BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Ketersediaan sumber energi listrik yang kurang merata di Provinsi Bengkulu menyebabkan adanya ketimpangan kapasitas energi listrik yang tersedia di beberapa daerah. Contohnya adalah adanya kelebihan kapasitas energi listrik yang dihasilkan oleh Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Tes, namun disisi lain terdapat daerah yang masih kekurangan kapasitas listrik yaitu di Kecamatan Ketahun, Kabupaten Bengkulu Utara. Pembangunan jalur transmisi dibutuhkan untuk menunjang pemerataan pasokan energi listrik di daerah yang memiliki kekurangan kapasitas listrik. Upaya peningkatan kapasitas penyaluran sekaligus keandalan pasokan energi listrik di Provinsi Bengkulu dilakukan oleh PT. PLN (Persero) dengan membangun jaringan jalur transmisi 70 kV yang menghubungkan GI Tes dan GI Ketahun. Untuk mempersiapkan pembangunan jaringan jalur transmisi 70 kV GI Tes dan Kecamatan Ketahun, maka perlu dilakukan pembuatan desain jalur transmisi 70 kV antara Kecamatan Giri Mulya sampai Kecamatan Ketahun, Kabupaten Bengkulu Utara. Desain jalur transmisi yang dimaksud adalah desain jalur kabel konduktor yang menghubungkan antar tower transmisi. Desain jalur transmisi yang dibuat harus memenuhi kriteria yang telah ditetapkan pada TOR. Desain jalur transmisi yang dibuat juga harus diperhatikan efektifitas dan efisiensinya. Efektifitas desain jalur transmisi berarti desain tersebut dapat diimplementasikan di lapangan dan dapat digunakan sebagai input untuk pekerjaan selanjutnya, sedangkan efisiensi jalur terkait dengan nilai keekonomisan dari pekerjaan. Desain transmisi dihasilkan melalui serangkaian kegiatan yang memiliki tujuan tertentu. Desain awal yang dibuat pada perangkat lunak terkait harus dicek kehandalannya
melalui
kegiatan
reconnaissance,
sehingga
melalui
proses
reconaissance ini dihasilkan revisi atau perbaikan desain yang lebih efisien.
1
2
Desain jalur hasil proses reconnaissance tersebut nantinya diimplementasikan melalui kegiatan survei topografi untuk mendapatkan data topografi dan situasi lokasi pekerjaan. Hasil dari proses implementasi menunjukkan perubahan-perubahan terkait dengan lokasi tiap-tiap tower. Perubahan lokasi tapak tower didasarkan pada nilai rasio dari desain lendutan kabel konduktor (desain sagging), ruang bebas jalur atau ground clearance dan kondisi lokasi rencana tapak tower. Pemenuhan persyaratan pada TOR dan atau pertimbangan teknis terkait penting untuk diperhatikan, mengingat desain akhir jalur transmisi 70 kV ini digunakan dalam jangka waktu yang lama dan menjadi masukan yang dapat digunakan pada pekerjaan selanjutnya. I.2. Lingkup Pekerjaan Lingkup pekerjaan yang dilakukan dalam kegiatan aplikatif ini dibatasi dengan menggunakan kriteria sebagai berikut : 1. Lokasi kegiatan di Kecamatan Giri Mulya dan Kecamatan Ketahun, Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu. 2. Bahan yang digunakan dalam pembuatan desain jalur transmisi adalah koordinat acuan yang diberikan oleh PT. PLN (Persero) Pusenlis, dan Citra Satelit Bing Aerial with Label Layer. 3. Sistem proyeksi yang digunakan pada proses pembuatan desain dan implementasi desain adalah Universal Tranverse Mercator (UTM) dalam zona 48S dengan elipsoid referensi WGS 1984. 4. Desain awal jalur transmisi dibuat dengan menggunakan perangkat lunak QuantumGIS 2.1 dan AutoCAD Civil 3D 2011. 5. Reconnaissance dilakukan sepanjang desain jalur transmisi di lokasi kegiatan dengan menggunakan perangkat GPS Navigasi Garmin eTrex HCx serta mobil dan sepeda motor sebagai alat transportasinya. 6. Pelaksanaan survei topografi untuk mengimplementasikan desain jalur transmisi meliputi pengukuran kerangka kontrol pemetaan, pengukuran profil memanjang dan situasi ROW jalur transmisi. 7. Pembuatan Peta Jalur Transmisi dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak QuantumGIS 2.1 dan AutoCAD Civil 3D 2011.
