BAB I PENDAHULUAN
I.1
LATAR BELAKANG MASALAH Pegawai Negeri Sipil adalah Unsur Aparatur Negara dalam mengadakan
dan menyelenggarakan pemerintahan maupun pembangunan dalam rangka usaha untuk dapat mencapai tujuan Nasional. Adapun usaha dalam mencapai tujuan Nasional tersebut diperlukan adanya pegawai Negeri Sipil yang penuh kesetiaan dan ketaatan kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara, dan Pemerintah.
Peran Pegawai Negeri Sipil merupakan subyek utama dalam suatu birokrasi yang mempunyai peran tertentu untuk dapat menjalankan tugas negara dan pemerintahan. Dalam hal ini pola kerja Pegawai Negeri Sipil merupakan suatu unsur utama dalam terciptanya pelayanan kepada masyarakat secara profesional, adil dan merata. Kedudukan Pegawai Negeri Sipil sebagai suatu unsur aparatur negara yang abdi masyarakat dan memiliki mental loyalitas terhadap negara. Hal ini secara tidak langsung Pegawai Negeri Sipil dituntut harus netral dari pengaruh semua golongan dan partai politik serta tidak diskriminatif terhadap pelayanan masyarakat.
Sehubungan dengan persoalan netralitas Pegawai Negeri Sipil tersebut, sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian yang mengatur dengan tegas mengenai Netralitas Pegawai pada pemerintahan sebagaimana tercantum dalam pasal 3 yang menyatakan bahwa Dalam kedudukan dan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pegawai Negeri harus netral dari pengaruh semua golongan dan partai politik serta tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan masyarakat. Untuk
Universitas Sumatera Utara
menjamin netralitas Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Pegawai Negeri dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik. 1
Larangan terhadap Pegawai Negeri Sipil menjadi anggota partai politik dapat dilihat secara rinci dalam pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2004 tentang larangan Pegawai Negeri Sipil dalam menjadi Anggota ataupun Pengurus Partai Politik 2 yang mengatur bahwa Pegawai Negeri Sipil dituntut untuk netral dan dilarang menjadi anggota atau pengurus partai politik tertentu. Apabila ada seorang Pegawai Negeri Sipil ingin menjadi anggota dalam suatu partai politik ataupun ingin duduk sebagai pengurus partai politik, maka yang bersangkutan diharuskan melaporkan kepada atasan langsungnya dan tidak membuat permohonan pengunduran diri sebagai Pegawai Negeri Sipil, dan secara langsung akan diberhentikan secara tidak hormat. Hal ini bisa dibilang berhubungan dengan pendapat Wilson dan Godnow yang menyatakan bahwa perlunya memisahkan antara administrasi dengan politik yang arahnya untuk menjaga agar tugas dan fungsi masing-masing yang sebagaimana mestinya diterapkan larangan ikut keanggotaan suatu partai politik kepada Pegawai Negeri Sipil 3. Adapun pendapat Hegel mengatakan bahwa birokrasi haruslah berposisi di tengah sebagai perantara antara kelompok kepentingan umum (negara) dengan kelompok kepentingan khusus (pengusaha dan profesi) 4. Dalam hal ini, Netralitas Pegawai Negeri Sipil berkaitan dengan adanya Pemilihan Kepala Daerah Langsung. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dimana Undang-Undang ini mengenai Pemerintahan Daerah. Adapun agenda reformasi yang digulirkan dengan tujuan untuk dapat mewujudkan iklim yang lebih demokratis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal
1 2 3
4
seperti
ini dapat
diwujudkan
dengan mengembalikan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1999 pasal 3 tentang pokokpokok kepegawaian. Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2004 tentang Larangan Pegawai Negeri Sipil menjadi anggota / pengurus Partai Politik Miftah Thoha, Netralitas Birokrasi di Pemerintahan Indonesia, Malang: Pustaka Pelajar, 2001, hal.54. Ibid hal.55
Universitas Sumatera Utara
kedaulatan ketangan rakyat. Karena yang kita ketahui selama ini adalah kedaulatan yang seakan-akan berada di tangan partai politik. Dimana satu-satunya hak politik yang dimiliki oleh rakyat adalah dengan memilih orang yang akan mewakili mereka dalam Dewan perwakilan Rakyat. Lalu setelah itu, kedaulatan beralih kepada mereka yang menyebut diri mereka sebagai wakil rakyat yang pada kenyataannya
justru lebih mengutamakan kepentingan pribadi dan
partainya, daripada memperjuangkan kepentingan rakyat yang memilih mereka.
