1
BAB I PENDAHULUAN I.1.
Latar Belakang
Kabupaten Pati merupakan salah satu kabupaten yang setiap tahunnya hampir selalu dilanda bencana banjir. Data dari BPBD tahun 2014 menyatakan, banjir pada Januari hingga Februari 2014 terdapat 16 dari 21 kecamatan di Kabupaten Pati tergenang banjir yang artinya lebih dari setengah dari wilayah Kabupaten Pati tergenang banjir dengan luasan dan ketinggian air yang bervariasi. Kabupaten Pati yang daerahnya merupakan dataran rendah yang kebanyakan daerahnya memiliki topografi cekung hingga datar merupakan lokasi yang sangat rawan terkena bencana banjir (BPBD 2014). Ditambah lagi Kabupaten Pati bagian timur merupakan daerah hilir dari 21 DAS (Daerah Aliran Sungai) yang muaranya berada pada Laut Jawa. Hal ini menyebabkan sungai di Kabupaten Pati merupakan tempat pertemuan sungaisungai dari kabupaten tetangganya yang memiliki topografi lebih tinggi. Daerah sepanjang aliran sungai seringkali berpotensi menimbulkan genangan banjir ketika musim penghujan tiba. Hal ini dikarenakan kapasitas tampungan sungai yang tidak mampu menahan debit air yang begitu besar sehingga menyebabkan meluapnya air. Sebagian besar DAS di Kabupaten Pati memiliki morfologi berkelokkelok, ukuran yang bervariasi dan pendangkalan masih sering ditemui dengan pola aliran yang tidak teratur (BAPPEDA 2014). Genangan banjir diakibatkan oleh air sungai yang meluap karena curah hujan yang begitu tinggi sehingga mengisi ruang di sebelah kanan dan kiri sungai dikarenakan debit yang melebihi kapasitas tampungan, drainase daratan yang tidak bisa masuk karena keterbatasan kapasitas sungai dan mungkin juga karena pengaruh pendangkalan sungai. Bencana banjir selalu menimbulkan dampak buruk yang menyebabkan kerugian bagi manusia pada daerah yang dilanda. Kerugian yang ditimbulkan akibat banjir di antaranya kerusakan sarana prasarana fisik, kerugian material, kerusakan lingkungan, sampai terenggutnya jiwa. Selain hal itu, banjir juga menyebabkan timbulnya masalah baru seperti kemacetan, penyakit, dan sampah.
2
Mengingat begitu banyak permasalahan dan kerugian yang timbul akibat banjir, maka diperlukan suatu usaha mitigasi untuk meminimalisir dampak banjir itu sendiri. Menurut PP no. 64 tahun 2010, mitigasi bencana adalah upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik secara struktur atau fisik melalui pembangunan fisik alami dan/atau buatan maupun nonstruktur atau nonfisik melalui peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Salah satu upaya mitigasi bencana banjir adalah dengan menyediakan informasi risiko bencana banjir agar masyarakat maupun pemerintah dapat lebih waspada sehingga dapat meminimalisir kerugian akibat banjir tersebut. Risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu kawasan dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat (BNPB 2012). Informasi risiko bencana banjir diwujudkan dalam sebuah peta tematik yang menyajikan informasi mengenai besarnya risiko secara kualitatif akibat bencana banjir. Dengan adanya peta ini diharapan dapat menjadi alternatif bahan pertimbangan dalam pengambilan langkah selanjutnya untuk perencanaan tata ruang dalam upaya menanggulangi banjir serta meminimalisir dampak kerugian akibat banjir secara efektif dan efisien. Data dan informasi yang diperlukan untuk pembuatan peta risiko bencana banjir, dapat diperoleh melalui survei terrestrial maupun dengan teknik penginderaan jauh. Tentu saja dalam kasus yang sama, pengambilan data menggunakan teknik survey terrestrial akan lebih banyak memakan waktu dibanding dengan menggunakan penginderaan jauh. Kabupaten Pati memiliki luas wilayah sebesar 150 ribu hektar, oleh sebab itu akan lebih menguntungkan apabila menggunakan penginderaan jauh (BAPPEDA 2014). penginderaan jauh untuk banjir telah banyak dilakukan, salah satunya adalah SIMBA (Sistem Informasi Mitigasi Bencana Alam) yang dikeluarkan oleh LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional). Beberapa kegiatan mitigasi bencana banjir yang dilakukan oleh LAPAN memanfaatkan data DEM untuk analisa bahaya dan resiko banjir. Meskipun masih terdapat kesalahan (error) dan ketidakpastian (uncertainty) dari hasil yang diperoleh, akan tetapi masih dapat digunakan untuk analisa bahaya dan resiko banjir dalam
3
skala regional, provinsi, atau kabupaten dan memberikan gambaran yang cukup baik bagi perencanaan wilayah di kabupaten yang bersangkutan (Khomarudin dkk 2014). Pemanfaatan teknologi penginderaan jauh untuk upaya mitigasi bencana telah banyak dilakukan di tingkat pusat, akan tetapi masih dirasa kurang maksimal pada beberapa daerah seperti Kabupaten Pati. Data penginderaan jauh dapat diperoleh dengan mudah, bahkan sebagian data penginderaan jauh yang memiliki resolusi sedang, dapat diperoleh dengan gratis melalui internet, salah satunya adalah citra Landsat 8 dan citra SRTM. Oleh karena itu, data utama yang digunakan dalam proyek ini adalah citra Landsat 8 dan SRTM dengan diintegrasikan dengan data sekunder lain. I.2.
