BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Informasi pasang surut (pasut) laut dibutuhkan bagi Indonesia sebagai salah satu negara kepulauan di dunia yang memiliki wilayah perairan yang cukup luas. Luas laut teritorial Indonesia sekitar 285.005 km. luas laut perairan ZEE 2.692.762 km2. Luas perairaan pedalaman 2.012.392 km. sehingga total luas wilayah laut yang dimiliki Indonesia mencapai ± 5.877.879 km2 (Dishidros, 2001). Dengan begitu luas laut yang dimiliki menjadikan Indonesia memiliki potensi sumberdaya kelautan yang unggul yaitu dari potensi pembangunan (rekayasa pelabuhan) dan potensi pengelolaan wilayah pantai dan pesisir. Kedua hal potensi ini memerlukan informasi pasang surut. Transportasi laut dan aktivitas pelayaran juga membutuhkan informasi pasang surut terutama mengenai tipe pasang surut. Sebagai contoh. Jika suatu kapal akan merapat ke dermaga pelabuhan, maka diperlukan data mengenai informasi tipe pasang surut perairan area tersebut, agar alur keluar masuk kapal dapat direncanakan, sehingga tidak sampai terjadi kapal kandas, atau kapal menabrak karang, akibat kurangnya informasi mengenai kedalaman laut dan informasi tipe pasang surut perairan tersebut. Terdapat beberapa cara untuk memperoleh informasi pasang surut, antara lain adalah dengan melakukan pengukuran langsung pada lapangan menggunakan alat-alat pengukuran. Seperti, palem pasut dan menggunakan radar gauge, press gauge dan pengukuran tidak langsung dengan menggunakan model pasut dan satelit. Indonesia sudah memiliki peta tipe pasut. Peta tipe pasang surut (pasut) yang ada sebelumnya (Gambar I.1) sudah pernah dibuat. Namun pada peta tersebut dibuat utamanya menggunakan model numerik yang tidak banyak menggunakan data ukuran lapangan. Oleh karena itu, perlu dibuat peta tipe pasut yang bersumber dari data pasut yang jelas. Dalam proyek ini menggunakan data pasut global untuk memperbaharui peta tipe pasut yang ada. Salah satunya adalah dengan menggunakan model pasut global TPXO 7.1.
1
2
Gambar I.1. Peta tipe pasut lama Sumber: (Wyrtki 1961) Indonesia memiliki dua instansi pemerintah yang menyediakan data pasang surut, yaitu DISHIDROS TNI AL dan Badan Informasi Geospasial (BIG). Kedua instansi ini menyediakan data pasang surut berdasarkan statiun pasang surut yang umumnya terdapat pada pelabuhan-pelabuhan. Hal yang demikian menunjukkan kelemahan untuk mendapatkan informasi data pasang surut yang tidak berada pada area pelabuhan (stasiun pasang surut). Pada tahun (2002) Egbert dan Erofeeva mengembangkan model pasut global TPXO 7.1 di Oregon State University (OSU). Amerika Serikat. Model pasut TPXO 7.1. secara global dapat melakukan ekstraksi konstituen pasut serta prediksi elevasi muka air laut pada seluruh lokasi perairan laut di permukaan bumi (termasuk perairan tengah laut). Model ini menyediakan amplitudo kompleks dari elevasi permukaan laut dari 8 konstituen pasang surut yaitu. (M2. S2. K1.O1. N2. P1. K2. Q1). 2 periode panjang (MM. MF) dan 3 non-linear konstituen (M4. MS4. MN4). Model global TPXO 7.1 dapat menampilkan nilai amplitudo dan fase pasang surut pada lokasi perairan laut berdasarkan nilai titik posisi (latitude. longitude). Pada pelaksanaan proyek yang dilakukan berikut, hanya meliputi nilai amplitudo dari model TPXO 7.1 yang dijalankan menggunakan perangkat lunak Matlab Graphical User Interface (GUI) yang disebut dengan Tide Model Driver (TMD). TMD dapat melakukan ekstraksi konstituen pasut dan melakukan prediksi elevasi muka air laut di seluruh lokasi perairan laut di permukaan bumi. Dalam
3
