BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Beras merupakan makanan pokok di Indonesia. Beras bagi masyarakat Indonesia menjadi komoditas pangan yang dapat mempengaruhi kebijakan politik di negara ini. Gejolak politik bisa saja timbul akibat adanya kenaikan harga beras yang menyebabkan ketidakmampuan masyarakat untuk membelinya. Sebagai makanan pokok di Indonesia, komoditas pertanian ini menjadi sangat vital peranannya bagi Indonesia, karena sebagian besar masyarakat bekerja pada sektor pertanian. Tidak mengherankan jika produksi beras nasional Indonesia dalam kurun waktu lima tahun dari 2011 hingga 2015 mengalami peningkatan meskipun sempat turun pada tahun 2013. Data Badan Pusat Statistik tahun 2015 menunjukkan bahwa produksi gabah dan beras pada tahun 2014 sebesar 70.846.465 ton dan tahun 2015 sebesar 74.991.788 ton. Berdasarkan data produksi beras nasional, Indonesia sudah mampu memenuhi kebutuhan beras dalam negeri. Menurut Menteri Pertanian, Indonesia tak perlu memasang target produksi padi sebesar 73 juta ton per tahun untuk mencapai target swasembada beras. Alasannya, konsumsi beras masyarakat Indonesia tidak sebesar angka yang diasumsikan selama ini karena dalam hitungan ulang total konsumsi nasional hanya sekitar 28 juta ton per tahun (Anonim, 2016a). Konversi Gabah-Beras menurut Pusat Data Dan Informasi Kementerian Pertanian dapat dilihat pada Tabel 1.1 (Anonim, 2016b).
1
2
Tabel 1.1 Konversi Gabah-Beras menurut Pusdatin Kementerian Pertanian Jenis GKP (Gabah Kering Panen)
Padi Bertangkai (%) 100
Padi Tidak Bertangkai (%) 100
GKL (Gabah Kering Lumbung)
82
92
GKG (Gabah Kering Giling)
77
86
40
58
Beras Sumber: Pusdatin Kementan 2016
Dari Tabel 1.1 diketahui nilai konversi gabah-beras sebesar 58% sehingga dengan total produksi GKP sebesar 74.991.788 ton pada tahun 2015 maka jumlah produksi beras nasional mencapi 43,9 juta ton, total produksi beras tersebut jauh dari jumlah kebutuhan beras nasional. Namun, selama ini dalam rangka memenuhi kebutuhan beras masyarakat, pemerintah mendatangkan beras dari Thailand, Vietnam, Tiongkok hingga India untuk memenuhi kebutuhan beras dalam negeri seperti terlihat dalam Tabel 1.2. Tabel 1.2 Impor Beras Indonesia Tahun 2011-2014 Negara Asal Vietnam Thailand Tiongkok India Pakistan Amerika Serikat Taiwan Singapura Myanmar Lainnya Jumlah
2011 1.778.480,60 938.695,70 4.674,80 4.064,60 14.342,30 2.074,10 5.000,00 1.506,50 1.637,60 2.750.476,2
2012
2013
Berat Bersih (Ton) 1.084.782,80 171.286,60 315.352,70 94.633,90 3.099,30 639,80 259.022,6 107.538,00 1.330,78 75.813,00 2.445,50 2.790,40 1.240,00 22,50 0,50 12.568,90 18.722,50 1.810.372,30 472.664,70
2014 306.418,10 366.203,50 1.416,70 90.653,80 61.715,00 1.078,60 840,00 15.838,00 844.163,70
Sumber: Impor Beras Indonesia dalam BPS 2015
Sebagai negara agraris, sektor pertanian di Indonesia memegang peranan yang sangat penting dalam pembangunan ekonomi nasional. Dalam upaya membangun sektor pertanian di Indonesia, perlu adanya upaya untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil produksi pertanian di Indonesia. Untuk mencukupi
3
kebutuhan produksi nasional dan meningkatkan kesejahteraan petani sebagai produsen utama komoditas gabah dan beras adalah tujuan yang diharapkan dapat tercapai sebagai elemen pendukung terwujudnya perekonomian nasioanal yang baik. Upaya-upaya yang dapat dilakukan salah satunya adalah perbaikan pada proses distribusi untuk pengadaan beras dari petani. Pada saat panen raya jumlah gabah dan beras di petani melimpah, sehingga seringkali muncul permasalahan khususnya harga beras yang akan menurun. Untuk mengatur stabilitas harga beras di pasaran, pemerintah telah menetapkan kebijakan harga dasar gabah dan beras sebagai jaminan harga kepada petani agar