BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Permintaan energi termasuk energi listrik di Indonesia cenderung meningkat pesat sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan pertambahan penduduk. Berdasarkan data statistik dari PT. Perusahaan Listrik Negara (PLN), sejak tahun 2008 permintaan akan energi listrik terus meningkat dengan rata-rata 7,5% dari tahun ke tahun. Dalam rangka memenuhi permintaan listrik di berbagai daerah maka diperlukan pembangunan jaringan listrik mulai dari pembangunan Gardu Induk (GI) sebagai sumber tenaga listrik maupun saluran transmisi sebagai media distribusi listrik. Salah satu program yang akan dilaksanakan PT.PLN adalah rencana pembangunan Gardu Induk di Ketahun beserta jaringan transmisinya sebesar 70 kV mulai dari Gardu Induk Ketahun sampai Giri Mulya Kabupaten Bengkulu Utara. Rencana pembangunan program ini tentunya membutuhkan informasi perkiraan biaya. Perkiraan biaya ini dapat dilakukan salah satunya melalui optimasi berdasarkan informasi-informasi yang terkait seperti panjang jalur, jumlah menara, tipe menara, panjang penghantar dan harga perkiraan besarnya pembangunan menara dan penghantar. Penelitian ini menitikberatkan optimasi biaya pembangunan saluran transmisi berupa Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) 70 kV Gardu Induk Ketahun hingga Giri Mulya. Salah satu metode optimasi yang menarik untuk diterapkan dalam penentuan perkiraan biaya untuk pembangunan jalur transmisi ini yaitu metode programma linear. Menurut Martin (1969), pada metode programma linear nilai dari suatu fungsi dapat dimaksimumkan maupun diminimumkan. Proses memaksimumkan maupun meminimumkan fungsi ini didasarkan pada kendala yang secara fungsional diwujudkan dalam persamaan syarat batas. Adapun nilai minimum maupun maksimum secara fungsional diwujudkan dalam persamaan fungsi tujuan. Hannuksela (2011) melakukan penelitian mengenai estimasi perhitungan biaya untuk pembangunan saluran transmisi seperti pengadaan material, komponen transmisi, dan lainnya.. Namun pada penelitian tersebut kondisi topografi tidak
1
2
menjadi parameter dalam perhitungan biaya. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk mengetahui estimasi total biaya yang dibutuhkan pada pengadaan jalur transmisi berdasarkan kondisi topografi menggunakan programma linear. Penelitian ini menggunakan kedua persamaan pada programma linear dengan fungsi tujuan dibuat minimum karena besarnya biaya untuk pembangunan jalur transmisi ini diharapkan seminimal mungkin, sedangkan syarat batas yang digunakan dalam optimasi berupa jarak antar menara sebagai konstanta pengali dan jumlah menara sebagai variabelnya serta total jarak pada setiap kelas kelerengan sebagai nilai persamaan syarat batas. Semua persamaan optimasi ini diselesaikan dengan Metode Simplex.
I.2. Rumusan Masalah Terdapat 2 rumusan masalah yang disampaikan dalam penelitian ini yaitu : 1. Bagaimana mendapatkan jumlah menara dan jumlah panjang penghantar dengan menyusun model optimasi untuk memperkirakan besarnya biaya yang dibutuhkan pada pembangunan jalur tansmisi SUTT 70 kV Ketahun Giri
Mulya
berdasarkan
kondisi
topografi
menggunakan
metode
programma linear. 2. Bagaimana menyelesaikan model optimasi yang telah disusun ini dengan menggunakan programma linear yang diselesaikan dengan metode simplex.
I.3. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk melakukan optimasi jumlah menara transmisi, panjang penghantar transmisi, dan total biaya untuk pengadaan transmisi SUTT 70 kV dengan menggunakan programma linear berbasiskan kondisi kelerengan topografi di sepanjang jalur transmisi SUTT 70 kV dari kecamatan Ketahun hingga kecamatan Giri Mulya Propinsi Bengkulu.
I.4. Manfaat Penelitian ini diharapkan mempunyai beberapa manfaat untuk peneliti maupun praktisi. Manfaat penelitian ini untuk peneliti diharapkan dapat digunakan sebagai referensi apabila akan dilakukan penelitian yang serupa dan juga dapat dijadikan
3
sebagai salah satu proses pembelajaran dalam penggunaan metode programma linear. Sedangkan manfaat penelitian ini untuk praktisi diharapkan dapat digunakan untuk pertimbangan dan pengambilan keputusan dalam pembangunan jalur transmisi SUTT 70 kV.
I.5. Batasan Masalah Batasan-batasan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah 1. Pemodelan untuk penentuan jumlah menara, panjang penghantar, dan total biaya pembangunan jalur tranmisi didasarkan pada data kelerengan sepanjang jalur transmisi. 2. Data kelerengan sepanjang jalur transmisi diturunkan berdasarkan peta situasi sepanjang jalur tranmisi. 3. Data harga tiap tipe menara dan penghantar diasumsikan berdasarkan studi pustaka Hannuksela (2011) untuk penentuan total biaya pembangunan jalur transmisi. 4. Penentuan kelas-kelas kelerengan jalur transmisi yang akan digunakan sebagai dasar pemodelan dibuat dengan mengacu kelas-kelas kelerengan pada USSSM. 5. Model optimasi diselesaikan dengan menggunakan metode simplex. 6. Aspek pembiayaan yang dioptimasi hanya meliputi pembiayaan pengadaan pembangunan jalur transmisi berupa pengadaan menara dan penghantar sedangkan aspek biaya pemetaan tidak dilibatkan, hanya digunakan sebagai data.
