BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan pantai dan pesisirnya terpanjang ke-4 di dunia yaitu sepanjang 95.181 km menurut PBB (Persatuan Bangsa Bangsa) tahun 2008. Wilayah pesisir Indonesia memiliki morfologi pantai yang beragam. Pemetaan karakteristik pantai di Sumatera Barat menunjukkan keadaan umum morfologi pantai landai lurus serta pantai berbentuk teluk yang curam (Yudhicara, 2008). Pantai selatan Jawa di daerah Yogyakarta memiliki morfologi pantai lurus dan curam (Sekarsih, 2008). Daerah Pacitan memiliki morfologi pantai yang dibagi menjadi tiga yaitu morfologi landai dengan relief rendah dengan garis pantainya berbentuk teluk terbuka. Kedua yaitu pantai landai hingga bergelombang dengan relief menengah dengan bentuk garis pantai umumnya membentuk kantong – kantong pantai dan teluk terbuka. Ketiga yaitu morfologi pantai berbatu yang terjal dengan relief tinggi (Yudhicara, 2009). Data penelitan tersebut menunjukan variasi morfologi pantai di wilayah pesisir Indonesia yang umum dijumpai adalah morfologi pantai berbentuk teluk, tanjung, pantai lurus, pantai landai dan pantai curam. Indonesia merupakan salah satu negara yang rawan bencana gempa bumi dan tsunami. Wilayahnya terletak diantara tiga pertemuan lempeng tektonik bumi yang sangat besar dan aktif, sehingga menyebabkan wilayah Indonesia sering terjadinya gempa tektonik yang bersumber dari bawah laut dan berpotensi tsunami. Indonesia juga berada pada zona tektonik, wilayah ini banyak terdapat gunung berapi yang sangat aktif, sehingga Indonesia menjadi wilayah yang sangat rawan bencana gempa bumi, letusan gunung berapi, serta gerakan patahan aktif yang menyebabkan tsunami. Indonesia telah mengalami 148 kali tsunami selama tahun 1600 – 2000, dan 90% pemicunya adalah akibat gempa bumi bawah laut (Latief, 2005). Tsunami telah berulangkali melanda daerah di Indonesia. Daerah Nanggroe Aceh Darussalam yang umumnya memiliki morfologi pantai lurus dan teluk dengan kemiringan pantai yang landai di landa tsunami pada tanggal 26 Desember
1
2
2004. Pemicunya adalah gempa bumi dengan kekuatan 9,1 Mw. Tinggi gelombang tsunami di pantai tersebut mencapai 30 meter (Kompas, 2005) serta menelan lebih dari 156.000 korban jiwa (Sugito, 2008). Wilayah pesisir selatan Pulau Jawa yang umumnya memiliki morfologi pantai teluk dan tanjung yang landai, pada tanggal 17 Juli 2006 juga di landa tsunami. Kepulauan Mentawai yang umumnya morfologi pantai berbentuk lurus dengan kemiringan landai, pada 25 Oktober 2010 diguncang gempa bumi dengan kekuatan 7,2 SR yang disertai tsunami. Ketinggian gelombang tsunami mencapai pantai bervariasi yaitu lima s/d enam meter mengarah ke utara dan bahkan mencapai 14 meter (LIPI, 2010), serta menelan korban jiwa (Kompas, 2010). Penelitian yang dilakukan oleh Yudhicara (2011), menyatakan bahwa simulasi tsunami yang dilakukan dalam penelitiannya menunjukkan bahwa tinggi maksimum gelombang terjadi di teluk Pacitan. Ketinggian gelombang mencapai 43,2 meter pada magnitud gempa sebesar 8,5 Mw. Mitigasi bencana tsunami harus terus dilakukan terutama penduduk di daerah pesisir. Upaya yang bersifat edukatif dan teknis sebaiknya perlu dilakukan. Penyediaan informasi daerah rawan dan aman dari tsunami merupakan salah satu upaya dari mitigasi bencana, sehingga penduduk dapat senantiasa waspada terhadap bencana tsunami. Penyediaan informasi daerah aman dan rawan tsunami tersebut dapat ditentukan salah satunya dengan melakukan simulasi tsunami dengan melibatkan parameter yang berpengaruh terhadap tsunami dan landaannya, salah satunya adalah keadaan morfologi pantai. Tsunami dapat disimulasikan dengan pemodelan secara numerik, salah satunya menggunakan model numerik TUNAMI (Tohoku University’s Numerical Analysis Model for Investigation of Near-field tsunamis). Model numerik ini telah digunakan