Rumusan Masalah
Pemanfaatan teknologi penginderaan jauh resolusi sedang seperti citra Landsat 8 dan SRTM salah satunya adalah untuk pemetaan risiko bencana banjir dengan waktu yang cepat dan biaya yang murah, akan tetapi masih banyak daerah yang belum memanfaatkannya, salah satunya Kabupaten Pati. I.3.
Tujuan
Tujuan utama dilakukannya proyek ini adalah untuk pembuatan peta tematik risiko bencana banjir di Kabupaten Pati skala 1 : 100.000 untuk mengetahui besarnya risiko banjir secara kualitatif. I.4. Manfaat Tersedianya peta yang menyediakan informasi risiko bencana banjir di Kabupaten Pati diharapkan dapat digunakan oleh masyarakat maupun pemerintah setempat untuk mengetahui besarnya risiko banjir di wilayahnya. Sehingga hal tersebut dapat dijadikan pertimbangan untuk pengambilan langkah selanjutnya dalam upaya penanggulangan dan mitigasi banjir. I.5. Batasan Masalah Dalam proyek pemetaan risiko kerugian bencana banjir ini diberikan batasanbatasan sebagai berikut:
4
a. Banjir pada studi kasus ini diakibatkan oleh hujan lokal yang intensitasnya tinggi, banjir kiriman dari wilayah kabupaten tetangga yang topografinya lebih tinggi, dan banjir akibat jebolnya tanggul waduk yang tidak mampu menahan debit air hujan yang intensitasnya begitu tinggi. b. Kegiatan proyek pemetaan risiko bencana banjir ini dilaksanakan di Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Kabupaten Pati terletak pada koordinat antara 6º 25’ - 7º 00’ LS dan antara 110º 50’ - 111º 15’ BT (BAPPEDA 2014). c. Peta risiko bencana banjir merupakan peta tematik yang berisikan informasi secara kualitatif besarnya risiko bencana banjir pada kawasan tertentu dan kurun waktu tertentu. Risiko dihitung berdasarkan faktor kerentanan, faktor ancaman bahaya, dan faktor kapasitas masyarakat. Dimana faktor kapasitas masyarakat diasumsikan rendah sehingga tidak diperhitungkan. d. Ancaman bahaya divisualisasikan menggunakan peta sebaran genangan banjir. Peta sebaran genangan banjir merupakan peta yang menggambarkan garis batas maksimum keterpaparan ancaman genangan banjir yang diperoleh dari pemodelan Tinggi Muka Air (TMA) saat banjir. Pemodelan dilakukan menggunakan intensitas ketinggian banjir tanpa melibatkan model hidrologi, seperti halnya SIMBA LAPAN. e. Pembentukan model sebaran genangan banjir dilakukan dengan mengabaikan beberapa faktor seperti infiltrasi tanah, landscape, struktur permukaan, serta drainase permukaan. f. Pembentukan model sebaran genangan banjir Kabupaten Pati terkendala akan ketersediaan dan tingkat akurasi data dari data sekunder yang dihimpun yaitu data Tinggi Muka Air (TMA) saat banjir dan data sejarah sebaran banjir, sehingga akan berakibat pada tingkat ketelitian peta sebaran genangan secara geometrik dengan kondisi sebenarnya dilapangan. g. Berbeda dengan Perka BNPB No.2 tahun 2012, tingkat klasifikasi peta ancaman bahaya banjir atau dalam hal ini adalah peta sebaran genangan banjir disederhanakan menjadi dua kelas yaitu kelas terancam bahaya dan tidak terancam bahaya. h. Kerentanan adalah suatu kondisi dari suatu komunitas atau masyarakat yang mengarah atau menyebabkan ketidakmampuan dalam menghadapi ancaman
5
bencana. Kerentanan obyek yang terancam bencana dihitung berdasarkan kerentanan sosial, ekonomi, fisik, dan ekologi/lingkungan. Pada proyek ini dibatasi hanya menggunakan kerentanan ekonomi. i. Informasi risiko bencana banjir idealnya sampai tingkat desa/kelurahan. Pada kenyataannya tidak ada sumber yang baik tersedia untuk sampai tingkat desa, sehingga informasi desa dirangkum pada tingkat kecamatan sebelum disajikan dalam peta tematik. j. Pembuatan peta risiko bencana banjir idealnya menggunakan analisis pemetaan kombinasi lapisan GIS berbasis vektor dan raster, dimana data dasar disimpan dalam format vektor dan indeks masing-masing komponen dihasilkan dalam format raster grid. Pada proyek ini dilakukan sebaliknya, data dasar berupa raster dan indeks masing-masing komponen dihasilkan menggunakan analisis GIS berbasis vektor. I.6. Landasan Teori I.6.1. Bencana Banjir Berdasarkan PP No. 38 tahun 2011, banjir didefinisikan sebagai peristiwa meluapnya air sungai melebihi palung sungai. Bencana banjir besar kemungkinannya diakibatkan oleh curah hujan yang tinggi. Menurut Yusuf (2005), banjir di daerah perkotaan dapat berasal dari air kiriman dari hulu yang meluap dari sungai induk dan dapat pula berasal dari hujan lokal, khususnya untuk daerah yang terletak di dataran rendah dekat pantai, selain itu dapat pula terjadi genangan banjir akibat pasang. Bencana banjir selalu menimbulkan dampak buruk yang menimbulkan kerugian bagi manusia pada daerah yang dilanda. Kerugian yang ditimbulkan akibat banjir antara lain seperti kerusakan sarana prasarana fisik, kerugian material, kerusakan lingkungan, sampai terenggutnya jiwa. I.6.2. Risiko Bencana Banjir Risiko bencana menurut UU RI No. 24 tahun 2007, didefinisikan sebagai potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta benda, dan gangguan
6
