BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Kabupaten Lamadau di Provinsi Kalimantan Tengah dibentuk pada tahun 2002 melalui Undang-Undang
Nomor 5 tahun 2002 tentang pembentukan
Kabupaten Katingan, Kabupaten Seruyan, Kabupaten Sukamara, Kabupaten Lamandau, Kabupaten Gunung Mas, Kabupaten Pulang Pisau, Kabupaten Murung Raya, dan Kabupaten Barito Timur di Provinsi Kalimantan Tengah. Kabupaten Lamandau merupakan pemekaran dari Kabupaten Kotawaringin Barat. Di dalam Pasal 12 ayat 4 UU No. 5 tahun 2002 cakupan batas wilayah Kabupaten Lamandau ditetapkan sebagai berikut: a) Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Ketapang Provinsi Kalimantan Barat dan Kecamatan Seruyan Hulu Kabupaten Seruyan; b) Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Arut Utara Kabupaten Kotawaringin Barat; c) Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Arut Selatan Kabupaten Kotawaringin Barat, dan Kecamatan Balairiam Kabupaten Sukamara; d) Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Ketapang Provinsi Kalimantan Barat. Letak Kabupaten Lamandau di Provinsi Kalimantan Tengah disajikan dalam Gambar I.1 :
1
2
Gambar I.1 Kedudukan Kabupaten Lamandau di Provinsi Kalimantan Tengah
Di dalam Pasal 12 ayat 9 disebutkan bahwa penetapan batas wilayah tersebut digambarkan dalam peta yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undangundang pembentukan daerah Kabupaten Lamandau. Selanjutnya di dalam ayat 10 disebutkan bahwa penetuan secara pasti atau penegasan batas wilayah di lapangan dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri. Dengan demikian setelah cakupan dan batas daerah ditetapkan di dalam Undang-Undang Pembentukan Daerah (UUPD), tahap selanjutnya adalah melakukan penegasan batas daerah di lapangan. UUPD mengamanatkan bahwa penegasan batas Daerah Otonomi Baru (DOB) ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri paling lama 5 (lima) tahun sejak diresmikannya suatu DOB. Dalam kenyataannya sudah lebih dari 5 tahun sejak Kabupaten Lamandau dibentuk tahun 2002, batas wilayah daerah Kabupaten Lamandau belum dilaksanakan penegasan batas di lapangan dengan berbagai alasan, antara lain karena keterbatasan anggaran dan keterbatasan SDM survei pemetaan (Kemendagri, 2012). Untuk pedoman dalam melaksanakan penegasan batas daerah, Menteri Dalam Negeri telah mengeluarkan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No.126/2742/SJ tanggal 27 November 2002, yang kemudian diganti dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No.1 tahun 2006 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah.
3
Dalam Permendagri No.1 tahun 2006, penegasan batas daerah dititikberatkan pada upaya mewujudkan batas daerah yang jelas dan pasti baik dari aspek yuridis maupun fisik di lapangan. Ketentuan ini selalu dimaknai bahwa penentuan koordinat titiktitik batas harus dilakukan dengan metode survei lapangan. Beberapa faktor seperti kondisi jumlah segmen batas daerah yang mencapai hampir 1000 segmen batas dan terus bertambah, kondisi medan yang sulit dijangkau serta keterbatasan anggaran dan SDM survei pemetaan, maka penegasan batas daerah dengan menggunakan Permendagri No.1 tahun 2006 akan memerlukan waktu yang lama dan biaya yang banyak. Oleh sebab itu Permendagri Nomor 1 Tahun 2006 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah, dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan dan kurang mendukung dalam proses percepatan penegasan batas daerah, sehingga kemudian pada bulan Desember 2012 Menteri Dalam Negeri mengeluarkan kebijakan mengganti Permendari No.1 tahun 2006