Dalam praktiknya, tercatat ada tiga bentuk pelanggaran yang dilakukan PNS dan pejabat pemerintahan dalam pemilu. Pertama, penyalahgunaan kewenangan yang dimiliki, antara lain menerbitkan aturan yang mewajibkan kampanye kepada bawahan, pengumpulan dana bagi parpol tertentu, pemberian izin usaha disertai tuntutan dukungan kepada parpol/caleg tertentu, penggunaan bantuan pemerintah untuk kampanye, mengubah biaya perjalanan dinas, dan memaksa
bawahan
membiayai
negara. Kedua, penggunaan
kampanye
fasilitas
negara
parpol/caleg secara
dari
anggaran
langsung,
misalnya
penggunaan kendaraan dinas, rumah dinas, serta kantor pemerintah dan kelengkapannya. Ketiga, pemberian dukungan lain, seperti bantuan sumbangan, kampanye terselubung, memasang atribut parpol/caleg di kantor, memakai atribut parpol/caleg, menghadiri kegiatan kampanye dengan menggunakan pakaian dinas dan kelengkapannya, serta pembiaran atas pelanggaran kampanye dengan menggunakan fasilitas negara dan perlakuan tidak adil/diskriminatif atas penggunaan fasilitas negara kepada parpol/caleg. Sebenarnya yang harus mendapat titik tekan pelarangan Pegawai Negeri Sipil terlibat dalam penyelenggaraan Pilkada Langsung adalah dalam konteks sebagai peserta, baik sebagai calon Kepala Daerah maupun tim kampanye pendukung Kepala Daerah. Mereka memposisikan diri mereka pada salah satu pihak, keberpihakan merekalah yang sebenarnya harus “diharamkan”. Karena ketika mereka memutuskan menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) keberpihakan mereka hanyalah kepada kepentingan rakyat. Mereka haruslah mengabdi demi rakyat, bukanlah demi satu atau dua kelompok atau satu atau dua kepentingan
Universitas Sumatera Utara
saja. Jadi, jika mereka terlibat menjadi panitia penyelenggara Pemilihan Kepala Daerah itu di bolehkan 5. Mengacu kepada surat Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor : K.2630/V.31-3/99, tanggal 12 Maret 2009, untuk mencegah terjadinya pelanggaran masalah netralitas PNS dalam pemilukada, pemilu calon legislatif (DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota), anggota DPD, dan calon Presiden/Wakil Presiden,
maka
Pejabat
Pembina
Kepegawaian
Pusat,
dan
Daerah
Provinsi/Kabupaten/Kota, bertanggungjawab untuk : a.
Mensosialisasikan mengenai netralitas PNS dalam Pemilihan Umum Calon Legislatif dan Calon Presiden/Wakil Presiden;
b.
Mengecek dan mengawasi implementasi mengenai netralitas PNS dalam Pemilihan Umum Calon Legislatif dan Calon Presiden/Wakil Presiden;
c.
Memberikan hukuman apabila terdapat PNS di lingkungannya yang melakukan pelanggaran terhadap netralitas PNS.
Dalam pemerintahan Otonomi Daerah, Pegawai Negeri Sipil banyak terjadi penyalahgunaan wewenang. Misalnya saja dalam pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah Langsung, penyalahgunaan wewenang kerap kali terjadi. Birokrasi disini dijadikan sebagai mesin politik untuk dapat memenangkan Incumbent. Menurut Lembaga Survey Indonesia dari 460 calon incumbent yang menang dalam Pemilukada kurang lebih 62,7%, sedangkan yang kalah kurang lebih 37,83%. 6 Berdasarkan penjelasan dari latar belakang, Penulis mengangkat judul Skripsi tentang “Netralitas Pegawai Negeri Sipil dalam Pemilukada Sumatera Utara 2013” Studi Kasus terhadap Pegawai Negeri Sipil pada Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Sumatera Utara.