kegiatan masyarakat. Peta risiko bencana adalah gambaran tingkat risiko bencana suatu daerah secara spasial dan non spasial berdasarkan kajian risiko bencana suatu daerah (BNPB 2012). Berdasarkan metode penilaian perkiraan kerusakan dan kerugian akibat bencana yang dikeluarkan oleh BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana), bencana hidrometereologi seperti banjir lebih banyak mengakibatkan kerugian daripada kerusakan (BPBD 2014). Kerusakan adalah dampak langsung yang dirasakan setelah terjadinya bencana yang mengakibatkan perlunya penggantian atau pembangunan untuk memulihkan kembali sesuatu fungsi. Sedangkan kerugian adalah suatu nilai baik materil maupun non-materil yang harus ditanggung akibat suatu kejadian bencana. Perhitungan risiko pada umumnya mempertimbangkan jenis dan besaran kerusakan ataupun kerugian. Parameter umum yang digunakan adalah biaya ekonomi, karena semua tipe kerugian dapat dikonversikan ke dalam biaya ekonomi (Purbawani 2010). Pengkajian
risiko
bencana
merupakan
sebuah
pendekatan
untuk
memperlihatkan potensi dampak negatif yang mungkin timbul akibat suatu potensi bencana yang melanda. Potensi dampak negatif ini dilihat dari potensi jumlah jiwa yang terpapar, kerugian harta benda, dan kerusakan lingkungan (BNPB 2012). Banyak ahli telah memformulasikan secara matematis rumus dari risiko total. Secara garis besar BNPB mengemukakan bahwa risiko dapat dihitung menggunakan pendekatan rumus sebagai berikut: R = H*
𝑉 𝐶
....................................................................................................(I.1)
dimana: R
: Disaster Risk: Risiko Bencana
H
: Hazard Threat: Frekuensi (kemungkinan) bencana tertentu cenderung terjadi dengan intensitas tertentu pada lokasi tertentu
V
: Vulnerability: Kerentanan di daerah tertentu dalam sebuah kasus bencana tertentu terjadi dengan intensitas tertentu. Perhitungan variabel ini biasanya didefinisikan sebagai pajanan (penduduk, aset, dll) dikalikan sensitivitas untuk intensitas spesifik bencana.
7
C
: Adaptive Capacity: Kapasitas yang tersedia di daerah itu untuk pulih dari bencana tertentu. Pendekatan rumus I.1 dipakai untuk memperlihatkan hubungan antara
ancaman bahaya, kerentanan obyek yang terkena bencana, dan kapasitas masyarakat. Pada kasus banjir di Kabupaten Pati, faktor kapasitas diasumsikan memiliki nilai rendah sehingga tidak diperhitungkan. Pendekatan risiko bencana banjir selanjutnya dapat disederhanakan dan dinyatakan dengan fungsi berikut. Risiko Bencana Banjir = Ancaman Bahaya x Kerentanan ...................(I.2) Risiko sasuatu bencana pada suatu daerah dapat diperhitungkan berdasarkan sejarah bencana yang pernah terjadi di daerah tersebut. Indeks ancaman bahaya banjir dapat diperhitungkan dengan mengetahui sebaran daerah yang berpotensi tergenang banjir. Daerah potensi genangan banjir merupakan sebaran genangan banjir berdasarkan analisis data proses DEM (Digital Elevation Model) dan data lapangan. Sebaran daerah yang berpotensi tergenang diperoleh dengan memodelkan titik-titik ketinggian yang sama dengan tinggi muka air saat banjir di tempat tersebut. Tinggi muka air dapat disimulasikan berdasarkan sejarah kejadian banjir yang pernah terjadi. Faktor kerentanan pada dasarnya terbagi menjadi beberapa indeks yang meliputi indeks kerentanan sosial, kerentanan ekonomi, kerentanan fisik, dan kerentanan ekologi (lingkungan). Komposisi indikator kerentanan ditunjukkan pada Gambar I.1. Pada studi kasus ini, hanya dibatasi pada analisis risiko bencana banjir secara kualitatif berdasarkan pada kerentanan ekonomi akibat banjir.
8
Gambar I.1. Komposisi untuk analisis kerentanan bencana (BNPB 2012) Kerentanan ekonomi identik dengan besarnya kerugian secara ekonomi yang dialami oleh suatu daerah akibat suatu bencana. Komponen indeks kerugian dihitung berdasarkan nilai PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) per sektor dan tutupan lahan. Secara garis besar, tutupan lahan sangat mempengaruhi besarnya kerentanan ekonomi bencana banjir (Yusuf 2005). Berdasarkan teori tersebut, dapat disimpulkan bahwa besarnya risiko bencana banjir sangat bergantung pada ancaman genangan banjir dan tutupan lahan, yang diilustrasikan dengan pendekatan rumus I.3 berikut. Risiko Bencana Banjir = Luas Genangan Banjir x Tutupan Lahan ...........(I.3) Rumus I.3 tentunya hanya menggambarkan hubungan antara genangan banjir dan tutupan lahan terhadap risiko bencana banjir pada suatu daerah. Rumus ini tidak dapat disamakan dengan rumus matematika. Informasi hasil tumpang susun genangan banjir dan tutupan lahan digunakan untuk perhitungan indeks kerentanan ekonomi, dimana komponen dan indikator kerentanan ekonomi disajikan pada Tabel I.1. Luas lahan produktif dapat diperoleh dari peta tutupan lahan dan buku kabupaten atau kecamatan dalam angka dan dikonversi kedalam rupiah, sedangkan PDRB dapat diperoleh dari laporan sektor atau kabupaten dalam angka (BNPB 2012). Nilai rupiah hasil konversi luas lahan produktif dan PDRB digunakan untuk pemberian skor pada masing-masing komponen kerentanan ekonomi. Nilai rupiah tersebut tidak dapat disamakan dengan nilai estimasi kerugian ekonomi total akibat bencana banjir.
