BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Hampir setengah populasi penduduk dunia menempati daerah pantai sampai 100 km dari garis pantai. Lingkungan pantai adalah lingkungan yang sangat rentan terhadap pengaruh aktivitas penduduk dan kondisi alam terutama naiknya tinggi muka air laut yang termasuk dalam fenomena variasi muka air laut (Bappenas 2010). Negara Kepulauan Indonesia memiliki wilayah lautan sebesar 77% dengan 40% masyarakat tinggal di kawasan pesisir (Bapennas 2010). Seiring dengan semakin intensifnya proses pemanasan global, intensitas terjadinya fenomena ENSO semakin meningkat (Timmermann dkk 1999 dalam Bapennas 2010). Pada saat terjadi fenomena El-Nino tahun 1997/1998, Indonesia pada umumnya mengalami musim kering yang panjang, sedangkan saat terjadi La-Nina tahun 1999, Indonesia mengalami kenaikan curah hujan yang tinggi dan kenaikan tinggi muka air laut sebesar 20 s.d 30 cm, sehingga menyebabkan banjir disebagian besar wilayah Indonesia, terutama wilayah pesisir (Bapennas 2010). Oleh karena itu, informasi variasi permukaan laut sangat diperlukan. Informasi tersebut digunakan untuk memperkirakan akibat yang ditimbulkan dari fenomena variasi muka laut tersebut, pengelolaan dan pembangunan wilayah pesisir, mendukung kehidupan masyarakat pesisir, kegiatan ekonomi, dan lain-lain. Variasi permukaan laut merupakan kenaikan dan penurunan permukaan laut secara simultan dalam jangka waktu tertentu. Variasi permukaan laut dianalisis secara runtut waktu (time series) dari data ketinggian permukaan laut dalam kurun waktu tertentu. Variasi permukaan laut diklasifikasikan dalam variasi 2 mingguan, variasi bulanan (intra musiman), variasi musiman (Pamuji 2009 dan Oktavia dkk 2011), variasi tahunan (annual variations), variasi 5 tahunan (inter-annual variations) dan variasi permukaan laut 10 tahunan (decadal variations) (Senjyu dkk 1999). Kenaikan muka air laut juga termasuk dalam kategori variasi permukaan laut, dimana kenaikan muka air laut
1
2
merupakan trend linear dari variasi permukaan laut. Variasi permukaan laut dapat disebabkan karena pemanasan global yang meliputi ekspansi termal permukaan laut dan mencairnya es di kutub. Peristiwa variasi permukaan laut juga berhubungan erat dengan peristiwa El-Nino-Southern Oscillation (ENSO) (Senjyu dkk 1999). Variasi permukaan laut dipengaruhi oleh kondisi spasial dan temporal. Secara substansial variasi permukaan laut global berbeda dengan variasi regional dimana variasi permukaan laut regional lebih komplek karena dipengaruhi oleh temperatur dan salinitas region/daerah tersebut (Bindoff dan Willebrand n.d). Kajian variasi permukaan laut telah dilakukan oleh beberapa peneliti, diantaranya oleh Pamuji (2009) dan Oktavia dkk (2011). Pamuji (2009) mengidentifikasi variasi permukaan laut di Perairan Sabang, Sibolga, Padang, Cilacap dan Benoa. Oktavia dkk (2011) mengidentifikasi variasi permukaan laut di perairan Selat Sunda. Berdasarkan penelitian tersebut, variasi permukaan laut yang dapat diidentifikasi dari data pasut satu tahun meliputi variasi permukaan laut 2 mingguan, intra musiman, dan musiman. Beberapa peneliti juga mengkaji tentang perubahan muka laut di Indonesia. Perairan laut Indonesia sejak tahun 1993 s.d 2011 mengalami kenaikan dengan rata-rata 4 mm/tahun. Nilai kenaikan muka air laut tersebut dihitung berdasarkan data satelit altimetri dan 4 stasiun pasut (Fenoglio-Marc dkk 2012). Kenaikan muka air laut di Pulau Jawa tahun 2000 s.d 2010 sebesar 2,46 + 0,33 mm/tahun untuk Laut Utara Jawa dan sebesar 0,97 +0,36 mm/tahun untuk Laut Selatan Jawa (Wuriatmo 2012). Identifikasi semua variasi permukaan laut yang telah disebutkan diperlukan data permukaan laut periode panjang. Data permukaan laut periode panjang diantaranya dapat diperoleh dari teknologi ektraterestris yaitu satelit altimetri dan secara terestris yaitu pengukuran pasang surut air laut di stasiun pasut. Satelit altimetri didesain dengan tiga misi utama, yaitu mengamati sirkulasi lautan global, mengamati volume es di kutub, dan mengamati perubahan tinggi muka laut global (Abidin 2007). Mengingat kegunaan dan kontribusi yang sangat signifikan dari data satelit altimetri dalam studi kelautan, maka satelit altimetri dirancang untuk memiliki misi yang berkelanjutan. Salah satu misi satelit altimetri yang berkelanjutan adalah satelit Topex/Poseidon yang diluncurkan pada
3
tahun 1992 kemudian dilanjutkan dengan satelit Jason-1 yang diluncurkan tahun 2002 dan satelit Jason-2 yang diluncurkan tahun 2008 sampai sekarang. Ketiga satelit altimetri tersebut memiliki misi yang sama, yaitu pemantauan dinamika air laut. Di sisi lain, data permukaan laut periode panjang juga dapat diperoleh dari pengukuran di stasiun pasang surut (selanjutnya disebut stasiun pasut). Stasiun pasut di perairan Indonesia dikelola oleh Badan Informasi Geospasial (BIG). Data periode panjang dari satelit altimetri maupun pasut memiliki banyak permasalahan sehingga untuk pengolahan datanya perlu dilakukan penanganan khusus. Kesalahan pada data multi satelit altimetri antara lain data yang masuk daratan, data kosong, data outlier, referensi data multi satelit yang berbeda, dan kesalahan karena faktor geofisik. Kesalahan-kesalahan tersebut dapat diatasi dengan kegiatan postprocessing data satelit altimetri. Kesalahan yang ada pada data pasut antara lain data kosong, data outlier, kesalahan referensi (offset) dan perbedaan nilai tunggang pasut pada periode tertentu. Data permukaan laut yang digunakan untuk analisis variasi permukaan laut harus terkoreksi dari kesalahan-kesalahan tersebut. Untuk mendeteksi pengaruh dari fenomena global seperti EL-Nino dan La-Nina, maka kajian variasi permukaan laut baiknya menggunakan data periode panjang. Selain itu, variasi permukaan laut juga berbeda-beda tergantung posisi. Oleh karena itu, pada penelitian ini dikaji mengenai variasi permukaan laut menggunakan data periode panjang dan cakupan regional. Wilayah yang digunakan untuk penelitian adalah perairan Pulau Jawa. Pertimbangan pemilihan perairan Pulau Jawa karena Pulau Jawa merupakan Pulau di Indonesia dengan penduduk terpadat. Jumlah penduduk yang tinggal di Pulau Jawa sekitar 58% dari total penduduk di Indonesia (BPS 2011). Tingkat pembangunan di Pulau Jawa lebih tinggi dibandingkan dengan pulau-pulau lain serta sebagian besar masyarakat tinggal di pesisir, selain itu perairan Pulau Jawa juga terdiri atas Laut Utara dan Laut Selatan Jawa yang memiliki topografi berbeda.
