BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Waduk merupakan suatu bangunan yang fungsi utamanya adalah untuk menampung air sungai. Konstruksi bangunan ini dibuat karena banyaknya sungai di Indonesia terutama di Pulau Jawa yang kelebihan air di musim penghujan dan debit sungai yang sangat kecil di musim kemarau. Oleh karena itu, diharapkan dengan adanya waduk air yang berlebihan di musim penghujan tidak menimbulkan banjir dan dapat ditampung untuk dimanfaatkan di musim kemarau (Hadihardjaja 1997). Arga (2006) menyatakan bahwa dalam suatu kawasan waduk terdapat beberapa jenis bangunan seperti bendungan, intake, saluran pelimpah, ataupun pintu outlet. Khusus untuk bangunan bendungan, maka terdapat beberapa tipe bendungan apabila dilihat dari konstruksinya seperti bendungan tipe urugan maupun bendungan tipe beton (Soedibyo 1993). Sejak sekitar tahun 1950, Indonesia mulai melanjutkan pembangunanpembangunan bendungan besar terutama di Pulau Jawa dengan mayoritas merupakan bendungan tipe urugan batu maupun tipe urugan tanah. Berdasarkan data dari Balai Keamanan Bendungan Indonesia, hingga tahun 2006 telah dibangun lebih dari 200 bendungan yang tersebar di berbagai waduk dengan 121 buah diantaranya dikategorikan bendungan besar yang mampu menyimpan air sebanyak setengah juta sampai 3 milyar m3. Dari sekitar 200 buah bendungan tersebut, 5 buah di antaranya memiliki tinggi lebih dari 100 meter yaitu bendungan yang terdapat di Waduk Jatiluhur dengan ketinggian bendungan 105 meter dan telah beroperasi sejak tahun 1967, Waduk Mrica 110 meter (1988), Waduk Batutegi 122 meter (2002), Waduk Wadaslintang 125 meter (1987), dan Waduk Cirata 125 meter (1988) (Sinaro 2006). Salah satu contoh bendungan tipe urugan lainnya di Indonesia adalah bendungan urugan yang terdapat di Waduk Sermo. Waduk Sermo merupakan waduk dengan tipe bendungan urugan batu yang dibangun di Pulau Jawa dengan membendung sungai Ngrancah yang meliputi area seluas 220 Ha. Waduk ini memiliki dimensi panjang 190 m, lebar 8 m, tinggi maksimum 58,60 m dan volume urugan 568.000 m3 (Pratama 2014). Bentuk dari
1
2
bendungan di Waduk Sermo dapat dilihat pada Gambar I.1. Waduk Sermo dioperasikan sejak tahun 1996 dengan pembangunannya dimulai pada tahun 1994 (DJSDA 2014). Waduk Sermo terletak di daerah Hargowilis, Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Waduk ini memiliki cakupan wilayah lebih tepatnya pada koordinat 110° 1’ sampai dengan 110° 16’ Bujur Timur dan 7° 38’ sampai dengan 7° 59’ Lintang Selatan. Menurut Pemkab Kulon Progo, genangan air Waduk Sermo adalah kurang lebih seluas 157 Ha dan dapat menampung air sebanyak 25 juta m3.
Gambar I. 1. Bendungan pada Waduk Sermo (www.waduksermo.org) Tujuan pembangunan Waduk Sermo adalah untuk penyedia tambahan air di sistem irigasi daerah Kalibawang yang memiliki cakupan areal seluas 7152 Ha. Sistem irigasi tersebut merupakan gabungan dari beberapa daerah irigasi di sekitarnya seperti Clereng, Pengasih, dan Pekik Jamal. Selain itu, pembangunan Waduk Sermo juga bertujuan untuk meningkatkan produktifitas pertanian, pemasok kebutuhan air baku, dan juga dimanfaatkan sebagai sarana perikanan, pariwisata, maupun olahraga air. Saat ini pelayanan air baku di Waduk Sermo melayani 6 kecamatan yaitu Kecamatan Pengasih, Kecamatan Kokap, Kecamatan Temon, Kecamatan Wates, Kecamatan Panjatan, dan Kecamatan Sentolo (Pratama 2014). Mengingat Waduk Sermo memiliki berbagai fungsi yang sangat penting di berbagai aspek maka faktor stabilitas terutama pada bagian tubuh bendungan menjadi sangat penting sehingga harus selalu terus dipantau agar nantinya tidak terjadi kejadian yang akan memberikan sebuah kerugian besar. Pemantauan tubuh bendungan menjadi sebuah hal yang harus diperhatikan mengingat bendungan di Waduk Sermo merupakan salah satu bendungan dengan tingkat resiko kerusakan
3
yang tinggi di Indonesia (Azdan dan Samekto 2008). Nilai resiko kerusakan bendungan di Waduk Sermo sendiri berkisar di angka 50 seperti yang terlihat pada Gambar I.2 berikut ini.
Gambar I. 2. Penilaian resiko beberapa bendungan di Indonesia (Project Implementation Plan for DAM Operational Improvement and Safety Project 2008) Tubuh bendungan pada waduk akan mengalami tekanan dari efek tekanan air waduk itu sendiri serta penurunan material tanah. Akibat gaya tekanan ini maka tubuh bendungan waduk kemungkinan akan mengalami pergerakan ke arah horizontal maupun ke arah vertikal. Pergerakan yang akan terjadi tersebut akan mengakibatkan kegagalan konstruksi seperti terjadinya keretakan atau keruntuhan pada struktur bangunan waduk maupun longsor pada lereng bendungan yang akan memberikan kerugian finansial bahkan munculnya korban jiwa (Apriyanti 2014). Kegagalan konstruksi yang terjadi mayoritas disebabkan oleh adanya perubahan massa air secara tiba-tiba sehingga memberikan efek tekanan maupun tegangan terhadap tubuh bendungan. Apabila hal ini terjadi secara terus-menerus dan tidak segera diantisipasi maka akan menyebabkan keruntuhan pada tubuh bendungan sehingga menyebabkan kerugian bagi masyarakat maupun lingkungan di sekitar daerah waduk (Anonim 2014). Beberapa kejadian kegagalan konstruksi bendungan pernah terjadi di dunia akibat perubahan elevasi muka air waduk itu sendiri. Pada tanggal 26 Februari 1972 bendungan Coal Slurry Impoundment yang merupakan bendungan penahan limbah batubara di West Virginia, Amerika Serikat hancur dan mengakibatkan 500.000 m 3 air limbah menggenangi daerah di sekitarnya. Bendungan ini memiliki bentuk yang bertingkat dan memiliki tiga buah tingkat bendungan. Penyebab terjadinya
4
keruntuhan pada bendungan ini adalah ketidakmampuan bendungan teratas untuk menerima perubahan elevasi air secara tiba-tiba setelah hujan deras yang terjadi di daerah tersebut. Hal ini mengakibatkan air melimpas ke dua bendungan di bawahnya sehingga menyebabkan banjir bandang di daerah hilir. Bendungan Kelly Barnes yang terletak di kota Stephens, negara Georgia juga mengalami keruntuhan pada tanggal 6 November 1977. Bendungan yang terbuat dari batu tersebut hancur akibat banjir setelah periode hujan yang sangat lebat di negara tersebut (Khairani 2012). Dampak dari keruntuhan dua bendungan di atas dapat dilihat pada Gambar I.3 berikut ini.
(a)
(b)
(c)
Gambar I. 3. (a) Sisa bendungan Kelly Barnes setelah keruntuhan (Khairani 2012), (b) Ilustrasi bendungan Coal Slurry Impoundment sebelum dan (c) sesudah keruntuhan (Khairani 2012) Berbagai jenis resiko yang muncul tersebut menunjukkan perlunya pemeliharaan dan pemantauan yang memadai untuk menghindari kerusakan pada tubuh bendungan. Seperti sistem pemantauan yang berada di Waduk Sermo dilakukan berdasarkan integrasi dari beberapa disiplin ilmu yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Dari integrasi tersebut akan menghasilkan suatu sistem guna kebutuhan pengawasan dan pemantauan keadaan Waduk Sermo. Sebuah teknik
5
perekaman data dari disiplin ilmu Geodesi dirancang untuk menciptakan suatu sistem yang saling terintegrasi untuk mendeteksi dan memantau pergeseran yang terjadi terhadap tubuh bendungan menggunakan multisensor yang terpasang secara permanen di area waduk. Sensor yang digunakan tersebut terimplementasikan antara lain dalam beberapa alat seperti GNSS CORS, Total Station Robotik, dan Automatic Water Level Recorder (AWLR) yang bekerja sesuai dengan fungsinya masingmasing namun data yang dihasilkan akan terintegrasi dalam suatu sistem sehingga dapat diakses guna kebutuhan praktis maupun kebutuhan ilmiah (Sunantyo 2012). Berdasarkan penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Dessy Apriyanti pada tahun 2014 di Waduk Sermo, disarankan untuk memperhitungkan perubahan ketinggian muka air waduk karena dimungkinkan terdapat pengaruhnya terhadap posisi tubuh bendungan secara teliti. Mengingat Waduk Sermo masuk ke dalam kategori tingkat resiko kerusakan bendungan yang cukup tinggi maka dengan memanfaatkan proses pemantauan yang telah berjalan di Waduk Sermo sejak tahun 2011, dapat dilakukan penelitian yang mempelajari tentang pengaruh perubahan elevasi muka air waduk terhadap elevasi tubuh bendungan yang diwakili oleh elevasi prisma di tubuh bendungan waduk pada waktu pengukuran tertentu. Dengan demikian, dari hasil studi tersebut dapat digunakan untuk kebutuhan pemantauan konstruksi tubuh bendungan waduk termasuk pencegahan kegagalan konstruksi bendungan akibat perubahan volume air yang terjadi secara tiba-tiba. I.2. Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini, yaitu: 1. Berapa besar pengaruh fluktuasi muka air waduk terhadap perubahan elevasi prisma yang berada di tubuh bendungan waduk? 2. Apakah fluktuasi muka air waduk akan memiliki pengaruh yang signifikan secara linier terhadap perubahan elevasi prisma di bagian upstream maupun downstream tubuh bendungan? I.3. Tujuan Penelitian ini memiliki tujuan umum, yaitu: 1. Mengetahui besarnya pengaruh fluktuasi muka air waduk terhadap perubahan elevasi prisma yang berada di tubuh bendungan Waduk Sermo.