9
Tabel I.1. Komponen dan indikator indeks kerentanan ekonomi (BNPB 2012) No 1.
Kelas
Komponen
Rendah
Sedang
Tinggi
Bobot
Sumber
Lahan
< Rp 50 Rp 50 – > Rp 200 60 %
Landuse,
Produktif
juta
Kabupaten/
200 juta
juta
Kecamatan dalam Angka 2.
Nilai
< Rp 100 Rp 100 - > Rp 300 40 %
Laporan Sektor,
PDRB/sektor
juta
Kabupaten
300 juta
juta
dalam Angka Kerentanan Ekonomi = (0,6 * Skor Lahan Produktif) + (0,4 * Skor PDRB)
I.6.3. Citra Satelit Landsat 8 Landsat Data Continuity Mission (LDCM) atau dikenal juga dengan nama Landsat 8 merupakan satelit generasi terbaru dari program Landsat. Satelit ini merupakan proyek gabungan antara USGS dan NASA beserta NASA Goddard Space Flight Center dan diluncurkan pada hari Senin, 11 Februari 2013 di Pangkalan Angkatan
Udara
Vandeberg,
California,
Amerika
Serikat
(USGS
2013).
Karakteristik dari citra Landsat 8 untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel I.2. Tabel I.2.
Karakteristik Landsat 8
Spesifikasi
Landsat 8 (LDCM)
Tinggi Orbit
705 km
Jenis Orbit
Inklinasi 98.2º (Sun-synchronous) OLI (Onboard Operational Land
Sensor
Imager) + TIRS (Thermal Infrared Sensor)
Luas Liputan per scene
185 km x 185 km
Resolusi Temporal
16 hari
Periode Orbit
99 menit
Kuantitas Data
16 bitt (0 – 65535) Sumber: https://landsat.usgs.gov
10
Satelit Landsat 8 dilengkapi dua sensor yang merupakan hasil pengembangan dari sensor yang terdapat pada satelit-satelit pada program Landsat sebelumnya. Kedua sensor tersebut yaitu Sensor Onboard Operational Land Imager (OLI) yang terdiri dari 9 band serta Sensor Thermal InfraRed Sensors (TIRS) yang terdiri dari 2 band. Setiap band memiliki panjang gelombang dan kegunaan yang berbeda-beda, perbedaannya dapat dilihat pada Tabel I.3 berikut ini. Tabel I.3. Band
Band Landsat 8 dan kegunaannya Panjang Gelombang
Kegunaan
Band 1 – Coastal Aerosol
0.43 – 0.45
Studi pesisir dan aerosol
Band 2 – Blue
0.45 – 0.51
Pemetaan
bathimetri,
membedakan tanah dari vegetasi, dan daun gugur dari vegetasi yang berdaun duri. Band 3 – Green
0.53 – 0.59
Menekankan
vegetasi
puncak
berguna
yang
untuk menilai kekuatan tanaman. Band 4 – Red
0.64 – 0.67
Membedakan kelerengan vegetasi.
Band 5 – Near Infrared 0.85 – 0.88
Menekankan
(NIR)
biomassa dan garis pantai.
Band 6 – Short wave 1.57 – 1.65
Membedakan
Infrared (SWIR) 1
dari tanah dan vegetasi
konten
kadar
air
dan dapat menembus awan tipis. Band 7 – Short wave 2.11 – 2.29
Meningkatkan
Infrared (SWIR) 2
kontaminasi awan cirrus.
Band 8 – Panchromatic
0.50 – 0.68
Resolusi
15
deteksi
meter,
sharper image definition Band 9 – Cirrus
1.36 – 1.38
Meningkatkan
deteksi
11
kontaminasi awan cirrus. Band 10 – TIRS 1
10.60 – 11.19
Resolusi thermal
100
meter,
mapping
mengestimasi
dan
kadar
air
pada tanah. Band 11 – TIRS 2
11.5 – 12.51
Resolusi thermal
100 mapping
meter, dan
mengestimasi kadar air di tanah. Sumber: https://landsat.usgs.gov I.6.4. SRTM (Shuttle Radar Topography Mission) Shuttle Radar Topography Mission atau disingkat SRTM adalah suatu proyek gabungan antara National Imagery, Mapping Agency (NIMA) dan NASA yang bertujuan untuk pemetaan 3D seluruh dunia. Akuisisi data SRTM diambil pada pertengahan tahun 2000, dan sejak tahun 2002 data Digital Elevation Model (DEM) global SRTM telah beredar luas. Instrumen SRTM seperti ditunjukan pada gambar I.2 berisi modifikasi spaceborne Imaging radar-C (SIR-C) dan X-band Synthetic Aperture Radar (X-SAR) dengan perangkat keras sebuah tiang dari space station dan penambahan antenna untuk membentuk sebuah interferometer dengan panjang 60 meter (USGS 2003).