oleh Pertiwi (2005), Prasetyo (2006), Kongko (2011), dalam penelitian lain model numerik ini juga digunakan untuk penentuan daerah bahaya tsunami di kota padang, dengan melibatkan beberapa variasi sumber tsunami (Oktaviani, 2013). Penelitian lain yang juga menggunakan model numerik TUNAMI dilakukan oleh Ananda (2013), dimana model numerik ini digunakan untuk mengetahui pengaruh data spasial terhadap landaan tsunami. Penelitian tersebut juga untuk mengetahui hubungan antara gelombang awal tsunami, nilai kemiringan pantai, dan koefisien kekasaran dasar. Hasil dari informasi tersebut digunakan untuk penaksiran cepat
3
daerah rawan tsunami. Model numerik ini juga digunakan untuk mengetahui pengaruh penghalang alami (gosong dan terumbu karang) terhadap tinggi tsunami dan luas daerah genangan tsunami di kota Bengkulu (Athanasius, 2009). Berdasarkan uraian di atas diketahui bahwa tsunami telah terjadi di beberapa tempat dengan keadaan morfologi yang berbeda – beda, dampak dari tsunami dan ketinggian gelombang di pantai setiap kejadian juga berbeda. Oleh sebab itu kajian mengenai pengaruh morfologi pantai terhadap karakteristik gelombang tsunami perlu dilakukan untuk mendukung mitigasi bencana tsunami. Oleh sebab itu, penelitian ini akan mengkaji pengaruh morfologi pantai terhadap karakteristik gelombang tsunami dan distribusi tinggi gelombang di pantai pada morfologi pantai yang berbeda, yaitu pantai berbentuk lurus, tanjung, teluk serta pantai landai dan curam melalui studi parametrik yang disimulasikan dengan model numerik TUNAMI. I.2. Identifikasi Masalah Dari latar belakang diatas, diketahui bentuk morfologi di Indonesia bermacam-macam dan dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu pantai lurus, tanjung dan teluk. Tsunami dalam penjalarannya akan mengalami interferensi gelombang berbeda-beda pada morfologi yang berbeda-beda. Kajian mengenai pengaruh morfologi pantai terhadap karakteristik dan distribusi tinggi gelombang tsunami perlu dilakukan untuk mengetahui korelasinya. I.3. Pertanyaan Penelitian Mengacu pada uraian latar belakang diatas dan identifikasi permasalahan, dapat di susun pertanyaan penelitian yaitu bagaimanakah karakteristik gelombang tsunami pada morfologi pantai yang berbeda, mencakup kemiringan dan dimensi morfologi. I.4. Cakupan Penelitian Cakupan penelitian ini sebagai berikut: 1. Simulasi pemodelan Penggenangan tsunami ini menggunakan model numerik TUNAMI-N3 (Tohoku University’s Numerical Analysis Model
4
for Investigation of Near-field tsunamis) yang dikembangkan oleh Goto (1995). 2. Data
batimetri
yang
digunakan
adalah
data
batimetri
hasil
penyederhanaan dari data batimetri riil perairan cilacap. 3. Variasi morfologi pantai secara horizontal berupa pantai lurus, tanjung , teluk dengan dimensi lebarnya adalah 3,75 km, 7,5 km, 15 km, dan 30 km, dan untuk morfologi pantai secara vertikal berupa pantai dengan kemiringan 3%, 13% dan 23%. 4. Morfologi pantai yang digunakan adalah hasil modifikasi. 5. Posisi epicenter sumber gempa segaris dengan bagian tengah morfologi pantai. 6. Pemodelan tsunami dilakukan dengan beberapa skenario Magnitud gempa yang bervariasi, nilai variasi yang digunakan adalah 7,5 Mw s/d 9,0 Mw dengan interval sebesar 0,3 Mw. I.5. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui karakteristik ketinggian gelombang tsunami pada morfologi pantai lurus, tanjung dan teluk dengan dimensi perairan 3,75km, 7,5km, 15km, dan 30km serta pada morfologi pantai dengan kemiringan 3%, 13% dan 23%. I.6. Manfaat Penelitian Penelitian ini bermanfaat untuk: 1. Digunakan untuk memperkirakan ketinggian tsunami di daerah pantai dari gelombang tsunami di lepas pantai dengan melibatkan morfologi yang berbeda-beda. 2. Dapat digunakan untuk masukan dalam perhitungan penaksiran cepat landaan tsunami untuk mitigasi bencana tsunami.
