BAB I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kebutuhan lahan yang banyak dimanfaatkan manusia guna kelangsungan hidupnya saat ini menjadi perhatian yang cukup penting. Jumlah penduduk terus meningkat sedangkan luas lahan tidak bertambah. Hal ini menjadi sebuah tantangan untuk perencana dalam merencanakan pola penggunaan lahan. Dalam perencanaan, hal yang harus diperhatikan adalah faktor ekonomi, ekologi dan keberlanjutan. Pengembangan lahan akan sangat penting ketika fungsi lahan akan berubah menjadi fungsi lainnya (Nasution 2005). Lahan didefinisikan sebagai kesatuan sumberdaya daratan yang merupakan suatu sistem yang tersusun atas komponen struktural atau karakteristik lahan dan komponen fungsional atau kualitas lahan (Soemarno 2007). Kondisi sumberdaya lahan yang berbeda akan menentukan potensi lahan itu sendiri sehingga akan berpengaruh terhadap pemanfaatan penggunaan lahan. Oleh karena itu, evaluasi kesesuaian lahan sangat penting agar sumberdaya lahan dapat di inventarisasi potensinya dan dimanfaatkan sesuai porsinya. Evaluasi kesesuaian lahan merupakan suatu proses analisis untuk mengetahui potensi lahan untuk penggunaan tertentu yang berguna untuk membantu perencanaan penggunaan dan pengelolaan lahan (Nasution 2005). Evaluasi kesesuaian lahan dilakukan dengan cara membandingkan persyaratan penggunaan lahan dengan kualitas (karakteristik) lahan yang ada, sehingga lahan tersebut dapat dinilai apakah masuk kelas yang sesuai untuk penggunaan lahan yang dimaksud (Hardjowigeno 2003). Evaluasi lahan dilakukan pada kondisi sekarang agar dapat diketahui perubahan yang terjadi pada lahan dan bisa dimanfaatkan untuk perencanaan penggunaan lahan ke depan (FAO 1976). Sistem evaluasi lahan yang sering dilakukan di Indonesia yaitu klasifikasi kemampuan lahan (land capability classification) dan klasifikasi kesesuaian lahan (land suitability classification). Klasifikasi kemampuan lahan digunakan untuk pemanfaatan lahan bersifat umum (dalam arti luas), sedangkan klasifikasi kesesuaian lahan digunakan untuk pemanfaatan lahan yang lebih bersifat khusus. Sitorus (1985) 1
2
menyatakan bahwa kegunaan lahan dapat dianalisis dalam 3 (tiga) aspek yaitu kesesuaian, kemampuan, dan nilai lahan. Berdasarkan Pasal 1 angka (1) Permenperin No. 5/2014, pengertian dari kawasan industri adalah kawasan tempat pemusatan kegiatan Industri yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana penunjang yang dikembangkan dan dikelola oleh perusahaan kawasan industri. Kabupaten Cilacap merupakan Kabupaten yang terluas di Provinsi Jawa Tengah dengan luas 225.361 Ha, termasuk Pulau Nusakambangan. Cilacap adalah satu dari tiga kawasan industri utama di Jawa Tengah (selain Semarang dan Surakarta). Di Cilacap terdapat 6 industri terbesar di antara industri lain yaitu Pertamina Refinery Unit IV, Pabrik Semen HOLCIM Indonesia Pabrik Cilacap, Pabrik Gula Rafinasi PT. DHARMAPALA USAHA SUKSES, Pabrik Tepung Panganmas Inti Persada, PLTU Karangkandri, Pengolahan Ikan PT Juifa Internasional (Anonim 2014). Di Kota Cilacap telah tersedia kawasan industri dengan lahan seluas 154 ha yang terletak di Kelurahan Lomanis, Kecamatan Cilacap Tengah. Di kawasan ini masih tersedia lahan yang dapat dikembangkan untuk industri. Pada saat ini tengah disiapkan kawasan industri baru seluas 450 ha seperti di Desa Bunton Kecamatan Adipala dan di Desa Karangkandri Kecamatan Kesugihan. Upaya ini untuk menarik minat investor menanamkan modalnya di Cilacap (Anonim 2013). Pengembangan
Kawasan
Industri
dimaksudkan
untuk
mendorong
pertumbuhan sektor industri lebih terarah dan terpadu. Beberapa aspek penting yang menjadi dasar konsep pengembangan kawasan industri antara lain adalah efisiensi, tata ruang, dan lingkungan hidup. Dari aspek efisiensi, investor mendapatkan lokasi kegiatan industri yang sudah baik dimana terdapat beberapa keuntungan seperti bantuan perijinan, ketersediaan infrastruktur yang lengkap, keamanan dan kepastian tempat usaha. Bila kegiatan industri telah dapat diarahkan pada lokasi peruntukannya, maka akan lebih mudah bagi penataan ruang daerah, khususnya pada daerah sekitar lokasi kawasan industri. Dengan dikelompokkan kegiatan industri pada satu lokasi pengelolaan maka akan lebih mudah menyediakan fasilitas pengolahan limbah dan juga pengendalian limbahnya (Deperindag 2001).