3
8. Evaluasi jalur transmisi 70 kV Giri Mulya dan Ketahun dilakukan dengan membandingkan panjang jalur, tipe, jumlah section tower dan jumlah tower keseluruhan yang digunakan dari desain awal jalur transmisi hingga jalur transmisi definitif. I.3. Tujuan Tujuan kegiatan aplikatif ini adalah sebagai berikut : 1.
Menentukan jalur transmisi 70 kV Giri Mulya dan Ketahun yang sesuai dengan TOR serta mengimplementasikannya di lapangan.
2.
Melakukan evaluasi terhadap jalur transmisi 70 kV Giri Mulya dan Ketahun yang telah diimplementasikan di lapangan berdasarkan desain sagging yang dibuat. I.4. Manfaat
Manfaat yang didapat dari hasil kegiatan aplikatif ini adalah sebagai data masukan untuk kegiatan pembangunan jalur transmisi. Selain itu, secara umum skripsi ini dapat digunakan sebagai bahan referensi untuk kegiatan yang sama atau sejenis yang akan dilakukan di kemudian hari. I.5. Landasan Teori I.5.1. Jalur Transmisi Listrik Saluran transmisi merupakan media yang digunakan untuk mentransmisikan atau menyalurkan tenaga listrik dari Generator Station/Pembangkit Listrik sampai distribution station hingga sampai pada konsumen pengguna listrik melalui suatu bahan konduktor (PLN, 2011). Berdasarkan sistem transmisi dan kapasitas tegangan yang disalurkan terdiri dari Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) 200 kV-500 kV dan Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) 30 kV-150 kV. Sistem transmisi SUTT memiliki tegangan operasi antara 30 kV sampai 150 kV. Saluran transmisi sangat berkaitan dengan GI, dimana GI merupakan pusat sistem tenaga yang berisi saluran transmisi dan distribusi, perlengkapan hubung, transfomator, dan peralatan pengaman serta peralatan kontrol. Fungsi utama dari GI adalah untuk mengatur aliran daya listrik dari saluran transmisi ke saluran transmisi lainnya yang kemudian didistribusikan ke konsumen, sebagai tempat kontrol, sebagai pengaman
4
sistem operasi dan sebagai tempat untuk menurunkan tegangan transmisi menjadi tegangan distribusi. Jenis konduktor yang biasa dipakai dalam pembangunan jalur transmisi 70 kV adalah konduktor jenis Alumumium Conductor Steel Reinforced (ACSR) atau hantaran alumunium berpenguat baja. Konduktor ini terbuat dari kawat-kawat alumunium keras yang dipilin bulat berpenguat inti baja dan tidak berisolasi (PLN, 1981). Kawat-kawat alumunium yang dipilin sehingga membentuk konduktor harus memiliki diam yang sama besarnya. Begitupun dengan kawat-kawat baja juga harus memiliki diam yang sama satu sama lain. Kawat-kawat baja yang dipilin membentuk penguat baja memiliki lapisan seng. Dalam pengoperasiannya, jalur transmisi 70 kV memiliki beberapa batasan yang mencakup suhu udara sekitar, suhu konduktor dan tekanan angin. Suhu udara di sekitar jalur transmisi rata-rata sebesar 30° C, dengan suhu minimal 10° C dan suhu maksimal 40° C. Suhu kondukor ACSR berkisar antara 10°C sampai 90°C. Tekanan angin maksimal per meter persegi pada kecepatan angin 25 m/detik berbeda-beda untuk setiap permukaan bagian jalur trasmisi. Tekanan angin maksimal untuk konduktor, tower transmisi dan isolator masing-masing adalah 40 kg/m2, 70 kg/m2 dan 60 kg/m2. I.5.2. Desain Sagging Sagging atau kelendutan merupakan jarak proyeksi yang diukur dari tinggi tower saluran transmisi terhadap titik berat konduktor atau titik konduktor yang terendah (Brooks dkk, 2014). Sagging disebabkan oleh adanya berat pada konduktor yang menghubungkan antara dua tiang transmisi. Nilai sag harus diperhitungkan dengan cermat guna melakukan ground clearance yang merupakan area bebas obyek di sekitar transmisi untuk alasan keselamatan masyarakat sekitar dan keamanan tower itu sendiri. Nilai sagging ditentukan oleh berat konduktor, jarak rentang (span), dan kuat tarik konduktor. Pada posisi tower dengan elevasi yang berbeda, sagging dihitung dengan menggunakan rumus I.1 berikut : 𝐷=