5
I.7. Tinjauan Pustaka Pemodelan tsunami menggunakan model numerik telah digunakan oleh Pertiwi (2005). Pemodelan digunakan untuk memodelkan tsunami yang terjadi di daerah Nangroe Aceh Darussalam (NAD) dan Sumatra Utara pada tahun 2004. Pemodelan yang digunakan menunjukkan bahwa tinggi gelombang dan waktu tempuh penjalaran gelombang tsunami saat mencapai pantai mendekati nilai data sebenarnya dilapangan. Perbedaan antara nilai ketinggian gelombang hasil pemodelan dengan data lapangan yaitu sebesar 0,02% di Banda Aceh dan 12% di Sirombu. Waktu tempuh dari hasil keluaran model berbeda 27,96% dari waktu tempuh hasil pengamatan di lapangan. Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu profil pantai, jarak kawasan dengan pusat gempa dan geometrinya. Penelitian tentang landaan tsunami juga telah dilakukan oleh Prasetyo (2006) dengan menggunakan metode numerik tsunami nonlinier. Penelitian dilakukan di daerah pesisir Lhok Nga dan Banda Aceh dengan memperhitungkan faktor nonlinier yaitu koefisien kekasaran permukaan dengan jenis batuan kecil/kerikil halus. Selisih hasil pemodelan run-up dengan pengamatan lapangan di titik verifikasi pada daerah Lhok Nga lebih besar dibandingkan daerah Banda Aceh. Perbedaan tingkat ketelitian dikarenakan faktor pengabaian koefisien dasar. Pada kenyataannya di daerah Lhok Nga terdapat hutan magrove dan vegetasi yang rapat sehingga pengabaian nilai gesekan dasar sangat berpengaruh terhadap akurasi model, sementara itu didaerah Banda Aceh dengan tingkat pemukiman dan vegetasi yang jarang, pengabaian jenis gesekan dasar tidak begitu mempengaruhi akurasi model. Pemodelan landaan tsunami menggunakan model data numerik pernah dilakukan oleh Athanasius (2009). Pemodelan menggunakan data topografi, SRTM (Shuttle Radar Topography Mission) asli dan rekayasa terhadap keberadaan gosong dan terumbu karang pada setiap skenario penelitiannya. Skenario yang dipakai adalah dengan merubah sebagian morfologi pantai. Skenario yang berbeda menghasilkan tinggi gelombang yang berbeda–beda. Hasil simulasi di pelabuhan pulau Bali menunjukkan bahwa terumbu karang dapat mengurangi ketinggian tsunami hingga 30%. Gosong pasir juga dapat menurunkan tinggi gelombang
6
tsunami sebesar 1 meter. Penelitian ini menyimpulkan bahwa perubahan ketinggian tsunami dikarenakan adanya perubahan sebagian atau seluruhnya morfologi pantai. Yudhicara (2011) dalam penelitiannya yang dilakukan di wilayah kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Tujuan penelitian yang dilakukan untuk memprediksi landan tsunami di wilayah kabupaen Pacitan. Wilayah pantai daerah penelitian ini umumnya berbentuk teluk, dengan kemiringan datar. Morfologi tersebut memiliki risiko dampak tsunami yang lebih besar dibandingkan dengan morfologi pantai lurus maupun tanjung. Sumber gempa yang digunakan mengacu pada tiga sumber gempa bumi yang pernah terjadi di sekitar wilayah tersebut dengan variasi magnitud adalah Mw 7,8; Mw 8,0; Mw 8,5. Hasil penelitian menunjukkan ketinggian maksimum gelombang tsunami terjadi di teluk Pacitan bagian timur yaitu dengan magnitud 7,8 Mw, tinggi maksimum tsunami sebesar 4,16 meter dengan landaan tsunami mencapai 0,421 km. Skenario dengan 8,0 Mw, tinggi tsunami sebesar 22,30 meter dengan landaan tsunami mencapai 2,9 km. Skenario dengan 8,5 Mw, tinggi tsunami sebesar 43,2 meter dengan landaan tsunami mencapai 6,17 km. Kongko (2011) dalam disertasinya, menggunakan model numerik TUNAMI untuk pemodelan landaan tsunami di kawasan pesisir Selatan Jawa. Data yang digunakan berupa data batimetri dan data topografi yang detil. Validasi data dilakukan dengan menggunakan data lapangan pasca tsunami. Untuk pemodelan landaan tsunami digunakan model numerik TUNAMI yang menganggap gelombang tsunami sebagai gelombang perairan dangkal. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa sumber tsunami dengan kekakuan (stiffness) rendah dan slip yang besar menghasilkan landaan yang mirip dengan data lapangan dibandingkan dengan sumber tsunami dengan kekakuan (stiffness) normal. Selain itu model yang menggunakan model slip terdistribusi dan multi-sesar menghasilkan prediksi lebih baik dibandingkan dengan model slip seragam dan sesar tunggal. Penelitian mengenai simulasi landaan tsunami dilakukan oleh Oktaviani (2013). Data topografi yang digunakan memiliki resolusi spasial tinggi, yaitu 5 meter. Pemodelan landaan tsunami menggunakan model numerik TUNAMI-N3 dengan ukuran grid yang berbeda dan menganggap gelombang tsunami adalah sebagai gelombang perairan dangkal. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa kedekatan lokasi sumber gempa, besar kecilnya magnitud gempa, dan seragam dan
7
tidak seragamnya kekasaran dasar daratan mempengaruhi tinggi gelombang tsunami, waktu tempuh penjalarannya, serta luas landaan tsunami di darat. Selain itu landaan tsunami pada badan sungai jangkauannya lebih jauh dibandingkan dengan landaan tsunami di daratan. Penelitian lain mengenai simulasi tsunami menggunakan model numerik juga dilakukan oleh Ananda (2013). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara nilai ketinggian gelombang awal tsunami, nilai kemiringan pantai dan koefisien kekasaran dasar terhadap luas landaan tsunami di daratan serta ketinggian maksimum gelombang saat mencapai garis pantai. Model numerik yang digunakan adalah TUNAMI-N3, sedangkan data yang digunakan adalah tiga jenis data topografi yang berbeda yaitu data DSM (Digital Surface Model) dan DTM (Digital Terrain Model) dengan resolusi tinggi dan data DSM resolusi rendah. Selain itu penelitian ini juga menggunakan model numerik TUNAMI-N2 untuk penaksiran cepat daerah rawan bencana. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan data DTM dengan resolusi tinggi menghasilkan luas area landaan yang paling besar yaitu 13258 Ha, daripada data topografi yang lain. Besar kecilnya nilai ketinggian awal gelombang tsunami, kemiringan pantai, dan koefisien kekasaran dasar sangat mempengaruhi luas landaan tsunami. Pemodelan tsunami menggunakan model numerik TUNAMI telah banyak dilakukan. Model numerik TUNAMI digunakan oleh Goto (1995), Imamura dkk (2006). Di Indonesia model numerik TUNAMI telah banyak digunakan, salah satu instansi yang menggunakan model numerik TUNAMI adalah Balai Pengkajian Dinamika Pantai Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPDP-BPPT) Yogyakarta. Model numerik TUNAMI digunakan dan dikembangkan oleh Kongko (2011) staf ahli Tsunami di BPDP-BPPT dalam desertasinya untuk pemodelan landaan tsunami di kawasan pesisir Selatan Jawa. Model numerik TUNAMI yang digunakan dalam penelitian selalu dikalibari oleh instansi terkait yakni BPDP-BPPT yang disebut dengan kalibrasi model. Kalibrasi model ini mencakup verifikasi dan validasi model (BPDP-BPPT, 2013), sehingga hasil output dari pemodelan menggunakan TUNAMI ini langsung dapat digunakan untuk analisa hasil tanpa harus dilakukan pengujian hasil pemodelan.
