BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kadaster menjadi bagian aspek pertanahan yang bersifat legal dan teknis yang dapat didekati dengan bidang ilmu mengenai penentuan posisi dan lokasi, seperti ilmu Geodesi. Kadaster merupakan sistem pendaftaran tanah komprehensif mengenai kepemilikan dan penggunaan tanah yang terdiri dari informasi yang mendefinisikan bentuk, lokasi, serta data atribut dari suatu bidang tanah (Dale dan McLarren, 1999, Heliani dkk., 2013). Seiring dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat serta perubahan struktur bangunan, penggunaan dan pemanfaatan ruang baik di atas maupun di bawah permukaan tanah menyebabkan pengelolaan sistem kadaster 2D menjadi tidak relevan. Solusi dari masalah tersebut perlu dikembangkan pengelolaan sistem kadaster secara 3D (Stoter, 2000, Heliani dkk., 2013). Kadaster 3D adalah sistem yang berkaitan dengan aktivitas survei dan pemetaan serta kegiatan administrasi yang meliputi pencatatan terhadap hak dan pembatasan tidak hanya untuk bidang tanah yang bersifat 2D tetapi juga 3D (Stoter dan Gorte, 2003). Kadaster 3D berada dalam sistem keruangan yang ditunjukkan dengan koordinat 3D yang terdiri dari tiga parameter, yaitu dua parameter komponen horisontal dan satu parameter komponen vertikal yaitu tinggi (Raper dan Kelk, 1989). Salah satu aspek utama dalam survei dan pemetaan objek kadaster 3D adalah penentuan data tinggi. Penentuan tinggi objek kadaster yang ideal adalah secara absolut berdasarkan sistem referensi nasional. Komponen dan berbagai alternatif data tinggi dapat digunakan untuk pengembangan kadaster 2D menjadi 3D (Stoter dan Gorte, 2003, Lenk, 2001).
1
2
Peta pendaftaran sebagai salah satu instrumen dari kadaster dikategorikan berdasarkan skala peta. Pasal 13 Peraturan Menteri Negara Agraria (PMNA) Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menyebutkan bahwa peta dasar pendaftaran dibuat dengan skala 1:1.000 atau lebih besar untuk daerah pemukiman, 1:2.500 atau lebih besar untuk daerah pertanian, dan 1:10.000 untuk daerah perkebunan besar. Berdasarkan peraturan tersebut, di Indonesia khususnya di wilayah pemukiman, survei kadaster 3D dapat menggunakan acuan skala peta sebesar 1:1.000. Dengan skala peta tersebut, diharapkan akurasi tinggi objek kadaster 3D yang diperoleh mencapai 0,500 m. Tinggi objek kadaster 3D diartikan sebagai jarak vertikal antara suatu titik dengan bidang referensi yang berfungsi sebagai bidang acuan terhadap posisi awal (Janssen dkk., 2011, Gabriel dkk., 2011, Reddy, 2010). Berdasarkan cara penentuannya, tinggi objek kadaster ada dua macam, yaitu tinggi relatif dan absolut. Tinggi relatif ditentukan dengan menggunakan bidang acuan berupa permukaan topografi yang berada di sekitar lokasi objek kadaster 3D. Penentuan tinggi secara relatif mempunyai beberapa kekurangan. Pertama, terdapat ketidakpastian lokasi titik yang digunakan sebagai titik referensi. Hal tersebut dikarenakan kondisi topografi yang bervariasi. Kedua, diperlukan transformasi tinggi apabila antar peta kadaster ditampalkan. Pendefinisian tinggi secara absolut merupakan cara pendefinisian tinggi dengan menggunakan bidang referensi tinggi yang digunakan dalam cakupan wilayah yang luas (Vanicek dan Krakiwsky, 1982). Terdapat beberapa macam tinggi, yaitu tinggi normal, tinggi dinamik, tinggi geometrik, dan tinggi ortometrik (Navratil dan Unger, 2013). Survei dan pemetaan kadaster 3D dapat menggunakan tinggi geometrik dan ortometrik yang masing-masing menggunakan bidang referensi berupa elipsoid dan geoid (Wellenhof dan Moritz, 2005). Namun demikian, untuk keperluan praktis penentuan tinggi dapat menggunakan bidang referensi berupa mean sea level (MSL). Akan tetapi, MSL yang didefinisikan di stasiun tetap pasang surut (pasut)
3
tidak berada pada bidang ekipotensial yang sama. Hal tersebut karena kondisi laut yang bervariasi. Perbedaan bidang ekipotensial setiap stasiun tetap pasut menyebabkan terbentuk suatu sistem tinggi yang bersifat lokal (Heliani, dkk., 2013). MSL direalisasikan dengan Titik Tinggi Geodesi (TTG). Indonesia yang terdiri dari berbagai pulau tidak memungkinkan dibentuk jaring TTG yang saling terhubung. Hal ini berakibat unifikasi bidang referensi tinggi nasional tidak dapat dilakukan. Di sisi lain, saat ini implementasi teknologi Global Navigation Satellite System (GNSS) berbasis Continously Operating Reference Station (CORS) telah banyak dikembangkan oleh beberapa instansi seperti Badan Pertanahan Nasional (BPN). Namun demikian, implementasi teknologi tersebut hanya menghasilkan komponen horisontal yang dapat dimanfaatkan secara optimal. Penggunaan teknologis GNSS CORS tidak menghasilkan komponen vertikal yang optimal. Hal tersebut karena data tinggi dari pengamatan GNSS CORS yang disebut sebagai tinggi geometrik tidak mempunyai realisasi fisis. Oleh sebab itu, perlu didefinisikan bidang referensi tinggi ideal yang memiliki cakupan luas yang dapat digunakan untuk unifikasi tinggi serta dapat digunakan untuk memaksimalkan penggunaan teknologi GNSS CORS. Bidang referensi yang tepat dan dianggap mampu memenuhi kedua kriteria tersebut adalah geoid. Geoid merupakan bidang ekipotensial yang berimpit dengan MSL (Kahar, 2002). Geoid dinilasi dapat digunakan sebagai bidang referensi tinggi yang tepat untuk keperluan kadaster 3D. Hal tersebut karena geoid mempunyai realisasi fisis berupa MSL yang tidak terganggu. Nilai undulasi yang dihasilkan dari geoid dapat dimanfaatkan untuk transformasi tinggi geometrik ke tinggi ortometrik. Sistem Referensi Geospasial Indonesia (SRGI 2013) yang didalamnya termasuk sistem referensi tinggi nasional menyatakan bahwa saat ini belum terdapat model geoid yang mempunyai tingkat akurasi yang tinggi (Badan Informasi Geospasial, 2013). Tidak tersedianya model geoid yang akurat berimplikasi pada belum tersedianya bidang referensi tinggi untuk mewujudkan kadaster 3D. Salah satu
4
solusi untuk menghasilkan model geoid yang akurat adalah pemodelan geoid untuk cakupan yang relatif lebih sempit yang selanjutnya disebut geoid lokal. Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut, penelitian dilakukan untuk memodelkan geoid lokal Indonesia dengan studi kasus di D.I. Yogyakarta. Pemilihan lokasi studi kasus berdasarkan pada ketersediaan data gayaberat teristris dan jumlah objek kadaster 3D yang cukup banyak dan bervariasi. Pemodelan geoid menggunakan metode Fast Fourier Transformation (FFT) dan Least Square Collocation (LSC) dengan teknik Remote Compute Restore (RCR). Penggunaan dua macam metode dan teknik pemodelan geoid tersebut diharapkan mampu menghasilkan geoid dengan tingkat akurasi yang tinggi. Model geoid lokal D.I. Yogyakarta yang dihasilkan kemudian dikontrol dengan delapan TTG. Nilai undulasi dari model geoid lokal, yang selanjutnya disebut undulasi gravimetrik, digunakan untuk transformasi tinggi geometrik ke tinggi ortometrik. Tinggi hasil pengurangan tinggi geometrik dan undulasi gravimetrik kemudian dimanfaatkan sebagai tinggi referensi untuk menentukan tinggi objek kadaster 3D. Akurasi tinggi objek kadaster 3D dihitung dengan menggunakan konsep perambatan kesalahan dari akurasi undulasi gravimetrik dan kepresisian tinggi geometrik. Akurasi tinggi objek kadaster 3D yang diperoleh kemudian dibandingkan dengan nilai akurasi yang disyaratkan, yaitu sebesar 0,500 m. Persyaratan akurasi tersebut didasarkan skala peta kadaster di wilayah pemukiman sebesar 1:1.000 (Badan Pertanahan Nasional, 1997). Tujuan membandingkan akurasi tinggi objek kadaster 3D dengan akurasi yang disyaratkan untuk mengetahui pengaruh penggunaan model geoid lokal sebagai bidang referensi tinggi. Penelitian ini menggunakan objek kadaster 3D berupa rumah susun (rusun). I.2. Perumusan Masalah SRGI 2013 yang di dalamnya termasuk sistem referensi tinggi nasional belum menghasilkan model geoid dengan tingkat akurasi yang memadai. Hal tersebut memberikan dampak bahwa sampai saat ini Indonesia belum mempunyai model geoid yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan survei kadaster 3D. Selain
5
itu, penggunaan teknologi GNSS CORS juga belum optimal karena tinggi geometrik yang dihasilkan tidak mempunyai realisasi fisis. Di sisi lain, sampai saat ini belum diketahui akurasi tinggi objek kadaster 3D yang mampu dicapai. Di samping itu, juga belum dapat diketahui pengaruh pemanfaatan model geoid lokal sebagai bidang referensi tinggi terhadap akurasi tinggi objek kadaster 3D. Berdasarkan permasalahan tersebut dilakukan penelitian untuk memodelkan geoid lokal di Indonesia dengan studi kasus di D.I. Yogyakarta. Kombinasi pemanfaatan teknologi GNSS CORS, pengukuran penyipat datar, dan ketersediaan data gayaberat teristris yang jumlahnya cukup dan terdistribusi merata diharapkan dapat menghasilkan model geoid lokal yang akurat. Pengaruh model geoid lokal D.I. Yogyakarta terhadap implementasi survei kadaster 3D dapat diketahui melalui perbandingan antara akurasi tinggi objek kadaster 3D yang dicapai dengan nilai akurasi yang disyaratkan. Pertanyaan penelitian yang dapat disusun berdasarkan rumusan permasalah tersebut yaitu: 1.
Bagaimana model geoid lokal D.I. Yogyakarta yang akurat?
2.
Berapa nilai akurasi paling tinggi dari model geoid lokal D.I. Yogyakarta?
3.
Berapa nilai akurasi tinggi objek kadaster 3D yang disurvei?
4.
Apa pengaruh tingkat akurasi tinggi objek terhadap implementasi survei 3D kadaster di D.I. Yogyakarta? I.3. Desain Penelitian Penelitian dilakukan melalui serangkaian tahap yang meliputi (a) pemodelan
geoid lokal D.I. Yogyakarta, (b) pengukuran penyipat datar, (c) pengamatan GNSS, dan (d) pengukuran objek kadaster 3D dengan Total Station (TS). Tahap pertama, dilakukan pemodelan geoid lokal D.I. Yogyakarta dengan memanfaatkan data anomali gayaberat free-air, data Digital Terrain Model (DTM) dari satelit Shuttle Radar Topographic Mission (SRTM) dan peta RBI skala 1:25.000, serta model geopotensial global GOCE dan EGM2008. Untuk mengetahui akurasi model geoid lokal, dilakukan perbandingan antara nilai undulasi gravimetrik dengan undulasi geometrik di setiap TTG. Tahap kedua, dilakukan pengukuran penyipat datar untuk mengetahui tinggi ortometrik di enam titik kerangka peta
6
(TKP) yang dipasang di sekitar objek kadaster 3D. TKP berfungsi sebagai titik referensi pemetaan untuk menentukan tinggi objek kadaster 3D. Pengukuran penyipat datar dilakukan dengan pengikatan pada satu titik referensi, yaitu TTG Nomor 832 yang dikelola oleh BIG yang berada di halaman TVRI Yogyakarta. Tahap ketiga, dilakukan transformasi tinggi geometrik yang dihasilkan dari pengamatan GNSS ke tinggi ortometrik dengan memanfaatkan nilai undulasi gravimetrik dari model geoid lokal. Selanjutnya, tinggi ortometrik yang dihasilkan dari pengukuran penyipat datar dilambangkan dengan H, sedangkan tinggi ortometrik yang dihasilkan dari pengurangan tinggi geometrik dan undulasi gravimetrik dilambangkan dengan H”. Tahap keempat, dilakukan pengukuran tinggi objek kadaster 3D dengan metode trigonometrik dan peralatan TS. Tinggi TKP yang dijadikan sebagai referensi untuk pengukuran tinggi objek diskenariokan dalam dua macam, yaitu H dan H”. Hitungan dengan menggunakan metode perambatan kesalahan dapat menunjukkan akurasi tinggi objek kadaster 3D yang dihasilkan dari kedua macam tinggi referensi tersebut. Tahap kelima, dilakukan perbandingan antara akurasi tinggi objek kadaster 3D yang diperoleh dengan akurasi yang disyaratkan. Perbandingan tersebut bertujuan untuk menunjukkan pengaruh model geoid lokal sebagai bidang referensi tinggi terhadap implementasi survei kadaster 3D. Apabila akurasi tinggi objek kadaster 3D lebih tinggi daripada akurasi yang disyaratkan maka dapat dikatakan bahwa model geoid lokal yang dihasilkan dapat digunakan sebagai referensi tinggi untuk keperluan survei kadaster 3D. Hal tersebut karena model geoid lokal mempunyai akurasi yang ideal sehingga menghasilkan akurasi tinggi objek kadaster 3D yang tinggi. Diagram alir desain penelitian ditunjukkan pada Gambar I.1.
7
Pemodelan geoid lokal D.I. Yogyakarta
Pengukuran penyipat datar dengan satu titik ikat
Pengamatan GNSS dengan satu stasiun CORS sebagai titik ikat
Pengukuran objek 3D secara teristris
Akurasi tinggi objek pada survei kadaster 3D
Perbandingan antara akurasi tinggi objek kadaster 3D terhadap akurasi tinggi yang disyaratkan, yaitu sebesar 0,500 m
Pengaruh akurasi model geoid lokal D.I. Yogyakarta terhadap implementasi survei kadaster 3D
Gambar I.1. Diagram alir desain penelitian I.4. Cakupan Penelitian Cakupan penelitian diperlukan supaya penelitian dapat fokus dan mampu menjawab permasalahan yang ada. Beberapa cakupan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini, meliputi: 1.
Daerah penelitian meliputi D.I. Yogyakarta dengan batasan koordinat pada 110°5’ Bujur Timur sampai 110°50’ Bujur Timur dan 7°33’ Lintang Selatan sampai 8°15’ Lintang Selatan. Batasan koordinat disesuaikan dengan data laporan akhir kerjasama antara Propinsi D.I. Yogyakarta dan Regional Development and Poverty Reduction Program tahun 2005.
2.
Evaluasi model geoid lokal dengan menggunakan TTG yang diukur secara co sited GNSS/penyipat datar. Data dari TTG menghasilkan nilai undulasi geometrik yang diasumsikan sebagai nilai undulasi yang benar dan tidak terdapat kesalahan dalam perhitungannya. Kedelapan TTG tersebut meliputi TTG 822, 826, 830, 831, 832, 836, 844, dan 846.
3.
Pengukuran penyipat datar dilakukan dengan prosedur pelaksanaan yang ditentukan oleh pelaksana dan sebagian mengacu pada SNI Nomor 19-69882004 tentang jaring kontrol vertikal dengan metode sipat datar.