tetap bertahan dalam menjalankan usahanya. Harga dasar ini diperlukan untuk menjaga harga pasar pada saat panen raya tetap stabil, agar petani ataupun produsen dapat menerima hasilnya sesuai dengan harga tersebut. Kebijakan pemerintah dalam menetapkan harga dasar pembelian tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) berupa penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Inpres Nomor 5 tahun 2015 berisi ketentuan kenaikan Harga Pembelian Pemerintah untuk Gabah Kering Panen (GKP) sebesar Rp.3.700,-/kg di tingkat petani (sebelumnya Rp. 3.300,-) dan Rp.3.750,-/kg di penggilingan, Gabah Kering Giling (GKG) sebesar Rp.4.600,-/kg di penggilingan (sebelumnya Rp.4.150,-), dan harga beras sebesar Rp.7.300,- (sebelumnya Rp.6.600,-) di gudang Perum Bulog (Anonim, 2015). Lembaga pemerintah yang ditugaskan untuk menjaga ketersedian dan stabilitas harga beras adalah Perusahaan Umum Badan Usaha Logistik (Bulog). Bulog adalah perusahaan umum milik negara yang bergerak di bidang logistik
4
pangan. Tugas publik Perum Bulog merupakan amanat dari Inpres No. 5 tahun 2015 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah, yang merupakan pengejawantahan intervensi pemerintah dalam perberasan nasional untuk memperkuat ketahanan pangan. Ketiga tugas publik Bulog tersebut saling terkait dan memperkuat satu sama lain sehingga dapat mewujudkan ketahanan pangan rumah tangga maupun nasional yang lebih kokoh. Ketiga tugas publik tersebut adalah pertama, melaksanakan kebijakan pembelian gabah/beras dalam negeri dengan ketentuan Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Kegiatan ini diwujudkan dalam bentuk pengadaan gabah dan beras dalam negeri oleh Perum Bulog. Tugas kedua, menyediakan dan menyalurkan beras bersubsidi bagi kelompok masyarakat berpendapatan rendah yang diwujudkan dalam pelaksanaan program Raskin. Sedangkan tugas ketiga, menyediakan dan menyalurkan beras untuk menjaga stabilitas harga beras, menanggulangi keadaan darurat, bencana, dan rawan pangan. Kegiatan ketiga dilaksanakan Perum Bulog dalam bentuk pengelolaan Cadangan Beras Pemerintah (CBP). Pengadaan (Procurement) merupakan kegiatan yang sangat penting yang dilakukan oleh Bulog. Untuk memenuhi persedian yang baik, Bulog melaksanakan fungsinya yaitu pengadaan beras dalam negeri dan pengadaan beras luar negeri (impor). Pengadaan dalam negeri yang dilakukan oleh Bulog diawali dengan rencana jumlah pengadaan tahunan atau yang disebut dengan prognosa. Prognosa ini dibuat oleh Bulog pusat dan dibreakdown ke Divre dan Subdivre Bulog yang tersebar di seluruh Indonesia.
5
Dalam melakukan kegiatan pengadaan, Bulog tidak bisa terlepas dari para pemasok. Manajemen rantai pasokan yang efektif menjadikan para pemasok sebagai “mitra” dalam strategi perusahaan untuk memenuhi pasar yang selalu berubah (Heizer & Render, 2005). Begitupula dengan petani dalam menyalurkan berasnya melalui pemasok menjadikan pemasok sebagai mitra dalam menjual berasnya. Manajemen rantai pasokan mencakup aktivitas untuk menentukan penyediaan transportasi, transfer uang secara kredit atau tunai, para pemasok, distributor, utang dan piutang usaha, pergudangan dan persediaan, pemenuhan pesanan serta berbagi informasi pelanggan, prediksi dan produksi (Heizer & Render, 2005). Sebagai pemasok, petani dituntut untuk bisa memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Bulog baik tentang harga, jumlah barang, kualitas dll. Oleh karena itu, seringkali petani merasa kesulitan untuk menjual berasnya secara langsung kepada Bulog dikarenakan persyaratan yang ada tersebut. Hal inilah yang menyebabkan rantai distribusi beras menjadi panjang. Secara umum alur pengadaan beras yang dilakukan oleh Bulog adalah seperti yang diperlihatkan dalam Gambar 1.1.