3
Pemilihan lokasi lahan yang tepat bagi suatu kawasan industri sangat penting artinya dalam aspek keruangan. Hal ini sangat menentukan keawetan bangunan dan kelestarian lingkungan. Dengan begitu diperlukan adanya suatu metode yang tepat untuk menentukan lokasi kawasan industri yaitu dengan evaluasi kesesuaian lahan. Dalam melakukan evaluasi kesesuaian lahan memerlukan teknologi yang mampu memadukan antara basis data, peta dan grafik. Sistem Informasi Geospasial merupakan salah satu teknologi berbasis komputer yang tepat digunakan untuk keperluan tersebut. SIG mempunyai kemampuan untuk menghubungkan berbagai data pada suatu titik tertentu di bumi, menggabungkannya, menganalisa dan akhirnya memetakan hasilnya. Data yang akan diolah pada SIG merupakan data spasial yaitu sebuah data yang berorientasi geografis dan merupakan lokasi yang mempunyai sistem koordinat tertentu sebagai dasar referensinya. Sehingga aplikasi SIG dapat menjawab beberapa pertanyaan seperti lokasi, kondisi, trend, pola, dan pemodelan (Budiyanto 2004). Dengan demikian, aplikasi SIG yang digunakan dalam kegiatan aplikatif ini sangat
bermanfaat
dalam mengevaluasi
kesesuaian lahan terutama untuk
pengembangan kawasan industri. Dengan menggunakan sistem informasi ini akan dapat dilihat lahan mana yang sesuai untuk kawasan industri dan lahan mana yang tidak sesuai berdasarkan faktor fisik lahan dan faktor aksesibilitasnya. Pembangunan kawasan industri di wilayah kabupaten/kota dilakukan sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota. I.2. Lingkup Kegiatan Lingkup kegiatan aplikatif agar tidak menyimpang dari permasalahan dan tidak menyimpang dari tujuan, maka lingkup kegiatan aplikatif ini sebagai berikut: 1. Wilayah kegiatan adalah kawasan industri seluruh Kota Cilacap. 2. Peta yang digunakan adalah Peta Administrasi Kabupaten Cilacap, Peta Tematik, Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Cilacap beserta data sekunder lainnya. 3. Metode yang digunakan untuk melakukan klasifikasi kesesuaian lahan yaitu pengharkatan (scoring) berdasarkan parameter fisik lahan dan faktor
4
aksesibilitas dengan mempertimbangkan faktor pembobotnya pada masing-masing parameter. 4. Hasil klasifikasi kesesuaian lahan menentukan lokasi yang tepat untuk kawasan industri yang akan ditinjau berdasarkan rencana kawasan strategis dan pola ruang kawasan perkotaan. I.3. Tujuan Kegiatan Tujuan yang ingin dicapai dalam kegiatan aplikatif ini sebagai berikut: 1. Melakukan klasifikasi kesesuaian lahan untuk pengembangan kawasan industri di wilayah Kota Cilacap. 2. Membuat peta kesesuaian lahan industri di Kota Cilacap berdasarkan faktor fisik lahan dan faktor aksesibilitas. 3. Mengetahui lahan mana yang sesuai untuk pengembangan kawasan industri dan lahan mana yang tidak sesuai. I.4. Manfaat Kegiatan Manfaat yang diharapkan dari kegiatan aplikatif ini sebagai berikut: 1. Mengetahui hasil dari klasifikasi kesesuaian lahan yaitu lahan mana yang sesuai untuk pengembangan kawasan industri dan lahan mana yang tidak sesuai dari visualisasi peta kesesuaian lahan industri. 2. Memberikan informasi bagi instansi terkait dan perusahaan yang akan mendirikan industri agar memperhatikan aspek-aspek lingkungan dan kesesuaian lahannya. I.5. Landasan Teori I.5.1. Definisi SIG Menurut Aronoff (1989), SIG merupakan suatu sistem informasi yang berbasis komputer, dirancang untuk bekerja dengan menggunakan data yang memiliki informasi spasial (bereferensi keruangan). Sistem ini meng-capture, mengecek, mengintegrasikan, memanipulasi, menganalisa, dan menampilkan data yang secara spasial mereferensikan kepada kondisi bumi. Teknologi SIG
5
mengintegrasikan operasi-operasi umum database, seperti query dan analisa statistik, dengan kemampuan visualisasi dan analisa yang unik yang dimiliki oleh pemetaan. SIG dapat diuraikan menjadi beberapa subsistem sebagai berikut : I.5.1.1. Subsistem
masukan
data.
Subsistem
ini
bertugas
untuk
mengumpulkan, mempersiapkan, dan menyimpan data spasial dan atributnya dari berbagai
sumber.
Sub-sistem
ini
pula
yang
bertanggung
jawab
dalam
mengonversikan atau mentransformasikan format-format data aslinya ke dalam format yang dapat digunakan oleh perangkat SIG yang bersangkutan. Sebelum data geografis digunakan dalam SIG, data tersebut harus dikonversi terlebih dahulu ke dalam bentuk digital. Proses konversi data ini disebut dengan proses digitasi. Input data dalam SIG terdiri dari data spasial dan data atribut. Data spasial adalah data yang menggambarkan bentuk atau kenampakan objek di permukaan bumi. Sedangkan data atribut adalah data deskriptif yang menyatakan nilai dari data spasial tersebut. Data spasial disimpan dalam bentuk titik-titik, garis atau vektor, area dan piksel atau grid. Sumber database untuk SIG secara konvensional dibagi dalam tiga kategori : a. Data spasial, berasal dari peta analog, foto udara, dan citra penginderaan jauh lainnya dalam bentuk cetak kertas. b. Data atribut atau informasi numerik, berasal dari data statistik, data sensus, catatan lapangan dan data tabular lainnya. c. Data penginderaan jauh dalam bentuk digital, seperti yang diperoleh dari satelit (Landsat, SPOT, NOAA). I.5.1.2. Subsistem
penyajian
data.
