BAB I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Salah satu topik terpenting dalam diskursus politik pasca jatuhnya rezim Orde Baru adalah peran masyarakat sipil [civil society]. Topik ini menjadi pembicaraan paling hangat dalam satu dasawarsa terakhir menyusul jatuhnya rezim otoriter Orde Baru. Begitu bandul politik berubah ke arah demokratisasi, segeralah menyeruak dalam diskursus tentang peran masyarakat sipil dalam kehidupan bernegara dan politik. Perhatian sebagian besar cendekiawan, aktivis gerakan sosial, aktivis politik, sampai dengan agamawan tertuju pada masa depan politik yang menjujung peran masyarakat sipil1. Masyarakat sipil [civil society] telah menjadi mantra dalam diskursus politik selama satu dasawarsa terakhir. Hampir tidak ada perbincangan ilmu sosial politik yang mengalahkannya. Seluruh perhatian, khususnya pasca Soeharto, tercurah untuk memperkuat dan melembagakannya. Penelitian ini mengangkat topik yang menjadi perbincangan hangat dalam konstelasi politik Indonesia selama satu dasawarsa terakhir yakni masyarakat sipil [civil society] dengan mengambil lokasi studi di Yogyakarta. Periode yang melingkupi penelitian ini adalah transisi politik pasca Orde Baru sampai dengan pelaksanaan pemilu 2004 yang mengantarkan Susilo Bambang Yudhoyono, seorang Jenderal moderat tampil sebagai pemenang. Periode penelitian ini mengambil fase transisi demokrasi di Indonesia. Rezim Orde Baru dipandang sebagai fase supremasi militer yang ditandai dengan keterlibatan militer yang sangat dalam dan luas dalam kehidupan sosial politik melalui dwi fungsi. Kejatuhan Presiden Soeharto telah memperbesar sentimen anti militer dan memunculkan diskursus
1
Masyarakat sipil diletakkan berhadapan dengan militer(ism). Dengan demikian penguatan wacana masyarakat sipil merupakan counter poltik dari sistem politik Orde Baru yang meempatkan militer sebagai kekuatan dominan, yang kemudian merembes dalam sistem sosial budaya masyarakat yang termanifestasi dalam tradisi kekerasan, jargon, atribut, sampai dengan organisasi. Lihat Purwo Santoso (Edt) [2000] , Melucuti Serdadu Sipil; Mengembangkan Wacana Demiliterisasi Dalam Komunitas Sipil, FISIPOL UGM; Yogyakarta; Donald K. Emmerson (Edt) [2001] Indonesia Beyond Soeharto; Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi, Gramedia – The Asia Foundation; Jakarta; Gregorius Sahdan [2004] Jalan Transisi Demokrasi Pasca Soeharto, Pondok Edukasi; Yogyakarta; Geoff Forrester [1999] Post – Soeharto Indonesia; Renewal or Chaos, ISEAS – KITLV; Singapore
1
tentang partisipasi sipil yang lebih besar dalam panggung politik, bahkan lebih dari itu juga pelucutan kultur militer dalam masyarakat. Kaum oposan melihat bahwa penetrasi militer dalam kehidupan sosial politik sudah terlalu jauh, bukan hanya dalam kelembagaankelembagaan politik seperti DPR/MPR, Gubernur, Bupati, tetapi juga budaya masyarakat seperti kekerasan, slogan, simbol, upacara, bahasa dan pelanggaran hak warga2. Pemerintahan Orde Baru adalah panggung
militer dengan seluruh nilainya, tidak
terkecuali wilayah-wilayah yang seharusnya menjadi ranah sipil, seperti pendidikan, kesenian, tenaga kerja, kesehatan, dan lain sebagainya. Meruntuhkan Orde Baru dengan segala pilar politiknya berarti memasuki babak baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, bukan hanya pada kelembagaan-kelembagaan politik, tetapi juga dalam struktur budaya masyarakat yang menjunjung tinggi supremasi sipil. Lokasi penelitian di Yogyakarta. Daerah yang dianggap oleh berbagai kalangan sebagai barometer gerakan oposisi Orde Baru. Dengan tingkat melek huruf nomor dua setelah DKI Jakarta dan didukung lebih dari 80-an kampus, menjadikan Yogyakarta penghasil kelas menengah yang melek politik lebih besar dibandingkan dengan kota-kota lain di Indonesia. Kelas menengah, khususnya mahasiswa tetap menjadi penopang utama gerakan protes anti rezim. Tahun 1980-an bandul gerakan mahasiswa mulai dari Jakarta dan Bandung ke