Gambar I.2. Sistem instrumen SRTM (USGS 2003) Data SRTM diorganisasikan dalam sel yang dirasterisasi secara individual yang melingkupi tiap satu derajad demi satu derajad bujur dan lintang. Jenis data
12
SRTM berupa 1 arc second, 3 arc second, dan 30 arc second atau dapat juga disebut SRTM1, SRTM3 dan SRTM-GTOPO30. SRTM 1 arc second memiliki resolusi 30 meter sedangkan SRTM 3 arc second resolusinya 90 meter. Data SRTM 1 arc second Asia, Afrika, Eropa, Amerika Utara, Amerika Selatan, dan Australia mulai januari 2015 disediakan oleh USGS secara gratis di situs resmi USGS. SRTM 1 arc second tersebut merupakan versi 3 dari SRTM keluaran NASA yang telah dikoreksi voids-filled menggunakan data elevasi ASTER GDEM2, USGS Global Multiresolution Terrain Elevation Data (GDTED) 2010, dan USGS National Elevation Dataset (NED). Perbandingan resolusi data SRTM dapat dilihat pada Gambar I.3 berikut.
SRTM1
SRTM3
SRTM-GTOPO30
Gambar I.3. Perbandingan resolusi SRTM Pengan data SRTM 1 arc second dalam pemetaan memang masih jarang. BAKOSURTANAL dalam Jurnal Ilmiah Geomatika tahun 2007, menyatakan bahwa untuk pembuatan peta skala 1 : 250.000 data IFSAR ataupun SRTM 3 arc second tidak menghasilkan perbedaan yang signifikan. Pada toleransi selisih ketinggian 35 meter ketelitian SRTM dan IFSAR sama. Pada proyek ini menggunakan data SRTM 1 arc second yang memiliki resolusi spasial 30 m, artinya dalam ukuran 30 m x 30 m (900 m2 atau 0,09 Ha) dianggap sama ketinggiannya (Khomarudin dkk 2014). SRTM 1 arc second lebih teliti daripada SRTM 3 arc second sehingga dapat menghasilkan peta yang lebih detil. I.6.5. Model Elevasi Digital Digital Elevation Model (DEM) merupakan suatu model data raster yang terdiri dari himpunan piksel yang nilainya menunjukkan ketinggian atau elevasi dengan resolusi spasial tertentu (Munawar 2008). Setiap piksel selain menunjukkan nilai ketinggian, juga menunjukkan nilai koordinat X dan Y.
13
Digital Elevation Model (DEM) atau Model Elevasi Digital digunakan untuk menggambarkan bentuk relief permukaan bumi. Bentuk relief permukaan bumi divisualisasikan dalam bentuk tiga dimensi menyerupai keadaan yang sebenarnya. DEM sering digunakan unuk membantu dalam proses pemodelan dan analisis bentuk dan kejadian yang berada di permukaan bumi. Pada proyek ini, DEM diperoleh dari citra SRTM 1 arc second yang selanjutnya disebut DEM SRTM. Data DEM selanjutnya diproses dan dianalisis untuk mendapatkan simulasi area genangan banjir. I.6.6. Pengolahan Citra I.6.6.1.
Citra Komposit Warna.
Citra komposit adalah penggabungan beberapa saluran data penginderaan jauh sehingga dihasilkan citra baru dengan kandungan informasi terintegrasi melalui proses penggabungan warna dari saluran-saluran data penginderaan jauh yang dikompositkan (Sari, Indriasari, & Pandansari 2012). Pembuatan citra komposit berguna untuk memperbaiki tampilan visual citra agar lebih mudah diinterpretasi kenampakan obyeknya. Citra
komposit
menghasilkan
citra
yang
berwarna
dengan
cara
mengkombinasikan beberapa band dalam data landsat 8. Komposit warna RGB adalah penggabungan tiga buah band yang berbeda dalam tiga warna primer yaitu merah (Red), Hijau (Green) dan Biru (Blue) (Sanjaya 2004). I.6.6.2.
Koreksi Radiometrik
Koreksi radiometrik merupakan perbaikan kualitas citra karena adanya kesalahan pada sistem optik, kesalahan karena gangguan energi radiasi elektromagnetik pada atmosfer dan kesalahan karena pengaruh sudut elevasi matahari (Purwadhi 2001). Kesalahan-kesalahan tersebut mengakibatkan nilai-nilai piksel tidak sesuai dengan nilai pantulan yang sebenarnya sehingga perlu diperbaiki atau dikoreksi. Koreksi radiometrik dimaksudkan untuk meningkatkan visibilitas citra sebelum citra diinterpretasi. I.6.6.3.
Koreksi Geometrik
Koreksi geometrik adalah proses transformasi citra penginderaan jauh dari skala citra menjadi skala peta. Hasil dari proses transformasi adalah citra yang
14
memiliki skala dan sifat proyeksi yang sama dengan peta yang diacu (Djurdjani & Kartini 2004). Metode koreksi geometrik dikelompokkan menjadi dua yaitu metode parametrik dan non-parametrik. Koreksi geometrik dengan metode non-parametrik memerlukan titik kontrol tanah atau GCP (Ground Control Point). I.6.6.4.