4
I.2. Perumusan Masalah Iklim ekstrim (El Niño dan La Niña), global warming juga mempengaruhi variasi permukaan laut, baik akibat ekspansi volume air laut karena naiknya suhu air laut, maupun mencairnya es glasier dan es di kutub utara dan selatan. Seiring dengan semakin intensifnya proses pemanasan global, intensitas terjadinya fenomena ENSO semakin meningkat (Timmermann dkk 1999). Meskipun dampak variasi permukaan laut yang ekstrim seperti kenaikan tinggi muka air laut hanya menjadi wacana di kalangan ilmuwan, tetapi setiap penduduk terutama yang tinggal di daerah pantai harus tanggap terhadap resiko penurunan kualitas kehidupan di lingkungan pantai akibat naiknya tinggi muka air laut. Sementara itu, berbagai hasil studi perubahan iklim menunjukkan bahwa potensi kenaikan tinggi muka air laut akan bervariasi dari 60 cm s.d 100 cm, sampai dengan tahun 2100 (Bapennas 2010). Dampak perubahan permukaan laut seperti yang telah disebutkan sangat dirasakan bagi masyarakat yang tinggal di daerah pesisir seperti Pulau Jawa. Pulau Jawa merupakan pulau di Indonesia dengan jumlah penduduk terpadat yang sebagian besar penduduknya tinggal di pesisir. Oleh karena itu sangat memerlukan informasi kelautan untuk mendukung kegiatan ekonomi masyarakat, pengelolaan dan pengembangan wilayah pesisir. Informasi kelautan yang dimaksud adalah informasi tentang variasi permukaan laut. Variasi permukaan laut dapat diinterpretasi dari data permukaan laut periode panjang. Perkembangan teknologi telah memberikan kontribusi yang baik dalam hal akuisisi data permukaan laut. Data permukaan laut periode panjang dapat diperoleh dari pengukuran ektraterestris yaitu satelit altimetri dan pengukuran langsung di stasiun pasut. Mengingat pentingnya informasi mengenai variasi permukaan laut, maka sangat diperlukan kajian komprehensif mengenai variasi permukaan laut di perairan Pulau Jawa menggunakan data permukaan laut periode panjang dari satelit altimetri dan pasut. Di sisi lain, besarnya hubungan antara kedua data permukaan laut tersebut serta pengaruh faktor global berupa ENSO terhadap variasi permukaan laut juga perlu diketahui.
5
I.3. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang disebutkan, maka dapat disusun pertanyaan penelitian sebagai berikut. 1. Apa saja variasi permukaan laut perairan Pulau Jawa yang dapat diidentifikasi dari data satelit altimetri dan pasang surut selama 20 tahun? 2. Berapakah nilai rata-rata kenaikan muka air laut di perairan Pulau Jawa dalam kurun waktu 1995 s.d 2014 berdasarkan data satelit altimetri dan pasang surut? 3. Bagaimana perbandingan pola data permukaan laut dari satelit altimetri dan pasut di perairan Pulau Jawa? 4. Bagaimana pengaruh faktor global terhadap variasi permukaan laut di perairan Pulau Jawa? I.4. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian adalah sebagai berikut. 1. Teridentifikasinya variasi permukaan laut perairan Pulau Jawa yang meliputi pola variasi permukaan laut bulanan, tiga bulanan, tahunan, lima tahunan dan 10 tahunan sejak tahun 1995 s.d 2014 berdasarkan data satelit altimetri dan pasang surut. 2. Diperolehnya nilai rata-rata kenaikan muka air laut di perairan Pulau Jawa dalam kurun waktu 1995 s.d 2014. 3. Diketahuinya perbandingan pola data permukaan laut dari satelit altimetri dan pasut di perairan Pulau Jawa. 4. Diperolehnya informasi pengaruh faktor global terhadap variasi permukaan laut di perairan Pulau Jawa. I.5. Manfaat Penelitian Berdasarkan informasi variasi permukaan laut, dapat diketahui perubahan muka laut secara ekstrim, baik berupa fenomena muka laut naik maupun turun. Berdasarkan hal tersebut maka, informasi variasi permukaan laut perairan Pulau Jawa dapat
6
digunakan oleh pemerintah sebagai pendukung kegiatan perencanaan, pembangunan dan pengembangan wilayah pesisir Pulau Jawa. Informasi tersebut juga mendukung kegiatan manajemen bencana akibat perubahan permukaan laut, seperti memprediksi daerah yang terkena dampak kenaikan muka air laut, mendukung perekonomian kawasan pesisir, serta menambah khasanah ilmu pengetahuan. Selain itu, masyarakat umum dapat memanfaatkan informasi variasi permukaan laut untuk mengetahui perubahan permukaan laut yang disebabkan karena pengaruh global seperti ENSO dan peristiwa musiman sehingga dapat memperkirakan kapan baiknya waktu berlayar, kegiatan pertanian di wilayah pesisir dan lain sebagainya. I.6. Cakupan Penelitian Cakupan untuk penelitian yang dilakukan meliputi hal-hal berikut. 1. Daerah kajian adalah perairan laut Pulau Jawa meliputi Laut Utara dan Laut Selatan Jawa. 2. Data utama yang digunakan dalam penelitian meliputi data satelit altimetri Topex/Poseidon, Jason-1 dan Jason-2 dan data pasut di stasiun pasut Pondok Dayung, Semarang, Jepara, Surabaya, Prigi, Sadeng, Cilacap. 3. Metode untuk analisis variasi permukaan laut meliputi metode moving average, analisis regresi linier dan uji korelasi. 4. Analisis penelitian meliputi: a. Analisis tentang variasi permukaan laut perairan Pulau Jawa meliputi pola variasi permukaan laut bulanan, 3 bulanan (seasonal variations), tahunan (annual variations), antar tahunan (inter-annual variations) dan 10 tahunan (decadal variations). b. Analisis kenaikan muka air laut yang terjadi di perairan Pulau Jawa selama 20 tahun. c. Perbandingan pola data permukaan laut dari satelit altimetri dan pasut. d. Analisis pengaruh faktor global yang mempengaruhi variasi muka air laut di perairan Pulau Jawa.