berbagai daerah seperti Salatiga, Surabaya, Malang, Makasar, dan
Yogyakarta. Pergeseran ini dipengaruhi oleh berbagai sebaba seperti maraknya kelompok studi, kasus pelanggaran HAM seperti Kedung Ombo, Nipah, Marsinah, dan tiga mahasiswa UGM (Bambang Subono, Isti Nugroho dan Bonar Tigor N), sampai dengan ruang politik yang lebih leluasa diberikan oleh pihak kampus3. Tahun selanjutnya di Yogyakarta menjadi kancah paling menentukan bagi embrio gerakan mahasiswa dan
2
Lihat Tiwon, Sylvia., Iskra Ismayah, dkk [1999] Militerisme di Indonesia; Untuk Pemula, Aksi Bersama Rakyat Indonesia, Surabaya. Buku ini sangat menarik karena disusun dalam bahasa dan komentar yang sederhana sekaligus konprehensip disertai dengan komik-komik yang provokatif. 3 Aktivitas politik mahasiswa berkembang cukup pesat saat UGM dipimpin oleh Prof. Dr. Koesnadi Hardjasoemantri. Koesnadi Hardjasoemantri dikenal sebagai figur yang populis di kalangan mahasiswa, bahkan merupakan satu-satunya rektor yang mengantar mahasiswa demo menolak SDSB 7 Januari 1989 ke DPRD DIY [wawancara dengan Koesnadi Hardjasoemantri untuk persiapan penelitian, tanggal 5 November 2006] ; Detiknews, 08/03/2007, Siaran Pers PIJAR No. 140/Eks/Sekr.PH-YP/V/1994, tanggal 16 Mei 1994, Stanley, Seputar Kedung Ombo, ELSAM, 1994 hal 135-171. Di Salatiga, Universitas Kristen Satya Wacana menjadi tempat bagi pertumbuhan gerakan kritis karena dukungan pengajarnya seperti Arief Budiman, Ariel Haryanto, Goerge Aditjondro.
2
masyarakat sipil. Pasca pembentukan kelompok diskusi, mulai bermunculan kekuatan oposisi terhadap kebijakan NKK/BKK, perlawanan kepada kebijakan kampus (misalnya pemilihan rektor), advokasi terhadap kasus HAM, sampai pembentukan kekuatan oposisi rezim melalui Persatuan Rakyat Demokratik yang kemudian menjadi Partai Rakyat Demokratik4. Sementara itu hubungan antara intra dan ekstra kampus tetap terjaga dengan platform politik yang sama, yakni Orde Baru sebagai musuh bersama (common enemy ). Setelah para aktivis ”pensiun” dari kampus, umumnya mereka masuk dan mendirikan berbagai organisasi non pemerintah (ornop) dan tetap bekerja sama secara intensif dengan para juniornya di kampus. Keduanya menjadi mesin utama pertumbuhan masyarakat sipil di Indonesia, secara khusus di Yogyakarta5. Memahami Yogyakarta beserta seluruh dinamikanya merupakan kajian yang tidak pernah kering bagi ilmuwan sosial. Daerah ini merupakan tulang punggung perubahan sosial yang sangat penting di Indonesia. Wilayah ini telah menjadi kota yang dinamis dalam sejarah perpolitikan mahasiswa era tahun 1990-an dan sekaligus membawa resonansi bagi gerakan masyarakat sipil di Indonesia. Di luar arena gerakan mahasiswa, tumbuh juga berbagai elemen yang memberi makna penting pada upaya membangun kesadaran oposisi atas nilai dan supremasi rezim berkuasa. Bukan hanya gerakan kaum muda saja yang memiliki pengaruh pada pembentukan kesadaran oposisi, tetapi juga kaum agamawan melalui forum umat beriman, kaum intelektual melalui Komite Kemanusiaan Yogyakarta, pedagang, buruh, PKL, kaum miskin kota, petani, dan tentu saja Ornop/LSM (Organisasi non pemerintah/Lembaga Swadaya Masyarakat). Kelompok ini, baik secara sendiri-sendiri atau bersama-sama bekerja untuk memberi warna terhadap dinamika sosial politik di Yogyakarta. Gerakan masyarakat sipil di Yogyakarta terus melebar dan menyentuh isu-isu yang krusial menjelang tahun 1998, yakni suksesi kekuasaan. Berbagai elemen masyarakat di 4
