BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Jalan (rute) merupakan hal vital dalam kegiatan penambangan batubara. Hal vital tersebut terkait dengan mobilisasi alat transportasi yang membawa batubara dari area penambangan menuju stock pile, waste dump area, ataupun untuk akses ke wilayah yang terkait lainnya. Rute yang begitu vital tersebut membutuhkan suatu desain yang baik sesuai spesifikasi standar agar diperoleh mobilisasi yang efektif dan efesien. Desain rute yang begitu vital tentu saja membutuhkan beberapa data dan parameter yang mendukung dalam desain yang baik. Data yang dibutuhkan berupa data kontur topografi, alat transportasi terbesar yang melintas, letak penambangan, dan lainnya. Parameter yang diperlukan adalah berupa kecepatan yang akan diterapkan, jumlah lengkungan yang mengikuti keadaan topografi, desain lengkung horisontal, lengkung vertikal, superelevasi, desain berm, bench, ramp, danlebar koridor jalan. Selain data dan parameter tersebut juga diperlukan perhitungan yang dijadikan sebagai acuan apakah kegiatan penambangan tersebut bernilai ekonomis atau tidak. Perhitungan tersebut dapat berupa jarak area dengan akses utama yang tersedia, luasan area, dan volume dari overburden dan interburden terhadap cadangan (stripping ratio). Kegiatan desain dan perhitungan yang begitu kompleks menjadikan kegiatan perencanaan harus dilakukan dengan tepat sesuai spesifikasi yang diminta. Salah satu perangkat lunak yang bisa digunakan untuk pekerjaan desain adalah surpac. Perangkat lunak surpac memiliki kemampuan dalam desain lengkung horisontal, lengkung vertikal, dan superelevasi yang belum dapat dilakukan oleh perangkat lunaksejenis. Kemampuan lainnya dari surpac adalah mampu melakukan perhitungan luas, volume, dan pembentukan DTM (Digital Terrain Model) yang sangat membantu untuk melihat kenampakan 3 dimensi dari data. Proyek ini akan membahas aplikasi perangkat lunak surpac untuk pembuatan jalur tambang (route design) dan untuk pembuatan desain pit dengan menggunakan
1
2
beberapa parameter desain pada penambangan batubara terbuka (open pit) di daerah Indragiri Hulu, Riau. I.2. Lingkup Kegiatan Lingkup dari kegiatan merupakan sebagai acuan kerja dan batasan yang akan dilaksanakan pada proyek ini. Berikut lingkup kegiatan dalam proyek ini : 1. Perancangan jalur jalan yang dikombinasikan dengan lengkung horisontal dan lengkung vertikal pada area yang menghubungkan jalan akses kedua blok (Togan dan Payabenawa). 2. Penentuan lebar berm dan lebar ramp sesuai lebar alat transportasi terbesar dengan double track pada ramp dan single track pada lebar berm. Alat transportasi terbesar yang digunakan adalah Truck Mining Caterpillar 797F. 3. Perhitungan volume galian dan timbunan dengan metode report volume of solids pada area penambangan sedangkan pada akses jalan raya menuju ke dua area penambangan dengan metode net volume between DTMs yang terdapat di surpac. 4. Pembuatan desain pit untuk kedua blok (Togan dan Payabenawa). 5. Unsur-unsur geologi tidak dijadikan dasar dalam perancangan desain pit. 6. Batas dari area penambangan merupakan hasil asumsi dari penulis. 7. Garis kontur yang dipakai dianggap tidak memiliki kesalahan morfologis. I.3. Tujuan Tujuan dari proyek ini untuk membuat desain jalur tambang dan desain pit (open pit mining) secara digital menggunakan perangkat lunak surpac sesuai dengan standar desain jalur, yang mempertimbangkan jenis kendaraan, kecepatan, lengkungan (horisontal dan vertikal), elevasi (gradient), dan volume galian dan timbunan. I.4. Manfaat Metode desain secara digital menggunakan perangkat lunak surpac dapat memberikan alternatif dalam melakukan desain jalur (route design) tambang dan penyajian jalur sesuai spesifikasi kendaraan yang akan melintas.