𝑊𝑆 2 8𝑇
Keterangan rumus :
....................................................................................... (I.1)
5
D
: sagging (m)
W : berat penghantar per satuan panjang (kg/m) S
: jarak rentang (m)
T
: kuat tarik penghantar (kg) Nilai sagging untuk tower dengan elevasi yang sama memiliki hubungan
terhadap nilai sagging untuk tower dengan elevasi berbeda. Hubungan tersebut ditunjukkan dengan rumus I.2 dan gambar ilustrasi disajikan pada Gambar I.1 : 𝐻 2
𝐷𝑜 = 𝐷 (1 − 4𝐷) ...................................................................... (I.2) Keterangan rumus : Do : sagging (oblique) Do : sagging (tower sama tinggi) H
Sagging
: selisih elevasi (m)
S
H D
Sagging
D
D0
T
T Tower B
Tower A
Tower B
S
Tower A (a) Tower sama tinggi
(b) Tower beda tinggi
Gambar I.1. Komponen sagging Parameter lain yang diperhitungkan adalah suhu dan tekanan angin. Pada kondisi dengan suhu dan tekanan angin yang berbeda, nilai sag dihitung dengan rumus tersendiri yang lebih teliti (PLN, 1996). Parameter suhu menjadi faktor penting untuk mempertimbangkan pemuaian pada konduktor. Pada suhu tinggi, pemuaian terjadi sehingga panjang konduktor akan bertambah dan tidak sesuai dengan nilai panjang awal sebenarnya, sebaliknya pada suhu rendah/minimum, konduktor mengalami penyusutan panjang.
6
Penentuan posisi tapak tower dilakukan dengan mempertimbangkan nilai rasio sagging yang merupakan nilai perbandingan antara weight span dengan wind span. Nilai weight span diukur dari titik berat konduktor ke konduktor selanjutnya. Rasio sagging memiliki rentang nilai antara 0,5 sampai 1,5. Ilustrasi dari desain sagging ditampilkan pada Gambar I.2 dan perhitungan rasio sagging menggunakan Rumus I.3 : 𝑅𝑎𝑠𝑖𝑜 =
𝑊𝑇 (𝑑𝐴𝐵+𝑑𝐵𝐶)/2
........................................................................ (I.3)
Keterangan rumus : WT
: weight span
dAB
: jarak horisontal antara titik A dan B
dBC
: jarak horisontal antara titik B dan C 2 x Wind Span
Weight Span 0⁰ C 50⁰ C Sagging dalam kondisi hot
Sagging dalam kondisi cool Tower transmisi C
A
B Gambar I.2. Desain sagging
Pembangunan transmisi harus dijauhkan dari pemukiman warga, namun juga meminimalkan adanya titik belok. Besarnya sudut titik belok mempengaruhi memilihan tipe tower itu sendiri. Tower-tower yang ditempatkan pada titik belok memiliki ukuran yang berbeda dari tower-tower yang terdapat pada jalur yang lurus, sehingga menambah besarnya biaya dari pembangunan kontruksi tower itu sendiri. Tower sudut atau tension tower dan section tower memiliki luas daerah pembebasan 400 m2 sedangkan tower lurus atau suspension tower
memiliki luas lahan
pembebasan 225 m2. Apabila terdapat suspension tower yang sudah berada dalam
7
kondisi dan posisi yang terbaik, namun masih memiliki nilai rasio di luar nilai rentang yang disyaratkan maka tower tersebut harus dijadikan sebagai tension tower agar tetap dapat berdiri dengan kokoh dan tahan lama. Berdasarkan sudut beloknya, tipe tower dapat dibagi menjadi lima tipe tower transmisi seperti yang terlihat pada Tabel I.1. Tabel I.1. Tipe tower berdasarkan besarnya sudut belok Tipe tower
Sudut belok
Fungsi tower
AA
0⁰ s.d. 3⁰
Suspension tower
BB
3⁰ s.d. 20⁰
Tension tower/Section tower
CC
20⁰ s.d. 40⁰
Tension tower
DD
40⁰ s.d. 60⁰
Tension tower
EE
60⁰ s.d. 90⁰
Tension tower