I.6. Tinjauan Pustaka Penelitian yang telah dilakukan oleh Heckman (2006) mengenai optimasi yang menggunakan metode simplex menyimpulkan bahwa metode tersebut dapat digunakan untuk mencari nilai yang optimal dalam suatu persamaan yang linier. Penelitian tersebut senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Kaviari (2002). Penelitian yang dilakukan oleh Kaviari (2002) terkait penggunaan metode simplex untuk optimasi. Pada penelitian tersebut, Kaviari menyimpulkan bahwa metode programma linier yaitu metode simplex memberikan kemudahan untuk mencari
4
bobot pengukuran optimal pada persoalan optimasi desain orde dua yang memenuhi syarat biaya minimal dan syarat ketelitian. Sementara Szabo dan Kovacs (2008) menyimpulkan bahwa metode simplex membutuhkan 2n – 3n iterasi dengan n adalah jumlah variabel. Adapun penelitian yang telah dilakukan Lumantono dkk. (2012) mengenai jalur transmisi SUTT 150 kV di sekitar Kabupaten Gresik dan Kota Surabaya, menjelaskan bahwa keadaan kondisi permukaan tanah yang tidak rata akan menyebabkan tiang menara mempunyai perbedaan tinggi antara satu dengan yang lainnya. Pada kondisi seperti ini perhitungan lendutan diklasifikasikan menjadi dua jenis berdasarkan kondisi menara penyangga pada saluran penghantar, yaitu menara yang tingginya sama dan menara yang tingginya berbeda. Salah satu hasil dari penelitian ini yaitu perhitungan lendutan transmisi SUTT 150 kV untuk dua menara yang sama tinggi sebesar 1,4 m – 6,683 m dan untuk dua menara yang berbeda tinggi (h = 1m) antara 0,9 m – 6,2 m. Migiantoro (2002) dalam
penelitiannya menyimpulkan bahwa semakin
panjang jarak span diantara dua menara, maka semakin tinggi nilai lendutan yang terjadi. Pada menara ke-30 yang merupakan span dengan jarak terpanjang (482.1 m), nilai lendutan mencapai nilai maksimum yaitu 19.00015 m untuk konduktor Alluminium Concuctor Steel Reinforced (ACSR). Penentuan jumlah menara berdasarkan panjang jalur transmisi pernah dilakukan oleh Kusnadi (2008) dalam penelitiannya mengenai sistem pakar perencanaan jalur saluran transmisi dan dimensi pondasi. Kusnadi (2008) merancang bangun desain dan prototipe sistem pakar pada SUTT. Salah satu yang diperhitungkan dalam prototipe tersebut adalah jumlah menara yang didapatkan dari panjang jalur transmisi SUTT dibagi dengan jarak antar menara yang minimal menurut Standar Perusahaan Listrik Negara (SPLN) kemudian ditambahkan dengan satu konstanta. Standar Nasional Indonesia (SNI) 04-6918-2002 mengenai Ruang bebas dan Jarak Bebas Minimum pada Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) dan Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) mempunyai dasar penetapan jarak gawang dasar. Jarak gawang dasar atau jarak antar menara minimum yang diperbolehkan untuk SUTT 66 kV untuk menara baja adalah sebesar 300m.
5
Penelitian mengenai estimasi perhitungan biaya untuk pembangunan saluran transmisi pernah dilakukan oleh Hannuksela (2011). Penelitian tersebut bertujuan memodelkan biaya yang dibutuhkan untuk pengadaan material, pengadaan komponen transmisi, dan pembangunan saluran transmisi tegangan tinggi. Perhitungan biaya tersebut mempertimbangkan perbedaan tipe menara, penghantar, kabel optis bawah tanah, dan komponen lain yang lebih kecil seperti insulator dan spacer. Penelitian yang dilakukan oleh Heckman (2006), Kaviari (2002), serta Szabo dan Kovacs (2008) berisi tentang penggunaan metode simplex untuk mencari nilai optimal dan proses perhitungan. Penelitian tersebut dapat digunakan sebagi acuan dalam proses perhitungan yang dilakukan, sedangkan penelitian lainnya yang ditinjau berisi tentang pengaruh beda tinggi dan jarak terhadap lendutan. Adapun penelitian yang dilakukan Hannuksela (2011) digunakan sebagai bahan pustaka dalam penentuan pengadaan biaya pada penelitian ini. Penelitian-penelitian tersebut digunakan sebagai rujukan dalam pertimbangan penentuan jarak antar menara, model optimasi, serta perhitungan biaya pengadaan menara dan penghantar. Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah ditinjau ini maka dilakukan optimasi desain jalur transmisi SUTT berdasarkan pengaruh topografi dengan menggunakan metode simplex untuk mencari jumlah menara dan panjang penghantar yang optimal.
I.7. Landasan Teori I.7.1. Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) 70 kV Menurut SNI 04-0225-2000 mengenai Persyaratan Umum Instalasi Listrik (PUIL) 2000, saluran transmisi adalah saluran listrik yang merupakan bagian dari suatu instalasi, biasanya terbatas pada konstruksi udara. Secara umum terdapat dua saluran transmisi yaitu saluran udara (overhead lines) dan saluran kabel tanah (underground cable). Saluran udara menyalurkan tenaga listrik melalui kawat-kawat yang dihubungkan antar menara atau tiang transmisi dengan perantara isolatorisolator, sedangkan saluran kabel tanah menyalurkan tenaga listrik melalui kabelkabel yang ditanam dibawah permukaan tanah. Saluran transmisi yang digunakan dalam penelitian ini adalah saluran udara.
