lusin hambatan dalam berbagi pengetahuan dalam organisasi yang dibagi ke dalam tiga kelompok hambatan yaitu hambatan individu, organisasi dan teknologi. Pada tiga hambatan individu yang tertinggi di antaranya adalah kurangnya waktu untuk berbagi pengetahuan, takut akan kehilangan keamanan kerja, dan rendahnya kesadaran akan manfaat berbagi pengetahuan kepada orang lain. Hambatan organisasi yang potensial di antaranya yaitu: ketidakjelasan integrasi strategi manajemen pengetahuan dengan tujuan strategis organisasi, kurangnya kepemimpinan dan petunjuk dalam mengkomunikasikan manfaat berbagi pengetahuan, reward yang tidak transparan, dan budaya organisasi yang tidak mendukung. Hambatan yang terakhir adalah hambatan teknologi, beberapa di antaranya yaitu: kurangnya dukungan teknis (internal dan eksternal), enggan menggunakan karena tidak bersahabat dengan sistem tersebut, dan kurangnya pelatihan terkait dengan hadirnya teknologi baru. Kegagalan-kegagalan dalam berbagi pengetahuan yang telah diuraikan sebelumnya menunjukkan bahwa perilaku berbagi pengetahuan bukan hal yang mudah diprediksikan dan diwujudkan. Munculnya perilaku tidak disebabkan oleh faktor tunggal melainkan multi faktor. Berdasarkan temuan-temuan penelitian sebelumnya
yang
disajikan
dalam
peta
riset.
Anteseden-anteseden
yang
9
mempengaruhi perilaku berbagi pengetahuan dibagi ke dalam faktor manusia, organisasi, dan teknologi. Hal ini sejalan dengan pendapat Van den Brink (2003) dan Riege (2003) yang mengungkapkan bahwa ada tiga faktor kunci yang dianggap mendukung terjadinya perilaku berbagi pengetahuan di organisasi yaitu faktor manusia, organisasi dan teknologi. Faktor manusia muncul karena adanya asumsi bahwa manusia merupakan pelaku berbagi pengetahuan. Faktor organisasi merupakan
lingkungan atau faktor eksternal yang dapat mendorong perilaku
berbagi pengetahuan. Ketiga, faktor teknologi informasi dan komunikasi merupakan alat yang mendukung kelancaran proses berbagi pengetahuan. Selain menemukan persoalan yang ditemukan pada praktik berbagi pengetahuan di lapangan, penelitian ini menemukan adanya persoalan teoritis pada banyak studi empiris sebelumnya. Berdasarkan peta riset pada penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa penelitian mengenai perilaku berbagi pengetahuan masih terfragmentasi bahkan studi-studi empiris tersebut memiliki hasil yang kontradiktif.
Sebagai contoh, beberapa penulis menemukan bahwa perbedaan
kekuasaan mungkin kondusif untuk berbagi pengetahuan (Collins, 1974; Huber, 1991), tapi penulis lain melaporkan dampak negatif dari jarak kekuasaan terhadap berbagi pengetahuan (Lee, 1997; Weiss, 1999). Serupa dengan beberapa peneliti menemukan bahwa dampak positif reward terhadap berbagi pengetahuan (Huber, 1991; Osterloh & Frey, 2000; Weiss, 1999), namun peneliti lainnya tidak menemukan pengaruh positif (Constant et al., 1996; Gupta & Govindaraja, 2000). Penelitian-penelitian sebelumnya masih mencari hubungan atau pengaruh satu atau dua variabel terhadap berbagi pengetahuan, misalnya: menguji anteseden
10
kepercayaan terhadap perilaku berbagi pengetahuan (Usoro, Sharratt, Tsui, & Shekhar, 2007; Wang & Rubenstein-Montano, 2002); Huang, Davison, dan Liu (2008)
menguji
pengaruh
gaya
kepemimpinan
terhadap
intensi
berbagi
pengetahuan, dan penelitian Wang dan Yang (2007) menguji variabel kepribadian saja terhadap intensi berbagi pengetahuan. Penelitian-penelitian sebelumnya mengenai perilaku berbagi pengetahuan memposisikan berbagi pengetahuan sebagai variabel dependen dan belum melihat dampak perilaku berbagi pengetahuan terhadap individu maupun organisasi. Penemuan-penemuan tersebut masih terfragmentasi dan temuan-temuannya sering kontradiktif. Padahal dalam memahami munculnya perilaku disebabkan oleh multi faktor. Hal ini mendasari kebutuhan untuk menciptakan kerangka integratif untuk memahami perilaku berbagi pengetahuan dalam konteks organisasi. Van den Brink (2003) berpendapat bahwa model yang integratif sulit diperoleh apabila tidak mengintegrasikan teori-teori. Integrasi teori dapat dilakukan agar dapat memahami munculnya perilaku dari perspektif manusia dan lingkungan.