pelaksanaan proyek ini, hanya melakukan ekstraksi terhadap konstituen pasang surut yang berkaitan dengan konstituen tipe pasang surut, yaitu M2, S2, O1, K1. I.2. Lingkup Kegiatan Lingkup kegiatan proyek yang dilakukan mencakupi beberapa kegiatan sebagai berikut: 1. Kegiatan yang berfokus pada menentukan tipe pasut wilayah perairan Indonesia bagian barat mencakupi (Sumatera, Kalimantan, dan Jawa). 2. Penggunaan model TPXO7.1 sebagai sumber model data pasut. 3. Penggunaan citra Google Earth sebagai wahana identifikasi area pemetaan. 4. Penggunaan perangkat lunak Matlab Tide Model Driver (TMD) untuk menjalankan model global TPXO 7.1. 5. Penggunaan ARCGIS 10.1 untuk memvisualisasi nilai Forhmzal (tipe pasut). 6. Metode penentuan tipe pasut menggunakan perbandingan antara penjumlahan hasil ekstrak konstanta-konstanta harian tunggal tehadap penjumlahan hasil ekstrak konstanta-konstanta harian ganda. I.3. Tujuan Tujuan proyek yang ingin dicapai, yaitu tersedianya peta tipe pasut skala 1:12.500.000 untuk wilayah perairan Indonesia bagian barat meliputi pulau Sumatera. Kalimantan dan Jawa. I.4. Manfaat Manfaat yang diharapkan dari kegiatan proyek yang dilakukan adalah: 1. Menghasilkan peta tipe pasut yang menyajikan informasi pasut untuk keselamatan pelayaran laut. 2. Menghasilkan peta tipe pasut yang dapat digunakan untuk keperluan kegiatan ilmiah. 3. Menghasilkan peta tipe pasut guna keperluan rekayasa.
4
I.5. Landasan Teori I.5.1. Fenomena Pasang Surut Laut Fenomena pasut laut terbentuk karena gaya tarik benda-benda angkasa terutama bulan dan matahari terhadap bumi. Tarikan itu akan menyebabkan badan air laut bergerak secara vertikal dan horisontal. Oleh karena itu, permukaan air laut tidaklah statis, melainkan dinamik dan selalu bergerak (Marchuk dan Kagan. 1983).
Gambar I.3 Tampilan sederhana terjadinya pasang surut laut Sumber: http://www.earthhistory.org.uk/wp-content/Moon_and_tides.png
Teori gravitasi Newton (1642-1727) dan persamaan gerak yang dikembangkan oleh Euler (1707) merupakan teori pertama yang mengenalkan pasang surut. Teori pasang surut yang umum digunakan adalah teori pasang surut setimbang (equilibrium tides theory) (Pangesti. 2012). Teori ini menjelaskan sifat-sifat pasang surut secara kualitatif, terjadi pada bumi ideal yang seluruh permukaannya ditutupi oleh air dan pengaruh kelembaman diabaikan. Teori ini menyatakan bahwa naik turun muka laut sebanding dengan gaya pembangkit pasang surut, atau Gaya Pembangkit Pasut (GPP) (Tide Generating Force), yaitu resultan gaya tarik bulan dan gaya tarik sentrifugal (dorongan kearah luar pusat rotasi).
5
I.5.2. Gaya Pembangkit Pasang Surut Menurut Newton (1642-1727), matahari dan bulan membangkitkan medan gaya di sekeliling bumi, dimana arah dan besarnya gaya berubah-ubah secara periodik sesuai dengan posisi kedua benda langit tersebut terhadap bumi. Gaya-gaya inilah yang membangkitkan pasang surut laut dan disebut gaya pembangkit pasang surut (GPP). Dari pengertian di atas, secara umum pasang surut terbentuk sebagai akibat adanya gaya tarik benda angkasa, terutama bulan dan matahari. Gaya tarik atau yang dikenal dengan gaya gravitasi menurut hukum Newton, sebagaimana disajikan pada persamaan (I.1) berikut: Fr =
k .m1.m2 d2
….…………………………….……….…………………........ (I.1)
Arti notasi yang digunakan adalah: Fr
: Gaya Tarik-menarik antar dua benda
m1
: Massa benda 1
m2
: Massa benda 2
d2
: Jarak antar pusat massa benda 1 dan benda 2
k
: Konstanta gaya Tarik Dari persamaan (I.1) dapat diartikan besarnya gaya gravitasi bergantung pada
jarak antar kedua benda dan besarnya massa dari masing-masing benda. Gaya gravitasi antara bumi dan bulan lebih besar pengaruhnya terhadap pasang surut daripada gaya gravitasi antara bumi dan matahari. Hal ini disebabkan jarak antara bumi dengan bulan lebih dekat dibandingkan dengan jarak antara bumi dan matahari. Selain gaya tarik tersebut, terdapat beberapa gaya lain yang mempengaruhi terjadinya pasang surut, salah satunya adalah gaya sentrifugal. Gaya sentrifugal juga mempengaruhi pasang surut di bumi. Gaya ini muncul akibat rotasi bumi yang berlawanan dengan arah gaya gravitasi sehingga terbentuk resultan antar kedua gaya tersebut. Besarnya gaya sentrifugal di semua bagian pada bumi adalah sama besarnya dengan gaya gravitasi bulan di pusat massa bumi, sehingga muncul teori kesetimbangan pasut atau equilibrium tide theory.