6
Berdasarkan besar tegangan listrik yang disalurkan, saluran transmisi udara terbagi atas dua, yaitu: 1. Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT), mempunyai tegangan listrik di atas 35 kV sampai dengan 230 kV. 2. Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET), mempunyai tegangan diatas 230 kV Saluran transmisi terdiri dari empat komponen utama yaitu menara transmisi, isolator gantung, kawat penghantar, dan kawat tanah. Keuntungan dari saluran udara adalah mudah dalam perbaikan dan relatif lebih murah dalam pembangunan saluran transmisi, namun kekurangan dari saluran udara adalah kondisi yang terpengaruh cuaca dan faktor alam disekitarnya. Penelitian ini merupakan pembangunan saluran transmisi untuk 70 kV sehingga saluran transmisi tersebut merupakan bagian dari SUTT. Menara transmisi merupakan struktur penopang saluran transmisi yang terbuat dari berbagai material seperti baja, kayu, dan beton dan bisa berupa menara atau tiang. Penggunaan material dalam pembuatan menara transmisi tergantung dari penggunaannya. Menara yang terbuat dari baja biasa digunakan untuk SUTET sedang tiang yang terbuat dari baja , beton, dan kayu umumnya digunakan di SUTT dibawah 70 kV. Penggunaan menara transmisi berbeda sesuai dengan fungsinya. Berikut adalah jenis menara transmisi sesuai dengan fungsinya : 1. Dead end tower, yaitu menara akhir yang dipasang dekat Gardu Induk (GI). 2. Section tower, yaitu menara penyekat antar sejumlah menara penyangga untuk memudahkan saat pembangunan (penarikan kawat) 3. Suspension tower, yaitu menara penyangga 4. Tension tower, yaitu menara penegang yang dipasang ketika jalur transmisi belok 5. Transposision tower, yaitu menara penegang yang digunakan sebagai tempat untuk melakukan perubahan posisi kawat 6. Gantry tower, menara berbentuk portal yang digunakan pada persilangan antara dua jalur transmisi
7
7. Combined tower, menara yang digunakan oleh dua buah jalur transmisi dengan tegangan yang berbeda Menara yang digunakan jika jalur transmisi lurus akan berbeda dengan menara yang digunakan jika jalur transmisi belok. Bahkan besar sudut belok suatu jalur mempunyai jenis menara yang berbeda pula. Jenis menara yang dimaksud tersaji dalam tabel dibawah ini : Tabel I.1. Jenis menara SUTT 70 kV (PLN, 2007) Jenis Menara
Fungsi
Sudut
AA
Menara Penyangga
0° - 3°
BB
Menara Penegang atau menara penyekat
3° - 20°
CC
Menara Penegang
20° - 40°
DD
Menara Penegang
40° - 60°
EE
Menara Penegang
60° - 90°
FF
Menara Penegang
>90°
GG
Menara Penegang untuk posisi kawat
I.7.2. Penghantar SUTT 70 kV Penghantar merupakan salah satu dari komponen-komponen utama saluran transmisi. Untuk saluran transmisi udara, penghantar yang digunakan adalah kawat penghantar dengan jenis yang biasa digunakan adalah tembaga (Cu) atau aluminium (Al). Menurut Hutauruk (1985) kawat penghantar aluminium terdiri dari berbagai jenis sebagai berikut 1. AAC (All Aluminium Conductor) yaitu kawat penghantar yang sleuruhnya terbuat dari aluminium 2. AAAC (All Aluminium Alloy Conductor) yaitu kawat penghantar yang seluruhnya terbuat dari campuran aluminium 3. ACSR (Aluminium Conductor Steel Reinforced) yaitu kawat penghantar aluminium berinti kawat baja 4. ACAR (Aluminium Conductor Alloy Reinforced) yaitu kawat penghantar aluminium yang diperkuat dengan logam campuran
8
Tabel I.2. Penghantar ACSR (Hutauruk, 1985)
Ukuran Nominal
Konstruksi (Jumlah/Diameter dalam mm)
Luas Penampang Terhitung (mm²)
330
Aluminium 26/4,0
Baja 7/3,1
Aluminium 326,8
Baja 52,84
330
54/2,8
7/2,8
332,5
320
30/3,7
7/3,7
290
30/3,5
290
Kuat Tarik Minimum (kg)
Diameter Luar (mm)
Berat (kg/km)
Tahanan Listrik (Ω/km)
10.930
Aluminium 25,3
Baja 9,3
1.320
0,0888
43,11
10.290
25,2
8,4
1.260
0,0873
322,5
72,25
13.630
25,9
11,1
1.484
0,0900
7/3,5
288,6
67,35
12.170
24,5
10,5
1.328
0,101
54/2,6
7/2,6
286,7
37,16
8.964
23,4
7,8
1.086
0,101
250
26/3,5
7/2,72
250,1
40,68
8.670
22,16
8,16
1.013
0,116
240
30/3,2
7/3,2
241,3
56,29
10.210
22,4
9,6
1.110
0,120
210
26/3,2
7/2,49
209,1
34,09
7.260
20,27
7,47
847,0
0,139
200
30/2,9
7/2,9
198,2
46,24
8.620
20,3
8,7
911,7
0,148
170
26/2,9
7/2.26
171,7
28,08
6.010
18,38
6,78
696,2
0,169
160
30/2,6
7/2,6
159,3
37,16
6.990
18,2
7,8
732,8
0,182
140
26/2,6
7/2,02
138,0
22,44
4.860
16,46
6,06
558,1
0,210
120
30/2,3
7/2,3
124,7
29,09
5.550
16,1
6,0
573,7
0,233
120
12/3,5
7/3,5
115,5
67,35
9.590
17,5
10,5
848,1
0,251
110
26/2,3
7/1,79
108,0
17,61
3.960
14,57
5,37
437,0
0,269
Untuk SUTT, yang mempunyai jarak antar dua menara yang jauh (hingga ratusan meter), dibutuhkan kuat tarik yang lebih tinggi. Untuk itu biasanya digunakan kawat penghantar ACSR. Penghantar ACSR untuk penelitian pengadaan jalur transmisi SUTT 70 kV ini menggunakan penghantar ACSR dengan ukuran nominal 210 sesuai dengan yang telah ditetapkan oleh PLN Pusenlis.