Pekerjaan berikutnya setelah desain sagging yaitu melakukan review lapangan untuk memastikan kondisi dan kelayakan dari rencana titik tower tersebut dengan mempertimbangkan kondisi topografi di area rencana tapak tower. Berdasarkan hal tersebut perubahan posisi rencana titik tower pada penggambaran desain sagging mungkin untuk dilakukan bila titik tower di lapangan tidak memungkinkan/tidak layak. I.5.3. Survei Topografi Jalur Transmisi Survei atau pengukuran dibutuhkan untuk keperluan pemetaan yaitu merealisasikan rencana yang telah dibuat sebelumnya secara saksama pada lapangan atau pada lokasi pekerjaan sesungguhnya melalui data ukuran yang dihasilkan. Data pengukuran tanah dapat berupa jarak horisontal dan jarak miring, jarak vertikal, serta sudut horisontal dan sudut vertikal (Kavanagh, 1997). Pada pekerjaan ini, pekerjaan survei yang diperlukan ialah survei topografi. Survei topografi diperlukan untuk mengimplementasikan desain jalur transmisi yang dibuat dalam bentuk peta secara langsung di lapangan. Data koordinat yang dihasilkan dari pemetaan topografi merupakan data koordinat tiga dimensi (sistem koordinat kartesian 3D) yang dapat
8
menggambarkan bentuk atau model terrain dari permukaan tanah di sepanjang rencana jalur transmisi. Tahapan pengukuran topografi dalam pekerjaan ini secara umum ialah pengukuran kerangka kontrol utama, pengukuran perapatan kerangka kontrol horisontal dan vertikal, pengukuran profil memanjang serta situasi ROW. I.5.3.1. Pengukuran kerangka kontrol GPS. Metode pengamatan yang dilakukan untuk pengadaan kerangka titik kontrol geodetik lokal ialah metode survei GPS. Metode penentuan posisi yang digunakan dalam survei GPS ialah differential positioning. Metode ini membutuhkan minimal dua buah unit receiver GPS yang beroperasi secara simultan. Satu receiver berfungsi sebagai base station dan satu receiver lainnya berfungsi sebagai rover station. Base station berfungsi sebagai stasiun referensi dimana telah diketahui koordinatnya memberikan sinyal koreksi terhadap rover station. Parameter yang harus diperhatikan terkait dengan survei GPS antara lain lokasi titik, jumlah titik, konfigurasi jaringan dari pilar/titik GPS yang diamat dan karakteristik baseline (Abidin, 1994). Pemilihan lokasi titik dan jumlah dari titik yang diamat disesuaikan dengan keperluan dan tujuan dari survei. Lokasi titik harus mudah dijangkau untuk menjamin efisiensi dari proses pengukuran. Konfigurasi jaringan merupakan bentuk jaringan yang terdiri dari baseline- baseline yang menghubungkan titik-titik pengamatan. Dalam konfigurasi jaringan dikenal istilah baseline trivial dan baseline bebas. Contoh konfigurasi jaringan baseline disajikan dalam Gambar I.3.
Keterangan Gambar I.3 : : titik referensi dengan orde lebih tinggi : titik pengamatan : baseline trivial
Metode Radial
Metode Jaringan
: baseline bebas
Gambar I.3. Konfigurasi jaringan baseline Baseline trivial adalah baseline yang dihitung dengan menurunkan persamaan pengamatan baseline lainya dari satu sesi pengamatan. Baseline yang
9
tidak trivial disebut dengan baseline bebas (non trivial). Pada Gambar I.3 dapat dilihat bahwa jika pada satu sesi pengamatan terdapat n receiver yang beroperasi secara simultan, maka akan terdapat (n-1) baseline bebas. Dalam pengolahan data GPS, baseline trivial sebaiknya tidak digunakan karena mempengaruhi tingkat ketelitian yang dihasilkan. Oleh karena itu, semakin banyak jumlah baseline bebas dalam suatu jaringan menjadi semakin baik hasil yang diperoleh. Pada Gambar I.3 menampilkan dua metode jaringan baseline yaitu metode radial dan metode jaringan. Pada pekerjaan ini metode yang digunakan adalah metode radial. Metode radial dipilih karena memiliki keunggulan dari sisi efisiensi alat yang digunakan, waktu, biaya dan tenaga yang dibutuhkan. Namun metode radial juga memiliki kekurangan dari sisi ketelitian yang dihasilkan. Geometri penentuan posisi pada metode radial relatif lebih lemah jika dibandingkan dengan geometri pada metode jaringan, sehingga menghasilkan ketelitian posisi yang lebih rendah. I.5.3.2. Pengukuran perapatan kerangka kontrol.
