BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Negara Republica Demokratica de Timor Leste (RDTL) terletak diantara 8o 17‟ – 10o 22‟ LS dan 123o 25‟ – 127o 19‟BT. Timor Leste memiliki dua pulau Atauru dan Jaco serta daerah Oecusi di Timor bagian Barat. Timor Leste mempunyai batas wilayah sebagai berikut: 1. sebelah Utara berbatasan dengan Selat Wetar dan Selat Ombai, 2. sebelah Timur berbatasan dengan laut Arafuru dan Kepulauan Maluku Tenggara, 3. sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Timor, 4. sebelah Barat berbatasan dengan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Selat Ombai. Wilayah Timor Leste dikelilingi oleh lautan, dengan demikian informasi pasang surut (pasut) sangat penting. Tetapi sampai saat ini pemerintah Timor Leste belum memasang stasiun pengamatan pasut. Timor Leste memiliki beberapa pelabuhan yaitu: pelabuhan Suai di Kabupaten Suai, pelabuhan Com di Kabupaten Lautem, pelabuhan Karabela di Kabupaten Baucau, pelabuhan Hera di Kabupaten Dili, pelabuhan Dili di kota Dili dan pelabuhan Oecusi di daerah Oecusi. Diantara lima pelabuhan tersebut, pelabuhan Dili merupakan pelabuhan yang besar dan berada di Ibu Kota Negara Timor Leste yaitu Dili. Pelabuhan Dili sering digunakan sebagai tempat komersial untuk ekspor impor barang. Selain itu digunakan juga sebagai tempat transportasi laut baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Informasi pasut sangat penting untuk berbagai kegiatan di pelabuhan seperti keselamatan pelayaran dan kegiatan kapal yang merapat untuk bongkar muat. Informasi pasang surut yang digunakan untuk pelayaran dan kegiatan kapal merapat hanya menggunakan kebiasaan orang-orang yang bekerja dipelabuhan, yaitu dengan melihat langsung pasang surut air laut sebagai acuan kapan kapal dapat merapat. Selain dengan teknik visual digunakan pula data prediksi yang dikirimkan oleh lembaga Hidrographic
1
Service dari Australia. Data pasut yang bisa digunakan sebagai acuan untuk kapal merampat dan keperluaan pelabuahan bisa di dapat dari pengamatan langsung maupun dari model. Dalam penelitian ini salah satu model pasut yang digunakan adalah TPXO 7.1. Penggunaan model global TPXO 7.1 digunakan sebagai pembanding data pengamatan langsung. Tujuan penggunaan model global TPXO 7.1 tersebut adalah apakah karakteristik pasut pelabuhan Dili yang dihasilkan sama dengan karakteristik pasut dari data pengamatan langsung. 1.2. Rumusan Masalah Rumusan masalah yang dikemukakan dalam penelitian adalah: 1. Pelabuhan Dili tidak memiliki stasiun pasut yang bisa digunakan untuk merekam atau mencatat dinamika air laut. 2. Aktivitas sehari-hari pelayaran dan bongkar muat tidak berdasarkan pada data pasang surut. Namun hanya didasarkan dengan melihat langsung keadaan laut. I.3. Tujuan Berdasarkan perumusan masalah di atas maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan karakteristik pasang surut di pelabuhan Dili baik dari pengamatan langsung dilapangan maupun dari model pasut global TPXO 7.1 meliputi : 1. Nilai tinggi muka laut, 2. tipe pasut, 3. konstanta harmonik, 4. mean sea level (MSL), 5. muka surutan peta. I.4 Manfaat Informasi karakterisitik pasut Dili yang dapat digunakan untuk keselamatan pelayaran dan aktivitas di pelabuhan Dili.
2
I.5. Batasan Masalah Penelitian ini dibatasi dalam beberapa hal: 1. Pengamatan pasut selama satu piantan (15 hari). Dalam hal ini, pengamatan pasut dilebihkan 2 hari menjadi 17 hari untuk memastikan kepastian data. 2. Teknik pengamatan pasut dilakukan secara visual yakni mengamati kedudukan muka air laut terhadap rambu ukur yang dipasang pada dinding dermaga. 3. Model pasut yang digunakan adalah model pasut global TPXO 7.1. Model tersebut digunakan sebagai pembanding yaitu untuk mengetahui karakteristik pasut yang di hasilkan dari model dibandingkan dengan karakteristik pasut dari pengamatan langsung. I.6. Tinjauan Pustaka Afifi (2012) melakukan analisis koreksi pasang surut dengan menggunakan metode admiralty dan hitungan kuadrat terkecil terhadap data survei batimetri untuk perairan dumai. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan perbedaan nilai konstanta harmonik dari analisis pasang surut dengan menggunakan metode admiralty dan metode hitung kuadrat terkecil, menentukan nilai chart datum lokal dari nilai konstanta pasut dari hasil pengolahan dengan dua metode tersebut di atas, selain itu dalam penelitian tersebut juga menentukan besarnya nilai koreksi pasut dan pengaruh terhadap batimetri. Hijriana (2011) melakukan analisis harmonik pasut dan penentuan muka surutan peta jaring permanent untuk wilayah Sumatra Jawa dan Bali. Penelitian ini bermaksud untuk menentukan karakteristik data pasut jaring PMSL (permanent service for mean sea level) tahun 2008 s.d. 2011, menghitung besarnya konstanta harmonik pasut dengan menggunakan metode kuadrat terkecil, menentukan jenis dan karakteristik pasut di wilayah stasiun yang diamati, melakukan prediksi pasut untuk bulan berikutnya, dan melakukan hitungan untuk besarnya nilai chart datum lokal. Pangesti (2012) melakukan penelitian tentang pengaruh lama waktu pengamatan pasang surut terhadap nilai muka surutan peta. Penelitian tersebut dilakukan di stasiun Perigi dengan membandingkan lama waktu pengamatan yaitu 15 hari, 29 hari, 6 bulan, 1 tahun, dan 3 tahun. Dalam pengolahan data penelitian 3
