BAB I PENDAHULUAN I.1. Kebutuhan
energi
di
Latar Belakang
Indonesia
semakin
meningkat
sejalan
dengan
pertumbuhan ekonomi dan pertambahan jumlah penduduk. Berdasarkan hasil proyeksi kebutuhan listrik dari tahun 2003 s.d. 2020 yang dilakukan Dinas Perencanaan Sistem PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan Tim Energi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), terlihat bahwa selama kurun waktu tersebut rerata kebutuhan listrik di Indonesia tumbuh sebesar 6,5% per tahun. Kebutuhan listrik tersebut didukung dengan pertumbuhan listrik di sektor industri sebesar 7,3% per tahun dan sektor rumah tangga sebesar 6,9% per tahun. Kebutuhan listrik nasional didominasi oleh sektor industri, disusul sektor rumah tangga, usaha, dan umum (Muchlis dan Permana, 2006). Peningkatan kebutuhan energi listrik tidak menjadi masalah besar apabila kapasitas listrik terpasang mampu mengakomodasi segala kebutuhan masyarakat. Ketersediaan pasokan listrik yang memadai merupakan syarat mendasar untuk pengembangan semua sektor ekonomi. Konsumsi listrik per kapita pada tahun 2012 adalah 856 kWh, sementara tahun sebelumnya baru mencapai 787 kWh/kapita. Permintaan listrik tersebut menurut Dirjen Ketenagalistrikan melebihi kapasitas terpasang listrik nasional. Sementara itu rasio elektrifikasi Indonesia saat ini baru mencapai 72,95%. Hal ini berarti bahwa sekitar 27.05% dari rumah tangga Indonesia belum dialiri listrik (Anonim, 2013). Ironisnya, sumber energi konvensional berupa energi fosil yang merupakan sumber energi utama di Indonesia semakin terbatas cadangannya. Beberapa
langkah
yang
dilakukan
pemerintah
untuk
mengantisipasi
kelangkaan energi di Indonesia antara lain melalui Kebijakan Energi Nasional, penyusunan Cetak Biru Pengelolaan Energi Nasional 2005 s.d. 2025, Kebijakan Strategis Nasional Pembangunan IPTEK, serta Kebijakan Nasional Eksploitasi Laut yang menekankan sustainabilitas energi melalui penciptaan dan pemanfaatan sumber energi terbarukan. Salah satu langkah kebijakan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) dalam menjawab isu nasional mengenai energi adalah
1
2
penganekaragaman penyediaan dan pemanfaatan berbagai sumber energi baru, salah satunya adalah sumber energi kelautan (DESDM, 2005). Berdasarkan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang ditargetkan pada tahun 2050, energi yang dihasilkan dari lautan bisa mencapai 6000 MW (Anonim, 2011). Indonesia merupakan negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya terdiri dari daerah perairan. Menurut Janhidros (2006) dalam Rumampuk (2013), luas wilayah daratan Indonesia ± 2.012.402 km2 dan luas perairannya ± 5.877.879 km2. Dua pertiga dari wilayah Negara Indonesia merupakan perairan laut yang menjadi sumber energi yang sangat potensial untuk didayagunakan dan dimanfaatkan. Untuk memanfaatkan sumber energi laut tersebut, maka perlu dilaksanakan kajian-kajian tentang energi laut. Fenomena oseanografi fisis seperti pasang surut, gelombang, panas laut, dan perubahan salinitas, secara teoritis dapat dikonversikan menjadi energi listrik. Sumber energi lautan yang secara efisien dapat dikonversikan menjadi energi listrik ialah gelombang laut. Konversi energi gelombang menjamin ketersediaan energi listrik sepanjang tahun, sehingga suplai listrik tidak tergantung pada pergantian dan perubahan musim (BPDP, 2004 dalam Rofiah, 2006). Gelombang di laut dapat dibedakan menjadi beberapa macam tergantung gaya pembangkitnya. Di antara beberapa bentuk gelombang yang dapat digunakan untuk pembangkit energi listrik adalah gelombang angin. Energi yang diberikan menyebabkan air bergerak tak permanen dan menimbulkan riak gelombang kecil di atas permukaan air dan membentuk gelombang. Semakin besar kecepatan angin semakin besar pula energi yang ditransfer pada air, sehingga gelombang yang dibangkitkan semakin tinggi (Triatmodjo, 1999). Faktor lain yang berpengaruh pada tinggi gelombang yang dibangkitkan ialah jarak seret gelombang. Jarak seret merupakan jarak tempuh gelombang sebelum mencapai pantai. Sepanjang jarak ini, angin masih dapat memberikan energi sehingga gelombang dapat bertambah tinggi. Walaupun jarak seret sangat panjang dan kecepatan angin besar tetapi angin berhembus di dalam waktu yang singkat, maka gelombang yang terjadi tidak akan semakin besar. Hal ini disebabkan karena gelombang diseret hanya sebentar, sehingga belum mencapai jarak maksimum. Sehingga faktor-faktor yang berpengaruh pada pembangkitan gelombang ialah
3
kecepatan angin, lama hembus angin dan jarak seret gelombang (panjang fetch) (Triatmodjo, 1999). Menurut Etemad-Shahidi dkk (2009), pembangkitan gelombang laut oleh angin dapat dihitung dengan beberapa metode diantaranya yaitu SMB (Sverdrup-MunkBretschneider), Wilson, JONSWAP (Joint North Sea Wave Project), dan CEM (Coastal Engineering Manual). Perhitungan tersebut menghasilkan komponen gelombang berupa tinggi dan periode gelombang yang selanjutnya dapat digunakan untuk menghitung potensi energi dan daya listrik. Kajian terhadap potensi energi dan daya yang bisa dibangkitkan oleh gelombang laut perlu dilakukan untuk mengetahui besarnya energi yang bisa didapatkan sehingga kebutuhan listrik dapat dipenuhi untuk mendukung kebutuhan nasional jangka panjang. Kebutuhan listrik di wilayah Jawa, Madura, dan Bali atau disebut juga wilayah Jamali terdiri dari Distribusi Bali, Distribusi Jawa Timur, Distribusi Jawa Tengah-Jogya, Distribusi Jawa Barat-Banten dan Distribusi Jawa Barat-Tangerang. Total kebutuhan listrik dari lima wilayah distribusi tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kebutuhan listrik pada wilayah lainnya di Indonesia, yaitu sekitar 80% dari total kebutuhan listrik nasional. Hal ini sangat beralasan mengingat Jamali merupakan pusat dari segala kegiatan, namun pemakaian listriknya masih tergolong kurang efisien (Muchlis dan Permana, 2006). Menurut Wijaya (2010), teknologi yang sesuai dikembangkan sebagai pembangkit energi listrik di wilayah Jamali adalah model Oscillating Water Column (OWC). Hal ini dikarenakan model OWC memungkinkan untuk dibangun di daerah dengan topografi laut yang cenderung landai dan memiliki ketinggian gelombang laut yang cenderung konstan, serta tidak memerlukan daerah konstruksi yang luas. I.2.
Identifikasi Masalah
Total kebutuhan listrik di wilayah Jamali jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kebutuhan listrik pada wilayah lainnya di Indonesia, yaitu sekitar 80% dari total kebutuhan listrik nasional. Hal ini sangat beralasan mengingat Jamali merupakan pusat dari segala kegiatan sehingga perlu dilakukan kajian terhadap energi dan daya yang bisa dihasilkan oleh gelombang laut untuk mengetahui besarnya energi yang bisa didapatkan. Pengukuran komponen gelombang laut selama
4
ini sulit dilakukan dan membutuhkan biaya yang besar. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian terhadap peramalan komponen gelombang dengan menggunakan data pengamatan angin. Terdapat empat metode perhitungan komponen gelombang yaitu SMB, Wilson, JONSWAP, dan CEM. Komponen gelombang yang didapatkan selanjutnya digunakan untuk menghitung besarnya potensi energi dan daya yang bisa dihasilkan. Kajian terhadap potensi energi dan daya listrik hasil pembangkitan gelombang laut oleh angin selanjutnya dikaitkan dengan topografi dan profil dasar daerah penelitian.