3
I.5. Landasan Teori I.5.1. Jalan Jalan adalah prasarana yang diperuntukkan bagi gerak pindah kendaraan, orang dan/atau barang. Jalan angkut yang baik akan memperhatikan berbagai hal dasar yaitu berupa kondisi geometrik topografi. Keadaan topografi yang landai dan tidak banyak halangan akan menjadikan jalur lurus sedangkan keadaan gradian yang besar dan adanya halangan akan menjadikan jalur berbelok atau melengkung untuk mengurangi gaya berat yang diterima. Jalan pada area penambangan sebenarnya belum ada klasifikasinya, namun secara umum dapat dibagi menjadi : jalan hauling (akses ke inpit menuju port atau stockpile) dan jalan tambang (jalan di sekitar area penambangan). Kedua jalan tersebut memiliki konstruksi yang hampir sama dengan jalan raya pada umumnya tetapi yang membedakannya hanya pada permukaan jalannya (road surface) yang jarang dilapisi aspal atau beton. Hal tersebut dikarenakan jalan tambang sering dilalui oleh alat mekanis berat. Beberapa pertimbangan dalam desain jalan tambang dan jalan hauling yaitu letak jalan masuk dan keluar, lebar jalan cross slope, dan superelevasi. I.5.1.1. Letak Jalan Masuk dan Keluar. Suatu tambang yang baru, penting diperhitungkan dimana letak jalan-jalan masuk dan keluar dari tambang untuk akses yang baik ke lokasi pembuangan tanah penutup (waste dump) dan permukaan bijih crusher. Kondisi permukaan bumi merupakan faktor penting dalam penentuan berapa jalur (tinggi dan lebar) pada tiap level jalur (rute). I.5.1.2. Lebar Jalan. Lebar jalan angkut biasanya 4 kali lebar truk. Lebar jalan seperti di atas memungkinkan lalu lintas dua arah, ruangan untuk truk yang akan menyusul, juga cukup untuk selokan penyaliran dan tanggul pengaman seperti pada ilustrasi pada gambar I.1. a. Lebar jalan lurus Gambar I.1. menunjukkan alasan kenapa lebar pada jalan lurus yaitu 4 kali karena untuk kepentingan keamanan saat 2 kendaraan terbesar melintas dari dua arah. Penentuan lebar jalan angkut ditentukan dengan rumus (I.1). L
= n.Wt + (n + 1).(0,5.Wt)
(I.1)
4
Keterangan : L
: lebar jalan angkut minimum (meter)
n
: jumlah jalur
Wt : lebar alat angkut (meter) Nilai 0,5 pada rumus di atas menunjukkan bahwa ukuran aman kedua kendaraan berpapasan merupakan sebesar 0,5 Wt, yaitu setengah lebar terbesar dari alat angkut yang bersimpangan. Ukuran 0,5 Wt juga digunakan untuk jarak dari tepi kanan atau kiri jalan kealat angkut yang melintasi secara berlawanan. Apabila tidak sesuai dengan ketentuan menurut perhitungan, maka harus dilakukan perubahan karena selain dapat menghambat dalam kegiatan pengangkutan juga berbahaya bagi keselamatan operator dan kendaraan yang beroperasi (Suwandi, 2004).
a 1Gambar
I.1. Lebar jalan lurus berdasarkan lebar angkutan (Suwandi, 2004)
b. Lebar jalan pada tikungan Lebar jalan pada tikungan diberi nilai lebih lebar sesuai pada gambar I.2 dikarenakan adanya gaya sentrifugal yang melawan pusat lengkungan. Berikut diuraikan rumus penentuan lebar jalan pada tikungan. Lt = n.(U+Fa+Fb+Z)+C
(I.2)
Z = C = ½ (U+Fa+Fb)
(I.3)
Keterangan : Lt : lebar jalan angkut pada tikungan (meter) U : jarak jejak roda (meter)
5
Fa : lebar juntai depan (meter) Fb : lebar juntai belakang (meter) C : jarak antara alat angkut saat bersimpangan (meter)
a 2Gambar
I.2. Lebar jalan pada tikungan lebar angkutan (Suwandi, 2004)
I.5.1.3. Cross slope dari Jalam Masuk Permukaan Kerja. Tujuan dari pembuatan cross slope adalah jika terdapat air pada jalan, maka air tersebut akan mengalir pada tepi jalan. Cross slope didapat dari perbandingan y:x. Cross slope dibuat dengan perbandingan 1:25 untuk jalan yang tidak berlapis salju atau jalan yang materialnya masih bisa meresap air. Jika jalan belum memenuhi cross slope di atas, maka perlu menimbun bagian tengah jalan, sehingga memenuhi persyaratan cross slope. Perbandingan besarnya nilai x dan y disajikan dalam gambar I.3.
