BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Gunung Merapi merupakan salah satu gunung api aktif di indonesia. Lereng sisi selatan Merapi berada dalam administrasi Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Lereng sisi barat berada dalam administrasi Kabupaten Magelang. Sedangkan lereng sisi timur dan tenggara berada dalam administrasi Kabupaten Boyolali dan Klaten. Erupsi Merapi pada tahun 2010 yang lalu mengakibatkan berbagai kerugian secara langsung maupun tidak langsung. Kerugian langsung di antaranya gempa Vulkanik dan debu dari kubah Merapi. Sedangkan kerugian tidak langsung di antaranya banjir lahar dingin. Banjir lahar dingin membawa sedimen sisa letusan Merapi yang mengakibatkan pendalaman pada dasar sungai - sungai berhulu sungai Merapi. Curah hujan yang tinggi memperbesar kemungkinan terjadinya banjir yang menimbulkan kerusakan pada daerah sepanjang aliran sungai yang berhulu Merapi, diantaranya adalah Sungai Gendol di lereng Gunung Merapi (Laksono,2011). Sedimentasi sisa erupsi Gunung Merapi saat ini terjadi di berbagai sungai yang berhulu Merapi. Sisa erupsi mengakibatkan kerusakan pada sisi sungai. Selain itu sarana publik seperti jembatan dan jalan juga rusak akibat sisa erupsi ini. Usaha perbaikan secara struktural harus juga diimbangi dengan usaha non struktural berupa perkiraan banjir. Dengan mengetahui volume material sisa erupsi yang ada di sungai tersebut diharapkan perkiraan akan banjir dapat diketahui. Perhitungan volume sisa erupsi merapi dapat menjadi data yang membantu untuk pelaksanaan penanganan pasca bencana Merapi. Data ini dapat digunakan untuk memperkirakan seberapa besar materi yang terbawa oleh banjir lahar dingin dan memperkirakan seberapa besar materi yang mengendap di bagian sungai berhulu merapi. Perubahan volume
dan bentuk topografi yang terjadi di sungai dapat
diakibatkan oleh banjir lahar dingin yang melewati daerah sungai itu, aktifitas penambangan pasir juga dapat merubah volume sisa erupsi ini.
Penggunaan foto udara dan LIDAR dapat membantu penyediaan data spasial dan atribut. Data tersebut merekam model dasar sungai sebelum terjadinya erupsi dan setelah erupsi. Dua data model ini kemudian dapat dihitung volume material erupsi Merapi. Proyek ini diharapkan dapat membantu pemerintah khususnya instansi yang terkait untuk penanganan bencana. Hasil dari proyek ini adalah didapatnya perbedaan volume material erupsi Merapi di sebagian wilayah sungai Gendol. Nilai volume ini kemudian menjadi data untuk dapat melakukan pencegahan dan antisipasi apabila terjadi hujan dan terjadinya banjir di sepanjang aliran sungai yang berhulu Merapi. I.2. Tujuan Proyek Tujuan proyek ini adalah untuk mendapatkan volume perhitungan material erupsi Merapi yang terbawa dan terendap akibat banjir lahar dingin di kawasan daerah aliran sungai Gendol berdasarkan perbandingan 2 model elevasi digital.
I.3. Manfaat Proyek Proyek ini diharapkan dapat dijadikan pengembangan untuk proses penanganan pasca bencana erupsi Merapi. Selain itu diharapkan dalam pembangunan sarana untuk masyarakat juga memperhatikan sisi keamanan melalui pengetahuan akan volume material yang ada dan yang terbawa oleh banjir lahar dingin Merapi.
I.4. Batasan Masalah Pembatasan masalah dalam proyek ini meliputi: 1. Lokasi proyek adalah sebagian wilayah dari aliran sungai Gendol 2. Data yang digunakan dalam proyek ini adalah data DEM digitasi foto udara tahun 1989 dan DEM LIDAR tahun 2012. 3. Prinsip penentuan volume menggunakan prinsip menghitung volume dari perbandingan dua data surface. Proyek menggunakan perangkat lunak, Global Mapper V11.01.