menggunakan aplikasi t-tide. Kesimpulan dari penelitian ini adalah semakin lama melakukan pengamatan pasang surut, maka akan menghasilkan konstanta harmonik yang banyak pula dan akan menghasilkan nilai muka surutan peta atau chart datum yang semakin rendah. Umam (2013) melakukan pemodelan pasang surut perairan pulau jawa menggunakan perangakat lunak tidal model driver (TMD) dan model pasut global TPXO 7.1. tujuan dari penelitian ini adalah melakukan pemodelan pasut di wilayah perairan Pulau Jawa dengan model TPXO 7.1 dan perangkat lunak TMD, melakukan evaluasi data hasil prediksi evaluasi dan ekstraksi konstanta pasut sehingga akurasi model pasut dapat diketahui. Perbedaan penelitian sebelumnya dengan penelitian sekarang adalah data yang dipakai, lokasi penelitian, perangkat lunak yang digunakan untuk pengolahan, dan metode penanganan data pasut. Penelitian yang diakukan oleh Afifi (2012) dilakukan untuk menentukan perbedaan nilai konstanta harmonik dari analisis pasang surut dengan menggunakan metode admiralty dan metode hitung kuadrat terkecil, menentukan nilai chart datum lokal dari nilai konstanta pasut dari hasil pengolahan. Penelitian yang dilakukan oleh Hijriana (2011) untuk menghitung besarnya konstanta harmonik pasut dengan menggunakan metode kuadrat terkecil, menentukan jenis dan karakteristik pasut di wilayah stasiun yang diamati, melakukan prediksi pasut untuk bulan berikutnya, dan melakukan hitungan untuk besarnya nilai chart datum lokal. Selain itu data yang di gunakan adalah data PMSL menggunakan sensor radar (rad) yang memiliki interval waktu pengambilan data tiap tiga menit. Pada penelitian sekarang data yang digunakan adalah data pengamatan langsung selama 17 hari dan data model pasut global TPXO 7.1 yang di ekstrak dengan menggunakan tidal model driver (TMD), untuk menentukan karakteristik pasut daerah penelitian yaitu pelabuhan Dili. Pengolahan data menggunakan perangkat lunak t-tide v.1.1 yang di jalankan di Matlab 2010a. Pada penelitian yang dilakukan oleh Pangesti (2012) membandingkan lama waktu pengamatan yang berpengaruh terhadap chart datum. Selain itu data yang digunakan adalah data dari ioc-sea level monitoring dengan sensor pressure (prs) dengan interval pengambilan data setiap satu menit. Dan Umam dalam penelitiannya mengekstrak data dari TMD untuk pemodelan pasut perairan pulau Jawa. 4
I.7. Landasan Teori I.7.1. Pasang Surut Pasang surut adalah fenomena naik turunya permukaan air laut secara periodik yang disebabkan oleh adanya gaya tarik benda-benda angkasa terutama oleh matahari dan bulan terhadap bumi (Dronkers, 1964). Pengaruh benda angkasa lain dapat diabaikan karena jaraknya lebih jauh atau ukurannya lebih kecil. Meskipun massa matahari lebih besar dibandingkan dengan massa bulan, akan tetapi gaya pembangkit pasut oleh matahari jauh lebih kecil dibandingkan dengan gaya yang dihasilkan oleh bulan. Hal ini disebabkan oleh jarak matahari yang terlalu jauh bila dibandingkan dengan jarak bumi dengan bulan. Perbedaan vertikal antara pasang tinggi dan pasang rendah disebut rentang pasut (tidal range). Periode pasut adalah waktu antara puncak atau lembah gelombang ke puncak atau lembah gelombang berikutnya. Harga periode pasut bervariasi antara 12 jam 25 menit hingga 24 jam 50 menit.
Adapun teori yang mengkaji tentang pasang surut air laut yaitu : 1. Teori Kesetimbangan Pasut (Equilibrium Theory) Teori kesetimbangan pasut yang pertama kali diperkenalkan oleh Sir Isaac Newton (1642–1727). Teori tersebut terjadi pada bumi ideal yang seluruh permukaannya ditutupi oleh air dan pengaruh kelembaban (Inertia) diabaikan. Aplikasi Hukum Newton untuk gaya pembangkit pasang surut di permukaan bumi dalam kondisi yang ideal hanya mempertimbangkan efek dari gaya tarik bulan dan matahari terhadap permukaan bumi yang hampir seluruhnya penuh dengan air sehingga mengahasilkan pasut yang ideal (equibrium tide) . Persamaan yang terkait dengan hukum Newton dapat dilihat pada persamaan I.1. F
.......... (I.1)
Dalam hal ini: F
: gaya tarik menarik antara dua benda
m1, m2 : massa benda 1 dan massa benda 2 R
: jarak antara pusat benda 1 dengan benda 2
5
: konstanta gaya tarik 6.67x 10-11 N m-2 kg-2
G
2. Dinamika Pasut Teori dinamika pasut pertama kali dikembangkan oleh Laplace (1796-1825). Teori ini menyatakan bahwa lautan yang homogen diasumsikan menutupi seluruh bumi pada kedalaman yang konstan, tetapi gaya-gaya tarik periodik dapat membangkitkan gelombang dengan periode sesuai dengan konstitue-konstituennya (Pond dan Pickard, 1978). Gelombang pasang surut yang terbentuk dipengaruhi oleh gaya pembangkit pasut (GPP), kedalaman dan luas perairan, pengaruh rotasi bumi, dan pengaruh gesekan dasar. Menurut teori dinamika GPP menghasilkan gelombang pasang surut (tide wave) yang periodenya sebanding dengan gaya pembangkit pasang surut. Terbentuknya gelombang, maka terdapat faktor lain yang perlu diperhitungkan selain GPP. Faktor –faktor tersebut antara lain (Defant, 1958): a. Kedalaman perairan dan luas perairan; b.
Pengaruh rotasi bumi (gaya Coriolis);
c.