Fusi Citra dan Sharpening
Fusi citra atau disebut juga pansharpening citra digunakan secara otomatis untuk menggabungkan (fusi) citra warna atau multispektral dengan resolusi spasial yang rendah dengan citra pankromatik yang memiliki resolusi spasial yang tinggi. Fusi citra bertujuan untuk menghasilkan citra baru yang berwarna dan memiliki resolusi spasial yang tinggi. Metode ini dilakukan dengan cara melakukan resampling terhadap ukuran elemen citra (pixel) citra resolusi tinggi (Sitanggang 2008). Salah satu teknik dan metode fusi citra yang ada di software ENVI adalah metode
HSV
(Hue-Saturation-Value).
Metode
ini
dilakukan
dengan
mentransformasikan citra dari ruang warna RGB (Red-Green-Blue) menjadi citra dengan ruang warna HSV, dengan cara menggantikan kanal nilai (Value-V) dengan citra resolusi spasial tinggi. Dengan melakukan hal tersebut, resampling secara otomatis mengubah kanal Hue (Hue-H) dan Saturasi (Saturation-S) menjadi ukuran elemen citra resolusi spasial tinggi dengan menggunakan teknik nearest neighbor, bilinear, atau cubic convolution (Sitanggang 2008). Selanjutnya citra yang dihasilkan ditransformasikan kembali ke ruang warna RGB untuk ditampilkan. I.6.7. Tutupan Lahan Penggunaan lahan adalah aktivitas manusia dalam memanfaatkan lahan untuk kepentingan hidupnya. Penggunaan lahan merupakan wujud nyata dari pengaruh aktivitas manusia terhadap sebagian fisik permukaan bumi. Istilah penggunaan lahan (land use), berbeda dengan istilah penutup lahan (land cover). Perbedaannya, istilah penggunaan lahan biasanya meliputi segala jenis kenampakan dan sudah dikaitkan dengan aktivitas manusia dalam memanfaatkan lahan, sedangkan penutup lahan mencakup segala jenis kenampakan yang ada di permukaan bumi yang ada pada lahan tertentu. Akan tetapi untuk mendapatkan informasi penggunaan lahan di data penginderaan jauh harus didekati dengan
15
informasi penutup lahan. Arifin dan Hidayat (2014) menyatakan bahwa dimensi citra Landsat 8 dapat memberikan ketelitian untuk klasifikasi penutup lahan sampai skala 1:100.000. Dimana luas poligon hasil delineasi terkecil yang diperbolehkan dalam interpretasi visual adalah 2,5 Ha. I.6.8. Skema Klasifikasi Tutupan Lahan Skema adalah alur atau tahapan pelaksanaan suatu kegiatan sedangkan klasifikasi adalah penggolongan objek ke dalam kelas-kelas berdasarkan kriteria tertentu (Kartini 1999). Pemilihan skema klasifikasi merupakan rencana untuk memilih kategori-kategori yang akan dipakai untuk mengelompokkan nilai piksel kedalam kelas-kelas tertentu. Ada berbagai macam skema klasifikasi penggunaan lahan yang bisa digunakan salah satunya adalah skema klasifikasi berdasarkan USGS (United States Geological Survey) yang ditunjukan pada Tabel 1.4 dibawah ini. Tabel I.4.
Skema klasifikasi USGS (Kartini 1999)
LEVEL I 1. Urban atau lahan terbangun
2. Lahan pertanian
3. Padang rumput
4. Lahan Hutan
5. Kawasan perairan
6. Daerah basah 7. Lahan terbuka
LEVEL II 1.1 Permukiman 1.2 Kawasan komersial dan jasa. 1.3 Kawasan Industri. 1.4 Kawasan transportasi. 1.5 Komplek Industri dan komersial. 1.6 Urban campuran 1.7 Urban lainnya. 2.1 Tanaman Musiman 2.2 Perkebunan 2.3 Tanaman buah-buahan 2.4 Tanaman lainnya 3.1 Rumput-rumputan 3.2 Tanaman perdu 3.3 Lahan tanaman campuran 4.1 Hutan primer 4.2 Hutan sekunder 4.3 Hutan campuran 5.1 Aliran sungai dan kanal 5.2 Danau 5.3 DAS 6.1 Rawa berhutan 6.2 Rawa tak berhutan 7.1 Pantai 7.2 Kawasan pesisir 7.3 Batuan terbuka
16
8. Tundra
9. Kawasan salju dan es
7.4 Batuan terbuka sementara 7.5 Daerah tambang. 7.6 Kawasan transisi 7.7 Kawasan terbuka lainnya 8.1 Tundra dengan semak belukar 8.2 Tundra yang ditutup rerumputan 8.3 Tundra terbuka 8.4 Tundra campuran 9.1 Kawasan salju abadi 9.2 Glaciers
Skema klasifikasi yang dikeluarkan USGS pada umumnya merupakan skema yang sangat detil. Oleh karena itu, untuk dapat memanfaatkannya sesuai dengan studi kasus yang dikaji, skema tersebut perlu modifikasi, dimana modifikasinya dijelaskan pada bab pelaksanaan. I.6.9. Klasifikasi Visual Klasifikasi data adalah suatu proses dimana semua pixel dari suatu citra yang mempunyai penampakan spektral yang sama akan diidentifikasikan. Klasifikasi citra visual dapat didefinisikan sebagai aktivitas visual untuk mengkaji citra yang menunjukkan gambaran muka bumi yang tergambar di dalam citra tersebut untuk tujuan identifikasi obyek dan menilai maknanya. Teknik penafsiran atau klasifikasi citra penginderaan jauh dilakukan dengan menggunakan komponen penafsiran yang meliputi: data acuan, kunci interpretasi citra, metode pengkajian dan penerapan konsep multi spektral (Sutanto 1994). Prinsip kunci interpretasi obyek pada citra adalah dengan menyelidiki karakteristik obyek yang terdapat pada obyek. Karakteristik obyek yang tergambar pada citra dan digunakan untuk mengenali obyek dapat disebut juga unsur-unsur interpretasi citra. Terdapat 8 unsur interpretasi citra, yaitu sebagai berikut. 1. Rona, merupakan tingkatan gelap terangnya citra berdasarkan proporsi spektrum elektromagnetik yang datang dari obyek dan ditangkap oleh sensor. 2. Ukuran, merupakan satuan dimensi berupa panjang, tinggi, luas, kemiringan, dan volume dari suatu obyek.