dengan Permendagri
yang baru yaitu
Permendagri No.76 tahun 2012. Dalam Permendagri No. 76 tahun 2012, disebutkan bahwa penegasan batas daerah adalah kegiatan penentuan titik-titik koordinat batas daerah yang dapat dilakukan dengan metode kartometrik dan atau survei di lapangan, yang dituangkan dalam bentuk peta batas dengan daftar titik-titik koordinat batas daerah. Pengertian metode kartometrik adalah penelusuran atau penarikan garis batas pada peta kerja dan pengukuran posisi titik, jarak serta luas cakupan wilayah dengan menggunakan peta dasar dan peta-peta lain sebagai pelengkap. Metode kartometrik ini diharapakan dapat mengurangi kegiatan survei lapangan yang biasanya memerlukan dana yang besar dan waktu yang relatif lama pada kondisi medan yang sulit dijangkau. Sehubungan terbitnya Permendagri No. 76 tahun 2012 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah, maka terdapat peluang untuk melakukan penegasan batas daerah Kabupaten Lamandau dengan metode kartometrik. Pada tahun anggaran 2013, Pusat Pemetaan Batas Wilayah BIG melakukan pilot project kegiatan penegasan batas daerah secara kartometrik khususnya dalam tahap menyiapkan peta kerja untuk dasar pelacakan titik-titik dan garis batas. Lokasi pilot proyek adalah batas daerah antar kabupaten atau kota Provinsi Kalimantan Tengah yang meliputi 23 segmen batas termasuk Kabupaten Lamandau, dengan
4
kondisi medan yang sebagian besar sulit dijangkau, dana yang banyak dan waktu yang relatif lama, maka proses penegasan batas daerah Kabupaten Lamandau dapat dilakukan secara kartometrik. Pelaksana kegiatan adalah PT Indah Unggul Bersama (PT IUB). Skripsi ini merupakan laporan kegiatan penegasan batas daerah Kabapaten Lamandau dengan metode kartometrik yang telah dilakukan. I.2. Lingkup Kegiatan Lingkup kegiatan dalam laporan ini ditetapkan sebagai berikut: 1. Penegasan dilakukan untuk batas daerah antara Kabupaten Lamandau dengan tiga kabupaten yang lain yaitu, Kabupaten Sukamara, Kabupaten Seruyan, dan Kabupaten Kotawaringin Barat. 2. Penarikan atau deliniasi garis batas daerah dilakukan langsung di atas peta kerja secara kartometris. 3. Output yang dihasilkan berupa peta batas daerah Kabupaten Lamandau.
I.3. Tujuan Menghasilkan peta batas daerah Kabupaten Lamandau, Provinsi Kalimantan Tengah dengan metode kartometrik.
I.4. Manfaat Manfaat dari proyek ini adalah : 1. Mempercepat upaya penegasan batas daerah Kabupaten Lamadau. 2. Kabupaten Lamadau memiliki peta batas daerah terkini.
I.5. Landasan Teori I.5.1. Teori Boundary making Stephen B. Jones (1945), didalam bukunya A Handbook for Statesmen, Treaty Editors and Boundary Commissioners, merumuskan sebuah teori tentang sejarah adanya batas suatu negara. Didalam teori tersebut, Jones mengemukakan ada empat tahap utama proses sejarah adanya batas wilayah, yaitu
5
allocation, delimitation, demarcation, dan administration. Teori Boundary making yang dikemukakan oleh Stephen B. Jones (1945) adalah teori untuk penentuan batas wilayah antar negara. Alokasi teritorial suatu wilayah ditentukan berdasarkan keputusan atau pernyataan politik, selanjutnya delimitasi batas ditentukan sesuai dengan perjanjian (treaty) yang telah mengikatnya. Untuk menegaskan batas di lapangan, maka dilakukan penegasan batas (demarkasi) dan akhirnya dilakukan pengadministrasian batas. Dalam bentuk diagram, teori boundary makimg diilustrasikan pada gambar I.2 berikut.