8
Pemodelan tsunami untuk rapid asesment saat ini hanya sampai perairan dalam dan tidak sampai ke perairan dangkal serta melibatkan morfologi pantai. Selain itu juga belum ada penelitian hubungan tinggi tsunami di laut dalam dan laut dangkal untuk berbagai morfologi pantai. Berdasarkan literatur yang dipaparkan sebelumnya, pemodelan tsunami menggunakan model numerik TUNAMI untuk mengetahui karakteristik tinggi dan distribusi tinggi gelombang tsunami di pantai dengan parameter variasi morfologi pantai secara horizontal dan morfologi pantai secara vertikal belum dilakukan. Untuk kebutuhan mitigasi bencana lebih lanjut, maka perlu dilakukan penelitian dengan variasi parameter morfologi pantai. I.8. Dasar Teori I.8.1. Pengertian dan Karakteristik Gelombang Tsunami Tsunami berasal dari bahasa Jepang, Tsu berarti pelabuhan, dan nami berarti gelombang. Tsunami dapat diartikan gelombang di pelabuhan. Menurut ilmu kebumian, terminologi tsunami dapat didiskripsikan sebagai gelombang laut yang terjadi dengan periode panjang yang ditimbulkan oleh gerakan vertikal pada kerak bumi. Gerakan vertikal tersebut menyebabkan dasar laut naik atau turun secara tibatiba, sehingga menyebabkan gangguan kesetimbangan air yang berada diatasnya. Akibat gangguan tersebut, terjadinya aliran energi air laut yang ketika sampai di pantai menjadi gelombang besar yang dikenal sebagai tsunami. Gelombang tsunami memiliki periode berkisar antara 10 s/d 60 menit dan panjang gelombang yang besar (longwave) sampai mencapai 100 km, lintasan partikel berbentuk ellips dengan amplitudo lebih 5m (pada sumbernya) (International Tsunami Information Centre, 2004). Kecepatan rambat gelombang tsunami di laut dalam mencapai 500 s/d 1.000 km/jam. Kecepatan rambat gelombang dilaut selaras dengan kecepatan penjalaran gelombang tsunami yang dapat mencapai ribuan kilometer. Hal ini tergantung dari kedalaman laut. Kecepatan rambat gelombang dapat dihitung dengan persamaan (I.1): ............................................................................................... (I.1) Keterangan :
9
: Kecepatan gelombang g
: Percepatan gravitasi
h
: Kedalaman laut Gelombang tsunami memiliki sifat non-dispersive, artinya kecepatan fase
gelombang tidak bergantung pada panjang gelombang. Gelombang tsunami yang masih dekat daerah sumber mempunyai kecepatan fase lebih kecil dibandingkan dengan gelombang tsunami yang telah menjalar jauh dari sumber. Penjalaran gelombang tsunami memiliki karakteristik yang hampir sama dengan penjalaran gelombang pada perairan dangkal yaitu memiliki kedalaman yang relatif kecil apabila dibandingkan dengan panjang gelombang. Gelombang tsunami yang menjalar di laut dalam tidak memiliki ketinggian yang cukup besar. Hal ini berbeda dengan gelombang tsunami yang menjalar mendekati daerah pantai yang menyebabkan terjadinya peningkatan ketinggian gelombang tsunami. Secara umum tinggi gelombang tsunami di episentrum gempa atau dilautan lepas diperkirakan berkisar 1 s/d 2 meter, tetapi setelah mendekati pantai meningkat tajam tergantung dari kedalaman air dan bentuk pantai. Makin dangkal air laut dekat pantai makin tinggi gelombang tsunami yang terjadi (Widodo, 2002). Hal ini disebabkan gelombang tsunami mengalami penurunan kecepatan dan energi gelombang pun menjadi lebih terkonsentrasi (Sugito, 2008). Visualisasi dari karakteristik gelombang tsunami dapat dilihat pada Gambar I.1.
Gambar I.1. Karakteristik gelombang tsunami Sumber : Intergovernmental Oceanographic Commission (2012)
10
I.8.2. Persamaan Gelombang Tsunami pada Model Numerik TUNAMI Teori – teori tentang persamaan gelombang tsunami pada model numerik TUNAMI ini diuraikan pada beberapa sub-bab sebagai berikut. I.8.2.1. Teori gelombang perairan dangkal Tsunami yang disebabkan oleh pergerakan vertikal dasar laut akibat gempa bumi didekati dengan teori gelombang perairan dangkal, yaitu bahwa kedalaman perairan relatif pendek dibandingkan dengan panjang gelombangnya. Teori
ini