4. Posisi obyek yang menjadi kontrol offset dianggap berada dalam lokasi yang sama dan tidak berubah. 5. Datum posisi horizontal untuk masing masing data DEM dianggap berada dalam satu sistem. 6. Pada lokasi proyek terjadi pengurangan material tanah selama tahun 1989 sampai 2012. I.5. Landasan Teori Materi yang digunakan sebagai landasan dalam proyek perhitungan volume material ini meliputi digital elevation model (DEM), DEM dari foto udara, DEM dari LIDAR, sistem referensi tinggi, sedimen, perhitungan volume metode spot height. Materi – materi tersebut digunakan sebagai dasar teori proyek ini kemudian membantu proses pekerjaan proyek I.5.1. Digital Elevation Model (DEM) Dalam arti, DTM didefinisikan sebagai representasi digital dari medan. Banyak peneliti yang menciptakan istilah lainnya untuk mulai digunakan. Ini termasuk model digital elevasi (DEM), digital ketinggian Model (DHM), Model tanah digital (DGM) serta sebagai model digital daerah ketinggian (DTEM). Istilah-istilah ini berasal dari berbagai negara. DEM secara luas digunakan di america, DHM berasal dari Jerman, DGM digunakan di Inggris, dan DTEM diperkenalkan dan digunakan oleh USGS dan DMA. Dalam prakteknya, istilah-istilah (DTM, DEM, DHM, DTEM) sering dianggap identik dan memang ini yang sering terjadi. Tapi kadang-kadang mereka benar-benar mengacu pada produk yang berbeda. Artinya, mungkin sedikit perbedaan antara istilah-istilah ini. (Li, 2005) telah membuat analisis komparatif sebagai berikut : a. b. c. d.
Ground Height Elevation Terrain Dari definisi ini, beberapa perbedaan antara DTM, DHM, DEM, dan DTEM
mulai terlihat. Jadi, DGM kurang lebih memiliki arti dari "model digital dari
permukaan padat". Berbeda dengan penggunaan alasan, ketinggian elevasi syarat dan menekankan "pengukuran dari datum ke atas" dari sebuah objek. Mereka tidak selalu mengacu pada ketinggian permukaan medan, tetapi dalam prakteknya, ini adalah aspek yang menekankan pada penggunaan istilah-istilah ini. Yang dimaksud dengan medan yang lebih kompleks dan merangkul. Ini mungkin puas konsep tinggi, tetapi juga attemps untuk memasukkan unsur geografis lainnya dan fitur alami. Oleh karena itu jangkauan DTM cenderung memiliki makna yang lebih luas dari DHM atau DEM dan akan mencoba fitur medan spesifik toincorporate seperti sungai, garis batas, garis istirahat, dll ke dalam model. Pada awalnya DTM dalam pikiran peneliti bisa menjadi generasi baru peta topografi,
tentu
saja,
dalam
bentuk
digital.
Namun peneliti
geoscience
menggabungkan informasi non topografi dengan informasi topografi untuk membangun DTM sesuai dengan kebutuhan spesifik mereka sendiri. Sebagai contoh, di awal (Miller dan Laflammed dalam Li, 2005) dimaksudkan untuk menambah informasi geoteknik ke node jaringan reguler strip area untuk komputer - disain jalan dibantu. Umumnya, DTM bisa berisi empat kelompok berikut informasi sebagai berikut: a. b. c. d.
