1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Allah SWT telah menetapkan aturan main bagi kehidupan manusia di atas bumi ini. Aturan ini dituangkan dalam bentuk titah atau kehendak Allah SWT tentang perbuatan yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh manusia. Aturan Allah SWT tentang tingkah laku manusia secara sederhana adalah syariah atau hukum syara‟ yang sekarang ini disebut hukum Islam. Dalam hukum Islam pun juga diatur mengenai waris Islam yang di dalamnya membahas mengenai mafqud atau orang hilang, dimasyarakat kita sudah banyak terjadi hal tersebut. Dar`el-Mashreq sebagaimana dikutip Abdul Manaf
dalam karya tulisnya
menjelaskan bahwa kata "mafqud" berasal dari kata kerja faqoda, yafqidu, dan mashdarnya fiqdanan, fuqdanan, fuqudan, yang berarti ghoba anhu wa 'adamuhu yang artinya telah hilang atau tiada, secara lugowiyyah, mafqud berarti hilang atau lenyap 1 . Sesuatu dikatakan hilang jika ia telah tiada, dalam pengertian hukum waris, mafqud ialah orang yang hilang dan telah terputus informasi tentang dirinya sehingga tidak diketahui lagi tentang keadaan yang bersangkutan, apakah dia masih hidup atau sudah wafat. Muhammad Toha Abul 'Ula Kholifah mengatakan bahwa mafqud adalah orang yang hilang dan telah terputus informasi
1
Abdul Manaf, Yuridiksi Peradilan Agama dalam Kewarisan Mafqud, Hakim Pengadilan Tinggi Agama www.badilag.net, diakses tanggal 28 Oktober 2011, 07:20.
2
tentang dirinya dan tidak diketahui lagi tempat tinggalnya secara pasti sehingga tidak dapat dipastikan apakah ia masih hidup atau sudah wafat2. Dengan demikian, mafqud berarti orang yang hilang. Orang yang hilang dari negerinya dalam waktu yang cukup lama dan tidak diketahui lagi keberadaannya apakah ia masih hidup atau sudah wafat. Dalam menetapkan status bagi mafqud (apakah ia masih hidup atau tidak), para ulama fikih cenderung memandangnya dari segi positif, yaitu dengan menganggap orang yang hilang itu masih hidup, sampai dapat dibuktikan dengan bukti-bukti bahwa ia telah wafat. Sikap yang diambil ulama fikih ini berdasarkan kaidah istishab yaitu menetapkan hukum yang berlaku sejak semula, sampai ada dalil yang menunjukan hukum lain. Apabila mafqud itu masih hidup dan kembali kepada keluarganya, maka pembagian warisan tersebut diberikan kepadanya. Akan tetapi, apabila ternyata ia telah wafat, yang dibuktikan dengan alat bukti yang meyakinkan atau dinyatakan wafat oleh hakim, maka bagian warisnya dikembalikan kepada ahli waris lain yang berhak. Menurut ulama Mazhab Hanafi, mafqud tidak mendapatkan pembagian warisan dari keluarganya yang wafat, kecuali apabila ternyata mafqud tersebut masih hidup atau dinyatakan hidup oleh hakim. Alasan mereka, orang yang berhak mendapatkan warisan itu adalah orang yang masih hidup, sedangkan mafqud belum bisa dibuktikan apakah ia masih hidup atau sudah wafat. Oleh 2
Ibid.