6
Penelitian ini juga memiliki tujuan spesifik, yaitu: 1. Mendapatkan nilai korelasi antara fluktuasi muka air waduk terhadap elevasi prisma yang berada di tubuh bendungan waduk. 2. Mendapatkan model persamaan regresi linier sederhana setiap prisma yang meliputi pengaruh fluktuasi muka air waduk terhadap elevasi prisma. I.4. Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, antara lain: 1.
Bagi instansi pemerintah, dengan diketahui korelasi antara fluktuasi muka air waduk terhadap posisi dari tubuh bendungan waduk maka hal ini dapat digunakan sebagai dasar dalam pengambilan keputusan pemantauan dan pemeliharaan Waduk Sermo maupun waduk lainnya di Indonesia pada masa yang akan datang. Apabila ditemukan pengaruh fluktuasi muka air waduk yang sangat signifikan terhadap elevasi prisma maka tindakan pencegahan kerusakan pada tubuh bendungan dapat segera dilakukan.
2.
Untuk manfaat di bidang akademis, penelitian ini dapat dijadikan sebagai dasar untuk melakukan penelitian yang lebih mendalam untuk mempelajari hubungan antara faktor fluktuasi muka air waduk mauapun faktor lainnya terhadap posisi tubuh bendungan waduk secara teliti. I.5. Batasan Masalah
Beberapa hal yang dijadikan sebagai batasan masalah dalam penelitian ini, antara lain: 1.
Akuisisi data dilakukan menggunakan alat Total Station Robotik Leica TM30 dan alat Automatic Water Level Recorder (AWLR) merk Campbell yang terpasang di sekitar area Waduk Sermo.
2.
Dalam penelitian ini hanya memperhatikan perubahan nilai elevasi muka air waduk terhadap elevasi prisma pada saat muka air turun pada tanggal 16 November 2011 s.d. 15 Desember 2011 dan pada saat muka air naik tanggal 16 Desember 2011 s.d. 14 Januari 2012.
3.
Posisi dari titik-titik pengamatan (prisma) diasumsikan diam selama pengukuran berlangsung dan elevasi dari prisma tersebut diasumsikan mewakili elevasi tubuh bendungan Waduk Sermo.
7
4.
Hubungan antara elevasi prisma di tubuh bendungan dan elevasi muka air waduk diasumsikan linier.
5.
Penelitian ini dilakukan dengan mengacu pada hasil penelitian Bayrak pada tahun 2007.
6.
Pengolahan data dalam penelitian ini dilakukan menggunakan metode analisis regresi linier sederhana. I.6. Tinjauan Pustaka
Bayrak (2007) melakukan penelitian terhadap Waduk Yamula di negara Turki dengan mempelajari kenaikan muka air waduk dan pergeseran secara vertikal yang terjadi pada waduk pada saat pengisian air untuk pertama kalinya. Penelitian ini menggunakan tiga buah teknik analisis deformasi yang berbeda meliputi perhitungan secara statis, kinematis, dan dinamis. Dari hasil penelitian ini diperoleh bahwa pergeseran vertikal yang terbesar terjadi di bagian tengah dari tubuh bendungan waduk. Selain itu, terdapat hubungan yang linier antara perubahan posisi bendungan dengan perubahan ketinggian muka air waduk. Terdapat pula hubungan kausatif antara elevasi muka air waduk dengan deformasi bendungan saat muka air waduk dalam keadaan naik dimana kecepatan pergerakan dari titik objek yang diamati mengalami kenaikan. Hubungan kausatif tersebut dapat dilihat dari hasil yang diperoleh yaitu pada setiap kenaikan muka air waduk sebesar 10 cm maka terjadi pergeseran vertikal sekitar 2,2 cm. Nilai rata-rata koefisien determinasi antara muka air waduk dengan pergeseran vertikal yang terjadi yaitu sebesar 81% untuk semua titik pengamatan. Hal ini berarti bahwa semua titik objek pengamatan terpengaruh oleh kenaikan muka air waduk pada saat pengisian air waduk untuk pertama kali. Yunus dkk (2010) dalam makalah yang dipublikasikan dalam acara FIG Working Week pada tahun 2010 di kota Sydney, Australia menyebutkan bahwa Waduk Ataturk yang berada di negara Turki menggunakan instalasi pemantauan deformasi menggunakan alat seperti penggunaan GPS, alat Electronic Distance Measure (EDM) maupun penggunaan digital leveling. Koordinat 3 dimensi yang dihasilkan dari pengukuran koordinat menggunakan GPS cukup akurat sehingga dapat digunakan sebagai teknik pengukuran yang menggantikan teknik pengukuran secara konvensional. Dari penelitian yang dilakukan oleh Yunus diperoleh hasil yaitu
8
akurasi GPS sebesar ± 1 cm untuk keperluan pemantauan daerah waduk dan daerah di sekitarnya. Dari hasil yang telah diperoleh tersebut maka metode pengukuran yang digunakan sudah cukup memadai untuk waduk tipe urugan batu seperti Waduk Ataturk. Ambangkoro (2011) melakukan penelitian terhadap penggunaan Total Station Robotik yang terpasang di Waduk Sermo. Penelitiannya tersebut bertujuan untuk mengetahui pengaruh suhu terhadap ketelitian hasil pengukuran jarak miring menggunakan alat Total Station Robotik. Dalam penelitian ini dilakukan perhitungan menggunakan metode regresi linier sederhana dengan mengasumsikan bahwa hasil pengukuran jarak miring sebagai variabel dependen akan berubah secara sistematis sejalan dengan berubahnya nilai suhu yang diasumsikan sebagai variabel independen. Dari penelitian ini diperoleh besarnya nilai koreksi sebesar -0,20 mm yang menunjukkan bahwa pada setiap kenaikan suhu sebesar 1°C maka jarak miring yang dihasilkan akan berkurang rata-rata sebesar 0,2 mm sehingga dapat dikatakan bahwa setiap kenaikan suhu sebesar 10°C maka jarak miring yang dihasilkan akan berkurang sebesar 2 mm. Selain itu, setelah dilakukan perhitungan dengan metode regresi linier sederhana diperoleh nilai rata-rata korelasi antara data jarak miring dengan nilai suhu sebesar 0,792. Nilai tersebut menunjukkan bahwa terdapat derajat hubungan yang cukup kuat di antara kedua parameter yang diamati. Sunantyo dkk (2012) dalam makalahnya yang dipublikasikan dalam acara FIG Working Week pada tahun 2012 di kota Roma, Italia menyebutkan bahwa sistem pemantauan Waduk Sermo menyediakan data yang dapat diakses kapan pun meliputi data perubahan posisi pada tubuh bendungan maupun data lainnya yang berkaitan dengan keadaan dari waduk. Adanya sistem pemantauan yang efektif tersebut dapat menghasilkan data yang dapat digunakan untuk keperluan deteksi kegagalan konstruksi secara dini maupun untuk keperluan mitigasi bencana. Begitu luasnya cakupan data yang dihasilkan maka dibutuhkan konsep pengukuran yang cukup beranekaragam untuk membuat sistem pemantauan ini akan berjalan seperti yang telah direncanakan sebelumnya. Selain itu, sumber tenaga berupa arus listrik juga menjadi hal yang sangat penting untuk membuat sistem ini berjalan selama 24 jam setiap harinya. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sunantyo terhadap hasil pengukuran stasiun GNSS CORS yang terpasang di Waduk Sermo (SRM1 dan
9
SRM2), diperoleh kepresisian data koordinat 3 dimensi yang cukup tinggi yaitu sebesar 2 hingga 5 mm. Kepresisian yang cukup tinggi tersebut membuat stasiun GNSS CORS pada Waduk Sermo dapat digunakan sebagai referensi untuk keperluan pemantauan tubuh bendungan menggunakan 20 buah titik kontrol yang tersebar di sekitar area waduk. Tersedianya data hasil pengukuran multisensor (GNSS CORS, Total Station Robotik, dan Automatic Water Level Recorder) yang terintegrasi dalam suatu sistem maka dapat digunakan untuk berbagai penelitian terkait dengan pemantauan meliputi stabilitas dan status keamanan dari Waduk Sermo. Apriyanti (2014) melakukan penelitian dengan melakukan pengukuran terhadap jarak dan sudut horizontal antar titik kontrol pada kerangka kontrol yang terdapat di Waduk Sermo. Pengamatan dilakukan pada dua waktu pengukuran yaitu pada tahun 2012 dan tahun 2013 terhadap titik kontrol yang berjumlah sembilan buah. Dari pengukuran tersebut dihasilkan data ukuran berupa 22 buah data jarak, 85 buah data sudut, serta 14 buah data koordinat setiap epoknya. Pengolahan data dilakukan menggunakan metode parameter berbobot yang menghasilkan besar pergeseran horizontal yang berkisar di antara 2 hingga 17 mm. Analisis pergeseran horizontal berupa uji kesebangunan jaring dengan derajat kepercayaan 95%, menunjukkan bahwa pergeseran yang terjadi tidak signifikan secara statistik. Hal ini berarti bahwa tidak terjadi pergeseran horizontal selama selang waktu 1 tahun pada semua titik kontrol yang ada. Pada akhir penelitiannya disarankan untuk memperhitungkan perubahan ketinggian muka air waduk karena dimungkinkan terdapat pengaruhnya terhadap posisi dari bendungan secara teliti. Dari penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, terdapat perbedaan setiap penelitian sebelumnya dengan penelitian yang akan dilakukan antara lain: 1.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Bayrak (2007), dilakukan studi yang mempelajari kenaikan muka air waduk dengan pergeseran secara vertikal yang terjadi pada waduk pada saat pengisian air waduk untuk pertama kalinya menggunakan teknik analisis deformasi, sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan ini merupakan studi mengenai pengaruh perubahan elevasi muka air waduk terhadap elevasi prisma yang terdapat di tubuh bendungan saat muka air naik maupun turun menggunakan metode analisis regresi linier sederhana.