a 3Gambar
I.3. Penampang cross slope (Suwandi, 2004)
I.5.1.4. Superelevasi (Kemiringan Jalan). Superelavasi merupakan kemiringan jalan pada tikungan yang terbentuk oleh batas antara tepi jalan terluar dengan tepi
6
jalan terdalam karena perbedaan kemiringan. Tujuan dibuat superelevasi pada daerah tikungan jalan angkut yaitu untuk menghindari atau mencegah kendaraan tergelincir keluar jalan atau terguling. Superelevasi berguna untuk mengimbangi gaya sentrifugal (gaya yang mendorong keluar dari pusat) sewaktu kendaraan melintasi tikungan, dan menambah kecepatan. Penguraian besarnya resultan gaya yang bekerja pada kendaraan di lintasan miring dapat dilihat pada gambar I.4.
a 4Gambar
I.4. Superelevasi tikungan jalan angkut (Suwandi, 2004)
Berdasarkan teori anti-Cos D.I.C. pada kondisi jalan kering nilai superelevasi merupakan harga maksimum yaitu 60 mm/m sedangkan pada kondisi jalan penuh lumpur atau licin nilai superelevasi terbesar 90 mm/m. Secara matematis kemiringan tikungan jalan angkut merupakan perbandingan antara tinggi jalan dengan lebar jalan. Besarnya kemiringan tikungan jalan dihitung berdasarkan kecepatan rata-rata kendaraan dengan koefisien friksinya (e). Persamaan yang digunakan untuk menghitung superelevasi yaitu : Tan α = e = V2/(R.G)
(I.4)
Keterangan : V : kecepatan kendaraan saat melewati tikungan (m/s) R : radius tikungan G : gravitasi bumi = 9,8 m/s2 Kemiringan jalan angkut (grade) merupakan salah satu faktor penting yang harus diamati secara detil dalam kegiatan kajian terhadap kondisi jalan tambang. Hal
7
ini dikarenakan kemiringan jalan angkut berhubungan langsung dengan kemampuan alat angkut, baik dalam pengereman maupun dalam mengatasi tanjakan. Kemiringan jalan angkut biasanya dinyatakan dalam persen (%) yang dapat dihitung dengan mempergunakan rumus sebagai berikut: Grade (α) =
(I.5)
Keterangan : ∆h : beda tinggi antara dua titik yang diukur ∆x : jarak antara dua titik yang diukurvertical I.5.2. Lengkungan (Curve) Lengkungan pada kegiatan transportasi adalah suatu busur yang terbentuk akibat dari titik belok yang membentuk sudut sebagai konsekwensi tidak terjadi pengurangan kecepatan secara signifikan (Meyer, 1980). I.5.2.1.Lengkung Sederhana. Lengkung sederhana terdiri dari dua busur lingkaran di mana tangent (menyinggung) pada dua bagian yang lurus dari lintas jalur (Meyer, 1980). Pengetahuan secara menyeluruh mengenai lengkungan sederhana yaitu geometri dasar, perhitungan, dan cara pematokan diperlukan untuk dapat memahami masalah-masalah lengkungan yang lebih kompleks. Pada gambar I.5 dijelaskan bagian-bagian dari lengkungan sederhana. V dinamakan puncak (vertex) atau titik perpotongan tangen-tangen (point of intersection), I merupakan sudut defleksi diantara tangen-tangenya yang sama dengan sudut pusat (central angle) dari lengkungan.