Gesekan dasar Rotasi bumi menyebabkan semua benda yang bergerak di permukaan bumi
akan berubah arah (Coriolis Effect). Di belahan bumi utara benda membelok ke kanan, sedangkan di belahan bumi selatan benda membelok ke kiri. Pengaruh tersebut tidak terjadi di equator, tetapi semakin meningkat sejalan dengan garis lintang dan mencapai maksimum pada kedua kutub. Besarnya juga bervariasi tergantung pada kecepatan pergerakan benda tersebut. Menurut Mac Millan (1966) berkaitan dengan fenomena pasut, gaya Coriolis mempengaruhi arus pasut. Faktor gesekan dasar dapat mengurangi tunggang pasut dan menyebabkan keterlambatan fase (Phase lag) serta mengakibatkan persamaan gelombang pasut menjadi non linier semakin dangkal perairan maka semaikin besar pengaruh gesekannya. I.7.2. Gaya Pembangkit Pasut Gejala pasut di bumi yang dihasilkan oleh gaya pembangkit pasut, yang dapat dilihat dari gerakan matahari dan bulan terhadap bumi. Gaya pembangkit pasut dapat ditentukan dengan melakukan perhitungan yang didasarkan pada gerakan benda-
6
benda astronomis terutama bulan dan matahari terhadap bumi. Berikut ini merupakan komponen-komponen gaya pembangkit pasut yaitu: 1. Gaya tarik bulan dan matahari. Gaya tarik bulan adalah faktor utama pasang surut bumi (laut, darat dan atmosfir). Terdapat dua gelembung pasang di wilayah bumi yang dekat dan jauh dari bulan. Disamping itu adanya gaya sentrifugal sebagai gaya penyeimbang terhadap gaya tarik bulan. Gaya tarik bulan besarnya tergantung pada jarak dari bumi ke pusat bulan dan arah tarikan menuju ke pusat bulan. 2. Gaya pembangkit pasut juga disebabkan oleh adanya gaya sentrifugal yang ditimbulkan akibat revolusi bumi yang ditunjukkan pada Gambar I.4 untuk menjelaskan gambar tersebut dapat menganggap keadaan bumi dengan asumsi-asumsi bahwa (Soeprapto, 2001): a. Bentuk bumi dianggap sebagai bola b. Permukaan bumi digenangi oleh air yang homogen dengan ketinggian yang sama c. Bumi mengitari matahari dengan kecepatan konstan dengan orbit berbentuk lingkaran d. Bidang orbit terletak pada bidang ekuatorial, yaitu bidang yang berhimpit dengan ekuator bumi Pada sistem bumi-bulan, gaya-gaya pembangkit pasut (tide generating force) adalah resultan gaya-gaya yang menyebabkan terjadinya pasut, yaitu gaya sentrifugal sistem bumi-bulan (FS) dan gaya gravitasi bulan (FB). Gaya sentrifugal tersebut bekerja dalam persekutuan pusat gravitasi bumi-bulan yang titik massanya terletak di sekitar ¼ jari-jari bumi dari titik pusat bumi. FS bekerja dengan kekuatan yang seragam di seluruh titik dipermukaan bumi dengan arah yang selalu berlawanan atau menjauhi bulan pada garis yang sejajar dengan garis yang menghubungkan pusat bumi dan bulan. Besar gaya gravitasi bulan tergantung jarak pada pusat bumi suatu titik partikel air di permukaan bumi terhadap pusat massa bulan. Pada gambar I.1 menjelaskan bahwa titik P lokasinya lebih dekat dengan bulan dan segaris dengan sumbu bumi-bulan, gaya gravitasi bulan yang bekerja pada titik pengamat (P) lebih besar dari pada gaya sentrifugalnya. Di titik pengamat P badan air tertarik menjauh 7
bumi ke arah bulan sebaliknya kalau lokasi titik pengamat P‟ jauh dari bulan maka gaya sentrifugal yang bekerja lebih dominan, sehingga badan air tertarik menjauhi bumi. Bumi
Bulan P‟
Fs
P
FB
Gambar I.1 Arah gaya sentrifugal dan gaya gravitasi bulan yang bekerja di permukaan bumi (modifikasi dari Poerbandono, 2005) Fenomena pembangkitan pasut menyebabkan terjadinya perbedaan tinggi permukaan air laut pada kondisi kedudukan–kedudukan tertentu dari bumi bulan dan matahari. Saat spring yaitu saat kedudukan matahari segaris dengan bumi-bulan, maka terjadi pasang maksimum pada titik di permukaan bumi yang berada di sumbu kedudukan relatif bumi, bulan dan matahari. Keadaan seperti itu bisa dilihat pada gambar I.2. Saat tersebut terjadi ketika bulan baru dan bulan purnama. Fenomena pasut seperti demikian disebut dengan spring tide atau pasut perbani.
bulan bumi
matahari
Gambar I.2. Kedudukan bumi, bulan dan matahari saat bulan baru dan purnama (modifikasi poerbandono,2005)
Saat neep adalah saat kedudukan matahari tegak lurus dengan sumbu bumibulan maka akan terjadi pasut minimum pada titik di permukaan bumi yang tegak lurus sumbu bumi-bulan. Saat seperti ini terjadi di perempat bulan awal dan 8
perempat bulan akhir, kondisi pasut tersebut dapat dilihat pada gambar I.3. Fenomena kedudukan demikian disebut dengan neap tide atau pasut mati. Tunggang pasut (jarak vertikal kedudukan permukaan air tertinggi dan terendah) saat spring lebih besar dibanding saat neap.
bulan
matahari bumi
Gambar I.3 Kedudukan bumi, bulan dan matahari saat neap (modifikasi poerbandono,2005) Dengan asumsi–asumsi di atas, maka arah gaya sentrifugal dan gaya pemangkit (Fs) berlawanan arah dengan gaya tarik-menarik bumi dengan bulan (Fg) yang dapat dilihat pada Gambar I.4 berikut.