mengabaikan percepatan partikel air arah vertikal karena nilainya lebih kecil dari percepatan gravitasi, akibatnya gerakan vertikal partikel air tidak berpengaruh pada distribusi tekanan (Imamura dkk, 2006). Berdasarkan pendekatan ini maka didapat persamaan konservasi massa dan momentum dalam tiga dimensi, seperti berikut: …………………………………………………(I.2) ……..……(I.3) ……....…. (I.4) , maka dapat ditulis , dapat ditulis ............................................................................................... (I.5) Keterangan : g
: percepatan gravitasi
t
: waktu
u, v, w
: kecepatan patikel air arah sumbu x, y, z
x dan y
: sumbu horizontal
z
: sumbu vertikal
η
: perubahan vertikal permukaan air
P
: tekanan : massa jenis air
11
h
: ketinggian gelombang diukur dari MSL (Mean Sea Level)
Persamaan (I.2) diatas menunjukkan bahwa perubahan vertikal permukaan air ekuivalen terhadap perubahan kecepatan partikel air arah sumbu x y dan z. Perubahan kecepatan partikel air arah sumbu x terhadap waktu ekuivalen terhadap suku aliran/adveksi, suku gradien tekanan dan suku gesekan, yang dapat dilihat pada persamaan (I.3). Hal ini juga berlaku pada perubahan kecepatan partikel air arah sumbu y yang dapat dilihat pada persamaan (I.4). Model perambatan gelombang di perairan dangkal dinyatakan dengan persamaan konservasi/kekekalan massa dan persamaan momentum dalam kasus 3 dimensi seperti ditunjukkan pada persamaan (I.5) dengan dua kondisi batas, yaitu kondisi batas dinamis dan kinetik permukaan dan bawah. Hal tersebut dapat diekspresikan dengan persamaan sebagai berikut (Imamura, 2006): di z = η ........................................ (I.6) di z = η ........................................ (I.7) di z = η ......................................... (I.8) Dengan kondisi dinamis dan kinetik persamaan (I.6) s/d (1.8), maka didapat persamaan dua dimensi yang disebut dengan persamaan gelombang perairan dangkal, yaitu: ...................................................................................... (1.9) ........................ (1.10) ......................... (1.11)
Keterangan: A
: koefisien turbulensi/koefisien Eddy
D
: merupakan kedalaman total dari h + η dan
: merupakan efek gesekan dasar arah sumbu x dan y
12
M
: merupakan debit air (Discharge Fluxes) arah sumbu x
N
: merupakan debit air (Discharge Fluxes) arah sumbu y,
dengan ………………………………………... (I.12) ………………………………………… (I.13) Gaya pusaran air diasumsikan konstan dan tegangan permukaan diabaikan. I.8.2.2. Skema model numerik tsunami TUNAMI Model numerik ini merupakan pengembangan dari model numerik non-linier Imamura (2006) untuk aplikasi gelombang perairan dangkal mencakup tsunami. Tsunami dikategorikan sebagai gelombang perairan dangkal disebabkan panjang gelombangnya yang jauh lebih besar dibandingkan kedalaman batimetri yang dilewati gelombang. Model numerik ini dikembangkan oleh Kongko (2011) dalam disertasinya untuk memodelkan tsunami di wilayah selatan Jawa. Penelitian ini menunjukan bahwa sumber tsunami dengan kekakuan (stiffness) rendah dan slip yang besar, menghasilkan landaan yang mirip dengan data lapangan dibandikngkan dengan sumber tsunami dengan kekakuan (stiffness) normal. Model numerik TUNAMI sendiri memiliki banyak variasi, sesuai dengan pengembangannya antara lain: a. TUNAMI-N1, model ini mengaplikasikan teori perambatan gelombang linier dengan ukuran grid konstan, b. TUNAMI-N2, model ini mengaplikasikan teori perambatan gelombang untuk perairan dalam, teori gelombang perairan dangkal dan landaan dengan grid konstan, c. TUNAMI-N3, model ini mengaplikasikan teori perambatan gelombang linier dengan variasi ukuran grid. Konsep matematisnya serupa dengan model numerik TUNAMI-N2, diantaranya menggunakan teori linier pada perairan dalam, dan teori perairan dangkal pada laut dangkal, dan melibatkan efek kekasaran dasar disepanjang pantai
13
F(x)
Fi+1- Fi-1
Δy
Fi-1
Fi
Fi+1 x
i-1
i
Δx
i+1
Gambar I.2. Fungsi pada deret taylor Model numerik tsunami non-linier didiskretisasi menggunakan prinsip fungsi deret Taylor (Gambar I.2.) dengan menggunakan skema leap-frog (Gambar I.3.) yakni menggunakan skema beda pusat dengan kesalahan pemotongan orde kedua (Imamura, 2006). Dengan : F {(i-1)Δx} = Fi-1 , F (i Δx) = Fi ,
F {(i+1) Δx} = Fi+1