I.7.3. Lendutan (sag) Penghantar yang direntangkan antara dua menara transmisi mempunyai bentuk lengkung tertentu (catenary curve) yang diakibatkan adanya pengaruh gravitasi dan dinyatakan dalam sebuah persamaan. Arismunandar dan Kuwahara (2004) menyebutkan ada dua persamaan untuk menghitung nilai lendutan. Lendutan untuk penghantar yang ditunjang oleh menara yang sama tinggi. Karena menara didirikan sama tinggi, maka nilai lendutan didapat berdasarkan rumus parabola
9
D=
.......................................................................................................... (I-1)
dengan: D
: Lendutan (m)
W
: Berat konduktor per satuan panjang (kg/m)
S
: Jarak antar menara (m)
T
: Kuat tarik konduktor pada suhu 80°C (kg)
Lendutan untuk penghantar yang ditunjang oleh menara yang beda tinggi. Menara yang tidak sama tinggi, lendutan yang miring dinyatakan dalam persamaan (
) .................................................................................. (I-2)
dengan: D
: Lendutan (m)
D0
: Besar lendutan yang diakibatkan karena perbedaan ketinggian (m)
H
: Beda tinggi antara dua menara (m)
Panjang kabel yang didapat akibat pengaruh lendutan dapat ditulis dalam persamaan m .................................................................................. (I-3) Giancoli (2001) menuliskan bahwa sebagian besar zat memuai ketika dipanaskan dan menyusust ketika didinginkan. Besarnya pemuaian dan penyusutan tersebut bervariasi tergantung dari jenis material. Perbedaan panjang yang diakibatkan karena pemuaian ditulis dalam sebuah persamaan ................................................................................................ (I-4) dengan keterangan ΔL
: Perubahan panjang
α
: Konstanta pembanding atau koefisien muai panjang
L0
: Panjang awal
ΔT
: Perubahan suhu
Adapun panjang akhir yang didapat setelah terjadi pemuaian ditulis dalam persamaan berikut ....................................................................................... (I-5) Lt
: Panjang akhir yang didapat setelah terjadi pemuaian
10
Konstanta pembanding atau koefisien muai panjang (α ) suatu material berbeda satu sama lain seperti yang tersaji pada Tabel I.3. Tabel I.3 Besar konstanta pembanding atau koefisien muai panjang (Giancoli, 2001) Zat Padat Aluminium Kuningan Besi atau baja Timah putih Kaca (pyrex) Kaca (biasa) Kwarsa Beton atau bata Marmer
Koefisien muai panjang α(C0)-1 25 x 10-6 19 x 10-6 12 x 10-6 29 x 10-6 3 x 10-6 9 x 10-6 0,4 x 10-6 ≈ 12 x 10-6 1,4 – 3,5 x 10-6
Berdasarkan Standar Perusahaan Listrik Begara (SPLN) 41-7-1981 mengenai Hantaran Aluminium Berpenguat Baja (ACSR), koefisien muai panjang pada penghantar bergantung pada jumlah masing-masing kawat pada aluminium dan baja. Koefisien muai panjang untuk konstruksi standar ACSR dapat dilihat pada Tabel I.4. Tabel I.4. Koefisien muai panjang untuk konstruksi standar dari ACSR (SPLN 41-71981) Jumlah Kawat Koefisien Muai Panjang (Perhitungan) Per oC Aluminium Baja 6 1 19,1 x 10-6 6 7 19,8 x 10-6 12 7 15,3 x 10-6 18 1 21,2 x 10-6 24 7 19,6 x 10-6 26 7 18,9 x 10-6 28 7 18,4 x 10-6 30 7 17,8 x 10-6 30 19 18 x 10-6 32 19 17,5 x 10-6 54 7 19,3 x 10-6 54 19 19,4 x 10-6 I.7.4. Survei dan pemetaan jalur transmisi SUTT 70 kV Pemilihan jalur yang akan dilalui saluran transmisi merupakan bagian utama dalam pembangunan jalur transmisi SUTT 70 kV. Untuk itu perlu diadakan survei untuk memungkinkan pembangunan yang ekonomis dan dapat diandalkan baik
11
dilihat dari pembangunannya sendiri maupun untuk perawatan (Arismunandar dan Kuwahara, 2004). Salah satu kegiatan survei yang dilakukan adalah survei topografi. Survei topografi merupakan pemetaan permukaan bumi fisik dan kenampakan hasil budaya manusia (Basuki, 2006). Hasil dari survei topografi adalah peta topografi atau biasa disebut sebagai peta situasi. Peta situasi menyajikan unsur relief permukaan bumi dalam bentuk garis kontur skala peta berkisar antara 1:500 hingga 1:250.000 dengan interval kontur antara 0,25-100 meter (Basuki, 2006). Menurut Fryer et.al (1984) selain relief permukaan bumi, peta topografi juga menyajikan fitur-fitur buatan manusia seperti jalan, bangunan, jembatan, dan lainnya. Peta topografi dibuat dan digunakan oleh insinyur untuk menentukan lokasi yang tepat dan ekonomis untuk jalan raya, rel kereta api, kanal, jalur pipa, jalur transmisi, reservoir, dan lainnya (Fryer et.al, 1984). Metode survei topografi dapat dilakukan dengan menggunakan fotogrametri, pengukuran langsung di lapangan, atau kombinasi keduanya. Baik kedua metode tersebut, syarat pertama dari kegiatan survei topografi adalah penggunaan kerangka kontrol yang baik. Dalam kegiatan survei topografi, kerangka kontrol terdiri atas dua kerangka yaitu kerangka kontrol horizontal dan kerangka kontrol vertikal. Kerangka kontrol horizontal ditentukan oleh dua atau tiga titik di permukaan bumi yang tetap secara posisi horizontal baik dari jarak maupun arah (Fryer et.a, 1984). Titik tersebut merupakan dasar untuk menentukan posisi objek di permukaan bumi. Titik kontrol biasanya didapatkan dari pengukuran trilaterasi, pengukuran triangulasi, pengukuran menggunakan bantuan satelit, dan lainnya. Sedangkan kerangka kontrol vertikal ditentukan dari titik kontrol tinggi terdekat dari area pengukruan. Titik kontrol tinggi menjadi dasar untuk mengoreksi tinggi permukaan bumi. Titik kontrol tinggi tersebut digunakan untuk pengukuran beda tinggi pada titik lainnya dengan menggunakan metode trigonometrik, takhimetrik, sipat datar, atau dengan metode barometrik. Pada penelitian ini, pengukuran survei topografi yang dilakukan merupakan pengukuran langsung di lapangan dengan menggunakan titik kontrol horizontal yang diukur menggunakan alat GPS dengan bantuan satelit GPS. Datum referensi horizontal yang digunakan adalah datum WGS 1984. Sedangkan untuk titik kontrol vertikal menggunakan tinggi dari hasil pengukuran GPS sehingga datum referensi
12