I.3.
Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan identifikasi masalah tersebut, maka pertanyaan penelitiannya sebagai berikut: 1. Bagaimana
proses
menggunakan
pembangkitan
metode
SMB,
gelombang
Wilson,
laut
JONSWAP,
oleh
angin
dan
CEM
dengan serta
perbandingannya? 2. Berapa besar energi dan daya yang bisa dihasilkan oleh gelombang laut pada lokasi penelitian? 3. Dari mana arah dominan gelombang datang untuk menentukan arah pembangkit listrik model OWC desain Energetech yang optimal? 4. Berapa besar slope profil dasar laut daerah penelitian? I.4.
Tujuan
Penelitian ini memiliki tujuan seperti berikut: 1. Menentukan besar komponen hasil pembangkitan gelombang laut oleh angin dengan menggunakan data pengamatan angin pada lokasi penelitian. 2. Membandingkan berbagai metode pembangkitan gelombang oleh angin, yaitu metode SMB, Wilson, JONSWAP, dan CEM. 3. Menentukan besar energi dan daya yang bisa dihasilkan oleh gelombang laut pada lokasi penelitian. 4. Menentukan arah dominan gelombang datang untuk menentukan arah pembangkit listrik model OWC desain Energetech yang optimal. 5. Menentukan slope dasar laut daerah penelitian.
5
I.5.
Manfaat
Dengan adanya pengkajian dan pemetaan potensi daya gelombang laut di wilayah Jamali ini, diharapkan dapat diketahui energi dan potensi daya yang bisa dihasilkan di perairan Jamali untuk kemudian digunakan sebagai salah satu bahan pertimbangan yang sahih dalam kegiatan perencanaan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Gelombang Laut (PLTGL) khususnya model OWC desain Energetech. I.6.
Batasan Masalah
Penelitian ini membahas bagaimana gelombang laut dapat menghasilkan energi dan daya listrik dengan menggunakan data pengamatan angin. Beberapa hal yang dijadikan batasan masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Data pengamatan angin yang digunakan merupakan hasil pengamatan selama tahun 2013 di wilayah Jamali. Data diperoleh dari situs Weather Underground yang menyediakan data hasil pengamatan metereologi pada berbagai tempat di seluruh dunia. Data yang digunakan pada penelitian ini dibatasi hanya pada lokasi dengan tinggi alat pengamatan kurang dari 20 m dan jarak kurang dari 16 km dari pantai (U.S. Army, 1984). 2. Fetch angin ditentukan berdasarkan arah dan kecepatan angin paling dominan berdasarkan wind rose dari dua arah dominan. 3. Penghitungan data gelombang dari konversi data angin menggunakan metode empiris yaitu SMB, Wilson, JONSWAP, dan CEM. 4. Hasil komponen pembangkitan gelombang yang digunakan untuk menghitung energi dan daya gelombang merupakan komponen gelombang signifikan (Hs dan Ts) pada 33%. 5. Penghitungan energi dan potensi daya menggunakan pembangkit listrik model OWC desain Energetech dengan ukuran chamber 10 x 18 m. 6. Slope dasar laut dihitung dari pantai sampai kedalaman sekitar 50 m. I.7. Kebutuhan
energi
di
Tinjauan Pustaka
Indonesia
semakin
meningkat
sejalan
dengan
pertumbuhan ekonomi dan pertambahan jumlah penduduk. Berdasarkan Gambar I.1 terlihat bahwa kebutuhan listrik nasional didominasi oleh sektor industri, disusul
6
sektor rumah tangga, usaha, dan umum. Pola kebutuhan listrik per sektor tersebut akan berbeda apabila ditinjau menurut wilayah pemasaran listrik PLN, dimana semakin ke Kawasan Indonesia Timur, semakin besar kebutuhan listrik sektor rumah tangga dibanding sektor industri (Muchlis dan Permana, 2006).
Gambar I.1. Proyeksi kebutuhan listrik per sektor di Indonesia tahun 2003 s.d 2020 (Mukhlis dan Permana, 2006) Menurut Anonim (2013), jumlah masyarakat yang belum mendapatkan akses terhadap listrik sejumlah 87,69 juta penduduk. Meskipun masih relatif besar, jumlah tersebut sudah semakin menurun dari tahun sebelumnya sebesar 159,5 juta penduduk. Segala permasalahan pada sektor energi menunjukkan bahwa harus ada perhatian dan kajian yang lebih mendalam terhadap sumber energi altrernatif. Secara umum terdapat dua sumber energi alternatif yang dapat dimanfaatkan, yakni sumber energi alternatif yang berasal dari daratan dan sumber energi alternatif yang berasal dari laut. Pulau Jawa yang padat penduduknya, pembangunan fasilitas pembangkit listrik dengan energi alternatif yang berasal dari daratan kemungkinan mengalami kendala peruntukan lahan (Erwandi, 2006 dalam Rofiah, 2006). TWh 500 400 300 200 100 0 2006
2010
2015
2020
2025
Tahun Keperluan Jam ali
Keperluan Luar Jam ali
Keperluan Indonesia
Gambar I.2. Keperluan tenaga listrik (Pratomo, 2006) Gambar I.2 menggambarkan grafik keperluan tenaga listrik yang selalu meningkat dari tahun ke tahun di Jawa-Madura-Bali, luar Jawa-Madura-Bali dan Indonesia secara keseluruhan.
7
Salah satu energi alternatif yang berasal dari laut ialah energi gelombang. Energi gelombang merupakan jenis energi yang dapat diperoleh dengan memanfaatkan gelombang laut. Dibandingkan dengan teknologi hijau lainnya seperti energi matahari dan angin, energi gelombang ini memberikan ketersedian mencapai 90% dengan kawasan yang potensial tidak terbatas. Selama ada gelombang, energi listrik dapat diperoleh (Rofiah, 2006). Pemikiran untuk memanfaatkan energi gelombang pada berbagai aplikasi telah ada sejak dulu. Akan tetapi karena data gelombang laut tidak banyak tersedia serta membutuhkan biaya yang mahal untuk pengukurannya maka peneliti-peneliti dalam bidang kelautan melakukan observasi untuk memprediksi gelombang laut yang dibangkitkan oleh angin. Salah satunya yaitu Sverdrup dan Munk yang melakukan penelitian pada tahun 1974 dan kemudian dikembangkan oleh Bretschneider pada tahun 1952 dan 1958 berdasarkan penelitian yang dilaksanakan di Danau Ontario, Amerika Utara. Metode tersebut kemudian disebut sebagai SMB. Beberapa peneliti kemudian melakukan berbagai observasi untuk mengetahui metode pembangkitan gelombang oleh angin, diantaranya yaitu Hasselman yang mengepalai JONSWAP, Wilson, dan U.S. Army yang mengeluarkan panduan teknik pantai Shore Protection Manual (SPM) pada tahun 1984 dan kemudian digantikan oleh CEM pada tahun 2006. Etemad-Shahidi dkk (2009) melakukan penelitian mengenai perbandingan metode CEM, SMB, dan Wilson untuk memprediksi data gelombang dengan menggunakan data pengukuran angin di Danau Ontario. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa metode SMB merupakan metode yang lebih akurat dalam memprediksikan gelombang signifikan dengan nilai scatter index 51% dibandingkan kedua metode yang lainnya. Penelitian untuk mengetahui pemanfaatan gelombang laut sebagai energi listrik telah banyak dilakukan. Beberapa negara di dunia sudah menerapkan pembangkit listrik dengan menggunakan tenaga gelombang laut, diantaranya yaitu: 1. Aquamarine power, sebuah perusahaan pengembang teknologi sumberdaya listrik dengan pembangkit Oyster telah memasang instalasi pembangkit di Skotlandia, Amerika Serikat, dan Irlandia. Teknologi Oyster pada prinsipnya adalah berupa
8
sebuah pompa air berbentuk engsel yang mendorong dengan tekanan tinggi ke sebuah turbin untuk menghasilkan listrik (Heather, 2009). 2. Pada tahun 1997, Energetech sebuah perusahaan Australia didirikan untuk melakukan penelitian dan pengembangan pemanfaatan teknologi gelombang laut dengan memanfaatkan kolom osilasi air. OWC dengan model Energetech mampu menyediakan energi listrik untuk 800 s.d 1200 rumah (The Boston Globe, 2002). 3. PLTGL Limpet dikelola oleh Wavegen, anak perusahaan Vorth Siemen yang berbasis di Inggris dan mampu memproduksi listrik 500 kWh (Anonim, 2014). 4. Mutriku merupakan pembangkit listrik pemecah gelombang dengan susunan beberapa turbin yang dikelola oleh Basque Energy Agency di Teluk Biscay. Pembangkit ini memiliki kapasitas sampai dengah 300 kW dari 16 set generator turbin yang diresmikan pada 8 Juli 2011 (Torre-Enciso dkk, 2009). 5. Pada tanggal 23 September 2008, Menteri Ekonomi Portugal meresmikan Aguaҫadoura, wave farm pertama di dunia yang terletak di sebelah utara Porto, Portugal.
