BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Bencana kebakaran hutan dan lahan merupakan permasalahan serius yang di hadapi bangsa Indonesia. Bencana kebakaran hutan dan lahan di Indonesia hampir tiap tahun terjadi pada saat musim kemarau. Kebakaran terjadi bukan hanya pada lahan yang kering, tetapi juga terjadi pada lahan yang basah (lahan gambut). Dalam kasus tersebut kebakaran lahan gambut jauh lebih sulit untuk penanggulanganya dibandingkan dengan kebakaran yang terjadi di lahan yang kering (tanah yang mengandung mineral). Penyebabnya adalah persebaran titik api terjadi tidak hanya pada vegetasi di atas lahan gambut saja tetapi juga terjadi di dalam lapisan tanah gambut yang sulit untuk diketahui persebaran titik apinya (Adinugroho. dkk, 2004). Lahan gambut tersebar luas di seluruh pulau Indonesia khususnya pulau Sumatera Provinsi Riau. Dalam hal ini Provinsi Riau sering terjadi kebakaran lahan gambut pada saat musim kemarau. Akibat sering terjadinya kebakaran lahan gambut di daerah Sumatera khususnya Provinsi Riau menjadi berita utama di mana-mana. Dalam hal ini Pemerintah daerah maupun pusat belum sepenuhnya mampu mengatasi bencana alam ini disebabkan sulitnya usaha pemadaman api pada lahan gambut. Minggu 2 Maret 2014 Pekanbaru (ANTARA News), Komandan Satgas Tanggap Darurat Asap Riau, Brigjen TNI Prihadi Agus Irianto menyatakan bahwa hasil pantauan udara oleh TNI Angkatan Udara kebakaran lahan gambut terluas di daerah Kabupaten Bengkalis yang memiliki seluas 5.000 hektar. Permasalahan
bencana
alam
ini
pemerintah
atau
penyelenggara
perlu
melakukan penanggulangan bencana sesegera mungkin dengan didasarkan langkahlangkah yang sitematis, terencana, dan efektif untuk mengurangi dampak kerugian yang timbul dari bencana kebakaran lahan gambut. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penanggulangan kebakaran lahan gambut di antaranya : 1. Bahaya yaitu kawasan mana saja yang memiliki potensi bahaya yang ditimbulkan dari bencana terjadi.
1
2. Kerentanan yaitu daerah mana saja yang memiliki kerentanan akibat yang ditimbulkan dari bencana terjadi. 3. Kapasitas
yaitu
dareah
mana
saja
yang
memiliki kapasitas
untuk
menanggulangi bencana yang terjadi. Pembuatan
peta
kebakaran
lahan
gambut
bertujuan
untuk
melakukan
pembuatan peta risiko kebakaran lahan gambut khususnya daerah Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau. Diharapkan hasil kegiatan aplikatif ini dapat membantu Pemerintah dalam mengambil keputusan langkah menanggulangi kebakaran lahan gambut secara sistematis, terencana dan efektif. I. 2. Ruang Lingkup Kegiatan Lingkup kegiatan dalam proyek ini dibatasi pada hal-hal berikut : 1. Lokasi proyek adalah daerah Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau. 2. Proyek ini hanya berfokus pada daerah lahan gambut. 3. Data kebakaran berdasarkan citra MODIS tahun 2000 – 2014. 4. Pada penyusunan peta kapasitas nilai kapasitas dianggap konstan. 5. Proyek ini hanya sebatas tahap identifikasi awal pada penanggulangan dan mitigiasi bencana. I.3. Tujuan Tujuan dari proyek ini adalah pembuatan peta risiko kebakaran lahan gambut di daerah Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau pada tahun 2000 sampai 2014. I.4. Manfaat Dengan adanya kegiatan aplikatif ini, peta risiko setelah dibuat dapat memberikan manfaat antara lain : 1. Sebagai pertimbangan pemerintah dalam perencanaan dan penanggulangan risiko bencana kebakaran lahan gambut.