vertikal yang digunakan adalah datum WGS 1984. Titik kontrol tersebut kemudian digunakan untuk pengukuran objek-objek di permukaan bumi mulai dari objek alami hingga objek buatan manusia. Pengukuran objek tersebut didapatkan berdasarkan survei pemetaan topografi langsung dilapangan secara otomatis menggunakan alat Total Stasion. Total Station merupakan teodolit elektronis yang digabung atau dikombinasi dengan alat Pengukur Jarak Elektronis (PJE) dan pencatat data (kolektor) elektronis menjadi Total Station (Basuki, 2006). Alat ini dapat membaca dan mencatat sudut horizontal dan vertikal bersama-sama dengan jarak miringnya. Bahkan alat ini juga dilengkapi dengna mikroprosesor, sehingga dapat melakukan bermacam-macam operasi perhitungan matematis seperti merata-rata hasil sudut ukuran dan jarak-rajak ukuran, menghitung koordinat (x, y, dan z), menentukan ketinggian objek dari jauh, menghitung jarak antara objek-objek yang diamati, koreksi atmosfer dan koreksi alat, dan lain-lain (Basuki, 2006). Pengukuran menggunakan Total Station menggunakan prinsip perambatan gelombang elektromagnetik yang memungkinkan untuk melakukan pengukuran dengan ketelitian yang tinggi dan jangkauan yang cukup jauh. Adapun konsep pengukuran jarak pada Total Station adalah suatu sinyal gelombang elektromagnetik yang dipancarkan dari suatu alat yang dipasang pada stasiun di ujung suatu garis yang akan diukur jaraknya kemudian di ujung lain dari garis tersebut dipasang pemantul atau reflektor. Sinyal tersebut dipantulkan kembali ke pemancar waktu lintas perjalanan sinyal pergi-pulang diukur oleh pemancar. Karena kecepatan sinyal diketahui dengan teliti maka jarak lintasan dapat diketahui pula (Basuki, 2006). Secara matematis, konsep pengukuran jarak pada Total Station dituliskan dalam persamaan berikut .......................................................................................................... (I-6) dengan keterangan D
: Jarak garis yang diukur (Lintasan)
t
: Waktu lintasan sinyal pergi-pulang
v
: Kecepatan sinyal
13
Total Station dapat digunakan untuk mengukur sudut, secara koinsiden optis dengan sensor foto elektronis menggunakan scanning dan membaca lingkaran dalam mode derajat, grade maupun radian. Konsep yang digunakan untuk pengukuran detil hingga mendapatkan koordinat (x,y,z) pada Total Station adalah dengan menggunakan metode koordinat kutub. Pada metode ini, posisi detil ditentukan dengan komponen azimuth (sudut arah), jarak, dan beda tinggi dari titik ikat (Basuki, 2006). Metode ini disebut juga dengan takhimetri, yaitu jarak detil ditentukan dengan cara elektronis, beda tinggi ditentukan dengan bacaan sudut vertikal atau sudut miring, dan arah ditentukan dengan sudut horizontal. Secara matematis, posisi titik detil didapatkan melalui persamaan berikut (Basuki, 2006): Xa = Xp + dpa sin αpa ..................................................................................... (I-7) Ya = Yp + dpa cos αpa ..................................................................................... (I-8) Za = Zp + Δhpa ............................................................................................... (I-9) dalam hal ini a
: Titik detil
p
: Titik kontrol
d
: Jarak horizontal
Δh
: Beda tinggi
αpa
: Azimuth sisi pa
Pada penelitian ini, peta situasi dibuat dalam bentuk profil memanjang. Kiessiling et.al (2003) mengemukakan bahwa profil memanjang tersebut digunakan untuk mengetahui perbedaan ketinggian di permukaan tanah mulai dari titik awal jalur sampai
titik akhir jalur dan untuk menentukan lokasi menara dan tinggi
menara. Adapun pengertian dari profil menurut Ghilani et.al (2008) adalah data yang memberikan informasi mengenai ketinggian pada titik-titik yang telah diukur di sepanjang jalur. Informasi mengenai ketinggian dari sebuah profil digunakan untuk menentukan kelerengan (slope) dalam suatu pekerjaan konstruksi, menghitung volume dalam suatu pekerjaan, dan untuk menentukan secara detil ketinggian untuk area yang digali maupun yang ditimbun (Frics, 1980) Kelerengan (slope) dapat dinyatakan dalam bentuk kemiringan (gradient) atau persentase antara jarak vertikal dengan jarak horizontal. Van Zuidam (1985) menyatakan gradient kelerengan dengan persamaan berikut
14
.................................................................................... (I-10) dengan keterangan x
: Gradient kelerengan
VD
: Vertical Distance atau jarak vertikal
HD
: Horizontal Distance atau jarak horizontal
United States Soil System Management (USSSM) membagi kelas kelerengan berdasarkan nilai gradient. Pembagian kelas kelerengan tersebut tersaji pada Tabel I.5.
Tabel I.5. Pembagian kelas kelerengan berdasarkan USSSM Kelas A B C D E F G
Rentang Gradient (%) 0-3 3-7 7-13 13-20 20-55 55-140 >140
Keterangan Datar – Hampir Datar Sangat Landai Landai Agak Curam Curam Sangat Curam Terjal
I.7.5. Desain lendutan SUTT 70 kV Lendutan mempunyai arti penting untuk penggunaan SUTT dalam jangka panjang. Pada SNI 04-6918-2002, besar lendutan digunakan untuk penentuan jarak bebas minimum vertikal dari penghantar ke objek tertinggi yang ada pada permukaan tanah. Jarak bebas minimum vertikal tidak boleh kurang dari jarak yang telah ditetapkan demi keselamatan manusia, makhluk hidup dan benda lainnya serta keamanan Operasi SUTT. Oleh karena itu, desain lendutan merupakan pekerjaan yang tidak boleh dilewatkan pada tahapan pembangunan saluran transmisi. Untuk merancang lendutan, hal yang harus diperhatikan adalah jenis penghantar, jarak antar menara, dan tinggi menara. Jenis penghantar dan jarak antar menara digunakan untuk menentukan besar lendutan, sedangkan tinggi menara digunakan untuk pertimbangan jarak bebas minimum vertikal. Secara geometri, posisi antara menara, penghantar, dan objek di permukaan tanah tersaji pada Gambar (I.1). Adapun geometri penghantar yang mengalami lendutan tersaji pada Gambar (I.2) dan Gambar (I.3) yang menunjukan lendutan penghantar antar dua menara.
