1
BAB I PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki sumber daya batubara melimpah. Indonesia berperan pula sebagai eksportir batubara terbesar di dunia melampaui Australia pada tahun 2011 (Arif, 2014). Jumlah sumber daya batubara Indonesia tahun 2005 berdasarkan perhitungan Pusat Sumber Daya Geologi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral adalah sebesar 61,365 miliar juta ton dengan cadangan 6,759 miliar ton (Anonim, 2006). Batubara menjadi sasaran pemerintah untuk digunakan sebagai sumber energi dikarenakan jumlahnya melimpah, dapat digunakan secara langsung, serta harga batubara yang kompetitif dibandingkan sumber energi lain. Hal tersebut terbukti dengan adanya peningkatam
produksi batubara rata-rata 15,68% pertahun. Pada tahun 2005
produksi batubara nasional telah mencapai 151,594 juta ton, dengan rincian 72,11% digunakan untuk memenuhi permintaan luar negeri dan sisanya 27,89% untuk memenuhi permintaan dalam negeri (Anonim, 2006). Diperkirakan produksi ini akan semakin meningkat baik untuk kebutuhan luar negeri maupun dalam negeri. Produksi batubara yang meningkat, salah satunya dipengaruhi oleh konsumsi batubara yang tinggi di dalam negeri. Konsumsi batubara tersebut sebagian besar digunakan oleh PLTU. Pada tahun 2005 dari 35,342 juta ton batubara yang diproduksi 71,11% diantaranya digunakan oleh PLTU. Hingga saat ini, terdapat 9 PLTU berbahan bakar batubara baik milk PLN maupun yang dikelola swasta, dengan total kapasitas saat ini sebesar 7.550 MW dan mengkonsumsi batubara sekitar 25,1 juta ton per tahun (Anonim, 2006). Penggunaan batubara di PLTU setiap tahunnya meningkat rata-rata 13,00%. Hal tersebut sejalan dengan penambahan PLTU baru sebagai dampak permintaan listrik yang terus meningkat rata-rata 9,2% per tahun (Saptoro dan Huo, 2013). Sejak tahun 2003 krisis energi listrik nasional sudah mulai terasa sebagai dampak dari ketidakseimbangan antara penyediaan dan permintaan. Oleh karena 1
2
itu, pemerintah Indonesia sejak 2006 mengejar program percepatan infrastruktur energi dengan menargetkan lebih dari 16 GW tenaga listrik berbahan bakar batubara guna mengantisipasi kekurangan listrik (Anonim, 2013). Peningkatan pembangunan PLTU batubara sangat dibutuhkan untuk memenuhi pasokan listrik, akan tetapi penggunaan batubara sebagai bahan bakar menimbulkan efek pencemaran lingkungan yang membahayakan. Polutan yang dihasilkan dapat berupa SO2, NO2, CO, CO2, VHC (Volatine Hydrocarbon), dan SPM (Suspended Particulate Matter) yang dapat berupa abu serta partikel logam berat (Iswan, 2010). Polutan tersebut memberikan dampak buruk bagi kesehatan manusia. SOx adalah sumber gangguan paru-paru dan berbagai penyakit pernafasan. NOx yang bersama SOx menyebabkan fenomena hujan asam yang memberikan efek buruk bagi industri pertanian dan peternakan. COx membentuk lapisan gas yang menyelimuti bumi dan mengakibatkan efek rumah kaca serta pergeseran iklim. Logam berat seperti Pb, Hg, Ar, Ni, Se juga membahayakan kesehatan. Partikel abu mengandung unsur radioaktif yang berbahaya jika terhisap. Partikel abu dibedakan menjadi dua yaitu abu yang sebagian kecil mengendap pada tungku dasar disebut abu dasar (bottom ash) dan sebagian besar yang diemisikan melalui cerobong ke udara bebas (udara ambien) disebut abu terbang (fly ash). Pengurangan emisi abu terbang di atmosfer umumnya dilakukan menggunakan alat Electrostatic Precipitator (ESP) yang umumnya memiliki efisiensi tinggi. Abu terbang yang melalui cerobong akan ditangkap oleh alat