6
I.5.3. Analisis Harmonik Pasang Surut Sifat dan karakteristik pasang surut di suatu tempat dari hasil pengamatan pasang surut dalam kurun waktu tertentu dapat diketahui dengan melakukan analisis harmonik pasang surut laut (Alfarisy, 2011). Tujuan dari analisis pasang surut dilakukan untuk menghitung amplitudo dan keterlambatan fase. Amplitudo yang dihitung merupakan hasil respon dari kondisi laut setempat terhadap pasang surut setimbang, sedangkan keterlambatan fase yang dihitung adalah keterlambatan fase dari gelombang tiap komponen terhadap pasang surut setimbang. Selanjutnya nilai perubahan amplitudo dan kelambatan fase dinyatakan dalam konstanta harmonik. Terdapat dua metode yang dapat digunakan dalam analisis harmonik pasang surut, yaitu: 1. Metode Admiralty. Pada Metode Admiralty digunakan untuk menghitung dua konstanta harmonik Hn dan gn. 2. Metode least square. Pada metode least square berlaku hukum Laplace yang berbunyi, “bahwa “gelombang komponen pasut setimbang selama penjalarannya akan mendapatkan respon dari laut yang dilewatinya”, sehingga amplitudonya akan mengalami perubahan dan fasenya mengalami kelambatan, namun frekuensi dan kecepatan sudut tetap. Pada metode ini, dengan mengabaikan faktor meteorologis dinyatakan bahwa metode ini dapat ditulis dengan persamaan (I.2) (Emery, 1997): h(t)=hm +∑𝑁 𝑖=1
Ai cos (ωit – gi) + V(tn)…..……….........….(I.2)
Arti notasi yang digunakan: h(t)
: tinggi muka air fungsi dari waktu
ωit
: kecepatan sudut komponen ke-i
Ai
: Amplitudo komponen ke – i
gi
: Fase komponen ke –i
hm
: tinggi muka air pengamatan
t
: waktu
N
: jumlah komponen
V (tn) : residu
7
I.5.4. Unsur Utama Pembangkit Pasang Surut. Indarwati (2012) menyatakan bahwa gerakan pasang surut tergantung pada komponen pasang surut yang terdiri dari tiga macam, yaitu: 1. Komponen pasang surut tengah harian/semidiurnal, yaitu terjadinya pergerakan air laut dua kali pasang dan dua kali surut dalam waktu satu hari. Contoh komponen pembentuk adalah M2, S2, N2, dan K2 (Tabel I.1). 2. Komponen pasang surut harian/diurnal yaitu terjadinya pergerakan air laut pasang dan surut sebanyak satu kali dalam satu hari. Contoh komponen pembentuk: K1, O1, dan P1. Komponen pasang surut periode panjang (Mm, Ssa, dan Mf) (Tabel I.1). 3. Komponen pasang surut lokal atau perairan dangkal/shallow water memiliki ciri khas tersendiri untuk setiap komponen pasang surutnya (Tabel I.2). Tabel I.1 Komponen harmonik pasang surut (Rais. dkk. 1996) Jenis/Nama Simbol Periode Kec. Magnitude komponen (jam) Sudut (o/jam) Tengah Harian (Semidiurnal) Principal Lunar M2 12,4 28,9841 100 Principal Solar S2 12,0 30,00000 46 Larger Lunar N2 12,7 28,4397 19 Elliptic K2 11,97 30,0821 13 Luni Solar Harian (diurnal) Luni-solar diurnal K1 23,9 15,0411 58 Principal Lunar O1 25,8 13,943 41 Diurnal P1 24,1 14,9589 19 Principal Solar Diurnal Periode panjang Lunar Fortnightly Lunar Monthly Solar semi annual
Mf Mm Ssa
328,0 661 2191
1,098 0,5444 0,0821
16 8 8
8
Tabel I.2. Komponen Harmonik pasang surut perairan lokal (Jond dan Pickard, 1983) Nama komponen
Perairan lokal Shallow water Kombinasi S2 dan M2 Kombinasi S2.M2, dan N2 Kombinasi M2 dan K1
Simbol
Periode (jam
Kec. sudut 0 /jam)
2SM2 MNS2 MK3 M4 MS4
11,61 13,13 8,18 6,21 6,20
31,0161 27,424 44,025 57,968 58,084