10
2.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Yunus dkk (2010), dilakukan studi mengenai pergeseran yang terjadi pada tubuh bendungan menggunakan alat digital leveling untuk melakukan pengukuran beda tinggi di tubuh bendungan, sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan ini menggunakan alat Total Station Robotik dengan tingkat ketelitian sudut vertikal sebesar 1”.
3.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Ambangkoro (2011), dilakukan studi mengenai pengaruh suhu terhadap jarak miring hasil pengukuran Total Station Robotik menggunakan metode regresi linier sederhana dengan mengasumsikan
parameter
suhu
sebagai
variabel
bebas/variabel
independen dan parameter jarak miring diasumsikan sebagai variabel terikat/variabel dependen, sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan ini menggunakan parameter elevasi muka air waduk yang diasumsikan sebagai variabel independen dan elevasi prisma di tubuh bendungan sebagai variabel dependen. 4.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Sunantyo dkk (2012), dilakukan studi mengenai sistem pemantauan di Waduk Sermo secara otomatis. Dalam penelitian tersebut diperoleh hasil berupa kepresisian data koordinat 3 dimensi dari stasiun GNSS CORS yang cukup tinggi yaitu sebesar 2 hingga 5 mm. Dari hasil tersebut maka stasiun GNSS CORS tersebut dapat dijadikan sebagai referensi dalam melakukan pemantauan untuk keperluan pemantauan tubuh bendungan menggunakan 20 buah titik kontrol yang tersebar di sekitar area waduk, sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan ini merupakan studi mengenai analisis data hasil implementasi dari sistem pemantauan tubuh bendungan menggunakan alat Total Station Robotik.
5.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Apriyanti (2014), dilakukan studi mengenai pengukuran terhadap jarak dan sudut horizontal antar titik kontrol pada kerangka kontrol yang terdapat di Waduk Sermo, sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan ini merupakan studi mengenai perubahan elevasi prisma yang mewakili posisi tubuh bendungan dari Waduk Sermo.
11
I.7. Landasan Teori I.7.1. Bendungan Urugan Suatu bendungan yang dibangun dengan cara menimbunkan bahan-bahan seperti batu, kerikil, pasir, dan tanah pada komposisi tertentu dengan fungsi sebagai pengangkat permukaan air yang terdapat di dalam waduk disebut sebagai bendungan tipe urugan (Sosrodarsono dan Takeda 2002). I.7.1.1. Klasifikasi bendungan urugan. Soedibyo (1993) menyatakan bahwa didasarkan pada ukuran butiran dari bahan timbunan yang digunakan, secara umum bendungan dapat dibedakan menjadi 2 tipe bendungan urugan yaitu : 1. Bendungan urugan batu (rock fill dam) yang dikenal dengan istilah bendungan batu. 2. Bendungan urugan tanah (earth fill dam) yang dikenal dengan istilah bendungan tanah. Selain kedua jenis tersebut, terdapat bendungan urugan campuran yaitu bendungan yang terdiri dari timbunan batu di bagian hilirnya yang berfungsi sebagai penyangga, sedangkan di bagian hulunya terdiri dari timbunan tanah yang selain berfungsi sebagai penyangga tambahan juga berfungsi sebagai tirai kedap air. Agra (2006) menyatakan bahwa apabila ditinjau dari penempatan dan susunan bahan yang membentuk tubuh bendungan, maka bendungan urugan dapat digolongkan dalam 3 tipe utama, yaitu : 1. Bendungan urugan homogen (bendungan homogen), apabila bahan yang membentuk tubuh bendungan tersebut terdiri dari tanah yang hampir sejenis dan susunan ukuran butirannya hampir seragam. 2. Bendungan urugan zonal (bendungan zonal), apabila bahan yang membentuk tubuh bendungan tersebut terdiri dari batuan dengan susunan ukuran butiran yang berbeda-beda dalam urutan pelapisan tertentu. 3. Bendungan urugan bersekat (bendungan sekat), apabila di lereng tubuh bendungan dilapisi dengan sekat yang tidak tembus dengan air dan memiliki tingkat kedap air yang tinggi.
12
I.7.1.2. Karakteristik bendungan urugan. Terdapat beberapa karakteristik utama dari bendungan tipe urugan antara lain (Sosrodarsono dan Takeda 2002): 1. Bendungan urugan mempunyai alas yang luas sehingga beban yang harus didukung oleh pondasi bendungan per satuan unit luas menjadi kecil. Beban utama yang harus didukung pondasi terdiri dari berat tubuh bendungan dan tekanan hidrostatis dari air dalam waduk. Oleh karena itu, bendungan urugan dapat dibangun di atas alur sungai yang tersusun dari batuan sedimen dengan kemampuan daya dukung yang rendah asalkan kekedapannya dapat diperbaiki sampai tingkat yang dikehendaki. 2. Bendungan urugan selalu dapat dibangun menggunakan bahan batuan yang terdapat di sekitar lokasi rencana bendungan. Dibandingkan dengan jenis bendungan beton, yang memerlukan bahan-bahan fabrikat seperti semen dalam jumlah besar dengan harga yang tinggi dan didatangkan dari tempat yang jauh, maka bendungan urugan dalam hal ini menunjukkan perbandingan yang cenderung positif. 3. Dalam proses pembangunannya, bendungan urugan dapat dilaksanakan secara mekanis dengan intensitas
yang tinggi (full mechanized)
menggunakan peralatan yang sudah banyak diproduksi dan sesuai dengan sifat bahan yang digunakan serta kondisi di lapangan. I.7.1.3. Kegagalan bendungan tipe urugan. Sosrodarsono dan Takeda (2002) menyatakan bahwa terdapat beberapa penyebab kegagalan pada bendungan tipe urugan antara lain: 1. Longsoran yang terjadi pada lereng hulu, maupun lereng hilir tubuh waduk. 2. Terjadinya sufosi (erosi dalam atau piping) oleh gaya–gaya yang timbul dalam aliran filtrasi yang terjadi di dalam tubuh waduk. 3. Suatu konstruksi yang kaku tidak diinginkan di dalam tubuh waduk, karena konstruksi tersebut tak dapat mengikuti gerakan konsolidasi dari tubuh waduk tersebut. 4. Proses pelaksanaan pembangunannya bisa sangat peka terhadap pengaruh iklim.
13
I.7.1.4. Bagian utama bendungan urugan. Bendungan urugan memiliki bagian-bagian yang serupa dengan tipe bendungan lainnya, yaitu (Agra 2006): 1.
Tubuh bendung, pada bendungan urugan berupa timbunan tanah atau batu yang terdiri dari zona kedap dan lolos air.
2.
Waduk, merupakan tempat penampungan air sungai.
3.
Pelimpah (spillway), merupakan bagian bendungan yang berfungsi untuk melimpahkan air berlebih yang melebihi kapasitas waduk.
4.
Intake, merupakan bagian bendungan yang berfungsi untuk mengalirkan air menuju sawah yang akan diairi air dari bendungan.
5.
Pintu outlet, merupakan pintu pengeluaran air bendungan.
Bagian-bagian dari bendungan di atas secara detail dapat dilihat pada Gambar I.4 berikut ini.
(a)
(b)
Gambar I.4. (a) Spillway, tubuh bendung, waduk (www.pustaka.pu.go.id) dan (b) intake, pintu outlet (www.ideers.bris.ac.uk) I.7.2. Stabilitas Konstruksi Bendungan Stabilitas konstruksi bendungan sangat perlu ditentukan agar mampu untuk menahan muatan dan gaya yang bekerja pada bendungan dalam keadaan apapun juga. Di dalam kriteria desain dan dasar-dasar perencanaan terdapat 3 buah prinsip yang harus diperhatikan, antara lain (Anonim 2014): 1. Untuk mencegah terjadinya bahaya limpasan yang melewati puncak bendungan maka harus disediakan bangunan pelimpah dan bangunan pengeluaran yang cukup kapasitasnya. Apabila terpaksa terdapat air yang melimpah melewati puncak bendungan maka hanya diperbolehkan yang berasal dari ombak atau gelombang yang terjadi karena angin dengan
14
ketentuan bendungan harus dapat menahan dan tidak mengalami kerusakan yang berarti. 2. Syarat-syarat stabilitas konstruksi dapat dipenuhi, mencakupi beberapa hal, yaitu: a. Lereng di sebelah hulu dan hilir bendungan harus tidak mudah longsor. Lereng di sebelah hulu bendungan harus stabil dan aman dalam keadaan apapun pada waduk kosong, penuh air, maupun permukaan air yang turun secara tiba-tiba (rapid drawdown). Demikian pula untuk lereng di sebelah hilir, harus stabil dan aman dalam keadaan apapun baik pada saat waduk dalam keadaan kosong, penuh air maupun saat permukaan air turun secara tiba-tiba. Pada waktu waduk terisi air penuh maka tekanan porinya sangat besar, bagian di dalam waduk mendapat tekanan air ke bawah sehingga beratnya bertambah. Pada waktu permukaan air waduk turun secara tiba-tiba maka air dari pori-pori akan sangat lambat hilangnya sehingga masih terisi air dan dalam keadaan basah maka beratnya menjadi berkurang karena tekanan air tidak ada lagi. Keadaan berbahaya yang harus ditinjau adalah di sebelah hulu. b. Harus aman terhadap geseran. c. Harus aman terhadap penurunan bendungan. d. Harus aman terhadap rembesan. 3. Untuk mencegah terjadinya bahaya gejala pembuluh maka rembesan air yang kemungkinan terjadi harus disalurkan melalui saluran pengering, sumur pengering, maupun pelepas tekanan. I.7.3. Tekanan Tekanan merupakan suatu besaran yang didefinisikan sebagai gaya yang bekerja pada suatu benda tiap satuan luas benda tersebut. Apabila gaya sebesar F bekerja secara garis lurus dan merata pada permukaan bidang seluas A, maka tekanan pada permukaan tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut (Effendi 2012):
P = ………….…...….……...……………………..……………….………(I.1) Dalam hal ini,
P
: tekanan pada benda
15
F
: gaya yang terjadi (N)
A
: luas permukaan yang mendapat gaya (m2)
Dalam sistem Internasional (SI), gaya dinyatakan dalam satuan Newton (N) dan luas dinyatakan dalam satuan m2 sehingga tekanan dinyatakan dalam satuan N/m2 atau yang sering dikenal dengan nama Pascal (Pa). Pada Rumus (I.1) di atas menunjukkan bahwa ketika penampang lebih kecil maka tekanan bertambah besar. Begitu pula sebaliknya, apabila luas penampang lebih besar dari gaya yang diberikan maka tekanan yang dihasilkan akan semakin kecil. Misalnya pisau tajam akan memberikan tekanan yang lebih besar dibandingkan dengan pisau yang tumpul karena luas permukaan (bagian yang tajam) dari pisau tajam lebih kecil dibandingkan dengan luas permukaan dari pisau tumpul. I.7.3.1. Tekanan hidrostatis. Effendi (2012) menyatakan bahwa besarnya gaya tekan zat cair yang diam terhadap wadahnya setiap satuan luas disebut tekanan hidrostatik. Ilustrasi tersebut dapat dilihat pada Gambar I.5. berikut ini.