Oleh karena itu,
penelitian ini melibatkan kedua teori yaitu teori pertukaran sosial dan teori kognitif sosial untuk dapat memahami model perilaku berbagi pengetahuan secara menyeluruh. Alasan melibatkan kedua teori ini berdasarkan beberapa pertimbangan yaitu pertama, teori pertukaran sosial merupakan teori yang paling sering digunakan dalam menjelaskan perilaku berbagi pengetahuan (Elita, 2010; Elita, 2009; Reychav & Weisberg, 2009; Huang et.al., 2008; King & Marks, 2008; Liang, Liu, & Wu, 2008; Ye et.al., 2006; Kankanhalli et.al., 2005). Teori pertukaran sosial dapat menjelaskan
11
bahwa perilaku berbagi pengetahuan merupakan tindakan sukarela untuk saling bertukaran pengetahuan di antara kedua belah pihak dengan dimotivasi adanya imbalan yang tidak tampak. Alasan lainnya menggunakan teori pertukaran sosial bahwa perilaku berbagi pengetahuan dapat terjadi karena adanya interaksi sosial di antara kedua belah pihak. Kedua, selain menggunakan teori pertukaran sosial pada penelitian ini juga melibatkan teori kognitif sosial. Berdasarkan kajian atas temuantemuan penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa ada tiga faktor yang menentukan keberhasilan perilaku berbagi pengetahuan yaitu faktor manusia organisasi dan teknologi, temuan ini sejalan dengan prinsip dalam teori kognitif sosial dari Bandura (1997) yang menjelaskan bahwa faktor individu dan lingkungan mempengaruhi munculnya perilaku. Ketiga, merujuk dari pendapat Van den Brink (2003) bahwa model yang komprehensif sulit diwujudkan apabila hanya melibatkan satu perspektif teori, maka dengan alasan demikian penelitian ini mengintegrasikan teori pertukaran sosial dan teori kognitif sosial yang menentukan keberhasilan perilaku berbagi pengetahuan dalam organisasi. Berbagi pengetahuan pada dasarnya merupakan sebuah proses sosial yang melibatkan dua pihak atau lebih saling bertukaran pengetahuan. Berdasarkan perspektif teori pertukaran sosial, perilaku berbagi pengetahuan adalah tindakan sukarela dari individu yang dimotivasi oleh adanya balasan yang mengikuti dan balasan tersebut mungkin saja diperoleh dari pihak lain (Blau, 1964). Balasan yang diperoleh tidak berupa materi yang dapat dihitung secara spesifik atau lebih bersifat tidak tampak. Dalam pertukaran sosial tidak ada jaminan bahwa akan memperoleh reward timbal balik atas biaya atau usaha yang telah dikeluarkan karena tidak ada
12
perjanjian yang mengatur interaksi (Cropanzano & Mitchell, 2005). Pada penelitian ini variabel eksogen yang dianggap sebagai balasan yang diperoleh dan bersifat tidak tampak adalah reward instrinsik (Kankanhalli,et.al., 2005; Huang et.al., 2008; Liang, et.al, 2009; Boonmee, 2011). Sementara itu, variabel yang dianggap sebagai biaya atau usaha yang dikeluarkan yaitu usaha berbagi yang terdiri dari biaya waktu dan tenaga (Kankanhalli, et.al., 2005; Huang, et.al., 2008). Blau (1964) menjelaskan bahwa keberhasilan suatu pertukaran sosial didasari oleh adanya pondasi kepercayan di antara kedua belah pihak. Variabel kepercayaan di antara rekan kerja juga dilibatkan dalam penelitian karena keberhasilan pertukaran pengetahuan dipengaruhi oleh adanya kepercayaan. Hal ini diperkuat oleh studi meta-analisis yang dilakukan Elita (2010) terhadap 20 studi yang menemukan korelasi tunggal sebesar 0,49.