Aguaҫadoura
dikembangkan oleh
Pelamis
Wave Power
dan
diprediksikan mampu menghasilkan 2,25 MW (Jha, 2008). Indonesia sebagai negara kepulauan dengan sebagian besar wilayah berupa perairan menyimpan energi besar. Robert G Quayle dan Michael J. Changery telah melakukan penelitian untuk mengestimasi potensi energi di seluruh dunia dengan menggunakan data pengamatan yang diambil dengan menggunakan kapal. Gambar I.3 menunjukkan potensi energi rerata tahunan di Indonesia.
Gambar I.3. Potensi energi gelombang di sebagian wilayah Indonesia (Quayle dan Changery, 1981)
9
I.8. I.8.1.
Landasan Teori
Teori Gelombang Amplitudo Kecil Gelombang di laut dapat dibedakan menjadi beberapa macam tergantung pada
gaya pembangkitnya, salah satunya adalah oleh angin. Menurut Wijaya (2010), angin memberikan pengaruh yang besar terhadap terjadinya gelombang laut sehingga konversi energi gelombang laut dipengaruhi oleh frekuensi angin yang terjadi sepanjang tahun. Gaya seret angin yang berhembus di atas permukaan air memberikan energi pada air. Energi yang diberikan menyebabkan air bergerak tak permanen dan menimbulkan riak gelombang kecil di atas permukaan air dan membentuk gelombang. Semakin besar kecepatan angin semakin besar pula energi yang ditransfer pada air, sehingga gelombang yang dibangkitkan semakin tinggi (Triatmodjo, 1999). Pada umumnya gelombang di alam sangat kompleks dan sulit dijabarkan secara matematis karena sifatnya yang tidak linier dan kejadiannya acak. Beberapa teori yang ada membahas gelombang yang sederhana dan merupakan pendekatan gelombang alam. Teori yang paling sederhana adalah teori gelombang linier atau teori gelombang amplitudo kecil, yang pertama kali dikemukakan oleh Airy pada tahun 1845. Menurut
Triatmodjo
(1999),
asumsi-asumsi
yang
digunakan
untuk
menurunkan persamaan gelombang adalah sebagai berikut: 1. Zat cair adalah homogen dan tidak termampatkan, sehingga rapat massa konstan. 2. Tegangan permukaan diabaikan. 3. Gaya koriolis diabaikan. 4. Tekanan pada permukaan air adalah seragam dan konstan. 5. Zat cair adalah ideal, sehingga berlaku aliran tak berotasi. 6. Dasar laut adalah horisontal, tetap dan impermeabel sehingga kecepatan vertikal di dasar adalah nol. 7. Amplitudo gelombang kecil terhadap panjang gelombang dan kedalaman air. 8. Gerak gelombang berbentuk silinder yang tegak lurus arah penjalaran gelombang sehingga gelombang adalah dua dimensi.
10
Gambar I.4 menunjukkan gelombang yang berada pada sistem koordinat x-y dan gelombang menjalar arah sumbu x. y
L C
η
H
x SWL
Muka air diam
v ε d
Orbit partikel
ζ
u d = (-y) = d+y
y = -d
Gambar I.4. Definisi gelombang Airy (Triatmodjo, 1999) Keterangan Gambar I.4. H
: tinggi gelombang (m)
a
: amplitudo gelombang (m)
C
: kecepatan rambat gelombang (kecepatan fase).
L
: panjang gelombang (m)
T
: periode gelombang (dt)
(x,y) : fluktuasi muka air terhadap muka air diam d
: jarak antara muka air rerata dan dasar laut (m)
u
: kecepatan partikel air horisontal (m/dt)
v
: kecepatan partikel air vertikal (m/dt)
: simpangan horisontal partikel
: simpangan vertikal partikel Teori gelombang amplitudo kecil diturunkan berdasarkan persamaan Laplace
untuk aliran tak berotasi (irrotational flow) dengan kondisi batas di permukaan air dan dasar laut seperti pada persamaan I.1.
11
∂2 φ 2
∂x
+
∂2 φ ∂y2
=0 ........................................................................................................... I.1
Penyelesaian persamaan I.1 tersebut memberikan hasil persamaan I.2. 𝜑 =
𝑎𝑔 𝑐𝑜𝑠ℎ 𝑘 (𝑑+𝑦) 𝜎
𝑐𝑜𝑠ℎ 𝑘𝑑
𝑠𝑖𝑛(𝑘𝑥 − 𝜎𝑡) ........................................................................ I.2
Dalam hal ini: φ
: potensial kecepatan
g
: percepatan gravitasi (m/dt2)
σ
: frekuensi gelombang
k
: angka gelombang
y
: jarak vertikal suatu titik yang ditinjau terhadap muka air diam (m)
x
: jarak horizontal (m)
t
: waktu (dt) Penurunan dari persamaan dasar dengan kondisi batas menghasilkan
persamaan panjang dan kecepatan rambat gelombang yang
dinyatakan dengan
persamaan I.3 dan I.4. 𝐿 = 𝐶 =
𝑔𝑇 2
𝑡𝑎𝑛ℎ
2𝜋 𝑔𝑇 2𝜋
𝑡𝑎𝑛ℎ
2𝜋𝑑 𝐿 2𝜋𝑑 𝐿
.............................................................................................. I.3 ............................................................................................... I.4
Dalam hal ini: L
: panjang gelombang (m)
: phi = 3,14
tanh
: tangen hiperbolis Berdasarkan kedalaman relatif yaitu perbandingan antara kedalaman air dan
panjang gelombang, maka gelombang dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori (Triatmodjo, 1999) yaitu: 1. Gelombang air dangkal 2. Gelombang air transisi 3. Gelombang air dalam
d/L < 1/20 dan nilai (tanh 2d/L) 1 1/20 < d/L < 1/2 dan nilai (tanh 2d/L) tetap d/L > 1/2 dan nilai (tanh 2d/L) 2d/L
Berdasarkan perbandingan kedalaman relatif, maka panjang dan cepat rambat gelombang untuk gelombang air dalam seperti pada persamaan I.5 dan I.6. L0 =
gT2 2π
.............................................................................................................. I.5
12
C0 =
𝑔𝑇 2π
................................................................................................................ I.6
Dalam hal ini: CO
: kecepatan rambat gelombang laut dalam (m/dt)
LO
: panjang gelombang laut dalam (m)
I.8.2.