Miftahuddin,[2004] Radikalisasi Pemuda; PRD Melawan Tirani,; Desantara; Jakarta; MT Arifin, Partai Rakyat Demokratik, Dokumen tidak diterbitkan; Markonina Hartisekar dan Akrin Isjani Abadi[2001] Mewaspadai Kuda Troya Komunisme di Era Reformasi, Pustaka Sarana Kajian, Jakarta. Kedua buku terakhir [lebih tepat disebut dokumen] tersebut membahas perkembangan gerakan kaum muda radikal di Indonesia. Secara khusus kedua buku tersebut menempatkan Yogyakarta sebagai arena perpolitikan baru gerakan kaum muda pada tahun 1980 sampai dengan 1990-an dengan Partai Rakyat Demokratik sebagai salah satu pelopor gerakan. 5 Untuk mengetahui lebih lanjut perkembangan masyarakat sipil di Indonesia, khususnya mereka yang bercirikan sebagai NGO’s dapat dibaca Mansour Fakih [1996] Masyarakat Sipil Untuk Transformasi Sosial : Pergolakan Ideologi LSM Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
3
Yogyakarta
bekerjasama,
bukan
hanya
mengembangkan
wacana
tanding
yang
dikembangkan oleh penguasa resmi, bahkan mulai menyentuh inti dari krisis sosial politik ekonomi yang berkembang, yakni turunnya Soeharto dari tampuk kekuasaan. Momentum Hari Kebangkitan Nasional tanggal 20 Mei 1998 menjadi titik sentral bagaimana masyarakat sipil mampu membuktikan solidaritasnya tanpa tercederai oleh insiden kekerasan melalui laku budaya yang disebut Pisowanan Agung di Alun-alun Yogyakarta6. Kisah sukses menumbangkan rezim otoriter Orde Baru dan sekaligus fenomena yang berlangsung sesudahnya telah mendorong berbagai kalangan untuk mengembangkan kajian mendalam tentang peran masyarakat sipil7. Salah satu yang paling menarik adalah polarisasi gerakan yang berlangsung pasca Soeharto, mulai dari gerakan anti status quo, pluralisme, gender, gerakan tani, gerakan buruh, diffable, lingkungan, reformasi peradilan, desentralisasi, kebijakan pembangunan, anti korupsi, hak asasi manusia, pemerintahan desa, dan tentu saja partai politik. Sebagai salah satu bagian dari transisi demokrasi di Indonesia, khususnya di Yogyakarta, perenungan atas sikap dan tindakan politik yang dilakukan, khususnya latar belakang sebagai aktivis Ornop, membawa keinginan untuk menyelidiki lebih jauh dimana peran dan persoalan gerakan masyarakat sipil pasca kejatuhan Soeharto. Kesempatan riset ini akan digunakan untuk mengurai, melihat, menganalisis, dan mendudukkan persoalan gerakan masyarakat sipil, khususnya di Yogyakarta. Penelitian ini akan meliputi berbagai peristiwa yang dianggap penting sepanjang transisi demokrasi dari tahun
1998 sampai dengan pelaksanaan pemilu 2004 di
6
Pengalaman peneliti sendiri ketika terlibat secara aktif dalam gerakan “Pisowanan Agung” 20 Mei 1998 menyaksikan bahwa keterlibatan berbagai elemen masyarakat Yogyakarta sangat besar. Kaum agamawan menyarankan umatnya untuk ikut dalam gerakan tersebut bersama mahasiswa, kaum pedagang memberikan sumbangan makanan minuman kepada masyarakat yang mengikuti acara tersebut, sampai tukang becak, parkir, dan satpam menjadi tenaga sukarela mengamankan jalannya peristiwa tersebut. 7 Untuk menyebut beberapa saja dapat yang dijadikan referensi adalah Darmawan Triwibowo,(ed), [2006] Gerakan Sosial; Wahana Civil Society Bagi Demokratisai; Jakarta, LP3ES – Prakarsa, Jakarta; AE Priyono, dkk [2007] Menjadikan Demokrasi Bermakna; Masalah dan Pilihan di Indonesia, Demos, Jakarta; Sobirin Nadj, edt [2003] Sepremasi Sipil Pelembagaan Politik dan Integrasi Nasional; Studi Transisi Politik Pasca Orde Baru, LP3ES, Jakarta; Hamid Abidin, dkk [2004] Menggalang Dana Menuju Perubahan Sosial, Jakarta; PIRAC-TIFA-CSSP, Jakarta dan lain sebagainya, ditambah lagi berbagai seminar dan lokakarya yang membicarakan tema-tema sejenis. Kesimpulan yang diperoleh atas situasi gerakan masyarakat sipil mengerucut pada optimisme dan pesimisme. Mereka yang berpandangan optimisme mengatakan bahwa MS sedang mengalami reposisi. Pandangan yang pesimisme memiliki preferensi yang beragam mulai dari “defisit demokrasi” (Demos), “menyiram bunga tetapi malah layu” (Ford Foundation), “pembajakan demokrasi”, “demokrasi bersubsidi”, “intelektualisasi gerakan masyarakat sipil” dan lain sebagainya.