Subsistem
ini
bertugas
untuk
menampilkan atau menghasilkan keluaran (termasuk mengeksportnya ke format yang dikehendaki) seluruh atau sebagian basis data (spasial) baik dalam bentuk softcopy maupun hardcopy seperti halnya tabel, grafik, report, peta, dan lain sebagainya. I.5.1.3. Subsistem manajemen data. Subsistem ini mengorganisasikan baik data spasial maupun tabel-tabel atribut terkait ke dalam sebuah sistem basis data sedemikian rupa hingga mudah dipanggil kembali atau di-retrieve, di-update, dan diedit. Jadi, subsistem ini dapat menimbun dan menarik kembali dari arsip data dasar,
6
juga dapat melakukan perbaikan data dengan cara menambah, mengurangi atau memperbaharui. Peta dapat merepresentasikan dunia nyata di atas kertas sebagaimana halnya dengan SIG yang dapat merepresentasikan dunia nyata di atas monitor komputer. Obyek-obyek yang direpresentasikan di atas peta disebut unsur peta atau map features. Oleh karena itu, perlu pemahaman yang baik tentang proses-proses manipulasi dan pengelolaan data yang direlasikan dengan lokasi-lokasi geografi di permukaan bumi. I.5.1.4. Subsistem manipulasi dan analisis data. Subsistem ini menentukan informasi-informasi yang dapat dihasilkan oleh SIG. Selain itu subsistem ini juga melakukan manipulasi (evaluasi dan penggunaan fungsi-fungsi dan operator matematis & logika) dan pemodelan data untuk menghasilkan informasi yang diharapkan. Kegiatan yang termasuk dalam subsistem ini antara lain adalah pembuatan Digital Elevation Model (DEM) dan tumpang susun (overlay) peta. Dari data DEM dapat dimanipulasi dan dianalisis sehingga diperoleh peta baru seperti peta kemiringan lereng. Secara umum, terdapat dua jenis fungsi analisis yaitu fungsi analisis spasial dan fungsi analisis atribut (basis data atribut). Fungsi analisis atribut terdiri dari operasi dasar sistem pengelolaan basis data (DBMS) dan perluasannya. Sementara itu, fungsi analisis spasial terdiri dari : 1. Klasifikasi Fungsi ini mengklasifikasikan atau mengklasifikasi kembali suatu data spasial atau atribut menjadi data spasial yang baru dengan menggunakan kriteria (atribut) tertentu. Pada Gambar I.1 dapat dilihat contoh klasifikasi.
7
Gambar I.1. Bagan proses klasifikasi untuk peta kesesuaian lahan 2. Jaringan Fungsi ini merujuk pada data-data spasial yang berupa titik-titik (points) atau garis-garis (lines) sebagai suatu jaringan yang tak terpisahkan. Pada analisis jaringan diperlukan data jaringan (koneksi yang diperlukan) dan software analisis jaringan dalam hal ini yaitu SIG. Fungsi ini biasa digunakan di dalam bidang-bidang transportasi dan utilitas misalnya, aplikasi jaringan listrik, jaringan telekomunikasi, pipa minyak dan gas, air minum, analisa jalur langsung, analisa fasilitas terdekat, rute optimal, dan lain-lain. Pada Gambar I.2 dapat dilihat contoh pemanfaatan analisis jaringan untuk pencarian rute optimal.
Gambar I.2. Analisis jaringan rute optimal
8
3. Overlay Overlay adalah proses menumpangsusunkan dua layer atau lebih sehingga menghasilkan layer baru dengan paduan atribut dari dua layer asal. Misalnya, untuk menghasilkan wilayah-wilayah yang sesuai untuk pengembangan kawasan industri diperlukan data kemiringan lereng, jenis tanah, curah hujan, dan penggunaan lahan, maka fungsi analisis overlay akan dilakukan terhadap keempat data spasial atau atribut tersebut. Overlay peta sering dilakukan bersamaan dengan proses scoring. Namun, tidak setiap proses overlay peta selalu menggunakan scoring. Operasi overlay dapat dibedakan menjadi lima jenis, yaitu: a. Erase adalah proses menghapus sebagian dari layer dengan menggunakan layer lain sebagai pembatas wilayah yang dihapus. Perintah ini ada di toolbox Analysis Tools → Overlay → Erase. Konsep dasar operasi erase ini dapat dilihat pada Gambar I.3 berikut ini.
-
Input
=
Erase Feature
Output
Gambar I.3. Erase b. Identity adalah proses overlay antara dua data grafis dan menyimpan semua feature coverage input dengan menggunakan data grafis yang pertama sebagai batas luarnya. Perintah ini ada di toolbox Analysis Tools → Overlay → Identity. Konsep dasar operasi identity ini dapat dilihat pada Gambar I.4 berikut ini.