tersebut. Abu terbang adalah salah satu polutan yang banyak dihasilkan dari PLTU Batubara. Iswan (2010) telah melakukan perhitungan prakiraan polutan yang dihasilkan oleh PLTU batubara berkapasitas 2 x 15 MW. Kebutuhan batubara untuk dua unit pembangkit tersebut sekitar 607 ton/hari. Prediksi jumlah abu yang dihasilkan sebanyak 358.298,61 mg/detik, dengan rincian 10% berupa abu dasar sebanyak 35.829,86 mg/detik dan 90% sisanya berupa abu terbang sebanyak 322.478,79 mg/detik. Abu terbang yang jumlahnya cukup besar tersebut umumnya dibuang di penampungan abu (ash lagoon) atau ditumpuk begitu saja di
3
dalam area industri, sehingga dapat mencemari lingkungan dan mengakibatkan penurunan kualitas ekosistem (Kusdiyono, 2012). Beberapa PLTU sudah memanfaatkan abu terbang sebagai campuran bahan baku semen, batako, atau bahan bangunan lain. Hal tersebut perlu mendapat perhatian pula sebab abu terbang batubara mengandung unsur radionuklida (Parmaksiz dkk., 2010). Abu terbang dan abu dasar terdiri dari bahan anorganik batubara yang telah mengalami fusi selama pembakarannya (Susiati, 2006). Abu terbang dan abu dasar juga mengandung radionuklida yang konsentrasinya bervariasi. Parmaksiz dkk. (2010), dalam penelitiannya menyebutkan, bahwa batubara sebagai bahan tambang fosil dari kerak bumi yang mengandung radionuklida alam, yaitu U-238, Th-232, Ra-226, dan K-40. Keempat radionuklida tersebut dapat mengalami peningkatan paparan radiasi setelah proses pembakaran. Pada penelitian ini difokuskan pada analisis aktivitas Ra-226 pada abu terbang, sebab kajian terhadap Ra-226 masih terbatas sehingga perlu dikembangkan dan dilanjutkan. Ra-226 juga termasuk zat radioaktif yang berbahaya dibandingkan dengan yang lain. Hal tersebut dikarenakan radium (Medley dkk., 2005): a. Memiliki waktu paruh yang panjang. b. Jumlah radionuklida induk yang melimpah yakni U-238 di dalam kerak bumi, dan radium paling banyak dihasilkan dari proses penggilingan bijih uranium. c. Emisi sinar-α berpotensi menyebabkan kerusakan secara biologis. d. Radium memiliki sifat kimia yang mirip sekali dengan kalsium, artinya radiasi radium dapat terperangkap dan terakumulasi di dalam tulang dan gigi. e. Jika radium terperangkap di dalam tubuh, nuklida anak yang memiliki waktu paruh pendek akan menghasilkan radionuklida Rn-222 dan turunannya serta emisi sinar-α. Sampel yang dipelajari lebih lanjut adalah abu terbang. Abu terbang adalah limbah yang dihasilkan dalam jumlah besar di PLTU serta telah mulai dimanfaatkan, sehingga perlu mendapatkan perhatian dan kajian. Cevik dkk. (2008), menyatakan bahwa batubara menghasilkan polutan radioaktif terhadap lingkungan. Hal tersebut dikarenakan batubara mengandung radionuklida alam atau Naturally Occuring Radioactive Materials (NORM), yang
4
akan mengalami pemekatan pada proses pembakaran batubara, atau disebut Technologically
Enhanced
Naturally
Occurring
Radioactive
Materials
(TENORM). Hal tersebut sesuai dengan peraturan Kepala Bapeten No. 9 Tahun 2009 tentang Intervensi terhadap Paparan yang Berasal dari TENORM, menerangkan
bahwa
batubara
merupakan
sumber
daya
mineral
yang
menghasilkan TENORM, yaitu zat radioaktif alam yang karena kegiatan manusia atau proses teknologi dapat meningkatkan paparan radiasi jika dibandingkan dengan keadaan awal. Keberadaan abu terbang di lingkungan harus memperhatikan analisis keselamatan radiasi untuk TENORM yang didasarkan Tingkat Intervensi. Tingkat Intervensi tersebut yaitu jumlah atau kuantitas TENORM paling sedikit 2 ton dan tingkat kontaminasi sama dengan atau lebih kecil dari 1 Bq/gram untuk tiap radionuklida anggota deret uranium dan thorium. Polutan hasil pembakaran batubara berupa abu terbang, mengandung radionuklida alam yang lebih kaya 3 hingga 5