Nilai korelasi ini menunjukkan
bahwa kepercayaan selalu berkorelasi positif dengan perilaku berbagi pengetahuan. Seseorang bersedia untuk berbagi pengetahuan apabila yakin bahwa orang yang hendak dibagi pengetahuan dapat dipercayai atau tidak akan menyalahgunakan pengetahuan yang diterimanya. Kepercayaan di antara kedua belah pihak akan melanggengkan perilaku berbagi pengetahuan. Teori pertukaran sosial digunakan dalam penelitian ini untuk menjelaskan perilaku berbagi pengetahuan sebagai bentuk pertukaran sosial. Untuk menjelaskan faktor individu dan lingkungan yang mempengaruhi perilaku berbagi pengetahuan, Penelitian ini melibatkan efikasi diri relasional dan iklim organisasi. Bandura (1997) menjelaskan perilaku dapat terwujud karena adanya interaksi antara faktor individu dan faktor lingkungan secara timbal balik. Faktor individu yang dilibatkan adalah
13
efikasi diri relasional Efikasi diri relasional merupakan pengembangan dari efikasi diri milik Bandura yang diperkenalkan oleh Lent dan Lopez (2002). Efikasi diri relasional merupakan keyakinan seseorang atas kemampuan yang dimilikinya dipengaruhi oleh penilaian orang lain terhadap dirinya. Efikasi diri relasional ini muncul dari berbagai jenis hubungan yang erat, misalnya orang tua dan anak, atasan dan bawahan, dosen dan mahasiswa, pasangan dan lain sebagainya (Lent & Lopez, 2002). Faktor lingkungan yang dilibatkan pada penelitian ini adalah iklim organisasi. Iklim organisasi merupakan karakteristik jangka panjang dari lingkungan yang terdiri dari atribut yang dapat diukur dari lingkungan kerja. Atribut-atribut yang dapat diukur yaitu iklim afiliasi, inovasi dan keadilan. Iklim organisasi yang kondusif akan mendorong individu untuk menampilkan perilaku berbagi pengetahuan dengan rekan kerjanya (Li, Zhu, & Luo, 2010; Bock, Zmud, Kim & Lee, 2005). Penelitian disertasi ini tidak hanya ingin melihat pengaruh anteseden atau mencari determinan perilaku berbagi pengetahuan melainkan membangun sebuah model perilaku berbagi pengetahuan yang komprehensif. Model perilaku berbagi pengetahuan dikatakan komprehensif karena dalam menjelaskan munculnya suatu perilaku digolongkan ke dalam tiga dimensi yaitu dimensi pendukung perilaku, dimensi proses yaitu perilaku dan dimensi luaran (Lin, 2007; Rajagopolan et.al.,1993). Dengan demikian, maka perilaku berbagi pengetahuan tidak dapat dipandang sebagai hasil akhir, melainkan sarana untuk mentransformasi tujuan dari aktivitas ke dalam hasil (Van den Brink, 2003). Pada banyak studi maupun survei-survei yang telah dikemukakan bahwa perilaku berbagi pengetahuan merupakan proses yang berdampak akhir bagi
14
keberhasilan organisasi.
