BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Indonesia sebagai Negara dengan beraneka ragam budaya dan suku tentunya memiliki beraneka ragam adat istiadat dan warisan yang sifatnya turun temurun. Banyaknya adat –istiadat dan budaya ini tentunya menimbulkan berbagai masalah dalam pelaksanaan hukum yang berlaku bagi tiap suku atau etnis. Diantara masalah yang ada dalam tatanan kehidupan masyarakat khususnya di Negara Republik Indonesia adalah mengenai “Hukum Waris”. Adanya pemisahan penduduk dengan golongan-golongan penduduk yang didasarkan pada etnis atau ras dalam Pasal 163 IS berakibat pada bedanya sistem hukum yang diberlakukan terhadap setiap golongan tersebut. Tiga golongan penduduk tersebut tunduk pada hukum perdata yang berbeda-beda sebagaimana diatur dalam Pasal 131 IS. Dalam rangka membangun masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka untuk menyusun hukum nasional diperlukan adanya konsepsi-konsepsi dan asas-asas hukum yang berasal dari hukum adat. Keanekaragaman dan perbedaan ini merupakan suatu asset yang berharga bagi bangsa Indonesia yang bisa menjadi modal dalam rangka membangun bangsa ini menuju bangsa yang besar dan masyarakat sejahtera. Perkembangan pluralisme hukum dalam gerakan perubahan hukum muncul melalui peggolongan terhadap masyarakat adat. Dalam konteks ini, pluralisme
1
hukum dipakai untuk membela tanah-tanah masyarakat yang diambil paksa oleh negara atau pelaku swasta. Tiap-tiap hukum merupakan suatu sistem yaitu peraturan-peraturannya merupakan suatu kebulatan berdasarkan atas kesatuan alam pikiran. Begitu pula hukum adat, sistem hukum adat bersendi atas dasar alam pikiran bangsa Indonesia, yang tidak sama dengan alam pikiran yang menguasai sistem hukum barat. Untuk dapat sadar akan sistem hukum adat, orang harus menyelami dasar-dasar alam pikiran yang hidup di dalam masyarakat Indonesia.1 Perubahan atau perkembangan akan dimungkinkan oleh adanya modernisasi dalam cara berfikir dari anggota masyarakat adat dan para penegak hukum khususnya hakim yang akan menerapkan hukum dalam kasus-kasus kongkrit seperti yang dikemukakan oleh “Koesnoe” bahwa hukum adat pada prinsipnya adalah hukum rakyat. “Sebagai hukum rakyat yang mengatur kehidupan yang terus-menerus berubah dan berkembang pembuatannya adalah rakyat sendiri, oleh karena itu Hukum Adat mengalami perubahan yang terus-menerus melalui keputusan-keputusan atau penyelesaian-penyelesaian yang dikeluarkan oleh masyarakat sebagai hasil temu rasa dan temu pikiran melalui permusyawaratan. Dalam hal ini setiap perkembangan yang terjadi selalu diusahakan mendapat tempatnya di dalam tata hukum adat. Hal-hal lama yang tidak lagi dapat dipergunakan secara mencolok diubah atau ditinggalkan”.2 Pluralisme hukum (legal pluralism) kerap diartikan sebagai keragaman hukum. Menurut John Griffiths, pluralisme hukum adalah hadirnya lebih dari satu aturan hukum dalam sebuah lingkungan sosial 3 . Griffiths juga menyatakan sebuah pruralisme dapat disebut lemah, bila terjadi suatu jaminan atas hukum yang diberikan oleh Negara, maka kondisi seperti ini disebut pruralisme hukum yang lemah4. Pada dasarnya, pluralisme hukum melancarkan kritik terhadap apa yang disebut John Griffiths sebagai ideologi sentralisme hukum (legal centralism). 1 Soepomo, Bab-bab tentang Hukum Adat , PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 2000,hlm.23 2 Koesnoe, Catatan-catatan terhadap Hukum Adat Dewasa Ini, Airlangga University Press, 1979, hlm.12 3 John Griffith, What IsLegal Pruralism?, artikel pada Journal Of Legal Pruralism, number 24, 1986, p. 1 4 John Griffith, Memahami Pluralisme Hukum, Sebuah Deskripsi Konseptual, dalam Tim HuMa, Pluralisme Hukum: Sebuah Pendekatan Interdisiplin. Jakarta: Ford Foundation – HuMA, 2005, hlm. 74-75.