Gelombang Representatif Untuk keperluan berbagai kegiatan perencanaan di laut dan pantai perlu dipilih
tinggi dan periode gelombang individu yang dapat mewakili suatu spektrum gelombang yang disebut dengan gelombang representatif. Menurut Triatmodjo (1999), apabila tinggi gelombang dari suatu pencatatan diurutkan dari nilai tertinggi ke terendah dan sebaliknya, maka dapat ditentukan tinggi Hn yang merupakan rerata dari n persen gelombang tertinggi sehingga didapatkan karakteristik gelombang alam dalam bentuk gelombang tunggal. Menurut Triadmodjo (1999), bentuk gelombang representatif yang paling banyak digunakan adalah tinggi gelombang signifikan (Hs). Gelombang signifikan merupakan tinggi atau periode gelombang rerata dari 33% atau sepertiga gelombang tertinggi dari pencatatan gelombang seperti pada persamaan I.7 dan I.8. 𝐻𝑆 = 𝐻33% = 𝑇𝑆 = 𝑇33% =
∑ 𝐻𝑖 𝑓𝑖 ∑ 𝑓𝑖 ∑ 𝑇𝑖 𝑓 𝑖 ∑ 𝑓𝑖
........................................................................................... I.7
............................................................................................. I.8
Dalam hal ini: H33%, T33%
: tinggi dan periode gelombang rerata dari 33%
f
: frekuensi kejadian
I.8.3.
Pembangkitan Gelombang oleh Angin Angin yang berhembus di atas permukaan air dapat memindahkan energinya ke
air. Kecepatan angin menimbulkan tegangan pada permukaan laut, sehingga permukaan air yang semula tenang dapat terganggu dan timbul riak gelombang kecil di atas permukaan air. Apabila kecepatan angin bertambah, riak tersebut menjadi semakin besar, dan apabila angin berhembus terus akhirnya dapat terbentuk gelombang. Semakin lama dan semakin kuat angin berhembus, semakin besar gelombang yang terbentuk (Triadmodjo, 1999).
13
Menurut Sorensen (1938), tinggi dan periode gelombang yang dibangkitkan dipengaruhi oleh angin yang meliputi kecepatan angin U, lama hembus angin/durasi td, arah angin, dan fetch F. Fetch adalah daerah dimana kecepatan dan arah angin adalah konstan. Arah angin masih bisa dianggap konstan apabila perubahanperubahannya tidak lebih dari 15o. Sedangkan kecepatan angin masih dianggap konstan jika perubahannya tidak lebih dari 5 knot (2,5 m/dt) terhadap kecepatan rerata. Panjang fetch membatasi waktu yang diperlukan gelombang untuk terbentuk karena pengaruh angin, jadi mempengaruhi waktu mentransfer energi angin ke gelombang. Fetch berpengaruh pada periode dan tinggi gelombang yang dibangkitkan. Gelombang dengan periode panjang dapat terjadi jika fetch besar. Gelombang di lautan bisa mempunyai periode 20 detik atau lebih, tetapi pada umumnya berkisar antara 10 sampai dengan 15 detik. Suatu daerah dengan fetch tak terbatas dapat menghasilkan gelombang dengan periode dan tinggi rata-rata tertentu. Tinggi gelombang pada kondisi tersebut tidak dapat bertambah terus dan mencapai maksimum pada saat energi yang didapat dari angin seimbang dengan energi yang hilang karena adanya turbulensi maupun pecahnya gelombang. Keadaan ini disebut fully developed sea (Yuwono, 1982) I.8.3.1. Pengaruh topografi terhadap angin. Menurut Pasaribu (2010), kondisi topografi sangat berpengaruh terhadap arah dan kecepatan angin. Angin yang bertiup cenderung naik apabila mengenai topografi berupa gunung dan bergerak lurus apabila mengenai dataran. Angin yang bergerak di daratan mengikuti keadaan topografi daratan. Daerah lembah memiliki angin yang kencang karena bukit disekitarnya berfungsi sebagai pengarah angin, sehingga angin yang berhembus di lembah semakin kencang. Gambar I.5 menunjukkan pengaruh kondisi topografi terhadap angin.
Gambar I.5. Pengaruh topografi terhadap angin (Pasaribu, 2010)
14
I.8.3.2. Distribusi kecepatan angin. Distribusi kecepatan angin di atas permukaan laut terbagi dalam tiga daerah sesuai dengan elevasi di atas permukaan (U.S. Army, 1984) seperti yang ditunjukkan oleh Gambar I.6.
Daerah Geostropik
Daerah Eikman
Daerah Tegangan Konstan Kekasaran Permukaan (zo) Gambar I.6. Distribusi vertikal kecepatan angin (U.S. Army, 1984) Keterangan Gambar I.6: z
: elevasi kecepatan angin Di daerah geostropik berada pada elevasi di atas 1000 m, kecepatan angin
sebagian besar dipengaruhi oleh keseimbangan geostropik antara gaya koriolis dan gradien tekanan. Di bawah elevasi tersebut terdapat dua daerah yaitu daerah Eikman yang berada pada elevasi 100 m s.d 1000 m dan daerah dengan elevasi 10 m s.d 100 m, di mana pada elevasi tersebut tegangan konstan. Pada kedua daerah tersebut kecepatan dan arah angin berubah sesuai dengan elevasi, karena adanya gesekan dengan permukaan laut dan perbedaan temperatur antara air dan udara (Triatmodjo, 1999). Di daerah tegangan konstan, profil vertikal dari kecepatan angin mempunyai bentuk seperti pada persamaan I.9. U(z) =
U∗ 𝑘
z
z
{ln (z ) − ψ L} .................................................................................... I.9 0
Dalam hal ini: U*
: kecepatan geser (m/dt)
k
: koefisien Von Karman (= 0,4)
15
z
: elevasi terhadap permukaan air (m)
z0
: kekasaran permukaan
ψ
: fungsi yang tergantung pada perbedaan temperatur antara air dan udara
L
: panjang gelombang yang tergantung pada perbedaan temperatur antara air dan udara (ΔTas) (m) Menurut Triatmodjo (1999), untuk memperkirakan pengaruh kecepatan angin
terhadap pembangkitan gelombang, parameter ΔTas, U*, dan z0 harus diketahui. Rumus atau grafik yang digunakan untuk memprediksi pembangkitan gelombang didasarkan pada kecepatan angin yang diukur pada z = 10 m. Apabila angin tidak diukur pada elevasi 10 m, maka kecepatan angin harus dikonversi pada elevasi tersebut. Pemakaian persamaan I.9 menjadi sulit apabila tidak ditentukan terlebih z
dahulu parameter U*, z0, dan ψ L. Untuk itu dapat digunakan persamaan I.10 berikut yang lebih sederhana dan hanya berlaku pada z ≤ 20 m. 1
𝑈(10) =
10 7 U(z) ( z )
............................................................................................. (I.10)
Dalam hal ini: U(10)
: kecepatan angin pada elevasi 10 m (m/dt)
U(z)
: kecepatan angin pada elevasi z m (m/dt) I.8.3.3. Data angin. Data angin yang digunakan untuk peramalan gelombang
adalah data di permukaan laut pada lokasi pembangkitan. Data tersebut dapat diperoleh dari pengukuran langsung di atas permukaan laut atau pengukuran di darat di dekat lokasi peramalan yang kemudian dikonversi menjadi data angin di laut (Triatmodjo, 1999). Menurut U.S. Army (1984), biasanya data angin dapat digunakan untuk peramalan pembangkitan gelombang sampai dengan jarak 16 km dari stasiun pengamatan. Data angin dicatat tiap jam untuk mengetahui kecepatan tertentu dan durasinya, kecepatan angin maksimum, arah angin, dan dapat pula dihitung kecepatan angin rerata harian. Jumlah data angin untuk beberapa tahun pengamatan sangat banyak, untuk itu data tersebut harus diolah dan disajikan dalam bentuk tabel atau diagram yang disebut dengan wind rose (Hidayat, 2005). Gambar I.7 menunjukkan penyajian data angin dalam bentuk wind rose. Gambar tersebut menunjukkan persentase kejadian
16
angin dengan kecepatan tertentu dari berbagai arah dalam periode waktu pencatatan. Garis-garis radial pada wind rose tersebut menunjukkan arah angin dan tiap lingkaran menunjukkan persentase kejadian angin dalam periode waktu pengamatan.
