BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Sebagai negara maritim, Indonesia memiliki wilayah perairan lebih luas daripada wilayah daratannya. Indonesia memiliki wilayah perairan seluas 3.257.483 km2 dan wilayah daratan seluas 1.922.570 km2 (BIG). Wilayah perairan Indonesia meliputi semua wilayah perairan seperti sungai, rawa, danau, teluk, selat, dan laut yang menghubungkan pulau-pulau di Indonesia. Sungai memiliki manfaat sebagai sumber air minum, saluran pembuangan air hujan dan limbah air, serta utamanya untuk irigasi pertanian. Kondisi berbeda dialami Sungai Porong yang tidak dapat memberikan manfaat secara optimal sejak semburan lumpur lapindo. Semburan lumpur lapindo pertama kali muncul pada tanggal 29 Mei 2006 di area persawahan Desa Siring, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Jarak titik semburan sekitar 150 meter dari arah Barat Daya sumur Banjar Panji-1 milik PT. Lapindo Brantas. Semburan lumpur dari sumur pengeboran Banjar Panji-I meningkat dari 100.000 m3/hari sampai 126.000 m3/hari (BPLS, 2008), sehingga perlu pengalihan aliran semburan lumpur ke Sungai Porong untuk mengurangi daerah terdampak. Pengalihan aliran lumpur lapindo ke Sungai Porong menyebabkan daya angkut sungai berkurang. Kondisi tersebut terjadi karena lumpur lapindo memiliki kandungan sebaran konsentrasi sedimen tersuspensi antara 3,803mg/l–240,448mg/l (Atmodjo, 2011). Sebaran total padatan tersuspensi (Total Suspended Solid atau TSS) merupakan distribusi material tersuspensi berdiameter lebih dari 1μm yang tertahan saluran milipore berdiameter pori 0,45 μm, sehingga material lumpur mengalami pemadatan yang menyebabkan sedimentasi di sekitar saluran milipore (Effendi, 2003). Potensi pendangkalan disepanjang Sungai Porong terjadi karena hasil pengujian kadar lumpur berdasarkan standar ASTM D 4643-93 diperoleh harga kadar air (w) rata-rata sebesar 41,6697%, angka tersebut merupakan perbandingan antara berat air yang dikandung lumpur dengan berat kering lumpur (Pamularno, 2013).
1
2
Melihat fakta di atas, pendangkalan akibat penumpukan material lumpur menyebabkan pembentukan delta baru di muara sungai. Akibat terjadi penyempitan saluran air menuju ke muara sungai, sehingga air yang tidak mampu mendesak melewati saluran tersebut meluap kedaratan dan menyebabkan banjir. Apabila kondisi tersebut dibiarkan maka wilayah daratan di sekitar muara sungai terancam luapan air. Hal tersebut seharusnya menjadi perhatian Dinas PU Pengairan setempat sebagai wilayah administrasi yang dilintasi sungai tersebut, untuk melakukan pengawasan, pemantauan, dan pemeliharaan sarana pengairan. Normalisasi fungsi sungai akibat pendangkalan sungai dan terbentuknya delta baru dapat dilakukan menggunakan teknologi penginderaan jauh. Teknologi penginderaan jauh dengan citra Landsat 7 ETM+ multi temporal diperlukan untuk pemetaan perubahan pola sebaran dugaan Total Suspended Solid muara Sungai Porong akibat pengalihan aliran lumpur lapindo. Penggunaan Landsat 7 ETM+ didasarkan pada resolusi spasial yang rendah sehingga citra tersebut mampu membedakan tubuh air dan daratan, serta tersedia secara gratis. Kegiatan aplikatif ini tidak menggunakan citra Landsat 8 OLI karena tidak menyediakan data citra satelit tahun 2006, untuk mengetahui kondisi saat terjadi semburan lumpur lapindo. Keberadaan peta perubahan pola sebaran dugaan Total Suspended Solid di muara Sungai Porong dengan memanfaatkan citra Landsat 7 ETM+ diharapkan membantu Dinas PU Pengairan setempat dalam melakukan perencanaan pengerukan sedimen sungai dalam rangka normaliasasi fungsi Sungai Porong. I.2. Lingkup Kegiatan Pemetaan perubahan sebaran dugaan Total Suspended Solid di muara Sungai Porong ini memiliki batasan sebagai berikut : a.
Perubahan yang diamati tidak berdasarkan nilai konsentrasi sedimen melainkan perubahan pola sebaran dugaan Total Suspended Solid.
b.
Data penginderaan jauh yang digunakan berupa citra Landsat 7 ETM+ SCL-Off path 118 raw 065 resolusi 30 m tahun 2006 dan tahun 2015
c.
Ground Control Point (GCP) untuk proses georeferensi citra menggunakan Peta RBI Jawa Timur skala 1:25.000 karena tidak dilakukan survei lapangan.
3
d.
Metode penajaman kenampakan dasar perairan menggunakan algoritma Shallow Water Image Mapping (SWIM) atau substrate algorithm.
e.