Pengukuran poligon
dibutuhkan untuk perapatan koordinat titik kontrol kerangka pemetaan. Poligon adalah rangkaian titik-titik secara berurutan, sebagai kerangka dasar pemetaan (Basuki, 2006). Suatu titik dapat diketahui koordinatnya dengan mengukur asimut dan jarak yang dibentuk oleh dua titik. Ilustrasi perhitungan koordinat pada pengukuran perapatan kerangka control disajikan pada Gambar I.4. y(+)
B (xB, yB)
yB
αP1 Δy dAB
x(+)
A(0,0) Δx
xB
Gambar I.4. Ilustrasi perhitungan koordinat titik perapatan titik kontrol
10
Pada Gambar I.4 titik B ingin diketahui koordinatnya dengan diikatkan pada titik A yang telah diketahui koordinatnya. Rumus perhitungan koordinat titik B adalah : 𝑋𝐵 = 𝑋𝐴 + 𝑑𝐴𝐵 sin 𝛼𝐴𝐵 .............................................................................(1.4) 𝑌𝐵 = 𝑌𝐴 + 𝑑𝐴𝐵 cos 𝛼𝐴𝐵 .............................. .............................................(1.5) Keterangan rumus : X,Y : koordinat titik d
: jarak
α
: asimut Berdasarkan posisi titik awal dan titik akhirnya, poligon dibagi menjadi dua
jenis yaitu poligon terbuka dan poligon tertutup. Poligon terbuka adalah poligon yang titik awal dan titik akhirnya terletak pada tempat yang terpisah, sedangkan pada poligon tertutup, titik awal dan titik akhir dari poligon terletak pada tempat yang sama. Poligon terbuka dibagi menjadi dua jenis, yaitu poligon terbuka terikat sempurna dan poligon terbuka terikat sepihak. Pada pekerjaan pemetaan topografi jalur transmisi, jenis poligon yang digunakan ialah poligon terbuka terikat sempurna. Pada poligon terbuka terikat sempurna titik awal dan titik akhir poligon diikatkan terhadap titik-titik yang telah diketahui koordinat definitifnya dan berfungsi sebagai kontrol, baik berupa kontrol koordinat maupun kontrol asimut. Titik kontrol tersebut diukur menggunakan perangkat GPS teliti. Ilustrasi dari geometri poligon terbuka terikat sempurna dapat dilihat pada Gambar I.4.
Gambar I.5. Poligon terbuka terikat sempurna (Basuki, 2006)
11
Keterangan Gambar I.4 : A, B, P, Q
: titik yang diketahui koordinatnya (x,y,z)
1, 2, 3, 4
: titik poligon
αAP, αBQ
: asimut awal dan akhir
A1, 12, 23, 34, 4B
: asimut (sudut arah) titik–titik poligon
βA, β1, β2, β3, β4, βB
: sudut ukuran
d1’, d2’, d3’, d4’, d5’
: jarak ukuran
Pada poligon terbuka terikat sempurna, koordinat dari setiap titik poligon dapat dihitung dengan menggunakan data asimut dan jarak hasil ukuran. Asimut setiap sisi poligon dihitung dari data pengukuran sudut setiap titik. Beda tinggi relatif antara titik tinggi dapat ditentukan dengan pengukuran Kerangka Kontrol Vertikal (KKV) sebagai kontrol pada pengukuran profil memanjang. Pengukuran kerangka kontrol vertikal diikatkan pada titik/BM yang sudah memiliki nilai tinggi definitif yang benar. Pengukuran perapatan kerangka vertikal dapat dilakukan dengan menggunakan metode pengukuran beda tinggi trigonometris dan dilakukan bersamaan dengan pengukuran situasi ROW sepanjang rencana jalur. Terdapat dua kondisi pada pengukuran kerangka vertikal dengan metode trigonometris, yaitu kondisi target lebih tinggi dan target lebih rendah dari titik berdirinya alat. Ilustrasi dari pengukuran kerangka vertikal dengan metode trigonometrik
(target lebih tinggi) dapat dilihat pada Gambar I.5. dan metode
trigonometrik (target lebih rendah) pada Gambar I.6. SD
tt B
h
ta
D
Gambar I.6. Pengukuran trigonometrik target lebih tinggi
V
12
Keterangan Gambar I.6 : SD
: slope distance (jarak miring)
Z
: sudut zenit
V
: vertical distance ( jarak vertikal)
tt
: tinggi target
ta
: tinggi alat
Pada Gambar I.6 titik B adalah titik target. Perhitungan beda tinggi (∆H) menggunakan rumus I.6 : ∆H = ta +V-tt......................................................................................... (1.6) V = SD cos Z....................................................................................... (1.7) HB = HA +∆H.......................................................................................... (1.8) z h