2
2. Sebagai alat analisis risiko bencana berbasis spasial meliputi analisis bahaya, analisis kerentanan, dan analisis kapasitas. 3. Diharapkan
dapat
digunakan untuk
membantu instansi terkait dalam
mitigasi bencana. I.5. Landasan Teori I.5.1. Gambut I.5.1.1 Pengertian. Menurut PP No. 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, sisa-sisa
tumbuhan
terdekomposisi.
dan
gambut adalah suatu tipe tanah yang terbentuk dari
mempunyai
kandungan
bahan
organik
yang
telah
Ekosistem gambut yaitu tatanan unsur gambut yang memiliki
karakteristik unik dan bersifat rapuh. Letak ekosistem gambut diampit oleh dua sungai, di antara
sungai dan laut. Gambut terbentuk secara bertahap sehingga
menunjukkan berlapis-lapis seiring dengan kejadian lingkungan alamnya. Lambat laun dalam ribuan tahun kemudian terbentuk lapisan kubah gambut. Kubah gambut adalah ekosistem gambut yang cembung dan memiliki elevasi
lebih tinggi dari
daerah sekitarnya yang berfungsi sebagai pengatur penyeimbang air. I.5.1.2. Klasifikasi Tanah Gambut. Klasifikasi tanah gambut di dasarkan pada ketebalan lapisan bahan organiknya. Gambut dibagi dalam empat kategori yaitu gambut dangkal, tengahan, dalam, dan sangat dalam (Noor, 2010). 1. Gambut dangkal adalah lahan gambut yang mempunyai ketebalan lapisan bahan organik antara 50-100 cm. 2. Gambut tengahan adalah lahan gambut yang mempunyai ketebalan lapisan bahan organik antara 100-200 cm. 3. Gambut dalam adalah lahan gambut yang mempunyai ketebalan lapisan bahan organik antara 200-300 cm. 4. Gambut sangat dalam adalah lahan gambut yang mempunyai ketebalan lapisan bahan organik antara >300 cm.
3
I.5.1.3. Tipe Kebakaran Lahan Gambut.
Kebakaran lahan gambut tergolong
dalam kebakaran bawah (ground fire). Pada tipe ini, api menyebar tidak menentu, dikarenakan api di bawah permukaan tanpa dipengaruhi oleh angin. Api membakar bahan organik dengan pembakaran yang tidak menyala sehingga hanya asap saja yang tampak di atas permukaan. Kebakaran bawah ini tidak terjadi dengan sendirinya, biasanya api berasal dari permukaan, kemudian menjalar ke bawah membakar bahan organik melalui pori-pori
gambut. Gambar I.1 menggambarkan
ilustrasi tipe kebakaran bawah (Adinugroho. dkk, 2004).
Gambar I.1 Ilustrasi tipe kebakaran bawah (Adinugroho. dkk, 2004)
Dalam
perkembangannya,
api
menjalar
secara
vertikal
dan
horizontal
berbentuk seperti cerobong asap. Mengingat tipe kebakaran yang terjadi di dalam tanah dan hanya asapnya saja yang muncul di permukaan, maka kegiatan pemadaman akan mengalami banyak kesulitan. Pemadaman secara tuntas terhadap api di dalam lahan gambut hanya akan berhasil, jika pada lapisan gambut yang terbakar tergenangi oleh air. Gambaran kebakaran lahan gambut dapat dilihat pada Gambar I.2.