P Fs
a
Fg
R
𝜑
α
O
r Bumi
Bulan
Gambar I.4 Arah gaya sentrifugal dan gaya tarik bulan di titik P (Dimodifikasi dari Heliani, 2003) Dari gambar I.4 di atas dapat dijelaskan bahwa besarnya gaya sentrifugal di permukaan bumi sama dengan gaya tarik bulan di pusat bumi, yang besarnya dapat dihitung dengan menggunakan persamaan I.2 (Heliani, 2003): G
g
. /
..... (I.2)
9
Gaya tarik di titik P terhadap bulan besarnya tergantung pada jarak titik P tersebut terhadap pusat bulan. Gambar I.4 diatas besarnya gaya tarik di titik P dapat dihitung dengan persamaan I.3 . /
G
........... (I.3)
Resultan dari gaya tersebut untuk gaya pembangkit pasut Fpp pada titik di permukaan bumi adalah: Fpp = Fg + Fs =
-
…….. (I.4)
(Fs bertanda negatif karena arahnya berlawanan dengan arah Fg). Keterangan : Fs
: gaya sentrifugal di permukaan bumi
Fg
: gaya tarik di titik P terhadap pusat bulan
Fo
: gaya sentrifugal di pusat bumi
P
: titik P
Fpp
: gaya pembangkit pasut
G
: konstanta gaya tarik = 6,67 x 10 -11 N kg-2 m-2
Mm
: massa bulan
Me
: massa bumi
a
: jari-jari bumi
r
: jarak dari pusat bumi ke pusat bulan
R
: jarak antara titik P di bumi dengan pusat bulan
I.7.3. Tipe Pasang Surut Untuk setiap daerah mempunyai tipe pasang surut yang berbeda-beda. Secara umum pasang surut disetiap daerah dapat dibedakan menjadi empat tipe yaitu pasang surut harian ganda, pasang surut harian tunggal, pasang surut campuran condong ke harian ganda, pasang surut condong ke harian tunggal. Keempat tipe pasut tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut (Wyrtki, 1961): 1. Pasang surut harian tunggal (diurnal tide)
10
Dalam satu hari tipe pasut ini terjadi satu kali air pasang dan satu kali air surut. Periode pasut adalah 24 jam 50 menit. Secara skematik tipe pasang surut ini tertera pada Gambar I.5 berikut ini.
Gambar I.5 Tipe Pasut harian Tunggal (www.oceanservice.noaa.gov)
2. Pasang surut harian ganda (semi diurnal tide) Tipe pasut ini dalam satu hari terjadi dua kali air pasang dan dua kali air surut dengan tinggi yang berurutan hampir sama. Periode pasang surut terjadi ratarata adalah 12 jam 24 menit. Pasang surut tipe ini dapat dilihat pada Gambar I.6
Gambar I.6 Tipe Pasut harian ganda (www.oceanservice.noaa.gov)
3. Pasang surut campuran condong ke harian tunggal (mixed tide prevalling diurnal)
11
Tipe pasut ini dalam satu hari terjadi satu kali pasang dan satu kali surut tetapi dengan dan periodenya sangat berbeda. 4. Pasang surut campuran condong ke harian ganda (mixed tide prevalling semidiurnal). Tipe pasut ini terjadi dua kali air pasang dan dua kali air surut tinggi dan periode yang berbeda.
Gambar I.7 Tipe Pasut campuran (www.oceanservice.noaa.gov) Pasang surut campuran yang lebih condong ke pasut harian ganda dalam satu hari terjadi dua kali pasang dan dua kali surut, namun dengan tinggi dan waktunya berbeda. Hal ini terjadi di daerah perairan Timor Leste tempat penelitian yaitu stasiun pasut Dili. Tipe pasut dari Gambar I.5 s.d. I.7 ditunjukkan dengan besarnya nilai rasio antara konstanta harmonik harian tunggal dan harian ganda dari unsur pembangkit pasut yang diakibatkan oleh pengaruh bulan dan matahari. Selanjutnya nilai rasio ini disebut nilai Fromzal, yang dapat dilihat pada persamaan I.6
(
)
(
)
(
)
(
)
...... (I.5)
AO1, AK1, AM2, AS2 masing-masing nilai amplitudo (A) dari unsur-unsur pembangkit O1, K1, M2, dan S2.
12
Keterangan: F
: bilangan Fromzal
AK1
: amplitudo komponen pasang surut tunggal utama yang disebabkan oleh gaya tarik bulan dan matahari
AO1 : amplitudo komponen pasang surut tunggal utama yang disebabkan oleh gaya tarik bulan AM2 : amplitudo komponen pasang surut ganda utama yang disebabkan oleh gaya tarik bulan AS2
: amplitudo komponen pasang surut ganda utama yang disebabkan oleh gaya tarik matahari
Dari nilai F tersebut maka dapat diklasifikasikan tipe-tipe pasang surut dengan menggunakan bilangan Fromzal berikut: 0,00 < 0,25 < 1,50 < 3,00 <
(
)
(
)
(
)
(
)
(
)
(
)
(
)
(
)
(
)
(
)
(
)
(
)
(
)
(
)
(
)
(
)
< 0,25
: Pasut harian ganda beraturan.
< 1,50
: Pasut campuran condong ke harian ganda.
< 3,00
: Pasut campuran condong ke harian tunggal. : Pasut harian tunggal beraturan.