kali lipat dibandingkan dengan batubara. Hal tersebut dapat
membahayakan lingkungan dan manusia, sebab tidak tersimpan dengan baik di area industri atau digunakan kembali untuk produksi barang lain, sehingga dapat mengalami proses pelindian (leaching) di alam. Peristiwa pelindian akan mengakibatkan air lindi (leachate) meresap atau mengalir di badan air sehingga air dan perairan terkontaminasi. Maka dari itu, perlu dilakukan penelitian tentang aktivitas radionuklida pada batubara, abu dasar dan abu terbang, serta sifat pelindian radionuklida Ra-226 yang terkandung pada abu terbang dari PLTU Batubara . Adapun radionuklida yang dipelajari adalah Ra-226 karena sifatnya yang berbahaya serta memiliki waktu paruh yang lama (Sajih, 2014) Peristiwa pelindian abu terbang di alam dapat terjadi karena interaksi abu terbang dengan air hujan, air hujan asam, air laut, dan kondisi reduksi yang dapat berlaku di air tanah. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan variasi eluen H2O, H2SO4, NaCl, dan Na2S. Eluen H2O digunakan sebagai simulasi interaksi abu terbang dengan air hujan pH netral. Eluen H2SO4 digunakan sebagai simulasi interaksi abu terbang dengan air hujan asam pH 3. Eluen NaCl digunakan sebagai
5
simulasi interaksi abu terbang dengan air laut. Eluen Na2S digunakan sebagai simulasi inetraksi abu terbang dengan kondisi reduksi di air tanah. Abu terbang yang digunakan pada penelitian ini berasal dari PLTU berbahan bakar batubara yang memiliki kapasitas 2 x 315 MW. Abu terbang yang dianalisis dipisahkan dalam tiga ukuran untuk membandingkan aktivitas radionuklida pada tiap ukuran abu terbang. Ketiga ukuran tersebut adalah 100 mesh, 80 mesh, dan 60 mesh. Waktu pelindian abu terbang dengan eluen juga divariasikan sebagai simulasi lama interaksi abu terbang dengan eluen di alam. Waktu pelindian divariasikan menjadi 8 jam, 6 jam, dan 4 jam. Penelitian ini merupakan penelitian asli karena sebelumnya belum pernah dilakukan penelitian mengenai pelindian radionuklida Ra-226 dalam abu terbang dengan variasi eluen, ukuran partikel, dan waktu pelindian. Keterbaruan (novelties) penelitian ini adalah: 1. Dilakukan pemodelan pelindian radionuklida Ra-226 dalam abu terbang menggunakan metode dispersed contact. 2. Sampel batubara, abu dasar, dan abu terbang yang digunakan berasal dari PLTU berbahan bakar batubara. 3. Pelindian menggunakan variasi eluen yaitu H2SO4, H2O, NaCl, dan Na2S juga variasi ukuran partikel abu terbang 60 mesh, 80 mesh, dan 100 mesh dan variasi waktu pelindian 4 jam, 6 jam, dan 8 jam. Bukti-bukti penguat tentang keaslian dan kebaruan penelitian ini antara lain sebagai berikut: 1.
Slamet dkk. (2014), telah melakukan penelitian pelindian terhadap bijih mangan dengan menggunakan molases sebagai reduktor pada suasana asam, tidak meneliti radionuklida alam.
2.
Nurhayati (2012), telah meneliti pelindian pada bijih nikel dengan variabel persen pelarut, temperatur proses, waktu pelindian, ukuran mesh, dan efek scale-up. Pelindian tidak dilakukan pada unsur radioaktif.
3.
Doni (2012), telah melakukan penelitian dan kajian terhadap pengaruh proses reduksi pemanggangan dan waktu pelindian amonium bikarbonat terhadap
6
perolehan nikel dari bijih limonit, tetapi tidak mempelajari pelindian radionuklida alam dari abu terbang. 4.