Gambar I.7. Wind rose (NCSU, 2014) I.8.3.4. Skala beaufort. Skala beaufort adalah ukuran empiris yang berkaitan dengan kecepatan angin untuk pengamatan kondisi di darat atau di laut. Skala ini ditemukan oleh Francis Beaufort pada tahun 1805. Beaufort mengukur kecepatan angin dengan menggambarkan pengaruhnya pada kecepatan kapal dan gelombang air laut. Semakin besar angka skala beaufort, maka semakin kencang angin berhembus dan bahkan bisa semakin merusak. Menurut Wallbrink dan Koek (2009) pada akhir abad ke 19 beberapa ilmuwan melakukan penelitian untuk menentukan skala kecepatan
angin
yang
ekuivalen
dengan
skala
beaufort.
WMO
(World
Meteorological Organization) pada tahun 1941 mengeluarkan hasil penelitian mengenai ekuivalensi kecepatan angin berdasarkan skala beaufort. Penelitian ini mengacu pada kecepatan angin dengan elevasi 10 m. Tabel I.1 berikut menunjukkan ekuivalensi kecepatan angin berdasarkan skala beaufort yang dikeluarkan oleh WMO.
17
Tabel I.1. Ekuivalesi kecepatan angin menurut WMO berdasarkan skala beaufort (Wallbrink dan Koek, 2009) Skala
Kecepatan Angin
Jenis Angin
knots
km/jam
mi/jam
0
<1
<1
<1
1
1 s.d 3
1 s.d 5
1 s.d 4
Sedikit tenang
2
4 s.d 6
6 s.d 11
5 s.d 7
Sedikit hembusan angin
3
7 s.d 10
12 s.d 19
8 s.d 11
Hembusan angin pelan
4
11 s.d 16
20 s.d 29
12 s.d 18
Hembusan angin sedang
5
17 s.d 21
30 s.d 39
19 s.d 24
Hembusan angin sejuk
6
22 s.d 27
40 s.d 50
25 s.d 31
Hembusan angin kuat
7
28 s.d 33
51 s.d 61
32 s.d 38
Mendekati kencang
8
34 s.d 40
62 s.d 74
39 s.d 46
Kencang
9
41 s.d 47
76 s.d 87
47 s.d 54
Kencang sekali
10
48 s.d 55
88 s.d 102
55 s.d 63
Badai
11
56 s.d 63
103 s.d 118
64 s.d 73
Badai dahsyat
12
64+
119+
74+
Tenang
Badai topan
I.8.3.5. Konversi kecepatan angin. Data angin dapat diperoleh melalui pencatatan di permukaan laut dengan menggunakan kapal yang sedang berlayar atau pengukuran di darat. Sebagian besar pengukuran data angin memang dilakukan di darat (biasanya di bandara) sehingga untuk menghitung pembangkitan gelombang laut yang diakibatkan oleh angin harus melalui hitungan/konversi tertentu. Menurut U.S. Army (1984), terdapat lima faktor yang harus diperhatikan dalam melakukan konversi data angin untuk pembangkitan gelombang laut, yaitu: 1. Elevasi Jika pengukuran data angin tidak dilakukan pada elevasi 10 m, maka kecepatan angin harus dikoreksi dengan menggunakan persamaan I.10. 2. Durasi angin Durasi angin tercepat dapat diperoleh dari periode waktu yang singkat dan umumnya kurang dari dua menit (U.S. Army, 1984). Gambar I.8 berikut menunjukkan rasio kecepatan angin pada berbagai durasi.
18
Gambar I.8. Rasio kecepatan angin pada berbagai durasi, Ut,U3600 (Simiu dan Scanlan, 1978 dalam U.S. Army, 1984) 3. Koreksi kestabilan Apabila perbedaan temperatur antara di udara dengan laut ΔTas = 0, maka tidak diperlukan adanya koreksi kestabilan pada data angin. Koreksi kestabilan data angin dapat dilakukan dengan persamaan I.II. U* = RT U(10) ................................................................................................. I.11 Dalam hal ini angka koreksi kestabilan (RT) dapat dibaca pada Gambar I.9.
Perbedaan temperatur di udara dan laut (Ta – Ts)oC
Gambar I.9. Nilai RT berdasarkan perbedaan temperatur di udara (Ta) dan laut (Ts) (Resio dan Vincent, 1977 dalam U.S. Army, 1984)
19
Jika pada pengukuran di lapangan tidak diketahui informasi temperatur baik di udara maupun di laut, maka nilai RT dapat diasumsikan 1,1. 4. Efek lokasi Pengukuran angin selama ini sebagian besar dilakukan di daratan, sedangkan untuk pembangkitan gelombang data angin yang digunakan adalah data angin di permukaan laut. Oleh karena itu perlu dilakukan transformasi dari data angin di atas daratan yang terdekat dengan lokasi studi ke data angin di atas permukaan laut. Hubungan antara angin di atas laut dan angin di atas daratan terdekat diberikan oleh persamaan I.12. RL =
UW UL
........................................................................................................ I.12
Dalam hal ini: RL : rasio kecepatan angin di permukaan laut dan di darat UW : kecepatan angin di permukaan laut (m/dt) UL : kecepatan angin di darat (m/dt)
Gunakan RL = 0,9 Untuk UL > 18,5 m/d (41,5 mil/jam)
Kecepatan angin pada elevasi 10 m
Gambar I.10. Hubungan antara kecepatan angin di laut dan darat (Triatmodjo, 1999) Gambar I.10 menjelaskan hubungan antara kecepatan angin di darat dan di laut dengan menggunakan data kecepatan angin pada elevasi 10 m.
20
5. Faktor tegangan angin (wind stress factor) Tegangan angin merupakan salah faktor yang harus diperhatikan dalam pembangkitan gelombang dan dapat dihitung dari kecepatan angin yang telah dilakukan berbagai konversi kecepatan angin. Kecepatan angin dikonversikan pada faktor tegangan angin dengan menggunakan persamaan I.13. UA = 0,71 U1,23 .............................................................................................. I.13 Dalam hal ini U adalah kecepatan angin yang telah dikonversi dalam m/dt dan UA adalah kecepatan hasil koreksi tegangan angin (m/dt). I.8.3.6. Fetch. Fetch didefinisikan sebagai daerah yang dipengaruhi oleh angin dan arahnya konstan (Akhir, 2011). Di daerah pembentukan gelombang, gelombang tidak hanya dibangkitkan dalam arah yang sama dengan arah angin tetapi juga dalam berbagai sudut terhadap arah angin. Fetch rerata efektif diberikan oleh persamaan I.14. 𝐹𝑒𝑓𝑓 =
∑ 𝑋𝑖 𝑐𝑜𝑠 𝛼 ∑ 𝑐𝑜𝑠 𝛼
.................................................................................................. I.14
Dalam hal ini: Feff
: fetch rerata efektif
Xi
: panjang segmen fetch yang diukur dari titik observasi gelombang ke ujung akhir fetch (m)
α
: deviasi pada kedua sisi dari arah angin, dengan menggunakan pertambahan 6o sampai sudut sebesar 42o pada kedua sisi dari arah angin Menurut Triatmodjo (1999), asumsi yang digunakan untuk mencari fetch
efektif adalah sebagai berikut: a. Angin berhembus melalui permukaan air melalui lintasan yang berupa garis tegak lurus. b. Angin berhembus dengan mentransfer energinya dalam arah gerakan angin menyebar dalam radius 42o terhadap sisi kiri dan kanan arah angin dominan. c. Angin mentansfer satu unit energi pada air dalam arah pergerakan angin dan ditambah satu satuan energi yang ditentukan oleh harga cosinus sudut antara jarijari terhadap arah angin. d. Gelombang diabsorpsi secara sempurna di pantai.
21
I.8.4.