a 5Gambar
I.5. Tata letak lengkungan sederhana (Meyer, 1980)
8
Pada gambar I.5 arah dalam survai tangent sampai ke P.I. dinamakan tangen permulaan (initial tangent) atau tangen belakang (back tangent), sedangkan tangen sesudah P.I. dinamakan tangen muka (forward tangent). Permulaan dari busur lingkaran di A dikenal dengan T.C (tangent to curve), ujung akhir di B, merupakan C.T. (curve to tangent). Pada lengkungan sederhana T.C. dan C.T. sama jauh dari P.I. jarak dari P.I. ke T.C. atau C.T. dinamakan jarak tangen (T), jarak dari titik tengah K dari lengkungan dinamakan jarak luar (E), radius dari busur lingkaran dinyatakan dengan R, L.C. merupakan panjang tali busur yaitu jarak T.C dengan C.T.. M merupakan ordinat tengah yaitu jarak dari titik tengah C dari tali busur panjang ke titik tengah K dari lengkungan. Rumus-rumus dasar dapat diturunkan melalui gambar I.5 dalam segitiga siku-siku VAO, jadi T = R tan ½ I
(I.6)
Dalam segitiga siku-siku VAO cos ½ I = R/(R +E), jadi R cos ½ I +E cos ½ I= R. maka E = R(
(I.7)
Dalam segitiga siku-siku ACO sin ½ I =1/2 L.C : R, jadi L.C = 2 R sin ½ I
(I.8)
Dalam segitiga siku-siku ACO, cos ½ I =(R – M)/R, jadi M = R (1 – cos ½ I)
(I.9)
Kelengkungan dari busur lingkaran ditentukan oleh radiusnya. Tetapi, bila radiusnya panjang, seperti pada alinemen jalan raya modern dan jalan baja, pusat lengkungan tidak dapat dicapai atau jauh sekali. Dalam hal ini radius tak berguna untuk pelaksanaan survai, meskipun masih diperlukan bahan hitungan-hitungan tertentu, ia harus diganti oleh karakteristik lain dari kelengkungan yang langsung berguna di lapangan. Karakteristik yang biasa digunakan merupakan derajat dari lengkungan (degree of curve). Meskipun ada beberapa definisi-definisi dari derajat lengkungan, semuanya didasarkan bahwa lingkaran merupakan lengkungan dengan perubahan sudut yang konstan dalam arah pada tiap satuan jarak (Meyer, 1980).
9
Definisi tali busur (chord definition) dari D semula banyak digunakan untuk jalan baja dan agak kurang untuk jalan raya, tetapi definisi busur digunakan dalam praktek modern. Untuk definisi busur (arc definition), derajat lengkungan merupakan sudut pusat dengan busur 100. Dinyatakan dengan Dα seperti diperlihatkan pada gambar I.6. Sesuai dengan proporsinya, Dα : 100 = 360° : 2πR didapat Dα=
(I.10)
a 6Gambar
I.6. Definisi busur dari derajat lengkungan (Meyer, 1980)
I.5.2.2.Lengkung Horisontal. Lengkung horisontal (trase) adalah garis proyeksi sumbu jalan tegak lurus pada bidang peta, yang biasa disebut tikungan atau belokan. Lengkungan horisontal merupakan akibat dari kondisi daerah atau detil yang menghalangi untuk dibuatnya jalur lurus. Faktor utama yang menentukan lebar dari lengkungan merupakan lebar kendaraan maksimum yang melintas dan kecepatan yang diperbolehkan melintas pada jalur serta jarak pandang yang dapat dilihat pengendara. Bentuk geometrik dari lengkung horisontal sama seperti lengkung sederhana yang tidak mempertimbangkan adanya elevasi pada topografi. I.5.2.3. Lengkung Vertikal. Lengkung vertikal adalah garis potong yang dibentuk oleh bidang vertikal melalui sumbu jalan dengan bidang permukaan pengerasan jalan, yang biasa disebut puncak tanjakan dan lembah turunan (jalan turun). Lengkung vertikal sama halnya pada lengkung horisontal, hal yang membedakannya adalah adanya faktor ketinggian dalam proses perancangannya. Ketinggian akan mempengaruhi gaya berat yang akan bekerja pada kendaraan saat
10
melintas sehingga diperlukan adanya lengkungan vertikal yang memperhatikan tidak hanya kecepatan, jarak pandang, dan lebar kendaraan tetapi juga harus mempertimbangkan berat dari kendaraan yang akan melintas. Gaya berat yang bekerja di lintasan dapat diatasi dengan pembuatan lengkungan dengan jari-jari yang lebih besar untuk memberikan kelandaian pada lintasan dan mengurangi kemungkinan back slipped. Lengkung vertikal dapat dilakukan kombinasi dengan lengkungan horisontal di daerah yang berbukit, hal ini diterapkan untuk memberikan kemungkinan pada kendaraan berat yang susah apabila melintas pada kemiringan yang tajam. Kegiatan kombinasi dari kedua lengkungan inijuga diterapkan pada fly over, yang dinilai dapat mengurai kemacetan di daerah perkotaan.