4.
Pengamatan GNSS dilakukan dengan prosedur pelaksanaan yang ditentukan oleh pelaksana dan sebagain mengacu pada SNI Nomor 19-6724-2002 tentang jaring kontrol horisontal.
8
5.
Penelitian difokuskan pada komponen vertikal objek kadaster 3D yang meliputi keterkaitan hubungan antara H, tinggi geometrik, dan undulasi gravimetrik.
6.
Syarat akurasi tinggi objek kadaster 3D sebesar 0,500 m yang didasarkan pada skala peta kadaster di wilayah pemukiman yaitu 1:1.000 dan mengacu pada PMNA Nomor 3 Tahun 1997.
7.
Pengaruh model geoid lokal D.I. Yogyakarta sebagai referensi tinggi terhadap survei kadaster 3D dilakukan dengan membandingkan antara akurasi tinggi objek kadaster 3D dengan akurasi tinggi yang disyaratkan. I.5. Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian yang dilakukan adalah pemodelan geoid lokal D.I.
Yogyakarta untuk keperluan survei kadaster 3D. Tujuan khusus yang diharapkan dapat tercapai, meliputi: 1.
Menentukan model geoid menggunakan metode FFT dan kolokasi.
2.
Menentukan nilai akurasi geoid lokal D.I. Yogyakarta.
3.
Menentukan nilai akurasi tinggi objek kadaster 3D.
4.
Menentukan pengaruh model geoid lokal sebagai bidang referensi tinggi terhadap akurasi tinggi dan implementasi survei kadaster 3D. I.6. Manfaat Penelitian Penelitian yang dilakukan diharapkan dapat berguna untuk para peneliti dan
praktisi untuk menentukan model geoid lokal yang akurat di D.I. Yogyakarta yang dapat digunakan sebagai bidang referensi tinggi ideal dalam survei kadaster 3D. Hasil penelitian berupa nilai akurasi tinggi objek kadaster 3D diharapkan dapat memberikan gambaran dan informasi kepada praktisi terhadap pengaruh nilai akurasi tersebut untuk survei kadaster 3D. I.7. Tinjauan Pustaka Jumlah penduduk dan kebutuhan terhadap bidang tanah semakin tahun semakin meningkat. Kondisi itu tidak diiringi dengan peningkatan ketersediaan jumlah bidang tanah. Hal tersebut berakibat pada penggunaan ruang baik di atas
9
maupun di bawah permukaan tanah yang kemudian muncul sebagai fenomena kadaster 3D. Kadaster 3D telah menjadi bahasan di beberapa negara antara lain Singapura (Khoo, 2011), Rusia (Vandysheva dkk., 2011), Hungaria (Ivan, 2012), India (Ghawana dkk., 2013), dan Australia (Stoter dkk., 2004). Pembahasan kondisi kadaster 3D di negara-negara tersebut menunjukkan suatu persamaan bahwa kadaster 3D meliputi dua aspek, yaitu aspek legal dan teknis. Dua unsur penting menyangkut aspek legal yaitu kelembagaan dan jenis objek kadaster 3D (Stoter dan Oosterom, 2003). Lembaga yang berwenang dalam survei kadaster 3D dapat bersifat sentral atau disentralisasi yang kewenangannya dapat diberikan kepada masing-masing pemerintah daerah atau negara bagian. Beberapa jenis objek kadaster 3D antara lain bangunan bertingkat (strata title), apartment, terowongan, dan jalan layang. Aspek teknis mengenai kadaster 3D antara lain skala peta kadaster, metode akuisisi data, dan standar akurasi objek 3D. Skala peta kadaster dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain tujuan penggunaan peta dan kondisi wilayah yang dipetakan. Skala peta kadaster di Indonesia mulai dari 1:1.000 s.d. 1:10.000. Saat ini, akuisisi data kadaster memanfaatkan teknologi penentuan koordinat berbasis satelit, misalnya GNSS. Penggunaan teknologi tersebut diharapkan menghasilkan akurasi kadaster 3D yang meliputi akurasi horisontal maupun vertikal pada fraksi sentimeter atau milimeter. Aspek teknis kadaster 3D lebih kompleks daripada aspek legal. Hal tersebut ditunjukkan dari berbagai masalah yang masih ditemui terkait aspek teknis, misalnya penentuan tinggi dan akurasi tinggi objek kadaster 3D. Walaupun belum terdapat nilai yang pasti, ketentuan standar akurasi tinggi objek kadaster 3D dapat ditunjukkan pada Tabel I.1. Tabel I.1. Kenentuan akurasi tinggi kadaster 3D (Navratil dan Unger, 2011) Objek kadaster 3D Terowongan Jalan layang Apartment
Ketentuan akurasi tinggi Akurasi tinggi disesuaikan dengan tujuan survei kadaster 3D, misalnya untuk pajak atau pengawasan. Akurasi tinggi lebih rendah daripada ketentuan akurasi komponen horisontal atau vertikal berdasarkan acuan. Akurasi tinggi sama dengan atau lebih besar daripada akurasi horisontal dengan batasan sebesar 1σ, dalam hal ini σ merupakan nilai simpangan baku.
10
Penggunaan teknologi GNSS untuk keperluan survei dan pemetaan kadaster 3D berkembang pesat. Penggunaan metode survei secara Real Time Kinematic (RTK) memberikan banyak keuntungan, misalnya waktu survei yang semakin singkat dan memperkecil jumlah biaya survei. Metode RTK dapat digunakan sebagai pengganti metode akusisi data secara teristris, misalnya dengan TS. Yuanming (2010) menunjukkan bahwa selisih maksimum perhitungan koordinat antara RTK GNSS dengan TS pada sumbu X, sumbu Y, dan sumbu Z berturutturut adalah 15 mm, 15 mm, dan 10 mm. Hal ini menunjukkan bahwa akuisisi data dengan RTK GNSS menghasilkan nilai koordinat yang masih memenuhi kriteria akurasi kadaster. Tingkat akurasi kadaster di wilayah perkotaan mencapai 15 mm sedangkan di wilayah perkotaan berkisar antara 20 mm s.d. 35 mm (Reddy, 2010). Metode RTK dikembangkan dengan memanfaatkan stasiun CORS yang aktif selama 24 jam dan memberikan koreksi pada data ukuran RTK sehingga menghasilkan akurasi yang tinggi (Sunantyo, 2009). Beberapa negara memiliki jumlah dan jarak antar stasiun CORS yang berbeda. Swedia mempunyai jumlah stasiun CORS sebanyak 170 stasiun dengan interval jarak antara 60 km s.d. 70 km, sedangkan Swiss mempunyai 31 stasiun CORS dengan interval jarak antar 35 km s.d. 50 km. Stasiun CORS di Swiss penggunaannya sebesar 70% untuk keperluan kadaster. Tabel I.2. menunjukkan perbandingan stasiun CORS dan standar akurasi kadaster di beberapa negara. Tabel I.2. Perbandingan CORS dan standar akurasi kadaster (Reddy, 2010) Negara Jerman Swiss Swedia Siprus
Jumlah stasiun 270 31 190 7
Interval jarak (km) 40 40 65 40
Standar akurasi kadaster (mm) 20 35 30 s.d. 100 15 s.d 25
Wilayah Perkotaan Perkotaan Tidak dicantumkan Tidak dicantumkan
Tabel I.1. dan Tabel I.2. menunjukkan bahwa terdapat beberapa variabel yang menentukan akurasi tinggi objek kadaster 3D, yaitu skala peta, jenis objek, dan wilayah pemetaan. Tabel I.3. menunjukkan variabel dan ketentuan akurasi tinggi objek kadaster 3D.
11
Tabel I.3. Akurasi tinggi objek kadaster 3D berdasarkan beberapa variabel (PMNA Nomor 3 Tahun 1997, Navratil dan Unger, 2011, Reddy, 2010) Variabel
Akurasi tinggi objek kadaster 3D (m)
Skala peta 1:1.000 (wilayah pemukiman) 1:2.500 (wilayah pertanian) Objek kadaster 3D Terowongan Jalan layang Apartment Wilayah pemetaan Perkotaan Pedesaan
0,500 1,250 ≤ 0,010 0,030 s.d 0,100 0,035 s.d 0,050 0,025 s.d 0,035 0,015
Berdasarkan Tabel I.3. diketahui bahwa apabila mengacu pada skala peta, akurasi tinggi objek kadaster 3D di wilayah pemukiman mencapai 0,500 m. Nilai akurasi tersebut yang kemudian digunakan sebagai acuan untuk menentukan akurasi tinggi objek kadaster 3D yang disurvei. Tabel I.4. menunjukkan perbandingan antara kepresisian komponen horisontal dan vertikal. Tabel I.4. Perbandingan kepresisian komponen horisontal dan vertikal objek kadaster 3D (Janssen dkk., 2011) Nilai Root Mean Square Minimum Maksimum
Easting (mm) 7 -18 29
Northing (mm) 8 -25 36
Horisontal (mm) 11 0 36
Vertikal (mm) 34 -65 137
Tabel I.4. menunjukkan bahwa kepresisian untuk komponen horisontal lebih tinggi dibandingkan komponen vertikal. Kepresisian komponen vertikal yang masih rendah mengindikasikan bahwa terdapat permasalahan berkaitan dengan penentuan komponen vertikal pada objek kadaster 3D. Salah satu permasalah terkait penentuan komponen vertikal pada objek kadaster 3D adalah pendefinisian bidang referensi tinggi yang digunakan untuk menentukan tinggi objek kadaster 3D (Navratil dan Unger, 2013). Tinggi merupakan jarak vertikal antara satu titik terhadap suatu bidang referensi. Idealnya, tinggi objek kadaster 3D adalah tinggi absolut yang diikatkan terhadap sistem dan jaring referensi tinggi nasional (Navratil dan Unger, 2011). Namun demikian, dimungkinkan untuk menggunakan tinggi lokal sesuai dengan keperluan. Navratil dan Unger (2011) menyebutkan bahwa terdapat beberapa
12
kriteria tinggi yang dapat digunakan untuk kadaster 3D. Tabel I.5. menunjukkan kesesuaian antara kriteria dan jenis tinggi objek kadaster 3D. Tabel I.5. Kesesuaian antara kriteria dan jenis tinggi objek kadaster 3D (Navratil dan Unger, 2011) Kriteria Mudah ditentukan Secara baik didefinisikan dan mempunyai kesalahan minimum Nilai koreksi kecil Mempunyai arti fisis Ditentukan secara geometrik
Dinamik Sesuai
Jenis tinggi Ortometrik Normal Sesuai Sesuai
Geometrik Sesuai
Sesuai
Sesuai
Sesuai
Sesuai
Tidak sesuai
Sesuai
Sesuai
Sesuai
Sesuai
Tidak sesuai
Sesuai Tidak sesuai
Tidak sesuai
Sesuai
Tidak sesuai
Sesuai
Berdasarkan Tabel I.5. diketahui bahwa jenis tinggi yang memenuhi semua kriteria adalah tinggi ortometrik. Hal penting dalam penentuan tinggi adalah pendefinisian bidang referensi. Bidang referensi tinggi untuk keperluan kadaster 3D adalah bidang yang mampu menghasilkan tinggi absolut. Oleh sebab itu, diperlukan bidang referensi yang bersifat absolut dengan cakupan luas. Geoid dinilai sebagai bidang referensi tinggi yang tepat dan ideal untuk kadaster 3D. Geoid merupakan bidang ekipotensial yang berimpit dengan MSL yang tidak terganggu (Wellenhof dan Moritz, 2005). Penentuan geoid dapat dilakukan dengan beberapa cara, salah satunya dengan pemodelan geoid. Untuk keperluan praktis, pemodelan geoid dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu gravimetris dan geometrik. Pemodelan geoid secara gravimetris dengan menggunakan tiga komponen
gelombang,
yaitu
komponen
gelombang
pendek,
komponen
gelombang menengah, dan komponen gelombang panjang. Komponen gelombang pendek merepresentasikan Digital Elevation Model (DEM) suatu wilayah. Data yang umum digunakan sebagai komponen gelombang pendek adalah data tinggi SRTM (Kiamehr dan Sjöberg, 2005). Semakin rapat data tinggi maka menghasilkan nilai model geoid lokal yang lebih akurat. Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa setelah dilakukan fitting, data SRTM dengan interval 100 m menghasilkan model geoid lokal dengan akurasi mencapai 0,780 m, sedangkan dengan data GLOBE yang mempunyai interval 1.000 m, model geoid lokal yang
13
dihasilkan mempunyai akurasi mencapai 0,810 m (Kiamehr dan Sjöberg, 2005). Komponen gelombang menengah diperoleh dari data ukuran gayaberat teristris dan komponen gelombang panjang diperoleh dari data Model Geopotensial Global (MGG) (Kiamehr, 2006). Penentuan geoid secara geometrik dengan pengukuran co sited GNSS/penyipat datar. Kondisi saat ini menunjukkan akurasi geoid gravimetris yang dihasilkan masih rendah umumnya bernilai antara ± 1 m s.d. ± 0,5 m (Huda, 2011, Kahar, 2002). Hal ini tidak sesuai dengan syarat yang menyatakan bahwa akurasi geoid untuk keperluan geodetik penyipat datar mencapai 10 cm (Yun, 1999). Beberapa hal yang menyebabkan rendahnya akurasi geoid Indonesia adalah ketersediaan gayaberat teristris yang tidak mencukupi dan distribusinya yang belum merata. Semakin banyak data ukuran gayaberat teristris maka geoid gravimetris yang dihasilkan semakin akurat. Akurasi geoid gravimetris dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya derajat MGG yang digunakan. Berdasarkan penelitian terdahulu bahwa semakin besar nilai derajat MGG belum tentu menghasilkan geoid gravimetris yang lebih akurat (Barzaghi dkk., 2010, Guimaraes dan Matos, 2012). Di sisi lain, penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa EGM2008 lebih berpengaruh signifikan daripada MGG yang lain pada derajat 360 untuk wilayah pegunungan. Salah satu penyebab EGM2008 memberikan pengaruh yang lebih signifikan terhadap model geoid lokal karena EGM2008 terdiri dari kombinasi dari data gayaberat satelit GRACE, data gayaberat teristris, dan data satelit altimetri. Namun demikian, akurasi EGM2008 untuk model geoid lokal belum cukup tinggi. EGM2008 menghasilkan akurasi 0,092 m untuk derajat 360 dan 0,220 m untuk derajat 2.190 (Martin dkk., 2010, Dawod dkk., 2010). Akurasi geoid lokal juga pengaruhi oleh metode pemodelan yang dipakai, misalnya FFT dan LSC. Perbandingan dua metode tersebut telah diteliti antara lain di Semenanjung Korea (Yun, 1999), Polandia (Łyszkowicz, 2010), dan Mesir (Abd-Elmotaal, 2011). Pemodelan geoid lokal dilakukan dengan menggunakan teknik RCR. Pengujian akurasi geoid menggunakan titik kontrol yang diukur
14
secara co sited GNSS/penyipat datar. Secara keseluruhan, penelitian menunjukkan bahwa metode kolokasi menghasilkan akurasi internal yang lebih tinggi daripada metode FFT. Namun demikian, untuk pemodelan dengan jumlah data gayaberat teristris yang relatif sedikit, metode FFT menghasilkan akurasi eksternal yang lebih tinggi. Berdasarkan penelitian sebelumnya diketahui bahwa pemodelan geoid di suatu wilayah dengan jumlah data gayaberat teristris yang lebih banyak tidak sesuai apabila menggunakan metode LSC (Martin dkk., 2010). Tabel I.6. menunjukkan hasil pengujian akurasi geoid lokal dengan metode FFT dan kolokasi. Tabel I.6. Hasil pengujian akurasi geoid lokal dengan metode FFT dan kolokasi (Yun, 1999, Łyszkowicz, 2010, Abd-Elmotaal, 2011) Jumlah TTG
Jumlah data gayaberat
Cakupan area (km2)
Polandia
360
202.403
665.334
Mesir
27
Tidak dicantumkan
3.548.448
Semenanjung Korea
78
69.900
1.219.779
Lokasi
Metode FFT Kolokasi FFT Kolokasi FFT
Akurasi (m) 0,374 0,181 0,001 0,001 0,187
Implementasi teknologi GNSS CORS dan penggunaan variasi data serta metode pemodelan geoid lokal diharapkan mampu mewujudkan suatu model geoid yang akurat. Penelitian yang dilakukan adalah memodelkan geoid lokal D.I. Yogyakarta untuk survei kadaster 3D. Model geoid lokal dibentuk dari kombinasi data tinggi dari satelit SRTM dan data tinggi dari peta RBI, data gayaberat teristris, dan data MGG dari satelit gayaberat GOCE dan EGM2008. Kualitas model geoid lokal dikontrol dengan delapan TTG yang diperoleh dari BIG. Tinggi objek kadaster dihitung dengan menggunakan tinggi referensi berupa H dan H”. Akurasi tinggi objek kadaster 3D dihitung dengan konsep perambatan kesalahan dari beberapa variabel nilai, yaitu akurasi model geoid lokal, kepresisian tinggi ortometrik, dan kepresisian tinggi geometrik. Akurasi tinggi objek kadaster 3D dibandingkan dengan akurasi yang disyaratkan, yaitu sebesar 0,500 m. Hasil perbandingan tersebut digunakan untuk menjawab pengaruh pemanfaatan model geoid lokal terhadap akurasi tinggi dan implementasi survei kadaster 3D. Objek
15
kadaster 3D yang dijadikan sebagai sampel adalah kompleks Rusun Gemawang, Desa Sinduadi, Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman, D.I. Yogyakarta. I.8. Landasan Teori I.8.1. Kadaster 3D Kadaster 3D mempunyai domain unit properti berupa suatu ruang terbatas dalam situasi 3D yang dapat dimiliki oleh seseorang dengan suatu hak nyata. Status hukum dari situasi 3D harus dapat diterjemahkan dengan komprehensif sehingga situasi ini dapat didaftarkan dalam pendaftaran kadaster. Pendekatan kadaster 3D dapat menggunakan pendekatan spasial dengan berbasi lokasi, geometri, dan aktivitas keruangan (Stoter, 2000). Namun demikian, kompleksitas objek menyebabkan kadaster 3D yang utuh sulit diwujudkan (Stoter dkk., 2004). Oleh sebab itu, pemetaan kadaster 3D memerlukan data yang presisi dan terbebas dari kesalahan dan bias (Craig dan Wahl, 2003). Objek yang secara fisik tampak 3D tidak dapat didefinisikan sebagai objek kadaster. Hal ini menyebabkan objek 3D tidak dapat digunakan sebagai dasar pengelolaan kadaster (Stoter dan Oosterom, 2003). Standar akurasi survei diperlukan untuk menunjukkan tipe data spasial kadaster yang konsisten terhadap Federal Geographic Data Committee (Craig dan Wahl, 2003). Jenis objek kadaster 3D yang banyak ditemukan di Indonesia antara lain apartment, jalan layang, dan terowongan. Setiap objek kadaster 3D dimungkinkan diatur secara legal berdasarkan peraturan hukum yang berbedabeda. Objek kadaster rusun misalnya diatur dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun. Pelaksanaan pengelolaan rusun masih mengacu pada bidang tanah yang bersifat 2D dan pemetaan ruangnya hanya dengan gambar lantai gedung bertingkat (Republik Indonesia, 2011). Gambar I.2. menunjukkan contoh objek kadaster 3D di Indonesia.