7
I.7. Tinjauan Pustaka Hampir setengah populasi penduduk dunia menempati daerah pantai sampai 100 km dari garis pantai. Lingkungan pantai merupakan lingkungan yang sangat rentan terhadap pengaruh aktivitas penduduk dan kondisi alam terutama perubahan muka air laut (Bapennas 2010). Variasi permukaan laut telah menjadi bahasan di beberapa wilayah pesisir dunia dan Indonesia antara lain Laut Cina Selatan (Peng dkk 2013), Tropical Pacific Island (Becker dkk 2012), sebelah barat laut tepi Laut Pasifik (Marcos dkk 2012), Pantai Jepang (Senjyu dkk 1999), Selat Sunda (Oktavia dkk 2011) dan di beberapa stasiun pasut Indonesia (Pamuji 2009) dimana data yang digunakan adalah data satelit altimetri dan pasang surut. Pembahasan variasi permukaan laut di wilayah tersebut menunjukkan adanya kesamaan yaitu tentang variasi permukaan laut tahunan (annual variations), antar tahunan (inter-annual variations), variasi musiman (seasonal variations), variasi permukaan laut 10 tahunan (decadal variations) dan kenaikan muka air laut. Untuk penelitian di perairan Indonesia, variasi permukaan laut yang dibahas adalah variasi permukaan laut dua mingguan, intra-musiman, dan musiman, karena periode data yang digunakan satu tahun. Ada manfaat langsung dengan memahami variasi iklim yang mempengaruhi variasi permukaan laut. Misalnya, ada keuntungan ekonomi yang besar jika dapat diketahui bagaimana memprediksi setiap El-Nino, termasuk ukurannya dan efek global seperti banjir, kekeringan, kenaikan atau penurunan badai, pengaruh pada hasil tangkapan ikan, dan lain-lain (Parker 1992). Penelitian tentang variasi permukaan laut yang telah dilakukan oleh Peng dkk (2013), Becker dkk (2012), Marcos dkk (2012) dan Senjyu dkk (1999) menggunakan data permukaan laut periode panjang, kurang lebih 50 tahun. Data permukaan laut periode panjang dapat diperoleh dari satelit altimetri dan pasut. Data permukaan laut periode panjang biasanya mengandung banyak kesalahan, sehingga perlu dilakukan penanganan khusus. Data pasut yang digunakan untuk analisis harus dilakukan pretreating, meliputi normalisasi data dan menghilangkan data yang menyimpang (Van Onselen 2000). Penanganan data pasut kosong yang kurang dari empat bulan yaitu dengan interpolasi linier. Apabila data pasut kosong lebih dari empat bulan, maka
8
dilakukan interpolasi regresi linier antara data muka air laut stasiun tersebut dengan stasiun pasut terdekat (Senjyu dkk 1999). Selain itu, data pasut yang kosong dapat diatasi dengan mengisi data kosong menggunakan “missing data” yaitu Not a Number (NaN) (Pawlowicz dkk 2002). Data satelit altimetri yang digunakan untuk analisis perubahan muka air laut perlu dilakukan kegiatan pre-processing berupa retracking data waveform, karena data hasil pengamatan di atas perairan yang dekat dengan daratan dan perairan dangkal memiliki kualitas yang rendah (Heliani dkk
2011). Metode yang paling optimal untuk
meningkatkan kualitas data Sea Surface Height (SSH) perairan Pulau Jawa adalah metode threshold retracker (nilai threshold 10 % dan 50 %) (Wijaya 2015). Selain preprocessing, data satelit altimetri perlu dilakukan post-processing berupa koreksi geofisik (Ablain dkk 2009 dalam Becker dkk 2012). Model koreksi geofisik yang sesuai untuk data satelit altimetri adalah kombinasi dari koreksi ECMWF, GIM dan FES2004 (Putra 2013). Identifikasi variasi permukaan laut dari data pasut maupun satelit altimetri dapat dilakukan dengan smoothing data (Senjyu dkk 1999). Teknik smoothing data antara lain teknik rata-rata atau averaging seperti moving average dan exponential, teknik yang berdasarkan pada dekomposisi nilai tunggal dari sekelompok pengukuran (spectrum analysis), teknik yang berdasarkan pada pemrosesan dalam domain spektral seperti fourier dan wavelet analysis (Van Onselen 2000). Teknik moving average dan singular spectrum analysis dapat membedakan antara pola dekadal dalam variasi permukaan laut (decadal variations) (Van Onselen 2000). Secara teknis, proses identifikasi variasi permukaan laut dapat dilakukan dengan merubah window/periode untuk smoothing data. Misalnya, untuk mengidentifikasi variasi permukaan laut inter-annual menggunakan window 12 s.d 120 bulan dan variasi permukaan laut dekadal menggunakan window lebih dari 120 bulan (Senjyu dkk 1999). Metode lain untuk identifikasi variasi permukaan laut yaitu dengan menghitung nilai sperktrum densitas energi dari gelombang permukaan laut yang telah di smoothing. Nilai
9
spektrum densitas energi digunakan untuk mendefinisikan fenomena–fenomena seperti variasi dua mingguan, variasi bulanan, dan variasi musiman (Pamuji 2009 dan Oktavia dkk 2011). Variasi permukaan laut dipengaruhi oleh beberapa faktor. Variasi permukaan laut intra- musiman dipengaruhi oleh gelombang Kelvin. Gelombang Kelvin terbentuk akibat gangguan yang berasal dari Samudra Hindia (Sprintall dkk 2000). Gelombang Kelvin menjalar di ekuator ke arah barat kemudian rambatannya pecah menjadi dua ke utara dan ke selatan. Rambatan gelombang Kelvin yang ke selatan diperkirakan menimbulkan fenomena intra musiman (Pamuji 2009 dan Oktavia dkk 2011). Variasi permukaan laut perairan Indonesia dipengaruhi oleh adanya Arus Lintas Indonesia (Arlindo), dimana transpor Arlindo berhubungan erat dengan peristiwa angin musiman dan ENSO (fenomena El-Nino dan La-Nina) (Safitri dkk 2012). Analisis pengaruh faktor global dalam hal ini El-Nino dan La-Nina (sering disebut ENSO/El Nino Southern Oscilation) terhadap variasi permukaan laut dapat diketahui dengan menggunakan data Indeks Nino (Peng dkk 2013 dan Becker dkk 2011). Data Indeks Nino adalah nilai rata-rata suhu permukaan laut (SPL) di daerah Pasifik Timur. Untuk wilayah Indonesia, data Indeks Nino yang dipakai adalah Indeks Nino3 yang didefinisikan antara 1500 BB sampai 500 BB dan dari 50 LU sampai 50 LS (Bapennas 2010). Data Indeks Nino3 digunakan untuk mendeteksi fenomena terjadinya El-Nino dan La-Nina selama kurun waktu penelitian. Cara untuk mengetahui hubungan ENSO dan variasi permukaan laut yaitu dengan menghitung korelasi antara data Indeks Nino3 dengan data permukaan laut (Peng dkk 2013 dan Becker dkk 2011). Hal yang membedakan antara penelitian yang telah disebutkan sebelumnya dengan penelitian yang dilakukan adalah pada variasi permukaan laut yang ditentukan dan data yang digunakan. Variasi permukaan laut yang diidentifikasi meliputi variasi permukaan laut bulanan, musiman, tahunan, lima tahunan dan dekadal serta kenaikan muka air laut di perairan Pulau Jawa menggunakan data permukaan laut selama 20 tahun. Data permukaan laut yang digunakan adalah data satelit altimetri yang terkoreksi dari
10
kesalahan geofisik dan data pasut yang terkoreksi dari data outliers, data offset dan lain sebagainya. Metode smoothing yang digunakan untuk identifikasi variasi permukaan laut adalah moving average dan analisis regresi linier. Untuk mengetahui keterhubungan antara data, digunakan uji korelasi. Metode moving average dipilih untuk identifikasi variasi permukaan laut pada penelitian ini karena metodenya sederhana dan dapat membedakan pola dekadal dalam variasi data permukaan laut. Sedangkan untuk analisis kenaikan permukaan laut menggunakan metode regresi linier karena pola kenaikan muka air laut menunjukan pola yang mendekati linier, dimana semakin tahun semakin naik. I.8. Landasan Teori I.8.1. Variasi Permukaan Laut Variasi permukaan laut yang dimaksud dalam penelitian ini merupakan perubahan permukaan laut, meliputi variasi permukaan laut yang dapat diklasifikasikan berdasarkan periode tertentu dan kenaikan muka air laut. Penjelasan lebih detil disajikan pada subbab berikut. I.8.1.1. Variasi permukaan laut. Variasi permukaan laut merupakan perubahan permukaan laut berupa kenaikan atau penurunan muka air laut secara simultan (Senjyu dkk 1999). Variasi permukaan laut dapat diklasifikasikan dalam variasi permukaan laut tahunan (annual variations), yaitu perubahan permukaan laut berupa naik atau turun yang terjadi setiap periode satu tahun. Variasi permukaan laut antar tahunan (interannual variations) berulang setiap periode antara satu tahun sampai lima tahunan. Pada penelitian ini, inter-annual variations disebut variasi permukaan laut lima tahunan. Variasi permukaan laut musiman (seasonal variations) merupakan peristiwa kenaikan atau penurunan muka air laut yang berulang setiap periode musiman, misalnya untuk Indonesia musim barat dan musim timur. Variasi permukaan laut dekadal didefinisikan sebagai perubahan permukaan laut setiap periode 10 tahun.