I.6. Tipe Pasang Surut Untuk mengetahui tipe pasang surut laut suatu wilayah perairan dapat menggunakan nilai Forhmzal. Yenisari. (2013) menyatakan bahwa nilai Forhmzal adalah merupakan hasil perhitungan yang didasarkan pada perbandingan antara jumlah amplitudo konstanta-konstanta harian tunggal A (K1). A (O1) dengan jumlah amplitudo konstanta-konstanta harian ganda A (M2) dan A (S2). 𝑨(𝑶𝟏+𝑲𝟏)
F= { 𝑨(𝑺𝟐+𝑴𝟐 ………………...…………………...................(I.3) Arti notasi yang digunakan: A (K1)
: amplitudo dari unsur pembangkit pasang surut tunggal utama K1
A (O1)
: amplitudo dari unsur pembangkit pasang surut tunggal utama O1
A (M2)
: amplitudo dari unsur pembangkit ganda utama M2
A (S2) : amplitudo dari unsur pembangkit ganda utama S2 Kemudian tipe pasang surut dapat diklasifikasikan berdasarkan nilai Forhmzal yang ditunjukkan pada Tabel I.3
9
Tabel I.3. Pembagian tipe pasut berdasarkan nilai Forhmzal. F ≤ 0,25
Pasang surut tipe ganda (Semidiurnal Tides)
0,25 ≤ F
Pasang surut campuran condong harian ganda (Mixed
≤0,5
Mainly Semidiurnal Tides)
1,50 ≤ 3,0
Pasang surut campuran condong harian tunggal (Mixed Mainly Diurnal Tides)
F > 3,0
Diurnal
Adapun pengertian dari masing-masing tipe pasut adalah: 1. Pasang Surut Harian Ganda (Semi Diurnal Tide). Pada tipe ini menunjukkan bahwa pergerakan air laut dalam satu hari terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dengan tinggi hampir sama dan terjadi secara berurutan dan teratur (Gambar I.4). 2. Pasang Surut harian tunggal (Diurnal Tide) Pada tipe ini menunjukkan bahwa pergerakan air laut dalam satu hari terjadi satu kali air pasang dan satu kali air surut (Gambar I.5). 3. Pasang surut campuran Pada tipe ini, merupakan pasang surut campuran yang dapat dibagi lagi menjadi: a. Pasang Surut campuran condong harian Ganda Dalam satu hari terjadi dua kali pasang dan dua kali surut tetapi dengan periode yang berbeda. (Gambar I.6) b. Pasang Surut Campuran condong ke harian tunggal Dalam satu hari terjadi satu kali pasang dan dua kali surut, tetapi kterkadang untuk sementara waktu dapat terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dengan tinggi dan periode yang berbeda.
10
Gambar I.4 Tipe pasut semidiurnal (http://oceanservice.noaa.gov/education/kits/tides/media/supp_tide07a.html)
Gambar I.5 Tipe pasut diurnal (http://oceanservice.noaa.gov/education/kits/tides/media/supp_tide07a.html)
Gambar I.6 Tipe pasut mixed semidiurnal (http://oceanservice.noaa.gov/education/kits/tides/media/supp_tide07a.html)
11
I.7. Model Global TPXO 7.1 Pada Model global TPXO 7.1. data pasang surut disediakan dari kombinasi nilai amplitudo dari 8 komponen utama pasang surut (M2, S2, N2, K2, O1, P1 dan Q1), 2 (dua) komponen periode panjang (MF, MM) dan komponen non-linear (M4) dengan resolusi spasial menengah 1440 x 721 1/4 derajat grid global (Egbert dan Erofeeva, 2002). Dilihat dari unsur pembentuknya, model TPXO 7.1 merupakan salah satu model pasut hasil asimilasi data pasut konvensional, satelit altimetri, Topex Poseidon T/P dan Jason, dan model hidrodinamika. Model global TPXO 7.1 merupakan model pasut global versi terbaru yang dihasilkan dengan menggunakan teknik hitung kuadrat terkecil terhadap persamaan pasang surut Laplace dikombinasikan dengan data pasang surut Topex Poseidon T/P dan Jason sepanjang jalur lintasan (track).