Alocation
Delimitation
Demarcation
Adminitration
Gambar I.2 Proses teori boundary making, Jones (1945)
Di dalam tahapan boundary making diperlukan suatu peta. Peran peta didalam boundary making, antara lain : 1. Sebagai alat dalam negoisasi dalam rangka penetapan batas wilayah (tahap delimitasi) 2. Sebagai alat (instrument) dan pedoman dalam proses transformasi batas wilayah dari tahap delimitasi ke tahap demarkasi dilapangan 3. Untuk menggambarkan dan menyajikan batas wilayah yang telah dibuat pada tahap delimitasi dan demarkasi. Jika dalam tahap demarkasi belum juga dilakaukan, peta hasil delimitasi tetap dapat digunakan untuk menunjukan letak batas wilayah yang disepakati Theory boundary making yang dikemukakan oleh Stephen B. Jones (1945) adalah teori untuk penentuan batas wilayah antar negara. Dalam konteks batas daerah di Indonesia keempat tahapan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: (Sutisna, 2008). Alokasi. Alokasi adalah proses keputusan politik untuk menentukan batas wilayah. Untuk keperluan pengelolaan negara, NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi dibagi atas daerah-
6
daerah kabupaten dan kota yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah dan diberi kewenangan mengelola daerah msing-masing. Dalam UU pembentukan daerah selalu ditentukan cakupan dan batas wilayah daerah. Alokasi sebagai keputusan politik keberadaan daerah-daerah di Indonesia baik daerah provinsi maupun kabupaten/kota antara lain dicantumkan dalam UU Dasar 1945 Pasal 18, 25 A, Pasal 4 UU No.32/2004 dan Pasal-pasal UU tentang pembentukan masing masing daerah. Delimitasi. Delimitasi atau penetapan merupakan tahap selanjutnya setelah alokasi. Pada tahap ini delimitasi dilakukan penentuan batas wilayah sesuai kesepakatan antar daerah yang biasanya dilakukan secara kartometrik di atas peta. Ada tiga konsekuensi politik terhadap delimitasi batas daerah di Indonesia yang harus diperhatikan yaitu : pertama, delimitasi batas diderah bukan berarti membuat wilayah NKRI menjadi terkotak-kotak dan terpisah satu sama lain, tetapi sifatnya lebih pada penataan batas wilayah kerja pengelolaan administrasi pemerintahan, yang pada giliranya mempermudah koordinasi pelaksanaan pembangunan maupun pembinaan kehidupan dan pelayanan masyarakat di daerah; kedua, bangun semangat persaudaraan, kebersamaan sebagai bangsa dan kedepankan musyawarah; ketiga, seleseikan delimitasi cakupan wilyah administrasi dengan sikap kenegarawanan dan tetap menjunjung tinggi supremasi hukum. Dalam tahap delimitasi ini, hal yang sangat penting adalah terkait peta batas hasil dari kesepakatan yang nantinya akan dilampirkan untuk tahap demarkasi selanjutnya. Sehingga peta harus memiliki aspek yang baik dari aspek geometris dan kartografis. Aspek geometris peta meliputi skala peta, datum, sistem koordinat dan sistem proyeksi peta. Aspek kartografis meliputi penyajian peta, sistem simbolisasi/legenda, isi peta dan tema, ukuran peta (muka peta), dan bentuk penyajian/penyimpanan data. Demarkasi. Demarkasi atau penegasan batas adalah kegiatan pemasangan tanda batas daerah secara pasti dilapangan atas dasar hasil kesepakatan pada proses delimitasi. Penegasan batas daerah dititik beratkan pada upaya mewujudkan batas daerah yang jelas dan pasti baik dari aspek yuridis maupun fisik di lapangan. Penegasan batas dilakukan dalam rangka menentukan letak dan posisi batas daerah
7
secara pasti di lapangan sampai dengan penentuan koordinat titik-titik batas dan pembuatan peta batas. Administrasi. Administrasi merupakan tahap akhir dari proses penentuan batas wilayah yaitu dengan mencatat dan mendokumentasikan batas. Dalam perkembanganya administrasi tidak sekedar hanya mencatat dan mendokumentasikan batas tapi telah bergeser kearah pengelolaan atau managemen wilayah perbatasan (Pratt, 2006 dalam Sutisna, 2008). Dalam pengelolaan batas dan wilayah perbatasan yang baik menurut Theory Boundary Making kegiatan administrasi/ managemen pembangunan wilayah perbatasan dapat dilaksanakan secara overlapping dengan demarkasi. Hal ini atas dasar pertimbangan dalam kenyataanya seringkali dihadapi kendala dan dinamika yang terjadi dilapangan menyangkut aspek ekonomi, sosial, budaya, dan politik. Sehingga seringkali dilakukan secara segmentasi, dan kegiatan administrasi/managemen berjalan beriringan dengan pelaksanaan penegasan batas dilapangan.