11
Parker (1992) menyatakan bahwa variasi musiman (seasonal variation) di permukaan laut dapat disebabkan oleh perubahan musiman suhu, perubahan musiman aliran sungai, atau perubahan musiman angin. Variasi permukaan laut antar tahunan di Pasifik tropis adalah hasil dari El Nino Southern Oscillation (ENSO). Variasi permukaan laut antar tahunan di lokasi lain di seluruh dunia juga mencerminkan interaksi iklim antara laut dan atmosfer. I.8.1.2. Faktor global yang mempengaruhi variasi permukaan laut (ENSO). ElNino (dibaca El Ninyo) adalah kondisi abnormal iklim dimana suhu permukaan Samudra Pasifik di darat Ekuador dan Peru lebih tinggi dari rata-rata normalnya. Ciriciri kejadian El-Nino adalah adanya penghangatan suhu permukaan laut di Samudra Pasifik bagian tengah dan membentuk suatu kolam hangat yang berefek pada pendinginan suhu permukaan laut di lautan Indonesia.
Istilah ini pada mulanya
digunakan untuk menamakan arus laut hangat yang terkadang mengalir dari utara ke selatan antara pelabuhan Paita dan Pacasmayo di daerah Peru yang terjadi pada bulan Desember. La-Nina dicirikan dengan pendinginan suhu permukaan laut di Samudra Pasifik bagian tengah dan kolam hangatnya berpindah ke bagian barat Samudra Pasifik (di sekitar lautan Indonesia) yang berefek pada penghangatan suhu permukaan laut di lautan Indonesia. Penyebaran El-Nino dan La-Nina dapat dilihat pada Gambar I.1, dimana pada peristiwa El-Nino maka suhu permukaan laut meningkat (ditandai warna merah pada Gambar I.1 bagian atas). Tahun-tahun terjadinya El-Nino dan La-Nina dapat dilihat pada Gambar I.2. El-Nino dan La-Nina dikenal sebagai putaran selatan Nino sehingga sering disebut El-Nino Southern Oscilation (ENSO). Beberapa dampak peristiwa El-Nino di Indonesia adalah musim kemarau yang berkepanjangan, mengingkatnya suhu harian di atas normal, timbulnya kebakaran lahan yang berlebih apabila ada pembukaan lahan, dan lain-lain. Dampak kejadian La-Nina di Indonesia adalah terjadinya hujan berkepanjangan, banjir, dan tanah longsor.
12
Penghangatan suhu muka laut di Samudra Pasifik sebagai tanda El-Nino
Penurunan suhu muka laut di Samudra Pasifik sebagai tanda La-Nina
Gambar I. 1. Penyebaran El-Nino (atas) dan La-Nina (bawah) (Kesuma 2011)
Gambar I. 2. Periode El-Nino dan La-Nina berdasarkan suhu (www.aviso.oceanobs.com) Berdasarkan Gambar I.2, peristiwa El-Nino terjadi pada tahun 1994, 1997, 2002, 2004, 2006, 2009, dan 2014. Peristiwa La-Nina terjadi pada tahun 1995, 1998, 1999, 2007, 2010, dan 2012. I.8.1.3. Kenaikan permukaan laut. Peningkatan muka air laut merupakan pengaruh dari adanya proses pemanasan global dan mencairnya es di kutub (Marcy dkk 2012). Peningkatan muka air laut awalnya dipandang sebagai suatu rangkaian proses pasang surut. Saat ini peningkatan muka air laut disinyalir disebabkan oleh efek pemanasan global. Peningkatan muka air laut secara relatif dapat berubah untuk beberapa alasan
13
dan selama rentang skala waktu (Yoskowits dkk 2009). Penyebab kenaikan muka air laut diklasifikasikan menjadi tiga faktor, yaitu: 1. Faktor global. Penyebab utama kenaikan muka air laut yang merupakan faktor global adalah ekspansi termal dari lapisan permukaan laut dan mencairnya es di kutub serta perubahan iklim global. 2. Faktor regional. Faktor regional umumnya ditimbulkan oleh aktifitas tektonik dalam suatu region yang meliputi daerah yang relatif luas, misalnya pergeseran lempeng tektonik. 3. Faktor lokal. Faktor lokal banyak dipengaruhi oleh proses subsidensi akibat perubahan masa tanah karena kegiatan manusia serta perubahan fluida di bawah tanah. I.8.2. Satelit Altimetri Sistem satelit altimetri berkembang sejak tahun 1973 yang diperkenalkan oleh NASA. Satelit altimetri merupakan teknik pengamatan muka air laut secara ekstraterestris. Satelit altimetri dilengkapi dengan pemancar pulsa radar, penerima pulsa radar yang sensitif, serta jam berakurasi tinggi. Pada saat akuisisi data, altimetri radar yang dibawa satelit memancarkan pulsa-pulsa gelombang elektromagnetik ke permukaan laut. Pulsa tersebut dipantulkan balik oleh permukaan laut dan diterima kembali oleh satelit. Secara umum prinsip dasar dari satelit altimetri dapat direpresentasikan melalui Gambar I.3 (Seeber 2003). Berdasarkan Gambar I.3, geometri dasar pengukuran satelit altimetri dapat dijelaskan melalui Persamaan (I.1) (Seeber 2003): (I. 1) Dalam hal ini: h
: tinggi satelit di atas elipsoid referensi,
N
: undulasi geoid,
H
: jarak dari geoid ke permukaan laut sesaat, dan
ρ
: jarak ukuran altimetri/ketinggian satelit di atas permukaan laut.
14
Jarak ukuran altimetri merupakan jarak rata-rata tinggi satelit dan permukaan laut daerah footprint yang sudah mengeliminasi efek dari gelombang. Data jarak ukuran altimetri diperoleh melalui analisis waktu perambatan gelombang elektromagnetik saat dipancarkan sampai diterima kembali dengan menggunakan Persamaan (I.2) berikut (Seeber 2003): (I. 2) Dalam hal ini, c adalah cepat rambat gelombang elektromagnetik dan Δt waktu tempuh saat memancarkan dan menerima sinyal gelombang.