9
Output
Input
Identity Feature Gambar I.4. Identity c. Intersect adalah proses tumpang susun antara dua data grafis yang bertampalan sehingga hanya menyimpan bagian dari feature coverage input yang terletak di dalam poligon coverage overlay saja. Perintah ini ada di toolbox Analysis Tools → Overlay → Intersect. Konsep dasar operasi intersect ini dapat dilihat pada Gambar I.5 berikut ini. Input Output
Intersect Feature Gambar I.5. Intersect d. Union adalah proses penggabungan dua data grafis poligon dan menyimpan semua area serta batas dari kedua data grafisnya. Perintah ini ada di toolbox Analysis Tools → Overlay → Union. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar I.6 berikut ini.
=
+
Input 1
Input 2 Gambar I.6. Union
Output
10
e. Update adalah proses overlay untuk memperbaharui data dengan overlay dari data lain. Perintah ini ada di toolbox Analysis Tools → Overlay → Update. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar I.7 berikut ini. Input
Output
Update Feature Gambar I.7. Update 4. Buffering Fungsi ini akan menghasilkan data spasial baru yang berbentuk poligon atau zone dengan jarak tertentu dari data spasial yang menjadi masukannya. Buffering dapat dilakukan pada layer dalam bentuk titik, garis, maupun luasan. Pada Gambar I.8 dapat dilihat contoh buffering.
Gambar I.8. Contoh buffering titik 5. 3D Analysis Fungsi ini terdiri dari sub-sub fungsi yang berhubungan dengan presentasi data spasial dalam ruang 3 dimensi. Fungsi analisis ini menyediakan fasilitas-fasilitas
untuk
pembuatan, analisa,
dan visualisasi
data
permukaan secara 3 dimensi. Fungsi analisis spasial ini dapat
11
menggunakan fungsi interpolasi, TIN, shading, slope aspect, slope degree, dan slope facing. Pada Gambar I.9 dapat dilihat contoh 3D analysis.
Gambar I.9. Contoh peta penyajian data slope Subsistem SIG masukan data, penyajian data, manajemen data, manipulasi dan analisis data dapat diilustrasikan sebagai berikut : Data Management -
Pengukuran Lapangan, Peta (tematik, topografi, dll), Foto Udara, Citra satelit/radar, DEM, Tabel
Data Input
Storage/Basis data
Retrieval
- Peta - Tabel - Laporan
Processing
Data Manipulation & Analysis
Data Output
Gambar I.10. Ilustrasi uraian subsistem SIG (Aronoff 1989)
12
I.5.2. Konsep Sistem Koordinat I.5.2.1. Sistem Koordinat Universal Transverse Mercator (UTM). Ciri-ciri proyeksi UTM adalah sebagai berikut: a. Silinder, transversal, secant, konform. b. Memotong bola bumi di dua meridian standar, k = 1. c. Lebar zone 6o sehingga bumi dibagi dalam 60 zone. d. Meridian tengah tiap zone k = 0,9996 e. Absis semu (T): 500.000 m ± X. f. Ordinat semu (U): 10.000.000 m – Y. Untuk menghindari koordinat negatif di dalam proyeksi UTM, setiap meridian tengah di dalam setiap zone diberi harga 500.000 m Timur. Untuk harga-harga ke arah utara (LU), ekuator dipakai sebagai garis datum dan diberi harga 0 m Utara. Untuk perhitungan ke arah selatan ekuator (LS), diberi harga 10.000.000 m Utara (Prihandito 2010). I.5.2.2. Sistem Koordinat Transverse Mercator 3o BPN (TM 3o – BPN). Badan Pertanahan Nasional (BPN) melalui Peraturan Menteri Negara Agraria (PMNA) No.3 tahun 1997 telah menetapkan bahwa untuk membuat peta dasar pendaftaran dan peta pendaftaran guna penyelenggaraan pendaftaran tanah digunakan sistem koordinat Transverse Mercator 3o . Proyeksi TM 3o beracuan pada elipsoid referensi pada datum World Geodetic System 1984 (WGS ’84) yang kemudian disebut Datum Geodesi Nasional 1995 (DGN ’95). Hal ini dilakukan seiring
dengan
dikeluarkannya
Surat
Keputusan
Bakosurtanal
No.
HK.02.04/II/KA/1996 yang menetapkan bahwa setiap kegiatan survey dan pemetaan di wilayah Indonesia harus mengacu pada Datum Geodesi Nasional 1995 dengan sferoid acuan seperti pada datum WGS ’84 (Prihandito 2010). Ciri-ciri proyeksi TM 3o adalah sebagai berikut: a. Secara geometrik hampir sama dengan proyeksi UTM, merupakan proyeksi silinder transversal konform di mana bidang silinder memotong bumi (secant) di dua meridian.
13
b. Perbedaannya dengan proyeksi UTM terletak pada penetapan faktor skala di meridian tengah/sentral dan lebar wilayah cakupan (zone). Pada proyeksi TM 3o, besarnya faktor skala (k) adalah 0,9999 dan lebar zone = 3o. c. Tiap zone mempunyai sistem koordinat sendiri, yaitu: Sumbu X: Ekuator Sumbu Y: Meridian sentral Titik nol: Perpotongan meridian sentral dengan ekuator Absis semu (T): 200.000 m pada Meridian Tengah Ordinat semu (U): 1.500.000 m pada ekuator Koordinat (X,Y) dinamakan koordinat sejati dan koordinat (T,U) dinamakan koordinat semu. d. Wilayah Indonesia terbagi atas 16 zone, mulai dari meridian 93o BT sampai 141o BT dengan batas garis paralel (lintang) 6o LU sampai 11o LS, serta tercakup dalam zone nomor 46.2 sampai dengan 54.1. I.5.2.3. Konsep
transformasi
koordinat.