ta
SD
V
A ∆H
tt B Gambar I.7. Pengukuran trigonometrik target lebih rendah Keterangan gambar : SD
: slope distance (jarak miring)
Z
: sudut zenit
V
: vertical distance ( jarak vertikal)
ta
: tinggi alat
tt
: tinggi target
Pada gambar tersebut titik B adalah titik target. Perhitungan beda tinggi (∆H) dihitung dengan rumus I.9 : ∆H = tt +V-ta......................................................................................... (1.9) V = - SD cos Z....................................................................................... (1.10) HB = HA +∆H ........................................................................................ (1.11)
13
I.5.3.3. Pengukuran center line. Pengukuran center line merupakan kegiatan survei pengukuran untuk membuat suatu garis lurus di lapangan. Garis lurus tersebut yang nantinya dijadikan sebagai jalur transmisi SUTT 70 kV. Surveyor harus memiliki data koordinat dan elevasi patok setiap BM hasil pengukuran kerangka kontrol horisontal dan vertikal. Pengukuran jalur dilakukan dari gantry, terminal tower ke tower sudut berikutnya sampai pada terminal tower dan gantry pada GI berikutnya, atau titik akhir yang ditentukan. Jika pengukuran terhalang oleh suatu obyek tertentu (misalnya: pohon, bangunan, dll) maka surveyor dapat menggunakan berbagai metode pengukuran untuk tetap bisa membuat garis lurus maya walaupun terhalang. Metode yang dapat digunakan antara lain : a.
Metode penyikuan Pada metode penyikuan, prinsip yang digunakan adalah pengukuran dengan arah obyek tegak lurus terhadap sebuah garis. Ilustrasi metode ini dapat dilihat pada Gambar I.8. 2
3
1
4
A
B Gambar I.8. Metode penyikuan pada pengukuran center line
Pada Gambar I.8. disajikan pengukuran center line pada titik A dan B terlahang oleh suatu bangunan, sehingga dibuatlah penyikuan pada titik 1, 2, 3, dan 4. Metode ini memiliki kelemahan dengan banyaknya perpindahan alat yang terjadi. Hal ini menyebabkan waktu pengukuran relatif lebih lama dan berpotensi menimbulkan kesalahan sistematik lebih banyak. b.
Metode segitia sama kaki Pada segitiga sama kaki, titik yang terbentuk dari dua garis yang memiliki jarak yang sama dan mengapit besaran sudut terletak pada suatu garis yang lurus. Prinsip itulah yang digunakan pada kegiatan ini. Ilustrasi metode segitiga sama kaki dapat dilihat pada Gambar I.9.
14
C
A
E B
D
Gambar I.9. Metode segitiga sama kaki pada pengukuran center line Tujuan dari metode ini adalah membuat titik D, dimana titik tersebut terletak pada garis A-B, dengan membuat jarak antara titik C-D sama seperti jarak titik B-C. Pada saat melakukan pengukuran center line yang terhalang, surveyor harus melakukan pengukuran dengan teliti dan meminimalkan perpindahan alat supaya menghindari adanya kesalahan yang berakibat pada tidak lurusnya jalur yang dibuat. Salah satu cara untuk meminimalisir adanya kesalahan tersebut adalah membuat target sedekat mungkin pada saat pengukuran jarak dan membuat target sejauh mungkin pada saat pengukuran sudut. I.5.3.4. Pengukuran profil. Terdapat dua macan profil dalam survei pemetaan, yaitu profil memanjang dan profil melintang. Profil memanjang merupakan profil topografi sepanjang garis as jalur transmisi. Pengukuran profil memanjang dilakukan untuk setiap section atau dari tower belok ke tower belok selanjutnya. Jarak setiap profil disesuaikan dengan kondisi topografi sebenarnya, sehingga hasil pengukuran dapat mewakili kondisi lapangan sebenarnya. Semakin curam kelerangan maka semakin pendek jarak profil yang diukur. Ilustrasi profil memanjang disajikan pada Gambar I.10.