Gambar I.5. Ilustrasi tekanan hidrostatis (Effendi 2012) Apabila merujuk pada Rumus (I.1) di atas maka tekanan hidrostatis dapat dirumuskan secara matematis sebagai berikut
P = ………….……...………...……..…………………………..…………(I.2) (
P= P= P
(
)
)
ρ*g*h..…………………………………….…………………..………..(I.3)
16
Dalam hal ini,
P : tekanan hidrostatis (Nm-2) ρ : massa jenis zat cair (kgm-3) g : percepatan gravitasi (ms-2) V : volume benda (m3)
h : tinggi zat cair (m) A : luas permukaan bidang (m2) Dari Rumus (I.3) di atas dapat disimpulkan bahwa tekanan di dalam zat cair disebabkan oleh gaya gravitasi yang besarnya tergantung pada kedalaman dari zat cair tersebut. Untuk jenis zat cair, maka tekanan hidrostatis pada suatu titik di dalam zat cair hanya tergantung pada kedalaman titik tersebut. Semua titik yang berada pada kedalaman yang sama akan mengalami tekanan hidrostatis yang sama. Titiktitik pada kedalaman yang sama dapat dikatakan pada suatu bidang datar, sehingga tekanan hidrostatis pada sembarang titik yang terletak pada suatu bidang datar di dalam satu zat cair besarnya akan sama (Effendi 2012). Pada konstruksi bendungan, tekanan zat cair yang bekerja pada dinding dasar bendungan lebih besar daripada tekanan yang bekerja pada dinding atas bendungan. Untuk luas dinding yang sama, gaya tekan zat cair pada dinding dasar bendungan lebih besar daripada yang bekerja pada dinding atas bendungan. Itulah sebabnya desain bagian dasar bendungan selalu dibuat lebih tebal dibandingkan bagian atasnya. I.7.3.2. Hukum pokok hidrostatis. Tekanan hidrostatik pada suatu titik di dalam suatu zat cair bergantung pada massa jenis zat cair dan letak dari titik tersebut di bawah permukaan zat cair. Hal ini berarti, di dalam suatu jenis zat cair (misalnya air dalam suatu wadah) tekanan hidrostatik hanya bergantung pada letak titik tersebut dari permukaan zat cair (kedalaman). Untuk semua titik yang terletak pada kedalaman yang sama maka tekanan hidrostatiknya sama. Apabila permukaan zat cair terletak pada bidang datar, maka titik-titik yang memiliki tekanan yang sama terletak pada suatu bidang datar. Dapat dikatakan bahwa semua titik yang terletak pada bidang datar di dalam satu jenis zat cair akan memiliki tekanan yang sama. Pernyataan tersebut disebut dengan hukum pokok hidrostatis (Effendi 2012).
17
I.7.4. Pengukuran Tinggi Muka Air Waduk Pengukuran tinggi muka air dimaksudkan untuk mengetahui posisi dari muka air suatu perairan di lokasi stasiun pengukuran pada waktu tertentu. Pengertian waktu dalam hal ini terkait dengan periode pengukuran tinggi muka air. Pengukuran dapat dilakukan pada waktu tertentu ataupun secara terus menerus (kontinyu). Untuk pengukuran muka air pada waktu tertentu digunakan papan duga dengan meteran (staf gauge), sedangkan untuk pengukuran muka air secara kontinyu digunakan alat pengukur air otomatis (AWLR) (Anonim 2012). I.7.4.1. Papan Duga. Papan duga (staf gauge) merupakan alat paling sederhana untuk mengukur elevasi muka air secara manual. Pembacaan langsung dilakukan pada alat ukur yang diikatkan pada tiang-tiang yang dipancangkan di tepi perairan. Alat ini terbuat dari kayu atau plat baja yang diberi ukuran skala dalam satuan centimeter. Pada saat mengukur ketinggian muka air menggunakan papan duga maka data muka air dapat diperoleh secara langsung dengan membaca posisi muka air pada skala papan duga seperti yang terlihat pada Gambar I.6. Pengamatan elevasi muka air pada papan duga biasanya dilakukan sehari sekali pada waktu-waktu tertentu yang telah ditetapkan. Keuntungan dari alat ini adalah mudah dan murah pada saat pemasangan, sedangkan kekurangannya adalah tidak tercatatnya muka air pada waktu tertentu yang mungkin mempunyai informasi penting, misalnya saat ketinggian air maksimal (Triesnawati 2006).
(a)
(b)
Gambar I.6. (a) Papan duga (Muzet 1980) dan (b) Sketsa penampang pos duga air (Puslitbang Pengairan 1986)
18
I.7.4.2. Automatic Water Level Recorder (AWLR). Automatic Water Level Recorder merupakan alat yang digunakan untuk mengukur ketinggian air pada rentang waktu tertentu. Data muka air diperoleh dengan membaca grafik fluktuasi muka air hasil perekaman oleh alat AWLR (Soedibyo 1993). Kartiwa (2007) menyatakan bahwa keuntungan menggunakan alat AWLR ini adalah pencatatan data muka air lebih akurat, pencatatan fluktuasi muka air dapat dilakukan secara otomatis, tinggi air maksimum dan minimum tercatat secara otomatis tepat pada waktu terjadinya, serta dapat mengurangi kesalahan pengukuran karena faktor manusia. AWLR terdiri dari alat yang memancarkan sensor berupa gelombang elektromagnetik dan alat perekam data ketinggian muka air (logger) seperti yang terlihat pada Gambar I.7 berikut ini.
Gambar I.7. Alat Automatic Water Level Recorder (AWLR) dengan sensor elektronik (Sunantyo 2012) Berdasarkan prinsip pengukurannya maka sebuah stasiun pengamatan tinggi muka air otomatis (AWLR) secara umum dapat dibagi menjadi 2 macam yaitu (Kartiwa 2007): 1. AWLR tipe kontak. AWLR tipe kontak merupakan tipe AWLR yang terdapat kontak langsung antara sensor alat dengan permukaan air. Berdasarkan prinsip kerja sensornya maka AWLR tipe kontak terbagi menjadi AWLR tipe mekanik dan AWLR tipe tekanan. AWLR tipe mekanik mencatat data tinggi muka air berdasarkan perubahan posisi vertikal pelampung yang terapung di permukaan air. Perubahan posisi pelampung kemudian ditransformasikan menjadi data tinggi muka air yang tercatat pada pita berskala yang berputar, melalui sistem mekanik seperti yang terlihat pada Gambar I.8. Untuk AWLR tipe tekanan mengukur
19
perubahan tinggi muka air berdasarkan adanya perubahan tekanan pada sensor akibat perubahan tinggi muka air.
Gambar I.8. Ilustrasi AWLR tipe kontak (Kartiwa 2007) 2. AWLR tipe non kontak. AWLR tipe non kontak merupakan tipe AWLR yang tidak terdapat kontak langsung antara sensor pengukur tinggi muka air dengan permukaan air. AWLR tipe non kontak merupakan hasil pengembangan terkini dari alat pengukur tinggi muka air melalui kecanggihan cara kerja sensor ultrasonik. Sensor AWLR tipe ini secara periodik akan memancarkan suatu seri gelombang secara vertikal yang akan dipantulkan kembali oleh permukaan air. Berdasarkan cepat rambat gelombang tersebut pada saat dipancarkan hingga diterima kembali oleh sensor setelah terpantul permukaan air, dapat menginformasikan jarak antara sensor dengan permukaan air. Selanjutnya data jarak tersebut disimpan dalam memori data logger yang berada di dalam stasiun pencatat. Ilustrasi dari AWLR tipe non kontak seperti yang telah dijelaskan di atas dapat dilihat pada Gambar I.9 berikut ini.
Gambar I.9. Ilustrasi AWLR tipe non kontak (Kartiwa 2007) Kelebihan penggunaan AWLR tipe non kontak apabila dibandingkan dengan penggunaan AWLR tipe kontak, yaitu:
20
a. Tidak memerlukan sumur serta alat terowongan yang menghubungkan muka air perairan yang diamati dengan sensor yang terpasang (untuk sensor tipe pelampung maupun tekanan). b. Alat dengan sensor ultrasonik tidak memerlukan perawatan seintensif alat dengan tipe kontak dikarenakan posisi sensor yang tidak bersentuhan langsung dengan air. Berbeda dengan alat tipe kontak yang memerlukan tindakan pembersihan rutin dikarenakan penyumbatan sumur serta terowongan penghubung akibat sedimentasi. I.7.5. Total Station Robotik Total Station Robotik merupakan alat pengukur jarak maupun sudut yang berkerja secara otomatis dengan prinsip kerja yang hampir sama dengan alat Total Station jenis manual yang beredar di pasaran. Alat ini akan bekerja sesuai dengan perintah pengukuran yang telah diatur sebelumnya pada sebuah sistem yang bekerja di dalamnya. Alat ini dapat melakukan pengukuran terhadap suatu obyek yang telah dipasangkan reflektor yang posisinya telah tertentu sehingga dapat digunakan untuk keperluan pemantauan obyek tersebut. Proses pemantauan tersebut mencakup jarak mendatar, jarak miring, posisi horizontal (koordinat X dan Y), maupun posisi vertikal (elevasi). Bahkan pada Total Station Robotik merk Leica TM30 diklaim dapat melakukan pengukuran tanpa menggunakan reflektor (reflectorless) sekalipun hingga jarak 1200 meter. Selain itu, pada alat ini juga dilengkapi dengan teknologi sensor ATR (Automatic Target Recognition) yang dapat mengikuti target prisma secara otomatis dengan tingkat akurasi yang baik (Leica 2011). Untuk berbagai macam komponen dari alat Total Station Robotik tersebut dapat dilihat secara lengkap pada Gambar I.10 berikut ini.