4
Gambar I.2 Kebakaran lahan gambut (sumber http://firerescueindonesia.org/images/lahangambut.jpg) I.5.2. Pengertian Bencana Bencana
adalah
rangkaian
peristiwa
yang
mengancam dan
menggangu
kehidupan masyarakat yang disebabkan oleh faktor alam atau non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Penyebab terjadinya bencana digolongkan menjadi tiga macam yaitu : 1. Bencana yang disebabkan oleh alam seperti gempa bumi, kebakaran hutan dan lahan, tsunami, letusan gunung api, angin ribut dan kekeringan. 2. Bencana yang disebabkan oleh non alam seperti wabah penyakit, kegagalan teknologi dan kebakaran pemukiman. 3. Bencana yang disebabkan karena kondisi sosial seperti perperangan dan aksi teror. Risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu kawasan dan kurun waktu tertentu. Rawan bencana adalah kondisi atau karakteristik suatu kawasan dalam jangka waktu tertentu untuk mengurangi dan mencegah kemampuan untuk menanggapi dampak buruk bahaya. Kajian risiko bencana adalah mekanisme terpadu untuk terhadap
risiko
bencana
suatu
daerah
memberikan gambaran menyeluruh
dengan
menganalisis
tingkat
bahaya,
5
kerentanan dan kapasitas daerah (BNPB, 2012). Dalam kegiatan kajian risiko bencana ada beberapa komponen penilaian risiko bencana, yaitu risiko (risk), bahaya (hazard), kerentanan (vulnerability) dan kapasitas (capacity). I.5.2.1 Bahaya atau Hazard. Bahaya adalah suatu fenomena atau peristiwa yang dapat menimbulkan bencana pada daerah tertentu. Dalam penilain tingkatan bahaya ada beberapa komponen indeks bahaya yang di hitung. Hasil dari nilai indeks bahaya tersebut berupa peta bahaya. Peta bahaya adalah gambaran atau representasi suatu wilayah yang memiliki suatu bahaya tertentu. Dalam penyusunan peta bahaya, komponen-komponen utama ini dipetakan dengan menggunakan perangkat GIS. Pemetaan baru dapat dilaksanakan setelah seluruh data indikator pada tiap komponen diperoleh dari sumber data yang telah ditentukan. Data yang diperoleh kemudian dibagi dalam 3 kelas bahaya, yaitu rendah, sedang dan tinggi. I.5.2.2. Kerentanan. Kerentanan adalah suatu kondisi individu atau kelompok yang mengarah atau menyebabkan ketidakmapuan dalam mengantisipasi bahaya bencana. Peta kerentanan adalah gambaran atau representasi suatu wilayah yang menyatakan kondisi wilayah tersebut memiliki suatu kerentanan tertentu yang dapat mengakibatkan risiko bencana. Peta kerantanan diperoleh dari dua indeks yaitu indeks kerugian dan indeks penduduk terpapar. Penentuan Indeks Penduduk Terpapar dihitung dari komponen sosial budaya di kawasan yang diperkirakan terlanda bencana. Komponen ini diperoleh dari indikator kepadatan penduduk dan indikator kelompok rentan pada suatu daerah bila terkena bencana. Indikator kerentanan sosial yang digunakan
adalah kepadatan penduduk.
Indeks kerentanan sosial diperoleh dari rata-rata bobot kepadatan penduduk Komponen dan indikator untuk menghitung Indeks Penduduk Terpapar dapat dilihat pada Tabel I.1 berikut ini.
6
Tabel I.1. Komponen dan indikator indeks penduduk terpapar (Sumber : Perka BNPB no 2 Tahun 2012) BENCANA
KELAS INDEKS
KOMPONEN/ INDIKATOR
BOBOT TOTAL
S UMBER DATA
RENDAH
S EDANG
TINGGI
Kepadatan Penduduk
< 500 jiwa/km2
500 1000 jiwa/km2
> 1000 jiwa/km2
60%
Podes, Susenas, dan Penggunaan lahan
Kelompok Rentan
< 20 %
20 - 40 %
> 40 %
40%
Podes, Susenas, dan PPLS
Sosial Budaya ( 30 % )
Kebakaran Hutan dan Lahan
Penentuan indeks kerugian dihitung dari komponen ekonomi, fisik dan lingkungan. Komponen-komponen ini dihitung berdasarkan indikator-indikator pada jenis bahaya bencana. Indeks kerugian ekonomi dapat dilihat pada Tabel I.2. Tabel I.2. Komponen dan indikator indeks kerugian ekonomi (Sumber : Perka BNPB no 2 tahun 2012) BENCANA
KOMPONEN KELAS INDEKS / INDIKATOR RENDAH SEDANG TINGGI Ekonomi dalam Rupiah (20%) luas lahan produktif
Kebakaran Hutan dan Lahan
< Rp 50 juta
kontibusi PDRB < Rp 100 persektor juta Fisik dalam rupiah (10%) < Rp 400 Rumah juta < Rp 500 fasilitas umum juta < Rp 500 fasilitas kritis juta
Pada pelaksanaanya
BOBOT TOTAL
Rp 50 200 juta
> Rp 200 juta
60%
Rp 100 300 juta
> Rp 300 juta
40%
Rp 400 800 juta Rp 500 1M Rp 500 1M
> Rp 800 juta > Rp 1 M > Rp 1 M
BAHAN RUJUKAN Penggunaan lahan Kabupaten Laporan kabupaten sektor dalam angka
40% 30%
Potensi Desa
30%
peta kerentanan mengalami perubahan pada penentuan
indeks kerugian dan indeks penduduk terpapar. Indeks kerugian yang mengalami perubahan
yaitu indikator luas lahan produktif dengan indikator pendapatan
persektor, untuk indikator PDRB diganti dengan subsector pendapatan. Indeks penduduk terpapar yang digunakan hanya indikator kepadatan penduduk.