Klasifikasi digital citra menggunakan operator berbasis raster (pixel-based Approach). I.3. Tujuan Kegiatan Tujuan kegiatan aplikatif ini adalah pemetaan perubahan pola sebaran dugaan
Total Suspended Solid di muara Sungai Porong menggunakan citra Landsat 7 ETM+ tahun 2006 - 2015. I.4. Manfaat Kegiatan Peta perubahan pola sebaran dugaan Total Suspended Solid di muara Sungai Porong menggunakan citra satelit Landsat 7 ETM+ tahun 2006-2015 dapat digunakan oleh Dinas PU Pengairan setempat untuk mengetahui pendangkalan maupun pembentukan delta baru di sekitar muara Sungai Porong. Peta tersebut juga dapat digunakan sebagai data pendukung dalam proses perencanaan pengerukan sedimen dalam rangka normalisasi fungsi Sungai Porong. Untuk bidang akademik kegiatan ini bermanfaat untuk mengetahui keefektifan teknologi penginderaan jauh citra Landsat 7 ETM+ untuk pemetaan perubahan pola sebaran dugaan Total Suspended Solid. I.5. Landasan Teori I.5.1. Citra Satelit Landsat 7 ETM+ atau Landsat 8 OLI Teknologi penginderaan jauh berupa satelit yang digunakan untuk memperoleh informasi tentang sumberdaya bumi adalah earth Resource Technology Satellite (ERTS). NASA meluncurkan satelit tersebut pertama kali pada tahun 1972 dan resmi berganti nama menjadi Landsat tahun 1975. Satelit Landsat mempunyai tiga sensor, yaitu Return Beam Vidicion (VBV), Multi Spectral Scanner (MSS), dan Thematic Mapper (TM). Landsat 1, Landsat 2, dan Landsat 3 atau yang sering dikenal sebagai Landsat generasi pertama, yang membawa sensor RBV dan MSS. Sedangkan Landsat generasi kedua, yaitu Landsat 4 dan 5 membawa sensor MSS dan TM (NASA, 2015)
4
Gambar I.1. Perkembangan Satelit Landsat (Sumber : NASA, 2015) Pada 5 Oktober 1993 EOSAT meluncurkan satelit Landsat 6 yang memiliki saluran pankromatik resolusi 15 m namun gagal mencapai orbitnya, karena hydrazine manifoild-nya pecah. Akibatnya satelit jatuh karena tidak mampu mengumpulkan energi untuk mencapai orbit yang direncanakan (NOAA press release Maret 1995). Karena kegagalan tersebut pada tanggal 16 April 1999 NASA meluncurkan Landsat 7 dengan lebar sapuan 185 km x 185 km dari Western Test Range di Vandenberg Air Force Base California. Landsat 7 memiliki ketinggian orbit 705 km dan resolusi temporal 16 hari. Landsat 7 memiliki instrumen ETM+ (Enhanced Thematic Mapper Plus) yang lebih fleksibel dan efisien untuk mendeteksi perubahan global, pemantauan dan penilaian tutupan lahan, dan pemetaan area yang luas dengan fiturfitur yang dimiliki, meliputi band pankromatik dengan resolusi spasial 15 m; onboard, full aperture, 5% absolut kalibrasi radiometrik; band TIR (Thermal InfraRed) dengan resolusi spasial 60 m; dan perekam data on-board. Karakteristik pada band Landsat 7 ETM+ pada Tabel I.1. mempermudah pemantauan dan penilaian tutupan lahan, karena masing-masing band memiliki sensitivitas yang berbeda. Secara umum fitur tambahan Landsat 7 bertujuan untuk mendukung misi kontinuitas, misi survei global, terjangkaunya data produk bagi masyarakat umum, dan untuk keperluan absolut kalibrasi (NASA : Landsat 7 Science Data Users Handbook diakses November 2015). Tabel I.1. Karakteristik Band Landsat 7 ETM+ (Markham, 2013 dan Prayogo, 2015) Band
Band 1 (Blue)
Resolusi
Panjang
Spasial
Gelombang (µm)
Kegunaan Penetrasi tubuh air, berguna untuk
30 m
0,441 – 0,514
pemetaan area pesisir dan perbedaan tanah dari vegetasi.
5
Lanjutan Tabel I.1. Band
Resolusi
Panjang
Spasial
Gelombang (µm)
Kegunaan Mengukur pantulan sensor di pucuk
Band 2 (Green)
30 m
0,519 – 0,601
vegetasi menggunakan saluran hijau untuk
mengetahui
kesehatan
vegetasi. Band 3 (Red) Band 4 (NIR)
Band yang menunjukkan penyerapan 30 m
0,631 – 0,692
klorofil guna membedakan jenis vegetasi.
30 m
0,772 – 0,898
Untuk menentukan konten biomassa dan delineasi tubuh air. Untuk menentukan jenis tanaman,
Band 5 (SWIR-1)
30 m
1,547 – 1,748
kandungan air pada tanaman, dan kelembapan
tanah
serta
untuk
membedakan antara salju dan awan. Band 6 (TIR)
Band 7 (SWIR-2)
Band 8 (Pan)
Untuk 60 m
10,31 – 12,36
membantu
formasi-formasi
memisahkan batuan
dan
pemetaan hidrotermal Analisis gangguan vegetasi, 30 m
2,064 – 2,345
membedakan kelembaban tanah dan pemetaan termal. Citra pankromatik digunakan untuk
15 m
0,515 – 0,896
pemetaan
tutupan
lahan
dan
penggunaan lahan.
I.5.2. Padatan Total, Terlarut, dan Tersuspensi Karakteristik perairan pesisir sering ditandai dengan konsentrasi tinggi karena material organik dan anorganik yang berasal dari resuspensi dasar laut atau muatan partikel debit sungai. Konsentrasi tinggi tersebut mempengaruhi kondisi kolom air secara luas (Mei dkk., 2003 dalam Miller dkk., 2004). Menurut Effendi (2003), konsentrasi padatan material yang terlarut pada perairan pesisir dapat dibedakan
6
menjadi tiga kategori yaitu pertama, padatan total atau residu merupakan material yang tersisa dari sampel air yang mengalami evaporasi dan pengeringan pada suhu tertentu (APHA,1976 dalam Effendi 2003). Pada penentuan residu, sebagian besar bikarbonat yang merupakan anion utama di perairan telah mengalami transformasi menjadi karbondioksida, sehingga karbondioksida dan gas-gas lainnya menghilang pada saat pemanasan dan tidak tercakup dalam nilai padatan total (Boyd, 1988 dalam Effendi 2003). Kedua, padatan terlarut adalah jumlah padatan tersuspensi yang dapat diendapkan selama periode waktu tertentu dalam wadah yang berbentuk kerucut terbalik (imhoff cone). Padatan terlarut total (Total Dissolved Solid atau TDS) adalah material terlarut (diameter <10-6µm) dan koloid (diameter 10-6–10-3 mm) berupa senyawa-senyawa kimia dan bahan-bahan lain, yang tidak tersaring pada kertas saring berdiameter 0,45µm (Rao, 1992 dalam Effendi 2003). Penyebab TDS biasanya bahan anorganik berupa ion-ion yang ditemukan di perairan, seperti Ion utama (massa 1.0–1000 mg/liter) dan ion sekunder (massa 0,01-10,0 mg/liter). Ketiga, padatan tersuspensi total (Total Suspended Solid atau