Keberhasilan organisasi ditentukan oleh sumber daya
manusia yang berpengetahuan tinggi sehingga dapat mengontribusikan kemampuan diri secara maksimal dalam menyelesaikan tugas-tugas pekerjaan. Oleh karena itu, penting untuk mengetahui efek perilaku berbagi pengetahuan terhadap performansi kerja individu. Performansi kerja individu merupakan variabel dependen yang diteliti sejak beberapa dekade yang lalu, akan tetapi sampai saat ini masih relevan untuk diteliti. Performansi kerja merupakan tindakan atau perilaku yang relevan dengan tujuan organisasi. Beberapa tema penelitian disertasi di Indonesia juga meneliti mengenai performansi kerja, baik performansi kerja dosen, manajer, karyawan dan masih banyak studi-studi lainnya yang telah membahas mengenai performansi kerja (Saleh, 2013; Saadah, 2013; Samiyanto, 2011; Nilam, 2011). Pegawai Negeri Sipil sejak lama menjadi sorotan berbagai kalangan atas performansi kerja yang sangat rendah. Padahal PNS merupakan pelayan masyarakat yang memiliki tujuan akhir untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Produktivitas kerja PNS tergolong sangat rendah dan karakter PNS yang sering menampilkan perilaku birokratis
menjadi penghambat dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat. Menurut penuturan Deputi Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, Setiawan Wangsaatmaja (2012) dalam satu media online Merdeka.com tertanggal 28 februari 2012, kondisi PNS yang demikian ini menjadi beban bagi Pemerintah karena rasio membayar belanja pegawai yang demikian besar tidak diimbangi dengan produktivitas pelayanan kepada masyarakat. Karakteristik PNS yang berada di zona nyaman dan berperilaku birokratis hampir serupa dengan karakteristik karyawan Telkom. Perilaku birokratis menjadi
15
persoalan yang juga dihadapi para pimpinan puncak Telkom. Setelah berpuluhpuluh tahun, Telkom memonopoli bisnis telekomunikasi di Indonesia. Kondisi yang nyaman menjadi pegawai pemerintah di masa itu membentuk karakter karyawan berperilaku birokratis dan kurang inovatif. Telkom memiliki banyak pesaing yang bergerak di bisnis yang sama sejak dibukanya keran kompetisi. Karyawan-karyawan yang telah terbentuk sekian lama dalam zona nyaman membuat performansi kerja karyawan belum dapat
mengikuti irama persaingan bisnis yang sedemikian pesat
(Kartajaya et.al, 2004). Tentunya performansi kerja individu yang kurang maksimal akan mempengaruhi keberhasilan organisasi di masa datang. Salah satu cara yang ekonomis yang dapat dilakukan organisasi untuk meningkatkan performansi kerja pegawainya adalah melalui perilaku berbagi pengetahuan. Berbagi pengetahuan mendorong karyawan dapat menyumbangkan pengetahuan dan memperoleh pengetahuan. Bentuk pengetahuan yang saling dibagi dapat berupa pengetahuan teknis yang berupa aturan-aturan tertulis dan standar operasional prosedur (SOP), pengetahuan praktis yang berupa tips dan trik, dan pengetahuan kritis yang berupa etika dan moral. Perilaku berbagi pengetahuan ini bermanfaat bagi karyawan untuk memperbaiki performansi kerja, sehingga dapat membantu bekerja lebih cepat, lebih kreatif dan dapat mengurangi kesalahan dalam bekerja (Guetenal, Surprenant dan Bubeck, 1984 dalam Kang et al, 2008). Studistudi sebelumnya telah menunjukkan bahwa perilaku berbagi pengetahuan akan mempengaruhi performansi kerja individu (Kang et al., 2008; Lee et al., 2010; Reychav et al., 2009; Srivastava et al., 2006; Quigley et al., 2007; Wu et al., 2012). Hasil-hasil studi tersebut menunjukkan bahwa performansi kerja individu yang
16
berfungsi sebagai luaran dipengaruhi oleh perilaku berbagi pengetahuan. Oleh karena itu, model perilaku
ini tidak hanya berhenti pada membuktikan hipotesa
bahwa ada pengaruh variabel independen terhadap perilaku berbagi pengetahuan dalam
organisasi
akan
tetapi
juga
mengetahui
dampak
perilaku
berbagi
pengetahuan terhadap performansi kerja individu. Berdasarkan uraian mengenai pentingnya berbagi pengetahuan, kegagalankegagalan
dalam
berbagi
pengetahuan,
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
keberhasilan berbagi pengetahuan, kelemahan-kelemahan pada penelitian terdahulu dan manfaat yang muncul dari perilaku berbagi pengetahuan, maka penelitian ini bertujuan untuk
menguji model perilaku berbagi pengetahuan dalam organisasi