Gambar I. 3. Konsep dasar satelit altimetri (Seeber, 2003) Satelit altimetri didesain dengan tiga misi utama yaitu mengamati sirkulasi lautan global, mengamati volume es di kutub, dan mengamati perubahan tinggi muka laut global (Abidin 2007). Keunggulan penggunaan satelit altimetri adalah jangkauan atau area pengukurannya luas yaitu hampir seluruh permukaan Bumi (bersifat global), misi satelit yang berkelanjutan sehingga menghasilkan periode data yang panjang, ketelitian pengukuran yang senantiasa meningkat, dan data mudah diakses. Jenis satelit yang
15
digunakan pada penelitian ini adalah multi satelit altimetri Topex/Poseidon, Jason-1 dan Jason 2. I.8.2.1. Satelit altimetri Topex/Poseidon (T/P). Satelit Topex/Poseidon memiliki misi melakukan observasi pergerakan air laut termasuk pengukuran tinggi muka air laut. Satelit Topex/Poseidon diluncurkan pada 10 Agustus 1992 dengan harapan waktu operasional selama 5 tahun. Satelit Topex/Poseidon merupakan proyek gabungan antara NASA dan CNES yang dilengkapi dengan alat penjejak DORIS (CNES), Laser ranging (LR), dan GPS (NASA). Karakteristik satelit Topex/Poseidon dapat dilihat dalam Tabel I.1. Tabel I. 1. Karakteristik satelit Topex/Poseidon Karakteristik Satelit Topex/Poseidon Tinggi satelit
1336 km
Resolusi temporal
10 hari (tepatnya 9,915 hari)
Jumlah lintasan satelit
254 (127 track ascending/ fase naik, 127 track descending/ fase turun)
Jarak lintasan
315 km di ekuator
Kecepatan orbit
7,2 km/detik
Kecepatan lintasan
5,8 km/detik
Elipsoid referensi
Nilai a = 6378,1363 km dan 1/f = 1/298,257
Model geoid
JGM-3/OSU91A
(Sumber: Handbook Topex/Poseidon 1996) I.8.2.2. Satelit altimetri Jason-1. Satelit Jason-1 merupakan pengembangan dari misi satelit altimetri Topex/Poseidon yang meliputi orbit, instrumen, dan akurasi pengukuran. Pengembangan yang dilakukan merupakan kerjasama antara pihak CNES dan NASA. Satelit Jason-1 diluncurkan pada tanggal 7 Desember 2001 dengan misi menyediakan data Sea Surface Height (SSH) secara kontinyu untuk seluruh bagian
16
permukaan laut di Bumi. Instrumen utama pada Jason-1 meliputi altimetri Poseidon-2, Jason-1 Microwave Radiometer (JMR), DORIS, Laser Refroflector Array (LRA) dan TRSR. TRSR merupakan penentuan lokasi dari GPS dengan metode triangulasi kemudian diintergrasikan bersama ke model penentuan orbit untuk mengetahui lintasan satelit yang kontinyu. Karakteristik satelit Jason-1 disajikan pada Tabel I.2. Tabel I. 2. Karakteristik satelit Jason-1 Karakteristik Satelit Jason-1 Tinggi satelit
1336 km
Resolusi temporal
10 hari (tepatnya 9,9158 hari)
Jumlah lintasan satelit
254 (127 track ascending/ fase naik, 127 track descending/ fase turun)
Jarak lintasan
315 km di ekuator
Kecepatan orbit
7,2 km/detik
Kecepatan lintasan
5,8 km/detik
Elipsoid referensi
Nilai a = 6378,1363 km dan 1/f = 1/298,257
Model geoid
EGM96
(Sumber: Handbook Jason-1 2012) I.8.2.3. Satelit altimetri Jason-2. Satelit Jason-2 merupakan pengembangan dari misi satelit altimetri Topex/Poseidon dan Jason-1. Satelit Jason-2 diluncurkan pada tanggal 20 Juni 2008. Misi satelit Jason-2 sama dengan misi satelit pendahulunya. Pengembangan satelit altimetri Jason-2 adalah kerjasama antara CNES, Eumetsat, NASA dan NOAA. Instrumen utama pada Jason-2 meliputi altimetri Poseidon-3, Advance Microwave Radiometer (AMR), DORIS, TRSR merupakan penentuan lokasi dari GPS dengan metode triangulasi kemudian diintergrasikan bersama ke model penentuan orbit untuk mengetahui lintasan satelit yang kontinyu, dan Laser Refroflector Array (LRA). Karakteristik satelit Jason-2 disajikan pada Tabel I.3.
17
Tabel I. 3. Karakteristik satelit Jason-2 Karakteristik Satelit Jason-2 Tinggi satelit
1336 km
Resolusi temporal
10 hari (tepatnya 9,9158 hari)
Jumlah lintasan satelit
254 (127 track ascending/ fase naik, 127 track descending/ fase turun)
Jarak lintasan
315 km di ekuator
Kecepatan orbit
7,2 km/detik
Kecepatan lintasan
5,8 km/detik
Elipsoid referensi
Nilai a = 6378,1363 km dan 1/f = 1/298,257
Model geoid
EGM96
(Sumber: Handbook Jason-2 2011) I.8.3.Pengolahan Data Satelit Altimetri Satelit altimetri dapat menghasilkan data ketinggian permukaan bumi atau laut di atas bidang ellipsoid referensi yang dinamakan tinggi permukaan laut sesaat (SSH). Berdasarkan Gambar I.3, SSH dapat ditentukan berdasarkan Persamaan (I.3) atau (I.4) (Seeber 2003). (I. 3) atau, (I. 4) Dalam hal ini: h
: tinggi satelit di atas elipsoid referensi,
ρ
: jarak ukuran altimetri/ketinggian satelit di atas permukaan laut
N
: undulasi geoid,
H
: jarak dari geoid ke permukaan laut sesaat.
18
Hasil pengukuran satelit altimetri tidak bebas dari kesalahan-kesalahan. Oleh karena itu, perlu dilakukan koreksi terhadap kesalahan dan bias. Kesalahan dan bias tersebut dikelompokan menjadi empat jenis, yang dijelaskan sebagai berikut (Abidin 2007). 1. Kesalahan dan bias yang terkait dengan sensor. Kesalahan dan bias yang terkait dengan sensor, antara lain kesalahan waktu altimetri, kesalahan kalibrasi altimetri, kesalahan pengarah (pointing) altimetri, dan noise dari altimetri. 2. Kesalahan dan bias yang terkait dengan propagansi sinyal merupakan kesalahan yang terjadi karena refaraksi ionosfir dan refraksi troposfer (komponen kering dan basah). 3. Kesalahan dan bias yang terkait dengan satelit. Kesalahan ini terjadi karena adanya kesalahan dalam pendefinisian orbit satelit dan kesalahan sistem koordinat dari stasiun-stasiun kontrol. 4. Kesalahan dan bias yang terkait dengan dinamika muka laut. Kegiatan post-processing data satelit altimetri merupakan studi peningkatan ketelitian data pengamatan satelit altimetri dengan memberi berbagai model koreksi geofisik/geometrik meliputi koreksi troposfer, koreksi ionosfer, koreksi sea-state bias dan koreksi pasut (Andersen dan Scharroo 2011 dalam Putra 2013). Berikut penjelasan masing-masing koreksi. 1. Koreksi troposfer. Sinyal satelit mengalami refraksi yang menyebabkan perubahan pada kecepatandan arah sinyal satelit apabila melewati troposfer. Bias troposfer dibedakan menjadi dua yaitu troposfer kering (dry troposphere) dan troposfer basah (wet troposphere). 2. Koreksi ionosfer. Pada lapisan ionosfer terdapat elektron yang mempengaruhi kecepatan, arah, polarisasi dan kekuatan sinyal satelit. Besarnya bias dari efek ionosfer tergantung pada variasi konsentrasi elektron sepanjang lintasan sinyal yang dipengaruhi oleh aktivitas Matahari.