2
Pluralisme terjadi akibat dari hal yang telah diuraikan diatas juga menurut hukum perdata diakibatkan oleh karena politik hukum Pemerintah Kolonial Belanda yang menerapkan Pasal 131 Indische Staatsregeling (IS) yang pokok isinya sebagai berikut 5: 1. Untuk golongan bangsa Indonesia asli dan Timur Asing (Arab, Tionghoa dan sebagainya),
jika ternyata “kebutuhan kemasyarakatan” mereka menghendakinya, dapatlah peraturanperaturan untuk bangsa Eropa dinyatakan berlaku bagi mereka, baik seutuhnya maupun dengan perubahan-perubahan dan juga diperbolehkan membuat suatu peraturan baru bersama, untuk selainnya harus diindahkan aturan-aturan yang berlaku di kalangan mereka, dan boleh diadakan penyimpangan jika diminta oleh kepentingan umum atau kebutuhan kemasyarakatan mereka (ayat 2 pasal 131 IS). 2. Untuk golongan bangsa Eropa dianut (dicontoh) perundang-undangan yang berlaku di
Negeri Belanda (asas konkordansi). 3. Sebelum hukum untuk bangsa Indonesia ditulis di dalam undang-undang, bagi mereka itu
akan tetap berlaku hukum yang sekarang berlaku bagi mereka, yaitu “Hukum Adat” (ayat 6 pasal 131 IS). 4. Hukum Perdata dan dagang (begitu pula Hukum Perdata beserta Hukum Acara Perdata
dan Pidana) harus diletakkan dalam Kitab-kitab Undang-undang, yaitu dikodisir. 5. Orang Indonesia asli (bukan keturunan) dan orang Timur Asing, sepanjang mereka belum
ditundukkan di bawah suatu peraturan bersama dengan bangsa Eropa, diperbolehkan “menundukkan diri” (“onderwerpen”) pada hukum yang berlaku untuk bangsa Eropa. Penundukan ini boleh dilakukan baik secara umum maupun secara hanya mengenai suatu perbuatan tertentu saja (ayat 4 pasal 131 IS ).
5 http://eprints.undip.ac.id/15954/1/Willy_Yuberto_Andrisma.pdf, diakses pada tanggal 18 Januari 2016, jam 19.20
3
Politik hukum terlihat jelas dalam pasal 131 IS tersebut, penduduk Indonesia dibagi dalam 3 golongan, yaitu Golongan Eropa dan yang dipersamakan dengan mereka, Golongan Timur Asing Tionghoa dan non Tionghoa, dan Golongan Bumi Putera dan masing-masing penduduk mempunyai Hukum Perdata sendiri-sendiri, pembagian ini berlaku sampai sekarang. Masyarakat Tionghoa adalah salah satu golongan penduduk yang menurut pasal 131 IS diberlakukan Hukum Perdata Barat terhadapnya (BW). Menurut Perpustakaan Universitas Ohio, jumlah suku Tionghoa di Indonesia mencapai 7.310.000 jiwa. Jumlah ini merupakan yang terbesar di luar Tiongkok 6 , namun dalam pelaksnaannya terjadi perbenturan bagi masyarakat Tionghoa tersebut. Hal ini berkaitan sistem kekerabatan, nilai-nilai budaya serta kepercayaan orang Tionghoa berbeda dengan golongan Eropa. Sistem kekerabatan menurut KitabUndang-Undang Hukum Perdata (BW) adalah bilateral/parental. Dalam kaitan dengan itu, masing-masing komunitas bangsa, khususnya etnis Tionghoa, dituntut untuk melakukan peleburan dan turut berpartisipasi aktif dalam urusan-urusan bersama kebangsaan. Partisipasi ini tidak hanya terbatas pada sektor ekonomi, melainkan juga pada segi-segi budaya, pendidikan, politik, hukum dan pergaulan lintas-kultural, bergotong-royong bersama berbagai komponen bangsa lainnya dalam rangka membangun masa depan Indonesia yang lebih baik. Seiring dengan itu, kesenjangan ekonomi yang seringkali menyebabkan permasalahan dalam kegiatan sosial bangsa harus mulai dihapuskan. Pembedaan secara etnis dan isu isu SARA harus mulai dihilangkan. Affirmative action bisa saja diberlakukan dengan catatan tidak
6 http://id.wikipedia.org/wiki/Tionghoa-Indonesia, diakses pada tanggal 7 Desember 2015, jam 21.40