Ada sembilan unsur utama pembangkit pasang surut laut, yang ditunjukkan pada tabel I.1
Unsur
Tabel I.1 unsur-unsur utama pembangkit pasut Periode Kecepatan (jam)
Sudut(o/jam)
Sifat dan penyebab
M2
12.42
28.9841
S2
12.00
30.000
K2
11.94
30.0821
Harian ganda; bulan orbit lingkarang dan “equatorial orbit” Harian ganda ; matahari orbit lingkarang dan “equatorial orbit” Harian ganda; deklinasi bulan dan matahari
N2
12.66
28.4397
Harian ganda; orbit bulan yang eliptik
K1
23.93
15.0411
Harian tunggal; deklinasi bulan dan matahari 13
Unsur
Periode
Kecepatan
(jam)
Sudut(o/jam)
Sifat dan penyebab
O1
25.82
13.9430
Harian tunggal; deklinasi bulan
P1
24.07
14.9589
Harian tunggal; deklinasi matahari
M4
6.21
57.9682
“quarter diurnal” perairan dangkal
MS4
6.20
58.9841
“quarter diurnal” perairan dangkal, interaksi M2 dan S2
I.7.4. Lokasi Stasiun Pasut Untuk memperoleh data pasut dari suatu lokasi maka perlu dilakukan pengamatan pasut. Pengamatan pasut tersebut sangat penting sehingga perlu adanya stasiun pasut. Adapun syarat dalam pemilihan lokasi stasiun pasut (Soeprapto,2001): 1. Hasil pengamatan stasiun harus menggambarkan keadaan perairan di sekitar pantai 2. Dasar lautnya harus stabil dan kuat 3. Daerah laut terbuka, tetapi dilindungi dari hempasan gelombang 4. Tidak dimuara sungai yang sering terjadi endapan dan aliran sungai 5. Proses pengdankalan dihindari 6. Kecepatan arus lebih kecil atau maksimum sama dengan 0.5 knot (sekitar 0,25 m/det) 7. Air laut jernih dan tidak boleh ada tumbuhan laut 8. Letaknya mudah untuk dijumpai dan tidak terlalu jauh dari pantai 9. Dekat titik tetap yang ada. I.7.5. Pengamatan dengan Palem Pasut (Tide Staff) Cara paling sederhana untuk pengamatan pasut adalah dengan menggunakan palem pasut atau rambu ukur. Palem pasut adalah suatu tonggak yang dipasang tegak lurus sehingga perubahan permukaan air laut saat naik dan turun dapat dibaca. Biasanya diberi ukuran dalam dm (decimeter) dan dapat dibaca hingga cm (centimeter) maupun mm (milimeter). Palem pasut biasanya terbuat dari kayu panjang 3-5 meter atau lebih dengan lebar 5-15 cm dan tebal 1-4 cm. seluruh palem dicat hitam dan putih dengan tanda ukuran angka dan angka-angka berwarna hitam dan putih. Palem pasut dapat juga dibuat dari besi tipis yang dilapisi cat email, 14
sehingga bebas dari karat. Saat ini adapun palem pasut yang terbuat dari karet plastik yang bisa dibawa ke tempat survei, biasanya dipasang pada dinding dermaga. Pemasangan palem pasut dapat dilihat pada Gambar I.8
Gambar I.8 Pengamatan pasut menggunakan palem pasut Pengukuran dengan palem pasut merupakan cara yang paling sederhana dan yang sudah lama digunakan untuk
pengamatan pasut secara manual dan hasil
pengamatan dituliskan didalam kertas oleh si pengamat dengan lama waktu setiap jam atau 30 menit sesuai keperluan. Pencatatan data pasut dilakukan dengan cara membaca ketinggian permukaan air laut yang ditunjukkan pada palem tersebut. Pengamatan pada malam hari digunakan bantuan senter. Pencatatan data dengan cara langsung dengan melihat pada palem pasut dan boleh juga dibantu dengan teropong. Pada jaman sekarang sudah berkembang teknologi yang bagus untuk pengukuran pasut namun dalam kenyataannya masih menggunakan palem pasut untuk penggukuran di lapangan dan data yang didapat tersebut digunakan sebagai data kontrol.
15
I.7.6. Analisis Harmonik Pasang Surut Laut Analisis harmonik pasut adalah untuk menghitung amplitudo hasil respons dari kondisi laut setempat terhadap pasut setimbang dan kelambatan fase dari gelombang tiap komponen terhadap keadaan pasut setimbang. Nilai perubahan amplitudo dan fase yang dihitung dinyatakan dalam sebuah konstanta harmonik. Untk menentukan nilai konstanta harmonik pasut maka sebelumnya perlu diketahui bahwa pasut yang diamati dari variasi naik turunya muka laut tersebut merupakan hasil penjumlahan dari semua gelombang komponen harmonik pasut yang terjadi. Dengan demikian tinggi muka air laut pada saat (t) dapat dituliskan dalam persamaan I.6 (Soeprapto, 1993): ( )
∑
((
)
……(I.6)
dimana: h (t)
= tinggi muka laut saat waktu t
So
= muka laut rerata
fi
= faktor koreksi nodal untuk komponen harmonik ke-i
Ai
= amplitudo rerata komponen harmonik ke-i
Vi + ui = nilai elemen astronomik atau harga argumen dari pasut setimbang komponen ke-n pada saat t=0 gi
= fase komponen pasut ke-i
ωi
= kecepatan sudut anguler dari komponen pasut ke-i
t
= waktu yang dinyatakan dalam GMT (Greenwich Meridian Time)
k
= jumlah komponen pasut
Dari rumus (I.6) dapat diuraikan menjadi rumus (I.7) ( )
(
)
∑
((
∑
)
)
( ....…... (I.7)
Jika dimisalkan: (
)
(
)
.…..… (I.8)
Maka hasil akan menjadi: ( )
(
)
∑
∑
...….… (I.9)
16
dimana : Ar dan Br = konstanta harmonik ke-i Ai
= amplitudo rerata komponen harmonik ke-i
V(tn)
= residu
tn
= waktu pengamatan tiap jam (tn = -n, n+1, n; tn=0 adalah waktu tengah pengamatan).
Besarnya nilai (S0) hasil hitungan dengan persamaan (I.6) mendekati elevasi pasut pengamatan h(t) jika: ∑
*
(
)+
…….(I.10)
Persamaan diatas kemudian diturunkan terhadap Ai dan Bi ∑
, ( )
(
∑
)) (
∑
, ( )
(
∑
)) (
( (
)-
…….. (I.11)
)-
........... (I.12)
Dari hubungan persamaan tersebut di atas diperoleh 2k + 1 persamaan dimana k adalah banyaknya komponen harmonik pasut laut. Dengan demikian besaran S0, Ai dan Bi dapat ditentukan. Selanjutnya berdasarkan estimasi kuadrat terkecil maka persamaan dapat diuraikan dalam tahap-tahap berikut: a. Persamaan pengamatan tinggi muka laut L = AX b. Persamaan koreksi v = (AX) – L ( )
∑
∑
( )
...….… (I.13)
Berikut ini pendesainan matriks pengamatan pasut:
nAk
=
1 cos
…. cos
sin
… sin
1 cos
…. cos
sin
… sin
1 cos
…. cos
sin
… sin
…….. (I.14)
17
h1 L= …… (I.15)
hj X = (ATA)-1(ATL)
…….(I.16)
S0 A1
kX1=
Ak B1
…….. (I.17)
Bk
c. Hitung besar nilai amplitudo dan kelambatan fase setiap konstanta harmoniknya. Untuk
menentukan
nilai
amplitudo
komponen
pasut
laut
dengan
menggunakan persamaan I.18 dan nilai kelambatan fase komponen pasut laut dengan persamaan 1.19 Ai =
√
tan gi =
….…. (I.18) ..……. (I.19)
Dalam hal ini : L
: data tinggi muka laut
A
: matriks koefisien
X
: parameter komponen harmonik pasut laut
V
: nilai koreksi
Ar : parameter A komponen pembentuk pasut Br : parameter A komponen pembentuk pasut : kecepatan sudut gelombang harmonik t
: waktu pengamatan : amplitudo
18
gi
: fase
Pada umumnya analisa harmonik berdasarkan panjang data pengamatan antara satu bulan sampai satu tahun, maka nilai amplitudo dan fase yang dihasilkan masih bergantung pada beberapa komponen pasang yang memiliki periode panjang. Untuk itu perlu dilakukan koreksi terhadap amplitudo dan fase yang dihasilkan. Jika letak lintang diketahui, maka koreksi nodal dapat dihitung menggunakan persamaan sebagai berikut (Pawlowicz, et.al, 2002) : ̂
∑
.............(I.20)
Dari persamaan di atas, didapat persamaan koreksi nodal berikut: ∑ Dengan
∑
..............(I.21)
merupakan koreksi amplitudo dan
merupakan koreksi nodal.