5 6
Departemen Agama Republik Indonesia, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Pegawai Negeri Sipil, Jakarta: September 2003 Diakses dari www.Lsi.or.id pada tanggal 20 Juli 2013-07-21
Universitas Sumatera Utara
I.2
PERUMUSAN MASALAH Adapun Perumusan Masalah merupakan penjelasan mengenai alasan
mengapa masalah dalam penelitian ini dipandang menarik dan perlu untuk diteliti. Dengan kata lain, Perumusan Masalah merupakan isi dari pertanyaan lengkap dan rinci mengenai lingkup masalah yang akan diteliti berdasarkan dari identifikasi masalah dan pembatasan masalah. 7 Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan dalam Latar Belakang Masalah, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah : - Bagaimana Netralitas Pegawai Negeri Sipil di Kantor Kementerian Agama Provinsi Sumatera Utara dalam Pemilukada 2013. - Faktor – faktor apa yang mempengaruhi netral atau tidak netralnya terhadap Pegawai Negeri Sipil.
I.3
PEMBATASAN MASALAH Dalam sebuah penelitian, dibutuhkan adanya pembatasan masalah
terhadap masalah yang akan diteliti. Penulis perlu membuat pembatasan masalah juga agar hasil penelitian yang diperoleh tidak menyimpang dari tujuan yang ingin dicapai menjadi karya tulis yang sistematis. Adapun batasan masalah yang akan diteliti penulis adalah penelitian ini hanya mencakup kepada Pegawai Negeri Sipil di Kementerian Agama Provinsi Sumatera Utara. Hal-hal diluar pembahasan Pegawai Negeri Sipil pada Kementerian Agama Provinsi Sumatera Utara tidak dibahas disini.
I.4
TUJUAN PENELITIAN Adapun tujuan dilaksanakan penelitian ini adalah: 1.
Untuk mengetahui sejauh mana peranan Pegawai Negeri Sipil sebagai Aparatur Negara dalam abdi masyarakat.
7
Husaini Usman dan Purnomo, Metodologi Penelitian Sosial, Bandung: Bumi Aksara, 2004, Hal: 26.
Universitas Sumatera Utara
2.
Untuk
mengetahui
Netralitas
Pegawai
Negeri
Sipil
di
Kantor
Kementerian Agama Provinsi Sumatera Utara terhadap Pemilihan Kepala Daerah Sumatera Utara 2013.
I.5
MANFAAT PENELITIAN Setiap penelitian diharapkan mampu memberikan manfaat, terlebih lagi
untuk perkembangan ilmu pengetahuan. Untuk itu yang menjadi manfaat dari penelitian ini adalah: 1.
Secara teoritis maupun metodologis, studi ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap pemahaman tentang peranan Pegawai Negeri Sipil
2.
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi birokrat dalam setiap even politik pemilu memiliki sikap netral dan profesional.
3.
Secara Akademis, diharapkan dapat bermanfaat bagi kalangan mahasiswa Departemen Ilmu Politik dan dapat menjadi sumber rujukan bagi Departemen Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.
4.
Bagi penulis sendiri, untuk mengembangkan kemampuan berfikit dalam menulis suatu karya ilmiah.