a 7Gambar
I.7. Lengkung parabola vertikal (Meyer, 1980)
Pada gambar I.7 lengkung vertikal direferensikan pada salib sumbu koordinat, sumbu X dan Y. Pusat salib sumbu pada titik A (PC). Jarak pada sumbu X dinyatakan dalam stasiun sedang tingginya (offset) dinyatakan dalam feet atau meter. g1 dan g2 dalam persen (%) kemiringan dari tangen AV dan BV, tanda plus (+) untuk kemiringan naik, dan tanda minus (–) untuk kemiringan menurun. Keterangan : A = g2 – g1 = perbedaan secara aljabar dalam % kemiringan dari tangen. L = total jarak dari lengkungan, dalam stasiun e = vertikal offset (ft/m) dari vertek V atau PI ke tengah lengkungan.
11
Secara matematis dinamakan : kemiringan di akhir A dan B dari parabola direpresentasikan/dinyatakan masing-masing dengan g1 dan g2. Karena nilai perubahan kemiringan dari semua titik pada parabola dinyatakan konstan, maka dari rumus : y = kx2
(I.11)
kita dapatkan :
d 2Y = r = konstan dX 2
di integralkan :
dY = r.X+C dX
apabila X= 0 maka
dan g1 = 0 + c,
Dengan demikian,
dY = g1 dX
(r = k)
(I.12)
; bila X = L maka
g2 = rL+c; atau
r=
dY = g2 dX
g 2 g1 L
dY g 2 g1 = . X g1 dX L
2 g g1 X g1 X C ' Di integralkan lagi, Y= 2 L 2
(I.13)
(I.14)
(I.15)
(I.16)
Tetapi C’ = 0, karena Y = 0 apabila X = 0. Dari kesamaan segitiga, (Y+y)/X =g1/1. Subtitusi harga ini terhadap Y pada persamaan (d), dan kemudian menurunkannya, kita dapatkan :
1 g g1 2 y= - 2 . X 2 L
(I.17)
Karena y diasumsikan ke bawah (dari Q) dari pada keatas seperti Y, tanda di atas akan berubah dari minus ke plus. Juga, x akan menjadi X. Kemudian
1 g g1 2 y= 2 x 2 L
(I.18)
Oleh karenanya, offset vertikal dari tangen ke lengkung vertikal bervariasi sesuai dengan kuadrat jaraknya dari PC.
12
Pada V , y = e dan x =
1 L , kemudian 2
1 g g1 e= 2 .L = . A.L 8 8
(I.19)
I.5.3. Luas Luas atau area adalah besaran yang menyatakan ukuran dua dimensi suatu bagian permukaan yang dibatasi. Perhitungan luas area penambangan batubara sangat diperlukan dalam kaitannya proses perizinan pada instansi terkait. Luas yang dimaksud dalam hal ini adalah luas yang dihitung dalam peta, yang merupakan gambaran permukaan bumi dengan proyeksi ortogonal, sehingga selisih tinggi dari batas-batas yang diukur diabaikan (Basuki, 2006). Salah satu metode perhitungan yang sering digunakan adalah penentuan luas dengan koordinat. Pada gambar I.8 suatu bidang yang dibatasi oleh titik – titik A, B, C, D yang diketahui koordinatnya : A (X1, Y1),B (X2, Y2),C (X3, Y3), dan D (X4, Y4).
a 8Gambar
I.8. Geometri bidang segi empat (Basuki, 2006)
Luas segi empat ABCD = luas trapesium A1ABB1 + luas trapesium B1BCC1 – luas trapesium D1DCC1 – luas trapesium A1ADD1. = 0,5 (X2 – X1) (Y2 + Y1) + 0,5 (X3 – X2) (Y3 + Y2) – 0,5 (X4 – X3) (Y4 + Y3) – 0,5 (X1 – X4) (Y1 + Y4). Luas ABCD disederhanakan menjadi : 2 luas ABCD = [ (Xn – X n-1) ( Yn + Yn-1)]
(I.20)
13
Apabila gambar diproyeksikan terhadap sumbu Y maka akan menjadi : 2 luas = [( Yn + Yn-1) (Xn – X n-1)]
(I.21)
Kedua rumus di atas dapat disederhanakan menjadi : 2 luas = [ Xn (Yn-1 – Yn+1)] = [Yn (Xn+1 – Xn-1)
(I.22)
I.5.4. Volume Volume merupakan salah satu besaran yang menyatakan seberapa banyak ruang yang bisa ditempati dalam suatu obyek. Perhitungan volume merupakan hal yang sangat lazim khususnya dalam poses kegiatan penambangan. Kegiatan menggali, menimbun, dan mengangkut membutuhkan biaya yang besar. Kegiatan penambangan yang baik harus memperhatikan nilai ekonomis dari setiap kegiatan khususnya yang terkait dengan volume, sehingga diperlukan kalkulasi yang benar terhadap volume tanah maupun cadangan yang akan ditambang terkait SR (stripping ratio) yang ditentukan Perhitungan
(Meyer, 1980)
volume
batubara
di
dunia
pertambangan
kebanyakan
menggunakan metode cut and fill dari dua surface (Aurelius, 2013).