Korekasi terhadap fase dan amplitudo ditunjukkan pada persamaan seperti dibawah ini (Ali. Dkk, 1994): gi =
(
+
)
..............(I.22) .. ...........(I.23)
Faktor koreksi amplitudo (f) , koreksi fase (u), dan komponen fase (V) dapat dihitung dari fungsi-fungsi dibawah ini: s = 277.025 + 129.38481 (Y-1900) + 13.1764 (D +L) h = 280.190 - 0.23872
(Y-1900) + 0.11140 (D +L)
p = 333.385 + 40.66249 (Y-1900) + 13.1764 (D +L) N = 259.157 – 19.32818 (Y-1900) + 0.05295 (D +L) Keterangan : Y : tahun masehi D : jumlah hari yang telah berlaku dari jam 00.00 tanggal 1 januari tahun Y L : bagian integer dari (1/4)(Y-1901) 19
Selanjutnya menghitung nilai argumen astronomis untuk koreksi nilai amplitudo dan fase konstanta harmonik yang sering disebut sebagai koreksi nodal , dan
. . Untuk menghitung nilai
,
menggunakan persamaan sebagai berikut:
fM2 = 1,0004 + 0,0373 cos N + 0,0002 cos 2N fS2
=1
fN2
= fM2
fK1
= 1,006 + 0,115 cos N – 0,008 cos 2N + 0,0006 cos 3N
fO1
= 1,0089 + 0,1871 cos N – 0,00147 cos 2N + 0,0014 cos 3N
fM4 = fM2 x fM2 fMS4 = fM2 fK2
= 1,0241 + 0,2863 cos N + 0,0083 cos 2N – 0,0015 cos 3N
fP1
=1
fSo
=0
Untuk menghitung nilai
menggunakan persamaan sebagai berikut:
uM2 = -2,14˚sin N uS2
=0
uS2
= uM2
uK1 uO1
= -8,86° sin N + 0,68° sin 2N – 0,07° sin 3N = 10,8° sin N – 1,34° sin 2N + 0,04° sin 3N
uM4
= uM2 + uM2
uMS4
= uM2
uK2
= -17,74° sin N + 0,68° sin 2N – 0,04° sin 3N
uP1
=0
uSo
=0
Untuk menghitung nilai VM2 = -2s + h + VS2 =
S2 x
N2 x
me::nggunakan persamaan berikut:
CT
CT
VN2 = 3s + 2h + p + VK1 = h + 90° +
N2 x
K1 x
VO1 = -2s + h + 270° +
CT
CT O1 x
CT
VM4 = VM2 + VM2 20
VMS4 = -2s + VK2 = 2h +
K2 x K2 x
VP1 = -h + 270°
CT CT P1 x
CT
VSo = 0 Pada persamaan di atas, CT merupakan jam atau data pasang surut yang tepat di tengah-tengah periode pengamatan. Untuk memperoleh nilai ( masing konstituen, dapat dilakukan dengan menjumlahkan
. dan
+
) masing-
, masing-masing
komponen harmonik pasut yang bersesuaian. I.7.7. Elevasi Muka Air Gerakan periodik pasang surut laut menyebabkan adanya bermacam-macam kedudukan muka air laut yaitu: 1.
Mean Sea Level (MSL) atau Duduk Tengah adalah muka laut rata-rata pada suatu periode pengamatan yang panjang, sebaiknya selama 18,6 tahun.
2.
Mean Tide Level (MTL) adalah rata-rata antara air tinggi dan air rendah pada suatu periode waktu.
3.