15
Gambar I.1. Ruang Bebas SUTT 66 kV dan 150 kV menara (Sumber gambar : SNI 04-6918-2002) Adapun keterangan dari Gambar I.1. adalah sebagai berikut: : Penampang melintang ruang bebas pada tengah jarak antara menara L
: Jarak dari sumbu vertikal menara ke penghantar
H
: Jarak horizontal akibat ayunan dari penghantar
I
: Jarak bebas impuls petir
C
: Jarak bebas minimum vertikal
D
: Jarak lendutan terendah ditengah antara dua menara
Lendutan untuk kawat tanah dihitung 80% dari lendutan penghantar fase pada suhu harian maksimum 40oC
Gambar I.2. Desain lendutan untuk tiang pada ketinggian yang sama (Sumber gambar : Standar Perusahaan Listrik Negara 12l:1996)
16
Gambar I.3. Desain lendutan untuk menara pada ketinggian yang berbeda (Sumber gambar : Standar Perusahaan Listrik Negara 12l:1996) Adapun keterangan gambar untuk Gambar I.2. dan Gambar I.3. adalah sebagai berikut: D
: Lendutan miring (oblique)
Do
: Lendutan datar
S
: Jarak rentang atau jarak antar menara
SA
: Jarak rentang dari menara A hingga titik berat dari lendutan
SB
: Jarak rentang dari menara B hingga titik berat dari lendutan
C
: Jarak bebas vertikal dari permukaan tanah hingga lendutan
T
: Kuat tarik penghantar
TA
: Kuat tarik penghantar dari menara A
TB
: Kuat tarik penghantar dari menara B
M
: Titik tengah antara menara A dan Menara B
H
: Beda tinggi antar menara
Menentukan jumlah menara dapat dilakukan dengan menggunakan desain lendutan atau desain sagging. Berdasarkan Network Lines Standard Guidelines For Overhead Line Design dari Ergon Energy, desain sagging diselesaikan dengan menghitung rasio antara weight span dan rata-rata dari dua wind span yang berdekatan. Weigh span adalah jarak titik terendah lendutan penghantar antar dua segmen sedangkan wind span merupakan istilah lain dari segmen atau jarak antar menara. Rasio antara weight span dan wind span harus sesuai dengan rasio yang telah ditetapkan oleh pemberi pekerjaan. Berdasarkan rasio tersebut maka didapatkan
17
jumlah menara pada jalur transmisi. Secara grafis, implementasi desain sagging tersaji pada Gambar I.4.
Gambar I.4. Weight span dan wind span pada jalur transmisi. (Sumber gambar : Ergon Energy Reference P56M02R09 ver 1) Pada gambar I.4. terdapat dua penghantar dalam satu segmen atau wind span yang merupakan kondisi penghantar pada suhu 0o dan pada suhu 50o. Weight span pada suhu 50o lebih panjang karena penghantar mengalami pemuaian.
I.7.6. Programma Linear Menurut Martin (1969) programma linier adalah suatu metode matematika yang digunakan untuk memecahkan persoalan optimasi atau dengan kata lain progrmma linier adalah suatu cara pemecahan persoalan untuk membuat nilai suatu fungsi menjadi maksimum atau minimum dengan memperhatikan kendala-kendala yang ada. Fungsi yang dimaksimumkan atau diminimumkan disebut sebagai fungsi tujuan (objective function), sedangkan fungsi-fungsi yang menyatakan kendala disebut sebagai syarat batas (constraint). Jika suatu persoalan optimasi mempunyai bentuk fungsi tujuan dan syarat batas yang linier maka programma matematika yang digunakan disebut programma
linier. Menurut Martin (1969) model matematis
fungsi tujuan adalah sebagai berikut. Z = f(x1, x2, x3,...,xn) ................................................................................... (I-11) Z
: Nilai maksimum atau minimum dari tujuan yang kan diperoleh
f
: Fungsi dari persamaan tujuan
x1, x2,…,xn : Variabel dari fungsi tujuan
18
Adapun persaman syarat batas adalah sebagai berikut : Gi (x1, x2, x3,...,xn) = bi ................................................................................ (I-12) Gi
: Fungsi syarat batas
x1, x2,….xm
: Variabel dari syarat batas
bi
: Nilai dari persamaan syarat batas
i
: 1,... , n
Programma linear terdiri atas persamaan dan pertidaksamaan. Pada penelitian kali ini model optimasi berupa persamaan linear. Persamaan linear adalah sebuah model dengan variabel dalam bentuk pangkat pertama dan bukan merupakan argument dari fungsi-fungsi trigonometri, logaritma, atau eksponensial dan konstanta dalam bilangan real tidak nol (Anton, Rorres, 2004). Secara umum, variabel dan konstanta dapat dinyatakan dalam bentuk a1x1 + a2x2 + a3x3 + … + anxn = b ............................................................... (I-13) a1…an : Konstanta variabel persamaan linear x1...xn : Variabel yang akan ditentukan nilainya b
: Nilai dari sebuah persamaan
Apabila persamaan (I-13) terdiri dari satu variabel maka persamaan tersebut dapat diselesaikan dengan menggunakan metode substitusi. Contoh dari penggunaan metode substitusi adalah sebagai berikut Contoh kasus Tentukan nilai x dari persamaan 3x + 7 = -8 Cara penyelesaian Menganti nilai x dengan -5 dan mengeliminasi setiap ruas pada persamaan 3x + 7
= -8
3(-5) + 7 = -8 -15 + 7
= -8
-8
= -8 (benar)
I.7.7. Metode simplex Metode simplex adalah suatu metode yang secara matematika dimulai dari suatu pemecahan dasar yang layak ke pemecahan dasar layak lainnya dan cara ini
19