7
I.5.2.3. Kapasitas. Kapasitas (Capacity) adalah potensi sumberdaya yang dimiliki komunitas masyarakat untuk mengantisipasi atau mengurangi dampak risiko bencana.
Peta Kapasitas adalah gambaran atau representasi kapasitas suatu wilayah
dalam mengurangi risiko bencana. Kapasitas dapat dimodelkan sebagai jumlah total dari komponen kapasitas yang ada. Indikator penyusun komponen kapasitas adalah kesiapsiagaan, infrastruktur sosial dan fisik, serta komponen kesehatan. I.5.2.4. Analisis Risiko Bencana. Peta risiko bencana adalah peta tematik yang menggambarkan tingkat risiko bencana pada suatu daerah secara spasial dan non spasial berdasarkan kajian risiko bencana. Aditya (2010) dalam bukunya yang berjudul Pembuatan peta Risiko Bencana di atas Peta mengatakan bahwa analisis risiko
pada pembuatan peta risko melibatkan tiga komponen yaitu bahaya,
kerentanan, dan kapasitas. Salah satu metode yang digunakan adalah dengan menggunakkan metode VCA (Vulnerability Capacity Analysis). Hubungan antara bahaya dan kerentanan akan menyebabkan suatu risiko yang dinyatakan dalam formula : Risiko (Risk) = Bahaya (Hazard) + Kerentanan (Vulnerability)………….(I.1) Formula diatas menggambarkan risiko bencana merupakan dampak langsung yang disebabkan oleh jumlah bahaya dan tingkat kerentanan suatu individu atau kelompok
dalam suatu tempat dan waktu tertentu. Formula di atas hanya
menganalisis tingkat bahaya atau kerentanan tanpa memperhitungkan kapasitas dalam suatu kawasan. Dengan menanmbahkan nilai kapasitas dalam
analisis risiko
bencana maka hubungan antara ketiga komponen tersebut dinyatakan dalam formula: R = H x V/C ………………………………………………………………(I.2) R : Risiko H : Bahaya V : Kerentanan C : Kapasitas Formula I.1 dan I.2 diterapkan dalam satu jenis bencana yang terjadi pada suatu kawasan. Dalam hal ini proses metode penyusunan peta risiko bencana ada beberapa tahap yang harus dilakukan dalam pembuatanya dan tahap–tahap tersebut dapat dilihat pada Gambar I.3.