Mean High Water (MHW) adalah tinggi air rata-rata pada semua pasang tinggi. 4. Mean Low Water (MLW) adalah tinggi air rata-rata pada semua surut rendah. 5. Mean Higher High Water (MHHW) adalah tinggi rata-rata pasang tertinggi dari dua air tinggi harian pada suatu periode waktu yang panjang. Jika hanya satu air tinggi terjadi pada satu hari, maka air tinggi tersebut diambil sebagai air tinggi terttinggi. 6. Mean Lower High Water (MLHW) adalah tinggi rata-rata air terendah dari dua air tinggi harian pada suatu periode waktu yang panjang. Hal ini tidak akan terjadi untuk pasut harian (diurnal). 7. Mean Higher Low Water (MHLW) adalah tinggi rata-rata air tertinggi dari dua air rendah harian pada suatu periode waktu yang panjang. Hal ini tidak akan terdapat pada pasut diurnal. 8. Mean Lower Low Water (MLLW) adalah tinggi rata-rata air terendah dari dua air rendah harian pada suatu periode waktu yang panjang. Jika hanya satu air
21
rendah terjadi pada satu hari, maka harga air rendah tersebut diambil sebagai air rendah terendah. 9. Mean High Water Springs (MHWS) adalah tinggi rata-rata dari dua air tinggi berturut-turut selama periode pasang purnama, yaitu jika tunggang (range) pasut itu tertinggi. 10. Mean Low Water Springs (MLWS) adalah tinggi rata-rata yang diperoleh dari dua air rendah berturut-turut selama periode pasang purnama. 11. Mean High Water Neaps (MHWN) adalah tinggi rata-rata dari dua air tinggi berturut-turut selama periode pasut perbani (neap tides), yaitu jika tunggang (range) pasut paling kecil. 12. Mean Low Water Neaps (MLWN) adalah tinggi rata-rata yang dihitung dari dua air berturut-turut selama periode pasut perbani. 13. Highest Astronomical Tide (HAT)/Lowest Astronomical Tide (LAT) adalah permukaan laut tertinggi/terendah yang dapat diramalkan terjadi di bawah pengaruh keadaan meteorologis rata-rata dan kombinasi keadaan astronomi. Permukaan ini tidak akan dicapai pada setiap tahun. HAT dan LAT bukan permukaan laut yang ekstrim yang dapat terjadi, storm surges mungkin saja dapat menyebabkan muka laut yang lebih tinggi dan lebih rendah. Secara umum permukaan (level) di atas dapat dihitung dari peramalan satu tahun. Harga HAT dan LAT dihitung dari data beberapa tahun. 14. Mean Range (Tunggang Rata-rata) adalah perbedaan tinggi rata-rata antara MHW dan MLW. 15. Mean Spring Range adalah perbedaan tinggi antara MHWS dan MLWS. 16. Mean Neap Range adalah perbedaan tinggi antara MHWN dan MLWN. I.7.8. Muka Surutan Peta (Chart Datum) dan Sounding Datum Istilah chart datum atau muka surutan peta adalah suatu bidang permukaan pada suatu daerah perairan yang didefinisikan terletak dibawah permukaan air laut terendah yang mungkin terjadi. Chart datum digunakan sebagai dasar penentuan angka kedalaman pada peta batimetri. Chart datum pada dasarnya adaah permukaan bidang nol peta batimetri. Sebagai bidang nol peta maka chart datum harus diambil
22
pada suatu bidang muka air terendah yang mungkin terdapat di wilayah yang bersangkutan. Kedudukan chart datum ditunjukkan oleh jarak surutan peta (Zo)
yang
dihitung dari mean sea level (So) sampai bidang tertentu. Untuk pekerjaan yang bersifat teknis, pada daerah yang dilakukan survei, sebelum mendapatkan chart datum, maka menggunakan nilai sounding datum terlebih dahulu sebagai pengganti Chart Datum. Ilustrasi dari chart datum dan sounding datum dapat dilihat pada Gambar I.9 Duduk tengah (S0) Sounding datum
Z0‟
Chart datum
Z0
0 Palem
Gambar I.9 Kedudukan chart datum dan sounding datum (modifikasi dari Soeprapto, 2001)
Secara teoritis chart datum harus dipilih sedemikian rupa sehingga (Soeprato, 1999): a. Chart Datum tidak boleh lebih rendah dari batas kedangkalan perairan yang berangkutan agar tidak terdapat kedalaman yang negatif. b. Nilai Chart Datum tidak boleh berbeda terlalu besar dalam setiap perubahan lokasi, harus harmonis dengan nilai chart datum pada daerah perairan sekitarnya. c. Penentuan chart datum ditentukan dengan menganalisis konstanta-konstanta harmonik yang membentuknya. d. Keamanan pelayaran di daerah tersebut dapat dipertanggung jawabkan.
23
Chart datum merupakan surutan terendah selama jangka waktu yang cukup lama atau disebut sebagai bidang nol pada peta batimetri. Sedangkan sounding datum merupakan
surutan
peta
terendah
selama
dilakukan
pekerjaan
sounding
(pemeruman). Terdapat beberapa model untuk menentukan chart datum. Secara umum nilai surutan peta ditentukan dengan persamaan (I.24) CD = So – Zo
......(I.24)
Dimana : CD
: Chart Datum (muka surutan peta)
So
: titik duduk tengah di atas titik nol palem
Zo
: jarak surutan peta
Perhitungan untuk muka surutan peta terlebih dahulu menghitung Zo. Beberapa defenisi dalam penentuan Zo dimuat dalam Admiralty Tidal Handbook no.1 (Suthons,1985 dalam Soeprapto,1993) adalah sebagai berikut: a. Memurut defenisi Hidrografi Internasional (IHO) = ∑
.......... (I.25)
dengan Ai = amplitudo komponen pasang surut ke-i, dan n adalah jumlah komponen. b. Menurut definisi di Perancis Zo = So - 1,2 (M2 + S2 + K2)
.........(I.26)
c. Menurut definisi admiralty Inggris Zo = So – 1,2 (M2 + S2)
..........(I.27)
d. Menurut definisi yang dipakai pada peta di pantai Timur Amerika Zo = M2
...........(I.28)
e. Menurut definisi Indian Sparing Low Water Zo = (K1 + O1 + M2 + S2)
........(I.29)
f. Menurut Dinas Hidro-oseanografi TNI AL Zo = So - ∑
........(I.30)
Dengan Ai meruakan kombinasi konstanta harmonik utama pasut, dalam hal ini 9 konstanta utama yang meliputi : K1, K2, M2, S2, O1, P1, N2, M4 dan MS4.