1.5.2. Pengertian Batas Daerah Batas daerah di darat adalah pembatas wilayah administrasi pemerintahan antar daerah yang merupakan rangkaian titik-titik koordinat yang berada pada permukaan bumi dapat berupa tanda-tanda alam seperti punggung bukit (watershed), median sungai dan/atau unsur buatan di lapangan yang dituangkan dalam bentuk peta. Dalam Permendagri No. 76 tahun 2012, disebutkan bahwa penegasan batas daerah adalah kegiatan penentuan titik-titik koordinat batas daerah yang dapat dilakukan dengan metode kartometrik dan atau survei di lapangan, yang dituangkan dalam bentuk peta batas dengan daftar titik-titik koordinat batas daerah. Metode kartometrik ini diharapakan dapat mengurangi kegiatan survei lapangan yang biasanya memerlukan dana yang besar dan waktu yang relatif lama pada kondisi medan yang sulit dijangkau. I.5.3. Metode Kartometrik Mengacu kepada Permendagri No. 76 tahun 2012, metode kartometrik adalah penelusuran atau penarikan garis batas pada peta kerja dan pengukuran atau penghitungan posisi titik, jarak serta luas cakupan wilayah dengan menggunakan
8
peta dasar dan peta-peta lain sebagai pelengkap. Dari pengertian ini, untuk penelusuran dan penarikan garis batas serta pengukuran dan perhitungan posisi (koordinat), jarak serta luas cakupan wilayah, terlebih dahulu harus disiapkan peta kerja. Peta kerja ini dibuat menggunakan peta dasar (peta RBI) sebagai acuan dan peta-peta atau informasi geospasial lain seperti citra satelit sebagai pendukung. Tahapan penegasan batas daerah secara kartometrik dapat digambarkan dalam bentuk diagram alir seperti pada Gambar I.3 : PENYIAPAN DOKUMEN
DOKUMEN YURIDIS
DOKUMEN TEKNIS
1. UUPD YANG BERSANGKUTAN
1. PETA DASAR (RBI)
2. DOKUMEN HUKUM LAIN
2. CITRA SATELIT
PEMBUATAN PETA KERJA PELACAKAN BATAS DI ATAS PETA KERJA PENGUKURAN & PENENTUAN POSISI TITIK BATAS DI PETA KERJA PEMBUATAN PETA BATAS PERMENDAGRI PENETAPAN BATAS DAERAH SOSIALISASI/DESIMINASI Gambar I.3 Diagram alir penegasan batas daerah secara kartometrik (Sumber : Sumaryo, 2013) Penyiapan dokumen terdiri atas dokumen yang bersifat yuridis dan dokumen teknis.
Dokumen
yuridis
meliputi
peraturan
perundang-undangan
tentang
pembentukan daerah yang bersangkutan dan dokumen lain yang berkaitan dengan batas wilayah administrasi yang disepakati para pihak. Dokumen teknis meliputi peta dasar (peta RBI) dan informasi geospasial lainnya (citra satelit, peta tematik)
9
yang digunakan sebagai dasar pembuatan peta kerja yang akan digunakan untuk pelacakan batas. Pekerjaan awal yang sangat penting dalam penegasan batas daerah secara kartometrik adalah menyiapkan dan membuat peta kerja yang akan digunakan dalam pelacakan untuk mencapai kesepakatan batas antara daerah yang berbatasan dan digunakan untuk menentukan koordinat titik-titik batas. Dalam hal peta dasar maka perlu tersedia peta dasar yang memadai baik dari aspek skala maupun ketelitian dan kebenaran informasi yang terkandung di dalam peta dasar tersebut. Pekerjaan pelacakan meliputi memilih letak dan mendefinisikan titil-titik dan garis batas. Memilih letak titik dan garis batas biasanya merupakan kompromi antara pertimbangan geografis dengan kepentingan politik. Tahap memilih letak ini biasanya merupakan fase yang sangat kritis untuk mencapai kesepakatan letak titik dan garis batas. Sedangkan mendefinisikan garis batas merupakan suatu proses yang sebagian besar bersifat teknis (kartometrik).