21
(a)
(b) Gambar I.10. (a) dan (b) Nama komponen alat Total Station Robotik (Leica 2011) Apabila dibandingkan dengan pengukuran dengan Total Station tipe manual, penggunaan Total Station Robotik merupakan metode pengukuran yang hemat waktu maupun biaya guna kebutuhan pemantauan posisi dari tubuh bendungan waduk. Dengan kemampuan untuk melakukan pengukuran terhadap puluhan titik kontrol sekaligus dan dengan dikombinasikan dengan kemampuan pengumpulan data secara otomatis memberikan keuntungan yang signifikan apabila dibandingkan dengan teknik pemantauan secara manual (Lutes 2002).
22
I.7.6. Pengukuran Jarak Elektronis Pengukuran jarak secara elektronis merupakan metode pengukuran jarak antara dua titik atau lebih menggunakan gelombang elektromagnetik pada alat ukur yang digunakan. Pengukuran dengan metode ini mempunyai ketelitian yang lebih tinggi dengan rentang jarak yang lebih jauh apabila dibandingkan dengan pengukuran jarak secara manual (Swadana 1999). Metode pengukuran jarak ini disebut dengan electronic distance measurement dan alat ukurnya disebut dengan Electronics Distance Meter (EDM) (Basuki 2011). I.7.6.1. Pengukuran jarak menggunakan EDM. Peralatan pengukuran EDM dibagi menjadi dua berdasarkan pada gelombang elektromagnetiknya yang digunakan, yaitu (Sudarsono 2000): 1. EDM dengan gelombang mikro. Sistem kerja EDM jenis ini menggunakan gelombang mikro sebagai gelombang pembawa dengan panjang gelombang 8 – 100 mm dan biasa disebut Tellurometer. Sistem kerja Tellurometer adalah memancarkan suatu gelombang yang telah termodulasi frekuensinya ke unit pembantu. Selanjutnya, gelombang dipancarkan kembali ke unit utama setelah frekuensinya diubah terlebih dahulu untuk menghindari terjadinya resonansi. Dari sistem kerja Tellurometer tersebut terlihat bahwa unit pembantu pada EDM dengan gelombang mikro ini bersifat aktif sehingga dapat saling berganti fungsi dengan unit utama. Gelombang yang datang dari unit pembantu dipisahkan secara elektronis sehingga sama dengan
gelombang
pengukur
yang
dipancarkan
sehingga
proses
pengukuran beda fase dapat dilakukan. 2. EDM dengan gelombang cahaya. Sistem kerja EDM jenis ini menggunakan gelombang cahaya yang dipancarkan dari unit utama kemudian dipantulkan kembali ke penerima oleh unit pembantu. Unit pembantu ini bersifat pasif (tidak seperti EDM dengan gelombang mikro) sehingga perlengkapan yang dimiliki cukup sederhana dan ringan. Pada alat EDM menggunakan gelombang cahaya (light wave) ini dapat dibagi lagi menjadi dua macam, yaitu:
23
a. Menggunakan cahaya tampak (visible light) dengan panjang gelombang sekitar 0,56 mikrometer. Cahaya yang dipancarkan dapat dilihat menggunakan mata telanjang (secara visual). b. Menggunakan infra merah (infra red) dengan panjang gelombang sekitar 0,9 mikrometer. Faktor penyerapan oleh atmosfer pada EDM yang menggunakan gelombang infra merah lebih banyak, dibandingkan pada alat EDM yang menggunakan cahaya tampak maupun gelombang mikro. I.7.6.2. Prinsip pengukuran jarak menggunakan EDM. Prinsip pengukuran jarak pada alat ukur EDM pada umumnya adalah memperoleh suatu ukuran jarak dengan mengukur beda fase antara gelombang yang langsung ke pengukur (sinyal utama) dan gelombang pengukur yang telah mengalami demodulasi (sinyal data). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar I.11 berikut ini.
Gambar I.11. Skema prinsip kerja EDM (Sudarsono 2000) Pada skema di atas dapat dilihat bahwa gelombang pembawa dan gelombang pengukur dimodulasikan dan dipancarkan oleh unit utama. Hasil gelombang yang termodulasi tersebut diterima oleh unit penerima (reflector) dan dipantulkan kembali ke unit utama. Pada unit utama tersebut, gelombang mengalami demodulasi yang kemudian dilakukan pengukuran beda phase. Cara mendapatkan gelombang elektromagnetik yang termodulasi tersebut adalah dengan menggabungkan sinyal data dan sinyal utama. Gelombang elektromagnetik yang diketahui frekuensinya
24
dipancarkan ke penerima dan kemudian dipantulkan kembali ke pemancar (Ambangkoro 2011). Gelombang elektromagnetik akan memancar ke segala arah sehingga diperlukan peralatan khusus yang memungkinkan gelombang elektromagnetik memancar pada suatu arah tertentu. Peralatan yang mampu membuat gelombang elektromagnetik memancar pada suatu arah tertentu digunakan pada alat ukur jarak EDM hingga saat ini. Prinsip pengukuran gelombang elektromagnetik pada EDM dapat dilihat pada Gambar I.12 berikut ini (Sudarsono 2000).
Gambar I.12. Gelombang elektromagnetik pada EDM (Sudarsono 2000) Keterangan: D
: jarak antara titik P ke titik Q
ϕ
: sudut fase
a
: amplitudo gelombang
A
: amplitudo maksimum gelombang
L
: panjang gelombang
∆L
: bagian panjang gelombang yang tersisa
Dari gambar di atas terlihat bahwa cara pengukuran jarak (D) dilakukan dengan memancarkan gelombang elektromagnetik dari arah titik P ke titik Q pada frekuensi f yang berbentuk sinusioda sehingga diperoleh persamaan berikut:
a = A sin ϕ………….…......………...…….……...………………………...(I.4) Apabila nilai ϕ = ωt, maka persamaan menjadi:
a
A sin ωt………….……...………...……….……..……………………..(I.5)
Gelombang yang dideteksi di titik Q ternyata fasenya tertinggal sebesar ∆ϕ yang sebanding dengan selisih waktu yang diperlukan oleh gelombang untuk merambat dari titik P ke titik Q, sehingga diperoleh persamaan berikut:
aQ = AQ sin ω (t + ∆t) …….……...…..…...………..………….….…..…...(I.6) Apabila nilai ∆ϕ = ω . ∆t, maka persamaan menjadi:
25
aQ = AQ sin ω (t + ∆t)
AQ sin ωt + ω ∆t
aQ = AQ sin (ωt + ∆ϕ) …….……...………...….…..…………..…..……...(I.7) Apabila fase di P dan Q sama, maka diperoleh persamaan berikut:
∆ϕ = n * 2π…….……...….........…………………....…..………………….(I.8) Gelombang elektromagnetik memiliki kecepatan pada saat merambat pada suatu media penghantar sehingga diperoleh persamaan berikut:
D
C ∆t
C
D = n * L…….………...…...……...……………..…….……………...…….(I.9) Tetapi apabila di titik P dan titik Q terjadi perbedaan fase sebesar ∆ϕ’ antara nilai 0 (nol) sampai 2π, maka Rumus (I.8) berubah menjadi persamaan berikut:
∆ϕ = n * 2π + ∆ϕ’………………......……..………....…………………...(I.10) dan persamaan (I.10) berubah menjadi persamaan berikut:
D = n * L + ∆ϕ’...………...…...…...…………...………….………...…….(I.11) Agar diperoleh Rumus (I.10) yang linier maka kedua sisi dikalikan dengan
,
sehingga menjadi:
∆ϕ ∆ϕ .
(n 2π + ∆ϕ’) =n.L+
∆
Maka diperoleh persamaan akhir untuk memperoleh jarak antara titik P dan titik Q sebagai berikut:
D = n * L + ∆L…….………......………...…………………………….......(I.12) Dalam hal ini,
D : jarak antara titik P ke titik Q a : amplitudo gelombang A : amplitudo maksimum gelombang ω : kecepatan sudut yang konstan C : kecepatan pada saat merambat pada suatu media penghantar ϕ : sudut fase ∆ϕ : beda sudut fase π : phi (3,14)
26
t : waktu yang diperlukan oleh gelombang untuk merambat ∆t : beda waktu
n : bilangan bulat (1,2,3,…) f : frekuensi L : panjang gelombang ∆L : bagian panjang gelombang yang tersisa I.7.8. Pengukuran Tinggi Secara Trigonomterik Posisi vertikal (elevasi) dari target yang diamati dapat diperoleh melalui perhitungan beda tinggi antara tempat berdiri alat dengan tempat berdiri target. Pengukuran beda tinggi dengan cara trigonometrik merupakan suatu proses penentuan beda tinggi dari titik-titik pengamatan yang terletak pada bidang vertikal yang sama dengan cara mengukur sudut miring atau sudut vertikalnya dengan jarak yang diukur, baik jarak dalam bidang datar maupun jarak dalam bidang miring (Basuki 2011). Pengukuran tinggi dari target yang diamati terbagi menjadi dua, yaitu pada saat target berada di atas maupun di bawah posisi alat berada. Posisi dari target mempengaruhi rumus yang digunakan pada saat akan menghitung tinggi dari target tersebut. Pada saat target berada di atas posisi alat, maka geometri yang terbentuk dapat dilihat pada Gambar I.13 berikut ini.
Gambar I.13. Pengukuran tinggi target saat target berada di atas alat Pada saat target berada di bawah posisi alat, maka geometri yang terbentuk dapat dilihat pada Gambar I.14 berikut ini.