16
Gambar I.2. Contoh objek kadaster 3D di Indonesia Kadaster 3D dapat diwujudkan dengan koordinat 3D yang meliputi dua komponen horisontal meliputi nilai koordinat pada sumbu X dan sumbu Y serta satu komponen vertikal pada sumbu Z yang dikenal dengan istilah tinggi (Sanecki dkk., 2013). Tinggi objek kadaster 3D dapat ditentukan secara relatif maupun absolut. Tinggi relatif merujuk pada pendefinisian tinggi suatu objek kadaster 3D yang didasarkan dari bidang topografi, sebagai contoh rusun yang terdiri dari 7 lantai nilai tingginya sebesar 28 m. Nilai tinggi ditentukan dengan referensi topografi dan mengasumsikan bahwa setiap lantai mempunyai tinggi kolom sebesar 4 m. Tinggi absolut objek kadaster 3D menggunakan bidang referensi tinggi nasional. I.8.2. Kondisi dan survei kadaster 3D di Indonesia Kondisi di Indonesia menunjukkan bahwa diperlukan upaya percepatan pemetaan kadaster. Sampai tahun 2009 masih terdapat sekitar 90% atau 83 juta ha lahan yang belum dipetakan untuk keperluan kadaster (Abidin dkk., 2012). BPN sebagai instansi yang memiliki kewenangan di bidang kadaster melakukan berbagai upaya untuk menyelesaikan masalah tersebut (Keppres Nomor 34, 2003). Salah satu upaya yang dilakukan yaitu dengan menggunakan teknologi pemetaan berbasis satelit. Teknologi pemetaan GNSS, yang salah satu konstelasinya mencakup satelit Global Positioning System (GPS), dinilai berguna untuk mempercepat pemetaan kadaster (Janssen dkk., 2011).
17
Teknologi GNSS dapat memetakan objek kadaster dengan waktu yang relatif lebih singkat dibandingkan dengan teknologi pemetaan teristris. Hasil pemetaan dengan teknologi ini adalah koordinat 3D yang akurat mencapai fraksi milimeter (Yuanming dkk., 2010). Untuk menghasilkan koordinat objek kadaster secara cepat dapat menggunakan metode RTK. Pemanfataan metode RTK melibatkan penggunaan stasiun CORS (Sunantyo, 2009). Namun demikian, pemanfaatan metode RTK berbasis CORS banyak menemui kendala, antara lain: (a) jaringan komunikasi yang tidak stabil, (b) kebutuhan dana untuk operasional dan pemeliharaan yang banyak, (c) sedikitnya jumlah sumberdaya manusia yang mampu mengoperasikan teknologi GNSS CORS, (d) serta, variasi kondisi topografi yang dapat berpengaruh terhadap kualitas data (Abidin dkk., 2012, Sunantyo, 2009). Pemetaan kadaster 3D umumnya mengkombinasikan teknologi GNSS dan pemetaan teristris. Hal ini dinilai merupakan metode yang terbaik untuk pemetaan kadaster 3D khususnya di wilayah dengan kondisi topografi yang bervariasi seperti di Indonesia (Abidin dkk., 2012, Ghawana dkk., 2013). GNSS dapat digunakan untuk mendefinisikan koordinat dari titik kontrol pemetaan sedangkan untuk penentuan tinggi objek kadaster 3D dapat menggunakan TS. Contoh kombinasi dari kedua metode tersebut, misalnya pemetaan suatu rumah susun. Batas bidang tanah dari rumah susun yang dijadikan sebagai titik kontrol pemetaan diukur dengan pengamatan GNSS dan untuk pemetaan rumah susun yang bertingkat dengan menggunakan TS. Akan tetapi, penggunaan data GNSS CORS untuk pemetaan kadaster 3D belum optimal karena hanya komponen horisontal yang dapat digunakan. Hal ini disebabkan karena tinggi geometrik dari GNSS CORS tidak mempunyai realisasi fisis. I.8.3. Sistem referensi geospasial Indonesia 2013 (SRGI 2013) Berdasarkan Peraturan Kepala (Perka) BIG Nomor 15 Tahun 2013 tentang SRGI 2013 telah diatur sistem referensi tunggal baik horisontal maupun vertikal untuk berbagai keperluan. SRGI 2013 adalah suatu sistem referensi geospasial yang digunakan secara nasional dan konsisten untuk seluruh wilayah Negara
18
Kesatuan Republik Indonesia serta kompatibel dengan sistem referensi geospasial global. SRGI 2013 terdiri atas dua macam, yaitu sistem referensi geospasial horisontal dan sistem referensi geospasial vertikal. Pendefinisian tinggi termasuk dalam domain sistem referensi geospasial vertikal. Berdasarkan pasal 10 Bab III Perka BIG Nomor 15 Tahun 2013 disebutkan bahwa sistem referensi geospasial vertikal adalah geoid yang diturunkan berdasarkan survei gayaberat yang terikat pada Jaring Kontrol Geodesi (JKG). Namun demikian, geoid yang dimaksud dalam pasal tersebut belum tersedia secara memadai. Kondisi tersebut menjadi landasan yuridis bahwa diperlukan suatu upaya untuk memodelkan geoid dengan akurasi yang memadai. I.8.4. Sistem referensi tinggi Tinggi merupakan jarak vertikal antara titik di permukaan bumi dengan bidang referensi tertentu. Bidang referensi yang umum digunakan adalah elipsoid dan geoid (Wellenhof dan Moritz, 2005). Elipsoid menghasilkan tinggi geometrik (h), sedangkan geoid menghasilkan tinggi ortometrik (H). Perbedaan nilai antara tinggi geometrik dan tinggi ortometrik disebut dengan undulasi atau tinggi geoid (N). Gambar I.3. menunjukkan hubungan antara elipsoid, geoid, dan topografi. Secara matematis dapat dituliskan hubungan antara elipsoid, geoid, dan undulasi pada persamaan (I.1). N=h–H
.........................................................................................(I.1)
Keterangan persamaan (I.1) sebagai berikut: N
: undulasi (satuan meter);
h
: tinggi geometrik dengan referesi elipsoid (satuan meter);
H
: tinggi ortometrik dengan referensi geoid (satuan meter). Tinggi ortometrik menunjukkan tinggi fisis yang diukur sepanjang garis
unting-unting yang melalui titik pengukuran. Tinggi ortometrik didasarkan pada perbedaan bilangan geopotensial geoid dengan bilangan potensial di permukaan bumi, yaitu nilai selisih potensial antara titik yang terletak di geoid dengan titik di sembarang tempat di permukaan bumi (Torge, 1980). Bilangan geopotensial menunjukkan besar nilai usaha atau kerja yang diperlukan untuk memindahkan
19
satu satuan massa dari geoid sampai di titik permukaan bumi (Ewing dan Mitchell, 1970). Apabila titik P merupakan titik yang terletak di geoid, sedangkan titik P0 terletak di permukaan bumi, maka perbedaan potensial kedua titik tersebut dapat dihitung dengan persamaan (I.2) (Kahar, 2008). WP – W0 =
∫
.................................................................(I.2)
Keterangan persamaan (I.2) sebagai berikut (Kahar, 2008): WP
: potensial di titik P;
W0
: potensial di titik P0; : nilai gayaberat di permukaan bumi (satuan cm/detik2); : tinggi ortometrik (satuan kilometer); Bilangan geopotensial dapat dihitung dengan mengurangkan potensial di
titik P dengan potensial di titik P0. Bilangan geopotensial mempunyai satuan geopotensial unit (gpu). Titik-titik yang terletak pada satu bidang potensial mempunyai bilangan geopotensial yang sama pula. Apabila potensial gayaberat di titik P0 adalah W0 sedangkan potensial gayaberat di titik P adalah WP dan tinggi ortometrik di titik P adalah HP maka ketiganya dapat dituliskan dalam persamaan (I.3), (I.4), dan (I.5) (Kahar, 2008). CP = W 0 – W P = ∫ =
.............................................................................(I.3) .............................................................................(I.4) .............................................................................(I.5)
Keterangan persamaan (I.5) sebagai berikut (Kahar, 2008): : bilangan geopotensial titik P (satuan gpu).
20
Gambar I.3. Hubungan antara elipsoid, geoid, dan bidang topografi (Dimodifikasi dari Erol dan Ҫelik, 2004) Keterangan Gambar I.3. sebagai berikut: h menunjukkan tinggi geometrik, H menunjukkan tinggi ortometrik, dan N menunjukkan undulasi. Gambar I.3. menjelaskan hubungan antara permukaan topografi, geoid, dan elipsoid. Permukaan topografi dan geoid dihubungkan dengan nilai tinggi ortometrik (H). Geoid dan elipsoid dihubungkan dengan nilai undulasi (N). Permukaan topografi dan elipsoid dihubungkan dengan tinggi geometrik (h). Berdasarkan persamaan (I.1) diketahui bahwa tinggi geometrik merupakan penjumlahan dari undulasi dan tinggi ortometrik. I.8.5. Gayaberat Gayaberat adalah vektor gaya yang bekerja pada suatu massa di permukaan bumi yang merupakan resultan antara gaya gravitasi bumi (G) dan gaya sentrifugal (f) (Hofman dan Moritz, 2005). Walaupun demikian, selain dipengaruhi oleh gaya gravitasi bumi dan gaya sentrifugal, gayaberat juga dipengaruhi oleh berbagai gaya yang lain. Akan tetapi, karena nilai dari gaya-gaya tersebut relatif kecil sehingga dapat diabaikan. Oleh sebab itu, gayaberat hanya memperhitungkan gaya gravitasi bumi dan gaya sentrifugal. Berdasarkan Gambar I.4. diketahui bahwa vektor arah gaya gravitasi bumi menuju pusat bumi, sedangkan vektor arah gaya sentrifugal tegak lurus dengan sumbu rotasi bumi. Hukum Gravitasi Newton menyatakan bahwa semua benda di alam semesta menarik semua benda lain dengan gaya sebanding dengan hasil kali massa dan
21
berbanding terbalik dengan kuadrat jarak antar benda-benda tersebut. Hukum Newton tentang gravitasi dapat dituliskan dengan persamaan (I.6) (Vanicek dan Krakiwsky, 1982). .............................................................................(I.6) Keterangan persamaan (I.6) sebagai berikut (Vanicek dan Krakiwsky, 1982): : gaya gravitasi (satuan Newton); : konstanta gravitasi Newton (6,67 x 10-11 Nm2/kg2); : massa objek pertama (umumnya dinotasikan sebagai massa bumi) (satuan kilogram); : massa objek kedua (satuan kilogram); : kuadrat jarak antara objek pertama dan objek kedua (satuan meter kuadrat).