24
I.7.9. Model Pasut Global TPXO 7.1 Model Global TPXO 7.1 adalah model pasut yang mengasimilasikan data dari TOPEX/Poseidon dan Jason dan diperoleh dengan perhitungan OTIS (OSU Tidal Inversion Software). OTIS menerapkan skema perhitungan pemodelan pasut yang merupakan dasar untuk paket inversi pasut yang praktis. Pada model global TPXO 7.1, data pasut disediakan dari kombinasi nilai amplitudo dari 8 komponen utama pasut (M2,S2, N2, K2, K1, O1, P1 dan Q1), komponen periode panjang (MF, MM) dan komponen non-linear (M4) dengan resolusi spasial 1440x721, ¼ derajat grid global (Egbert dan Erofeeva, 2002 dalam skripsi Umam,2013). Pemodelan pasut dengan teknik asimilasi mengaplikasikan metode inversi dalam mengkombinasikan informasi pemerolehan data pasut dari persamaan hidrodinamika dengan data yang diperoleh dari observasi langsung menggunakan tide gauges dan data dari satelit TOPEX/Poseidon. Metode inversi (generalized inversion). secara umum bertujuan mencari medan pasut (u) yang konsisten dengan persamaan hidrodinamika. Hasil dari solusi inversi adalah sejumlah solusi langsung untuk persamaan pasang surut Laplace secara astronomis dan kombinasi linear representer untuk data fungsional. Fungsi representer ditentukan dengan persamaan dinamis dan statistik kesalahannya. Penghitungan numeris secara intensif cocok untuk pemrosesan paralel skala besar. Dengan perhitungan tersebut, model pasut sebagai data tambahan TOPEX/Poseidon dapat diperbaharui dengan mudah. Secara sederhana, pemodelan ini menginversi konstanta harmonis dari alat tide-gauges di perairan terbuka, kemudian menampilkan skema praktis untuk inversi langsung dari data TOPEX/Poseidon. Metode ini mengaplikasikan 38 siklus rekaman data geofisis dan mengestimasi konstituen pasut secara global. Solusi inversi menghasilkan medan pasut yang halus secara simultan dan 24 lebih baik dari pada model pasut lain karena melibatkan data altimetri dan data observasi langsung (Egbert dan Erofeeva, 2002 dalam skripsi Uman, 2013). I.8. Pengikatan Pasut ke BM (Banch Mark) Pengikatan stasiun pengamat pasut merupakan salah satu prosedur standar yang dilakukan untuk mengetahui kedudukan nol palem relatif terhadap suatu titik di pantai yang ditetapkan untuk keperluan rekonstruksi. Pengikatan stasiun pengamat 25
pasut dilakukan dengan pengukuran sipat datar untuk menentukan beda tinggi nol palem relatif terhadap titik pengikat. Jika selisih tinggi antara palem pasut dan titik ikat diketahui, maka selisih tinggi tersebut akan digunakan untuk mendefinisikan tinggi titik ikat itu sendiri setelah datum vertikal ditentukan dari pengamatan pasut. Dalam Gambar I.10 memperlihatkan kedudukan palem pasut di P sebesar HBM terhadap titik pengikat BM. Tinggi muka air yang diamati, diukur relatif terhadap nol palem berdasarkan beda tinggi yang diukur dengan sipat datar. (Poerbandono,2005)
Gambar I.10 Skema pengikatan stasiun pengamat pasut (Modifikasi dari poerbandono, 2005) I.8.1. Pengukuran Beda Tinggi Pengukuran dilakukan dengan menggunakan sipat datar. Sipat datar bertujuan untuk menentukan beda tinggi antara titik-titik di atas permukaan bumi secara teliti. Karena sipat datar merupakan metode penentuan beda tinggi yang paling teliti, maka metode ini biasanya digunakan untuk menentukan ketinggian titik-titik kerangka dasar pemetaan atau pekerjaan rekayasa yang membutuhkan ketelitian tinggi. Pengukuran dua buah titik alat didirikan di antara dua buah rambu dinamakan slag. Pada umumnya teropong dilengkapi dengan benang stadia yaitu benang atas (BA) dan benang bawah (BB). Selain pengukuran jarak optis, pembacaan BA dan BB juga untuk kontrol pembacaan benang tengah dimana seharusnya pembacaan BT= 1/2(BA +BB). Penentuan beda tinggi antara dua buah titik atau lebih dengan garis bidik
26
mendatar yang diarahkan pada rambu-rambu yang berdiri tegak atau vertikal seperti terlihat pada gambar I.11 berikut: (basuki, 2006).
a2
a1 b1 BM
b2
1
A
Gambar I.11 Pengukuran beda tinggi di tempat penelitian
Keterangan : BM dan A
: titik tetap yang akan ditentukan beda tingginya
A
: titik bantu pengukuran
a1 dan a2
: bacaan rambu muka
b1 dan b2
: bacaan rambu belakang
Pengukuran diatas dibuat satu kali slag, beda tingginya adalah kumulatif dari beda tinggi slag yaitu: ΔhBMA = ∑Δhb -∑Δha
........... (I.31)
Selain itu untuk menghitung ketelitian dari pengukuran beda tinggi tersebut dapat digunakan rumus I.29 D = 100*(BA-BB)
........... (I.32)
Ketelitian = 12mm√
........... (I.33)
D = jarak dalam (km) , dan 12 adalah konstanta penggali.
27
I.9. Validasi Terhadap Data Pengamatan dan Model Validasi model pada dasarnya merupakan cara untuk menyimpulkan apakah suatu model merupakan perwakilan yang valid dari realitas yang dikaji sehingga dapat dihasilkan kesimpulan yang meyakinkan. Validasi merupakan proses iteratif yang berupa pengujian berturut-turut sebagai proses penyempurnaan model. Teknik validasi silang pada dasarnya membagi data sebagai data training dan data testing secara berurutan dan terus menerus (Wilks,2006). Untuk melakukan validasi dilakukan penghitungan nilai Root Mean Square Error (RMSE). Pengujian dilakukan berurutan sehingga setiap satu data prediksi teruji sebagai data testing (data independen) dan menghasilkan sejumlah nilai RMSE yang dihitung menggunakan persamaan I.9 (Wilks,2006). RMSE = √ ∑
(
)
............. (I.34)
O (O1, O2, O3... On) = data hasil observasi P (P1, P2, P3... Pn) = data hasil prediksi model. n = jumlah periode
Semakin kecil nilai RMSE mengindikasikan model memiliki tingkat kesalahan prediksi yang kecil. Begitupun sebaliknya, semakin besar nilai RMSE mengindikasikan model memiliki tingkat kesalahan prediksi yang besar.
I.10. Hipotesis Hasil analisis dan karakteristik pasut untuk pelabuhan Dili baik dari Model pasut Global TPXO 7.1 dan pengamatan langsung adalah konsisten. Hal ini disebabkan model pasut global TPXO 7.1 dibentuk tidak hanya dari pemodelan numerik, juga diperoleh dari pengamatan langsung menggunakan data satelit maupun dari tide gauges.
28