Prinsip
perhitungan metode cut and fill serupa dengan metode trapezoidal. Terdapat dua cara yang dapat digunakan untuk menghitung volume dengan metode trapezoidal (trapesium), yaitu rectangular dan triangular prism (pfilipsen, 2006). Gambar I.9 memperlihatkan geometri 3 buah triangular yang berimpit. Persamaan (I.23), (I.24), dan (I.25) merupakan rumus triangular prism. Rumus untuk rectangular prism, ditunjukkan oleh persamaan (I.26) dan (I.27).
hi2
hi1
a 9Gambar
I.9. Geometri triangular
14
hmi =
(I.23)
Vi = Fi . hmi
(I.24)
V =∑
(I.25)
Vi = Fi . hmi
Keterangan : i
: segitiga ke – i
n
: jumlah seluruh segitiga
hi1, hi2 : tinggi tiap titik pada suatu segitiga hmi
: tinggi rata-rata dari suatu segitiga
V
: volume objek
Vi
: volume dari satu segitiga
Fi
: area dari suatu segitiga
Hm = ∑
(
V = F . (hm – ho)
(I.26) (I.27)
Keterangan : Hm
: tinggi rata-rata semua verteks
Gi
: jumlah persegi panjang di sebelah verteks
Hi
: tinggi verteks
N
: jumlah seluruh persegi panjang
V
: volume dari seluruh objek
F
: luas area dari seluruh objek
Ho
: tinggi dari bidang referensi horisontal (Witte, 1995) dalam (Pfilipsen, 2006)
I.5.5. Sistem Penambangan Sistem penambangan berpengaruh dalam tingkat kesulitan desain jalur tambang. Secara umum sistem penambangan dibagi menjadi penambangan terbuka dan tertutup. Dalam hal ini sistem penambangan terbuka merupakan konsentrasi dari perancangan proyek ini. I.5.5.1. Contour Mining. Tipe penambangan ini pada umumnya dilakukan pada penambangan batubara yang terdapat di pegunungan atau perbukitan dengan batubara yang tersingkap sejajar dengan kemiringan gunung. Penambangan batubara
15
dimulai dari singkapan lapisan batubara di permukaan atau crop line dan selanjutnya mengikuti garis kontur sekeliling bukit atau pegunungan tersebut seperti pada gambar I.10.
a 10Gambar
I.10. Contour mining
(Tebay, 2011) I.5.5.2. Open Pit. Open pit mining merupakan penambangan secara terbuka dalam pengertian umumnya. Metode ini dilakukan dengan cara mengupas terlebih dahulu lapisan material penutup batubara kemudian dilanjutkan dengan menambang batubaranya (Tebay, 2011).
a 11Gambar
I.11. Open pit mining
Sumber : http://visual.merriam-webster.com/ Penambangan tipe ini biasanya dilakukan pada endapan batubara yang mempunyai lapisan tebal dengan arah batubara miring ke bawah dan dilakukan dengan menggunakan beberapa bench (jenjang) seperti pada gambar I.11.