Pembangkitan Gelombang di Laut Dalam Peramalan gelombang banyak dilakukan untuk berbagai tujuan dalam kegiatan
teknik pantai seperti studi pelabuhan, struktur pantai, erosi pantai dan transport sedimen, studi lingkungan, dan estimasi energi gelombang (Akpinar dkk, 2014). Untuk memenuhi tujuan tersebut maka telah dikembangkan berbagai metode seperti metode empiris, metode numeris, dan metode komputasi. Peramalan gelombang dengan metode empiris mengasumsikan bahwa pembangkitan gelombang memiliki faktor utama yaitu kecepatan angin (U), panjang fetch (F), dan durasi angin (td). Metode empiris seperti SMB, Wilson, JONSWAP, dan CEM merupakan contoh dari metode yang sederhana untuk meramalkan gelombang dalam kondisi tertentu. I.8.4.1. Metode SMB. Metode SMB pada awalnya dikemukakan oleh Sverdrup dan Munk pada tahun 1974 dan kemudian dikembangkan oleh Bretschneider pada tahun 1952 dan 1958 berdasarkan penelitian yang dilaksanakan di Danau Ontario (Bishop, 1983 dalam Etemad-Shahidi dkk, 2009). Menurut Bretschneider (1964), kecepatan angin (UA) yang bertiup sepanjang fetch (F) menghasilkan komponen gelombang dengan persamaan I.15 dan I.16. 𝑔𝐻 𝑈𝐴 𝑔𝑇 𝑈𝐴
𝑔𝐹
2
= 0,283 𝑡𝑎𝑛ℎ [0,0125 (𝑈 2 ) 𝐴
𝑔𝐹
0,25
= 2,4π 𝑡𝑎𝑛ℎ [0,077 (𝑈 2 ) 𝐴
0,42
] .............................................................. I.15
] ................................................................... I.16
Dalam hal ini: H
: tinggi gelombang (m)
T
: periode gelombang (dt)
F
: panjang fetch (m) Nilai fetch (F) yang digunakan tergantung pada kondisi gelombang.
Gelombang dikatakan kondisi duration limited apabila nilai t ≤ tmin. Pada kondisi ini nilai fetch yang digunakan adalah nilai minimum dengan persamaan I.7 dan I.8. 𝑡𝑚𝑖𝑛 = 56505,6 𝑔𝑡𝑚𝑖𝑛 𝑈𝐴
𝑈𝐴 𝑔
........................................................................................... I.17
𝑔𝐹𝑚𝑖𝑛 0,67
= 68,8 (
𝑈𝐴 2
)
................................................................................... I.18
Dalam hal ini: tmin
: durasi minimum (dt)
22
Fmin
: fetch minimum (m) Apabila panjang Feff ≤ Fmin maka gelombang berada pada kondisi fetch limited.
Penghitungan tinggi dan periode gelombang menggunakan persamaan (I.15) dan (I.16) dengan nilai F merupakan nilai fetch efektif (Feff). Kedua kondisi tersebut merupakan kondisi gelombang non fully developed sea. Kondisi fully developed sea merupakan kondisi dimana gelombang yang dibangkitkan oleh angin tidak terbatas oleh fetch (Feff ≥ Fmax) sehingga tinggi gelombang berhenti untuk bertambah diakibatkan tercapainya keseimbangan antara energi yang dibangkitkan oleh angin dengan pengurangan energi oleh pecahnya gelombang (Triatmodjo, 1999). Pada kondisi ini tinggi dan periode gelombang didapatkan dengan menggunakan persamaan I.15 dan I.16 dengan nilai F merupakan nilai fetch efektif (Feff). I.8.4.2. Metode Wilson. Wilson (1965) mengemukakan bentuk persamaan pembangkitan geombang oleh angin dengan menggunakan nilai U10. Komponen gelombang dapat diselesaikan dengan persamaan I.19, I.20 dan I.21. 𝐻 = 0,30 𝑇 = 8,61
𝑈10 2 𝑔 𝑈10 𝑔
0,5 −2
𝑔𝐹
[1 − [1 + 0,004 (𝑈
10
𝑔𝐹
[1 − [1 + 0,008 (𝑈
10
2)
] ] ................................................... I.19
0,33 −5
2)
] ] ................................................... I.20
𝑡𝑚𝑖𝑛 = 1,0 𝐹 0,73 𝑈10 −0,46 ................................................................................... I.21 Persamaan I.19 dan I.20 digunakan pada kondisi fetch limited, duration limited maupun fully developed sea. Pada kondisi fetch limited dan fully developed, nilai F yang digunakan adalah Feff dan pada kondisi duration limited digunakan Fmin yang dihitung berdasarkan persamaan I.21 (Akpinar, 2014). I.8.4.3. Metode JONSWAP. JONSWAP merupakan kegiatan kerjasama yang dilakukan oleh sejumlah peneliti di Inggris, Belanda, Amerika Serikat, dan Jerman untuk mendapatkan data gelombang sehingga dapat dilakukan pengembangan fungsi gelombang secara empiris berdasarkan hasil penelitian di 13 lokasi yang terletak sepanjang 160 km dari Pulau Sylt di Jerman ke arah North Sea (Hasselmann dkk, 1973). Komponen gelombang yang dibangkitkan oleh angin diselesaikan dengan persamaan I.22, I.23, dan I.24. 𝐻 = 0,0163 𝐹 0,5 𝑈10 ........................................................................................... I.22
23
𝑇 = 0,439 𝐹 0,3 𝑈10 0,4 .......................................................................................... I.23 𝑡𝑚𝑖𝑛 = 1,167
𝐹0,7 𝑈10 0,4
............................................................................................ I.24
Persamaan I.22 dan I.23 digunakan pada kondisi fetch limited, duration limited maupun fully developed sea. Pada kondisi fetch limited dan fully developed, nilai F yang digunakan adalah Feff dan pada kondisi duration limited digunakan Fmin yang dihitung berdasarkan persamaan I.24 (Akpinar dkk, 2014). I.8.4.4. Metode CEM. CEM disusun untuk menyediakan panduan terkait kegiatan teknik pantai melalui pengembangan kombinasi antara metode JONSWAP dengan asumsi bahwa medan gelombang lokal merambat pada kecepatan mendekati 0.85 kali kecepatan pada gelombang spektral puncak (U.S. Army, 2006). Komponen gelombang yang dibangkitkan oleh angin diselesaikan dengan persamaan I.25, I.26, dan I.27. 𝑔𝐻 𝑈∗
2
𝑔𝑇 𝑈∗
𝑔𝐹 0,5
= 4,13 × 10−2 (𝑈 2 ) ∗
𝑔𝐹 0,33
= 0,651 (𝑈 2 ) ∗
𝑡𝑚𝑖𝑛 = 77,23
............................................................................... I.25
......................................................................................... I.26
𝐹0,67 𝑈10 0,34 𝑔0,33
.................................................................................... I.27
Persamaan I.25 dan I.26 digunakan pada kondisi fetch limited dan duration limited. Pada kondisi fetch limited, nilai F yang digunakan adalah Feff dan pada kondisi duration limited digunakan Fmin yang dihitung berdasarkan persamaan I.28 (U.S. Army, 2006). 𝑔𝐹 𝑈∗ 2
𝑔𝑡 1,5
= 5,23 × 10−3 (𝑈 ) ∗
................................................................................. I.28
Kondisi fully developed sea diselesaikan dengan persamaan I.29, I.30, dan I.31. 𝑔𝐻 𝑈∗ 2 𝑔𝑇 𝑈∗ 𝑔𝐹 𝑈∗ 2
= 2,115 × 102 ............................................................................................ I.29 = 2,398 × 102 ............................................................................................ I.30 =
𝐹0,67 𝑈10 0,34 𝑔0,33
................................................................................................ I.31
24
I.8.4.5. Analisis
statistik
antar
metode.