TSS) adalah material tersuspensi (diameter >1µm) yang tertahan pada saringan Millipore berdiameter pori 0,45 µm. TSS terdiri atas lumpur, pasir halus, dan jasad renik yang terbawa ke badan air akibat pengikisan tanah atau erosi tanah. Bahan tersuspensi dan terlarut pada perairan alami tidak bersifat toksik, apabila berlebihan pada TSS akan meningkatkan kekeruhan karena kandungan air pada perairan rendah (Effendi, 2003). Relasi antara konsentrasi sedimen tersuspensi biasanya diperoleh dengan filtering water sample atau menggunakan parameter terkait ukuran kejernihan air dan radiansi upwelling menggunakan berbagai sensor dan algoritma (Schowengerdt, 2007). Landsat 7 ETM+ dapat melihat TSS dengan melakukan interactive stretching pada band yang digunakan, untuk memodifikasi atau memperbesar jangkauan nilai spektal pada citra. Kombinasi band biasa tidak mampu meningkatkan kekontrasan citra karena efek kedalaman air, sehingga perlu algoritma tertentu untuk meningkatkan kekontrasan citra, terutama pada objek sebaran sedimen. Prinsip algoritma tersebut, yakni melakukan kalkulasi terhadap nilai spektral dari masingmasing band (Schowengerdt, 2007)
7
I.5.3. Striping Citra Landsat 7 ETM+ Menurut Landsat 7 Science Data Users Handbook, Striping merupakan fenomena artifak berupa garis-garis yang muncul pada band tunggal dari koreksi radiometrik data. Striping terjadi sejak tahun 2003 karena sensor optik Landsat 7 ETM+ mengalami gangguan atau kerusakan yang menyebabkan munculnya sejumlah garis no data. Sensor Landsat 7 ETM+ Mengalami kendala karena koreksi lajur sapuannya rusak (SLC-off), namun citra Landsat 7 ETM+ tetap diproduksi dengan perbaikan-perbaikan (Purba, 2004). Keberadaan striping dapat diatasi dengan penerapan koefisien kalibrasi ke data citra Landsat 7 ETM+. Kalibrasi dilakukan dengan menampalkan minimal dua raw data citra Landsat 7 ETM+ yang memiliki pola striping berbeda. I.5.4. Restorasi Citra Kualitas citra dapat dinilai dari dua aspek, yaitu kualitas radiometrik dan kualitas geometrik. Penilaian kualitas radiometrik dan kualitas geometrik citra perlu memperhatikan faktor tutupan awan dan gangguan kabut (kondisi atmosfer pada saat perekaman), tingkat gangguan sinyal, dan korelasi antar saluran serta gerakan dan geometri bumi. Faktor yang mempengaruhi kesalahan pada saat perekaman citra tersebut dapat dikoreksi menggunakan koreksi radiometrik dan koreksi geometrik. I.5.4.1. Koreksi radiometrik Koreksi radiometrik dilakukan karena hasil rekaman sensor satelit mengalami kesalahan yang disebabkan oleh gangguan atmosfer. Gangguan atmosefer menyebabkan nilai pantulan yang diterima dan dicatat oleh sensor mengalami penyimpangan. Besar kecilnya penyimpangan yang dimiliki oleh citra penginderaan jauh tergantung pada besar kecilnya gangguan atmosfer yang terjadi pada saat perekaman. Apabila terjadi gangguan atmosfer maka sinyal yang dipancarkan oleh sensor tidak akan sepenuhnya diterima oleh objek dipermukaan bumi atau sebaliknya nilai sinyal yang dipantulkan oleh objek tidak sepenuhnya diterima oleh sensor satelit. Koreksi radiometrik diperlukan untuk memperbaiki kualitas visual citra dan memperbaiki nilai piksel yang tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya.
8
Menurut Danoedoro (2012), ada tiga metode koreksi radiometrik, yaitu metode penyesuaian histogram, penyesuaian regresi, penggunaan Feature Space, dan metode kalibrasi bayangan. Berikut penjelasan masing-masing metode koreksi radiometrik a.
Metode penyesuaian histogram. Koreksi radiometrik dilakukan dengan hanya melihat histogram setiap saluran secara independen. Asumsi metode ini, pada proses koding digital oleh sensor, objek yang memberikan respon spektral paling lemah atau tidak memberikan respon sama sekali memiliki nilai nol. Apabila nilai tersebut lebih dari nol, maka dihitung sebagai offset dan koreksi dilakukan dengan mengurangi keseluruhan nilai pada saluran tersebut dengan offset-nya.
b.
Metode penyesuaian regresi Koreksi dilakukan dengan memplot nilai-nilai piksel hasil pengamatan pada beberapa saluran sekaligus. Metode ini dilakukan apabila terdapat saluran yang menjadi rujukan (saluran yang relatif bebas hambatan) yang menyajikan nilai nol untuk objek tertentu. Lalu setiap saluran dipasangkan dengan saluran rujukan untuk membentuk diagram pancar nilai piksel yang diamati.
c.
Metode Penggunaan Feature Space Pemanfaatan pengeplotan piksel-piksel pada saluran Red pada salah satu sumbu dengan sumbu lawannya saluran Near Infrared atau saluran Green dengan sumbu lawannya saluran. Near Infrared untuk memberikan kenampakan citra.
d.
Metode Kalibrasi Bayangan Gastellu dan Etchergorry (1998) menerapkan metode kalibrasi bayangan untuk mengoreksi faktor gangguan atmosfer. Metode koreksi ini mempertimbangkan imbangan energi elektromagnetik yang masuk ke atmosfer bumi serta kenampakan permukaan bumi yang tertutup awan.
I.5.4.2. Koreksi geometrik Koreksi geometrik dikelompokkan menjadi dua, yaitu metode parametrik atau model geometrik orbital dan metode non-parametrik atau transformasi berdasarkan titik kontrol lapangan (Marter, 2004 dalam Danoedoro 2012) : 1.
Metode Parametrik atau Model Geometri Orbital merupakan metode yang mengacu model geometri orbital yang didasarkan pada pengetahuan tentang
9
karakteristik orbit wahana satelit. Faktor-faktor yang perlu dikoreksi pada model geometrik orbital sebagai berikut : a. Koreksi “Aspect Ratio”, koreksi ini dilakukan apabila terjadi oversampling karena terdapat perbedaan kecepatan antara pemindai dengan coding dan penyimpanan data hasil pantulan oleh detektor. b. Koreksi Kemencengan, contohnya koreksi pada Landsat TM dan ETM+ karena terjadi kemencengan terhadap sumbu utara-selatan bumi. c. Koreksi Rotasi Bumi, saat satelit mengorbit dibumi dari utara ke selatan bumi juga berotasi dari barat ke timur dengan kecepatan perpindahan sebanding dengan posisi lintang tepat berada di nadir satelit. 2.