Transformasi
antara
sistem
koordinat merupakan suatu pekerjaan rutin dilakukan baik di bidang survey pengukuran maupun GIS. Sistem proyeksi TM 3o BPN merupakan pengembangan dari sistem proyeksi UTM, sehingga pembuatan dan penurunan rumus matematisnya berdasarkan proyeksi UTM tersebut. Transformasi antara sistem koordinat TM 3o BPN ke sistem koordinat UTM dapat dilakukan dengan cara melakukan transformasi koordinat peta (X,Y) pada proyeksi TM 3o BPN ke koordinat geodetis (φ,λ). Kemudian dari koordinat geodetis (φ,λ) dilakukan transformasi ke koordinat peta (X,Y) pada proyeksi UTM. Setiap zone pada proyeksi UTM mempunyai sistem koordinat tersendiri. Hubungan antara transformasi koordinat geodetis (φ,λ) ke koordinat peta (X,Y) pada proyeksi UTM dinyatakan dengan: X’ = [IV]p + [V]p3 + [B5]p5 ……………………………………………………...(I.1) Y’ = [I] + [II]p2 + [III]p4 + [A6]p6………………………………………………...(I.2) Dalam hal ini, P = 0,0001(λi-λo)”, p selalu berharga positif …………………………………......(I.3) [I] = ko.m (ko = 0,9996 ; m = panjang busur meridian dihitung dari ekuator)……(I.4) [II] = ko.N.sinφcosφ.sin21”.108/2 ………………………………………………....(I.5) [III] = ko.N.sinφcos3φ.sin41”.1016 (5-tan2φ + 9e’2cos2φ + 4e’4cos4φ)/24 ………...(I.6) [IV] = ko.N.cosφ.sin1”.104 ………………………………………………………..(I.7)
14
[V] = ko.N.cos3φ.sin31”.1012 (1-tan2φ) + e’2cos2φ)/6 …………………………......(I.8) [B5] = ko.N.cos5φ.sin51” (5 - 18tan2φ + tan4φ + 14e’2 cos2φ – 58e’2 sin2φ) 1020/120 …………………………………………………………………………..(I.9) [A6] = ko.N.sin61”.sinφcos5φ (61 – 58tan2φ + tan4φ + 270e’2cos2φ – 330e’2sin2φ)1024/720 …………………………………………………………….(I.10) Untuk titik di timur meridian tengah pada proyeksi UTM, absis X = 500.000m + X’, sedangkan untuk titik di barat meridian tengah pada proyeksi UTM, absis X = 500.000m – X’. Untuk di lintang utara pada proyeksi UTM, ordinat Y = Y’, sedangkan untuk titik di lintang selatan pada proyeksi UTM, ordinat Y = 10.000.000m – Y’. Setiap zone pada TM 3o mempunyai sistem koordinat tersendiri. Persamaan yang digunakan untuk menyatakan hubungan antara koordinat geodetis (φ,λ) ke koordinat peta (X,Y) pada proyeksi TM 3o sama dengan hubungan antara koordinat geodetis (φ,λ) ke koordinat peta (X,Y) pada proyeksi UTM. Dengan demikian persamaan (I.1) dan (I.2) berlaku untuk proyeksi TM 3o. Untuk proyeksi TM 3o, titik di barat meridian tengah berabsis X = 200.000m – X’, sedangkan titik di timur meridian tengah berabsis X = 200.000m + X’. Titik di lintang utara pada proyeksi TM 3o berordinat Y = 1.500.000m + Y’, sedangkan untuk titik di lintang selatan berordinat Y = 1.500.000m – Y’. Sama halnya dengan proyeksi UTM, persamaan yang digunakan untuk menyatakan hubungan antara koordinat geodetis (φ,λ) ke koordinat peta (X,Y) pada proyeksi TM 3o adalah persamaan (I.1) dan (I.2). Namun, pada persamaan (I.4), (I.5), (I.6), (I.7), (I.8), (I.9), (I.10) konstanta ko pada proyeksi TM 3o berbeda dengan konstanta ko pada proyeksi UTM. Selain itu, pada persamaan (I.3) nilai p pada proyeksi TM 3o berbeda dengan nilai p pada proyeksi UTM karena p merupakan fungsi bujur, maka perubahan posisi bujur akan berpengaruh terhadap besarnya p. Oleh karena itu, pada persamaan (I.1) dan (I.2), perubahan posisi bujur akan berpengaruh terhadap hasil hitungan pada persamaan-persamaan tersebut. Dengan demikian terdapat perbedaan pada ko dan p pada persamaan yang digunakan untuk menyatakan hubungan antara koordinat (φ,λ) ke koordinat (X,Y) pada proyeksi TM 3o dan proyeksi UTM sehingga perbedaan antara kedua proyeksi adalah sistematis (Prihandito 1999).