I.6
KERANGKA TEORI
I.6.1
Teori Birokrasi Birokrasi berasal dari bahasa inggris kata bureaucracy yang dapat
diartikan sebagai suatu organisasi yang memiliki rantai komando dalam bentuk sebuah piramida, dimana lebih banyak orang berada ditingkat bawah dari pada tingkat atas, biasanya ditemui pada instansi yang sifatnya administratif maupun militer. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, birokrasi didefinisikan sebagai sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena telah berpegang pada hirarki dan jenjang jabatan.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Max Weber konsep birokrasi ada dalam suatu organisasi, dimana organisasi bukan hanya dapat digunakan sebagai pendekatan efektif untuk mengontrol pekerjaan sehingga sampai pada sasarannya, karena organisasi birokrasi hanya punya struktur yang jelas tentang kekuasaan terhadap orang yang punya kekuasaan mempunyai pengaruh sehingga dapat memberi perintah untuk mendistribusikan tugas kepada orang lain. Weber menggambarkan tipe birokrasi ideal dalam nada positif, membuatnya lebih berberntuk organisasi rasional dan efisien daripada alternatif yang terdapat sebelumnya, yang dikarakterisasikan sebagai dominasi karismatik dan tradisional. Menurut terminologinya, birokrasi merupakan bagian dari dominasi legal. Akan tetapi, ia juga menekankan bahwa birokrasi menjadi inefisien ketika keputusan harus diadopsi kepada kasus individual. Menurut Weber, atribut birokrasi moderen termasuk kepribadiannya, konsentrasi dari arti administrasi, efek daya peningkatan terhadap perbedaan sosial dan ekonomi dan implementasi sistem kewenangan yang praktis tidak bisa dihancurkan. Birokrasi ala Weber dikenal juga dengan sebutan “Birokrasi Weberian”. Birokrasi tersebut dianggap oleh Weber sebagai tidak rasional. Banyak pengangkatan pejabat yang mengacu pada political-will pimpinan Dinasti. Akibatnya banyak pekerjaan negara yang “salah-urus” atau tidak mencapai hasil secara maksimal. 8
Adapun karakteristik birokrasi menurut weber adalah : 1.
Organisasi yang disusun secara hirarkis
2.
Setiap bagian memiliki wilayah kerja khusus.
3.
Pelayanan publik (civil sevants) terdiri atas orang-orang yang diangkat, bukan dipilih, di mana pengangkatan tersebut didasarkan kepada kualifikasi
kemampuan,
jenjang
pendidikan,
atau
pengujian
(examination). 4.
Seorang pelayan publik menerima gaji pokok berdasarkan posisi.
5.
Pekerjaan sekaligus merupakan jenjang karir.
8
Diakses dari www. mutiara-fisip11.web.unair.ac.id/artikel_detail pada tanggal 1 september 2013 pukul 14.25
Universitas Sumatera Utara
6.
Para pejabat/pekerja tidak memiliki sendiri kantor mereka.
7.
Setiap pekerja dikontrol dan harus disiplin.
8.
Promosi yang ada didasarkan atas penilaian atasan .
Prajudi Atmosudirjo mengatakan dalam bukunya G Kartasapoetra mengemukakan bahwa birokrasi mempunyai arti 9: 1.
Birokrasi sebagai tipe organisasi.
2.
Sebagai suatu organisasi tertentu, birokrasi cocok sekali untuk melaksanakan suatu macam pekerjaan yang terkait pada peraturanperaturan yang bersifat rutin, artinya volume pekerjaan besar, akan tetapi sejenis dan bersifat berulang-ulang, dan pekerjaan yang memerlukan keadilan, merata dan stabil.
3.
Birokrasi sebagai system, yang artinya birokrasi adalah suatu system kerja yang berdasar atas tata hubungan kerjasama antara jabatan (pejabat-pejabat) secara langsung kepada persolannya dan secara formal serta berjiwa tanpa dipilih kasih atau tanpa pandang bulu.
Dalam hal ini, menyebutkan adanya keadaan birokrasi publik di sektor pemerintahan, pendidikan dan kesehatan dan sebagainya berada dalam suatu kondisi yang dikenal dengan istilah organizational slack yang ditandai dengan menurunnya kualitas pelayanan yang diberikannya. Masyarakat pengguna pelayanan banyak mengeluhkan akan lambannya penanganan pemerintah atas masalah yang dihadapi dan bahkan mereka telah memberikan semacam public alarm agar pemerintah sebagai instansi yang paling berwenang, responsif terhadap semakin menurunnya kualitas pelayanan kepada masyarakat segera mengambil inisiatif yang cepat dan tepat untuk menanggulanginya. Michael G. Roskin, et al. menyebutkan bahwa sekurang-kurangnya ada 4 fungsi birokrasi di dalam suatu pemerintahan modern. Fungsi-fungsi tersebut adalah : 9
G Karyasapoetra, 1994, Debirokratisasi dan Deregulasi, Jakarta: Rineka Cipta, Hal.21
Universitas Sumatera Utara
1. Administrasi Fungsi administrasi pemerintahan modern meliputi administrasi, pelayanan, pengaturan, perizinan, dan pengumpul informasi. Dengan fungsi administrasi dimaksudkan bahwa fungsi sebuah birokrasi adalah mengimplementasikan undang-undang yang telah disusun oleh legislatif serta penafsiran atas UU tersebut oleh eksekutif. Dengan demikian, administrasi berarti pelaksanaan kebijaksanaan umum suatu negara, di mana kebijakan umum itu sendiri telah dirancang sedemikian rupa guna mencapai tujuan negara secara keseluruhan.