Metode non parametrik atau Transformasi berdasarkan GCP merupakan metode yang memerlukan Ground Control Point (GCP), yakni titik-titik yang telah diketahui posisinya dalam sistem koordinat geografis ataupun dalam sistem koordinat peta (Djurdjani dan Kartini, 2004). Hubungan antara sistem koordinat citra dengan sistem koordinat peta secara matematis sebagai berikut : x = f1(X,Y)
(I.1)
y = f2(X,Y)
(I.2)
keterangan : (x,y)
= koordinta lama citra (kolom baris)
(X,Y)
= koordinat sebenarnya (sistem koordinat peta)
f1 , f2
= fungsi transformasi
Penggunaan koordinat 2D dengan persamaan transformasi polynomial bertujuan untuk mengubah posisi geometri citra supaya sama dengan posisi geometri peta. Rumus transformasi polynomial menurut Jensen (1996) sebagai berikut : Ximg =a0 + a1Xpeta + a2 Ypeta
(I.3)
Yimg =b0 + b1Xpeta + b2 Ypeta
(I.4)
Keterangan : Xpeta, Ypeta
= posisi objek pada koordinat peta
Ximg, Ypeta
= posisi objek pada korrdinat citra (kolom, baris)
a0, a1, a2, b0, b1, b2
= parameter transformasi
Setiap pasang titik koordinat referensi
dengan koordinat hasil transformasi
diperoleh selisih yang disebut rectification residual (δ) (Gao 2009, dalam
10
Danoedoro, 2012). Untuk itu diperlukan perhitungan Root Mean Square Error (RMSE) dengan menggunakan rumus berikut : 1
𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝐸𝐸𝐸𝐸 = �𝑛𝑛 ∑𝑛𝑛𝑖𝑖=1(Ê − 𝐸𝐸𝑖𝑖 )2
1 � − 𝑁𝑁𝑖𝑖 )2 𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝐸𝐸𝑁𝑁 = �𝑛𝑛 ∑𝑛𝑛𝑖𝑖=1(𝑁𝑁
(1.5) (1.6)
Keterangan : N
= jumlah total Ground Control point (GCP)
Ei dan Ni
= koordinat Easting, Northing (X,Y) dari GCP ke-i, yang dihitung menggunakan transformasi f1 dan f2
� 𝐸𝐸� 𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑁𝑁
= koordinat referensi Easting, Northing (X, Y) dari peta
Berdasarkan RMSEE dan RMSEN dapat dihitung ketelitian penempatan titik atau koordinat tanah pada citra menggunakan rumus berikut : 1
2 2 𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝐸𝐸 = �𝑛𝑛 ∑𝑛𝑛𝑖𝑖=1(𝛿𝛿𝑁𝑁𝑁𝑁 − 𝛿𝛿𝐸𝐸𝐸𝐸 )
(1.7)
I.5.5. Band Ratios Citra
Penggunaan Band Ratios untuk menajamkan perbedaan spektral antar band dan untuk mereduksi efek topografi. Pembagian satu saluran (band) spektral dengan saluran spektal yang lain untuk memperoleh citra dengan intensitas saluran yang relatif (penajaman citra perbedaan antar saluran). Band Ratios juga berfungsi untuk mengetahui kemampuan masing-masing band dalam mendeteksi objek kajian. Penentuan bentuk fitur (kenampakan objek) pada citra penginderaan jauh dihitung menggunakan rasio dari Digital Number (DN) pada spektral band m dibagi dengan spektral band n, pixel-by-pixel (Schowengerdt, 2007) 𝑅𝑅𝑚𝑚𝑚𝑚 (𝑥𝑥, 𝑦𝑦) =
𝐷𝐷𝐷𝐷𝑚𝑚 (𝑥𝑥,𝑦𝑦) 𝐷𝐷𝐷𝐷𝑛𝑛 (𝑥𝑥,𝑦𝑦)
(1.8)
DN pada band b merupakan pendekatan dari suatu fungsi linear reflektansi permukaan bumi : 𝐷𝐷𝐷𝐷𝑏𝑏 (𝑥𝑥, 𝑦𝑦) ≈ 𝑎𝑎𝑏𝑏 𝜌𝜌𝑏𝑏 (𝑥𝑥, 𝑦𝑦) cos[𝜃𝜃(𝑥𝑥, 𝑦𝑦)] + 𝑏𝑏𝑏𝑏
(I.9)
Selanjutnya, rasio dari persamaan (I.9) menjadi : 𝑅𝑅𝑚𝑚𝑚𝑚 (𝑥𝑥, 𝑦𝑦) ≈
𝑎𝑎 𝑚𝑚 𝜌𝜌 𝑚𝑚 (𝑥𝑥,𝑦𝑦 ) cos [𝜃𝜃 (𝑥𝑥,𝑦𝑦 )]+𝑏𝑏𝑚𝑚 𝑎𝑎 𝑛𝑛 𝜌𝜌 𝑛𝑛 (𝑥𝑥,𝑦𝑦 ) cos [𝜃𝜃 (𝑥𝑥,𝑦𝑦 )]+𝑏𝑏𝑛𝑛
(I.10)
11
Spektral band rasio dapat membantu memisahkan spektral suatu citra dengan cara mereduksi atau mengurangi bayangan karena efek topografi. Pada rasio band yang melibatkan band NIR (band 4) dan band Red (band 3) digunakan untuk melakukan pengukuran vegetasi. Citra hasil rasio band biasanya memiliki rentang dinamis lebih sedikit dibandingkan dengan citra asli. Perbedaan kondisi ini disebabkan bayangan karena efek topografi telah tereduksi. Dengan demikian kontras reflektansi antar material dipermukaan dapat dipertajam dengan melibatkan komposit warna band ratios yang berbeda (Chavez dkk., 1982 dalam Schowengerdt, 2007). I.5.6. Algoritma Shallow Water Image Mapping (SWIM) Band Math TMI routine adalah perangkat pengolahan citra dengan banyak kelebihan yang tidak dimiliki oleh sistem pengolahan citra lainnya. Karena setiap pengguna ENVI memiliki kebutuhan yang berbeda, perangkat Band Math memungkinkan pengguna untuk mendefinisikan sendiri algorithma pengolahan citra dan menerapkannya pada setiap band atau file lainnya yang dibuka di perangkat lunak ENVI. Pendefinisian algoritma pada perangkat lunak ENVI bertujuan untuk mempermudah untuk mengkaji sutau objek, misalnya pada perairan dangkal. Menurut Geoscience Australia (2012), komponen perairan, material pesisir, dan interaksinya menyebabkan sensor satelit menghasilkan sinyal yang kompleks untuk proses analisis citra dengan benar. Geoscience Australia menggunakan algoritma sederhana untuk mengekstraksi efek perubahan kedalaman air yang ditunjukkan dengan tingkat kecerahan yang ditampilkan. Penggunaan Substrate Algorithm untuk meningkatkan kenampakan dasar laut perairan dangkal. Karena area kajian yang akan dilakukan pada proyek ini berada di perairan dangkal. Berikut ini model matematis Substrate Algorithm : 𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅 =
𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏 3
(𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏 1+𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏 2+𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏 3)
𝐺𝐺𝐺𝐺𝐺𝐺𝐺𝐺𝐺𝐺 = 𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵 =
𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏 2
(𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏 1+𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏 2+𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏 3) 𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏 1
(𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏 1+𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏 2+𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏 3)
(I.11) (I.12) (I.13)
Tiga band pertama pada Landsat TM baik untuk penetrasi kecerahan air
dengan Substrate Algorithm membantu mengurangi efek kontras karena kedalaman air dan mencerahkan warna. Secara Konseptual algoritma ini mirip Shallow Water
12
Image Mapping (SWIM), Substrate Algorithm lebih ketat karena warna pada substrat akan diubah menjadi variasi kedalaman (Bierwirth dkk, 1993). I.5.7. Penajaman Citra Penajaman citra mengacu pada pengolahan data yang bertujuan meningkatkan kualitas visual secara keseluruhan suatu citra atau menajamkan kenampakan dan interpretabilitas fitur tertentu dari suatu citra. Keterbatasan teknologi penginderaan jauh, memungkinkan data yang diperoleh memiliki kualitas visual yang buruk. Menurut Gao (2009), terdapat tujuh teknik penajaman citra: 1.
Contrast Stretching, yakni proses memodifikasi atau memperbesar jangkauan nilai-nilai piksel pada citra untuk meningkatkan efektifitas atau kualitas visualnya. Pada proses ini nilai digital number (DN) setiap piksel pada citra diubah sesuai dengan fungsi yang telah ditentukan. Pada operasi berbasis histogram, nilai piksel DN dimodifikasi dengan melibatkan nilai piksel tetangganya. Secara matematis contras stretching dinyatakan : 𝐷𝐷𝐷𝐷𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜 = 𝑓𝑓(𝐷𝐷𝐷𝐷𝑖𝑖𝑖𝑖 )
(I.14)
Keterangan : DNout
= output DN pada citra contrast-stretched
DNin
= DN dari piksel yang sama pada citra mentah
f
= Fungsi transformasi pada manipulasi kontras, dapat berupa linear ataupun non linear.
2.
Histogram matching, penajaman citra dilakukan dengan melihat histogram setiap saluran secara independen. Asumsi pada metode ini adalah pada proses koding digital oleh sensor, objek yang memberikan respon spektral paling lemah atau tidak memberikan respon sama sekali memiliki nilai nol. Apabila nilai tersebut lebih dari nol, maka dihitung sebagai offset dan koreksi dilakukan dengan mengurangi keseluruhan nilai pada saluran tersebut dengan offset-nya
3.
Spatial filtering, teknik pengolahan citra berbasis jendela untuk mengubah nilai masukan piksel didasarkan nilai pikselnya sendiri dan nilai piksel sekitarnya. Hal ini membutuhkan penggunaan spasial mask yang disebut spatial filter. Filtering dilakukan untuk mencapai beberapa fungsi. Algoritma yang sering
13
digunakan pada spatial filtering, meliputi neighborhood dan connectivity, kernels dan convolution, image smoothing, dan median filtering. 4.
Edge Enhancement dan Detection, citra baru dapat dibuat dengan menduplikasi citra yang sudah ada. Jika citra yang baru dibuat disubstraksi dari sumber satu, maka pada citra yang dihasilkan tidak ada yang tersisa. Tidak ada edge (tepi/batas) yang terdeteksi pada substraksi. substraksi dapat ditingkatkan dengan sedikit menggeser salah satu citra ke kiri atau ke kanan, atau ke atas atau ke bawah, atau bahkan diagonal dengan satu atau dua piksel. Operasi ini secara matematis dinyatakan sebagai : ∆𝐷𝐷𝐷𝐷(𝑖𝑖, 𝑗𝑗) = 𝐷𝐷𝐷𝐷(𝑖𝑖, 𝑗𝑗) − 𝐷𝐷𝐷𝐷(𝑖𝑖 + 𝑙𝑙, 𝑗𝑗 + 𝑚𝑚) + 𝑏𝑏
(I.15)
Dimana : DN (I, j)
= nilai piksel pada lokasi (i, j)
DN(i+l, j+m)
= nilai piksel pda lokasi (i+l, j+m)
l, m
= 0, 1, 2, …, pergeseran jarak pada citra yang sama
b
= bias yang digunakan untuk menghilangkan perbedan negatif
Substraksi berdasarkan perbandingan nilai pixel citra yang sama pada pemisahan spasial (l,m). Pada citra yang berbeda, semua piksel nonedge memiliki nilai kontras nol dan semua piksel edge memiliki nilai kontras bukan nol 5.
Multiple-Image Manipulation, teknik penajaman citra yang melibatkan satu band pada saat proses input maupun output. Pada praktiknya teknik ini memungkinkan untuk menghasilkan citra baru dari beberapa citra pada daerah yang sama. Band multispektral yang digunakan harus diperoleh dari sensor yang sama pada waktu yang sama serta meliputi wilayah geografis yang sama. Manipulasi multiple-image dapat dilakukan pada piksel individu spasial. Dua citra masukan dapat dimanipulasi menggunakan operasi aritmatika, seperti penjumlahan, pengurangan, perkalian, pembagian, atau kombinasi. DN setiap piksel pada satu citra ditambahkan ke-, dikurangkan dari, atau dikalikan/dibagi dengan DN dari piksel yang sesuai pada citra lain.