19
3. Koreksi Sea State Bias (SSB). SSB merupakan kesalahan dari media pantul terhadap satelit yang berupa jumlah antara electromagnetic Bias (EMB) dan skewnes bias. 4. Koreksi pasut. Koreksi pasut dapat berupa pasut laut elastis (elastic ocean tides), pasut pembebanan (load tides), pasut Bumi padat (solid earth tides), dan pasut kutub (pole tides). Berdasarkan kesalahan tersebut, maka persamaan SSH yang terkoreksi geofisik menjadi Persamaan (I.5) (Abidin 2007): (I. 5) Dalam hal ini,
(I. 6) Dimana, ρcor
: jarak satelit terhadap muka air lat terkoreksi
Δhdry
: koreksi troposfer kering
Δhwet
: koreksi troposfer basah
Δhiono
: koreksi ionosfer
Δhssb
: koreksi sea-state- bias
Δhinv_bar
: koreksi inverse barometer
Δhocean_tide
: koreksi pasang surut laut
Δhearth_tide
: koreksi pasang surut Bumi
Δhpole_tide
: koreksi pasang surut kutub
Simbol yang menyatakan kesalahan geofisik untuk setiap satelit altimetri berbedabeda. Berikut disajikan rumus SSH terkoreksi geofisik untuk satelit altimetri Topex/Poseidon, Jason-1, dan Jason-2 yang secara berurutan dituliskan pada Persamaan (I.7), (I.8), dan (I.9) (Rosmorduc 2009).
(I. 7)
20
(I. 8)
(I. 9) Dalam hal ini: , altitude, alt
: tinggi satelit altimetri terhadap referensi elipsoid
H_Alt, range_ku
: tinggi satelit altimetri terhadap permukaan laut
Dry_Corr, model_dry_tropo_corr
: koreksi troposfer kering
Wet_H_rad, rad_wet_tropo_corr
: koreksi troposfer basah
Iono_Cor, iono_corr_alt_ku
: koreksi ionosfer
SSB_Corr_K1, sea_state_bias_ku
: koreksi sea-state- bias
Inv_Bar, inv_bar_corr
: koreksi inverse barometer
H_Eot_FES, ocean_tide_sol1
: koreksi pasang surut laut
H_Set, solid_earth_tide
: koreksi pasang surut Bumi
H_Pol, pole_tide
: koreksi pasang surut kutub
Pseudo_datation_bias_corr_ku
: koreksi bias pseudo altimeter datation, hanya untuk data Jason-1 GDR versi c atau lebih tinggi
Data SSH terkoreksi kemudian digunakan untuk menghitung nilai Sea Level Anomaly (SLA). SLA merupakan SSH yang direferensikan terhadap geoid. Rumus yang digunakan untuk menghitung SLA ditunjukkan pada Persamaan (I.10) (Rosmorduc 2009). (I. 10) Dalam hal ini: SSH
: nilai Sea Surface Height (SSH) terkoreksi geofisik
MSS : nilai rata-rata permukaan laut atau undulasi geoid
21
I.8.4. Pasang Surut (Pasut) Pasut timbul terutama karena tarik-menarik gravitasi bumi terhadap bulan dan matahari, sedang kontribusi gaya tarik menarik planet-planet lainnya dapat dikatakan cukup kecil. Besar naik turunnya permukaan laut tergantung pada kedudukan bumi terhadap bulan dan matahari. Pada bulan purnama, bumi berada segaris dengan bulan dan matahari. Hal ini menyebabkan besar gaya tarik bulan dan matahari terhadap bumi maksimum dan akibatnya permukaan laut dapat mencapai pasang tertinggi. Sebaliknya, pada bulan sabit, kedudukan bumi, matahari dan bulan persis membentuk sudut sikusiku sehingga besar gaya tarik bulan dan matahari terhadap bumi akan saling melemahkan dan permukaan laut dapat turun mencapai titik terendah (BIG 2014). Gaya yang mempengaruhi pasut merupakan gaya tarik menarik benda-benda angkasa khususnya bulan dan matahari terhadap berbagai tempat di bumi. Tiga gerakan utama yang perlu diperhatikan dalam peristiwa pasang surut adalah gerakaan rotasi bumi pada sumbunya, orbit bulan mengelilingi bumi, dan orbit bumi mengitari matahari. Posisi dan gerakan lintasan orbit bumi, bulan dan matahari dapat dilihat pada Gambar I.4.
Gambar I. 4. Posisi bumi terhadap bulan dan Matahari (Soeprapto 2001) Gaya pembangkit pasut yang selanjutnya disebut GPP merupakan resultan gaya tarik bulan, matahari dan gaya sentrifugal yang mempertahankan kesetimbangan dinamik pada seluruh sistem yang ada. Gambaran arah gaya tarik bulan terhadap bumi dan gaya sentrifugal dapat dilihat pada Gambar I.5.