Menurut
Akpinar
(2014),
perbandingan antar metode pembangkitan gelombang oleh angin dapat dilakukan menggunakan MAE. Sementara Etemad-Shahidi dkk (2009) menggunakan analisis nilai
scatter
index
untuk
membandingkan
kualitas/akurasi
antar
metode
pembangkitan. MAE adalah rata-rata mutlak dari kesalahan peramalan data, tanpa menghiraukan tanda positif maupun negatif yang dihitung berdasarkan persamaan I.32. MAE mengukur seberapa jauh nilai hasil prediksi dari nilai yang dianggap benar. 1
𝑀𝐴𝐸 =
𝑁
∑𝑁 𝑖=1|𝑦𝑖 − 𝑥| .................................................................................... I.32
Dalam hal ini: N
: jumlah data
yi
: data hasil prediksi
x
: nilai yang dianggap benar (nilai rerata) Dalam statistik, scatter index adalah angka yang menunjukkan seberapa baik
data yang cocok dengan metode atau model statistik dan memberikan ukuran seberapa baik hasil yang diprediksi tersebut direplikasi oleh variabel terkait, sebagai proporsi dari total variasi hasil yang dijelaskan oleh model (Etemad-Shahidi dkk, 2009). Nilai scatter index didapatkan dari persamaan I.3. 𝑆𝐼 =
1 𝑁
2 √ ∑𝑁 𝑖=1(𝑦𝑖 −𝑥) 1 𝑁 ∑ 𝑥 𝑁 𝑖=1
............................................................................................ I.33
Dalam hal ini: SI I.8.5.
: nilai scatter index Interpolasi Linier Interpolasi linier adalah suatu bentuk interpolasi untuk menentukan titik-
titik antara dari titik-titik yang diketahui menggunakan fungsi pendekatan yang berupa fungsi linier. Selanjutnya diperoleh sejumlah titik antara dua titik (Fikri, 2014). Apabila diketahui dua titik P1 (a1,b1) dan P2 (a2,b2), maka titik antara dua titik P1 dan P2 tersebut dapat dihitung menggunakan pendekatan garis lurus seperti pada Gambar I.11.
25
P2 (a2,b2) O (a,b)
P1 (a1,b1)
Gambar I.11. Grafik interpolasi linier (Fikri, 2014) Secara geometris, peramalan garis yang menghubungkan titik P1 (x1,y1) dan P2 (x2,y2), dapat dinyatakan oleh persamaan I.34. 𝑏−𝑏1 𝑏2 −𝑏1
𝑎−𝑎1
=𝑎
2 −𝑎1
..................................................................................................... I.34
Dalam hal ini: 𝑎1,𝑏1 : titik 1 𝑎2,𝑏2 : titik 2 𝑎,𝑏 : titik yang diinterpolasikan nilainya I.8.6.
Profil Dasar Laut Panorama permukaan dasar laut atau morfologi merupakan gambaran dasar
laut yang umumnya berkaitan dengan proses-proses geologi dari pembentukan dan perkembangannya baik secara sendiri-sendiri maupun secara kelompok. Menurut Heliani (2009), berdasarkan bentuknya, morfologi dasar laut dapat dikelompokkan seperti berikut: 1. Shelf yaitu dasar samudera yang dangkal sepanjang pantai yang mempunyai kedalaman kurang dari 200 m. 2. Basin, dikenal juga dengan lubuk laut. Lubuk laut merupakan cekungan di dasar laut yang bentuknya sama dengan danau. 3. Palung laut (trench/trough), merupakan dasar laut yang menyerupai lembah yang dalam dan memanjang. 4. Ambang laut, merupakan bentukan di dasar laut seperti bukit memanjang yang memisahkan dua laut. 5. Punggung laut, merupakan punggungan rangkaian pegunungan di dasar laut dan puncaknya tidak muncul ke permukaan laut. 6. Mid oceanic ridge, merupakan punggungan yang terbentuk akibat tenaga tektonik vertikal di tengah samudera.
26
Gambar I.12 menyajikan morfologi dasar laut yang terdiri dari shelf, slope, rise, basin, mid-ocean ridge, gunung api laut, palung, dan island arc.
Gambar I.12. Morfologi dasar laut (Heliani, 2009) Sedangkan berdasarkan kedalamannya laut dibedakan menjadi empat wilayah (zona) yaitu: 1. Zona Lithoral, adalah wilayah pantai atau pesisir. Di wilayah ini terjadi pasang surut air laut. 2. Zona Neritic (wilayah laut dangkal), yaitu dari batas wilayah pasang surut hingga kedalaman 150 m. 3. Zona Bathyal (wilayah laut dalam), adalah wilayah laut yang memiliki kedalaman antara 150 m hingga 1800 m. 4. Zone Abyssal (wilayah laut sangat dalam), yaitu wilayah laut yang memiliki kedalaman di atas 1800 m. I.8.7.
Pembangkit Listrik Tenaga Gelombang Laut Energi yang berasal dari gelombang laut dapat dimanfaatkan untuk memutar
turbin dan menggerakkan generator sehingga dapat dihasilkan listrik yang bermanfaat untuk kehidupan manusia, utamanya masyarakat sekitar pembangkit. Dalam sistem pembangkitan listrik menggunakan tenaga gelombang laut, ada beberapa komponen yang berperan mulai dari awal proses pembangkitan hingga tenaga listrik yang dihasilkan. Menurut Wijaya (2010), komponen-komponen tersebut adalah sebagai berikut: a. Mesin konversi energi gelombang laut Mesin konversi energi gelombang laut berfungsi untuk menyalurkan energi kinetik yang dihasilkan oleh gelombang laut yang kemudian dialirkan ke turbin.
27
b. Turbin Turbin berfungsi untuk mengubah energi kinetik gelombang menjadi energi mekanik yang dihasilkan oleh perputaran rotor pada turbin. c. Generator Di dalam generator ini energi mekanik dari turbin dirubah menjadi energi listrik. Sistem pembangkitan listrik dengan menggunakan tenaga gelombang laut dapat dijelaskan melalui Gambar I.13. Energi gelombang laut
Mesin konversi energi gelombang laut
Turbin
Generator
Transmisi
Gambar I.13. Skema sistem PLTGL (Wijaya, 2010) Aliran gelombang laut yang mempunyai energi kinetik masuk ke dalam mesin konversi energi gelombang untuk kemudian dialirkan menuju turbin dan digunakan untuk memutar rotor. Perputaran rotor menghasilkan energi mekanik yang disalurkan ke generator untuk dirubah menjadi energi listrik. Energi listrik yang dihasilkan dialirkan lagi menuju sistem transmisi melalui kabel laut. I.8.5.1. Teknologi OWC. Teknologi pembangkitan listrik OWC merupakan pemanfaatan energi gelombang dengan menggunakan chamber. Teknologi OWC ditempatkan di laut dan arahnya menghadap gelombang datang (incident wave). Gelombang menjalar menuju lubang di depan OWC, sebagian energi gelombang direfleksikan dan sebagian ditransmisikan dalam chamber melalui lubang tersebut. Muka air di dalam chamber mengalami fluktuasi naik dan turun. Saat muka air naik di dalam chamber, tekanan udara di dalam chamber membesar dan lebih besar dari tekanan udara di luar sehingga terjadi aliran udara keluar, mengakibatkan turbin yang dihubungkan dengan generator berputar, sehingga menghasilkan listrik. Saat air di dalam chamber turun, tekanan udara di dalam chamber menurun dan lebih kecil dari tekanan atmosfir sehingga terjadi aliran udara dari luar menuju chamber yang mengakibatkan berputarnya turbin dengan generatornya, sehingga juga menghasilkan listrik. Proses naik turunnya muka air ini berlangsung terus-menerus, sehingga turbin terus berputar, sehingga dapat dihasilkan energi listrik secara terus-
28
menerus (Wijaya, 2010). Gambar I.14 menunjukkan skema PLTGL dengan teknologi OWC.