Landforms Terrain features Natural resources Sosioeconomic Dan apabila yang diinformasikan adalah elevasi tertinggi dari tiap titik, yang
berasal dari permukaan tanah atau area diatas permukaan tanah, maka DEM disebut sebagai Digital Surface Model (DSM). DEM berasal dari tiga sumber utama (Weibel & Heller, 1990 dalam Sudyatmoko, 2004) : I.5.1.1.Survey lapangan / terristris. Permukaan bumi tertutup oleh berbagai fitur alam dan fitur buatan dimana semuanya merupakan satu kesatuan data teristris. Pemetaan teristris dilakukan untuk melakukan identifikasi terhadap berbagai fitur yang tidak mampu dilakukan oleh metode pengukuran lainnya. Data survey lapangan yang berupa koordinat masing-masing titik dapat langsung dimasukan ke komputer sehingga dapat dibentuk DEM menggunakan software tertentu. Ketelitian hasil DEM
tergantung dari ketelitian alat yang digunakan dalam pengukuran dan kemampuan surveyor dalam mengambil data yang mampu mewakili kondisi karakteristik permukaan tanah. I.5.1.2.Pengindraan jauh dan fotogrametri. Pengindraan jauh dan fotogrametri adalah cara yang paling efisien untuk membuat dan memperbarui data DEM untuk skala besar. Secara umum data ini diperoleh berdasarkan hasil perekaman data melalui media kamera yang dipasang ke dalam suatu wahana. Prinsip dasar dari fotogrametri adalah dengan membuat pasangan stereo dari 2 buah gambar untuk membentuk suatu objek 3 dimensi. Ketelitian DEM tergantung dari metode perekaman titik dan ketelitian citra atau foto udara yang digunakan I.5.1.3.Peta topografi. Setiap negara memiliki peta topografinya masing masing dan dapat digunakan sebagi sumber data alternatif dalam pembuatan DEM. Di berbagai negara berkembang peta topografi jumlahnya sedikit dan kualitas ketelitian dari peta topografi tersebut kurang. Untuk negara negara maju seperti Amerika, Inggirs dan Cina, peta topografi telah tersedia dalam berbagi skla dan ketelitan. Oleh karena itu pembuatan DEM dari sumber data peta topografi ini sangat mudah dalam hal ketersediaan data. DEM diperoleh dengan melakukan digitasi kontur pada peta tersebut dengan menggunakan software tertentu. Ketelitian DEM tergantung dari ketelitian peta dan skala peta. I.5.2. DEM Dari Data Foto Udara Foto udara merupakan salah satu sumber data yang digunakan untuk pembuatan DEM. Foto udara sendiri adalah sebuah gambar yang dicetak pada media kertas (foto) yang dihasilkan melalui pemotretan dengan perekaman secara fotografi. Foto udara ini adalah salah satu produk dari ilmu geodesi dalam perekaman obyek, daerah, atau fenomena yang ada di permukaan bumi dengan menggunakan alat berupa kamera dan sensor berupa film. Film hasil perekaman data kemudaia dicetak melalui proses kimiawi. Citra foto dapat diambil menggunakan wahana yang beragam. Wahana adalah alat transportasi atau media yang digunakan untuk melakukan pemotretan. Wahana dapat berupa balon udara, pesawat udara, gantole, maupun pesawat tanpa awak.
Dalam proses pemotretan ada beberapa hal yang perlu untuk diperhatikan yaitu, tujuan dari pemotretan, penentuan jalur dan arah penerbangan. Prinsip dasar dari fotogrametri adalah untuk menggunakan sepasang gambar stereo untuk merekonstruksi bentuk asli objek 3D dan untuk membentuk model stereo , kemudian mengukur koordinat 3D dari objek pada model stereo . Pasangan stereo mengacu pada dua gambar dari objek yang sama di dua foto yang sedikit berbeda sehingga mereka memiliki area overlap . Sebenarnya, hanya di wilayah yang terdapat overlap yang dapat dilakukan rekonstruksi model 3D . Dalam foto udara, umumnya ada persentase overlap sekitar 60 % dalam arah jalur terbang dan 30 % antara strip jalur terbang. Setiap foto dicirikan oleh enam unsur orientasi yaitu tiga unsur sudut dan tiga terjemahan. Setiap dua gambar dengan overlap dapat digunakan untuk menghasilkan model stereo. I.5.3. DEM Dari Data LIDAR LIDAR (Light Detection and Ranging) adalah sebuah teknologi sensor jarak jauh menggunakan properti cahaya yang tersebar untuk menemukan jarak dan informasi suatu obyek dari target yang dituju. Metode untuk menentukan jarak suatu obyek adalah dengan menggunakan pulsa laser. Seperti teknologi radar, yang menggunakan gelombang radio, jarak menuju obyek ditentukan dengan mengukur selang waktu antara transmisi pulsa dan deteksi sinyal yang dipancarkan. Teknologi LIDAR memiliki kegunaan dalam bidang geodesi, geomatika, arkeologi, geografi, geologi, geomorfologi, seismologi, fisik atmosfer, dan lain-lain. Sebutan lain untuk LIDAR adalah ALSM (Airborne Laser Swath Mapping) dan altimetri laser. LIDAR menggunakan cahaya inframerah, ultraviolet, tampak, atau dekat dengan objek gambar dan dapat digunakan untuk berbagai sasaran, termasuk bendabenda non-logam, batu, hujan, senyawa kimia, aerosol, awan dan bahkan molekul tunggal. Sebuah sinar laser dapat digunakan untuk memperoleh fitur peta fisik dengan resolusi sangat tinggi. Secara umum sistem LIDAR wahana udara adalah perpaduan antara LRF (Laser Range Finder), POS (Positioning and Orientation System) terintegrasikan