3
sebab itu, menurut mereka apabila ayah mafqud wafat, maka pembagian warisan mafqud hukumnya mauquf (ditangguhkan) sampai keberadaannya diketahui secara meyakinkan3. Menurut Muhammad Abul ‟Ula Kholifah sebagaimana yang dikutip oleh Abdul Manaf mengatakan bahwa berkaitan dengan kewarisan, mafqud itu mempunyai dua sisi, yaitu pertama, dari sisi harta pribadinya, dan kedua dari sisi harta orang lain. Dari sisi harta pribadinya ia dianggap hidup dan oleh karena itu harta pribadinya belum bisa diwarisi oleh ahli warisnya sampai ada kejelasan status mafqud bersangkutan, apakah ia masih hidup atau sudah wafat, sedangkan dari sisi harta orang lain, dia dianggap telah wafat sehingga dengan demikian dia tidak lagi sebagai ahli waris4. Penentuan wafatnya mafqud harus berdasarkan pada alat bukti yang jelas dan dengan alat bukti itu diduga keras bahwa mafqud tersebut telah wafat. Caranya adalah dengan memperhatikan teman-teman seumur atau segenerasi dengan mafqud bersangkutan. Apabila teman-teman seumur atau segenarasi mafqud itu tidak ada lagi yang hidup, maka hakim boleh menetapkan bahwa mafqud dimaksud telah wafat. Bila harta mafqud telah dibagikan kepada ahli warisnya, kemudian ternyata bahwa mafqud bersangkutan masih hidup dan kembali ke daerahnya, maka harta yang sudah dibagikan tersebut, sekiranya masih ada yang tersisa di tangan ahli waris yang telah menerimanya, dikembalikan oleh ahli 3 4
Factur Rahman, 1981, Ilmu Waris, Al-Maarif, Bandung, hlm 506. Abdul Manaf, Yuridiksi Pengadilan Agama dalam Kewarisan Mafqud, www.badilag.net, diakses tanggal 28 Oktober 2011, 07.20.
4
warisnya itu kepada mafqud dimaksud. Jika harta itu telah habis, maka mafqud tidak dapat menuntut ahli waris yang menerima warisan tersebut untuk mengembalikannya. Masalah dari mafqud bukan hanya masalah kewarisan saja namun terdapat juga masalah status istri yang ditinggal mafqud oleh suaminya. Untuk mencapai kepastian hukum dalam masalah ini, telah terjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama mengenai apa yang harus dilakukan terhadap hartanya dan apa yang dilakukan oleh istrinya. Mengenai hal tersebut ada empat alternatif: 1. Ia dianggap masih hidup, baik ditinjau dari segi hartanya maupun dari segi istrinya. Dengan demikian, istrinya masih tetap sebagai istrinya dan hartanya masih tetap sebagai miliknya sampai ada berita mengenai mati atau hidupnya. 2. Ia dianggap sudah mati, baik ditinjau dari segi hartanya maupun dari segi istrinya. Alternatif ini memperhatikan nasib istri dan menghilangkan kemadaratan terhadapnya sesudah lewat waktu yang telah ditentukan menurut mereka, istri itu keluar dari ikatan perkawinannya dan hartanya dibagikan kepada ahli warisnya. 3. Ia dianggap masih hidup mengenai hartanya dan sudah mati mengenai istrinya. Alternatif ini hanya mementingkan nasib istrinya dan tidak ada alasan untuk menganggap mati mafqud berkaitan dengan hartanya. 4. Ia dianggap masih hidup mengenai istrinya dan sudah mati mengenai hartanya. Alternatif ini berlawanan dengan praktek syariah yakni menahan dengan baik dan menolak kemadaratan terhadap istri, sedang alternatif ini
5
lebih banyak memperhatikan segi-segi harta dari pada memperhatikan segi istri dan menurut pandangan syara urusan harta adalah lebih ringan dari urusan istri. Berdasarkan uraian diatas yang dikemukakan mengenai ketetapan pasti untuk menentukan hidup atau matinya si mafqud dan bagaimana dasar pertimbangan hakim Pengadilan Agama apabila masalah mafqud diserahkan kepada kebijaksanaan hakim mengenai mafqud, maka penulis bermaksud menulis tesis dengan judul : “ANALISIS TERHADAP PENETAPAN PENGADILAN AGAMA MENGENAI MAFQUD-NYA SESEORANG”. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka untuk memudahkan penulis melakukan penelitian dan mengumpulkan data-data yang diperlukan, maka penulis merumuskan masalah yang akan diteliti sebagai berikut : 1. Bagaimana pengaturan hukum terkait mafqud-nya seseorang di Indonesia? 2.Bagaimana dasar pertimbangan hakim Pengadilan Agama terkait mafqud-nya seseorang di Pengadilan Agama? C. Keaslian Penelitian Penelusuran penulis pada kepustakaan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta tidak ditemukan kesamaan judul, tetapi kemiripan bahasan yaitu pada Skripsi yang berjudul “Penetapan Status Ahli Waris Mafqud Dalam Proses Pembagian harta Warisan (Studi Penetapan Pengadilan Agama Bantul Tahun 2003-2004)”, yang ditulis oleh Martini, dengan rumusan masalah,
6
Bagaimana pertimbangan hakim Pengadilan Agama Bantul dalam menetapkan status ahli waris yang mafqud dan Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap pertimbangan dan penetapan tersebut. Hasil yang dicapai dalam skripsi tersebut adalah penyelesaian perkara penetapan status ahli waris mafqud dalam proses pembagian harta warisan, dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: pertama, hakim menilai benar tidaknya fakta yang diajukan oleh pemohon bahwa si mafqud telah pergi meninggalkan tempat tinggalnya selama beberapa tahun, kemudian tidak pernah memberi kabar berita, sehingga kemudian tidak kembali lagi. Disamping itu, hakim juga memperhatikan alat-alat bukti yang diajukan oleh pemohon. Dalam tahap ini merupakan tugas hakim dalam mengkonstatir. Kedua, mengingat persoalan mafqud tidak diatur dalam peraturan-peraturan yang berlaku, namun hakim juga memandang bahwa persoalan mafqud merupakan persoalan yang membutuhkan kepastian hukum yang berkenaan dengan perginya seseorang, sehingga dalam rangka mengisi kekosongan hukum, hakim menciptakan hukum baru sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dalam tahap ini merupakan tugas hakim dalam mengkualifisir. Ketiga, dengan melihat bukti-bukti yang telah diajukan oleh pemohon, dan dengan mempertimbangkan bahwa si mafqud telah dipanggil secara sah dan patut namun tidak datang dan tidak mewakilkan pada orang lain, serta dengan melihat situasi kepergian si mafqud, maka hakim menetapkan bahwa ahli waris mafqud tersebut dalam keadaan meninggal dunia secara hukum (mati hukmi), kemudian dengan memperhatikan situasi kepergian si mafqud dan usianya yang telah melewati usia rata-rata masyarakat Yogyakarta,
7
maka ahli waris mafqud juga dihukumi sebagai orang yang mati hakiky. Ini merupakan tugas hakim dalam mengkostituir terhadap persoalan yang ada, yang sangat membutuhkan adanya kepastian hukum. Berdasarkan penelitian sebelumnya terdapat perbedaan dengan apa yang penulis buat yang berjudul “Analisis Terhadap Penetapan Pengadilan Agama Mengenai Mafqud-nya Seseorang”, dalam penulisan ini penulis meneliti tentang pengaturan hukum terkait dengan mafqud-nya seseorang di Indonesia. Jadi penelitian ini benar-benar asli dan tidak ada kesamaan dengan penelitian sebelumnya. C. Tujuan Penelitian Atas dasar masalah yang diidentifikasi diatas maka penelitian ini berfungsi untuk mengetahui: 1. Pengaturan hukum terkait mafqud-nya seseorang di Indonesia 2.
Dasar pertimbangan hakim Pengadilan Agama terkait mafqud-nya seseorang di pengadilan Agama.
D. Manfaat Penelitian 1. Kegunaan Teoritis Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan pengembangan ilmu pengetahuan di bidang Hukum Perdata khususnya Hukum Islam mengenai bagaimana cara menetapkan mafqud-nya seseorang di Pengadilan Agama.
8
2. Kegunaan Praktis Dengan penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada para ahli hukum Islam dalam menetapkan mafqud-nya seseorang apabila ada permohonan mengenai mafqud salah satu anggota keluarga mereka