2. Pelayanan Birokrasi sessungguhnya diarahkan untuk melayani masyarakat atau kelompok-kelompok khusus. Dalam hal ini badan pendidikan, dan badan kesehatan adalah contoh yang bagus di Indonesia, dimana badan – badan tersebut ditujukan demi kepentingan masyarakat. Sehingga menjalankan fungsi public service nya dengan baik
3. Pengaturan (regulation) Fungsi pengaturan dari suatu pemerintahan biasanya dirancang demi mengamankan kesejahteraan masyarakat. Dalam menjalankan fungsi ini, badan birokrasi biasanya dihadapkan antara dua pilihan: Kepentingan individu versus kepentingan masyarakat banyak. Badan birokrasi negara biasanya diperhadapkan pada dua pilihan ini.
4. Pengumpul Informasi (Information Gathering) Informasi dibutuhkan berdasarkan dua tujuan pokok: Apakah suatu kebijaksanaan mengalami sejumlah pelanggaran atau keperluan membuat kebijakan-kebijakan baru yang akan disusun oleh pemerintah berdasarkan situasi faktual. Badan birokrasi, oleh sebab itu menjadi ujung tombak pelaksanaan kebijaksanaan negara tentu menyediakan data-data sehubungan dengan dua hal tersebut. Misalnya, pemungutan uang yang tidak semestinya (pungli) ketika masyarakat membuat SIM atau STNK tentunya mengalami pembengkakan.
Universitas Sumatera Utara
Pungli tersebut merupakan pelanggaran atas idealisme administrasi negara, oleh sebab itu harus ditindak. Dengan ditemukannya bukti pungli, pemerintah akan membuat prosedur baru untuk pembuatan SIM dan STNK agar tidak memberi ruang bagi kesempatan melakukan pungli.
Melihat sejarah birokrasi Indonesia, netralitas birokrasi yang tidak terpengaruh kekuatan politik belum pernah terwujud. Padahal untuk melahirkan tatanan kepemerintahan yang demokratis diperlukan birokrasi pemerintah yang netral dari kepentingan partai atau kekuatan politik. Jika birokrasi pemerintah dibuat netral, maka rakyat secara keseluruhan akan bisa dilayani oleh birokrasi pemerintah, karena birokrasi tidak mengutamakan dan memihak kepada salah satu kepentingan kelompok rakyat tertentu. Pemihakan kepada kepentingan seluruh rakyat ini sama dengan melaksanakan demokrasi. Sedangkan keberpihakan birokrasi terhadap salah satu kekuatan partai politik yang sedang memerintah cenderung akan memberikan peluang terhadap suburnya penyelewenganpenyelewengan seperti korupsi, kolusi dan nepotisme. Pegawai yang profesional dan terbuka terhadap perubahan ekonomi, sosial dan politik menjadi sebuah tuntutan. Bagaimana para birokrat memahami jabatan yang dipegang dan merealisasikan dalam bentuk pelayanan publik optimal adalah hal utama. Selama ini kecenderungan aparat birokrasi masih mewarisi budaya ”memerintah” dan menganggap bahwa jabatan adalah status sosial yang membedakan mereka dengan warga biasa. Melayani dan memenuhi kebutuhan warga negara dengan sebaik-baiknya belumlah menjadi paradigm para birokrat. Masyarakat pun masih menganggap bahwa keberadaan birokrasi bukanlah mempermudah urusan mereka tetapi malah menghambat layanan yang harus diterima. Birokrasi sebagai “alat pemerintah” memang tidak mungkin “netral” dari pengaruh pemerintah. Akan tetapi hal ini tidak berarti bahwa birokrasi tidak memiliki kemandirian. Justru karena posisinya sebagai alat pemerintah yang bekerja untuk kepentingan masyarakat, maka diperlukan kemandirian birokrasi. Sebagaimana dicitrakan dalam konsep Hegelian Bureaucracy, birokrasi
Universitas Sumatera Utara
seharusnya menempatkan dirinya sebagai mediating agent, penjembatanan antara kepentingan-kepentingan masyrakat dengan kepentingan pemerintah. 10 Birokrasi di Indonesia hingga saat ini masih belum efektif. Para birokrat di mata publik memiliki citra buruk dan cenderung korup. Mereka tidak dapat mengikuti situasi ekonomi, sosial dan politik yang sedang berkembang yang menuntut adanya sikap dinamis dan terbuka. Waktu dan biaya yang tidak terukur adalah cermin ketidakprofesional kerja penopang birokrasi. Mereka masih melestarikan budaya birokrasi kolonial. Inilah budaya birokrasi kita saat ini yang jauh dari kesan melayani masyarakat. Perubahan kepemimpinan yang terjadi di tingkat nasional maupun daerah ternyata tidak mampu mendorong reformasi yang terarah dalam memperbaiki citra pejabat birokrat dan sistem birokrasi kita.