dengan GPS (Global Positioning System), INS (Inertial Navigation System) dan sensor laser (Liu, dalam Bachtiar 2013). I.5.3.1.Global positioning system (GPS). Dalam sistem LIDAR, GPS digunakan sebagai alat dan sistem penentuan posisi wahana terbang secara 3D (X, Y, Z) terhadap sistem referensi tertentu saat LIDAR melakukan pengukuran. GPS juga ada di permukaan bumi. Penentuan posisi ini dilakukan secara differensial sehingga dapat mengamati posisi objek yang diam atau bergerak. (Liu, dalam Bachtiar 2013) I.5.3.2.Inertial navigation system. INS adalah sistem navigasi yang mampu mendeteksi perubahan orientasi dari suatu benda. Sistem ini mampu mengukur besar perubahan orientasi wahana terbang terhadap sumbu sumbu horizontalnya (roll, pitch, yaw). Dari hasil pengukuran yang dilakukan oleh INS, dapat menghasilkan informasi berupa tiga dimensi dan posisi wahana terbang. (Liu, dalam Bachtiar 2013) I.5.3.3.Sensor laser. Sensor LIDAR berfungsi untuk memancarkan sinar laser ke objek dan merekam kembali gelombang pantulannya setelah mengenai objek. LIDAR melakukan penyiaman dengan pola penyiaman tertentu. Prinsip kerja LIDAR yaitu memancarkan berkas cahaya ke obyek atau permukaan bumi oleh transmitter, kemudian kembali setelah membentur obyek atau permukaan bumi. Pantulan tersebut direkam oleh sensor receiver sebagai data jarak. Pengukuran jarak dapat dijelaskan dengan prinsip beda waktu. Jika waktu (tL) diukur maka jarak antara sensor dengan obyek dapat dihitung dengan persamaan berikut (Wehr dalam Bachtiar, 2013). Range (R)
:
....................................................................(I.1)
Range resolution (
:
.................................................................(I.2)
Maximum Range (
:
.............................................................(I.3)
Maximum Accuracy (
:
.........................................................(I.4)
Keterangan : R
: Jarak antara sensor dengan titik target yang diukur
C
: konstanta kecepatan cahaya
tL
: travelling time
∆R
: range bin
∆tL
: optical pulse width or sample interval
S/N
: single pulse signal-to noise ratio
Rmax : maximum range from the sensor to the object tLmax : maximum travelling time ∂R
: RMS range accuracy
Trise : time elapsed to reaching maximum amplitude Jarak yang harus dilewati sinar laser sebanyak 2 kali, yaitu jarak sensor ke titik target dan kembali ke sensor, sehingga pembagi 2 harus dimasukkan. Laser scanner dapat dibagi ke dalam beberapa unit : laser ranging unit, opto mechanical scanner, control and processing unit. Laser ranging unit terdiri dari pemancar laser dan penerima elektro-optik. Sinar laser hasil pancaran dan pantulan yang diterima sensr melewati lubang pada ranging unit berupa garis lurus dari scanner sampai suatu titik objek yang secara bersamaan direkam interval waktu tertentu posisi titik oleh GPS dan orientasinya direkam oleh inertial measurement unit (IMU). Sistem laser scanner secara keseluruhan terdiri dari laser scanner, sistem posisi dan orientasi (POS), diwujudkan dengan
mengintegrasi
differential
GPS
(DGPS)
dan
inertial
measurement unit (IMU), dan unti kontrol optik (Wehr dan Lohr dalam Bachtiar, 2013). Laser scanner memiliki komponen alat yang disebut Laser Range Finder. LRF tersebut berfungsi sebagai pengukur jarak dari transmitter ke titik terget. Untuk dapat mengukur jarak tersebut diperlukan pencatat waktu yang mengukur waktu laser ditembakkan sampai kembali. Waktu yang diperlukan laser untuk kembali ke sensor merupakan parameter penentu untuk menghitung jarak dari sensor ke satu titik target. Sistem koordinat fix platform, biasanya dengan pusat IMU, posisi laser scanner dihubungkan dengan IMU, dan posisi IMU dihubungkan dengan GPS (Wehr dalam Bachtiar, 2013). Rentang waktu antara pulsa dipancarkan sampai kembali dicatat oleh oskilator yang memiliki kemampuan pengukuran tinggi. Waktu yang diperlukan laser untuk kembali ke sensor merupakan parameter tertentu untuk menghitung jarak dari sensor ke satu titik target (Bachtiar, 2013).