6.
Transformasi citra, metode penajaman citra ini memungkinkan menghasilkan beberapa band dari transformasi citra. Band baru tersebut memuat informasi hasil reduksi dari band-band yang digunakan dan penajaman pada fitur tertentu.
14
contoh transformasi citra adalah
principle component analysisi (PCA),
transformasi Hue-intensity-saturation (HIS), dan transformasi Tasseled Cap. 7.
Image filtering pada domain frekuensi, teknik penajaman citra ini menggunakan domain frekuensi dengan menggunakan metode transformasi Fourier yang beroperasi pada band tunggal (misalnya citra grayscale). Premis fundamental yang mendasari transformasi ini adalah setiap baris pada citra f (x) dapat didekatai dengan serangkaian gelombang sinusoidal, yang masing-masing memiliki amplitude, frekuensi, dan koefisien.
I.5.8. Klasifikasi Digital Klasifikasi digital adalah suatu cara untuk mengenali, menentukan letak dan mengelompokkan objek kedalam kelas-eklas tertentu didasarkan pada kesamaan nilai spektral tiap piksel (Gonzales, 1977 dalam Kartini, 1999). Klasifikasi dibedakan menjadi dua, yaitu : 1.
Klasifikasi terkontrol atau klasifikasi beracuan atau yang sering disebut supervised classification merupakan klasifikasi yang beracuan pada nilai piksel yang telah diketahi kategori objek atau penutup lahannya. Penutup lahan yang telah diketahui kategorinya disebut daerah contoh (training area).
2.
Klasifikasi tidak terkontrol atau klasifikasi tidak beracuan, atau yang sering disebut unsupervised classification adalah klasifikasi yang dilakukan hanya berdasarkan nilai spektral tanpa menentukan daerah contoh (training area), sehingga jenis kelas-kelas spektral belum bisa diketahui penutup lahannya. Setelah hasil klasifikasi tidak terkontrol diperoleh selanjutnya menentukan jenis klas dengan mengacu pada tutupan lahan pada citra dengan resolusi tinggi. Hasil klasifikasi ini memiliki kelitian yang lebih rendah dibandingkan klasifikasi terkontrol.
I.5.9. Skema Klasifikasi Klasifikasi penutup lahan di Indonesia mengacu pada SNI 7645 tahun 2010 tentang klasifikasi penutup lahan. Standar tersebut berdasarkan pada sistem klasifikasi penutup lahan UNFAO dan ISO 19144-1 Geographic informationClassification System-Part1:Classification system structure. ISO 19144-1 merupakan
15
standar standar internasional yang dikembangkan oleh UNFAO. Sistem klasifikasi penutup lahan UNFAO, semakin detil kelas yang disusun maka semakin banyak kelas yang digunakan. Kelas penutup lahan dibagi menjadi dua bagian besar, yakni daerah bervegetasi dan daerah tidak bervegetasi. Kategori daerah bervegetasi diturunkan dari pendekatan konseptual struktur fisiognomi yang konsisten dari bentuk tumbuhan, bentuk tutupan lahan, tinggi tumbuhan, dan distribusi spasialnya. Sedangkan kategori daerah tak bervegetasi, penurunan kelasnya mengacu pada aspek permukaan tutupan lahan, distribusi atau kepadatan, dan ketinggian ataupun kedalaman. Informasi tematik dapat diperoleh apabila penentuan detil kelas disesuaikan pada skema klasifikasi yang dipilih. Skema klasifikasi berdasarkan SNI 7645:2010 pada kelas penutup lahan skala 1 :250.000 ditampilkan dalam Tabel I.2. Tabel I.2. Skema klasifikasi penutup lahan SNI 7645:2010 skala 1:250.000 No.
Kelas penutup lahan
Deskripsi Daerah dengan liputan vegetasi (minimal 4%)
1.
Daerah bervegetasi
sedikitnya selama 2 bulan, atau dengan liptan Lichens/Mosses lebih dari 25% (jika tidak terdapat vegetasi lain). Daerah dengan total liputan vegetasi kurang dari
2.
Daerah tak
4% selama lebih dari 10 bulan, atau dengan
bervegetasi
Lichens/Mosses kurang dari 25% (jika tidak terdapat vegetasi berkayu atau herba).
2.3
Perairan
2.3.1
Danau atau waduk
2.3.2
Tambak
2.3.3
Rawa
Semua
kenampakan
perairan,
termasuk
laut,
waduk, terumbu karang, dan padang lamun. Area perairan dangkal, dalam, dan permanen. Aktivitas untuk perikanan atau penggaraman yang tampak dengan pola pematangan disekitar pantai Genangan air tawar atau air payau yang luas dan permanen di daratan
16
Lanjutan Tabel I.2. No.
Kelas penutup lahan
Deskripsi Tempat mengalir air yang bersifat alamiah.
2.3.4
Sungai
Catatan : Aliran air dapat bersifat musiman maupun sepanjang tahun Tempat mengalirnya air, bersifat artificial, dan
2.3.5
Anjir Pelayaran
berasosiasi dengan laut atau pantai dan kegiatan pelayaran.
2.3.6
Terumbu karang
Kumpulan fauna laut yang berkumpul menjadi satu membentuk terumbu. Kenampakan pasir dipermukaan laut dan kadang-
2.3.7
Gosong pantai
kadang tenggelam pada saat pasang berbani, lebarnya < 50 m, dan belum ditumbuhi vegetasi.