dilakukan berulang-ulang (dengan jumlah ulangan yang terbatas) sehingga akhirnya tercapai suatu pemecahan dasar yang optimum. Metode simplex digunakan untuk memecahkan persoalan programma linier yang mempunyai variabel lebih dari dua atau tiga variabel. Penggunaan perangkat elektronis komputer membuat metode simplex dapat menyelesaikan persoalan programma linier hingga ratusan variabel dan kendala (Martin, 1969). Salah satu ketentuan dalam perhitungan menggunakan metode simplex adalah harus mengkonversi semua kendala pertidaksamaan menjadi sebuat persamaan dengan menambahkan variabel slack yang tidak akan memengaruhi fungsi tujuan. Programma linier dengan persamaan yang mengandung kendala dapat dinyatakan dalam bentuk matriks (Martin, 1969). Programma linier dengan persamaan syarat batas mempunyai dua persoalan yaitu memaksimumkan fungsi tujuan atau meminimumkan fungsi tujuan. Secara matematis fungsi tujuan maksimum dapat dilihat pada persamaan berikut : ∑
............................................................................................ (I-14)
Syarat batas untuk fungsi tujuan maksimum adalah sebagai berikut : ∑
....................................................................................... (I-15)
Adapun fungsi tujuan minimum secara matematis dapat dilihat pada persamaan berikut : ∑
...................................................................................... (I-16)
Syarat batas untuk fungsi tujuan minimum adalah sebagai berikut ∑
....................................................................................... (I-17)
dengan z
: nilai dari fungsi tujuan
al, b, c : konstanta xlj ≥ 0 untuk j : 1, ..., n dan i : 1,... , m Proses
dengan metode ini
dilakukan secara berulang-ulang dengan
menggunakan tableu mulai dari tableu pertama yang memberikan pemecahan dasar awal yang layak sampai dengan pemecahan akhir yang memberikan jawaban yang optimal. Tableu merupakan istilah dari matriks yang mendeskripsikan persamaan
20
syarat batas dan fungsi tujuan. Bentuk tableu simplex untuk persoalan programma linier disajikan pada Tabel I.6 (Martin, 1969) :
Tabel I.6. Tableu metode simplex untuk programma linier (Martin, 1969)
X0 C0
Xst
Ct
As
Bs
C0T As - Ct Keterangan : Xst
: vektor baris yang berisikan semua variabel Xs, termasuk variabel-variavel slack, surplus, dan buatan
Ct
: vektor baris yang berisi semua konstanta variabel Xs pada fungsi tujuan
X0
: vektor kolom yang berisi variabel slack dan buatan sebagai dasar awal yang layak
C0
: vektor kolom yang berisi semua konstanta elemen vektor X0 pada fungsi tujuan
As
: konstanta yang berasal dari syarat batas
C0T As – Ct
: vektor baris hasil perkalian dan pengurangan matriks-matriks tersebut
Bs
: vektor kolom yang berisi konstanta pada ruas kanan persamaan syarat batas
Secara garis besar tahapan penyelesaian suatu masalah menggunakan metode simplex adalah sebagai berikut: 1. Menambahkan variabel slack untuk mengganti konstrain dalam persamaan dan menulis keseluruhan variabel ke kiri dari tanda sama dengan dan konstanta ke kanan tanda sama dengan 2. Menulis fungsi tujuan dengan ketentuan tidak sama dengan nol pada ruas kiri tanda sama dengan (=) dan angka nol pada ruas kanan. Variabel yang dimaksimumkan harus bernilai positif 3. Membuat inisial tableau simplex dengan membuat matriks dari persamaan dan menempatkan persamaan fungsi tujuan pada baris terakhir
21
4. Menentukan elemen pivot dan menggunakan operasi baris matriks untuk mengubah kolom yang berisi elemen pivot hingga kolom unit 5. Apabila tanda negatif masih berada pada baris terbawah maka ulangi langkah (4). Apabila seluruh elemen pada baris terbawah telah bernilai positif maka proses telah berakhir. 6. Ketika matriks telah diselesaikan maka itulah solusi terakhir dari sebuah persamaan. Ini akan memberikan nilai maksimum pada fungsi tujuan dan nilai variabel maksimum Tahapan penyelesaian pada metode simplex dapat diaplikasikan dalam ilmu desain konstruksi sipil atau mesin, pemeliharaan jaringan, penentuan biaya produksi dan keuntungan, dan lainnya. Untuk mempermudah pemahaman mengenai penggunaan metode simplex maka diberikan contoh kasus menenai penentuan keuntungan maksimum sebagai berikut: Contoh kasus : Sebuah persamaan akan menentukan keuntungan produk sebesar $6, $5, dan $4 pada masing-masing tipe souvernir A, B, dan C yang akan diproduksi. Untuk memproduksi tipe A membutuhkan waktu pekerjaan selama 2 menit pada mesin I, 1 menit pada mesin II, dan 2 menit pada mesin III. Tipe B membutuhkn waktu pekerjaan selama 1 menit pada mesin I, 3 menit pada mesin II, dan 1 menit pada mesin III. Tipe C membutuhkan 1 menit pada mesin I, 2 menit pada mesin II dan mesin III. Adapun ketahanan mesin adalah 3 jam untuk mesin I, 5 jam untuk mesin II, dan 4 jam untuk mesin III setiap harinya. Berapakah jumlah masing masing tipe souvernir yang diproduksi tiap harinya untuk menghasilkan keuntungan yang maksimum? Cara penyelesaian: 1. Mengatur informasi yang tersedia Souv/Mesin
Unit yang diproduksi A x B y C z Maksimum yang tersedia
I (menit)
II(menit)
III(menit)
2 1 1 180
1 3 2 300
2 1 2 240
Keuntungan ($/unit) 6 5 4 P
22
2. Menentukan persamaan syarat batas dan fungsi tujuan a. Persamaan syarat batas 2x + y + z = 180 x + 3y + 2z = 300 2x + y + 2z = 240 x ≥ 0, y ≥ 0, z ≥ 0 b. Persamaan fungsi tujuan P = 6x + 5y + 4z untuk dimaksimumkan 3. Menambahkan varibel slack untuk merubah pertidaksamaan menjadi persamaan, menuliskan kembali fungsi tujuan. Persamaannya menjadi sebagai berikut 2x + y + z +s = 180 x +3y +2z + t = 300 2x + y +2z + u = 240 -6x -5y -4z +P = 0 dalam hal ini: x, y, z