dengan kondisi empiris. B. Rumusan Permasalahan Penelitian-penelitian mengenai perilaku berbagi pengetahuan dalam satu dekade ini cukup berkembang seiring dengan kesadaran pihak manajemen organisasi mengenai pentingnya pengetahuan bagi keberhasilan organisasi di masa depan. Pada mulanya penelitian bidang manajemen pengetahuan didominasi oleh perspektif teknologi informasi (Davenport, De Long, & Beers, 1998; Gourlay, 2001), namun pada penelitian-penelitian sesudahnya bergeser pada perspektif manusia sebagai aktor yang menentukan keberhasilan manajemen pengetahuan (Earl, 2001; Stenmark, 2001) dan juga melibatkan perspektif organisasi (Lin, 2007; Kang, et.al., 2007). Sebagai contoh, efikasi diri merupakan faktor manusia yang dianggap dapat memprediksi perilaku berbagi pengetahuan (Cabrera, et.al., 2006; Lin, 2007; Cheung, 2007; Teh, Cong, Yong, & Yew, 2010), kesenangan membantu orang lain
17
(Lin, 2007; Wasko & Faraj, 2005; Kwakye, Nor, & Ziaei, 2011; Deci & Ryan, 1985), dan kepribadian agreeableness mempengaruhi kecenderungan untuk berbagi pengetahuan dengan orang lain (Mooradian et.al., 2006). Sementara itu, penelitipeneliti lainnya menemukan faktor organisasi seperti reward organisasi (Cabrera dan Bonache (1999); Hargadon, 1998; Davenport & Prusak, 1998; Lin, 2007; Bartol & Srivastava, 2003), dukungan pemimpin (Lin, 2007; Aulawi, et.al, 2010), dan iklim organisasi juga dianggap berperanan terhadap berbagi pengetahuan (Bock, Zmud, Kim & Lee, 2005; Li, Zhu, & Luo, 2010). Penelitian-penelitian sebelumnya ini masih memiliki kelemahan karena masih terpotong-potong, misalnya: hanya melibatkan faktor kepribadian saja (Mooradian et.al, 2006) atau peneliti lain hanya menguji pengaruh reward organisasi terhadap perilaku berbagi pengetahuan (Bartol & Srivastava, 2003) dan bahkan beberapa hasil penelitian masih saling kontradiktif satu sama lain. Sebagai contoh, beberapa penulis menemukan bahwa jarak kekuasaan mungkin kondusif untuk berbagi pengetahuan (Collins, 1974; Huber, 1991), tapi penulis lain melaporkan dampak negatif dari jarak kekuasaan terhadap berbagi pengetahuan (Lee, 1997; Weiss, 1999). Serupa dengan beberapa peneliti menemukan bahwa dampak positif reward terhadap berbagi pengetahuan (Huber, 1991; Osterloh & Frey, 2000; Weiss, 1999). Yang lainnya tidak menemukan pengaruh positif dari reward organisasi (Constant et al., 1996; Gupta & Govindarajan, 2000). Perbedaan penelitian disertasi ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya yaitu membangun model komprehensif dengan mengintegrasikan dua teori yaitu pertukaran sosial dan kognitif sosial. Model perilaku komprehensif tidak akan dapat
18
diperoleh apabila hanya melibatkan satu perspektif teori (Brink, 2003). Asumsiasumsi yang digunakan sebagai alasan mengintegrasikan kedua teori adalah (1). berbagi pengetahuan merupakan proses pertukaran sosial yang terjadi karena adanya interaksi sosial satu sama lain, (2). manusia sebagai aktor yang menguasai pengetahuan yang secara aktif menentukan apakah bersedia berbagi pengetahuan dengan orang lain, dan (3). lingkungan organisasi di mana perilaku berbagi pengetahuan berlangsung yang berperan dalam mempengaruhi perilaku berbagi pengetahuan. Dengan memperhatikan ketiga asumsi dasar berbagi pengetahuan, maka dapat dibangun satu model perilaku berbagi pengetahuan integratif yang dapat dipergunakan untuk memprediksi keberhasilan perilaku berbagi pengetahuan dalam organisasi. Model perilaku berbagi pengetahuan dalam penelitian ini terdiri dari ketiga dimensi yaitu dimensi pendukung (faktor-faktor yang mempengaruhi), dimensi proses (perilaku) dan dimensi hasil/luaran (Rajagopolan et.al., 1993; Lin (2007). Dimensi pendukung terdiri dari variabel kepercayaan, reward instrinsik, usaha berbagi, iklim organisasi dan efikasi diri relasional. Dimensi proses dalam model penelitian ini adalah perilaku berbagi pengetahuan, dan dimensi hasil adalah performansi kerja individu. Dalam penelitian ini, perilaku berbagi pengetahuan diposisikan sebagai mediator terhadap meningkatnya performansi kerja individu. Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya, muncul pertanyaan utama penelitian yang ingin djawab dalam penelitian ini yaitu: 1. Apakah model perilaku berbagi pengetahuan dalam organisasi sesuai dengan kondisi empiris?