Gambar I.10. Ilustrasi hasil pengukuran center line
15
Pada lapangan dengan kondisi permukaan topografi relatif datar jarak profil yang diukur relatif jauh, namun sebaiknya tidak lebih dari 100 m, untuk menghindari adanya kesalahan pengukuran yang lebih besar. Sedangkan profil melintang merupakan profil topografi arah melintang dari garis as jalur transmisi. Pengukuran profil melintang dibutuhkan jika kelerengan permukaan tanah pada lapangan mencapai kemiringan yang ekstrem (sudut kemiringan ≥ 45o ). I.5.3.5. Pengukuran situasi ROW jalur transmisi. Pengukuran situasi merupakan pengukuran terhadap semua obyek (detil) dan bentukan permukaan tanah termasuk titik tinggi didalamnya pada koridor sepanjang garis as jalur transmisi. Detil adalah obyek yang ada di lapangan, baik yang bersifat alamiah maupun hasil buatan manusia yang dijadikan isi dari peta yang dibuat (Basuki, 2006). Metode yang digunakan adalah metode polar atau koordinat kutub yang mengukur posisi tiga dimensi (x,y,z). Posisi detil ditentukan dengan asimut (sudut arah), jarak, dan beda tinggi dari titik ikat. Pengukuran dilakukan dengan menembak langsung ke titik detil. Data koordinat titik (x,y,z) dan raw data (jarak dan sudut) akan tersimpan dalam perangkat ukur. Hasil dari pemetaan situasi ini adalah berupa peta yang memuat informasi berupa kontur dan letak obyek tertentu di sekitar koridor jalur. Peta situasi ini diperlukan untuk melakukan evaluasi situasi lapangan dan untuk menentukan elevasi tanah di sepanjang sepanjang rencana jalur pada daerah ROW. I.5.4. Ground Clearance Jalur Trasmisi Ground Clearance atau ruang bebas merupakan ruang yang harus dikosongkan dari benda apapun didalamnya, yang dibatasi oleh bidang vertikal dan horisontal di sepanjang konduktor transmisi demi keselamatan manusia, makhluk hidup, benda lainnya dan keamanan operasi transmisi itu sendiri. Terdapat dua komponen dalam penetapan ruang bebas yaitu jarak bebas minimum vertikal dari konduktor dan jarak bebas minimum horisontal dari sumbu vertikal menara. Jarak bebas minimum vertikal merupakan jarak terpendek antara konduktor transmisi dengan permukaan tanah atau benda apapun di atasnya. Jarak bebas minimum horisontal adalah jarak terpendek secara horisontal dari sumbu vertikal menara ke bidang vertikal yang membatasi ruang bebas.
16
Ruang bebas transmisi ditetapkan berdasarkan beberapa pertimbangan, yaitu : jarak konduktor dari sumbu vertikal menara; jarak horisontal akibat ayunan konduktor pada kecepatan angin 15 m/detik dengan sudut ayunan sebesar 20° ; jarak bebas impuls petir; jarak bebas minimum vertikal dari kabel konduktor; lendutan konduktor pada suhu maksimum (80° untuk tipe konduktor ACSR). Pada transmisi dengan tegangan 66 kV, ketetapan ruang bebas ditampilkan dalam Gambar I.11.
Gambar I.11 Ruang bebas SUTT 66 kV (Sumber : SNI 04-6918-2002) Keterangan Gambar I.11 : : penampang melintang ruang bebas pada ruang antar menara L
: jarak dari sumbu vertikal tiang ke konduktor (3 m)
H
: jarak horisontal akibat ayunan konduktor (2,74 m)
I
: jarak bebas impuls petir (0,63 m)
C
: jarak bebas minimum vertikal
D
: jarak lendutan terendah di tengah gawang
17
Nilai jarak bebas minumum vertikal (C) untuk transmisi dengan tegangan 66 kV berbeda-beda bergantung dengan lokasi dari menara transmisi dan obyek yang berada di bawahnya seperti yang ditampilkan pada Tabel I.2. Tabel I.2. Nilai jarak bebas minimum vertikal (C) SUTT 66 kV No.
Lokasi
SUTT 66 kV (m)
1.