16
I.5.5.3. Strip Mine. Merupakan tipe penambangan terbuka yang diterapkan pada endapan batubara yang lapisannya datar dan dekat dengan permukaan tanah. kegiatan penambangan dilakukan dengan cara menggali tanah penutup yang dibuang pada daerah yang tidak ditambang. Setelah endapan batubara dari hasil galian pertama diambil, kemudian dilanjutkan dengan pengupasan berikutnya yang sejajar dengan pengupasan pertama dan tanah penutupnya dibuang ke tempat penggalian pertama (Suwandi, 2004). Bagian-bagian dari strip mining dapat dilihat pada gambar I.12 yang memperlihatkan dimana letak cadangan (coal) dan arah drilling.
a 12Gambar
I.12. Strip mining
(Tebay, 2011) I.5.6. Parameter DesainPit Informasi tentang topografi diperoleh dalam bentuk kontur hasil digitasi yang tersimpan dalam file komputer, atau berupa file surface titik ketinggian, termasuk drillholes collars. Alternatif lain yaitu memodelkan permukaan berdasarkan data titik ketinggian menggunakan perangkat lunak seperti AutoCAD, Surpac, atau Minescap. I.5.6.1. Kemiringan Jenjang (Batter). Pada awalnya sebuah desain pit dibuat dengan overall slope sebesar 45° dan kemudian dimodifikasi berdasarkan informasi geoteknik dari material yang ada dalam pit tersebut. Batter dapat diatur pada kemiringan 30-35% untuk overburden, meningkat 35-45° untuk batuan yang lapuk dan hingga 55° untuk batuan fresh. I.5.6.2. Tinggi Jenjang. Ketinggian jenjang berbeda-beda untuk setiap pit. Tergantung pada peralatan yang digunakan, kedalaman pit dan pada geologi lokal
17
atau derajat iklimnya. Lereng pada overburden yang lemah atau tidak terkonsolidasi atau pada tanah yang terekspos relatif lebih tipis kurang lebih 2-5 m. Hal tersebut menunjukkan lebar range dari beberapa badan bijih memiliki variasi ketinggian lereng 6-20 m pada operasi tambang yang besar. Pada kegiatan produksi dengan kapasitas 10.000 ton/hari ketinggian lereng dibuat sebesar 9 m pada continental pit, butter, dan Montana. Pada beberapa jenis batuan yang lain lereng dapat dirancang berketinggian 12 m pada alluvium hingga ketinggian 24 m pada batuan kompeten. I.5.6.3. Lebar Berm. Faktor ini biasanya mengikuti proses desain setelah kedalaman pit bottom didefinisikan. Jalan angkut dirancang pada jenjang dasar kemudian mengikuti naiknya jenjang ke arah permukaan dengan gradient (kemiringan) berkisar antara 8-12 %. Ramp ini dapat berupa jalan lingkar yang melingkar ke atas melalui dinding pit atau swich back yang hanya melalui salah satu dinding pit (kemungkinaan keberadaannya dikarenakan kekuatan material pada dinding tersebut atau kapasitas muat angkutnya yang cukup besar). I.5.7. Surpac 6.1.2 Gemcom Surpac 6.1.2 Gemcom adalah perangkat lunak yang dikeluarkan oleh Gemcom.inc,
yang berguna dalam hal manajemen pertambangan baik operasi
tambang terbuka dan bawah tanah. Perangkat lunak ini dapat memberikan kenampakan 3D (3 Dimensi) yang tentunya dengan pertimbangan dari aspek keakurasian dan keefisienan. Surpac 6.1.2 Gemcom menyediakan beberapa fasilitas untuk penggambaran lengkung horisontal dan lengkung vertikal, desain pit, perhitungan volume, dan pencetakan rancangan akhir (plotting design). I.5.7.1. Format File Data. Format file data yang dapat digunakan dalam perangkat lunak Surpac 6.1.2 Gemcom, yaitu : a. Supac Files formatnya meliputi .mdl, .DTM, .str b. Block Model Files formatnya meliputi .eco, .con, .res, .mod, .mdl, .fbm, .bmr c. Database Files formatnya meliputi .txt, .csv, .rej, .dbc, .sdb, .dsc, .ddb d. Plotting Files formatnya meliputi .pf, .lf, .cf, .dwf e. Macro And Script Files formatnya meliputi .tbc, .cmz, .cmd, .tcl
18