8
Gambar I.3 Metode penggambaran risiko bencana (BNPB, 2012 ) Pada Gambar terlihat bahwa Peta Risiko Bencana merupakan overlay (penggabungan) dari peta bahaya, peta kerentanan dan peta kapasitas. Peta-peta tersebut diperoleh dari berbagai indeks yang dihitung dari data-data dan metode perhitungan tersendiri. I.5.3. Sistem Informasi Geografis I.5.3.1. Pengertian. SIG adalah sistem komputer yang digunakan untuk memasukkan,
menyimpan,
memeriksa,
mengintegrasikan,
memanipulasi,
menganalisa, dan menampilkan data-data yang berhubungan dengan posisi-posisi di permukaan bumi. Kelebihan dari kemampuan SIG dibandingkan sistem informasi lainya terletak pada analisis spasial yang mampu diintegrasikan dengan atribut non spasial. I.5.3.2. Komponen SIG. Komponen SIG terdiri atas empat komponen yaitu (Aronof, 1989): 1. Data masukan (input) : berfungsi mengumpulkan data spasial dan data atribut serta mengkonversi data aslinya ke dalam format data SIG 9
2. Data Keluaran (output) : berfungsi menampilkan dan mempresentasikan seluruh basis data baik dalam bentuk softcopy maupun hardcopy seperti : peta. 3. Data management : berfungsi mengelola data spasial dan data atribut dalam basis data sehingga mudah untuk dipanggil dan diedit. 4. Data analisi dan manipulasi : berfungsi untuk menganalisis informasiinformasi
yang dihasilkan oleh SIG dan melakukan manipulasi data untuk
menghasilkan informasi. I.5.3.3. Model Data Dalam SIG. SIG Model data adalah organisasi konseptual dalam suatu basis data. Model data di dalam SIG dapat berfungsi dengan baik jika didukung oleh data yang memadai. Jenis data di dalam Sistem Informasi Geografis terdiri dari (Aronoff, 1989) : 1. Data spasial yaitu data grafis yang berkaitan dengan lokalisasi, posisi dan area pada sistem koordinat. Antar data spasial mempunyai hubungan geografis meliputi : a. Geometri, bagaimana masing-masing elemen data dijelaskan pada hubungan seperti titik,
garis, area dan lain-lain beserta sistem
koordinat yang digunakan. b. Topologi, merupakan hubungan satu elemen peta dengan elemen peta lainnya. c. Kartografi, menyangkut penyajian elemen peta pada layar monitor maupun plotter. 2. Data non-spasial, yaitu data yang memberikan informasi mengenai obyekobyek geografis. 3. Hubungan antara data spasial, non spasial dan waktu. Ada 2 pendekatan mendasar untuk menyajikan komponen spasial dari suatu informasi geografis yaitu : a. Model data vektor.
Pada model vektor, lokasi di permukaan bumi
direferensikan pada peta menggunakan sistem koordinat kartesi dan biasanya dicatat pada peta dua dimensi sebagai titik, garis dan luasan.
10
b. Model data raster. Secara sederhana, model data raster terdiri dari sel-sel beraturan yang berbentuk bujur sangkar, persegi panjang atau bentuk-bentuk lainnya. I.5.3.4. SIG Dalam Analisis Pemetaan Risiko. Dalam analisis pemetaan risiko, SIG terdapat beberapa metode klasifikasi pada perangkat lunaknya yaitu (Slocum, 1999) : 1. Metode Natural breakss adalah membagi kelas sesuai dengan distribusi datanya. Pada metode ini pengelompokkan data dilakukan dengan cara memaksimalkan dan meminimalkan variasi data antar kelas. 2. Metode Equal Interval adalah metode yang membagi data ke dalam kelompok dengan rentang nilai yang sama antar kelasnya. 3. Metode Standar Deviasi adalah metode yang memperhitungkan bagaimana suatu data didistribusikan penerapan metode ini dengan cara menghitung nilai rata-rata dari keseluruhan data, kemudian menempatkan batas kelas atas dan bawah pada nilai rata yang dikalikan dengan devisiasi standar, yang dihitung dari rata-rata statistik dataset. 4. Metode
Quantil
adalah
dalam penerapanya
metode
ini data
harus
didefinisikan terlebih dahulu untuk mengetahui berapa kelas yang akan digunakan. I.5.3.5. Spasial Analisis. Spasial analisis adalah mengidentifikasi lokasi dan bentuk