Gambar I.4. Hubungan vektor arah gayaberat (g), gaya gravitasi (G), dan gaya sentrifugal (f) Keterangan Gambar I.4. yaitu (a) setengah sumbu panjang elipsoid (satuan meter), (b) setengah sumbu pendek elipsoid (satuan meter), λP merupakan nilai
22
bujur titik P (satuan derajat), φP merupakan nilai lintang titik P (satuan derajat), hp merupakan tinggi geometrik titik P (satuan meter), ⃗⃗⃗⃗ merupakan vektor gaya gravitasi titik P (satuan Newton), ⃗⃗ merupakan vektor gaya sentrifugal titik P (satuan Newton), ⃗⃗⃗ merupakan vektor gayaberat titik P (satuan Newton). Gambar I.4. menjelaskan besaran-besaran yang menunjukkan hubungan antara vektor arah gaya gravitasi, gaya sentrifugal, dan gayaberat. Berdasarkan Gambar I.4. arah gayaberat merupakan resultan dari arah gaya gravitasi dan gaya sentrifugal. Nilai gayaberat dapat dihitung dengan persamaan (I.7) dan (I.8) (Ewing dan Mitchell, 1970). .................................................................(I.7) .................................................................(I.8) Keterangan persamaan (I.7) dan (I.8) sebagai berikut (Ewing dan Mitchell, 1970): : gayaberat (satuan Newton); : gaya gravitasi (satuan Newton); : gaya setrifugal (satuan Newton); : konstanta gravitasi Newton (6,67 x 10-11 Nm2/kg2); : kecepatan sudut rotasi bumi (satuan radian/detik); : jari-jari bumi (umum digunakan 6.371 km); : nilai lintang sembarang titik di permukaan bumi (satuan derajat). I.8.6. Metode pengukuran gayaberat Nilai gayaberat di suatu titik di permukaan bumi dapat ditentukan dengan pengukuran gayaberat. Terdapat dua metode pengukuran gayaberat, yaitu metode absolut dan metode relatif (Sumaryo dkk., 2005). I.8.6.1. Metode pengukuran gayaberat absolut. Pengukuran gayaberat yang dilakukan untuk menentukan besar nilai gayaberat secara langsung di suatu titik pengukuran. Nilai ukuran gayaberat di titik pengukuran yang ditentukan dari metode absolut adalah nilai gayaberat di titik tersebut. Pengukuran gayaberat secara absolut umumnya digunakan untuk keperluan penetapan referensi jaringan gayaberat untuk wilayah yang luas. Selain itu, pengukuran gayaberat secara
23
absolut digunakan untuk keperluan penyelidikan menganai konstanta fisika. Hal ini disebabkan karena nilai ukuran gayaberat absolut umumnya mempunyai nilai kepresisian yang tinggi. I.8.6.2. Metode pengukuran gayaberat relatif. Pengukuran gayaberat dengan metode relatif adalah pengukuran gayaberat yang dilakukan di lebih dari satu titik pengukuran. Salah satu titik pengukuran dijadikan sebagai titik referensi atau titik kontrol dan telah didefinisikan nilai gayaberatnya. Pengukuran gayaberat dengan metode relatif menghasilkan nilai ukuran beda gayaberat (Δg) antara titik pengukuran dengan titik referensi. Pengukuran gayaberat dengan metode relatif umumnya digunakan untuk kepentingan praktis, misalnya penentuan geoid. Pengukuran gayaberat secara relatif dapat dilakukan dengan menggunakan alat ukur gayaberat yang disebut gravimeter. Tabel I.7. menunjukkan perbandingan metode pengukuran gayaberat dengan metode absolut dan relatif. Tabel I.7. Perbandingan metode pengukuran gayaberat (Sumaryo dkk., 2005) Faktor pembanding Jumlah minimum titik pengukuran Titik referensi gayaberat Nilai yang diperoleh
Metode pengukuran
Kepresisian
Tujuan penggunaan metode
Kondisi pengukuran
Metode absolut
Metode relatif
Satu
Dua
Tidak diperlukan Nilai gayaberat Terdapat empat metode: 1. Benda jatuh bebas 2. Symmetric rise and fall 3. Pendulum matematik 4. Fisikal pendulum
Perlu Nilai beda gayaberat Terdapat dua metode: 1. Dinamik (pendulum matematis dan inverted pendulum) 2. Statik (Vertical Spring Balance, Lever Spring Balance, Astatization) Relatif lebih rendah 1. Pemodelan geoid 2. Pendefinisian sistem tinggi untuk cakupan area luas 3. Eksplorasi sumberdaya alam Pengukuran dilakukan di berbagai tempat tanpa persyaratan tertentu.
Tinggi 1. Penetapan titik referensi jaring gayaberat nasional 2. Penentuan konstanta fisika Pengukuran dilakukan pada kondisi khusus yang minimum gangguan
24
I.8.7. Reduksi gayaberat free-air Gayaberat ukuran atau gayaberat observasi merupakan nilai gayaberat yang berada di permukaan bumi. Untuk keperluan studi geoid, nilai gayaberat yang dibutuhkan adalah nilai gayaberat yang berada di geoid. Oleh sebab itu, perlu dilakukan reduksi gayaberat dari permukaan bumi ke geoid. Terdapat beberapa metode reduksi gayaberat, yaitu reduksi free-air, reduksi Bouger, dan reduksi isotasi. Perbedaan dari masing-masing metode reduksi tersebut adalah perhitungan nilai kontribusi dan densitas massa bumi (ρ) yang berada di antara permukaan bumi dan geoid. Reduksi free-air merupakan metode reduksi gayaberat dari permukaan bumi ke geoid yang hanya memperhitungkan nilai tinggi (H). Reduksi ini mengabaikan kontribusi nilai massa dan densitas massa yang berada di antara permukaan bumi dan geoid (Jekeli, 2000, Wellenhof dan Moritz, 2005). Apabila diketahui nilai gayaberat di permukaan sebagai gayaberat observasi, maka dapat ditentukan nilai gayaberat di geoid dengan reduksi free-air seperti pada persamaan matematis (I.9). .................................................................(I.9) Keterangan persamaan (I.9) sebagai berikut: : gayaberat di geoid (satuan mgal); : gayaberat di permukaan bumi (satuan mgal); : reduksi gayaberat free-air (satuan mgal). Reduksi free-air dapat dituliskan dengan persamaan (I.10) (Heiskanen dan Moritz, 1967). ...............................................................(I.10) Keterangan persamaan (I.10) sebagai berikut (Heiskanen dan Moritz, 1967): : tinggi ortometrik (satuan meter). I.8.8. Gayaberat normal Gayaberat normal adalah nilai gayaberat teoritis yang dihitung dengan menggunakan bidang elipsoid sebagai bidang referensi. Nilai gayaberat normal
25
dapat dihitung dengan metode RCR (Sjöberg, 2005, Barzaghi dkk., 2009). Gayaberat normal dihitung dengan persamaan (I.11) (Ewing dan Mitchell, 1970). )
.......................................(I.11)
Keterangan persamaan (I.11) sebagai berikut (Ewing dan Mitchell, 1970): : gayaberat normal (satuan mgal); : gayaberat normal di ekuator (satuan mgal); : nilai lintang suatu titik di sembarang tempat (satuan derajat); ,
: konstanta yang berbeda untuk setiap nilai lintang.
Tabel I.8. menunjukkan nilai konstanta
dan
untuk setiap elipsoid referensi.
Tabel I.8. Konstanta β1 dan β2 (Torge, 1980) Elipsoid Internasional 1930 GRS 1967 WGS 1984
(gal) 978,049 978,031 978,032
a F 0,0052884 0,0000059 6.378.388 1/297 0,0053024 0,0000059 6.378.160 1/298,24 0,0053024 0,0000058 6.378.137 1/298,25
Keterangan Tabel I.8. sebagai berikut (Torge, 1980): a
: setengah sumbu panjang elipsoid (satuan meter);
F
: nilai ekstentrisitas.
I.8.9. Anomali gayaberat Anomali gayaberat adalah nilai hasil pengurangan antara gayaberat ukuran di geoid dengan elipsoid referensi (Eshagh, 2009). Anomali gayaberat dapat ditentukan dengan menggunakan formula Stoke’s (Sjöberg, 2007). Persamaan (I.12) dapat digunakan untuk menghitung nilai anomali gayaberat (Ewing dan Mitchell, 1970). ...........................................................................(I.12) Keterangan persamaan (I.12) sebagai berikut (Ewing dan Mitchell, 1970): : anomali gayaberat (satuan mgal); : gayaberat di geoid (satuan mgal); : gayaberat normal (satuan mgal).
26
Apabila dilakukan substitusi persamaan (I.10) dan (I.11) ke persamaan (I.12) maka diperoleh persamaan (I.13) yang disebut sebagai persamaan anomali gayaberat free-air. )
F
...............(I.13)
Keterangan persamaan (I.13) sebagai berikut: F
: anomali gayaberat free-air (satuan mgal).
I.8.10. Kontribusi terrain Kontribusi terrain diperhitungkan karena adanya variasi topografi yang berada di sekitar titik pengukuran gayaberat. Variasi tersebut dapat berupa bukit atau lembah. Adanya variasi topografi dapat mengakibatkan penambahan maupun pengurangan massa di titik pengukuran. Kontribusi terrain dibedakan menjadi dua, yaitu koreksi terrain dan indirect effect. Nilai koreksi terrain selalu positif (Wellenhof dan Moritz, 2005). Koreksi terrain digunakan sebagai koreksi nilai anomali gayaberat, sedangkan indirect effect digunakan untuk koreksi model geoid. Indirect effect diperlukan karena ada perbedaan tinggi antara geoid dan permukaan topografi (Ågren, 2004). Perhitungan kontribusi terrain dapat menggunakan data tinggi topografi atau DEM (Kiamehr dan Sjöberg, 2005). Kontribusi terrain dapat ditentukan dengan menggunakan tiga metode, yaitu (a) topografi, (b) isotatik, dan (c) RTM (Schwarz dkk., 1990). Secara prinsip perbedaan dari ketiga metode tersebut adalah penempatan dan pemrosesan massa bumi dan densitasnya. Perhitungan kontribusi terrain umumnya dilakukan dengan menggunakan metode RTM (Schwarz dkk., 1990, Kiamehr dan Sjöberg, 2005, Sjöberg, 2005). Metode RTM adalah metode perhitungan kontribusi terrain dengan membagi data topografi menjadi dua bagian, yaitu terrain rerata sebagai bidang referensi dan terrain residu (Sjöberg, 2007). Terrain rerata sebagai bidang referensi menggunakan nilai kerapatan massa dengan kerapatan batuan, misalnya 2,67 gr/cm3. Terrain residu diperoleh melalui pengurangan antara bidang referensi dengan terrain lokal. Gambar I.5. menunjukkan distribusi massa bumi menurut metode RTM.
27
Gambar I.5. Distribusi massa bumi menurut metode RTM (Dimodifikasi dari Forsberg dan Tscherning, 2008) Keterangan Gambar I.5. sebagai berikut: Tresidu menunjukkan terrain residu, H menunjukkan tinggi ortometrik (satuan meter), H’ menunjukkan kedalaman (satuan meter), dan N menunjukkan undulasi (satuan meter). Gambar I.5. menjelaskan mengenai distribusi massa bumi menurut metode RTM. Massa bumi dapat terletak di atas maupun di bawah terrain rerata. Terrain residu merupakan massa bumi yang terletak antara terrain rerata dengan permukaan topografi. Massa bumi yang berada di atas terrain rerata diasumsikan mempunyai densitas dengan nilai positif, sedangkan untuk massa bumi yang berada di bawah terrain rerata diasumsikan mempunyai densitas yang bernilai negatif. Proses reduksi massa di permukaan topografi menyebabkan adanya jarak antara permukaan topografi dan geoid yang disebut indirect effect. Perubahan geoid Kedalaman menunjukkan jarak vertikal antara suatu titik yang terletak di permukaan topografi terhadap geoid, dalam hal ini permukaan topografi tersebut terletak di bawah geoid. Tinggi ortometrik menunjukkan jarak vertikal antara suatu titik yang terletak di permukaan topografi terhadap geoid, dalam hal ini permukaan topografi tersebut terletak di atas geoid. Hitungan koreksi terrain dilakukan dengan persamaan (I.14) dan hitungan indirect effect dilakukan dengan persamaan (I.15) (Sideris, 1994).
28
∑
...........................(I.14) ...........................(I.15)
Keterangan persamaan (I.14) dan (I.15) sebagai berikut (Sideris, 1994): : koreksi terrain (satuan mgal); : indirect effect (satuan meter); γ
: gayaberat normal (satuan mgal); : konstanta gravitasi Newton (6,673 x 10-11 m3kg-1detik-2); : densitas massa bumi (nilai standar sebesar 2,67 gr/cm3); : tinggi ortometrik titik ukuran (satuan meter); : tinggi ortometrik titik P (titik yang hitung) (satuan meter); : koordinat kartesi 2D titik P (satuan meter);
L
: operator derivatif vertikal.
Besarnya nilai L dapat dihitung dengan menggunakan persamaan (I.16).
∫∫
...............................................................(I.16)
Keterangan persamaan (I.16) sebagai berikut (Sideris, 1994): : operator derivatif vertikal; : fungsi posisi titik pengukuran; : fungsi posisi titik P (titik yang dihitung); : jarak linier antara titik pengukuran dan titik P (satuan meter). Besarnya nilai
dapat dihitung dengan menggunakan persamaan (I.17) dan
besarnya nilai
maupun
dapat dihitung dengan menggunakan persamaan
(I.18) dan (I.19) (Schwarz dkk., 1990). [
= =
]
...................................................(I.17) ...................................................(I.18)
...................................................(I.19)
29
Keterangan persamaan (I.17) s.d. (I.19) sebagai berikut (Schwarz, dkk., 1990): = , ,
: jarak linier antara titik pengukuran dan titik P (satuan meter). : koordinat kartesi 2D titik P (titik yang dihitung) (satuan meter). : koordinat kartesi 2D titik pengukuran (satuan meter).
I.8.11. Pemodelan geoid Geodesi diartikan sebagai ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan pengukuran dan pemetaan di permukaan bumi. Salah satu domain bidang ilmu geodesi adalah menentukan medan gayaberat bumi, baik yang berada di permukaan bumi maupun dasar laut. Geodesi dibagi menjadi tiga kategori, yaitu global geodesy, geodetic surveying, dan plane surveying (Torge, 1980). Global geodesy berkaitan dengan penentuan bentuk bumi termasuk medan gayaberat bumi. Geodetic surveying berkaitan dengan survey penentuan posisi di permukaan bumi untuk menghasilkan data koordinat yang diikatkan pada titik kontrol. Plane surveying berkaitan dengan survey rekayasa dan keperluan tematik, misalnya survei kadaster. Ketiga kategori tersebut mempunyai keterkaitan, yaitu penentuan bentuk dan medan gayaberat bumi dapat, dalam hal ini termasuk kategori global geodesy, dapat dilakukan dengan data yang dihasilkan dari geodesy surveying. Hasil dari bentuk dan medan gayaberat bumi dimanfaatkan pada kategori plane surveying (Torge, 1980). Penentuan bentuk bumi dapat dilakukan dengan melakukan pendekatanpendekatan model bumi. Geodesi mengenal tiga macam pendekatan model bumi, yaitu permukaan topografi, geoid, dan elipsoid. Permukaan topografi merupakan kenampakan alam serta objek-objek alami yang dapat diidentifikasi di atas permukaan dan bawah tanah, misalnya pegunungan dan lembah. Geoid merupakan model bumi actual yang mendekati bentuk bumi yang sebenarnya. Geoid dinilai sebagai model bumi yang mempunyai realisasi fisis yaitu muka air laut rerata yang tidak terganggu. Elipsoid merupakan model bumi matematis yang didefinisikan dengan besaran-besaran elipsoid yang terdiri dari setengah sumbu panjang dan setengah sumbu pendek elipsoid.
30
Geoid mencakup tiga domain, yaitu massa bumi yang berada di bawah geoid, batasan geoid (geoid boundary), dan massa bumi yang berada di atas geoid (Grafarend, 1994). Geoid dapat ditentukan dengan beberapa cara, salah satunya adalah pemodelan geoid. Beberapa metode pemodelan geoid antara lain pemodelan geoid secara gravimetris dan geometrik. Pemodelan geoid pada dasarnya menentukan dua variabel yang menghubungkan antara geoid dan elipsoid, yaitu defleksi vertikal dan undulasi. Hubungan antara geoid dan elipsoid serta besaran-besaran yang menghubungkan keduanya ditampilkan pada Gambar I.6.