Nilai Fi-1 dan Fi+1 berdasarkan fungsi pada deret taylor dengan kesalahan pemotongan orde kedua diperoleh : .................................................... (I.14) .................................................... (I.15) Persamaan beda pusat dapat diperoleh dengan menyelisihkan persamaan (1.14) dan (1.15), maka didapat persamaan seperti berikut : ............................................................ (I.16) Skema leap-frog dalam perhitungannya menggunakan sistem grid dengan ukuran tertentu. (Goto dkk, 1995)
14
(a)
(b)
Gambar 1.3. Perhitungan titik grid pada metode leap frog (a) Perhitungan pada arah x dan y, (b) Perhitungan pada arah x dan t Sumber : Imamura (2006) I.8.2.3. Nested grid Metode yang digunakan pada pemodelan penjalaran gelombang tsunami dengan model numerik TUNAMI-N3 adalah metode nested grid (Gambar I.4). Nested Grid adalah metode perhitungan nilai-nilai tinggi gelombang di dalam grid pada skema leap-frog. Grid yang digunakan dalam pemodelan ini menggunakan dua atau lebih grid yang saling bertampalan dan dengan ukuran grid yang berbeda. Ukuran grid yang satu dengan grid yang lain menggunakan konsep perbandingan bilangan ganjil 1:3 (Imamura, 2006) Area L (Large) dengan warna garis merah memiliki ukuran grid lebih besar, sedangkan area S (Small) dengan warna garis hijau menunjukkan ukuran grid lebih kecil. Keadaan ini dikarenakan letak bidang sesar tidak tercakup dalam area S tetapi hanya pada area L, seperti pada Gambar I.4. Nilai – nilai grid yang berada diperbatasan pada area pertampalan digunakan untuk menghitung nilai grid pada area lainnya. Model numerik tsunami nonlinier yang dikembangkan oleh Imamura (2006), menggunakan metode nested grid, yakni menggunakan lebih dari satu ukuran grid pada satiap area yang dilibatkan. Gambar I.4 menunjukkan bahwa satu buah grid pada area L akan memiliki 81 grid di area S.
15
AREA S
BIDANG SESAR
Gambar I.4. Visualisasi metode nested grid (Imamura dkk, 2006) I.8.2.4. Simulasi penjalaran gelombang tsunami Penjalaran gelombang tsunami disimulasikan dengan masukan hasil estimasi tinggi gelombang tsunami awal (inisialisasi gelombang tsunami) yang terbangkitkan oleh deformasi dasar laut akibat gempa bumi. Data masukan yang digunakan adalah: a. data batimetri dalam bentuk kedalaman setiap grid b. data hasil pembentukan awal gelombang tunami (initial model) Syarat stabilitas dari CFL (Courant Freiderick Lewy) 1, harus dipenuhi oleh kedua data tersebut, yaitu: ...................................................................................... (I.17) Dengan Keterangan: Cmax
: Kecepatan awal
g
: Gaya gravitasi (10 m/s)
hmax
: Kedalaman perairan maksimum
dt
: Langkah waktu perhitungan
Dalam perhitungan gelombang tsunami menggunakan metode numerik nilai kedalaman (batimetri) dibuat bernilai positif sedangkan untuk topografi dibuat bernilai negatif (Imamura dkk, 2006)
16
I.8.2.5. Model awal gelombang tsunami Dalam suatu simulasi tsunami menggunakan model numerik dibutuhkan model awal (initial model) yang digunakan untuk informasi gelombang awal tsunami. Model awal tersebut berisi informasi jarak vertikal dari permukaan air laut setimbang mean sea level (msl). Model awal gelombang tsunami ada empat jenis (Carier, 2003) yaitu: 1. Gaussian Shape Persamaan yang digunakan model Gaussian Shape untuk mendapatkan nilai
adalah : .... (I.18)
dengan nilai = 0.017,
= 1.69 dan = 4.0.
2. Negative Gaussian Shape Model ini merupakan inverse dari model Gaussian Shape. Persamaan yang digunakan untuk mendapatkan nilai
adalah : ..................... (I.19)
dengan nilai = 0.017,
= 1.69 dan = 4.0.
3. Leading Depression N-wave Shape I Model ini biasanya digunakan untuk tsunami yang disebabkan oleh kesalahan dislokasi seismik (fault dislocation) akibat gempa subduksi. Persamaan yang digunakan untuk mendapatkan nilai
adalah : ...................... (I.20)
dengan nilai
= 0.02, = 0.01,
= 3.5,
= 1.5625, dan
= 1.0
4. Leading Depression N-wave Shape II Model ini biasanya digunakan untuk tsunami yang disebabkan oleh longsor bawah laut lepas pantai (submarine landslide). Persamaan yang digunakan untuk mendapatkan nilai
adalah : ..................... (I.21)
dengan nilai = 4.1209, dan
= 0.006, = 1.6384
= 0.018,
= 0.4444,
= 4.0,
17
Keempat jenis model gelombang diatas dapat divisualisasikan seperti pada Gambar I.5. yang menunjukkan perbedaan dari masing – masing model.