Gambar I.14. Skema pembangkit listrik teknologi OWC (BPDP, 2004 dalam Rofiah, 2006) Pada kondisi laut sebenarnya, sangat memungkinkan sekali terjadi variasi arah datang gelombang laut baik tinggi maupun periodenya. Terjadinya variasi arah datang gelombang ini, berpengaruh pada pemilihan penggunaan bentuk penampang alat konversi. Menurut Wijaya (2010), teknologi OWC sangat sesuai dibangun di daerah dengan topografi dasar laut yang tidak terlalu curam dan memiliki ketinggian gelombang laut yang relatif konstan. Selain itu teknologi ini juga tidak memerlukan daerah konstruksi yang luas. I.8.5.2. OWC model Energetech. Teknologi OWC model Energetech merupakan model pembangkit listrik yang ideal untuk diterapkan di perairan Jamali yakni di Tangerang, Semarang, Cilacap, Banyuwangi, Surabaya, Kalianget dan Denpasar (Wijaya, 2010). Perairan Jamali memiliki kondisi topografi dasar laut yang tidak curam dan ketinggian gelombang laut relatif konstan. Model Energetech ini biasanya ditempatkan pada kedalaman laut mulai dari perairan dangkal hingga kedalaman 50 m (Wijaya, 2010). Menurut EPRI (2004), model Energetech memiliki lebar 10 m dan panjang 18 m. Model Energetech menggunakan parabolic focusing wall yang lebarnya 35 m dan berfungsi untuk memfokuskan pergerakan gelombang laut menuju OWC. Model ini dipasang dengan cara ditambatkan di dasar laut dengan menggunakan beberapa
29
buah kaki (piles). Spesifikasi dan prototype OWC desain Energetech dapat dilihat pada Tabel I.2 dan Gambar I.15. Tabel I.2. Spesifikasi model Energetech (EPRI, 2004) Spesifikasi Energetech Lebar parabolic focusing wall
35 m
Berat struktur baja
450 ton
Lebar perangkat tengah
60 s.d 90 m
Nilai daya
Sampai 2 MW
Power take off
Bervariasi tergantung diameter turbin di udara
Kedalaman air
Sampai kedalaman 50 m
Gambar I.15. Prototype OWC desain Energetech (EPRI, 2004) I.8.8.
Energi dan Daya Gelombang Laut Dalam menghitung besarnya energi gelombang laut dengan model pembangkit
OWC, hal yang harus diketahui adalah ketersediaan energi gelombang laut. Total energi gelombang dapat diketahui dengan menjumlahkan besarnya energi kinetik dan energi potensial yang dihasilkan oleh gelombang laut tersebut (Rofiah, 2006). I.8.6.1. Energi gelombang. Energi total suatu gelombang panjang merupakan penjumlahan dari energi kinetik dan energi potensial. Energi kinetik gelombang adalah energi yang disebabkan oleh kecepatan partikel air karena adanya gerak gelombang, sedangkan energi potensial gelombang merupakan energi yang dihasilkan oleh perpindahan muka air karena adanya gelombang (Triatmodjo, 1999). Besarnya energi kinetik persatuan lebar untuk satu panjang gelombang diperoleh dari persamaan I.35 (Sorensen, 1938).
30
𝐿
0 1
𝐸𝑘 = ∫0 ∫−𝑑 2 𝜌 𝑑𝑥 𝑑𝑦 (𝑢2 + 𝑣 2 ) ..................................................................... I.35 Dalam hal ini: Ek
: energi kinetik (joule)
dx
: komponen koordinat vertikal
dy
: komponen koordinat horizontal
u,v
: komponen kecepatan partikel horisontal dan vertikal Komponen kecepatan horisontal (u) dan vertikal (v) berbentuk persamaan I.36
dan I.37. 𝑢= 𝑣=
𝜋𝐻 𝑐𝑜𝑠ℎ 𝑘 (𝑑+𝑦) 𝑇
{
} 𝑐𝑜𝑠 (𝑘𝑥 − 𝜎𝑡) ................................................................ I.36
𝑠𝑖𝑛ℎ 𝑘𝑑
𝜋𝐻 𝑠𝑖𝑛ℎ 𝑘 (𝑑+𝑦) 𝑇
{
𝑠𝑖𝑛ℎ 𝑘𝑑
} 𝑠𝑖𝑛 (𝑘𝑥 − 𝜎𝑡) ................................................................. I.37
Jika 1.36 dan 1.37 disubtitusikan pada 1.35 maka diperoleh persamaan I.38. 𝐸𝑘 =
𝜌𝑔𝐻 2 𝐿 16
......................................................................................................... I.38
Dalam hal ini,: ρ
: rho = berat jenis air (kg/m3)
g
: gravitasi bumi (m/dt2) Energi potensial pe rsatuan lebar untuk satu panjang gelombang diperoleh dari
persamaan I.39. 𝐿
𝐸𝑝 = ∫0 𝑝𝑔(𝑑 + ) (
𝑑+ 2
𝑑
) 𝑑𝑥 − 𝑝𝑔𝑑𝐿 ( 2 ) ..................................................... I.39
Dalam hal ini: Ep
: energi potensial (joule)
: fluktuasi muka air terhadap muka rerata
dL
: komponen panjang gelombang
d
: kedalaman air (m)
Profil muka air () mempunyai fungsi ruang (x) dan waktu (t) yang besarnya seperti pada persamaan I.40. 𝐻
𝜂(𝑥, 𝑡) = 2 𝑐𝑜𝑠(𝑘𝑥 − 𝜎𝑡) ................................................................................... I.40 Untuk t = 0, maka energi potensial seperti pada persamaan I.41. 𝐸𝑝 =
𝜌𝑔𝐻 2 𝐿 16
......................................................................................................... I.41
31
Dengan demikian total energi di dalam sebuah gelombang persatuan lebar panjang gelombang seperti pada persamaan I.42. 𝐸𝑡 = 𝐸𝑘 + 𝐸𝑝 =
𝑝𝑔𝐻 2 𝐿 8
....................................................................................... I.42
Dalam hal ini: Et : energi total (joule) I.8.6.2. Daya gelombang. Besar daya gelombang menurut Hulls (1981) dalam Kadir (1995), daya yang terkandung di dalam gelombang dapat dihitung dengan persamaan I.42. 𝐻2
𝑃 = 𝜌𝑔𝑇𝜋 64 ...................................................................................................... I.43 Dalam hal ini: P : daya (W) I.8.6.3. Persamaan energi gelombang pada OWC. Gelombang untuk pembangkitan energi listrik ini, kapasitas dan efesiensinya tergantung dengan teknologi yang digunakan. Energi per satuan luas (energy density) dihitung dengan menggunakan persamaan I.44. 𝐸
𝐸𝐷 = 𝜆𝑤𝑡 =
0,195𝑤𝜌𝑔𝐻 2 𝑇 2 1,56𝑇 2 𝑤
1
= 8 𝜌𝑔𝐻 2 ................................................................... I.44
Dalam hal ini: ED
: energy density (J/m2)
λ
: angka luas OWC (m)
w
: lebar gelombang = lebar chamber
(m)
Daya per satuan luas (power density) dihitung dengan menggunakan persamaan I.45. 𝑃
𝑃𝐷 = 𝜆𝑤 =
0,195𝑤𝜌𝑔𝐻 2 𝑇 1,56𝑇 2 𝑤
1
= 8𝑇 𝜌𝑔𝐻 2 ................................................................... I.45
Dalam hal ini: PD
: power density (W/m2) Persamaan 1.45 menjelaskan bahwa daya yang tersedia per satuan luas
gelombang (power density) berbanding lurus dengan kuadrat tinggi gelombang dan berbanding terbalik dengan periodenya. Sedangkan besar daya (power) yang dapat diperoleh tergantung luas chamber OWC.
32
I.9.
Hipotesis
Angin yang berhembus di atas permukaan air dapat memindahkan energinya ke air sehingga menimbulkan gelombang. Tinggi dan periode gelombang yang dibangkitkan dipengaruhi oleh angin yang meliputi kecepatan angin U, lama hembus angin/durasi td, arah angin, dan fetch F. Hipotesis dalam penelitian ini adalah: 1. Semakin lama durasi angin bertiup dengan kecepatan yang semakin besar dan fetch yang lebih panjang dapat menghasilkan komponen gelombang yang lebih besar pula. 2. Hasil perhitungan dengan metode SMB memberikan nilai MAE dan scatter index yang lebih rendah dibandingkan dengan metode Wilson, JONSWAP, dan CEM.