Sistem LIDAR menghasilkan data yang dapat dicirikan sebagai didistribusikan 3D point cloud. Pengolahan Data LIDAR bertujuan untuk penghapusan objek yang tidak diinginkan (dalam bentuk baik pengukuran yang keliru atau objek) atau pemodelan data untuk model tertentu yang diberikan (misalnya, DTM) sebagai bagian dari model permukaan digital diukur ( DSM ). Dalam proses memperoleh data LIDAR, langkah-langkah berikut yang terlibat yaitu penyaringan, klasifikasi, dan pemodelan. Penyaringan mengacu pada penghapusan pengukuran yang tidak diinginkan untuk menemukan permukaan tanah dari campuran tanah dan hasil pengukuran pada vegetasi. Pengukuran yang tidak diinginkan dapat ditandai sebagai noise, outlier atau seperti bangunan atau vegetasi. Generalisasi objek diklasifikasikan disebut sebagai model. Pemisahan objek dari permukaan tanah menurut Axelsson dalam (Li, 2005) adalah proses yang umum bagi sebagian besar aplikasi. Setelah objek dipisahkan dari permukaan tanah, variasi ketinggian dari permukaan medan diperoleh. Suatu paket sistem LIDAR terdiri dari beberapa komponen – komponen yang saling terintegrasi. Di mana setiap komponen alat meiliki ketelitian dan sumber kesalahan yang berbeda. Ketelitian alat mempengaruhi hasil akhir dari penyiaman data LIDAR. Ketelitian yang diperoleh dibanding dengan luasnya area yang dipetakan dalam waktu singkat tentu sangat sempurna. Akan tetapi, untuk mendapatkan ketelitian pada tingkatan tertentu terdapat beberapa faktor yang mempengaruhinya yaitu diabgi ke dalam kesalahan acak dan kesalahan sistematik. I.5.4. Sistem Referensi Tinggi Dalam ilmu geodesi, tinggi suatu titik di permukaan bumi didefinisikan sebagai jarak terhadap bidang referensi. Bidang referensi yang dipakan merupakan bidang ekuipotensial gaya berat yang berhimpit dengan muka air laut rata – rata (mean sea level) yang tidak terganggu atau disebut dengan geoid (Heliani, 2006). Sistem tinggi yang mendasar pada bidang ekuipotensial gaya berat disebut sistem tinggi fisis. Dalam sistem tinggi fisis, ketinggian diukur dari permukaan geoid melalui garis gaya berat (garis arah unting - unting) sampai titik di permukaan bumi.
Ada 3 macam sistem tinggi fisis, yaitu sistem tinggi dinamis, sistem tinggi orthometris dan sistem tinggi normal. I.5.4.1. Sistem tinggi dinamis.Prinsip yang digunakan dalam sistem tinggi dinamis adalah titik – titik yang terletak pada bidang ekuipotensial yang sama akan memiliki ketinggian yang sama. Tinggi dinamis suatu titik dapat dinyatakan dengan banyaknya lapisan bidang ekuipotensial. Tinggi dinamis tidaklah mempunyai arti geometri (Riswanto 2013). I.5.4.2. Sistem tinggi orthometris. Tinggi orthometris suatu titik di permukaan bumi adalah jarak yang diukur sepanjang gasris unting- unting dari geoid sampai ke titik tersebut di permukaan bumi (Heliani, 2006). Hal ini berarti bahwa tinggi orthometris suatu titik di permukaan bumi adalah ketinggian suatu titik di permukaan bumi terhadap suatu bidang referensi berupa geoid. Geoid merupakan salah satu bidang ekuipotensial medan gaya berat bumi. Untuk keperluan praktis, umumnya geoid dianggap berimpit dengan muka air laut rata – rata (Riswanto, 2009). I.5.4.3. Sistem tinggi normal. Tinggi normal suatu titik di permukaan bumi adalah ketinggian titik tersebut dari permukaan bumi terhadap bidang ellipsoid sebagai bidang referensinya yang dihitung sepanjang garis normal ellipsoid. Ellipsoid lebih mudah dimodelkan secara matematis dibandingkan dengan geoid. Bidang referensi ellipsoid dan geoid umumnya tidak berhimpit, dan terdapat selisih ketinggian antara geoid dan ellipsoid yang disebut dengan undulasi (Riswanto, 2013).