Gambar I.6. Hubungan antara geoid dan elipsoid (Dimodifikasi dari Jekeli, 2000) Keterangan Gambar I.6. sebagai berikut: P merupakan titik yang terletak di permukaan topografi, P’ merupakan titik yang terletak di geoid, NHP menunjukkan indirect effect titik P, NP menunjukkan untulasi titik P, δP menunjukkan defleksi vertikal titik P, dan ⃗⃗⃗ menunjukkan gayaberat titik P. Gambar I.6. menjelaskan bahwa geoid dan elipsoid dihubungkan oleh dua besaran, yaitu defleksi vertikal dan undulasi. Defleksi vertikal (ξ) merupakan besar sudut penyimpangan antara garis normal geoid dengan garis normal elipsoid. Perhitungan dengan formula Vening Meinesz dapat digunakan untuk menunjukkan hubungan antara defleksi vertikal dengan anomali gayaberat (Soltanpour dkk., 2007). Undulasi atau tinggi geoid (N) merupakan jarak vertikal antara geoid dan elipsoid.
31
I.8.11.1. Pemodelan geoid secara geometrik. Pemodelan geoid dengan metode geometrik dapat dilakukan dengan pengukuran co sited GNSS/penyipat datar (Klees dan Prutkin, 2010). Geoid geometrik menghasilkan nilai undulasi geometrik. Undulasi geometrik dihasilkan dari pengurangan nilai tinggi geometrik dan tinggi ortometrik. Tinggi geometrik dihasilkan dari pengamatan GNSS, sedangkan tinggi ortometrik dihasilkan dari pengukuran penyipat datar. Salah satu keuntungan penentuan geoid geometrik yaitu menghasilkan nilai kepresisian yang tinggi. Persamaan linier dalam perhitungan undulasi geometrik dan jumlah fungsi pengukuran yang sedikit merupakan faktor penyebab nilai kepresisian geoid geometrik tinggi. Walaupun demikian, geoid yang dihasilkan tidak mempunyai realisasi fisis, bersifat diskrit, dan tidak smooth. Gambar I.7. menunjukkan pemodelan geoid secara geometrik.
Gambar I.7. Penentuan geoid secara geometrik (Dimodifikasi dari Wellenhof dan Moritz, 2005)
32
Keterangan Gambar I.7. sebagai berikut: A dan B merupakan titik pengukuran co sited GNSS/penyipat datar, HA menunjukkan tinggi ortometrik titik A, HB menunjukkan tinggi ortometrik titik B, hA menunjukkan tinggi geometrik titik A, hB menunjukkan tinggi geometrik titik B, NA menunjukkan undulasi titik A, NB menunjukkan undulasi titik B, ΔHAB menunjukkan beda tinggi ortometrik titik A dan B, t(1) menunjukkan waktu saat satelit diamati, P(1) menunjukkan posisi satelit. Gambar I.7. menunjukkan bahwa dalam pemodelan geoid secara geometrik di suatu titik tertentu, misalnya titik A maupun B, dilakukan pengamatan GNSS sekaligus pengukuran penyipat datar. Nilai undulasi geometrik yang diketahui hanya pada titik-titik yang diamati GNSS dan diukur penyipat datar. Titik-titik yang tidak diamati GNSS dan diukur penyipat datar, nilai undulasi geometrik dapat dihitung dengan metode interpolasi. I.8.11.2. Pemodelan geoid secara gravimetrik. Pemodelan geoid gravimetrik menggunakan berbagai kombinasi data, salah satunya data gayaberat teristris. Geoid gravimetrik menghasilkan undulasi gravimetrik. Akurasi model geoid gravimetrik dipengaruhi oleh jumlah dan distribusi data gayaberat teristris, serta model matematis yang digunakan. Perbedaan antara potensial gayaberat di geoid (W) dengan potensial gayaberat normal (U) disebut anomali potensial. Hubungan anomali potensial dengan undulasi ditunjukkan dengan formula Brun’s sebagai persamaan (I.20) (Vanicek dan Krakiwsky, 1982). ⁄
.......................................................................................(I.20)
Keterangan persamaan (I.20) sebagai berikut (Vanicek dan Krakiwsky, 1982): : undulasi (satuan meter); : anomali potensial; : gayaberat normal (satuan mgal). Anomali potensial kemudian didefinisikan oleh Stokes ditunjukkan dengan persamaan (I.21) (Heiskanen dan Moritz, 1967).
∬
...............................................................(I.21)
Keterangan persamaan (I.21) sebagai berikut (Heiskanen dan Moritz, 1967):
33
: anomali potensial; : anomali gayaberat (satuan mgal); : jari-jari bumi (≈ 6.371 km). Nilai
dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan (I.22).
(
( ⁄)
) ...(I.22)
Keterangan persamaan (I.22) sebagai berikut (Heiskanen dan Moritz, 1967): : jarak speris antara elemen luas
dengan titik yang dihitung nilai
anomali potensialnya. Jarak speris dapat dihitung dengan persamaan (I.23) (Heiskanen dan Moritz, 1967). [
]
...............(I.23)
Keterangan persamaan (I.23) sebagai berikut (Heiskanen dan Moritz, 1967): : koordinat geodetik titik yang dihitung anomali potensialnya (satuan derajat); : koordinat geodetik titik yang berada dalam elemen luas (satuan derajat). Substitusi persamaan (I.21) ke persamaan (I.20) menghasilkan persamaan yang disebut formula Stoke’s sebagai persamaan (I.24) (Wellenhof dan Moritz, 2005).
∬ I.8.11.3. Pemodelan
...................................................(I.24) geoid lokal. Geoid lokal ditentukan dengan
menggunakan tiga buah komponen gelombang, yaitu komponen gelombang pendek, komponen gelombang menengah, dan komponen gelombang panjang (Forsberg dkk., 2000, Freeden dkk., 2002). Komponen gelombang panjang merepresentasikan geoid global. Contoh data geoid global adalah MGG, misalnya EGM2008. Komponen gelombang menengah dihasilkan dari data gayaberat teristris. Komponen ini salah menunjukkan distribusi dan pengaruh massa di suatu wilayah. Komponen gelombang pendek merepresentasikan kondisi topografi dari suatu wilayah. Kondisi topografi ditunjukkan dari data tinggi wilayah tersebut.
34
Data tinggi yang digunakan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu data tinggi lokal dan data tinggi global. Kontribusi masing-masing komponen gelombang dalam penentuan geoid lokal ditunjukkan pada Gambar I.8.
Gambar I.8. Kontribusi komponen gelombang dalam penentuan geoid lokal Keterangan Gambar I.8. sebagai berikut: hGOCE menunjukkan tinggi satelit GOCE (satuan kilometer), hGRACE menunjukkan tinggi satelit GRACE (satuan kilometer), hSRTM menunjukkan tinggi satelit SRTM (satuan kilometer), t(i) menunjukkan waktu saat satelit diamati, P(i) menunjukkan posisi satelit, NGM menunjukkan komponen gelombang panjang, NΔg menunjukkan komponen gelombang menengah, NH menunjukkan komponen gelombang pendek, Ngrav menunjukkan undulasi gravimetrik. Gambar I.8. menjelaskan bahwa geoid lokal dihasilkan dari gabungan antara komponen gelombang panjang, gelombang menengah, dan gelombang pendek. Ketiga komponen tersebut dihasilkan dari metode yang berbeda. Komponen gelombang panjang dihasilkan dari satelit gayaberat, misalnya GOCE atau GRACE. Tinggi satelit gayaberat ditentukan dengan bidang referensi elipsoid. Komponen gelombang menengah diperoleh dari data gayaberat teristris yang
35
dihasilkan dari pengukuran gayaberat dengan alat gravimeter. Data gayaberat teristris yang diperoleh untuk dapat digunakan dalam model geoid lokal perlu direduksi dahulu, contohnya dengan reduksi free-air. Gambar I.8. menunjukkan bahwa komponen gelombang pendek diperoleh dari satelit SRTM. I.8.11.4. RCR. Pemodelan geoid dapat dilakukan dengan menggunakan teknik (RCR) (Serpas dan Jekeli, 2005, Ågren dan Sjöberg, 2004). Prinsip dasar metode ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu remove dan restore. Tahap remove menghilangkan kontribusi MGG dalam hal ini anomali MGG, pada saat hitungan residu anomali gayaberat, sedangkan pada saat restore undulasi MGG digunakan dalam hitungan geoid lokal. Perhitungan undulasi dengan metode RCR menghasilkan nilai residu gayaberat. Nilai tersebut selanjutnya digunakan untuk menghitung nilai residu geoid. Dengan menggunakan nilai residu geoid, dapat dihasilkan geoid lokal yang lebih akurat karena melibatkan nilai residu. Persamaan (I.25) menunjukkan tahap remove, sedangkan persamaan (I.26) menunjukkan tahap restore (Sideris, 1994). .......................................(I.25) .......................................(I.26) Keterangan persamaan (I.25) dan (I.26) sebagai berikut (Sideris, 1994): : undulasi geoid lokal (satuan meter); : residu geoid (satuan meter); =
: indirect effect (satuan meter); : undulasi MGG (satuan meter); : residu anomali gayaberat (satuan mgal); : anomali gayaberat free-air (satuan mgal); : anomali MGG (satuan mgal); =
: koreksi terrain (satuan mgal).
Kontribusi komponen gelombang panjang atau MGG yaitu anomali MGG dan undulasi MGG masing-masing dihitung dengan menggunakan persamaan (I.27) dan (I.28) (Sideris, 1994). ∑
∑
[
]
...(I.27)
36
∑
∑
[
]
...(I.28)
Keterangan persamaan (I.27) dan (I.28) sebagai berikut (Sideris, 1994): : gayaberat rerata (satuan mgal); : jari-jari bumi (≈ 6.371 km); : konstanta terasosiasi penuh dengan fungsi Legendre; dan
: sperikal harmonik yang ternormalisasi penuh;
n
: derajat
m
: orde
,
; ;
: koordinat geodetik titik pengukuran (satuan derajat). I.8.11.5. FFT. Pemodelan geoid dapat menggunakan algoritma FFT (Pail
dan Plank, 2002, Reguzzoni, 2003). FFT merupakan algoritma yang digunakan untuk perhitungan transformasi diskrit, yang salah satu fungsinya untuk perhitungan kontribusi terrain (Huang, 2012, Featherstone dkk., 2001). Beberapa perangkat lunak pemodelan geoid telah dilengkapi algoritma FFT yang bertujuan untuk konversi data gayaberat ke geoid dan sebaliknya (Herceg dan Knudsen, 2009). Persamaan FFT dalam bentuk grid ditampilkan pada persamaan (I.29) (Abd-Elmotaal, 2011). {∑
(
)
[
]}
...(I.29)
Keterangan persamaan (I.29) sebagai berikut (Abd-Elmotaal, 2011): : undulasi pada semua titik yang terletak pada lintang P ( dan
);
: interval lintang dan interval bujur (satuan derajat); : anomali gayaberat (satuan mgal);
dan
: koordinat geodetik titik yang diketahui nilai undulasinya (satuan derajat);
dan
: fungsi 1D FFT dan nilai inversnya.
Salah satu keuntungan perhitungan undulasi dengan algoritma FFT adalah waktu perhitungan yang relatif lebih cepat. Algoritma FFT memerlukan data titik dalam bentuk grid. Oleh sebab itu, diperlukan suatu metode interpolasi yang dapat digunakan untuk menentukan nilai data di suatu titik dari titik-titik di sekitaranya.
37
Salah satu metode interpolasi yang dapat digunakan adalah interpolasi ordinary kringing. I.8.11.6. Interpolasi kriging. Interpolasi gayaberat dapat menggunakan metode kriging, yaitu metode geostatik yang digunakan untuk memprediksi nilai sebuah titik dari nilai observasi di sekitarnya dengan bobot sesuai kovarian spasialnya (Bohling, 2005b). Estimator kriging diartikan sebagai variabel tidak bias dan hasil penjumlahan seluruh bobot yang bernilai satu (Bohling, 2005a). Semakin dekat jarak antara titik observasi dengan titik interpolasi maka bobot semakin besar dan begitu sebaliknya. Interpolasi kriging dapat dihitung dengan persamaan (I.30) (Forsberg dan Tscherning, 2008).
̂
∑ ∑
...............................................................(I.30)
Keterangan persamaan (I.30) sebagai berikut (Forsberg dan Tscherning, 2008):
̂
: nilai hasil interpolasi (apabila digunakan untuk interpolasi undulasi maka satuan dalam meter); : nilai yang telah diketahui (apabila digunakan sebagai referensi interpolasi undulasi maka satuan dalam meter); : jarak antara titik yang diketahui nilainya dan yang diinterpolasi (satuan meter). I.8.11.7. LSC. Metode LSC selanjutnya dalam penelitian ini disebut dengan
metode kolokasi. Selain dengan menggunakan algoritma FFT, pemodelan geoid dapat menggunakan metode kolokasi yang memanfaatkan algoritma numerik (Migliaccio dkk., 2004) yang bersifat linier. Algoritma tersebut mempunyai dimensi yang sama dengan jumlah pengukuran (Abd-Elmotaal, 2011). Perhitungan metode kolokasi dapat dilakukan dengan nilai bagian sistematik dianggap sudah ada, sehingga tidak diperlukan lagi model bagian sistematik (Rokhmana, 2000). Pada kasus yang menyangkut besaran gayaberat, nilai bagian sistematik dapat diperoleh dari model geopotensial bumi sebagai komponen
38
gelombang panjang. Perhitungan undulasi dengan metode kolokasi ditampikan pada persamaan (I.31) (Abd-Elmotaal, 2011).
̂
-
...................................................(I.31)
Keterangan persamaan (I.31) sebagai berikut (Abd-Elmotaal, 2011):
̂
: estimasi undulasi hasil hitungan metode kolokasi; : auto kovarian antara pengukuran dan nilai undulasi. Nilai auto kovarian menunjukkan sinyal acak akibat efek medan gayaberat. Pada kasus prediksi besaran gayaberat, efek sisa dari pengurangan gelombang panjang dapat dianggap mewakili sinyal acak. Nilai sinyal acak merupakan anomali residu yang diperoleh dengan pengurangan antara nilai anomali gayaberat dengan nilai sistematiknya. : cross kovarian antara pengukuran dan nilai undulasi; : noise kovarian pengukuran; : data pengukuran. Keunggulan dari metode kolokasi adalah dapat menggunakan berbagai
macam tipe data dan kesalahan sebagai data masukan perhitungan. Matriks X dapat terdiri dari berbagai kombinasi dari N, Δg, ξ, dan 𝜼. Dengan menggunakan metode kolokasi dapat diperoleh nilai estimasi kesalahan dari data prediksi. Kekurangan metode kolokasi adalah tidak dapat digunakan untuk hitungan pada daerah yang luas dan semua data tidak dapat digunakan karena jumlah persamaan linier yang terbentuk sangat banyak. I.8.11.8. MGG. MGG adalah model geoid global yang mencakup seluruh permukaan bumi. Data MGG dapat diperoleh dari turunan data pengukuran satelit gayaberat maupun kombinasi antara satelit gayaberat, satelit altimetri, dan data gayaberat teristris. Salah satu contoh satelit gayaberat adalah GOCE (Drinkwater dkk., 2006). Tujuan peluncuran satelit gayaberat ini adalah mendapatkan data gradien gayaberat yang akurat dengan tingkat resolusi spasial yang tinggi. Tujuan yang diharapkan adalah akurasi anomali gayaberat sebesar 1 mgal dan akurasi undulasi sebesar 2 cm untuk skala 100 km (Guimarães dkk., 2012).