15
I.5.3. Konsep Kesesuaian Lahan Kesesuaian lahan adalah penggambaran tingkat kecocokan suatu bidang lahan untuk penggunaan tertentu. Kelas kesesuaian suatu area dapat berbeda tergantung daripada tipe penggunaan lahan yang sedang dipertimbangkan. Klasifikasi kesesuaian lahan dapat dipakai untuk klasifikasi kesesuaian lahan kuantitatif maupun kualitatif tergantung dari data yang tersedia (FAO 1976). Kesesuaian lahan kuantitatif adalah kesesuaian lahan yang ditentukan berdasar atas penilaian karakteristik lahan secara kuantitatif (dengan angka-angka) dan biasanya dilakukan juga perhitungan ekonomi (biaya dan pendapatan) dengan memperhatikan aspek pengolahan dan produktivitas lahan (FAO 1976). Kesesuaian lahan kualitatif adalah kesesuaian lahan yang ditentukan berdasar atas penilaian karakteristik lahan secara kualitatif (tidak dengan angka-angka) dan tidak ada perhitungan ekonomi. Biasanya dilakukan dengan cara membandingkan kriteria masing-masing kelas kesesuaian lahan dengan karakteristik lahan yang dimilikinya. Kelas kesesuaian lahan ditentukan oleh faktor fisik yang merupakan faktor penghambat terberat (FAO 1976). Menurut FAO (1976), kerangka dari sistem klasifikasi kesesuaian lahan ini mengenal 4 (empat) kategori, yaitu : Ordo
: menunjukkan apakah suatu lahan sesuai atau tidak sesuai untuk penggunaan tertentu;
Kelas
: menunjukkan tingkat kesesuaian suatu lahan;
Sub-kelas : menentukan jenis pembatas atau macam perbaikan yang harus dijalankan dalam masing-masing kelas; Unit
: menunjukkan perbedaan-perbedaan besarnya faktor penghambat yang berpengaruh dalam pengelolaan suatu sub-kelas. Ordo dan kelas biasanya digunakan dalam pemetaan tanah tinjau, sub-kelas
untuk pemetaan tanah semi detil, dan unit untuk pemetaan tanah detil. Ordo juga digunakan dalam pemetaan tanah pada skala yang lebih kasar (eksplorasi). Berikut ini adalah penjelasan dari masing-masing kategori sistem klasifikasi kesesuaian lahan (FAO 1976).
16
I.5.3.1. Kesesuaian lahan pada tingkat ordo (order). Pada tingkat ordo ditunjukkan, apakah suatu lahan sesuai atau tidak sesuai untuk suatu jenis penggunaan lahan tertentu (FAO 1976). Dikenal ada 2 (dua) ordo, yaitu : 1. Ordo S (sesuai): Lahan yang termasuk ordo ini adalah lahan yang dapat digunakan dalam jangka waktu yang terbatas untuk suatu tujuan yang telah dipertimbangkan. Keuntungan dari hasil pengelolaan lahan itu akan memuaskan setelah dihitung dengan masukan yang diberikan. Tanpa atau sedikit resiko kerusakan terhadap sumberdaya lahannya. 2. Ordo N (tidak sesuai): Lahan yang termasuk ordo ini adalah lahan yang mempunyai
kesulitan
sedemikian
rupa,
sehingga
mencegah
penggunaannya untuk suatu tujuan yang telah direncanakan. Lahan dapat digolongkan sebagai tidak sesuai untuk digunakan bagi usaha pertanian karena berbagai penghambat, baik secara fisik (lereng sangat curam, berbatu-batu, dan sebagainya) atau secara ekonomi (keuntungan yang didapat lebih kecil dari biaya yang dikeluarkan). I.5.3.2. Kesesuaian lahan pada tingkat kelas. Kelas kesesuaian lahan adalah pembagian lebih lanjut dari ordo dan menunjukkan tingkat kesesuaian dari ordo tersebut. Kelas diberi nomor urut yang ditulis di belakang simbol ordo, dimana nomor ini menunjukkan tingkat kelas yang makin jelek bila makin tinggi nomornya (FAO 1976). Banyaknya kelas dalam setiap ordo sebetulnya tidak terbatas, akan tetapi dianjurkan hanya memakai tiga sampai lima kelas dalam ordo S dan dua kelas dalam ordo N. Jumlah kelas tersebut harus didasarkan kepada keperluan minimum untuk mencapai tujuan-tujuan penafsiran. Jika tiga kelas yang dipakai dalam ordo S dan dua kelas yang dipakai dalam ordo N, maka pembagian serta definisinya secara kualitatif adalah sebagai berikut: 1. Kelas S1: sangat sesuai (highly suitable). Lahan tidak mempunyai pembatas yang besar untuk pengelolaan yang diberikan, atau hanya mempunyai pembatas yang tidak secara nyata berpengaruh terhadap produksi dan tidak akan menaikkan masukan yang telah biasa diberikan.