27
Gambar I.14. Pengukuran tinggi target saat target berada di bawah alat Keterangan (Gambar I.13 dan Gambar I.14): ∆HAB
: beda tinggi antara titik A dan titik B
h
: helling atau sudut miring
HD
: jarak datar antara titik A dan titik B = SD cos h
SD
: jarak miring antara titik A dan titik B
Ti
: tinggi alat
Tp
: Tinggi prisma
V
: jarak vertikal = SD sin h = HD tan h
z
: bacaaan sudut zenith
Untuk menentukan tinggi menggunakan metode trigonometrik antara dua buah titik maka alat ukur harus didirikan di salah satu titik (misal titik A) seperti pada Gambar I.13 dan Gambar I.14 di atas. Untuk posisi target ditentukan dengan bantuan prisma yang didirikan di atas titik lainnya (misal titik B). Setelah alat dan target berdiri maka target dibidik menggunakan alat ukur sehingga akan diperoleh besar sudut helling atau zentih dan jarak miring AB. Apabila posisi dari target berada di atas posisi dari alat maka beda tinggi antara titik A dan titik B dapat dihitung sebagai berikut (Rosalina 2013):
∆HAB = Ti + (V – Tp)……………………….…………...……………...…(I.13) Apabila beda tinggi antara titik A dan titik B telah diketahui maka tinggi target di titik B dapat ditentukan menggunakan rumus sebagai berikut:
HB = HA + ∆HAB.…………………………..…………….…...…………….(I.14)
28
HB = HA + Ti + (V – Tp)...…………….…….…..…………….…..…..….(I.15) Apabila posisi target berada di bawah posisi dari alat maka beda tinggi antara titik A dan titik B dapat dihitung sebagai berikut:
∆HAB = (V – Ti) + Tp ...……………………….………...………...………(I.16) Apabila beda tinggi antara titik A dan titik B telah diketahui maka tinggi target di titik B dapat ditentukan menggunakan rumus sebagai berikut:
HB = HA – ∆HAB.………………………….………..……………………….(I.17) HB = HA – {(V – Ti) + Tp}.……………..……….………….......…………(I.18) HB = HA + Ti – V – Tp…….…………….……….………..….....…………(I.19) Dalam hal ini,
HA
: tinggi di titik A
HB
: tinggi di titik B
∆HAB
: beda tinggi titik A dan titik B
Ti
: tinggi alat
Tp
: tinggi prisma
V
: sudut vertikal = SD sin h = HD tan h
SD
: jarak miring antara titik A dan titik B
HD
: jarak datar antara titik A dan titik B = SD cos h
h
: helling atau sudut miring
I.7.9. Leica GeoMoS GeoMoS (Geodetic Monitoring System) merupakan sebuah sistem yang secara permanen memantau pergerakan objek seperti bangunan, bendungan, dan lereng. GeoMoS melakukan pengecekan terhadap hasil pengukuran sesuai dengan toleransi yang telah ditetapkan oleh pengguna. Apabila hasil pengukuran melampaui toleransi yang telah ditentukan maka sistem akan mengirim pesan peringatan kepada pengguna sehingga dapat segera ditindaklanjuti. Penggunaan perangkat lunak GeoMoS memungkinkan pengguna untuk menghubungkan berbagai macam jenis sensor (Total Station, GNSS, Meteosensor, Geoteknik) ke dalam sebuah sistem pemantauan. Apabila menggunakan alat Total Station maka posisi dari alat tersebut dapat didefinisikan berdasarkan posisi dari hasil pengukuran menggunakan GNSS ataupun titik referensi yang telah tersedia. Hasil dari pengukuran sistem tersebut
29
dapat dianalisis menggunakan perangkat lunak khusus sesuai dengan kebutuhan pengguna (Leica 2010). Sistem pada GeoMoS terdiri atas dua bagian utama yaitu GeoMoS Monitor dan GeoMoS Analyzer. Terdapat pula GeoMoS Adjustment yang masuk ke dalam bagian dari GeoMoS Analyzer (Ambangkoro 2011). 1. GeoMoS Monitor GeoMoS Monitor merupakan bagian utama dari sistem dalam GeoMoS yang memiliki fungsi untuk melakukan penyimpanan data, pemeliharaan dan pengaturan alat, maupun pemeriksaan dari hasil pengukuran. 2. GeoMoS Analyzer GeoMoS Analyzer merupakan bagian utama dari sistem dalam GeoMoS yang memiliki fungsi untuk melakukan proses analisis dari hasil pengukuran yang telah dilakukan. Selain itu, perangkat lunak ini juga dapat dilakukan proses pencetakan dan export data ke dalam bentuk file lainnya. Pada GeoMoS Analyzer ini juga terdapat GeoMoS Adjusment yang merupakan perangkat lunak untuk perataan jaring dan analisis deformasi. I.7.9.1. GeoMoS Monitor. GeoMoS Monitor merupakan perangkat lunak yang digunakan untuk melakukan penyimpanan data, pemeliharaan dan pengaturan alat, maupun pemeriksaan hasil dari pengukuran. Terdapat beberapa fungsi dari perangkat lunak GeoMoS Monitor, antara lain (Ambangkoro 2011): 1.
Melakukan koneksi dan kontrol secara penuh terhadap alat yang digunakan.
2.
Pengaturan jadwal pengukuran.
3.
Perhitungan hasil pengukuran.
4.
Penentuan toleransi dari hasil pengukuran.
5.
Menampilkan status dari sensor/alat yang digunakan dalam sistem pemantauan.
6.
Menampilkan grafis real time dari hasil pengukuran dengan interval waktu sesuai kebutuhan pengguna.
Pada perangkat lunak GeoMoS Monitor ini dilakukan proses pengaturan alat yang digunakan dalam sistem pemantauan, termasuk pada sistem pemantauan di
30
Waduk Sermo meliputi alat Total Station Robotik Leica TM30 dan Automatic Water Level Recorder (AWLR). Terdapat beberapa menu dalam perangkat lunak GeoMoS Monitor yang mempunyai fungsi dan kegunaan masing-masing, antara lain (Leica 2010): 1. Overview Overview merupakan menu yang berfungsi untuk menampilkan halaman depan dari GeoMoS Monitor. 2. Last Action Last Action merupakan menu yang berfungsi untuk memberikan laporan kemajuan pengukuran dari alat yang terhubung ke dalam sistem GeoMoS. Dalam hal ini, alat yang dimaksud adalah Total Station Robotik Leica tipe TM30. Pada menu ini dapat dilihat waktu, nama sensor (alat), target, koordinat hasil pengukuran yang selalu diperbaharui secara realtime setiap saat dengan interval waktu sesuai keinginan pengguna. 3. Messages Messages merupakan menu yang berfungsi untuk memberikan peringatan apabila hasil pengukuran melewati toleransi yang telah ditentukan sebelumnya. Ketika hasil pengukuran melewati toleransi yang dimaksud maka GoMoS Monitor akan mengirimkan pesan peringatan kepada admin melalui email atau bunyi alarm yang menyala. 4. Observation Observation merupakan menu yang berfungsi untuk memberikan laporan dari hasil pengukuran alat lain yang terhubung ke dalam sistem pada GeoMoS seperti alat AWLR maupun Meteosensor. Pada menu ini juga dapat dilihat hasil pengukuran yang selalu diperbaharui secara realtime setiap saat dengan interval waktu sesuai keinginan pengguna. 5. Chart Chart merupakan menu yang berfungsi untuk menampilkan grafik dari data hasil pengukuran sensor (alat) secara realtime. 6. Status Status merupakan menu yang berfungsi untuk menampilkan kondisi dari sensor (alat) yang terhubung ke dalam sistem pemantauan yang digunakan.
31
I.7.9.2. GeoMoS Analyzer. GeoMoS Analyzer merupakan bagian utama dari sistem dalam GeoMoS yang secara garis besar digunakan untuk menganalisis hasil pengukuran yang telah dilakukan. Terdapat beberapa fungsi dari perangkat lunak GeoMoS Analyzer, antara lain (Ambangkoro 2011): 1.
Menampilkan data hasil pengukuran secara grafis dan numeris.
2.
Melakukan download dan editing data.
3.
Melakukan pendeteksian data yang tidak normal (abnormal).
4.
Melakukan perintah import maupun export ke dalam berbagai macam format data seperti ASCII, BMP, maupun DXF.
Pada perangkat lunak GeoMoS Analyzer inilah semua proses menganalisis data hasil pengukuran dilakukan. Perangkat lunak ini juga dapat digunakan untuk menganalisis pergerakan obyek yang sedang dipantau, misalnya pergerakan pada bendungan,
tambang terbuka,
jembatan,
maupun
obyek
lainnya.
Dengan
memanfaatkan data dari GeoMoS Analyzer ini maka dapat dilakukan pengambilan keputusan yang tepat apabila terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan pada obyek yang sedang dipantau (Ambangkoro 2011). I.7.10. Analisis Regresi Zulela (2013) menyatakan bahwa analisis regresi merupakan sebuah perhitungan statistik yang digunakan untuk mengetahui hubungan antara dua variabel atau lebih yang salah satu variabelnya diduga berpengaruh terhadap variabel lainnya. Dapat dikatakan bahwa analisis regresi merupakan studi ketergantungan dari suatu variabel bebas (X) terhadap variabel tidak bebas (Y) (Suliyanto 2012). Apabila diketahui data perubahan suhu dan data hasil pengukuran jarak miring menggunakan alat Total Station Robotik maka besarnya hubungan antara kedua variabel tersebut dapat ditentukan menggunakan analisis regresi (Ambangkoro 2011). Hubungan antara kedua variabel yang akan diteliti (misal data tinggi badan dan data panjang kepala) maka dapat ditentukan dengan membuat diagram pencar (scatter plot) terlebih dahulu seperti yang terlihat pada Gambar I.15 berikut ini.