Zbigniew dkk. (2015), telah melakukan penelitian terhadap komposisi logam berat dari sedimentasi perairan yang mengandung radium, tetapi tidak mempelajari faktor yang mempengaruhi pelindian radium.
5.
Robert (1997), telah meneliti jumlah, bentuk, dan keberadaan radioaktif dalam batubara serta abu terbang, tetapi tidak mempelajari faktor yang mempengaruhi pelindian radionuklida.
6.
Di Spanyol, Baeza dkk., (2012) melakukan karakterisasi radioaktif dari batubara yang digunakan sebagai bahan bakar 4 pembangkit listrik utama di Spanyol. Hasilnya, terjadi peningkatan aktivitas radionuklida pada abu terbang setelah pembakaran batubara. Peningkatan tersebut teramati pada K40, Ra-226, Th-232, serta Po-210. Penelitiannya tidak mempelajari faktor yang mempengaruhi pelindian pada abu terbang.
7.
Penelitian Cevik dkk. (2007) menunjukkan bahwa radionuklida alam seperti Ra-226, Th-232, dan K-40 terdapat juga di pembangkit listrik berbahan bakar batu bara Afsin-Elbistan di wilayah Mediterania, Turki. Konsentrasi aktivitas rata-rata dari Ra-226 dan K-40 secara berurutan adalah 167, 44, dan 404 Bq/kg. Penelitian tersebut tidak mempelajari faktor yang mempengaruhi pelindian abu terbang.
8.
Jamal dkk. (2016), telah berhasil melakukan penelitian untuk memisahkan radium dari campuran radium sulfat dengan barium sulfat untuk menghilangkan limbah radioaktif pada industri petrolium. Penelitian ini tidak mempelajari pelindian radium yang terkandung dalam abu terbang.
9.
Prieto dkk. (2013), telah meneliti kandungan radium dari tanah di Los Ratones, Spanyol. Radium dikomplekskan menggunakan sitrat, EDTA, dan EDDS dengan variasi pH eluen dan waktu pelindian. Pengukuran radioaktivitas menggunakan metode spektrometri-α. Penelitian tersebut tidak dilakukan terhadap radium dalam abu terbang.
10. Mellawati (2004), telah melakukan penelitian tentang pencemaran lingkungan oleh radionuklida alam U-238, Th-232, dan Ra-226, tetapi dilakukan di
7
sekitar kawasan industri fosfat di perairan pesisir Gresik, Jawa Timur. Penelitian ini tidak mempelajari pelindian pada Ra-226. 11. Haynes (2009), telah mengkaji aspek reklamasi dan revegetasi tapak disposal abu terbang di Queensland. Kajiannya hanya fokus pada cemaran logamlogam berat non-decaying (Fe, Mn, Cu, Zn, Pb). Tidak dilakukan kajian terhadap cemaran radionuklida alam. 12. Marinkovic, dkk. (2010) telah melakukan penelitian guna mengidentifikasi radionuklida alam dalam abu terbang dari PLTU batubara Nicola Tesla, Polandia. Hasil penelitian berhasil mengidentifikasi radionuklida alam U-238, U-235, K-40, Ra-226, dan Th-232. Penelitian ini tidak mengkaji proses pelindian yang mungkin terjadi pada abu terbang apabila berinteraksi dengan eluen di lingkungan. 13. Uslu dan Goksmese (2010) telah meneliti kandungan radionuklida alam di 11 PLTU Batubara di Turki. Penelitian difokuskan pada efek radiasi radionuklida alam dari batubara, abu terbang, dan abu dasar, tetapi tidak mengkaji proses pelindiannya. 14. Gitari dkk. (2009) telah melakukan penelitian di 2 PLTU batubara di Afrika Selatan dan berfokus pada unsur-unsur toksik As, Se, Cd, Cr dan Pb yang terlindi keluar dari abu terbang ketika terjadi kontak dengan badan air. Penelitian ini tidak mengkaji radionuklida alam yang terlindi pada abu terbang. 15. Lovrencic dkk. (2005) telah melakukan karakterisasi radiologis terhadap air lindi dari abu terbang dan abu dasar di badan air dan sedimen. Hasilnya, teridentifikasi radionuklida U-238 dan 37% U-238 terlindi dari abu oleh air laut. Penelitian ini tidak mengkaji pelindian abu terbang dengan variasi eluen, variasi ukuran, maupun waktu pelindian. 16. Orescanin dkk. (2005) telah melakukan penelitian sejenis Lovrencic dkk. (2005) yakni tentang pengaruh deposisi abu terbang dan abu dasar tetapi terhadap kualitas sedimen di Teluk Kastela dan teridentifikasi radionuklida alam U-238.