4
berlandaskan pada perbedaan kelompok etnis atau agama, melainkan bagi siapa saja yang mengalami nasib kurang beruntung. 7 Munculnya era reformasi telah membangun kembali integrasi masyarakat Tionghoa di Indonesia. Hal itu ditandai oleh dikeluarkannya Undang-Undang Kewarganegaraan Republik Indonesia No. 12/2006. Undang-udang ini sangat monumental karena secara legal formal, seperti tertuang dalam pasal 4, mengakui hak kewarganegaraan bagi siapa saja yang lahir di Indonesia tanpa perlu surat bukti kewarganegaraan. Dengan Undang-undang ini, orang-orang Indonesia keturunan Tionghoa secara legal formal bukan lagi warga negara kelas dua, yang diperlakukan sebagai tamu yang dicurigai di rumah kebangsaan. Tinggal masalahnya, bagaimana mendekatkan pengakuan legal ini dengan pengakuan aktual dalam realitas kehidupan sehari hari 8 . Sistem kekerabatan masyarakat Tionghoa di Indonesia sudah semakin meluas dan terbuka terhadap kehidupan lingkungan tempat tinggalnya. Pelaksanaan hukum yang berlaku bagi kaum Tionghoa Indonesia diatur secara formal dengan menggunakan Hukum Perdata Barat. Mengenai pewarisan, kekerabatan golongan Tionghoa adalah patrilinial. Dalam kekerabatan yang demikian anak laki-laki mempunyai kedudukan yang sangat penting dibandingkan anak perempuan, sebab anak laki-laki merupakan garis penerus. Dengan berjalannya waktu, perubahan memang diperlukan karena manusia selalu mengadakan interaksi dengan sesamanya dan karena adanya gerak serta tujuan.9
7 Kymlicka, Three Forms of Group-Differentiated Citizenship in Canada, dalam Democracy and Difference: Contesting the Boundaries of the Political, ed. S. Benhabib, Princeton University Press, New Jersey, 1996. 8 Eddie Lembong, Seminar Reposisi Peranan Tionghoa Indonesia Bagi Pembangunan Negara Dalam Era Reformasi Dan Otonomi Daerah, Jakarta. 2002. http://pintardanjenius.blogspot.co.id/2013/05/makalah-latar-belakangorang-tionghoa.html 9 ibid
5
Dalam hukum adat waris, dalam mewaris berdasarkan hukum adat mempunyai peluang untuk berubah seperti dikemukakan Astiti ada beberapa faktor penunjang untuk terjadinya perubahan tersebut antara lain 10: 1. Telah adanya pemikiran diantara warga masyarakat termasuk pemuka masyarakat untuk melakukan perubahan, terhadap hak wanita dalam mewaris. 2. Tumbuhnya kesadaran dalam masyarakat untuk lebih memperhatikan wanita. 3. Adanya perubahan rasa keadilan terhadap wanita yang telah mengetuk hati nurani beberapa orang penegak hukum dalam memberikan pertimbangan hukum dalam kasuskasus konkrit yang terkait dengan hak-hak mewaris wanita. Hukum adat merupakan salah satu sumber hukum yang penting untuk memperoleh bahan-bahan bagi pembangunan Hukum Nasional yang menuju kearah unifikasi hukum terutama akan dilaksanakan melalui pembentukan perundang-undangan. Bagi bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku dengan adat dan istiadat yang berbeda-beda, mempunyai corak yang berbeda-beda pula, oleh karena itu negara Indonesia sebagai negara kesatuan mempunyai wilayah hukum adat yang berbeda sesuai dengan alam pikirannya masing-masing.11 Membahas mengenai hukum adat di Jawa Tengah, khususnya Kota Surakarta maka tidak akan terlepas faktor penduduknya yang beraneka ragam suku bangsa diantaranya warga Tionghoa atau warga negara Indonesia keturunan. Adanya aturan hukum yang berlaku khusus menimbulkan keberagaman pelaksanaan hukum, baik secara adat maupun secara undangundang yang berlaku. Keberagaman ini juga terjadi dalam bidang Hukum Pewarisan pada masyarakat Tionghoa di Kota Surakarta, meskipun sudah ditentukan dalam pembagian waris