32
Gambar I.15. Contoh diagram pencar (scatter plot) (www.statistics.byuimath.com) Apabila hasil dari diagram pencar menyerupai bentuk matematis yang dapat dikenali, maka dapat ditentukan pola hubungan antara 2 variabel tersebut menggunakan analisis regresi. Apabila bentuk dari diagram pencar mendekati pola garis lurus seperti pada Gambar 1.15 di atas maka dapat digunakan model regresi linier. Apabila jumlah variabel independen yang digunakan berjumlah satu buah maka digunakan analisis regresi linier sederhana, sedangkan apabila jumlah variabel independennya lebih dari satu buah maka dapat digunakan analisis regresi linier berganda. Jika titik-titik dari diagram pencar tidak membentuk pola garis lurus maka dapat digunakan transformasi nilai log atau logaritma alami (ln) pada variabel yang digunakan sehingga mengarah ke bentuk garis lurus. Jika hal tersebut juga tidak dapat dilakukan maka model regresi yang digunakan adalah model regresi non linier (Sulaiman 2004). Suliyanto (2012) menyatakan bahwa analisis regresi dapat digunakan untuk meneliti antara dua variabel atau lebih yang memiliki hubungan kausal (ketergantungan fisik) maupun hubungan fungsional/identitas. Contoh variabel yang memiliki hubungan kausal misalnya konsumsi dengan pendapatan, masa kerja dengan produktifitas, maupun iklan dengan penjualan. Contoh untuk variabel yang memiliki hubungan fungsional misalnya produktivitas dengan hasil produksi atau upah kerja karyawan dengan jam kerja karyawan tersebut.
33
I.7.10.1. Regresi linier sederhana. Model regresi linier sederhana merupakan pemodelan matematis untuk menyatakan hubungan antara dua buah variabel yang akan diteliti. Dari pemodelan tersebut akan terlihat perubahan secara sistematis pada dependent variable (Yi) yang sejalan dengan berubahnya independent variable (Xi) (Zulela 2013). Muhson (2013) menyatakan bahwa dalam model regresi linier sederhana hanya melibatkan satu variabel bebas dan satu variabel terikat. Perubahan yang terjadi pada variabel bebas digunakan untuk memprediksi perubahan pada variabel terikat. Prinsip analisis regresi linier sederhana adalah menguji variabel bebas (independent variable) dalam kelompok Y terhadap sebuah variabel terikat (dependent variable) yang terdapat pada kelompok X (Sulaiman 2004). Model regresi yang melibatkan satu buah variabel dependen dan variabel independen dengan fungsi regresi yang linier dapat dilihat pada rumus sebagai berikut (Zulela 2013):
Yi = b0 + b1Xi …...……………………………….…………………….…..(I.20) Dalam hal ini,
Yi
: nilai variabel dependen pada pengamatan ke-i
b0
: koefisien regresi
b1
: koefisien variabel independen
Xi
: nilai variabel independen yang diketahui pada pengamatan ke-i
i
: bilangan bulat (1,2,3,…)
Model regresi pada Rumus (I.20) di atas dikatakan sederhana, linier dalam parameter, dan linier dalam variabel independen. Arti dari pernyataan tersebut adalah: 1. Sederhana, berarti hanya ada satu variabel independen. 2. Linier dalam parameter, karena tidak ada parameter yang muncul sebagai suatu eksponen, hasil kali atau hasil bagi dengan parameter lain. 3. Linier dalam variabel independen, karena variabel dalam model berpangkat satu. Jika dua variabel X dan Y memiliki hubungan (korelasi), maka perubahan nilai variabel bebas (X) akan mempengaruhi nilai variabel terikat (Y). Apabila model atau
34
fungsi sudah diketahui, misal : Y = a + bX, dengan X adalah variabel yang sudah diketahui, maka nilai variabel Y dapat dihitung dengan mencari nilai a dan b terlebih dahulu menggunakan rumus yaitu (Sulaiman 2004): (
b= a=
) ( (
(
)
)(
) ( (
)
)
)
……………………...…..…..………………...……(I.21)
……………………………………....…..…………...……(I.22)
Dalam hal ini,
a
: koefisien regresi
b
: koefisien variabel independen
ΣX
: hasil penjumlahan variabel independen
ΣY
: hasil penjumlahan variabel dependen
ΣXY
: hasil penjumlahan dari perkalian variabel independen dengan variabel dependen
n
: jumlah data yang digunakan
Untuk membuat estimasi nilai Y terhadap nilai X, maka nilai X dan Y harus mempunyai hubungan yang kuat. Kuat atau lemahnya hubungan nilai X terhadap nilai Y diukur dengan suatu nilai yang disebut koefisien korelasi, sedangkan besarnya pengaruh nilai X terhadap nilai Y diukur dengan koefisien determinasi (Sulaiman 2004). I.7.10.2. Koefisien korelasi dan koefisien determinasi. Sulaiman (2004) menyatakan bahwa koefisien korelasi merupakan suatu nilai yang menunjukkan kuat atau lemahnya hubungan antara nilai variabel independen terhadap nilai variabel dependen yang sedang diteliti. Koefisien korelasi biasanya dilambangkan dengan notasi ‘R’. Terdapat beberapa ukuran nilai korelasi yang dinyatakan sebagai berikut: 1. Nilai R sebesar 1,00 (baik plus atau minus) menunjukkan adanya tingkat hubungan yang sempurna. 2. Nilai R sebesar 0,70 ≤ R ≤ 0,99 (baik plus atau minus) menunjukkan adanya tingkat hubungan yang sangat kuat. 3. Nilai R sebesar 0,40 ≤ R < 0,70 (baik plus atau minus) menunjukkan adanya tingkat hubungan yang kuat.
35
4. Nilai R sebesar 0,20 ≤ R < 0,40 (baik plus atau minus) menunjukkan adanya tingkat hubungan yang cukup kuat. 5. Nilai R sebesar 0,01 ≤ R < 0,20 (baik plus atau minus) menunjukkan adanya tingkat hubungan yang lemah. 6. Nilai R sebesar 0,00 menunjukkan tidak adanya hubungan. Menurut Kurniawan (2008), koefisien determinasi merupakan besarnya pengaruh nilai variabel independen terhadap besarnya nilai variabel dependen yang akan diteliti. Koefisien determinasi dilambangkan dengan notasi R2 dan merupakan hasil kuadrat dari besaran koefisien korelasi. Apabila nilai R2 dikalikan dengan 100% maka hal ini menunjukkan presentasi pengaruh nilai variabel independen terhadap nilai variabel yang akan dihasilkan. Nilai dari koefisien determinasi berkisar di antara 0 hingga 1 dan semakin besar nilai R2 maka semakin baik model persamaan regresi yang akan diperoleh. Untuk memperoleh nilai R dan nilai R2 maka dapat menggunakan rumus sebagai berikut (Sulaiman 2004):
R=
( √ (
) (
) (
)(
) √ (
) ) (
)
……………….………………...…….(I.23)
R2 = (R)2…………………….……………...………….………...…….….(I.24) Dalam hal ini,
R
: nilai koefisien korelasi
R2
: nilai koefisien determinasi
ΣX
: hasil penjumlahan variabel independen
ΣY
: hasil penjumlahan variabel dependen
ΣXY
: hasil penjumlahan dari perkalian variabel independen dengan variabel dependen
I.7.10.3. Kriteria statistik. Untuk memenuhi kriteria statistik maka diperlukan pengujian pada hasil analisis regresi. Pengujian ini meliputi uji parsial dan uji simultan (Sulaiman 2004). 1. Uji parsial. Uji parsial merupakan pengujian yang digunakan untuk menguji sebuah variabel independen memiliki pengaruh yang signifikan terhadap variabel dependen dengan menganggap nilai variabel lain bersifat konstan.
36
Dalam pengujian ini dapat diketahui nilai koefisien regresi dan koefisien variabel independen berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependennya. Dalam perhitungannya, pengujian ini menggunakan tabel t lalu membandingkan nilai t pada tabel tersebut (ttabel) dengan nilai t hasil perhitungan analisis regresi (thitung). Pada perangkat lunak SPSS, nilai thitung dapat dihitung menggunakan rumus, yaitu:
thitung =
√ √(
( ) )
…..……………...…….…………………...……….(I.25)
Dalam hal ini,
R
: nilai koefisien korelasi
n
: jumlah data yang digunakan
Apabila nilai
thitung > ttabel maka dapat diambil keputusan bahwa nilai
koefisien regresi dan koefisien variabel independen memiliki pengaruh yang signifikan terhadap variabel dependen. Selain cara tersebut, untuk melihat signifikansi juga dapat dilakukan dengan melihat nilai Sig. yang telah diperoleh. Nilai Sig. pada uji parsial dapat dihitung menggunakan rumus, yaitu:
Sig. =
(
(
) ( )
√
∫
( +
)
(
(
)
)
………………....………(I.26)
Dalam hal ini,
Sig.
: nilai signifikansi pada perangkat lunak IBM SPSS Statistics
n
: nilai derajat kebebasan (df)
t
: nilai t tabel
x
: data variabel independen
Γ
: distribusi Gamma
Apabila nilai Sig. lebih kecil dari taraf signifikansi (biasanya bernilai 5% = 0,05) yang digunakan maka dapat diambil keputusan bahwa variabel tersebut memiliki pengaruh yang signifikan secara individu (Sarwono 2013).
37
2. Uji simultan. Uji simultan merupakan pengujian yang digunakan untuk menguji variabel dependen dipengaruhi secara keseluruhan oleh variabel independen atau tidak. Dalam perhitungannya, pengujian ini menggunakan tabel statistik F lalu membandingkan nilai F pada tabel tersebut (Ftabel) dengan nilai F hasil perhitungan analisis regresi (Fhitung). Pada perangkat lunak SPSS, nilai Fhitung dapat dihitung menggunakan rumus, yaitu:
Fhitung =
………...………………...………………………….…….(I.27)
MSR =
………………………….…………………………………..(I.28)
MSE =
……………………………………………………………..(I.29)
Dalam hal ini,
MSR
: nilai kuadrat rata-rata regresi
MSE
: nilai kuadrat rata-rata eror
SSR
: jumlah kuadrat regresi
SSE
: jumlah kuadrat residu
n
: jumlah data yang digunakan
Apabila nilai Fhitung > Ftabel maka dapat diambil keputusan bahwa variabel independen secara bersama-sama tersebut memiliki pengaruh yang signifikan variabel dependen. Selain cara tersebut, maka untuk melihat signifikansi tersebut dapat dilakukan dengan melihat nilai Sig. yang telah diperoleh. Nilai Sig. pada uji simultan dapat dihitung menggunakan rumus, yaitu:
Sig. =
…………………………………...………………………(I.30)
Dalam hal ini,
Sig.