dari fitur-fitur geografis dan relasi diantaranya. Spasial analisis yang
digunakan pada ArcGis adalah tools raster calculator. Tools raster calculator dirancang untuk mengeksekusi ekspresi aljabar single-line menggunakan beberapa alat dan operator menggunakan sederhana, kalkulator seperti alat antarmuka. Ketika beberapa alat atau operator yang digunakan dalam satu ekspresi, kinerja persamaan ini umumnya akan lebih cepat kemudian melaksanakan masing-masing operator atau alat individual. Peta aljabar adalah aljabar sederhana dan dapat menjalankan semua alat ekstensi analisis ArcGis spasial, operator, dan fungsi untuk melakukan analisis geografis. Peta aljabar mengacu pada penggunaan gambar sebagai variabel dalam operasi aritmatika yang normal. Hal ini juga memungkinkan untuk mengevaluasi
11
hubungan antara gambar atau tabel data untuk menghasilkan persamaan regresi. Dengan cara yang sama operasi aljabar seperti konvensional dapat dikombinasikan untuk membentuk sistem persamaan yang memiliki model kartografi spasial yang kompleks. Analisis spasial peta aljabar biasanya akan memberikan tiga jenis operasi yaitu : 1. kemampuan untuk memodifikasi matematis nilai data atribut konstan ( skalar aritmatika ) 2. kemampuan untuk mengubah nilai-nilai matematis data atribut oleh operasi standar (seperti fungsi trigonometri, log transformasi dan sebagainya ) 3. kemampuan
untuk
menggabungkan
matematis
(seperti
menambah,
menguarangi, mengkali, dan membagi) lapisan data yang berbeda untuk menghasilkan hasil komposit. Hasil operasi aljabar dilakukan pada nilai sel tunggal dari dua atau lebih layer input untuk menghasilkan nilai keluaran (overlay raster). Lalu pertimbangan paling penting dalam overlay raster adalah pemograman titik, garis, dan area yang terdapat dalam fitur layer data input yang diinginkan atau secara tepat. Pada Gambar I.4. Contoh gambar operasi aljabar.
Gambar I.4. Contoh gambar operasi aljabar pada ArcGIS (sumber : http://www.geography.hunter.cuny.edu) 12
I.5.4. Risiko Bencana Dalam Peta I.5.4.1 Peta. Peta merupakan gambaran dari permukaan bumi dalam skala tertentu dan digambarkan pada bidang datar menggunakan simbol-simbol tertentu melalui sistem proyeksi peta (Riyadi, 1994). Sebuah peta secara sederhana dapat didefinisikan
sebagai
representasi
grafis
dari
dunia
nyata. Representasi
ini
merupakan abstraksi dari realitas di lapangan. Sebagai contoh, peta topografi yang merupakan abstrak dunia nyata tiga dimensi pada bidang dua dimensi di atas kertas akan banyak objek yang tereliminasi. Peta digunakan untuk menampilkan lingkungan secara fisik maupun budaya. Peta topografi misalnya dapat menunjukkan berbagai informasi termasuk jalan, klasifikasi penggunaan lahan, elevasi, sungai dan badan air lainnya, batas-batas politik, dan identifikasi rumah dan bangunan sejenis lainnya. Sebuah peta dapat dianggap
sebagai sebuah sistem informasi spasial yang memberikan jawaban
terhadap banyak pertanyaan terhadap area yang digambarkan dalam peta. I.5.4.2. Peta Tematik. Dalam projek ini peta yang dihasilkan berupa peta tematik. Peta tematik adalah peta yang menggambarkan informasi kualitatif atau kuantitatif pada unsur-unsur tertentu. Unsur-unsur tersebut berhubungan dengan detil topografi yang akan ditampilkan. Informasi disajikan dengan warna dan gambar atau simbol-simbol yang memiliki tema tertentu atau kumpulan dari tema-tema yang berhubungan antara yang satu dengan yang lainnya. Pemetaan dengan cara kualitatif adalah suatu penyajian gambar data kualitatif ke atas peta, berupa jenis dari unsur-unsur yang ada tersebut (Aziz, 1977). Bentuk simbol dihubungkan dengan kualitas unsur yang dimilikinya. Jadi simbol ini selalu dihubungkan dengan kualitas unsur yang diwakilinya. Pemetaan dengan cara kuantitatif adalah suatu penyajian gambar dari data kuantitatif ke atas peta berupa simbol yang menyatakan identitas dan menunjukkan besar atau jumlah atau banyaknya unsur yang diwakilinya (Aziz, 1977). Data yang disajikan dalam pemetaan tematik cara kuantitatif ini, berupa data-data yang mempunyai nilai absolut. Nilai absolut dapat diartikan sebagai nilai hasil ukuran atau perhitungan, sehingga dapat ditampilkan sebagai data matematis di atas peta