22
Fc
P
Fp
R
a ϕ BUMI
⍺ r BULAN
Gambar I. 5. Arah gaya sentrifugal dan gaya tarik bulan (Soeprapto 2001) Berdasarkan Gambar I.5, dapat diketahui bahwa besarnya gaya sentrifugal (Fc) dapat dihitung dengan Persamaan (I.11). (I. 11) Gaya tarik di titik P terhadap bulan besarnya tergantung jarak antara posisi P dengan pusat bulan. Besarnya gaya tarik bulan terhadap titik P (Fp) dapat dihitung dengan Persamaan (I.12). Setelah diketahui gaya tarik bulan terhadap suatu titik dipermukaan bumi dan gaya sentrifugalnya, maka dapat dihitung gaya pembangkit pasang surut (Fpp) dengan Persamaan (I.13). (I. 12) (I. 13) Dalam hal ini: Fc
: gaya sentrifugal
Fp
: gaya tarik bulan
Fpp
: gaya pembangkit pasut (GPP)
Mm
: massa bulan
Me
: massa bumi
Mp
: massa benda dititik P
G
: kontanta gaya gravitasi universal (6.67 x 10-11 newton.m2/kg2)
g
: konstanta gaya gravitasi
a
: jari-jari bumi (6371 m)
23
r
: jarak antara pusat bumi dan pusat bulan
R
: jarak dari pusat bulan ke permukaan bumi
I.8.5. Peralatan Perekaman Data Pasut Teknologi pengamatan pasut telah berkembang pesat, dengan perkembangan tersebut proses pengamatan pasut kini bisa dilakukan dengan lebih mudah dan efisien. Mulai dari proses perekaman manual menggunakan tenaga manusia untuk mengamat dan mencatat bacaan tinggi muka air laut, hingga proses secara digital yang merekam secara otomatis dalam interval waktu tertentu. Proses perekamaan bacaan tinggi muka air laut dapat dilakukan dengan beberapa alat: 1. Tide Pole Gauge 2. Pressure Gauge 3. Accoustic Gauge 4. Radar Gauge 5. Stilling Well Floating Gauge Pada masanya floating gauge merupakan metode yang paling banyak digunakan di seluruh jaringan stasiun pasut global. Kebanyakan data pasut global direkam melalui metode ini. Namun sekarang keberadaan metode ini sudah mulai tergeser oleh teknologi yang lebih baru seperti sensor akustik dan radar. BIG (2014) menyatakan alat perekam data pasang surut yang dioperasikan oleh BIG sampai tahun 2012 menggunakan 113 peralatan digital. Perkembangan terbaru sampai 2012 telah terpasang 93 stasiun real time, 20 stasiun asing (USA dan Jerman). Perekaman data pasut dalam penelitian ini menggunakan peralatan digital yang memiliki tiga sensor utama yaitu encoder (sensor pelampung), sensor pressure gauge dan radar gauge serta satu sensor tambahan yaitu switch. Sensor pelampung bekerja berdasarkan prinsip kontak langsung terhadap naik turunnya permukaan laut melalui pelampung. Sensor pressure gauge bekerja berdasarkan prinsip rumus tekanan seperti pada Persamaan (I.14). (I. 14)
24
Dengan P adalah tekanan, ρ adalah densitas air laut,
adalah nilai gravitasi dan h adalah
tinggi muka air laut. Apabila tekanan meningkat maka tinggi muka laut meninggi. Sensor radar bekerja berdasarkan prinsip pemantulan gelombang radar. I.8.6. Kontrol Kualitas Data Kontrol kualitas data pada penelitian ini meliputi kontrol kualitas data satelit altimetri dan pasut. Kontrol kualitas data digunakan untuk verifikasi data sehingga dapat dilakukan deteksi terhadap keanehan atau anomali data. Keanehan yang mungkin muncul pada data satelit altimetri adalah data outlier dan kesalahan yang disebabkan faktor geofisik. Keanehan pada data pasut lebih beragam meliputi outlier atau spike, perubahan time series dari data pasut, dan lain-lain. Proses kontrol kualitas data dapat dilakukan secara numeris yaitu dengan melakukan uji global pada data altimetri maupun data pasut. Pada uji global salah satu rentang kepercayaan yang dipakai adalah tiga standar deviasi (3 ) atau 99%. Penggunaan derajat kepercayaan 99% pada data dimaksudkan supaya dapat mengakomodasi variabilitas data yang tinggi dan dapat menghilangkan data outlier. Data satelit altimetri diolah secara post-processing. Penanganan data pasut dapat dilakukan ketika mengunduh data, yaitu membuang data outlier dengan memasukan kriteria pembuangan data outlier pada web penyedia data (ioc-sealevelmonitoring.com). Kontrol kualitas data satelit altimetri dilakukan untuk data per kelompok masing-masing track satelit sesuai titik cycle acuan. Kontrol kualitas data pasut dilakukan untuk data pasut perbulan. Kontrol kualitas data dilakukan dengan menghitung standar deviasi kelompok data perbulan menggunakan Persamaan (I.15) (Widjajanti 2011). √
̅
Dalam hal ini: : standar deviasi Xi
: nilai data ke i
̅
: nilai rata-rata data setiap tahun
(I. 15)
25
n
: jumlah data
Batas atas dan batas bawah data pasut dihitung dengan Persamaan (I.16) dan Persamaan (I.17). ̅
(I. 16) ̅
(I. 17)
Data pasut yang diterima adalah data pasut yang terletak diantara batas atas dan batas bawah. Apabila nilai ketinggian data pasut lebih dari batas atas dan kurang dari batas bawah, maka nilai data pasut tersebut ditolak kemudian diganti dengan “NaN” atau dapat juga dilakukan interpolasi untuk mengisi data yang ditolak. Begitu juga untuk data satelit altimetri. Data satelit altimetri setiap kelompok data yang berada di luar nilai batas atas dan batas bawah maka nilai tersebut dibuang. I.8.7. Teknik Analisis Data Permukaan Laut Identifikasi variasi permukaan laut dilakukan menggunakan teknik analisis time series data permukaan laut yang meliputi smoothing dan regresi linier. I.8.7.1. Smoothing data. Banyak teknik analisis untuk melakukan smoothing time series data. Beberapa teknik smoothing adalah sebagai berikut (Van Onselen 2000). 1. Teknik berdasarkan pada rata-rata. Nilai smoothing ditentukan sebagai rata-rata bobot dari sekelompok pengukuran. Contoh: moving average smoothing dan exponential smoothing. 2. Teknik berdasarkan pada dekomposisi nilai tunggal dari sekelompok pengukuran. Rekonstruksi berdasarkan pada data pertama (beberapa) nilai tunggal, merepresentasikan signal biasa menjadi sekelompok time series. Contoh: metode singular spectrum analysis 3. Teknik berdasarkan pada pemrosesan dalam domain spektral. Contoh: fourier dan wavelet analysis. I.8.7.2. Moving average. Metode moving average merupakan metode dimana setiap elemen dalam waktu tertentu diganti dengan (bobot) rata-rata dari elemen yang
26
melingkupi. Sekelompok elemen yang melingkupi didefinisikan dengan lebar dari jendela (window) smoothing. Moving average termasuk metode smoothing yang sederhana dan sudah dapat memperlihatkan pola dekadal. Oleh karena itu, metode moving average digunakan untuk mengidentifikasi variasi permukaan laut di perairan Pulau Jawa. Rumus matematis dari moving average ditunjukkan pada Persamaan (I.18) (Van Onselen 2000). (I. 18) Dalam hal ini: : ramalan untuk periode ke t+1 : nilai riil periode ke t n
: jangka waktu rata-rata bergerak
N
: jumlah observasi yang dipergunakan dalam menghitung rata-rata bergerak
Metode smoothing moving average berdasarkan pada inspeksi visual, dan dapat memperlihatkan pola dekadal dari data dengan lebih baik. Perbedaan pembobotan dalam window/jendela memperlihatkan hasil nilai smoothing yang tidak berbeda jauh. Nilai hasil smothing tidak berubah secara signifikan jika ukuran jendela sedikit dirubah. Contoh hasil teknik smoothing moving average dari data pasut daerah Den Helder ditunjukkan pada Gambar I.6.