17
3. Bentuk, merupakan karakteristik yang dimiliki oleh suatu obyek yang mencirikan detil obyek tersebut. Sebagai contoh obyek yang berbentuk teratur pada umumnya merupakan buatan manusia. Sedangkan obyek yang bentuknya tidak teratur merupakan obyek alami. 4. Tekstur, merupakan frekuensi perubahan rona pada citra yang menimbulkan efek kasar atau halus pada suatu obyek. 5. Pola, merupakan susunan keruangan dari suatu obyek. 6. Lokasi, merupakan posisi suatu obyek yang berhubungan dengan lingkungan sekitarnya. 7. Bayangan, merupakan daerah gelap yang terbentuk akibat tertutupi oleh obyek itu sendiri maupun obyek lain. Bayangan biasanya berkaitan dengan tinggi suatu obyek. 8. Asosiasi, merupakan hubungan keterkaitan antara obyek satu dengan obyek yang lainnya. Keterkaitan inilah yang mengakibatkan tidak jarang suatu obyek dijadikan dasar untuk menginterpretasi obyek yang lainnya. I.6.10. Uji Ketelitian Klasifikasi Sangat penting mengetahui seberapa ketelitian hasil klasifikasi sebelum hasil klasifikasi tersebut dianalisis lebih lanjut (Sutanto 1994). Ketelitian hasil klasifikasi menentukan apakah hasil klasifikasi digital sesuai dengan kondisi daerah sebenarnya. Uji ketelitian membutuhkan data sumber untuk untuk membandingkan hasil klasifikasi. Data pembanding yang bisa digunakan antara lain adalah citra google earth pada daerah penelitian. Pengujian ketelitian hasil klasifikasi dilakukan menggunakan matrik konfusi. Dimana didalamnya merupakan derivasi dari penjumlahan omisi, komisi dan keseluruhan ketelitian klasifikasi. Omisi adalah jumlah kesalahan pendefinisian obyek X dibagi dengan jumlah seluruh obyek yang diinterpretasi. Komisi adalah jumlah obyek lain yang diinterpretasikan sebagai obyek X dibagi dengan seluruh obyek yang diinterpretasi. Contoh perhitungan uji ketelitian dengan matrik konfusi disajikan pada Tabel I.5 sebagai berikut.
18
Tabel I.5. Photo or ground
Contoh perhitungan uji ketelitian (Widiastuti 2013)
Landsat Classes Total
Omission
Commision
Map Accuracy
3
43
18 = 42% 43
7 = 22% 32
25 = 50% 25 + 18 + 7
5
63
13 = 21% 63
11 = 18% 61
12 = 17% 72
18 = 23% 78
6 = 6% 106
13 = 11% 118
Corn
Soybean
Forest
Other
Corn
25
5
10
Soybean
2
50
6
classes
Forest
Other Total
2
2 32
4
2 61
60
2 78
5
100 118
Overall Landsat Accuracy =
72
106
50 50 + 13 + 11 = 68% 60 60 + 12 + 18 = 67% 100 100 + 6 + 13 = 84%
284
25+50+60+100 284
× 100% = 83%
I.6.11. Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis merupakan suatu sistem berbasis komputer yang memiliki kemampuan dalam menangani data bereferensi geografi yaitu masukan data, manajemen data (penyimpanan dan pemanggilan kembali), memanipulasi dan analisis data, serta keluaran sebagai hasil akhir (Aronoff 1989). SIG juga dapat menggabungkan data, mengatur data dan melakukan analisis data yang akhirnya akan menghasilkan keluaran yang dapat dijadikan acuan dalam pengambilan keputusan pada masalah yang berhubungan dengan geografi. I.6.11.5. Vektorisasi Transformasi format raster menjadi vektor digunakan untuk mengkonversi citra yang berbentuk raster ke format vektor. Metode ini juga biasanya digunakan untuk klasifikasi citra ke dalam poligon-poligon dalam vektor dengan metode digitasi atau delineasi. Proses digitasi yang dilakukan di layar komputer biasa disebut digitasi on screen. Transformasi raster ke vektor diilustrasikan pada Gambar I.4 berikut.