19
2. Apakah ada keterkaitan antara variabel-variabel eksogen yaitu kepercayaan, reward instrinsik, usaha berbagi, iklim organisasi dan efikasi diri relasional terhadap perilaku berbagi pengetahuan yang berperan sebagai mediator terhadap performansi kerja individu? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian yang dicapai dalam penelitian ini merupakan jawaban atas pertanyaan yang telah dirumuskan sebelumnya. Penelitian ini bertujuan untuk menguji model perilaku berbagi pengetahuan yang komprehensif dengan kondisi empiris. Berdasarkan hasil uji model perilaku yang diperoleh, maka selanjutnya dapat diketahui besarnya regresi dalam hubungan antar variabel, dan sumbangan efektif dari variabel eksogen terhadap variabel endogen.
D. Manfaat penelitian Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat secara teoritis maupun praktis. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan khususnya mengenai perilaku berbagi pengetahuan dengan ditemukannya model perilaku berbagi pengetahuan yang berdampak pada meningkatnya performansi kerja individu. Manfaat penelitian secara praktis yaitu model perilaku berbagi pengetahuan dapat digunakan sebagai acuan bagi organisasi untuk mengoptimalkan performansi kerja karyawan melalui perilaku berbagi pengetahuan. Organisasi dapat mendorong perilaku berbagi pengetahuan di antara karyawan dengan menyediakan iklim organisasi yang kondusif dan penuh kepercayaan, memberikan penghargaan atas perilaku berbagi yang ditampilkan
20
karyawan dan memfasilitasi karyawan dengan sarana-sarana yang memudahkan untuk berbagi. E. Keaslian Penelitian Penelitian-penelitian
mengenai
perilaku
berbagi
pengetahuan
dalam
beberapa tahun terakhir ini cukup berkembang. Fokus penelitian sebelumnya menekankan pada level mikro yaitu manusia sebagai pelaku berbagi, sedangkan peneliti lainnya menekankan pada level makro yaitu organisasi. Cheung & Lee (2007) menemukan bahwa efikasi diri dan kepuasan individu terhadap keinginan untuk berbagi, sementara Wang dan Yang (2007) dan
Mooradian, Renzl dan
Matzler (2006) menguji pengaruh kepribadian terhadap berbagi pengetahuan. Studi empiris lainnya dilakukan oleh Cho, Li, & Su (2007) juga melibatkan variabel kepribadian, kemampuan individu, dan motivasi intrinsik terhadap berbagi pengetahuan. Organisasi memiliki kemungkinan untuk memodifikasi motivasi ekstrinsik melalui insentif, pengakuan sosial, bonus dan menciptakan iklim yang kondusif untuk berbagi. Bartol dan Srivastava (2002) menguji pengaruh reward organisasi terhadap berbagi pengetahuan, sedangkan Carmeli, Atwater, dan Levi (2010) melibatkan peran pemimpin dalam meningkatkan perilaku berbagi pada karyawan. Peran pemimpin juga diteliti oleh penulis dalam tesis yang berjudul pengaruh leader member exchange dan afek terhadap perilaku berbagi pengetahuan (Elita, 2009). Penelitian ini menggunakan teori pertukaran sosial dalam menjelaskan perilaku berbagi pengetahuan. Hasil penelitian ini menemukan bahwa peran pemimpin sangat kuat mempengaruhi perilaku berbagi pengetahuan. Pemimpin yang