Gambar I. 6. Contoh hasil smoothing moving average (Van Onselen 2000)
27
I.8.7.3. Trend analysis. Metode trend analysis digunakan untuk mengetahui kecenderungan serta tingkat kenaikan tinggi muka air laut beradasarkan data pasut dan data satelit altimeti. Trend analysis yang dimaksud adalah analisis regresi lenier tinggi muka air laut terhadap waktu. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Nicholls (2003); Kahar (2008); Cazenave dkk (2010); dan Marcy dkk (2012) dalam Putra (2013) tentang kenaikan muka air laut, peristiwa peningkatan muka air laut cenderung bersifat linier. Oleh karena itu, analisis yang digunakan untuk identifikasi kenaikan muka air laut menggunakan analisis regresi linier. Persamaan matematis regresi linier ditunjukkan pada Persamaan (I.19) ( Nawari 2010 dan Ebdon 1985 dalam Putra 2013 dan Bapennas 2010): (I. 19) Dalam hal ini: y
: tinggi muka air laut
x
: waktu
a
: nilai offset
b
: tingkat kenaikan (slope, trend) Nilai a dan b merupakan konstanta regresi linier. Konstanta a biasanya disebut
dengan intersep. Intersep yaitu jarak titik asal atau titik acuan dengan titik potong garis regresi dengan sumbu Y. Konstanta b dinamakan juga slope, yang menunjukkan kemiringan atau kecondongan garis regresi terhadap sumbu X. Nilai kontanta regresi dapat dihitung menggunakan Persamaan (I.20) dan (1.21) (Nawari 2010 dan Ebdon 1985 dalam Putra 2013). (I. 20) (I. 21) Dalam hal ini: X
: rata-rata variabel x
Y
: rata-rata variabel y
28
Nilai konstanta regresi linier kemudian digunakan untuk menghitung kenaikan muka air laut pertahun, yaitu dengan mencari beda tinggi (dh) dari kemiringan trend, kemudian dibagi sebanyak periode pengamatan data. Apabila ditulis dalam persamaan, dapat dilihat pada Persamaan (I.22). ( )
(I. 22)
Nilai dh dapat dihitung dari Persamaan (I.23). (I. 23) Dalam hal ini: slr
: Sea Level Rise (SLR) (mm/tahun)
dh
: kemiringan trend (satuan m)
n
: jumlah tahun : nilai y pada x sama dengan 1 : nilai y pada x sama dengan data ke-n
I.8.8. Uji Derajat Hubungan Antar Data Uji derajat hubungan antara data pada penelitian ini dilakukan dengan uji korelasi. Uji korelasi dilakukan untuk mengetahui derajat hubungan antar data variasi permukaan laut dengan data Indeks Nino3. Berdasarkan uji korelasi diharapkan dapat diketahui pengaruh peristiwa ENSO terhadap variasi permukaan laut di wilayah penelitian. Korelasi menyatakan derajat hubungan antara dua variabel tanpa meperhatikan variabel mana yang menjadi peubah. Rumus korelasi ditunjukkan pada Persamaan (I.24) (Nurgiyantoro dkk 2009 dan Sudijono 2012 dalam Putra 2013). √
√
Dalam hal ini: : korelasi variabel x dengan variabel y x
: nilai variabel x (nilai SLA altimetri)
y
: nilai variabel y (nilai anomalai SST dari Indeks Nino3)
(I. 24)
29
n
: jumlah data Nilai korelasi berkisar antara -1 < rxy < +1. Jika r = 0, artinya tidak ada hubungan
antara variabel. Jika rxy = -1, maka hubungan antar data sangat kuat dan bersifat tidak searah. Jika rxy = +1 maka hubungan antar data sangat kuat dan bersifat searah. Berdasarkan nilai korelasi, kemudian dapat diketahui koefisien determinasi yaitu digunakan untuk menganalisis apakah variabel independen (bebas) mempengaruhi variabel dependen (tak bebas). Koefisien determinasi dihitung dengan mengkuadratkan nilai korelasi (rxy) dan dilambangkan dengan r2. Uji r dilakukan dengan membandingkan nilai koefisien korelasi r hitung dengan r tabel. Nilai r tabel dapat dilihat pada tabel r (dapat dilihat pada Lampiran C). Kriteria pengujian nilai r hitung adalah: 1. Jika rhitung ≤ r (tabel 5%, df), artinya tidak terdapat hubungan linier atau tidak terdapat korelasi sederhana antara variabel yang satu dengan variabel yang lainnya. 2. Jika rhitung > r
(tabel 5%, df),
artinya terdapat hubungan linier atau terdapat korelasi
antara variabel yang satu dengan variabel yang lainnya. dengan df merupakan derajat kebebasan dan 5% merupakan nilai signifikansi atau biasa disebut α. Selain dengan pengujian r seperti di atas, nilai r hitung dapat pula diuji dengan menggunakan uji t dengan rumus pengujian (Persamaan I.25) sebagai berikut: (I. 25) Variabel sr merupakan simpangan baku r yang dapat dihitung dengan Persamaan (I.26) sebagai berikut: √
(I. 26)
Variabel n merupakan jumlah data. Berdasarkan hasil uji t untuk nilai r, maka kriteria pengujiannya adalah sebagai berikut: 1. Jika thitung ≤ t (tabel 5%, df), hal ini berarti tidak terdapat hubungan linier atau tidak ada korelasi antara variabel yang satu dengan variabel yang lainnya. 2. Jika thitung > t
(tabel 5%, df),
hal ini berarti terdapat hubungan linier atau terdapat
korelasi antara variabel yang satu dengan variabel yang lainnya.
30
I.9. Hipotesis Hipotesis untuk penelitian ini sebagai berikut: 1. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Pamuji (2009) dan Oktavia (2011), variasi permukaan laut yang dapat diidentifikasi dari data pasut periode satu tahun di beberapa stasiun pasut Indonesia adalah variasi permukaan laut dua mingguan, intra musiman, dan musiman. Berdasarkan penelitian Senjyu dkk (1999) variasi permukaan laut inter-annual (5 tahunan) dan dekadal dapat diidentifikasi dari data permukaan laut periode panjang. Hipotesis pertama untuk penelitian adalah variasi permukaan laut di perairan Pulau Jawa yang dapat diidentifikasi berdasarkan data satelit altimetri dan pasang surut selama periode 20 tahun meliputi variasi permukaan laut bulanan, musiman, tahunan, lima tahunan dan dekadal. 2. Permukaan laut global sejak tahun 1993 mengalami kenaikan lebih cepat, yaitu 3,3 mm/tahun (Leuliette dkk 2004; Nerem dkk 2006,2010; Ablain dkk 2009 dalam Becker dkk 2012). Fenoglio-Marc dkk (2012) menyatakan bahwa ratarata kenaikan muka air laut dari tahun 1993 s.d 2011 di perairan Indonesia adalah 4 mm/tahun. Berdasarkan penelitian tersebut, maka hipotesis kedua untuk penelitian adalah rata-rata kenaikan muka air laut di perairan Pulau Jawa dari tahun 1995 s.d 2014 lebih besar dari kenaikan muka air laut global. 3. Pola data permukaan laut dari satelit altimetri dan pengukuran langsung di stasiun pasut memiliki pola yang sama (Fenoglio-Marc dkk 2012; Wuriatmo 2012; Putra 2013). Hipotesis ketiga untuk penelitian adalah pola data permukaan laut dari data satelit altimetri dan setiap stasiun pasut di perairan Pulau Jawa adalah sama. 4. Variasi permukaan laut dapat disebabkan karena pemanasan global yang meliputi ekspansi termal permukaan laut dan mencairnya es di kutub dan di beberapa daerah berhubungan erat dengan peristiwa ENSO (Senjyu dkk 1999; Becker dkk 2012; Peng dkk 2013). Indonesia mempunyai jalur Arlindo yang menjadi ciri khas sistem arus di Indonesia (Safitri dkk 2012). Salah satu jalur
31
Arlindo melewati perairan Pulau Jawa sehingga dapat mempengaruhi variasi permukaan laut Pulau Jawa. Transpor Arlindo sendiri sangat dipengaruhi oleh faktor global berupa fenomena El-Nino dan La-Nina (ENSO) (Safitri dkk 2012). Oleh karena itu hipotesis keempat untuk penelitian adalah variasi permukaan laut di perairan Pulau Jawa dipengaruhi erat oleh faktor global berupa peristiwa ENSO.