6
KANTOR PUSAT PERUM BULOG Prognosa/Divre DIVRE/SUBDIVRE Kontrak Pengadaan
UPGB
MITRA KERJA
SATGAS
Masing-masing saluran mengirimkan gabah dan beras ke gudang yang ditunjuk sesuai dengan jumlah yang disepakati Survey pemeriksaan kualitas dan kuantitas sebelum masuk gudang GUDANG Petugas Pemeriksa Kualitas
Sumber: www.bulog.co.id Gambar 1.1 Alur pengadaan beras oleh BULOG
Di dalam supply chain management salah satu kegiatan yang menjadi rangkaiannya adalah pengadaan (Procurement). Dalam kegiatan pengadaan tersebut tentu tidak terlepas dari pemasok utama yaitu petani. Keputusan petani untuk menjual gabah dan berasnya ke pihak manalah yang menjadi faktor penentu bagaimana rantai pasokan itu terjadi. Pembangunan
sektor
pertanian
dilaksanakan
untuk
mewujudkan
kesejahteraan petani dan swasembada pangan nasional, sehingga pemerintah melalui perum Bulog berkewajiban untuk menjamin ketersediaan pangan khususnya beras atau biasa disebut dengan Cadangan Beras Pemerintah (CBP). Dalam rangka membangun kesejahteraan petani dan mengurangi beban penderitaan mereka, kebijakan perberasan di Indonesia hendaknya tidak hanya dalam lingkup persoalan produksi beras.
7
Menurut Syahza (2003) disparitas antara harga gabah dan beras yang tinggi merupakan akibat dari panjangnya rantai distribusi komoditas pertanian. Keadaan ini akan menyebabkan biaya distribusi marjin pemasaran yang tinggi, sehingga ada bagian yang harus dikeluarkan sebagai keuntungan pedagang. Pada umumnya petani tidak terlibat dalam rantai pemasaran produk sehingga nilai tambah pengolahan dan perdagangan produk pertanian hanya dinikmati oleh pedagang. Hal ini cenderung memperkecil bagian yang diterima petani dan memperbesar biaya yang harus dibayarkan oleh konsumen. Gabah dan beras merupakan komoditas yang cukup penting bagi masyarakat sekitar karena pada tiap kegiatan tata niaga memberikan keuntungan bagi para pelakunya. Kegiatan pertanian padi tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat kendala-kendala yang berkaitan dengan produksi sampai dengan pemasaran pada produk pertanian padi sehingga tidak jarang petani mendapati kerugian karena harga yang diterima rendah, sedangkan yang mendapatkan keuntungan adalah aktor lain dalam tatanan rantai nilai. Petani selama ini hanya berperan sebagai price taker sementara pedagang yang menguasai pasar menjadi price maker, hal ini menunjukkan bahwa lemahnya posisi tawar petani (bargaining position). Fakta dilapangan berdasarkan servey pendahuluan memperlihatkan bahwa keterbatasan petani dalam menerima informasi mengenai harga dan pasar (asymetric information) sangatlah merugikan, sebab rantai pemasaran yang tidak dapat dipersingkat dan dimanfaatkan oleh pedagang untuk mencari keuntungan. Dengan keadaan seperti ini penting untuk
8
mengetahui rantai nilai dan aktivitas-aktivitas aktor yang terlibat dalam lembaga pemasaran gabah dan beras dari hulu sampai ke hilir. Indonesia memiliki sentra produksi padi yang tersebar di beberapa wilayah nusantara. Persebaran produksi padi, baik padi sawah dan padi ladang, di seluruh Indonesia menunjukkan terkonsentrasinya produksi padi hanya pada pulau tertentu. Pada tahun 2014 produksi padi Indonesia tercatat sebesar 70,85 juta ton Gabah Kering Giling (GKG), dan 36,66 juta ton diantaranya atau sekitar 51,75% dihasilkan di Pulau Jawa. Tingginya produksi padi di Pulau Jawa tersebut disebabkan oleh tingginya produktivitas dan luas panen dibandingkan pulau-pulau lainnya. D.I Yogyakarta merupakan wilayah penghasil padi tertinggi kelima dibawah Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Banten dengan jumlah produksi sebesar 946.224 ton pada tahun 2014. Kabupaten Bantul memiliki sumber daya lahan yang cukup baik yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan peningkatan produksi pertanian. Pemanfaatan potensi ini dapat dilaksanakan dengan optimal melalui keterlibatan masyarakat dan dunia usaha. Data D.I Yogyakarta Dalam Angka tahun 2014 menunjukkan bahwa, Bantul merupakan daerah dengan luas panen padi sawah tertinggi kedua setelah kabupaten sleman dengan luas panen mencapai 32.621 Ha, sedangkan luas Panen tertinggi dicapai oleh Kabupaten Sleman dengan luas panen mencapai 48.584 Ha. Luas panen padi sawah tiga daerah lainnya yaitu Kabupaten Kulonprogo, Kabupaten Gunung Kidul dan Kota Yogyakarta berturut-turut adalah 17.614 Ha, 15.563 Ha dan 165 Ha.