Gambar I.1 Tinggi ellipsoid dan tinggi orthometrik (http://dc399.4shared.com/doc/VgBlgKc_/preview.html)
Keterangan gambar : h
: tinggi normal
H
: tinggi orthometris
N
: undulasi geoid
Dengan merujuk gambari I.1 dapat dibentuk suatu pendekatan formula transformasi dari tinggi normal ke tinggi orthometris, yaitu (Abidin, 2000) : H = h – N ....................................................................................................(I.5) I.5.5. Sedimen Sedimen adalah endapan atau deposit bahan padat yang terkumpul pada permukaan bumi dibawah pengaruh berbagai medium (udara, air, es, gravitasi) dan dibawah kondisi suhu dan tekanan normal yang ada pada permukaan bumi tersebut (Benton, HH dalam Yerusalem 2001). Bahan penyusun sedimen terdiri dari bahan klastik (sedimen tanah, lempung, dan bahan yang berukuran pasir). Bahan ini dibawa oeh aliran air sungai yang datang dari sisa erupsi gunung Merapi. Bahan klastik ini akan terbawa dari hulu sungai menuju daerah hilir sungai Merapi. Sedimen merupakan salah satu polutan karena selain dapat menurunkan kualitas air sungai sedimen dapat memperlebar lebar sungai di daerah hulu, dan terjadinya pendangkalan di sungai sungai berhilir Merapi (Yerusalem, 2001). I.5.6. Perhitungan Volume Metode Spot Height Volume mempunyai dimensi kubik, misalnya meter kubik (m3). Pada pembahasan kali ini yang dimaksud volume adalah volume tanah. Sering terjadi bahwa bentuk tanah yang akan dihitung volumenya tidak ideal, artinya tidak selalu berbentu balok atau silinder. Permukaan tanah yang tidak beraturan akan dihitung volumenya dengan beberapa metode. Bidang tanah ini mempunyai referensi pada bidang datar atau bidang proyeksi tertentu.
Prinsip hitungan volume adalah 1 (satu) luasan dikalikan dengan 1 (satu) wakil tinggi. Apabila ada beberapa luasan atau beberapa tinggi, maka dibuat wakilnya, misalnya dengan merata-ratakan luasan ataupun merata-ratakan tingginya.
Gambar I.2 Surface grid
Metode spot height (gambar I.2) ini umumnya digunakan untuk menghitung cut volume dan fill volume tanah. Setiap volume di mana sisi samping dan sisi alas adalah datar, dan bagian permukaan tidak beraturan sehingga berbentuk seperti grid. Gambar I.3 menunjukkan batas-batas penggalian dengan tingkat permukaan dalam meter di A, B, C dan D. Jika ABCD daerah adalah pesawat, maka volume galian adalah (Schofield, 2001) : V = daerah alas ABCD x rerata tinggi Namun, yang perlu dipertimbangkan adalah ukuran dari grid luasan itu sendiri. Ukuran grid harus sesuai dengan bentuk permukaan yang akan dihitung volumennya.
Jika ukuran grid kurang sesuai maka permukaan tersebut dapat dibagi menjadi dua segitiga dengan diagonal. V = rencana daerah ABCD x berarti tinggi Jika kotak kotak semua sama di daerah, maka data tersebut mudah ditabulasi dan bekerja dengan memperlakukan ukuran grid secara keseluruhan .
Gambar I.3 Volume Grid Pendekatan ini diadopsi oleh program Global Mapper dengan memisahkan wilayah tersebut menjadi sangat kecil dengan bentuk segitiga atau grid pixel, dengan mengalikan luas grid seperti yang ditunjukkan dalam gambar I.3 yang ada pada data dan dikalikan tinggi dari tiap grid pixel maka volume yang akurat akan diperoleh.