Lapangan terbuka atau daerah terbuka a
7,5
2.
Daerah dengan keadaan tertentu b
4,5
3.
Bangunan, jembatan, tanaman/tumbuhan, hutan b
4,5
4.
Perkebunan b
8,0
5.
Jalan/jalan raya /rel kereta api a
12,5
6.
Lapangan umum, saluran udara lain a
3,0
Saluran udara komunikasi, antena dan kereta gantung, titik tertinggi kapal pada kedudukan air pasang tertinggi pada lalu
7.
lintas air a
3,0
b
: jarak bebas minimum vertikal dihitung dari permukaan bumi atau permukaan jalan/rel b
: jarak bebas minimum vertikal dihitung sampai titik tertinggi/terdekatnya
Nilai ground clearance atau ruang bebas di atas menjadi salah satu persyaratan yang harus dipenuhi dalam pembuatan desain jalur transmisi 70 kV demi kepentingan dan keselamatan makhluk hidup, benda-benda, serta keamanan operasi rangkaian transmisi itu sendiri. I.5.5. Prinsip Dasar Evaluasi Jalur Transmisi Evaluasi jalur transmisi 70 kV Giri Mulya dan Ketahun dilakukan dengan membandingkan panjang jalur, tipe, jumlah section tower dan jumlah tower keseluruhan yang digunakan dari desain awal jalur transmisi hingga jalur transmisi definitif. Terdapat dua elemen parameterater evaluasi yang sangat mendasar yang dijadikan landasan dalam melakukan evaluasi yaitu elemen jarak dan elemen sudut. Elemen jarak digunakan untuk menentukan panjang jalur dan elemen sudut digunakan untuk menentukan tipe tower sudut. Jalur transmisi terdiri dari beberapa segmen lurus yang saling berhubungan. Panjang total jalur merupakan jumlah dari seluruh panjang segmen tersebut. Tiap
18
segmen memiliki titik awal dan titik akhir yang dihubungkan oleh tower-tower transmisi. Prinsip dasar perhitungan jarak dapat menggunakan nilai koordinat titik awal dan titik akhir tersebut. Ilustrasi perhitungan jarak ditampilkan pada Gambar I.12. y(+)
P2 (x2, y2) y2
Δy d Δx
y1 P1 (x1, y1) O(0,0) x1
x(+) x2
Gambar I.12. Ilustrasi prinsip dasar perhitungan jarak Pada Gambar I.12 jarak antara P1 dan P2 adalah d satuan panjang. Rumus perhitungan d berdasarkan prinsip pitagoras ditunjukkan pada rumus I.12. 𝑑 = √∆𝑥 2 + ∆𝑦 2 ..................................................................... (I.12)
Dalam hal ini : ∆𝑥 = 𝑥2 − 𝑥1 ∆𝑦 = 𝑦2 − 𝑦1
Tipe tower sudut ditentukan berdasarkan besarnya sudut belok. Sudut belok diukur dari pelurusan suatu segmen terhadap segmen sesudahnya, seperti yang ditunjukkan pada Gambar I.13.
19
P1 (x1,y,1)
U l1
Arah jalur
Tower Transmisi P3 (x3,y3)
α l2
l2 β
P2 (x2,y,2)
α l3 l3
Gambar I.13. Dasar pengukuran sudut belok Keterangan Gambar I.13 : β : sudut belok α : asimut garis Pada Gambar I.13 dapat dicermati bahwa sumbu as tower sudut sejajar dengan sumbu tengah sudut belok. Sudut belok tersebut merupakan nilai selisih asimut yang dibentuk oleh garis l2 dan garis l3. Dasar perhitungan asimut dan sudut belok ditunjukkan pada rumus I.13 s.d. I.15. (𝑥 −𝑥2 )
𝛼𝑙2 = tan−1 (𝑦3
3 −𝑦2 )
(𝑥 −𝑥1 )
𝛼𝑙3 = tan−1 (𝑦2
2 −𝑦1 )
.................................................................. (I.13) .................................................................. (I.14)
𝛽 = 𝛼𝑙2 − 𝛼𝑙3 ......................................................................... (I.15) Evaluasi jalur transmisi yang didalamnya mencakup perhitungan jarak dan sudut digunakan bertujuan untuk mengetahui efisiensi dari jalur trasnmisi definitif terhadap desain awal jalur transmisi yang telah dibuat sebelumnya.