17
2. Kelas S2: cukup sesuai (moderately suitable). Lahan mempunyai pembatas-pembatas yang agak besar untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus diterapkan. 3. Kelas S3: sesuai marginal (marginally suitable). Lahan mempunyai pembatas-pembatas
yang
besar
untuk
mempertahankan
tingkat
pengelolaan yang harus diterapkan. Pembatas akan mengurangi produksi dan keuntungan atau lebih meningkatkan masukan yang diperlukan. 4. Kelas N1: tidak sesuai pada saat ini (currently not suitable). Lahan mempunyai pembatas yang lebih besar, masih memungkinkan diatasi, tetapi tidak dapat diperbaiki dengan tingkat pengelolaan dengan modal normal. Keadaan pembatas sedemikian besarnya, sehingga mencegah penggunaan lahan yang lestari dalam jangka panjang. 5. Kelas N2: tidak sesuai untuk selamanya (permanently not suitable). Lahan
mempunyai
pembatas
permanen
yang
mencegah
segala
kemungkinan penggunaan lahan yang lestari dalam jangka panjang. I.5.3.3. Kesesuaian lahan pada tingkat sub-kelas. Sub-kelas kesesuaian lahan mencerminkan jenis pembatas atau macam perbaikan yang diperlukan dalam kelas tersebut. Tiap kelas dapat terdiri dari satu atau lebih sub-kelas, tergantung dari jenis pembatas yang ada. Jenis pembatas ini ditunjukkan dengan simbol huruf kecil yang ditempatkan setelah simbol kelas. Misalnya kelas S2 yang mempunyai pembatas kedalaman efektif (s) dapat menjadi sub-kelas S2s. Dalam suatu sub-kelas dapat mempunyai satu, dua, atau paling banyak tiga simbol pembatas, dimana pembatas yang paling dominan ditulis paling depan. Misalnya, dalam sub-kelas S2ts maka pembatas keadaan topografi (t) adalah pembatas yang paling dominan dan pembatas kedalaman efektif (s) adalah pembatas kedua atau tambahan (FAO 1976). I.5.3.4. Kesesuaian lahan pada tingkat unit. Kesesuaian lahan pada tingkat unit merupakan pembagian lebih lanjut dari sub-kelas berdasarkan atas besarnya faktor pembatas. Semua unit yang berada dalam satu sub-kelas mempunyai tingkat kesesuaian yang sama dalam kelas dan mempunyai jenis pembatas yang sama pada tingkat sub-kelas. Unit yang satu berbeda dengan unit lainnya karena kemampuan produksi atau dalam aspek tambahan dari pengelolaan yang diperlukan dan sering
18
merupakan
pembedaan
detil
dari
pembatas-pembatasnya
(FAO
1976).
Contoh kelas S3rc1 dan S3rc2, keduanya mempunyai kelas dan sub-kelas yang sama dengan faktor penghambat sama yaitu kondisi perakaran terutama faktor kedalaman efektif tanah, yang dibedakan ke dalam unit 1 dan unit 2. Unit 1 kedalaman efektif sedang (50-75 cm), dan unit 2 kedalaman efektif dangkal (<50 cm). Dalam praktek evaluasi lahan, kesesuaian lahan pada kategori unit ini jarang digunakan. Pada Gambar I.11 dapat dilihat contoh penamaan dari ordo sampai unit.
Gambar I.11. Contoh penamaan dari ordo sampai unit (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2011) Dalam menentukan klasifikasi kesesuaian lahan untuk kawasan industri ini dilakukan proses evaluasi lahan secara tidak langsung. Proses evaluasi lahan ini meliputi penentuan karakteristik lahan yang mempunyai pengaruh terhadap keberadaan kawasan industri serta dapat diukur atau dianalisis. Data dari karakteristik lahan ini sering dikumpulkan pada saat pelaksanaan survei tanah, yaitu meliputi keterangan-keterangan mengenai keadaan tanah, topografi dan sifat-sifat lainnya yang berkaitan (Sitorus 1985). Metode yang digunakan untuk melakukan klasifikasi kesesuaian lahan ini yaitu metode pengharkatan. Metode ini mengklasifikasikan lahan berdasarkan sejumlah kriteria lahan yang digunakan. Metode ini menggunakan nilai numerik yang diberikan kepada sifat-sifat atau karakteristik lahan agar dapat dihitung nilai serta ditentukan peringkatnya. Nilai numerik ini dikombinasikan menurut hukum matematik yang akhirnya digunakan untuk mengklasifikasikan lahan menurut kemampuannya. Keuntungan metode pengharkatan: a. Kriteria yang dapat dikuantifikasikan dan dapat dipilih sehingga memungkinkan data yang obyektif.