10 Astiti, Hak-hak Wanita Bali dalam Hukum Adat Bali, Hukum dan Kemajemukan Indonesia, 2000, hlm. 318 11 Koesnoe, Loc.cit
6
diberlakukan KUH Perdata seacara hukum formal, masyarakat Tionghoa di Surakarta masih ada juga yang menggunakan hukum adat dalam pembagian harta warisannya. Dalam perkembangannya, adat Tionghoa dalam masyarakat Tionghoa di kota Surakarta juga dipengaruhi pula oleh adat setempat yaitu adat Jawa, terlebih lagi karena kota Surakarta merupakan salah satu pusat kebudayaan Jawa, sehingga sistem kekerabatan masyarakat Tionghoa di Jawa terutama di kota Surakarta menjadi menganut garis keturunan bilateral/parental, kedudukan anak laki-laki dan anak perempuan adalah sama, akibatnya kedudukan anak laki- laki tidak sedominan dulu sehingga jika hanya punya anak perempuan pun tidak menjadi masalah dan tidak perlu mengangkat anak laki-laki sebagai penerus keluarga. Jika tidak punya anak maka bebas mengangkat anak laki-laki maupun anak perempuan12. Perkembangan jaman menyebabkan muncul berbagai perubahan bagi masyarakat etnis Tionghoa, baik dalam sistem kekerabatan, adat istiadat, budaya dan kepercayaannya. Hal ini merupakan suatu bentuk kemajuan yang memunculkan adanya apresiasi atas kesamaan hak dan kewajiban antara pria dan wanita dalam masyarakat etnis Tionghoa khususnya di Surakarta. Perubahan ini membawa kaum wanita etnis Tionghoa menjadi lebih dihargai dalam kehidupan bermasyarakatnya. Wanita Tionghoa sebagai golongan yang dipandang sebelah mata dalam etnisnya, memunculkan banyak dilematika tersendiri dalam pelaksanaan pewarisannya. Sistem patrilineal dalam hukum waris adat menyebabkan kaum wanita etnis Tionghoa mendapatkan bagian waris tidak adil sementara dalam peraturan hukum formal Indonesia bagi kaum Tionghoa yaitu hukum waris barat yang mendasarkan pada Kitab undang-undang hukum Perdata menyatakan memberikan bagian waris sama rata terhadap pria maupun wanita.
12 http://core.ac.uk/download/files/379/11717080.pdf , diakses pada tanggal 7 Desember 2015, jam 20.47
7
Perbedaan pelaksanaan dalam pembagian warisan bagi kaum wanita etnis Tionghoa ini memunculkan permasalahan yang cukup menarik untuk diteliti. Hal inilah yang mendorong peneliti untuk meneliti tentang bagaimana pewarisan hukum bagi kaum wanita etnis Tionghoa itu sendiri. Memperhatikan uraian tersebut di atas, penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mendiskripsikan dan menjelaskan pelaksanaan pewarisan bagi wanita Warga Negara Indonesia Keturunan Tionghoa di Kota Surakarta, maka penulis akan menguraikan permasalahan dan persoalan kedalam suatu penelitian yang berjudul: ” PRAKTEK PEMBAGIAN HAK WARIS PADA ETNIS TIONGHOA KHUSUSNYA WANITA DI SURAKARTA”
B. Perumusan Masalah Seperti yang telah diuraikan diatas, sistem pewarisan yang ada di Indonesia didasarkan pada hukum adat, hukum waris islam, dan hukum waris berdasarkan perdata Barat. Terkait dengan masyarakat Tionghoa di Indonesia, cukup menarik untuk diteliti bagaimana kedudukan kaum Wanita Etnis Tionghoa dalam keluarga dan bagaimana pembagian waris dilakukan terhadap Wanita Etnis Tionghoa di Surakarta mengingat adanya beberapa hukum yang dapat diberlakukan dalam pelaksanaanya. Berdasarkan penjabaran diatas dapat kita angkat permasalahan yang ada, yaitu: 1. Bagaimana kedudukan wanita dalam keluarga pada masyarakat Tionghoa
di
Surakarta? 2. Bagaimana praktek pembagian waris pada etnis Tionghoa khususnya wanita di Surakarta?