: nilai signifikansi pada perangkat lunak IBM SPSS Statistics
Apabila nilai Sig. lebih kecil dari taraf signifikansi (biasanya bernilai 5% = 0,05) yang digunakan maka dapat diambil keputusan bahwa variabel independen memiliki pengaruh yang signifikan secara keseluruhan terhadap variabel dependen (Sarwono 2013).
38
Pada perangkat lunak IBM SPSS Statistics, hasil uji simultan ditampilkan pada tabel ANOVA hasil regresi linier sederhana. Pendekatan analisis varian (ANOVA) didasarkan pada penguraian jumlah kuadrat (sum of square) dan derajat bebas yang berhubungan dengan variabel dependen. Jumlah kuadrat total (SSTO, total of sum of square) diuraikan menjadi jumlah kuadrat residu (SSE, error sum of square) dan jumlah kuadrat regresi (SSR, regression sum of square) yang dapat dihitung dengan rumus, yaitu:
SSTO = ∑ SSE = ∑ SSR =
( (
) ……………………….…………….………….(I.31) ) …………………………………………(I.32) ∑
(∑
∑
)…………………....……..…(I.33)
Dalam hal ini,
b0
: koefisien regresi
b1
: koefisien variabel independen
Xi
: variabel independen data ke-i
Yi
: variabel dependen data ke-i : nilai rata-rata variabel dependen : nilai estimasi variabel dependen
ΣX
: hasil penjumlahan variabel independen
ΣY
: hasil penjumlahan variabel dependen
ΣXY
: hasil penjumlahan dari perkalian variabel independen dengan variabel dependen
n
: jumlah data yang digunakan
Pada Rumus (I.31) jumlah kuadrat total (SSTO) mengukur deviasi variabel dependen (Yi) terhadap nilai rata-ratanya (Ÿ). Pada Rumus (I.32) jumlah kuadrat residu (SSE) mengukur deviasi variabel dependen (Yi) terhadap nilai nilai estimasinya (Ŷ). Pada Rumus (I.33) jumlah kuadrat regresi (SSR) mengukur deviasi hasil estimasi (Ŷ) terhadap nilai rata-rata dependen (Ÿ). I.7.10.4. Pengujian model. Terdapat beberapa persyaratan dalam melakukan pengujian model regresi yang terbentuk, antara lain (Sulaiman 2004):
39
1. Homoskedasitas (kesamaan varians) Keadaan yang berlawanan dengan homoskedasitas adalah heteroskedasitas. Penyebab terjadinya heteroskedasitas adalah nilai variabel independen yang digunakan memiliki nilai yang sangat beragam. sehingga menghasilkan nilai residu yang tidak konstan. Salah satu cara yang dapat dipakai untuk membuktikan keadaan homoskedasitas yaitu melalui penyebaran nilai-nilai residual terhadap nilai-nilai estimasi. Jika penyebarannya tidak membentuk suatu pola tertentu (parabola, kubik, atau yang lainnya) seperti pada Gambar I.16 dan mayoritas penyebarannya berada di titik nol, maka keadaan homoskedasitas dapat terpenuhi.
Gambar I.16. Diagram pencar nilai residual terhadap nilai estimasi (www.ibm.com) 2. Non-autokorelasi Autokorelasi mengindikasikan adanya hubungan atau korelasi antara residual data periode ke-t dengan periode ke-(t-1) yang menyebabkan model menjadi bias, sedangkan model regresi yang baik adalah model yang tidak terjadi autokorelasi di dalamnya. Nilai residual yang dimaksud adalah selisih nilai elevasi prisma pengukuran dengan nilai elevasi prisma estimasi hasil perhitungan pada saat nilai elevasi muka airnya sama. Untuk mendeteksi ada atau tidaknya autokorelasi di dalam model regresi yang dihasilkan maka dilakukan pengujian Durbin-Watson (DW) menggunakan perangkat lunak IBM SPSS Statistics dengan ketentuan nilai DW sebesar -2
40
≤ DW ≤ 2 (Sarwono 2013). Nilai DW dapat dihitung menggunakan rumus, yaitu:
DW =
∑
( ∑
)
…………………...……………………………(I.34)
Dalam hal ini,
DW
: nilai Durbin-Watson
et
: residual pada periode t
et-1
: residual pada periode sebelumnya (t-1)
n
: jumlah data yang digunakan
Apabila nilai DW berkisar di antara nilai -2 ≤ DW ≤ 2, maka dapat diambil keputusan bahwa tidak terjadi autokorelasi sehingga keadaan nonautokorelasi dapat terpenuhi. 3. Normalitas residual Uji normalitas residual merupakan pengujian yang bertujuan untuk mengetahui residual yang dihasilkan berdistribusi normal atau tidak. Apabila ditemui residual yang tidak normal maka dapat disebabkan karena terdapat data dengan nilai yang ekstrim. Nilai ekstrim yang dimaksud dapat terlalu tinggi atau terlalu rendah dibandingkan nilai lainnya. Munculnya nilai residual yang tidak normal ini dapat diatasi dengan menambah sampel atau mengganti data yang ekstrim tersebut. Untuk mendeteksi hal tersebut maka dapat dilakukan dengan melihat nilai dari Asymptotic Sig. Kolmogorov-Smirnov (Asymp. Sig.). Nilai tersebut diperoleh dari hasil pengujian dengan uji sampel Kolmogorov-Smirnov menggunakan perangkat lunak IBM SPSS Statistics. Uji normalitas residual Kolmogorov-Smirnov didasarkan pada fungsi distribusi kumulatif empirik (ECDF) dan distribusi empirik (EDF) yang dirumuskan sebagai berikut:
F(x) = ( jumlah xj≤ x)……………………………...….……………..(I.35) Fn(x) = (jumlah observasi ≤ x)…………………...….……………..(I.36) Dalam hal ini,
F(x)
: nilai EDF (EDF kelas)
Fn(x) : nilai ECDF (EDF kelompok)
41
xj
: jumlah data sample variabel dependen pada ke-j, dengan j=1,2,…
x
: jumlah data variabel dependen
n
: hasil penjumlahan data yang digunakan
Nilai Kolmogorov-Smirnov menghitung maksimum penyimpangan terjauh nilai dalam kelas (EDF) terhadap nilai dalam kelompok (ECDF). Hal ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
KS
= max√ ∑ ( ( )
( )) …………….…..……...………(I.37)
KSa = KS √ ………………………………………………………….(I.38) Dalam hal ini,
KS
: nilai Kolmogorov-Smirnov
KSa
: nilai Asymptotic Sig. Kolmogorov-Smirnov
( )
: nilai EDF (EDF kelas)
( ) : nilai ECDF (EDF kelompok)
n
: jumlah data yang digunakan
Keadaan normalitas akan terpenuhi apabila nilai Asymp. Sig. > taraf signifikansi (α) yang digunakan sehingga dapat diambil keputusan bahwa data berasal dari populasi yang berdistribusi normal sehingga akan menghasilkan residual yang normal. I.7.10.5. SPSS (Statistical Product for the Service Solutions). Zulela (2013) menyatakan bahwa SPSS adalah salah satu paket program pengolahan data statistik disamping SAS, Stata, dan Minitab. SPSS dipublikasikan oleh SPSS Inc (PDSP 2010). Rachmatin (2014) menyatakan bahwa SPSS merupakan perangkat lunak di bidang statistik yang populer bagi praktisi dan mahasiswa. SPSS dapat membantu pengolahan data dan pengujian hipotesis untuk berbagai uji dan analisis dalam statistika, seperti uji t, uji F, uji non parametrik, analisis regresi, analisis korelasi, maupun analisis multivariat. Terdapat dua buah jendela utama dalam perangkat lunak SPSS, antara lain (Zulela 2013):
42
1. IBM SPSS Statistics Data Editor Jendela ini akan muncul pada saat pengguna membuka perangkat lunak SPSS untuk pertama kali seperti yang terlihat pada Gambar I.17. Pada Gambar I.19 terlihat bahwa jendela ini mempunyai dua tampilan dalam satu layar, yaitu tampilan Data View dan Variable View. Tampilan Data View menyerupai tampilan pada lembar kerja perangkat Microsoft Excel dengan setiap baris menyatakan suatu kasus dan setiap kolom menyatakan suatu variabel sehingga setiap selnya akan menyatakan variabel dalam suatu kasus.
Gambar I.17. Tampilan Data View pada jendela Data Editor Untuk tampilan Variable View digunakan untuk mendefinisikan variabel yang akan digunakan dalam proses pengolahan data. Untuk tampilan Variable View pada jendela Data Editor dapat dilihat pada Gambar I.18 berikut ini.
Gambar I.18. Tampilan Variable View pada jendela Data Editor
43
Seperti yang terlihat pada Gambar I.18, dapat dilihat bahwa Variable View terdapat beberapa kolom yang memiliki arti masing-masing, yaitu: a.
Name, digunakan untuk mengisikan nama variabel yang akan digunakan.
b.
Type, digunakan untuk menentukan jenis variabel yang akan digunakan (variabel berupa angka, tanggal, atau huruf).
c.
Width, digunakan untuk menentukan lebar kolom yang diinginkan.
d.
Decimal, digunakan untuk menentukan banyaknya angka desimal yang diinginkan.
e.
Label, digunakan untuk memberikan informasi nama variabel yang sebenarnya.
f.
Values, digunakan untuk memberi penjelasan mengenai label dari nilai variabel yang digunakan.
2. IBM SPSS Statistics Output Viewer Jendela ini akan muncul pada saat pengguna telah melakukan pengolahan data pada SPSS. Hasil dari pengolahan data tersebut akan muncul pada jendela ini seperti yang terlihat pada Gambar I.19 berikut ini.
Gambar I.19. Tampilan IBM SPSS Statistics Viewer
44
I.8. Hipotesis Terdapat pengaruh fluktuasi muka air waduk yang signifikan terhadap elevasi prisma terutama yang berada di bagian upstream tubuh bendungan Waduk Sermo. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Bayrak pada tahun 2007 maka diperkirakan pada setiap perubahan nilai muka air waduk sebesar 1 cm maka nilai elevasi dari setiap prisma juga akan berubah rata-rata sebesar 0,2 cm.