8
17. Aguado dkk. (2004) melakukan penelitian di Eustarin Huavela Spanyol Barat Daya, di sekitar lokasi industri fosfat. Mereka berhasil menemukan radionuklida luruhan uranium. Radionuklida tersebut berhasil teridentifikasi yang bahan bakumya dari mineral tambang kerak bumi tetapi karakteristiknya berbeda dengan PLTU batubara. 18. Mijak dan Krizman (1996) mengidentifikasi adanya radionuklida Ra-226, U238, Th-232, K-40, Pb-210 di sungai Paka yang berasal dari pelindian PLTU batubara Sostanj, Slovenia. Penelitian ini mengambil sampel dari badan ir sungai, tidak mempelajari pelindian abu terbang maupun pelindian pada variasi eluen, ukuran partikel, dan waktu kontak. 19. Beberapa penelitian tentang radionuklida dari Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) yaitu: a. Syarbani dkk. (1998), telah meneliti status kandungan dan distribusi radionuklida buatan pada ekosistem laut di Semenanjung Muria. Tidak dilakukan identifikasi terhadap radionuklida alam yang berasal dari kegiatan PLTU. b. Tjokrokardono dkk. (2004a), telah melakukan pemetaan radioaktivitas tanah permukaan di Semenanjung Muria, tetapi tidak mengkaji pelindian radionuklida. c. Tjokrokardono dkk (2004b), telah melakukan pemetaan geologi dan radioaktivitas alam di Semenanjung Muria. Penelitian tersebut berhasil mengidentifikasi eU, eTh dan K dalam sampel tanah, air, dan lumpur dilokasi tersebut, akan tetapi saat dilakukan penelitian (1995/1996-1998-1999) PLTU batubara belum beroperasi. Penelitian ini tidak mempelajari pelindian pada abu terbang. d. Wahyudi dkk. (2011) telah berhasil mengidentifikasi dan mengukur konsentrasi radionuklida alam K-40, Ra-226, Ra-228, Th-228 dalam sampel tanah dari Jawa Timur, tetapi tidak mempelajari mekanisme pelindian pada abu terbang.
9
I.2 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1.
Mengetahui radionuklida dominan dan peningkatan aktivitasnya dalam batubara, abu dasar, dan abu terbang dari PLTU berbahan bakar batubara.
2.
Mengetahui pengaruh variasi eluen pada pelindian radionuklida Ra-226 dalam abu terbang dari PLTU berbahan bakar batubara.
3.
Mengetahui pengaruh variasi ukuran partikel abu terbang pada pelindian radionuklida Ra-226 dalam abu terbang dari PLTU berbahan bakar batubara.
4.
Mengetahui pengaruh variasi waktu pada pelindian radionuklida Ra-226 dalam pada abu terbang dari PLTU berbahan bakar batubara.
I.3 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat diantaranya: 1.
Memberikan informasi kepada pengelolan PLTU batubara mengenai keberadaaan radionuklida dan konsentrasinya yang terkandung dalam batubara, abu dasar, dan abu terbang, sehingga limbah abu dasar dan abu terbang dapat dikelola secara aman untuk menjaga lingkungan.
2.
Memberikan pengetahuan kepada para para peneliti tentang pelindian radionuklida Ra-226 pada abu terbang melalui proses pelindian dengan variasi eluen, ukuran partikel abu terbang, dan waktu pelindian.
3.
Memberikan pengetahuan kepada masyarakat mengenai limbah yang ada di sekitar mereka sehingga dapat bersikap kritis dan aktif.
4.
Dapat dijadikan referensi untuk penelitian lebih lanjut.