4
Yogyakarta8. Gerakan protes senantiasa menjadi ladang studi yang menarik, bukan hanya bagi para peneliti sosial, tetapi juga para aktivisnya. Bagi peneliti, menemukan fakta sosial politik dibalik sebuah gerakan protes anti rezim merupakan tantangan yang senantiasa hadir dalam medan tema ini. Faktor yang mempengaruhi, akibat yang ditimbulkannya, serta aktor yang terlibat dalam sebagian atau keseluruhan gerakan protes anti rezim menjadi kajian yang menarik. Peneliti sosial memiliki tantangan untuk membongkar dan menemukan fakta –fakta yang tersembunyi dibalik sebuah peristiwa. Bagi masyarakat sipil sendiri penelitian ini diharapkan akan menjadi refleksi bagi kerja pemberdayaan yang lebih luas. Hubungan dialektik aksi-refleksi sangat diperlukan dalam pemberdayaan. Aksi akan hadir berikutnya setelah dilakukan refleksi atas metode, strategi dan hasil dari rangkaian sebelumnya.
I.2. Pertanyaan Penelitian Dengan latar belakang tersebut, untuk membantu mempertajam penelitian disusun dua pertanyaan dalam memahami gerakan masyarakat sipil di Yogyakarta ; 1. Bagaimana bentuk strategi dan platform gerakan masyarakat sipil di Yogyakarta pasca Orde Baru? 2. Faktor apa saja yang berpengaruh terhadap gerakan masyarakat sipil pasca Orde Baru di Yogyakarta?
I.3. Tujuan Penelitian Dari pertanyaan penelitian tersebut, dapat dirumuskan tujuan penelitian yakni : 1. Menelaah bentuk strategi dan platform gerakan masyarakat sipil di Yogyakarta pasca Orde Baru. Dengan situasi rezim yang yang berubah menjadi demokratis tentu juga terjadi perubahan strategi dan platform gerakan MS di Yogyakarta.
8
Menjelang pemilu 2004, LAPERA dan beberapa lembaga di Yogyakarta menyelenggarakan pertemuan dengan tema Rapat Konsolidasi Gerakan Pro Demokrasi Menyongsong Pemilu 2004 di Yogyakarta tanggal 15-17 April 2004. Terdapat tiga persoalan yang berkembang dalam pertemuan tersebut, pertama, bagaimana hubungan ornop dengan kekuatan politik yang lain, khususnya partai politik. Kedua, bagaimana hubungan antara ornop dengan rakyat yang menjadi medan politik pengorganisasian. Ketiga, bagaimana memastikan pemilu 2004 menjadi arena konsolidasi sipil. Dari tiga butir tersebut, nampak kegamangan gerakan masyarakat sipil terhadap fenomena politik yang berlangsung di berbagai level. Lihat Himawan Pambudi & Siti Fikriyah Kh,[2004] Menuju Konsolidasi Demokrasi, Yogyakarta, LAPERA-Forum LSM-KPI, Yogyakarta
5
2. Mengetahui faktor
yang mempengaruhi perubahan strategi dan platform gerakan
Masyarakat sipil pasca Orde Baru di Yogyakarta .
I.4. Kegunaan Penelitian Dengan memahami secara mendalam gerakan masyarakat sipil di Yogyakarta, penelitian ini diharapkan memiliki kegunaaan sebagai berikut : 1. memberikan gambaran mengenai aktor, platform dan strategi gerakan masyarakat sipil di Yogyakarta, khususnya gerakan protes pada era Orde Baru dan sesudahnya. 2. mengatahui berbagai faktor yang mempengaruhi gerakan masyarakat sipil di Yogyakarta, dapat digunakan sebagai bahan refleksi dan evaluasi mengenai berbagai persoalan yang menyertai pertumbuhan gerakan masyarakat sipil.
6