8
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Obyektif Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kedudukan wanita etnis Tionghoa di Surakarta dalam suatu keluarga dan mengetahui bagaimana praktek pembagian waris itu sendiri terhadap wanita etnis Tionghoa tersebut di Surakarta.
2. Tujuan Subyektif Penelitian ini bertujuan untuk penyusunan Tesis demi memenuhi syarat untuk memperoleh derajat Magister Program Studi Kenotariatan Universitas Sebelas Maret Surakarta
D. Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran tetang kedudukan wanita etnis Tionghoa di Surakarta, khusunya mengenai kedudukan wanita etnis Tionghoa di Surakarta dalam keluarga dan mengetahui bagaimana pelaksanaan pembagian waris bagi wanita etnis Tionghoa di Surakarta ini. b. Manfaat Praktis Penelitian ini secara praktis diharapkan dapat dijadikan sebagai: a. Bahan kajian untuk mengetahui pelaksanaan proses waris bagi wanita etnis Tionghoa di Surakarta.
9
b. Bahan masukan untuk membuat aturan atau undang-undang yang sifatnya bisa lebih adil untuk setiap pihak. c. Bahan kajian lebih lanjut bagi pihak yang ingin melakukan penelitian lanjutan.
E. Penelitian Yang Relevan Berdasarkan penelusuran kepustakaan, terdapat beberapa penelitian tentang Pembagian Waris Adat Tionghoa, antara lain: 1. Penelitian Tesis Oleh Willy Yuberto Andrisma, dengan Judul Penelitian, “Pembagian Harta Waris Dalam Adat Tionghoa Di Kecamatan Ilir Timur I Kota Palembang Provinsi Sumatera Selatan”. Rumusan Masalah: a. Bagaimana sistem kekerabatan dan perkawinan pada masyarakat Tionghoa di Kecamatan
Ilir Timur I, Kota Palembang, Provinsi Sumatera Selatan ? b. Bagaimana pelaksanaan pembagian harta warisan pada masyarakat Tionghoa di
Kecamatan Ilir Timur I, Kota Palembang, Provinsi Sumatera Selatan tersebut ? c. Bagaimana cara penyelesaian sengketa pewarisan pada masyarakat Tionghoa di
Kecamatan Ilir Timur I, Kota Palembang,Provinsi Sumatera Selatan. 2. Penelitian Tesis Oleh Febbe Joesiaga, dengan Judul Penelitian, “Pelaksanaan Pembagian Waris Secara Adat Pada Masyarakat Tionghoa Surakarta”. Rumusan masalahnya adalah: a. Bagaimana pelaksanaan pembagian harta warisan secara adat pada masyarakat Tionghoa
di Kota Surakarta?
10
b. Bagaimana cara penyelesaian sengketa pewarisan secara adat pada masyarakat Tionghoa
di Kota Surakarta? 3. Penelitian Tesis Oleh
Yosy Meylani, dengan Judul Penelitian, “Pembagian
Harta warisan Berdasarkan Hukum adat Tionghoa Dikecamatan Parakan Kabupaten Temanggung Provinsi Jawa Tengah”. Rumusan masalahnya adalah tentang bagaimana sistem perkawinan pada masyarakat Tionghoa dan juga bagaimana pembagian harta warisan termasuk penyelesaian jika terjadi sengketa pada adat Tionghoa khususnya di Kecamatan Parakan, Kabupaten Temanggung, Provinsi Jawa Tengah. Penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah mengenai pembagian waris adat bagi wanita etnis Tionghoa khususnya di Surakarta, bagaimana pelaksanaan pembagian waris Tionghoa itu dilakukan khususnya terhadap kaum wanita etnis Tionghoa lah yang menjadi inti penelitian dari penulis, hal inilah juga yang membedakan penelitian ini dengan penelitian yang relevan tersebut. Persamaannya dengan penelitian-penelitian yang relevan lainnya adalah sama-sama meneliti tentang pewarisan dalam adat Tionghoa.
11