I.5.4. Citra SPOT 5 Satelit SPOT 5 diluncurkan pada bulan Mei tahun 2002, yang menyediakan citra multispektral (MS) dan pankromatik (PAN) sejak pertengahan bulan Juli tahun 2003. Dibandingkan dengan satelit obeservasi sebelumnya, SPOT 5 memberikan perubahan kemajuan yang besar yang memberikan solusi citra dengan biaya yang efektif. Resolusi pada sistem satelit obeservasi ini meningkat hingga 5 meter dan 2,5 meter dan sudut pandang yang lebar (wide imagin swath), yang mencakup 60 x 60 km atau 60 x 120 km dalam insturmen mode kembar. SPOT 5 memberikan perpaduan yang ideal antara resolusi yang tinggi dan juga jarak pandang yang luas.
I.5.5. Shuttle Radar Topographic Mission (SRTM) 30 SRTM (Shuttle Radar Topography Mission) merupakan citra yang saat ini banyak digunakan untuk melihat secara cepat bentuk permukaan. SRTM 30 adalah data elevasi resolusi tinggi merepresentasikan topografi bumi dengan cakupan global diseluruh permukaan bumi. Data SRTM adalah data elevasi muka bumi yang dihasilkan dari satelit yang diluncurkan NASA (National Aeronautics and Space Administration). Data ini dapat digunakan untuk melengkapi informasi ketinggian
10
dari produk peta 2D, seperti kontur,profil. Ketelitian bisa mencapai 15 m dan berguna untuk pemetaan skala menengah sampai dengan skala tinggi. Data DEM yang cakupan wilayah 30 meter.
Gambar I.4 Persebaran data DEM resolusi 30 meter Sumber (Latief, 2009)
SRTM memiliki struktur data yang sama seperti format grid lainya, yaitu terdiri dari sel-sel yang setiap sel memiliki wakil nilai ketinggian. Nilai ketinggian pada SRTM adalah nilai ketinggian dari datum WGS 1984, bukan dari permukaan laut, tetapi karena datum WGS 1984 hampir berhimpit dengan permukaan laut maka untuk skala tinjau dapat diabaikan perbedaan diantara keduanya. I.5.6. Koreksi Geometrik Koreksi Geometrik terdiri dari dua langkah yaitu: georeferensi dan rektifikasi. Georeferensi adalah suatu proses pemberian koordinat peta pada citra yang sebenarnya telah planimetris. Dalam arti pemberian sistem koordinat suatu peta hasil pada hasil digitasi peta atau hasil scaning citra. Hasil dari digitasi citra sebenarnya sudah datar tetapi area yang direkam masih memiliki kesalahan (distorsi) yang diakibatkan oleh pengaruh kelengkungan bumi dan sensor itu sendiri. Koreksi geometrik sesungguhnya melibatkan proses georeferensi karena semua sistem proyeksi sangat terkait dengan koordinat peta. Registrasi citra ke citra melibatkan
11
proses georeferensi apabila citra acuannya sudah digeoreferensi. Georeferensi hanya merubah sistem koordinat peta dalam file citra, sedangkan grid citra tidak berubah. Rektifikasi adalah proses melakukan transformasi data dari satu sistem grid menggunakan suatu transformasi geometrik. Karena posisi piksel pada citra output (hasil) tidak sama dengan posisi piksel input (aslinya) maka piksel-piksel yang digunakan untuk mengisi citra yang baru harus dilakukan ekstrapolasi nilai data untuk piksel-piksel pada sistem grid yang baru dari nilai piksel citra aslinya.