21
memperlakukan bawahan dengan baik akan dibalas oleh karyawan dengan menampilkan kinerja di luar deskripsi pekerjaan yaitu dengan cara menampilkan perilaku berbagi pengetahuan. Conley dan Zen (2011) dalam artikelnya mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kesuksesan berbagi pengetahuan dalam organisasi menunjukkan bahwa dukungan pemimpin atau manajemen puncak, budaya organisasi, pelatihan, struktur organisasi, infrastruktur teknologi dan strategi organisasi. Kesemuanya itu adalah faktor organisasi, tanpa menyinggung mengenai faktor manusia. Beberapa ahli menyepakati bahwa keberhasilan organisasi dalam penyebaran pengetahuan tidak lepas dari hasil interaksi strategi, konteks organisasi dan perilaku individu atau singkatnya adanya interaksi variabel makro dan mikro (Myers, 1996; Foss, et.al., 2010; Wang & Noe, 2010). Kesadaran ini juga mengubah perkembangan penelitian-penelitian berbagi pengetahuan menjadi lebih integratif. Bock, et.al., (2005) telah mengintegrasikan pengaruh
variabel
individu
(sikap dan
norma
subyektif
terhadap
berbagi
pengetahuan) dan variabel organisasi (iklim organisasi) terhadap intensi berbagi pengetahuan dalam organisasi. Li, Zhu, dan Luo (2010) melihat pengaruh lingkungan (iklim organisasi) dan manusia (efikasi diri) terhadap perilaku berbagi pengetahuan.
Sementara penelitian yang dilakukan oleh Lin (2007) melibatkan
motivasi individu secara internal maupun eksternal terhadap perilaku berbagi pengetahuan. Motivasi internal berupa kesenangan membantu orang lain dan efikasi diri, sedangkan motivasi eksternal berasal dari organisasi yaitu reward organisasi.
22
Beberapa peneliti sebelumnya juga telah membangun model perilaku berbagi pengetahuan yang kompleks, seperti penelitian disertasi Chennamaneni (2006) yang membangun model perilaku berbagi pengetahuan menggunakan theory of planned behavior (TPB). Penelitian Chennamaneni (2006) bertujuan untuk menguji faktorfaktor apa saja yang mempengaruhi perilaku berbagi pengetahuan. Chennamaneni (2006) melibatkan 11 variabel yang diprediksi mempengaruhi perilaku berbagi pengetahuan,
di
antaranya
kekuatan
pengetahuan,
peningkatan
reputasi,
ketersediaan teknologi, iklim organisasi, manfaat timbal balik, insentif, norma subyektif, sikap dan intensi terhadap perilaku berbagi pengetahuan. Dalam penelitian ini, perilaku berbagi pengetahuan diposisikan sebagai variabel dependen. Penelitian Chenamaneni (2006) belum menguji dampak adanya perilaku berbagi pengetahuan bagi organisasi. Selain model perilaku dari Chennamaneni (2006), peneliti lainnya yaitu Aulawi, Sudirman, Suryadi dan Govindaraju (2009) membangun model perilaku dengan pondasi theory of planned behavior. Penelitian ini dilakukan pada karyawan Telkom Indonesia sebanyak 125 orang. Model perilaku ini dapat dikatakan model komprehensif dengan melibatkan faktor individu dan organisasi terhadap munculnya perilaku berbagi pengetahuan.