39
Selain MGG yang dihasilkan oleh satelit GOCE, MGG yang sering digunakan yaitu EGM2008. EGM2008 merupakan pengembangan dari EGM96 yang dipublikasikan oleh National Geospatial-Intelligence Agency (NGA)Amerika Serikat. Model ini terdiri dari koefisien harmonik bola sampai derajat dan orde 2159, dan koefisien tambahan sampai derajat 2190. EGM2008 merupakan hasil dari kolaborasi antara National Imagery and Mapping Agency, NASA Goddard Space Flight Center, dan Ohio State University. Selain dari data satelit gayaberat, model EGM2008 juga berasal dari data gayaberat teristris dan data satelit altimeter. I.8.12. Pengukuran tinggi Pengukuran tinggi titik dapat ditentukan dengan berbagai metode, baik secara teristris, airborne, dan ekstra-teristris. Penentuan tinggi secara teristris misalnya dengan pengukuran penyipat datar dan TS. Penentuan tinggi dengan Light and Detection Ranging (LiDAR) merupakan contoh penentuan tinggi secara airborne. Penentuan tinggi dengan metode ekstra teristis misalnya dengan pengamatan GNSS. Pengukuran tinggi yang dihasilkan dari pengukuran tidak lepas dari adanya kesalahan. Survei dan pengukuran mengenal adanya tiga jenis kesalahan, yaitu (Basuki, 2006): (1) kesalahan kasar atau blunder yang disebabkan karena adanya faktor kecerobohan pelaksana pengukuran atau kerusakan alat. Contoh kesalahan blunder antara lain salah pembacaan rambu ukur, salah pembacaan tinggi alat, salah dalam pencatatan data, dan lain sebagainya; (2) kesalahan sistematik yang disebabkan karena adanya kesalahan pada alat ukur dan cara pengukuran yang tidak benar. Contoh kesalahan sistematik antara lain kesalahan panjang pita ukur yang tidak standar, pelurusan yang tidak baik, dan pembagian skala yang tidak teratur. Solusi yang digunakan untuk menghilangkan kesalahan sistematik misalnya pemberian koreksi pada data ukuran atau koreksi pada saat pengolahan data; (3) kesalahan acak atau random yang terjadi karena hal-hal yang tidak terduga, misalnya kondisi psikis pengamat, adanya pengaruh kecepatan angin, dan kondisi tanah yang tidak stabil. Adanya kesalahan acak dalam suatu data
40
pengukuran
dapat
dideteksi
dengan
adanya
pengukuran
lebih.
Untuk
menghilangkan kesalahan acak dapat dilakukan dengan beberapa cara, misalnya dengan aturan atau spesifikasi pengukuran tertentu dan metode pengolahan data yang tertentu, seperti bowdith atau hitung kuadrat terkecil. I.8.12.1. Pengukuran tinggi dengan penyipat datar. Penyipat datar adalah pengukuran yang menyangkut beda tinggi antara dua buah titik, atau pengukuran tinggi suatu titik, atau pengukuran suatu titik terhadap bidang referensi tertentu (Basuki, 2006). Gambar I.9. menunjukkan pengukuran tinggi dengan metode penyipat datar.
Gambar I.9. Pengukuran tinggi dengan penyipat datar Keterangan Gambar I.9. sebagai berikut: BM menunjukkan titik benchmark atau titik referensi, HBM menunjukkan tinggi ortometrik titik BM, A menunjukkan titik yang diukur tinggi ortometriknya, Ti menunjukkan tinggi alat penyipat datar, BTA menunjukkan bacaan benang tengan rambu ukur, ΔHBM-A menunjukkan beda tinggi antara titik BM dengan titik A, HA menunjukkan tinggi ortometrik titik A, ΔHBM menunjukkan tinggi titik BM terhadap muka laut tertinggi, ΔZ menunjukkan beda tinggi antara muka laut rerata dan tertinggi, Z0 menunjukkan kedudukan dasar palm pasang surut, Zminimum menunjukkan bacaan palm pasang surut saat muka laut terendah, Zmaksimum menunjukkan bacaan palm pasang surut saat muka laut tertinggi, Zrerata menunjukkan bacaan palm pasang surut saat muka
41
laut rerata. Alat ukur penyipat datar harus memenuhi syarat dinamis maupun statis, yaitu (Basuki, 2006): 1.
Syarat dinamis, yaitu syarat yang tetap harus dipenuhi dan tidak bergantung pada perubahan titik alat ukur didirikan meliputi sumbu I harus selalu vertikal atau sentering.
2.
Syarat statis, yaitu syarat yang harus dipenuhi bersamaan dengan perubahan titik alat ukur didirikan. Minimum terdapat empat syarat statis dalam pengukuran penyipat datar, yaitu (a) garis mendatar diafragma tegak lurus sumbu I, (b) garis arah nivo tegak lurus sumbu I, dan (c) garis bidik teropong sejajar dengan garis arah nivo. Persamaan (I.32) s.d. (I.35) digunakan untuk menghitung tinggi dengan
metode penyipat datar. ΔHA1 = a1 – b1
.......................................................................................(I.32)
ΔH12 = a2 – b2
.......................................................................................(I.33)
ΔH2n = an – bn
.......................................................................................(I.34)
ΔHAB = Δ∑a - Δ∑b
.......................................................................................(I.35)
Keterangan persamaan (I.32) s.d. (I.35) sebagai berikut: ΔHA1 : beda tinggi antara titik A dan 1 (satuan meter); ΔH12 : beda tinggi antara titik 1 dan 2 (satuan meter); ΔH2n : beda tinggi antara titik 2 dan titik ke-n (satuan meter); ΔHAB : beda tinggi antara titik A dan B (satuan meter); Δ∑a
: jumlah beda tinggi saat jalur pergi (satuan meter);
Δ∑b
: jumlah beda tinggi saat jalur pulang (satuan meter);
a1, a2, an
: hasil pengukuran beda tinggi saat jalur pergi (satuan meter);
b1, b2, bn
: hasil pengukuran beda tinggi saat jalur pulang (satuan meter);
Persamaan (I.35) menunjukkan bahwa beda tinggi AB merupakan pengurangan dari jumlah beda tinggi saat jalur pergi dan pulang. Pengukuran penyipat datar tidak dapat bebas dari kesalahan. Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengeliminasi kesalahan tersebut, salah satunya adalah kontrol bacaan rambu ukur dengan menggunakan metode perbedaan bacaan benang
42
tengah dengan benang atas dan benang bawah. Persamaan (I.36) menujukkan rumus untuk kontrol bacaan rambu ukur. ...............................................................(I.36) Keterangan persamaan (I.36) sebagai berikut: : bacaan benang tengah; : bacaan benang atas; : bacaan benang bawah. Pengukuran beda tinggi tidak cukup hanya sekali jalan tetapi pengukuran pergi-pulang. Pengukuran yang dilakukan satu hari pergi-pulang serta dimulai dan diakhiri pada tiap titik dinamakan seksi, gabungan beberapa seksi menjadi trayek. Gambar I.10. menunjukkan pengukuran penyipat datar pergi dan pulang.
Gambar I.10. Pengukuran penyipat datar pergi pulang Keterangan Gambar I.10. sebagai berikut: A menunjukkan titik referensi pengukuran penyipat datar, HA menunjukkan tinggi ortometrik titik A, B menunjukkan titik yang diukur tinggi ortometriknya, HB menunjukkan tinggi ortometrik titik B, P1 s.d. Pn menunjukkan titik bantu pengukuran penyipat datar, Ti menunjukkan tinggi alat penyipat datar, BT menunjukkan bacaan tengah rambu ukur, ΔH menunjukkan beda tinggi ortometrik antara titik pengukuran. Gambar I.10. menunjukkan bahwa pengukuran penyipat datar menggunakan bidang referensi tinggi berupa geoid. Realisasi di lapangan, pengukuran penyipat datar umumnya menggunakan bidang muka laut rerata atau MSL. Idealnya, nilai beda
43
tinggi pergi dan pulang sama, tetapi faktanya hal tersebut sulit dicapai. Beda tinggi definitifnya adalah rerata dari beda tinggi pergi dan beda tinggi pulang atau secara matematis ditunjukkan dengan persamaan (I.37). ...................................................(I.37) Hasil pengurangan antara nilai rerata beda tinggi dengan nilai beda tinggi pergi atau beda tinggi pulang dinyatakan sebagai kesalahan pengukuran (fh). Oleh sebab itu, perhitungan beda tinggi antar slag secara definitif harus memberikan nilai koreksi kesalahan terhadap setiap data ukuran. Persamaan (I.38) menunjukkan rumus untuk menghitung nilai koreksi setiap slag. ∑
...................................................(I.38)
Keterangan persamaan (I.38) sebagai berikut: : koreksi beda tinggi per slag (satuan meter); : jarak per slag (satuan meter); ∑
: jumlah jarak keseluruhan slag (satuan meter); : kesalahan pengukuran. I.8.12.2. Standar pengukuran tinggi dengan metode penyipat datar. Salah
satu standar yang dapat digunakan dalam pengukuran tinggi dengan metode penyipat datar adalah SNI 19-6988-2004 tentang jaring kontrol vertikal dengan metode penyipat datar. SNI ini mengatur adanya perbedaan kelas dan orde yang didefinisikan sebagai berikut: 1.
Kelas menunjukkan ketelitian internal jaring sebagai fungsi metode dan alat pengukuran desain jaring, dan metode hitungan. Kelas dinilai melalui analisis ketelitian hasil proses perataan kuadrat terkecil terkendala minimum.
2.
Orde menunjukkan ketelitian eksternal jaring sebagai fungsi kelas jaring, kesesuaian data ukuran terhadap jaring kontrol yang digunakan unntuk ikatan dan ketelitian proses transformasi datum. Orde terbagi menjadi orde 0, orde 1, orde 2, orde 3, dan orde 4.
44
Tabel I.9. Pembagian kelas dan orde jaring kontrol vertikal (SNI 19-6988-2004) Penyipat datar memanjang R (mm) = c √ (km) Kelas Orde c (1σ) LAA L0 2 LA L1 4 LB L2 8 LC L3 12 LD L4 18 Keterangan: R yaitu kesalahan maksimum.
Perhitungan tinggi hasil pengukuran penyipat datar menghasilkan tolerasi kesalahan baik untuk toleransi per-seksi, per-jalur, maupun per-kring. Tabel I.10. menunjukkan toleransi dan standar kesalahan penutup pergi-pulang. Tabel I.10. Standar kesalahan penutup pengukuran penyipat datar pergi-pulang Kelas Toleransi per-seksi Toleransi per-jalur Toleransi per-kring pengukuran (mm/km) (mm/km) (mm/km) LAA 2 √d 2 √D 2 √D LA 4 √d 4 √D 4 √D LB 8 √d 8 √D 8 √D LC 12 √d 12 √D 12 √D LD 18 √d 18 √D 18 √D Keterangan: D = ∑d dalam hal ini D: jarak seksi sedangkan d: jarak slag.
Penelitian ini menggunakan sebagian spesifikasi kelas pengukuran paling rendah untuk pengukuran penyipat datar yaitu LD dan orde pengukuran L4. Aturan pengukuran penyipat datar untuk kelas pengukuran LD ditampilkan pada Tabel I.11. Tabel I.11. Spesifikasi pengukuran tinggi metode penyipat datar untuk kelas LD Aturan Syarat minimum penyipat datar Pemakaian gravimeter Kontruksi rambu minimum Interval pembacaan rambu Pemakaian sepatu rambu Simpangan baku maksimum uji sistem Uji benang silang vertikal Kalibrasi rambu Pengaturan sumbu I vertikal Arah berdiri rambu dengan sistem lompat katak Pembacaan terkecil rambu Jarak pandang maksimum antara alat ukur penyipat datar dan rambu
Keterangan Penyipat datar otomatik Tidak diperlukan Teleskopik/kayu (lipat) 10 mm Ya Tidak tersedia Opsional Opsional Ya Ya 1 mm 100 m
45
Lanjutan Tabel I.11. Spesifikasi pengukuran tinggi metode penyipat datar untuk kelas LD Aturan Pengukuran jarak antar rambu Beda jarak maksimum alat ke rambu Waktu pengukuran Pengukuran pergi dan pulang Jumlah minimum titik sekutu Kesalahan penutup pengukuran pergi-pulang meliputi seksi dan kring Koreksi ortometrik Model perataan
Keterangan Optik 5% Setiap waktu Ya 1 18 √D ( D dalam kilometer) Tidak perlu Metode parameter dengan model matematik besaran pengamatan beda tinggi tiap seksi pengukuran.
I.8.12.3. Pengukuran koordinat secara teristris dengan TS. TS merupakan suatu alat elektronik modern yang digunakan untuk survei dan pemetaan. TS merupakan integrasi antara teodolit dan electronic distance meter (EDM). Karena dikembangkan dari alat ukur teodolit, penggunaan TS juga harus memenuhi syarat-syarat penggunaan teodolit. Syarat yang harus dipenuhi meliputi syarat dinamis dan syarat statis, sebagai berikut: 1.
Syarat dinamis, meliputi: a.
Sentering, yaitu sumbu vertikal segaris dengan garis gayaberat yang menuju ke pusat bumi atau segaris dengan arah unting-unting.
b. 2.
Sumbu I vertikal.
Syarat statis, meliputi: a.
Sumbu II tegak lurus sumbu I.
b.
Garis bidik atau garis kolimasi tegak lurus II.
c.
Tidak ada kesalahan indeks vertikal.
d.
Garis bidik sejajar dengan garis arah nivo.
TS dapat melakukan akuisisi data berupa jarak dan sudut secara otomatis. TS dapat digunakan untuk keperluan pengukuran koordinat komponen horisontal dan vertikal. Penggunaan TS harus dilengkapi dengan reflektor atau prisma baik prisma statis maupun dinamis. I.8.12.4. Pengukuran tinggi secara geometrik dengan TS. Pengukuran tinggi dengan TS merupakan pengukuran tinggi dengan metode trigonometrik.
46
Pengukuran tinggi trigonometrik pada dasarnya mengukur beda tinggi dari titiktitik pengamatan dengan cara mengukur sudut vertikal dan jarak horisontal (Basuki, 2006). Pada ruang lingkup survei dan pemetaan, digunakan prinsip pengukuran di bidang datar, yaitu jarak antar titik yang ditentukan beda tingginya relatif tidak jauh. Hal ini berakibat dapat diabaikannya pengaruh kelengkungan bumi dan refraksi. Gambar I.11. menujukkan bagian potongan memanjang pengukuran tinggi objek kadaster 3D secara trigonometrik.