Gambar I.5. Model awal gelombang tsunami (a) Gaussian shape, (b) Negative Gaussian shape, (c) Leading N-wave I, (d) Leading N wave II Sumber : Carier (2003) I.8.3. Bentuk dan Karakteristik Morfologi Pantai Pemodelan tsunami menggunakan model numerik membutuhkan data batimetri dan data topografi sebagai data masukan. Data masukan tersebut setidaknya dapat menggambarkan keadaan morfologi sebenarnya, terutama morfologi pantai karena bentuk morfologi pantai yang berbeda dapat mempengaruhi hasil pemodelan simulasi tsunami secara numerik (Athanasius, 2009). Morfologi pantai yang umum dijumpai di Indonesia adalah lurus, tanjung, teluk, pantai landai dan curam. Ilustrasi dari masing – masing morfologi tersebut dapat dilihat pada Gambar I.6. Tanjung adalah daratan yang menjorok ke laut, atau daratan yang dikelilingi oleh laut ketiga sisinya (Gambar I.6. a).
18
Tanjung yang luas disebut semenanjung. Tanjung biasanya terletak bersebelahan dengan teluk. Morfologi pantai seperti ini dapat di jumpai di pantai selatan Jawa seperti Pacitan dan Cilacap.
(a)
(b)
(c)
Gambar I.6. Pemodelan morfologi pantai (a) Tanjung, (b) Teluk, (c) Lurus Sumber: General Bathymetric Chart of the Oceans (GEPCO) 08 (2013) Teluk adalah tubuh perairan yang menjorok ke daratan dan dibatasi oleh daratan pada ketiga sisinya (Gambar I.6. (b)). Teluk letaknya sangat strategis. Teluk banyak dimanfaatkan sebagai pelabuhan. Bentuk pantai yang demikian memiliki dampak risiko terkena dampak tsunami lebih tinggi dibanding pantai lainnya (Yudhicara, 2011). Pantai lurus adalah pantai dengan bentuk garis pantainya lurus atau tidak bergelombang seperti yang ditunjukkan pada Gambar I.6. (c). Pantai ini yang paling umum di jumpai dengan penampakan yang khas dan tersusun dari material lepas seperti pasir, kerikil, batu gaplok dan sejenisnya (Marlin, 2011). Kenampakan pantai ini dapat di jumpai di pantai selatan Jawa seperti D. I. Yogyakarta. Kemiringan pantai adalah kemiringan pada daerah pantai yang dihitung berdasarkan
jarak
mendatar
dan
beda
tinggi.
Kemiringan
pantai
dapat
diklasifikasikan menjadi tujuh macam. Klasifikasi lereng yang digunakan adalah
19
klasifikasi persentase kemiringan lereng dan beda tinggi oleh Van Zuildam (1983) , dapat dilihat pada Tabel I.1
Tabel I.1. Klasifikasi kelerengan pantai Satuan Datar Miring Landai Miring Miring Sedang Miring Terjal Miring Sangat Terjal Pegunungan Miring Sangan Terjal
Sudut (%) 0–2 3-7 8 – 13 14 – 20 21 – 55 56 – 140 >140
Beda Tinggi (m) <5 5 – 50 50 – 75 75 – 200 200 – 500 500 - 1000 >1000
Pada penelitian ini, kemiringan di laut mengacu pada Tabel I.1. kemiringan yang sesuai dengan Tabel I.1 adalah dari +10 meter sampai dengan kedalam batimetri -80 meter. Alasannya adalah agar data batimetri hasil modifikasi ini dapat diintegrasikan dengan baik dan dengan mempertimbangkan kontur batimetri riil. dengan data batimetri keseluruhan yang digunakan dalam penelitian ini. Untuk kemiringan topografi diatas kontur +10 meter disesuaikan dengan data keseluruhan topografi (hasil interpolasi) dikarenakan pada penelitian ini pengamatan gelombang tsunami tidak sampai ke daratan, atau dengan kata lain kemiringan darat dibaikan. I.9. Hipotesis Penjalaran gelombang tsunami dipengaruhi oleh morfologi pantai. Oleh karena itu penelitian ini mengemukakan hipotesis awal bahwa gelombang tsunami memiliki karakteristik yang berbeda pada morfologi pantai yang berbeda (lurus, tanjung dan teluk), dimensi perairan (lebar mulut) yang berbeda (3,75km, 7,5km, 15km, 30km) dan kemiringan pantai yang berbeda (3%, 13%, 23%).