f. External Text Files formatnya meliputi .txt, .csv g. String Files formatnya meliputi .str h. DTM Files formatnya meliputi .DTM i. Surpac Work Areas formatnya meliputi .swa j. DXF Files formatnya meliputi .dxf k. Log Files formatnya meliputi .log l. Note Files formatnya meliputi .not m. System Files formatnya meliputi .ssi I.5.7.2. Penggambaran dan Pengeditan. Surpac memiliki beberapa tool yang digunakan untuk membantu dalam kegiatan penggambaran dan pengeditan. Beberapa tool yang digunakan dalam proses penggambaran dan pengeditan pada Surpac6.1.2 Gemcom, yaitu : 1. Digitise toolbar merupakan toolbar yang berisi beberapa tool yang digunakan dalam proses digitising. 2. Edit toolbar merupakan toolbar yang berisi beberapa tool yang digunakan dalam proses editing. 3. Inquiry toolbar merupakan toolbar yang berisi beberapa tool yang digunakan untuk mengetahui informasi dari point dan segment. I.5.7.3. Pembuatan DTM dan Boundary. Surpac mempunyai kemampuan dalam membentuk DTM dari data kontur atau data ketinggian dalam format .str yang akan diubah menjadi .dtm. Beberapa tool yang digunakan dalam pembuatan DTM dan boundary pada perangkat lunak Surpac 6.1.2 Gemcom, yaitu : create dtm from layer, create dtm from string file, clip dtm by boundary string, line of intersect between 2 dtms, drape string over dtm, drape segment over dtm, dan drape string range over dtm. I.5.7.4. Pembuatan Kontur. Pembuatan kontur dalam format .str dibentuk dari data interpolasi DTM dalam format .dtm. Beberapa tool yang digunakan dalam pembuatan DTM dan boundary pada perangkat lunak Surpac 6.1.2 Gemcom, yaitu : contour dtm in layer, contour dtm file, smooth string file, dan smooth strings in layer.
19
I.5.7.5. Perhitungan Volume. Perhitungan volume dalam perangkat lunak ini dimungkinkan dengan menggunakan data dari 2 DTM dalam format .dtm dan satu string boundary sebagai batas dalam format .str. Beberapa tool yang digunakan dalam perhitungan besarnya volume dan metode yang digunakan pada perangkat lunak Surpac 6.1.2 Gemcom, yaitu : cut and fill between dtms, net volume between dtms, report volume of solids, end are method, dan by elevation from sections. I.5.7.6. Desain Pit.Perangkat lunak ini mempunyai kemampuan desainpit berupa pembuatan lebar bermdanramp, kemiringan jenjang (set slope), dan tinggi bench. Beberapa tool yang digunakan dalam desain pit pada perangkat lunak Surpac 6.1.2 Gemcom, yaitu : new ramp, set slope gradient, by bench height, dan by berm width. I.5.7.7. Desain Lengkungan (Horisontal dan Vertikal).Perangkat lunak ini mendukung dalam perencanaan jalur berupa lengkung vertikal dan horisontal dalam format .str yang nantinya akan dapat disesuaikan dengan keadaan topografi dalam format .dtm. Beberapa tool yang digunakan dalam pembuatan route (jalan lurus, lengkung horisontal, dan lengkung vertikal) dan boundary pada perangkat lunak Surpac 6.1.2 Gemcom, yaitu : design horizontal alignment, design vertical alignment, drape segment over dtm, create road outline, dan create longitudinal profile. I.5.8. DTM (Digital Terrain Model) Terdapat banyak istilah yang memiliki pengertian hampir sama tentang model permukaan digital, yaitu Digital Elevation Model, Digital Height Model, Digital Surface Model, Digital Terrain Model, dan juga Digital Ground Model. Istilahistilah tersebut diartikan berbeda di setiap negara (Li dan Zhu, 2005). MTD (Digital Terrain Model) mempunyai arti representasi terin permukaan bumi gundul dengan spasi grid seragam pada nilai z, dengan elevasi fitur topografi pada permukaan tanah yang mempunyai koordinat x, y, z dan breaklines yang mempunyai spasi koordinat tidak teratur yang secara karakteristik membentuk terin permukaan bumi sebenarnya (Istarno, 2014).
20
MTD dalam perkembangannya digunakan oleh praktisi sipil untuk desain yang berkaitan langsung dengan permukaan bumi (topografi). Desain lengkungan vertikal membutuhkan data topografi yang dimodelkan secara matematis salah satunya DTM, dari data DTM tersebut orang sipil dapat memperkirakan juga berapa volume dan jari-jari yang dibutuhkan sehingga tercapai suatu keselamatan desain dan tercapainya nilai ekonomis.Gambar I.13 memperlihatkan contoh DTM topografi daerah Indragiri Hulu, Riau yang telah diclip.
a 13Gambar
I.13. Clipping area dari DTM topografi daerah Indragiri Hulu, Riau