Gambar I.11. Bagian potongan memanjang pengukuran tinggi objek kadaster 3D secara trigonometrik Keterangaan Gambar I.11. sebagai berikut: P merupakan titik referensi pengukuran tinggi objek kadaster 3D, HP merupakan tinggi titik P baik H maupun H”, Q” merupakan tinggi objek kadaster 3D (misalnya tinggi titik di lantai tertentu), HQ” merupakan tinggi titik Q” yang menggunakan referensi H maupun H”, Ti merupakan tinggi alat TS, DPQ merupakan jarak datar antara titik P dan Q,
θ merupakan sudut miring yang terbentuk antara garis horisontal sejajar garis arah nivo dengan jarak miring antara titik P dan Q”. Gambar I.11. menjelaskan bahwa tinggi titik detil di suatu lantai (misal Q”), pada objek kadaster 3D berupa rusun, ditentukan oleh dua macam data ukuran, yaitu jarak datar dan sudut miring. Jarak datar menunjukkan jarak terpendek antara titik referensi, dalam hal ini berdirinya TS, dengan titik pada objek rusun yang satu bidang dengan titik referensi dan tegak lurus dengan titik detil (misal titik Q). Sudut miring menunjukkan besarnya sudut yang terbentuk antara garis
47
mendatar tegak lurus nivo dengan jarak miring yang antara titik berdirinya TS dengan titik detil tersebut. Secara matematis, tinggi titik Q” dapat dihitung dengan persamaan (I.39) dan (I.40). ...................................................(I.39) ...................................................(I.40) Keterangan persamaan (I.39) dan (I.40) sebagai berikut: : Tinggi titik detil objek kadaster 3D (satuan meter); : Tinggi titik P sebagai titik referensi (satuan meter); : Tinggi TS (satuan meter); : jarak datar antara titik P dan titik Q (satuan meter); : sudut miring (satuan derajat). I.8.12.5. Penentuan tinggi dengan GNSS. GNSS adalah suatu sistem satelit navigasi dan penentuan posisi geospasial dengan cakupan dan referensi global yang menyediakan informasi posisi dengan kepresisian yang bervariasi, yang diperoleh dari waktu tempuh sinyal radio yang dipancarkan dari satelit ke receiver (Rizos, 1994). Beberapa satelit navigasi yang merupakan bagian dari GNSS meliputi GPS milik Amerika Serikat, GLONASS milik Rusia, Galileo milik Eropa, dan Compass yang dimiliki dan dikelola China. Selanjutnya, akan dibahas mengenai salah satu teknologi GNSS, yaitu teknologi GPS. I.8.12.6. Definisi Global Positioning System (GPS). GPS adalah sistem navigasi dan penentuan posisi berbasis satelit yang digunakan oleh banyak orang sekaligus dalam segala cuaca, serta didesain untuk memberikan posisi dan kecepatan 3D yang presisi dan juga informasi waktu, secara kontinyu di seluruh dunia (Farrell, 2008). Sistem GPS yang terbentuk terdiri atas 24 satelit dengan 21 satelit operasional dan 3 satelit sebagai cadangan aktif yang ditempatkan pada orbit dengan ketinggian sekitar 20.200 km di atas permukaan bumi. GPS terdiri atas tiga segmen utama, yaitu segmen angkasa yang terdiri atas satelit-satelit GPS, segmen sistem kontrol yang terdiri atas stasiun-stasiun pemonitor dan pengontrol satelit, dan segmen pemakai yang terdiri atas pemakai
48
GPS termasuk alat-alat penerima dan pengolahan sinyal data GPS yaitu receiver GPS dan perangkat lunak pengolahan data. Gambar I.12. menunjukkan segmen utama GPS.
Gambar I.12. Segmen utama GPS (Rizos, 1994) I.8.12.7. Data pengamatan GPS. Data pengamatan dasar GPS adalah waktu tempuh (∆t) dari kode-kode P dan C/A serta fase (carrier phase, Ф) dari gelombang pembawa L1 dan L2 (Abidin, 2002, Fotopoulos, 2000). Terdapat dua jenis jarak yang didapatkan dari sinyal GPS, yaitu pseudorange yang sering disebut jarak semu dan carrier phase yang disebut jarak fase. Pseudorange adalah jarak hasil hitungan receiver GPS dari data ukuran waktu rambat sinyal dari satelit ke receiver (Sunantyo, 2000). Prinsip dari jarak ini adalah receiver membuat replika dari kode pancaran gelombang satelit yang diterima dan menentukan selisih waktu antara kedatangan gelombang dengan lamanya waktu untuk membuat replika kode gelombang tersebut. Pseudorange mengandung bias pada pengukuran waktu yang disebabkan karena adanya perbedaan sistem waktu yang digunakan satelit dan receiver. Carrier phase adalah penentuan jarak dengan prinsip pembedaan fase antara vektor posisi satelit ke titik pengamatan yang merupakan fungsi dari fase sinyal sejak dipancarkan satelit hingga diterima oleh receiver (Sunantyo, 2000). Penentuan jarak dengan carrier phase lebih presisi daripada pseudorange apabila dapat ditentukan nilai ambiguitas fasenya. Persamaan pengamatan dengan pseudorange dan carrier phase ditampilkan pada persamaan (I.41) dan (I.42). ion
trop
...........................(I.41)
49
ion
trop
...........................(I.42)
Keterangan persamaan (I.41) dan (I.42) sebagai berikut: : jarak pseudorange (satuan meter); : jarak fase (satuan meter); : jarak geometris antara satelit dengan receiver (satuan meter); : kecepatan cahaya dalam ruang vakum (≈ 3 x 108 m/s); : panjang sinyal gelombang (satuan meter); : ambiguitas fase; ,
: efek multipath dan noise (satuan meter); ,
ion,
: kesalahan dari jam receiver dan jam satelit; trop
: bias karena refraksi ionosfer dan troposfer.
I.8.12.8. Differencing data GPS. Penentuan posisi GPS atau differential GPS adalah metode penentuan posisi yang dapat memberikan kepresisian posisi yang tinggi, disebut differencing. Prinsip dasar dari metode ini adalah pengurangan data pengamatan GPS. Dalam pengolahan data GPS terdapat tiga teknik differencing, yaitu single difference, double difference, dan triple difference. Pengamatan single difference apabila terdapat sebuah satelit (k) yang diamati oleh dua buah receiver (i) dan (j) pada epok (t) yang sama. Pengamatan double difference apabila dua buah data hasil single difference saling dikurangkan. Pengamatan double difference terjadi apabila dua buah satelit (k) dan (l) diamati secara simultan pada epok (t) oleh dua buah receiver (i) dan (j). Pengamatan triple difference merupakan pengurangan dua data pengamatan double difference dengan epok yang berbeda. Triple difference terjadi apabila dua satelit (k) dan (l) diamati secara simultan pada dua epok (t1) dan (t2) oleh receiver (i) dan (j). Persamaan (I.43) s.d. (I.45) menunjukkan persamaan carrier phase untuk teknik pengamatan single difference, double difference, dan triple difference. ...(I.43) ...(I.44) (I.45)
50
Keterangan persamaan (I.43) s.d. (I.45) sebagai berikut: k,l
: satelit yang diamati yaitu satelit (k) dan satelit (l);
i,j
: receiver pengamatan yaitu receiver (i) dan receiver (j);
(t1),(t2)
: epok pengamatan yaitu epok (t1) dan epok (t2).
I.8.12.9. Perataan jaring GPS. Pada perataan jaring GPS, vektor-vektor baseline yang telah diproses secara terpisah, dikumpulkan dan diproses dalam suatu hitung perataan jaring untuk menghitung koordinat final dari titik-titik dalam jaring GPS yang bersangkutan. Hitung perataan jaring umumnya menggunakan metode perataan kuadrat terkecil (Abidin, 2002). Perataan GPS umumnya dilakukan dalam dua tahap yaitu perataan jaring bebas dan perataan jaring terikat. Perataan jaring bebas digunakan untuk mengecek konsistensi antara sesama data ukuran. Hasil perataan ini belum terdefinisi dalam sistem referensi tertentu. Perataan jaring terikat dilakukan dengan melibatkan titik ikat dalam suatu jaring untuk menentukan posisi titik-titik pengamatan yang telah terdefinisi kerangka referensinya. I.8.12.10. Standar pengamatan GPS. Standar pengamatan GPS untuk keperluan praktis maupun sain salah satunya diatur dalam SNI 19-6724-2002 tentang jaring kontrol horisontal. SNI ini membagi pengamatan GPS berdasarkan kelas dan orde sesuai keperluan. Definisi kelas dan orde menurut SNI ini, sebagai berikut: 1.
Kelas suatu jaring titik kontrol horisontal ditentukan berdasarkan panjang sumbu panjang dari setiap elips kesalahan relatif (antar titik) dengan tingkat kepercayaan 95% yang dihitung berdasarkan statistik yang diberikan oleh hasil hitung perataan kuadrat terkecil terkendala minimum.
2.
Orde suatu jaring titik kontrol horisontal ditentukan berdasarkan panjang sumbu panjang dari setiap elips kesalahan relatif (antar titik) dengan tingkat kepercayaan 95% yang dihitung berdasarkan statistik yang diberikan oleh hasil hitung perataan kuadrat terkecil terkendala penuh.
Tabel I.12. dan Tabel I.13. masing-masing menunjukkan pembagian kelas dan orde pada jaring kontrol horisontal berdasarkan SNI 19-6724-2002.
51
Tabel I.12. Pembagian kelas pada jaring kontrol horisontal Kelas 3A 2A A B C D
Aplikasi tipikal Jaring tetap (kontinyu) GPS Survei geodetik berskala nasional Survei geodetik berskala regional Survei geodetik berskala lokal Survei geodetik untuk perapatan Survei pemetaan
Tabel I.13. Pembagian orde pada jaring kontrol horisontal Orde Kelas Jarak* (km) Jaring kontrol 00 3A 1000 Jaring tetap GPS 0 2A 500 Jaring titik kontrol geodetik nasional 1 A 100 Jaring titik kontrol geodetik regional 2 B 10 Jaring titik kontrol geodetik lokal 3 C 2 Jaring titik kontrol geodetik perapatan 4 D 0,1 Jaring titik kontrol pemetaan Keterangan: * merupakan jarak tipikal antar titik yang berdampingan dalam jaring.
Pengamatan GPS untuk berbagai keperluan harus menyesuaikan spesifikasi teknis metode dan strategi pengamatan jaring titik kontrol geodetik sesuai dengan orde yang digunakan. Tabel I.14. menunjukkan spesifikasi teknis metode dan strategi pengamatan jaring titik kontol geodetik berdasarkan SNI 19-6724-2002. Keperluan survei dan pemetaan kadaster 3D dapat menggunakan sebagian spesifikasi teknis metode dan strategi pengamatan untuk orde 4 dalam hal ini untuk keperluan jaring titik kontrol pemetaan.
Tabel I.14. Spesifikasi teknis metode dan strategi pengamatan jaring titik kontrol geodetik berdasarkan orde Ketentuan Metode pengamatan Lama pengamatan per sesi (minimum) Data pengamatan utama untuk penentuan posisi Moda pengamatan Pengamatan independen di setiap titik setidaknya 3 kali Interval data pengamatan (detik) Jumlah satelit minimum Nilai PDOP yang diperlukan Elevasi satelit minimum Pengamatan data meteorologis
Orde jaringan 1 2 Survei GPS Survei GPS
00 GPS kontinyu
0 Survei GPS
3 Survei GPS
4 Survei GPS
Kontinyu
24 jam
6 jam
2 jam
1 jam
0,25 jam
Fase dua frekuensi
Fase dua frekuensi
Fase dua frekuensi
Fase dua frekuensi
Fase satu frekuensi
Fase satu frekuensi
Jaring tetap
Jaring
Jaring
Jaring
Jaring
Radial
100%
50%
40%
20%
10%
-
30
30
30
15
15
15
Tidak
Tidak
Tidak ada
4 satelit
Tidak ada
Lebih kecil dari 10 15°
Ya
Ya
Ya
Tidak
52
53
I.8.12.11. CORS. CORS merupakan jaring kerangka geodetik aktif berupa stasiun permanen yang dilengkapi dengan receiver yang dapat menerima sinyal dari satelit GPS dan satelit GNSS yang lain, yang beroperasi secara kontinyu selama 24 jam (Kaplan dan Hegarty, 2006). CORS didesain sebagai stasiun referensi presisi yang bukan hanya memperoleh dan menyimpan data pengukuran, tetapi juga mengirimkan sinyal koreksi yang mendukung pengukuran GPS secara RTK sehingga akurasi posisi yang diperoleh pengguna dapat ditingkatkan hingga fraksi sentimeter (Wübbena dkk., 2001). Teknologi GNSS CORS menyediakan dua data yaitu data carrier phase dan data code yang nantinya digunakan untuk koreksi terhadap kebutuhan penentuan posisi baik secara real time maupun secara post-processing (Rizos, 2009). Infrastruktur GNSS CORS terdiri dari dua komponen yaitu master station dan rover station (Sunantyo, 2009). I.8.13. Hitung kuadrat terkecil dengan metode parameter Setiap pengukuran pasti mengandung kesalahan acak. Eliminasi adanya kesalahan acak dapat dilakukan dengan pengukuran berlebih. Pengukuran berlebih menghasilkan sejumlah data ukuran yang banyak terhadap suatu parameter. Selain dapat mengeliminasi kesalahan acak, pengukuran berlebih dapat meningkatkan kepresisian nilai parameter. Penyelesaian perhitungan pengukuran berlebih dapat menggunakan metode hitung perataan. Hitung perataan adalah suatu metode yang digunakan untuk menghitung nilai koreksi yang diberikan pada hasil pengukuran sehingga hasilnya memenuhi syarat pada aspek geometriknya. Salah satu metode hitung perataan adalah hitung kuadrat terkecil (HKT), dalam hal ini nilai akhir yang dicari harus bersifat unik dan solusi yang diperoleh memenuhi syarat bahwa jumlah kuadrat residu V TPV minimum. Metode HKT mensyaratkan jumlah pengukuran yang harus lebih banyak daripada jumlah parameter yang dihitung. HKT menghasilkan nilai parameter yang bersifat estimasi dan bukan merupakan nilai sebenarnya atau true value. Salah satu metode HKT adalah metode parameter. Metode ini menghitung besar nilai parameter yang mempunyai hubungan linier dengan besaran pengukuran. Apabilai hubungan antara parameter dan besaran pengukuran tidak linier maka
54
diperlukan proses linierisasi. Perhitungan nilai parameter dengan metode hitung kuadrat terkecil parameter diawali dengan penentuan model atau persamaan matematis. Parameter didefinisikan dari data-data ukuran (Wolf, 1980). Oleh sebab itu, diperoleh model matematis secara umum yang ditunjukkan pada persamaan (I.46) s.d. (I.58). La = F(Xa)
............................................................................................(I.46)
Keterangan persamaan (I.46) sebagai berikut: La: besaran estimasi terbaik ukuran; Xa: besaran estimasi terbaik parameter. Apabila nilai estimasi terbaik ukuran merupakan penjumlahan antara nilai hasil pengukuran dan nilai residu, maka persamaan (I.46) dapat dituliskan menjadi persamaan (I.47). L + V = F(Xa) ............................................................................................(I.47) Keterangan persamaan (I.47) sebagai berikut: L
: besaran estimasi hasil pengukuran;
V
: besaran nilai residu;
F(Xa) : besaran estimasi terbaik ukuran. Nilai residu pada persamaan (I.47) dapat ditulis dalam bentuk matriks seperti ditunjukkan pada persamaan (I.48). V=AX+F
............................................................................................(I.48)
Keterangan persamaan (I.48) sebagai berikut: V
: vektor residu yang elemen matriksnya terdiri dari besaran-besaran koreksi ukuran (v1, v2, ... , vn) dengan dimensi (n x 1);
A
: matriks desain yang elemen matriksnya terdiri dari koefisien-koefisien parameter (a1.1, a1.2, ... , an.u) dengan dimensi (n x u);
X
: vektor parameter yang elemen matriksnya terdiri dari parameter yang dicari nilainya (x1, x2, ... , xn) dengan dimensi (u x 1);
55
F
: vektor sisa yang elemen matriksnya terdiri atas hasil pengurangan dari tiap konstanta persamaan linier (a1.0, a2.0, ... , an.0) dengan besaran ukuran (l1, l2, ... , ln) yang bersesuaian dengan dimensi (n x 1).