Pemilihan skema klasifikasi merupakan pemilihan kategori (kelas) yang akan diambil (informasinya). Hal ini perlu dilakukan dengan alasan tidak semua klas yang ada dapat diperoleh dari satu citra (Kartini, 1999). Penentuan kelas pada daerah tak bervegetasi dapat dilakukan menggunakan metode penurunan kelas yang mengacu pada aspek distribusi atau kepadatan tutupan lahan sesuai ketentuan SNI 7645:2010. I.5.10. Klasifikasi Berdasarkan Nilai Piksel Klasifikasi citra berdasar nilai piksel adalah proses klasifikasi citra yang secara otomatis mengkategorikan semua nilai piksel yang sama dalam satu klas tutupan lahan atau tema tertentu. Pendekatan ini biasanya menggunakan citra multispektral untuk melakukan klasifikasi dan data numerik dari nilai spektral digunakan sebagai dasar dalam kategorisasi suatu kelas. Pada supervised training penentun kelas didasarkan pada nilai piksel terpilih (training area) yang mewakili masing-masing kelas. Hal terpenting dari supervised training adalah training area masing-masing kelas menjadi sampel yang homogen. Pada saat yang sama training area tersebut menjadi variabilitas kelas, sehingga menggunakan lebih dari satu training area untuk setiap kelas (Schowengerdt, 2007). Metode klasifikasi berdasarkan nilai piksel
17
meliputi Minimum Distance/nearest neighbor, Parallelepiped, dan Maximum Likelihood Classification (Lillesand dan Kiefer,1994 dalam Gao dan Mas, 2008). Prosedur klasifikasi Maximum Likelihood merupakan pengelompokan nilai piksel yang didasarkan pada nilai piksel pada kelas yang telah didefinisikan sebelumnya (training area). Pengelompokan nilai piksel kedalam kelas-kelas tertentu pada algoritma maximum likelihood didasarkan pada formula probabilitas Bayesian (Tso dan Mather, 2009) : 𝑃𝑃(𝑥𝑥|𝑤𝑤) = 𝑃𝑃(𝑤𝑤|𝑥𝑥)𝑃𝑃(𝑥𝑥) = 𝑃𝑃(𝑥𝑥|𝑤𝑤)𝑃𝑃(𝑤𝑤)
(I.16)
Keterangan : x, w
= secara umum disebut sebagai events
P(x,w)
= probabilitas koeksistensi atau perpotongan antara event x dan w
P(x), P(w)
= probabilitas sebelum event x dan w
P(w|x)
= probabilitas bersyarat dari event x yang diberikan event w.
Jika xi merupakan pola vektor ke i dan wj adalah informasi kelas j, persamaan dibawah untuk menunjukkan pola vektor ke i masuk ke klas wj : 𝑃𝑃�𝑤𝑤𝑗𝑗 �𝑥𝑥𝑖𝑖 � =
𝑃𝑃�𝑥𝑥 𝑖𝑖 �𝑤𝑤 𝑗𝑗 �𝑃𝑃(𝑤𝑤 𝑗𝑗 )
(I.17)
𝑃𝑃(𝑥𝑥 𝑖𝑖 )
Secara umum, P(x) untuk mendistribusikan keseragaman, yaitu probabilitas kejadian pada semua fitur piksel. 𝑃𝑃�𝑤𝑤𝑗𝑗 �𝑥𝑥𝑖𝑖 � ∝ 𝑃𝑃�𝑥𝑥𝑖𝑖 �𝑤𝑤𝑗𝑗 �𝑃𝑃(𝑤𝑤𝑗𝑗 )
(I.18)
Persamaan untuk mengalokasikan piksel i kedalam kelas k, yang memiliki nilai terbesar dari P(wk|xi) dapat ditulis seperti dibawah : 𝑤𝑤𝑘𝑘 = 𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎∀𝑤𝑤 𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚�𝑃𝑃�𝑥𝑥𝑖𝑖 �𝑤𝑤𝑗𝑗 �𝑃𝑃(𝑤𝑤𝑗𝑗 )� 𝑗𝑗
(I.19)
Arg menunjukkan argument, kriteria yang ditunjukkan oleh persamaan diatas disebut dengan solusi Maximum A Posteriori (MAP), yang memaksimalkan produk probabilitas bersyarat dan probabilitas sebelumnya. Apabila mengalokasikan piksel i kedalam kelas k yang memaksimalkan ekspresi seperti persamaan dibawah, maka disebut sebagai solusi maximum likelihood. 𝑃𝑃�𝑤𝑤𝑗𝑗 �𝑥𝑥𝑖𝑖 � ∝ 𝑃𝑃�𝑥𝑥𝑖𝑖 �𝑤𝑤𝑗𝑗 � 𝑃𝑃�𝑤𝑤𝑗𝑗 �𝑥𝑥𝑖𝑖 � =
1
𝜌𝜌
√2𝜋𝜋 ��𝐶𝐶𝑗𝑗 �
(I.20) 1
𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 �− 2 𝑥𝑥(𝑥𝑥𝑖𝑖 − 𝜇𝜇𝑗𝑗 )𝑇𝑇 𝑥𝑥 𝐶𝐶𝑗𝑗−1 𝑥𝑥(𝑥𝑥𝑖𝑖 − 𝜇𝜇𝑗𝑗 )�
(I.21)
18
Persamaan (I.22) mengijikan perhitungan eksponensial. Karena ρln(2π) berlaku untuk semua kelas, sehingga dapat dianggap konstan dan diturunkan dari persamaan tanpa mempengaruhi rangking terakhir dari nilai ln [P(xi|wj)]. untuk memberikan nilai konstan maka persamaan dibawah ini dikalikan “-2” −2ln�𝑃𝑃�𝑥𝑥𝑖𝑖 �𝑤𝑤𝑗𝑗 �� = ln|𝐶𝐶𝑗𝑗 | + (𝑥𝑥𝑖𝑖 − 𝜇𝜇𝑗𝑗 )𝑇𝑇 𝑥𝑥 𝐶𝐶𝑗𝑗−1 𝑥𝑥(𝑥𝑥𝑖𝑖 − 𝜇𝜇𝑗𝑗 )
(I.22)
Apabila persamaan (I.21) dimaksimalkan, maka setara dengan meminimalkan persamaan (I.22) sehingga bentuk geometri suatu objek dibentuk dengan sekumpulan piksel yang didefinisikan untuk kelas tertentu yang dibentuk dari ellipsoid.
Gambar I.2. Pola pengenalan kelas pada Maximum Likelihood Classification (Sumber : Clevers, 2000) Bentuk ellipsoid dipengaruhi oleh nilai kovarian masing-masing fitur kelas. Fitur kelas yang berada pada ruang dua dimensi algoritma maximum likelihood menggambarkan kontur ellipsoidal equiprobability sebagai batas keputusan penentuan kelas. Gambar I.2 menunjukkan contoh penggunaan dua band pada sebuah citra. Setelah diperoleh matriks varian kovarian dan vektor eigen yang berorientasi pada arah sumbu digital number band 3 dan digital number band 4, maka dapat diketahui elips kesalahan setiap kelas pada masing-masing sumbu orientasi (Tso dan Mather, 2009). Apabila elipsoida membentuk lingkaran, dapat diartikan bahwa pada kelas tersebut, distribusi kesalahan pada sumbu digital band number 3 dan sumbu digital number band 4 besarnya sama.