Temuan penelitian ini membuktikan
bahwa
kerjasama tim, kepercayaan, dukungan manajemen puncak, dan efikasi diri mempengaruhi perilaku berbagi pengetahuan. Temuan yang menonjol lainnya adalah perilaku berbagi pengetahuan berdampak pada kemampuan inovasi individu. Penelitian Aulawi dkk (2009) di Indonesia mengenai dampak perilaku berbagi pengetahuan terhadap munculnya perilaku inovasi juga diteliti oleh Helmi (2010)
23
dalam disertasinya yang berjudul Determinan Perilaku Inovasi. Penelitian Helmi (2010) melibatkan subyek mahasiswa S1 Universitas Gadjah Mada. Fokus penelitian Helmi (2010) adalah perilaku inovasi yang dimediasi oleh perilaku berbagi pengetahuan. Teori yang digunakan untuk menjelaskan muncul perilaku inovasi dan berbagi pengetahuan dalam organisasi yaitu teori penciptaan pengetahuan dari Nonaka dan Takeuchi, teori kreativitas dari Amabile, teori determinasi diri dari Deci dan Ryan. Penelitian ini menemukan bahwa perilaku berbagi pengetahuan merupakan mediator antara motivasi instrinsik, kepercayaan, kepemimpinan transformasional, dan kemudahan akses teknologi terhadap perilaku inovasi pada mahasiswa. Penelitian lainnya mengenai efek mediator perilaku berbagi pengetahuan terhadap performansi kerja telah dilakukan oleh Kang, Kim, dan Chang (2008). Penelitian ini bertujuan untuk menguji dampak perilaku berbagi pengetahuan terhadap performansi kerja individu. Subyek penelitian sebanyak 323 karyawan publik di Korea Selatan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa empat variabel eksogen yaitu pelatihan karyawan, sistem reward, dukungan manajemen, dan keterbukaan komunikasi memiliki pengaruh positif terhadap perilaku berbagi pengetahuan. sementara kepercayaan di antara individu mempengaruhi baik terhadap perilaku berbagi pengetahuan dan performansi kerja. Temuan yang penting dalam penelitian adalah terbuktinya perilaku berbagi pengetahuan mempengaruhi performansi kerja individu. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan analisis jalur. Kelemahan dalam penelitian Kang dkk (2008) adalah kurang jelasnya keberadaan teori yang menjelaskan hubungan antar
24
variabel dan cenderung hanya melakukan pengujian korelasional di antara banyak variabel eksogen terhadap mediator dan performansi kerja. Selain itu, penelitiannya lebih melibatkan variabel makro (organisasi) dibandingkan variabel mikro atau individu. Reychav dan Weisberg (2009) juga meneliti
dampak perilaku berbagi
pengetahuan bagi performansi kerja karyawan dan performansi kerja berperan sebagai mediator terhadap intensi karyawan untuk keluar dari tempat kerja. Penelitian yang dilakukan Reychav dan Weisberg (2009) menggunakan teori pertukaran sosial untuk menjelaskan hubungan antar variabel. Penelitian ini memposisikan perilaku berbagi pengetahuan sebagai variabel independen dan menjadikan reward organisasi sebagai mediator terhadap performansi kerja individu. Sementara performansi kerja sendiri berperan sebagai mediator terhadap intensi keluar dari organisasi. Model penelitian ini tampak begitu kompleks dengan beberapa mediator. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa perilaku berbagi pengetahuan memiliki efek positif baik terhadap performansi kerja individu dan efek tidak langsung terhadap performansi kerja individu melalui reward organisasi. Penelitian-penelitian sebelumnya yang telah diuraikan secara singkat dapat memberikan gambaran bahwa penelitian yang dilakukan oleh penulis berbeda dengan penelitian-penelitian terdahulu. Beberapa hal yang dapat diperbandingkan bahwa penelitian yang dilakukan penulis memiliki beberapa perbedaan dengan penelitian sebelumnya yaitu model penelitian dibangun dengan menggunakan dua teori yaitu teori pertukaran sosial dan teori kognitif sosial untuk menjelaskan munculnya perilaku berbagi pengetahuan. Perilaku berbagi pengetahuan diposisikan
25
sebagai mediator terhadap performansi kerja individu. Variabel-variabel eksogen yang dilibatkan dalam penelitian dianggap telah cukup komprehensif karena melibatkan faktor individu (efikasi diri relasional, reward instrinsik, usaha berbagi, kepercayaan) dan faktor organisasi (yaitu iklim organisasi). Oleh karena itu, penulis berkesimpulan bahwa penelitian yang dilakukan penulis di Indonesia sejauh ini berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Penelitian ini merupakan model yang komprehensif dan integratif untuk mendapatkan penjelasan yang menyeluruh mengenai perilaku berbagi pengetahuan dalam organisasi.