13
I.5.4.3. Simbolisasi. Simbolisasi merupakan proses pemberian simbol terhadap fitur-fitur di dalam peta. Salah satu jenis simbol yang paling efektif dari segi visual adalah simbol piktorial. Simbol piktorial merupakan jenis simbol yang bentuknya menyerupai fitur yang diwakilinya. Namun, untuk menyimbolkan fitur abstrak yang pada umumnya terdapat dalam peta tematik dibutuhkan simbol lain yang dapat mewakili fitur abstrak tersebut (ESRI, 1996). Sebagai contoh, fitur kepadatan penduduk membutuhkan simbol yang dapat menjelaskan kepadatan penduduk suatu area ke dalam kategori tinggi, sedang, dan rendah. Simbol yang ideal untuk fitur ini adalah gradasi warna, yaitu area dengan warna yang lebih gelap menyimbolkan kepadatan penduduk yang lebih tinggi dibandingkan area dengan warna yang lebih terang. Banyak faktor yang perlu dipertimbangkan ketika memilih simbol peta, seperti skala peta, fenomena alam yang akan dipetakan, ketersediaan data, dan metode penyajian dari peta yang akan dibuat. Langkah pertama dalam pembuatan simbol adalah menentukan fitur geografis yang akan disimbolkan. Dengan kata lain fenomena alam yang akan dipetakan berupa titik, garis atau luasan. Sebagai contoh peta bahaya, peta kerentanan dan kapasitas menggunakan gradasi warna. Gambar I.4 berikut ini menunjukkan contoh perbedaan tipe data geografis, hotspot sebagai titik, jalan sebagai garis, dan desa sebagai luasan.
(a)
(b)
(c)
Gambar I.5. (a) Simbol titik; (b) Simbol garis; (c) Simbol luasan (ESRI, 1996)
14
I.5.4.4. Variabel Tampak.
Pada kartografi terdapat bermacam-macam variasi
gambar yang dapat ditangkap oleh mata sebagai headline yang ditampilkan sebagai informasi.
Variasi ini disebut dengan variabel tampak dan digunakan untuk
membentuk simbol. Variasi gambar yang mampu diterima sebagai pembentuk dasar utama yang ditampilkan sebagai informasi terbagi atas tujuh variaisi (Riyadi, 1994). Ketujuh variasi yaitu: 1. Posisi (X,Y) merupakan variable tampak yang dipakai untuk informasi peta 2. Bentuk merupkana variable yang digunakan untuk membedakan antara simbol yang satu dengan simbol yang lain. 3. Orientasi merupkan sebagai arah dari suatu simbol pada peta untuk membedakan simbol yang satu dengan simbol yang lain. 4. Warna merupakan variabel tampak yang sering digunakan untuk merancang dan membedakan simbol yang satu dengan simbol yang lainnya terlihat dengan jelas. 5. Tekstur merupakan variabel tampak yang sebaiknya digunakan pada variasi dari gambar elemen dengan nilai yang tetap. 6. Value merupakam variable tampak yang menunjukkan besarnya derajat keabuan (gray scale) dari putih ke hitam. 7. Ukuran merupakan variable tampak size untuk menunjukkan variasi dari size suatu simbol yang digunakan dalam peta. Tidak semua variabel dapat diaplikasikan dengan baik pada fenomena alam yang berbeda. Bentuk dan ukuran dapat digunakan untuk simbol titik namun tidak cocok untuk simbol luasan. Sebaliknya, tekstur dapat digunakan untuk mewakili objek dengan simbol luasan, namun tidak cocok untuk objek dengan simbol titik. Selain tipe data geografis, yang menentukan kesesuaian simbol adalah tipe data itu sendiri, kualitatif atau kuantitatif. Bentuk (shape), warna dan tekstur (pattern) cocok untuk diterapkan ke dalam tipe data kualitatif, sedangkan ukuran dan value lebih sesuai untuk diterapkan pada data kuantitatif. Pembuatan peta tematik bertujuan untuk memilih simbol yang dapat dengan mudah dibaca oleh pengguna peta. Sehingga
dalam pembuatan
simbol harus
logis sesuai dengan obyek
yang
ditampilkan
15