19
I.5.11. Estimasi Ketelitian Klasifikasi Menurut Paul dan Mather (2009), ketelitian klasifikasi merupakan tingkat kesesuaian antara label yang telah ditetapkan oleh classifier dan alokasi kelas berdasarkan ground data yang telah dikumpulkan oleh pengguna, yang disebut sebagai data uji. Data uji tidak selalu mewakili kondisi sebenarnya, karena faktor kesalahan pengamatan dan pengkodean, ketidaksesuaian lokasi data uji, perbedaan karena perubahan tutupan lahan antara waktu pengamatan dan tanggal perekaman citra, tidak dapat digunakan untuk penilaian ketelitian hasil klasifikasi (Paul dan Mather, 2009). Ketelitian relatif hasil klasifikasi dapat dinilai dengan menggunakan kumpulan data training area. Perangkat yang paling sering digunakan untuk mengukur ketelitian klasifikasi adalah dengan matrik confusion (matriks kesalahan). Matriks confusion merupakan matrik berdimensi nxn (dimana n adalah jumlah kelas), yang menunjukkan hubungan antara dua sampel pengukuran yang diperoleh dari daerah terklasifikasi. Beberapa indikasi ketelitian klasifikasi diturunkan dari matriks confusion. Ketelitian overall hasil klasifikasi dapat diperoleh dengan membagi entri diagonal utama dari matriks confusion dengan jumlah total sampel. Berikut rumus ketelitian overall citra terklasifikasi (Paul dan Mather, 2009) : 𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘 𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜 =
𝛴𝛴𝛴𝛴𝛴𝛴𝛴𝛴𝛴𝛴𝛴𝛴𝛴𝛴𝛴𝛴𝛴𝛴 𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢 𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐 𝛴𝛴 𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠
𝑥𝑥100%
(I.23)
I.5.12. Deteksi Perubahan Change detection adalah suatu proses untuk menentukan dan/atau menjelaskan perubahan penutup lahan dan penggunaan lahan berdasarkan pada data penginderaan jauh multi temporal yang telah teregistrasi (Shalaby dan Tateishi, 2007). Deteksi perubahan penting untuk pengelolaan dan monitoring sumberdaya alam, dan perkembangan daerah urban karena mampu melakukan analisis kuantitatif distribusi spasial pada populasi yang dikaji. Menurut Macleod dan Congalton (1998), empat aspek deteksi perubahan yang penting dalam pemantauan sumberdaya alam, yakni : 1.
Mendeteksi perubahan apa yang terjadi
2.
Mengidentifikasi sifat perubahan yang terjadi
3.
Mengukur luas area yang mengalami perubahan
4.
Menilai pola spasial perubahan
20
Salah satu teknik deteksi perubahan adalah post-classification change detection, yakni setiap citra diklasifikasikan secara terpisah menggunakan klasifikasi supervised maupun unsupervised, selanjutnya membandingkan peta perubahan yang dihasilkan. Teknik ini dapat dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak pengolah citra penginderaan jauh maupun menggunakan perangkat lunak ArcGIS (Shalaby dan Tateishi, 2007). Deteksi perubahan pada ArcGIS dapat dilakukan menggunakan metode analisis spasial, yakni suatu proses yang melibatkan sejumlah hitungan matematis yang dilakukan dalam rangka menentukan (potensi) hubungan (relationship) pola-pola yang (mungkin) terdapat diantara unsur-unsur geografis (Prahasta, 2009). Prinsip analisis spasial, yakni mengekstraksi data spasial untuk memperoleh informasi baru. Menurut Prahasta (2009), pada ArcGIS analisis terhadap objek (layer) tematik dapat dilakukan menggunakan tools Overlay, yakni analisis spasial esensial yang mengkombinasikan dua layer tematik yang menjadikan masukannya. Beberapa fitur pada tools overlay untuk menggabungkan (combine), menghapus (erase), memodifikasi (modify), atau memperbarui fitur spasial, sehingga diperoleh fitur kelas baru. Informasi baru yang diperoleh dibuat dengan meng-overlay-kan fitur satu dengan fitur yang lain. Menurut Prahasta (2007) penjelasan keenam fitur pada tools analisis spasial pada ArcGIS sebagai berikut : 1.
Erase, fungsi analisis spasial yang digunakan untuk menghapus unsur spasial yang dipilih (menggunakan fitur penghapus).
Gambar I.3. Operasi overlay erase (sumber : ArcGIS 10.3. Help) 2.
Identity, perpotongan geometrik dari layer masukan dan layer identitas sehingga shapefile baru yang dihasilkan merupakan gabungan dari kedua layer.
Gambar I.4. Operasi overlay identity (sumber : ArcGIS 10.3. Help)
21
3.
Intersect, fungsi analisis spasial yang menghasilkan unsur spasial baru yang merupakan irisan dari unsur-unsur spasial masukan.
Gambar I.5. Operasi overlay intersect (sumber : ArcGIS 10.3. Help) 4.
Spatial joint, fungsi anlisis spasial penggabungan tabel yang biasanya menggunakan suatu tanda pengenal (identifier) yang unik untuk memasangkan atribut tabel pada sebuah shapefile.
5.
Symmetrical Difference, layer yang tumpang tindih dengan fitur lain tidak akan disertakan pada hasil keluaran shapefile baru.
Gambar I.6. Operasi overlay symmetrical difference (sumber : ArcGIS 10.3. Help) 6.
Union, fungsi analisis spasial yang digunakan untuk menggabungkan (agregasi) beberapa unsur spasial (yang terdapat dalam sebuah tematik tertentu) yang dipilih sehingga menjadi satu unsur spasial saja.
Gambar I.7. Operasi overlay union (sumber : ArcGIS 10.3. Help) 7.
Update, atribut dan geometri dari layer masukan akan diperbarui dengan layer update sehingga menghasilkan unsur spasial baru yang telah diperbaharui.
Gambar I.8. operasi overlay update (sumber : ArcGIS 10.3. Help)