I.8. Tide Model Driver (TMD) TMD merupakan paket dari Matlab yang dapat digunakan untuk mengakses konstituen harmonik dari model pasut dan digunakan untuk memprediksi elevasi dan arus pasut. TMD terdiri dari dua komponen, yaitu: 1. Tampilan grafis (Graphics User Interface / GUI) untuk menjelajah model serta menentukan medan pasang surut dan menentukan prediksi elevasi dan arus (komponen kecepatan). Contoh tampilan GUI dapat dilihat pada Gambar I.7
Gambar I.7 Contoh tampilan (GUI) dari pemodelan pasut dengan konstanta M2. Sumber: http://www.esr.org/polar_tide_models/README_TMD.pdf
12
I.9. Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis merupakan suatu komponen yang terdiri dari perangkat keras, perangkat lunak, data geografis dan sumber daya manusia yang bekerja bersama secara efektif untuk memasukkan, menyimpan, memperbaiki, memperbaharui, mengelola, memanipulasi, menganalisa dan menampilkan data dalam suatu informasi berbasis geografis. SIG terdiri atas 4 (empat) komponen yang terdiri dari data masukan, data manajemen, data manipulasi, dan data keluaran, dengan penjelasan sebagai berikut (Aronof, 1989): 1. Data masukan (input): berfungsi untuk mengumpulkan dan menyiapkan data spasial dan data atribut serta mengkonversi atau mentransformasi format data asli kedalam format data SIG. 2. Data keluaran (output): berfungsi untuk menampilkan atau menyajikan keluaran seluruh basis data, seperti: grafik, tabel, peta dan lain-lain. 3. Data manajemen: berfungsi untuk mengorganisasikan data spasial maupun data atribut ke dalam sebuah basis data sehingga mudah dipanggil di perbaharui / update, dan di ganti / edit. 4. Data Analisis dan manipulasi: berfungsi untuk menentukan informasiinformasi yang dapat dihasilkan oleh SIG serta melakukan manipulasi dan pemodelan data untuk menghasilkan informasi yang diharapkan. Data SIG bersumber dari data kenampakan geografi di lapangan. Data yang terdapat pada SIG dibedakan menjadi dua, yaitu data spasial dan data atribut. Data spasial adalah data yang berhubungan dengan lokasi, bentuk, dan hubungan antar objek satu dengan lainnya, sedangkan data atribut merupakan data yang memberikan informasi maupun keterangan mengenai data spasial. Dalam menampilkan data spasial dalam SIG dapat diolah dengan menggunakan dua model data, yaitu model data raster dan model data vektor. 1. Model data raster merupakan model data yang mengolah, memyimpan, dan menampilkan data spasial dengan pixel. Pixel pada model raster akan membentuk grid.
13
2. Model data vektor merupakan model data yang menampilkan dan menyimpan data spasial dengan menggunakan titik-titik, garis-garis (poligon). ArcGIS adalah salah satu perangkat lunak pemetaan yang didesain dan dimanajemen dengan aplikasi geografis. ArcGIS memiliki kemampuan untuk memanajemen data spasial, melakukan editing data, analisis dan data spasial (Febrian. 2014). I.10. Peta Prihandito (1989) menyatakan bahwa peta merupakan gambaran dari permukaan bumi dalam skala tertentu sistem koordinat tertentu, dan digambarkan pada bidang datar menggunakan simbol-simbol tertentu melalui sistem proyeksi tertentu. Simbol adalah salah satu tanda gambar menurut data kenampakan obyek tertentu. Untuk memudahkan pelaksanaan simbol, peta dibedakan berdasarkan ciricirinya dapat diklasifikasikan menjadi 3, yaitu: 1. Simbol titik. Simbol titik digunakan untuk menunjukkan posisi atau lokasi, dapat dalam bentuk segitiga, segiempat, dan lingkaran.
Gambar I.8 simbol titik 2. Simbol garis. Simbol garis digunakan jika unsur yang diwakilinya berbentuk garis. Contoh simbol garis(sungai. jalan. batas wilayah)
Gambar I.9 simbol garis 3. Simbol luasan. Simbol luasan digunakan untuk menampilkan unsur-unsur yang berhubungan dengan suatu luasan (polygon). Contoh simbol luasan (luas perairan.
Gambar I.10. Simbol luasan