19
b. Kemampuan untuk direproduksikan, kehandalan, dan ketepatannya tinggi. Ada dua macam teknik pengharkatan dalam melakukan klasifikasi kesesuaian lahan, yaitu : 1. Teknik penjumlahan atau pengurangan 2. Teknik perkalian atau pembagian (system indeks) Teknik penjumlahan atau pengurangan dilakukan dengan menjumlahkan atau mengurangi harkat setiap parameter yang digunakan. Sedangkan, teknik perkalian atau pembagian (system indeks) dilakukan dengan mengalikan atau membagi harkat setiap parameter lahan. Berdasarkan kedua teknik tersebut diperoleh suatu nilai / indeks tertentu yang menunjukkan kemampuan lahan. I.5.4. Pengertian Kawasan Industri Dalam Peraturan Pemerintah yang dimaksud dengan industri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku, barang setengah jadi, dan/atau barang jadi menjadi barang yang bernilai lebih tinggi untuk penggunaannya, termasuk kegiatan rancang bangun dan perekayasaan industri. Istilah kawasan industri diatur dalam Keputusan Presiden No. 53 Tahun 1989 dan definisi ini sampai sekarang tetap sama dan terakhir dimuat dalam Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2009 adalah sebagai berikut: Kawasan Industri adalah kawasan tempat pemusatan kegiatan industri yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana penunjang yang dikembangkan dan dikelola oleh Perusahaan Kawasan Industri yang telah memiliki Izin Usaha Kawasan Industri. Sedangkan kawasan peruntukan industri didefinisikan sebagai bentangan lahan yang diperuntukan bagi kegiatan industri berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Lahan kawasan industri merupakan areal dengan luas minimal 20 hektar dengan status tanah sebagai hak guna bangunan induk atas nama perusahaan kawasan industri dan dibatasi dengan pagar keliling. Sedangkan, luas lahan kawasan industri tertentu untuk usaha mikro, kecil, dan menengah paling rendah 5 (lima) hektar dalam satu hamparan. Keberadaan industri memiliki fungsi utama, antara lain:
20
a. Memfasilitasi kegiatan industri agar tercipta aglomerasi kegiatan produksi di satu lokasi dengan biaya investasi prasarana yang efisien; b. Mendukung upaya penyediaan lapangan kerja; c. Meningkatkan nilai tambah komoditas yang nantinya akan meningkatkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di wilayah yang bersangkutan; d. Mempermudah koordinasi pengendalian dampak lingkungan yang mungkin ditimbulkan. Karakteristik dan kesesuaian lahan untuk wilayah industri berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 41/PRT/M/2007 adalah sebagai berikut: a. Penggunaan Lahan Penggunaan lahan digunakan untuk melihat daya dukung lahan yaitu untuk mengetahui sejauh mana kemampuan sumber daya lahan untuk suatu penggunaan tertentu, seperti lokasi industri. Lahan yang dimaksud adalah lahan kering yang tidak berada di wilayah yang sudah eksisting pemukiman atau yang sudah padat penduduk. Area cukup luas dan berada pada tanah marginal untuk pertanian. b. Kemiringan Lereng Kemiringan lereng yang sesuai untuk kegiatan industri berkisar 0%-25%, pada kemiringan >25%-45% dapat dikembangkan kegiatan industri dengan perbaikan kontur, serta ketinggian tidak lebih dari 1000 meter dpl. c. Geologi Geologi yang dimaksud adalah jenis tanah. Karakteristik tanah yang cocok untuk kawasan industri adalah bertekstur sedang sampai kasar (Aluvial, Marin) agar dapat menunjang konstruksi bangunan. Selain itu, tidak berada di daerah rawan bencana longsor. d. Hidrologi Hidrologi yang dimaksud adalah ketersediaan air. Wilayah yang mempunyai ketersediaan air tinggi memberikan kemudahan dalam penyediaan air untuk industri, karena air sangat diperlukan untuk proses rangkaian kegiatan industri. Ketersediaan air ini dapat berupa air sungai atau air PAM. Daerah lokasi industri juga harus bebas genangan dan drainase baik sampai sedang.
21
e. Topografi Topografi juga berpengaruh penting terhadap kelancaran proses kegiatan industri. Semakin tinggi lokasi
yang akan digunakan semakin
menghambat aktivitas industri. Ketinggian tempat menggunakan kriteria yaitu wilayah tersebut mempunyai ketinggian di bawah 100 meter dpl. f. Aksesibilitas Aksesibilitas yang dimaksud adalah jalur transportasi. Dalam kegiatan aplikatif ini jalan dibedakan menurut jenisnya, yaitu jalan kolektor atau utama, jalan lokal, jalan lain, dan jalan kereta api yang ditentukan secara manual. Jenis industri yang dikembangkan harus mampu menciptakan lapangan kerja dan dapat meningkatkan kualitas sumber daya masyarakat setempat. Untuk itu jenis industri yang dikembangkan harus memiliki hubungan keterkaitan yang kuat dengan karakteristik lokasi setempat, seperti kemudahan akses ke bahan baku dan kemudahan akses ke pasar. Di dalam kawasan peruntukan industri dapat dibentuk suatu perusahaan kawasan industri yang mengelola kawasan industri. Hal ini dilakukan untuk mempercepat pengembangan kawasan peruntukan (Permen PU 2007). Pada kegiatan aplikatif klasifikasi kesesuaian lahan untuk kawasan industri ini menggunakan beberapa parameter dari faktor fisik lahan dan faktor aksesibilitas sebagai dasar analisis. Parameter yang digunakan dari faktor fisik lahan yaitu kemiringan lereng, jenis tanah, curah hujan, dan penggunaan lahan. Sedangkan parameter yang digunakan dari faktor aksesibilitas yaitu jarak terhadap jalan utama, jarak terhadap sungai, jarak terhadap jaringan transportasi, jarak terhadap gardu induk listrik, jarak terhadap jaringan telepon terestrial, dan jarak terhadap perkantoran. Metode yang digunakan dalam melakukan klasifikasi kesesuaian lahan untuk kawasan industri yaitu metode pengharkatan dan pembobotan. Teknik perhitungan yang digunakan untuk mendapatkan kelas kemampuan lahan yaitu teknik penjumlahan. Sedangkan nilai faktor pembobot diberikan sesuai dengan besarnya pengaruh setiap parameter terhadap kesesuaian lahan untuk kawasan industri.