9
Meskipun Kabupaten Sleman merupakan kabupaten dengan luas panen terbesar, namun hasil panen lebih banyak terdistribusi kepada pihak swasta. Hal tersebut dapat dilihat berdasarkan serapan beras yang diterima oleh Bulog pada tahun 2013. Pada tahun 2013 kontrak beras Bulog divre DIY dari Kabupaten Kulon Progo sebesar 2.610 ton dengan realisasi 1.788 ton, Kabupaten Gunung Kidul sebesar 150 ton dengan realisasi 112 ton, Kabupaten Sleman sebesar 720 ton dengan realisasi 310 ton, dan Kabupaten Bantul sebesar 2.580 ton dengan realisasi 1762 ton (Anonim, 2016c). Artinya dengan luas panen tertinggi kedua di bawah Kabupaten Sleman, namun serapan beras dari Kabupaten Bantul jauh lebih tinggi. Oleh karena itu, Kabupaten Bantul menjadi lokasi yang dapat menjadi model bagi wilayah lain dalam implementasi jalur distribusi gabah dan beras. Sebagai daerah dengan luas panen yang cukup besar, seharusnya tata niaga beras di Kabupaten Bantul sudah terstruktur dengan baik, namun fakta di lapangan menunjukkan bahwa belum diketahui struktur alur distribusi gabah dan beras di Kabupaten Bantul. Akibat belum diketahuinya struktur distribusi gabah dan beras berpengaruh pada hasil yang dinikmati oleh petani itu sendiri, sehingga diperlukan adanya studi tentang rantai nilai gabah dan beras di Kabupaten Bantul. Pendekatan rantai nilai membantu memahami bagaimana membentuk kembali rantai nilai yang efisien, melakukan identifikasi siapa aktor yang mendapatkan keuntungan dari rangkaian aktivitas rantai nilai distribusi, mendorong kebijakan terkait peningkatan nilai tambah dan kesejahteraan petani, serta memperbaiki partisipasi petani kecil pada komoditas gabah dan beras di Kabupaten Bantul D.I Yogyakarta.
10
Penelitian ini dilakukan untuk dapat memetakan elemen-elemen dan rantai nilai dalam rantai pasokan gabah dan beras, mulai dari petani hingga beras sampai konsumen akhir, sehingga pemerintah dapat mengoptimalkan fungsinya dalam melaksanakan kegiatan tata niaga beras. Berdasarkan kondisi diatas penelitian untuk menganalisis Rantai Nilai Pada Jaringan Distribusi Gabah Dan Beras Di Kabupaten Bantul D.I Yogyakarta dipandang perlu untuk dilakukan. 1.2 Rumusan Masalah Berangkat dari latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang diangkat oleh peneliti adalah: 1. Belum teridentifikasinya pelaku yang terlibat dalam rantai nilai gabah dan beras di Kabupaten Bantul, D.I Yogyakarta 2. Pola distribusi dalam tata niaga gabah dan beras yang belum terstruktur di Kabupaten Bantul, D.I Yogyakarta. 3. Bagaimana kelayakan usaha tani padi sawah di Kabupaten Bantul, D.I Yogyakarta. 4. Belum adanya strategi untuk menguatkan rantai nilai komoditas gabah dan beras secara umum dan di Kabupaten Bantul, D.I Yogyakarta secara khusus. 1.3 Batasan Masalah Batasan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Penelitian dilakukan terhadap elemen-elemen dalam jaringan distribusi gabah dan beras di Kabupaten Bantul D.I Yogyakarta. 2. Jenis biaya yang termasuk dalam analisis kuantitatif adalah biaya pembelian, biaya produksi, biaya pemasaran.
11
3. Analisis biaya hanya dilakukan pada jenis beras IR-64 4. Analisis kelayakan usaha tani dilakukan dengan menggunakan metode BEP Volume, BEP Produksi, Benefit Cost Ratio (BCR) dan Return of Investment (ROI) 1.4 Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi pola rantai nilai jaringan distribusi gabah dan beras di Kabupaten Bantul, D.I Yogyakarta. 2. Menganalisis rantai nilai jaringan distribusi gabah dan beras di Kabupaten Bantul, D.I Yogyakarta. 3. Menentukan strategi upaya penguatan usaha tani dalam mengatasi permasalahan berkaitan dengan rantai nilai komoditi Gabah dan Beras secara umum dan di Kabupaten Bantul, D.I Yogyakarta secara khusus. 1.5 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak, antara lain: 1. Bagi Peneliti Diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai kondisi rantai nilai gabah dan beras di daerah penelitian serta menganalisis lebih lanjut mengenai struktur pemasaran dan sejauh mana peran pelaku dalam rantai nilai. 2. Bagi Pemerintah
12
Sebagai bahan pertimbangan atau acuan bagi pemerintah dalam membuat kebijakan-kebijakan dalam penguatan rantai nilai terutama pada kelembagaan yang terkait supaya rantai menjadi lebih efisien. 3. Bagi Ilmu Pengetahuan Sebagai referensi bagi penelitian selanjutnya mengenai prospek komoditi pertanian gabah dan beras dan penguatan peran pelaku dalam rantai nilai.
13