= variabel utama
s, t, u
= variabel slack
P
= nilai dari tujuan yang ingin dicapai
4. Menuliskan tableau pertama dari simplex x
y
z
s
2
1
1
1 0 0 0 = 180
1
3
2
0 1 0 0 = 300
2
1
-6
-5
2 -4
t
u P = konstanta
0 0 1 0 = 240 0 0 0 1 = 0
a. Dasar solusi yang memungkinkan dari tableau pertama adalah x=0, y=0, z=0, s=180, t= 300, u=240, dan P=0 b. Interpretasi pertama dari solusi tersebut adalah tidak akan ada keuntungan jika masing-masing souvernir tidak di produksi. c. Selama tanda negatif masih ada pada baris terbawah pada matriks tersebut maka nilai tersebut belum maksimum. 5. Memilih elemen pivot
23
a. Memilih kolom dengan indikator nilai yang berada paling kiri pada matriks, dalam tableau ini yang dimaksud adalah kolom 1. b. Membagi setiap konstanta pada kolom paling kanan dengan elemen pivot kemudian pilih yang nilainya paling kecil. 180/2 = 90……… nilai terkecil 300/1 = 300 240/2 = 120 c. Elemen pivot merupakan interseksi antara kolom dengan nilai paling kiri dengan baris yang mempunyai nilai terkecil. Pivot yang digunakan adalah nilai 2 pada kolom 1 pada tableau tersebut. 6. Mengubah elemen pivot menjadi 1 X
y
z
s
t
u P = konstanta
1
0.5 0.5 0.5 0 0 0 = 90
1
3
2
0
1 0 0 = 300
2
1
2
0
0 1 0 = 240
-6
-5
-4
0
0 0 1 = 0
1/2 Baris1
7. Pivot dalam pivot elemen X
y
z
s
t
u P = konstanta
1
0.5 0.5 0.5
0 0 0 = 90
-Baris1 + Baris2
0
2.5 1.5 -0.5
1 0 0 = 210
-2Baris1 + Baris3
0
0
1
-1
0 1 0 = 60
6Baris1 + Baris4
0
-2
-1
3
0 0 1 = 540
a. Solusi yang memungkinkan pada tableau ini adalah x=90, y=0, z=0, s=0, t=210, u=60, dan P=540 b. Interpretasi pada solusi ini adalah apabila souvernir A diproduksi sebanyak 90 unit dengan tidak memproduksi kedua tipe souvernir lainnya maka perusahaan akan mendapatkan keuntungan sebesar $540 c. Nilai negatif masih terdapat pada baris terbawah tableau tersebut sehingga fungsi tujuan dinyatakan belum maksimal
24
8. Menentukan elemen pivot yang baru a. Memilih kolom dengan indikator nilai yang berada kedua dari kiri pada matriks, dalam tableau ini yang dimaksud adalah kolom 2. b. Membagi setiap konstanta pada kolom paling kanan dengan elemen pivot kemudian pilih yang nilainya paling kecil. 90/0,5
= 180
210/2,5
= 84………nilai terkecil
c. Pivot yang digunakan adalah nilai 2,5 pada kolom 2 tableau tersebut 9. Mengubah elemen pivot menjadi bernilai 1 X
y
1
z
s
t
u P = konstanta
0.5 0.5 0.5
0
0 0 = 90
0
1
0.6 -0.2
0.4 0 0 = 84
0
0
1
-1
0
1 0 = 60
0
-2
-1
0
0
0 1 = 540
1/2,5 Baris2
10. Pivot dalam pivot elemen x
y
z
1
0
0
s
t
u P = konstanta
-0.5 Baris2 + Baris2
0.2 0.6
-0.2
0 0 = 48
2 Baris2 + Baris4
1
0.6 -0.2
0.4
0 0 = 84
0
0
1
0
1 0 = 60
0
0
0.2 2.6
0.8
0 1 = 708
-1
a. Hasil yang memungkinkan adalah x=48, y=84, z=0, s=0, t=0, u=60, dan P=708 b. Interpretasi dari solusi persamaan tersebut adalah apabila souvernir tipe A diproduksi sebanyak 48, tipe B sebanyak 84, dan tidak ada produk C yang diproduksi maka perusahaan akan mendapatkan keuntungan sebesar $708 c. Nilai negatif sudah tidak muncul pada baris terakhir matriks tersebut sehingga fungsi tujuan dapat dinyatakan maksimum.
25
I.8. Hipotesis Pada penelitian ini optimasi penentuan jumlah menara, jumlah panjang penghantar, dan total biaya pembangunan didasarkan pada jarak antar menara. Jarak antar menara dalam penelitian ini berdasarkan pada kelas kelerengan dengan rentang jarak antar menara yang didesain dengan asumsi jarak minimum sebesar 290 m sedangkan jarak maksimum antar menara sebesar 350 m. Jika diasumsikan semua jarak antar menara minimum yaitu sebesar 290 m maka jumlah menara yang akan diperoleh adalah 117 menara, sedangkan jika asumsi jarak maksimum yaitu sebesar 350 m maka jumlah menara yang akan diperoleh adalah 97 menara. Mengacu pada asumsi ini, hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Jumlah menara hasil optimasi menggunakan metode programma linear yang diselesaikan dengan metode simplex berjumlah antara 97 menara hingga 117 menara. Perkiraan jumlah menara didapatkan dari panjang jalur transmisi keseluruhan dibagi dengan asumsi jarak minimum dan maksimum. 2. Jumlah panjang penghantar hasil optimasi menggunakan programma linear yang diselesaikan dengan metode simplex berjumlah antara 33.930 m hingga 33.950 m. Perkiraan jumlah panjang penghantar tersebut didapatkan dari perkiraan jumlah menara dikalikan dengan asumsi jarak minimum dan maksimum. 3. Total biaya pembangunan hasil optimasi berkisar antara Rp. 4.762.180.000,00 dengan rincian harga menara sebesar Rp 3.880.000.000,00 dan harga penghantar sebesar Rp. 882.180.000,00 hingga Rp. 5.562.700.000,00 dengan rincian harga menara sebesar Rp.4.680.000.000,00 dan harga penghantar sebesar Rp. 882.700.000,00. Total biaya perkiraan tersebut didapatkan dari perkiraan jumlah menara pada poin (1.) dikalikan dengan perkiraan harga satuan menara sebesar Rp. 40.000.000,00 dan perkiraan jumlah panjang penghantar pada poin (2.) dikalikan dengan harga panjang penghantar tiap km sebesar Rp. 26.000.000,00.