Matriks bobot pengukuran (P) dipakai dalam proses hitungan, maka jumlah kuadrat residunya (VTPV) dapat dihitung dengan persamaan (I.49). VTPV
= (AX + F)T P (AX + F)
........................................................(I.49)
= (XTAT + FT) P (AX + F) T
T
T
T
........................................................(I.50) T
= X A PAX + X A PF + F PAX + FTPF
................................(I.51)
Karena matriks (VTPV) berdimensi (1x1), maka XTATPF = FTPAX sehingga persamaan (I.49) menjadi persamaan (I.52). VTPV = XTATPAX + 2FTPAX + FTPF
............................................(I.52)
Agar nilai (VTPV) minimum maka turunan pertama (VTPV) terhadap vektor parameter (X) harus sama dengan nol dengan persamaan (I.53). ....................................................................(I.53) 2XTATPA + 2FTPA
=0
....................................................................(I.54)
XTXTPA + FTPA
=0
....................................................................(I.55)
Oleh karena P merupakan matriks diagonal maka PT=P, maka persamaan (I.55) apabila ditranspos menjadi ATPAX + ATPF = 0. Dengan demikian, nilai parameter dapat dihitung dengan persamaan (I.56). X = – (ATPA)-1 ATPF = 0 Nilai varian kovarian (∑ ∑
̂
....................................................................(I.56)
) dapat dihitung dengan persamaan (I.57). ................................................................................(I.57)
dalam hal ini, ̂ : varian aposteori. ̂
............................................................................................(I.58)
I.8.13.1. Bobot pengukuran. Bobot pengukuran diperlukan untuk mengetahui kontribusi setiap data ukuran terhadap kepresisian nilai estimasi terbaik dari parameter yang dihitung. Bobot pengukuran dapat menggunakan nilai satu untuk
56
semua data ukuran. Namun demikian, agar bobot pengukuran mendekati nilai yang sebenarnya diperlukan perhitungan bobot dalam hal ini varian data ukuran. Terdapat beberapa macam varian pengukuran, misalnya varian jarak, dan varian sudut. Setiap varian dapat dihitung dengan persamaan yang berbeda. Bobot untuk beda tinggi, jarak, dan sudut masing-masing dapat dihitung dengan persamaan (I.59), (I.60), dan (I.61) (Mikhail dan Gracie, 1981, Ghilani, 2010). Bobot beda tinggi =
........................................................(I.59)
Bobot jarak =
, dalam hal ini
................................(I.60)
Bobot sudut =
, dalam hal ini
} ........(I.61)
Besarnya masing-masing komponen nilai pada persamaan (I.61) dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut: ....................................................................(I.62) dalam hal ini, besarnya nilai
dapat dihitung dengan persamaan berikut:
√ √
√ √
........................................................(I.63) ....................................................................(I.64) ....................................................................(I.65) ....................................................................(I.66)
Keterangan persamaan (I.59) s.d. (I.66) sebagai berikut (Mikhail dan Gracie, 1981, Ghilani, 2010): : jarak antara titik pengukuran (satuan meter); : varian total jarak pengukuran (satuan milimeter kuadrat); : kepresisian jarak ukuran dari alat (satuan milimeter); : kepresisian relatif alat (satuan ppm); : jarak (satuan kilometer);
57
: varian total sudut ukuran (satuan detik). Untuk mengonversi satuan detik menjadi satuan panjangan, maka nilai nilai rho =
harus dibagi dengan rho. Besarnya
180 x 60 x 60
.
: simpangan baku sudut kesalahan sentering dengan satuan radian sehingga supaya menjadi satuan detik perlu dikali rho. : simpangan baku sudut kesalahan pemusatan target dengan satuan radian sehingg supaya menjadi satuan detik perlu dikali rho. : varian sudut kesalahan pembidikan (satuan detik); : varian sudut kesalahan pembacaan piringan horisontal (satuan detik); : konstanta nilai kesalahan sentering alat, umumnya bernilai antara 0,5 mm s.d. 3 mm; : konstanta nilai kesalahan pemusatan target, umumnya bernilai antara 0,5 mm s.d. 5 mm; : konstanta nilai kesalahan pembidikan, umumnya bernilai antara 1” s.d. 4”; : konstanta nilai kesalahan pembacaan piringan horisontal, umumnya bernilai antara 1” s.d. 10”; : ukuran jarak yang membentuk sudut ukuran (satuan meter). Pengukuran lapangan hanya menghasilkan nilai dihitung besar nilai
dan
sehingga perlu
.
: sudut ukuran (satuan derajat). I.8.13.2. Perambatan kesalahan. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengetahui nilai simpangan baku parameter adalah menggunakan metode perambatan kesalahan. Dengan metode ini, dapat dihitung nilai simpangan baku parameter yang ditimbulkan karena nilai varian setiap data ukuran. Apabila suatu parameter misalnya y, dihasilkan dari fungsi beberapa data ukuran misalnya X1, X2, s.d. Xn maka simpangan baku y dapat dihitung dengan menggunakan persamaan (I.69) (Mikhail dan Gracie, 1981). ....................................................................(I.67)
58
........................................................(I.68)
(
(
)
(
)
)
........(I.69)
Keterangan persamaan (I.69) sebagai berikut: y
: nilai parameter;
X1
: data ukuran ke-1;
X2
: data ukuran ke-2;
Xn
: data ukuran ke-n.
(
)2 : varian parameter;
(
)2 : varian data ukuran ke-1;
(
)2 : varian data ukuran ke-2;
(
)2 : varian data ukuran ke-n. Pemanfaatan konsep perambatan kesalahan dalam penelitian ini pada saat
menghitung nilai akurasi yang ditunjukkan melalui simpangan baku tinggi titik detil dari objek kadaster 3D. Berdasarkan persamaan (I.39) dan (I.40) diketahui bahwa tinggi titik detil merupakan suatu parameter yang dihitung dari fungsi beberapa data ukuran, yaitu tinggi titik referensi, tinggi alat, jarak, dan sudut miring. Oleh sebab itu, simpangan baku tinggi titik detil dapat dihitung dari simpangan baku keempat data ukuran tersebut dengan menggunakan konsep perambatan kesalahan. Persamaan (I.70) digunakan untuk menghitung simpangan baku tinggi titik detil.
)
(
(
)
(
)
(
)
.....(I.70)
Keterangan persamaan (I.70) sebagai berikut: (σHdetil)2
: varian tinggi titik detil (satuan meter kuadrat);
(
)2
: varian tinggi titik referensi (satuan meter kuadrat);
(
)2
: varian tinggi alat (satuan meter kuadrat);
(
)2
: varian jarak datar (satuan meter kuadrat). Apabila hanya diketahui satu data ukuran jarak, nilai varian jarak datar dapat dihitung dengan persamaan (I.60).
59
( )2
: varian sudut miring (satuan meter kuadrat). Apabila hanya diketahui satu data ukuran sudut, nilai varian sudut miring dapat dihitung dengan persamaan (I.61). Selain itu, konsep perambatan kesalahan juga dapat digunakan untuk
menghitung nilai simpangan baku hasil pengurangan antara H dan H”. Pada kondisi ideal, nilai hasil pengurangan (ΔH) tersebut adalah nol. Namun demikian, kondisi tersebut sulit terealisasi karena adanya simpangan baku pada tinggi ortometrik, tinggi geometrik, dan undulasi. Nilai simpangan baku ΔH dapat dihitung dengan persamaan (I.73). ................................(I.71) ................................(I.72)
( (
)
(
)
(
)
....................(I.73)
Keterangan persamaan (I.71) s.d. (I.73) sebagai berikut: (σΔH)2
: varian hasil pengurangan antara H dan H” (sataun meter kuadrat);
(σH)
: simpangan baku tinggi ortometrik (satuan meter);
(σh)
: simpangan baku tinggi geometrik (satuan meter);
(σN)
: simpangan baku undulasi gravimetrik (satuan meter);
H
: tinggi ortometrik (satuan meter);
h
: tinggi geometrik (satuan meter);
N
: undulasi (satuan meter). Selain nilai varian pengurangan antara H dan H”, juga dapat dihitung nilai
persentase peningkatan akurasi model geoid lokal. Adapun persentase peningkatan akurasi model geoid lokal dituliskan pada persamaan (I.74). ........................................................(I.74) Keterangan persamaan (I.74) sebagai berikut: : persentase peningkatan akurasi model geoid lokal; : akurasi model geoid lokal sebelum dikoreksi kesalahan dan bias; : akurasi model geoid lokal sesudah dikoreksi kesalahan dan bias.
60
I.8.14. Uji statistik Uji statistik dilakukan dalam penelitian ini. Tujuan uji statisik adalah mengontrol hasil hitungan sekaligus membantu dalam menjelaskan hubungan antara hasil hitungan dengan hasil pengukuran. Penelitian ini menggunakan empat macam uji statistik, yaitu uji global, uji interval konfidensi, dan uji signifikan parameter. I.8.14.1. Uji global. Uji global adalah suatu cara yang dilakukan untuk menguji data pengukuran setiap epoch untuk mengetahui ada tidaknya kesalahan tak acak yang terkandung pada data pengukuran tersebut. Uji ini dilakukan setelah melakukan hitung perataan. Prinsip uji global adalah pengujian nilai aposteriori varian ( ̂ ) ) (Widjajanti, 2001). Uji global dilakukan melalui
terhadap nilai varian apriori ( tahapan-tahapan sebagai berikut: 1.
Menyusun hipotesis : H0 :
̂
Ha : ̂ Keterangan : H0 (hipotesis nol) merupakan penarikan kesimpulan sementara yang masih perlu dilakukan uji untuk mengetahui kebenarannya. Ha (hipotesis tandingan) merupakan hipotesis tandingan dari H0. 2.
Menentukan taraf uji (
3.
Menetapkan nilai batas argumen
4.
). berdasarkan tabel fungsi Fisher dengan
dan r (r = derajat kebebasan).
Menguji hipotesis nol (H0). Hipotesis nol diterima jika memenuhi syarat: ̂
....................................................................(I.75)
Hipotesis nol yang diterima mengindikasikan bahwa pengukuran yang dilakukan tidak mengandung kesalahan tak acak sehingga terjadi tidak perubahan nilai rata-rata dan pengukuran tersebut mengikuti distribusi normal. I.8.14.2. Uji interval konfidensi rerata dan varian. Uji interval konfidensi dibedakan menjadi dua, yaitu uji interval konfidensi rerata dan varian. Uji interval konfidensi baik nilai rerata dan varian digunakan untuk mengetahui korelasi dan
61
penerimaan nilai rerata dan varian suatu data sampel yang berdistribusi normal terhadap data populasinya pada derajat kepercayaan tertentu (Mikhail dan Gracie, 1981). Uji interval konfidensi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu one-tailed (satu batas) dan two-tailed (dua batas). Apabila digunakan one-tailed maka hanya ditentukan batas bawah atau batas atas nilai rerata atau varian, sedangka two-tailed menggunakan dua nilai batas sekaligus yaitu batas bawah dan batas atas nilai rerata atau varian. Uji interval konfidensi menggunakan berbagai macam fungsi tabel, meliputi Chi-square (χ2), T-student, atau Fisher (F). Penelitian ini menggunakan fungsi T-student untuk uji interval konfidensi rerata, sedangkan untuk uji interval konfidensi varian menggunakan fungsi Fisher. Persamaan (I.76) menunjukkan rumus untuk uji interval konfidensi rerata dan persamaan (I.77) menunjukkan rumus untuk uji interval konfidensi varian (Ghilani, 2010). (̅
√
̅
√
(
)
)
................................(I.76) ................................(I.77)
Keterangan persamaan (I.76) dan (I.77) sebagai berikut: ̅
: nilai rerata; : jumlah data ukuran;
v1
: derajat kebebasan sampel ke-1;
v2
: derajat kebebasan sampel ke2; : simpangan baku;
S1
: simpangan baku sampel ke-1;
S2
: simpangan baku sampel ke-2;
α
: interval konfidensi ( α = 1 – derajat kepercayaan). I.8.14.3. Uji signifikan parameter. Uji signifikan parameter dibedakan menjadi
dua, yaitu uji signifikan parameter satu metode dan uji signifikan parameter dua metode. Uji signifikan parameter satu metode dilakukan untuk mengetahui apakah nilai parameter hasil hitungan berarti atau tidak. Apabila uji signifikan parameter menunjukkan bahwa nilai parameter hasil hitungan berarti menunjukkan bahwa nilai tersebut eksis atau signifikan. Uji signifikan parameter dua metode dilakukan untuk
62
mengetahui apakah nilai parameter hasil hitungan dari metode ke-1 dengan metode ke-2 berbeda secara signifikan atau tidak. Uji signifikan parameter dilakukan dengan menggunakan fungsi T-student. Persamaan (I.78) menunjukkan uji signifikan parameter satu metode dan persamaan (I.79) menunjukkan uji signifikan parameter dua metode. Hipotesis yang digunakan dalam uji signifikan parameter ditampilkan pada Tabel I.15.
| | |
√
....................................................................(I.78)
|
....................................................................(I.79)
Keterangan persamaan (I.78) dan (I.79) sebagai berikut: X
: nilai parameter;
X1
: nilai parameter dari metode ke-1;
X2
: nilai parameter dari metode ke-2;
σX
: simpangan baku parameter;
σX1
: simpangan baku parameter dari metode ke-1;
σX2
: simpangan baku parameter dari metode ke-2. Tabel I.15. Hipotesis dalam uji signifikan parameter
Uji signifikan parameter Satu metode Dua metode
Ho Parameter signifikan Parameter tidak berbeda signifikan
Ha Parameter tidak signifikan Parameter berbeda signifikan
Ho diterima apabila memenuhi syarat sebagai berikut: < t-student, dalam hal ini t-student =
............................................(I.80)
Keterangan persamaan (I.80) sebagai berikut: α
: interval konfidensi ( α = 1 – derajat kepercayaan). : derajat kebebasan. I.9. Hipotesis Penelitian D.I. Yogyakarta terletak di Pulau Jawa. Berdasarkan penelitian terdahulu
diketahui bahwa akurasi geoid lokal di Pulau Jawa tidak lebih tinggi daripada 0,500 m. Selain itu, D.I. Yogyakarta mempunyai kondisi topografi wilayah yang terdiri dari
63
perbukitan dengan nilai ketinggian lebih dari 150 m. Penggunaan MGG EGM2008 di wilayah yang mempunyai variasi topografi yang tinggi menghasilkan tingkat akurasi model geoid yang lebih tinggi daripada MGG yang lain (Dawod dkk., 2010). Ketersediaan data gayaberat teristris di D.I. Yogyakarta cukup memadai, yakni dengan jumlah ± 700 titik. Penggunaan metode FFT untuk pemodelan geoid di wilayah yang tersedia data gayaberat yang banyak dan terdistribusi merata dapat menghasilkan akurasi geoid yang lebih tinggi daripada metode LSC (Martin dkk., 2010). Penggunaan data tinggi yang mempunyai interval data lebih kecil mempunyai pengaruh yang lebih signifikan terhadap akurasi model geoid yang dihasilkan (Kiamher dan Sjoberg, 2005). Selain akurasi model geoid, akurasi tinggi objek kadaster 3D juga dipengaruhi oleh tinggi geometrik dari pengamatan GNSS. Nilai kepresisian tinggi geometrik yang dihasilkan dari metode RTK GNSS mencapai 0,001 m (Yuanming, 2010). Berdasarkan pemaparan tersebut, hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini, sebagai berikut: 1.
Model geoid lokal D.I. Yogyakarta yang paling akurat dihasilkan dari metode FFT dengan kombinasi data antara EGM2008 dengan peta RBI skala 1:25.000.
2.
Akurasi model geoid lokal D.I. Yogyakarta lebih tinggi daripada 0,500 m.
3.
Akurasi tinggi objek kadaster 3D diprediksi lebih tinggi daripada 0,500 m.
4.
Model geoid lokal D.I. Yogyakarta dapat digunakan sebagai bidang referensi tinggi yang ideal untuk menentukan tinggi objek kadaster 3D.