19
Sumber: Bolstad, P. GIS Fundamentals: A First Text on Geographic Information System, 2002 Gambar I.4. Transformasi raster ke vektor I.6.11.6. Editing Editing adalah suatu proses perbaikan kesalahan-kesalahan yang dilakukan pada saat digitasi (Bakosurtanal 1989). Proses editing biasanya memperhatikan kaidah-kaidah topologi yang diterapkan. Topologi adalah pendefinisian secara matematis yang menerangkan hubungan relatif antara objek yang satu dengan objek yang lain. Dalam SIG topologi didefinisikan oleh user sesuai dengan karakteristik data seperti garis, poligon maupun titik. Setiap karakteristik data tertentu mempunyai aturan topologi tertentu (Ostip 2014). I.6.11.7. Labelling Labelling atau disebut juga attributing merupakan proses pemberian keterangan rinci dari suatu obyek yang telah kita buat. Misalnya saja kita telah membuat layer sungai, maka didalam atributnya dapat kita tambahkan item dalam databasenya yang bisa digunakan untuk menyimpan informasi tentang nama sungai, lokasi administrative sungai, dan lain sebagainya (Kuncoro 2007). I.6.11.8. Sistem Proyeksi Pendefinisian sistem proyeksi adalah hal yang wajib dilakukan sebelum melakukan proses analisis SIG. Transformasi sistem proyeksi berfungsi untuk mengubah sistem proyeksi suatu peta ke dalam sistem proyeksi yang lainnya, misalnya dari TM3 ke UTM ataupun sebaliknya (Kuncoro 2007).
20
I.6.11.9. Skoring Skoring adalah pemberian nilai pada masing-masing komponen yang akan dilakukan proses overlay atau tumpang susun peta. Komponen yang akan diberikan skor adalah komponen-komponen penentu risiko bencana banjir. Komponen tersebut adalah komponen kerentanan ekonomi obyek terdampak banjir yang diperoleh dari peta tutupan lahan dan komponen ancaman yaitu sebaran daerah genangan banjir seperti ditunjukkan pada rumus (I.3). Indikator yang digunakan untuk kerentanan ekonomi adalah luas lahan produktif dalam rupiah dan PDRB. Luas lahan produktif dapat diperoleh dari peta tutupan lahan dan buku kabupaten atau kecamatan dalam angka dan dikonversi kedalam rupiah, sedangkan PDRB dapat diperoleh dari laporan sektor atau kabupaten dalam angka (BNPB 2012). Pemberian skor/harkat dilakukan berdasarkan kelas dari masing-masing komponen. Besarnya intensitas kerentanan terhadap risiko kerugian ekonomi akibat banjir ditampilkan pada Tabel I.6, sedangkan besarnya intensitas ancaman bencana banjir ditampilkan pada Tabel I.7. Pengklasifikasian kerentanan kerugian ekonomi dan ancaman bencana banjir menggunakan standart dari Perka BNPB No 2 tahun 2012 dengan modifikasi disesuaikan dengan daerah proyek dan tujuan proyek. Tabel I.6. No 1.
Komponen Lahan
Klasifikasi kerentanan ekonomi Kelas
Rendah < Rp 500 M
Produktif 2.
Nilai PDRB/sektor
< Rp 100 juta
Sedang
Tinggi
Rp 500 M - > Rp 1 T
Bobot 60 %
Skor Kelas/
1T
Nilai
Rp 100-300 > Rp 300 40 %
Max
juta
Kelas
juta
penggunaan lahan Sumber : Perka BNPB 2-2012 dengan modifikasi. Klasifikasi kerentanan kerugian ekonomi akibat bencana banjir diklasifikasikan atas dasar luas lahan produktif dan nilai PDRB. Luas lahan produktif diperoleh dari
21
peta tutupan lahan, laporan sektor, ataupun kabupaten dalam angka yang selanjutnya dikonversi kedalam rupiah (BNPB 2012). Sedangkan komponen ancaman bencana diklasifikasikan kedalam dua kelas saja yaitu kelas tidak ada ancaman dan ada ancaman, dikarenakan tidak diketahuinya ketinggian secara detil dari banjir yang melanda di Kabupaten Pati. Tabel I.7. No
Ancaman Banjir
Kelas
Tidak Ada
Tidak
Ancaman
Tergenang
Ada Ancaman
Tergenang
1. 3.
Klasifikasi ancaman bencana banjir Bobot
Skor
100 %
0 1
Sumber Analisis DEM SRTM
Sumber : Perka BNPB 2-2012 dengan modifikasi I.6.11.10. Overlay Peta Overlay merupakan metode yang digunakan untuk menumpang susunkan beberapa informasi atau peta sehingga dapat diperoleh peta atau informasi baru. Syarat overlay adalah daerah atau lokasi harus sama, diikat dengan suatu sistem koordinat yang sama, terdiri dari beberapa variabel, dan menggunakan kriteria khusus yang akan menghasilkan data turunan (Kuncoro 2007). Operasi overlay dapat berupa integrasi overlay berbasis vektor dan berbasis raster, seperti ditunjukkan pada Gambar I.5.
Sumber: https://www.e-education.psu.edu Gambar I.5. Overlay berbasis vektor dan raster Operasi overlay digunakan untuk analisis dan pemrosesan data spasial, penggunaan fungsi overlay disesuaikan terhadap kebutuhan dan tujuan analisisnya. Beberapa fungsi overlay berbasis vektor poligon ditunjukkan pada Gambar I.6.
22
Sumber : http://gisweb.massey.ac.nz/ Gambar I.6. Jenis-jenis operasi overlay berbasis vektor poligon Pada proyek ini, pemrosesan dan analisis data spasial menggunakan operasi overlay berbasis vektor. Fungsi analisis yang digunakan adalah intersect. Penggunaan fungsi intersect dilakukan untuk mendapatkan atribut yang saling bertampalan dari kedua sumber peta yang ditampalkan. Hasil intersection merupakan perpotongan dari dua area peta yang memiliki kesamaan karakteristik dan kriteria.