I.6.2
Teori Sistem Pemilu Adapun Pemilihan umum adalah proses pemilihan orang-orang untuk
mengisi jabatan-jabatan politik tertentu. Jabatan - jabatan tersebut beranekaragam, mulai dari presiden, wakil rakyat di berbagai tingkat pemerintahan, sampai dengan kepala desa. Pemilu merupakan salah satu usaha untuk mempengaruhi rakyat secara persuasif (tidak memaksa) dengan melakukan kegiatan retorika, public relations, komunikasi massa, lobby dan lain-lain kegiatan. Meskipun agitasi dan propaganda di Negara demokrasi sangat dikecam, namun dalam kampanye pemilihan umum, teknik agitasi dan teknik propaganda banyak juga dipakai oleh para kandidat atau politikus selalu komunikator politik. Dengan kata lain, pemilu adalah sarana demokrasi untuk membentuk sistem kekuasaan negara yang berkedaulatan rakyat dan permusyawaratan perwakilan yang digariskan oleh Undang-Undang Dasar. Kekuasaan yang lahir melalui pemilihan umum adalah kekuasaan yang lahir dari bawah menurut kehendak rakyat dan dipergunakan sesuai dengan keinginan rakyat.
10
Priyo Budi Santoso, 1997, Birokrasi Pemerintah Orde Baru : Perspektif Kultural dan Struktural, Edisi I, Cetakan Ketiga, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm 32
Universitas Sumatera Utara
Pemilihan umum yang demokratis haruslah diselenggarakan dalam suasana keterbukaan, adanya kebebasan berpendapat dan berserikat, atau dengan perkataan lain pemilihan umum yang demokratis harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut 11 1.
Sebagai aktualiasi dari prinsip keterwakilan politik.
2.
Aturan permainan yang fair.
3.
Dihargainya nilai-nilai kebebasan.
4.
Diselenggarakan oleh lembaga yang netral atau mencerminkan berbagai kekuatan politik secara proporsional.
5.
Tiadanya intimidasi.
6.
Adanya kesadaran rakyat tentang hak politiknya dalam pemilihan umum.
7.
Mekanisme pelaporan hasilnya dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan hukum Dalam hubungan yang demikian, maka pemilihan umum sangat erat
kaitannya dengan sistem pemilihan umum (electoral system). Akan tetapi, berkaitan dengan electoral system tersebut harus dibedakan antara electoral laws dengan electoral process. Didalam ilmu kepemiluan yang disebut dengan electoral laws adalah proses pembentukan pemerintahan melalui pilihan sistem pemilihan umum yang diartikulasikan kedalam suara, dan kemudian suara tersebut diterjemahkan kedalam pembagian kewenangan pemerintahan diantara partai politik yang bersaing. 12 Berdasarkan pandangan yang demikian, electoral laws berkenaan dengan sistem pemilihan dan aturan yang menata jalannya pemilihan umum serta distribusi hasil pemilihan umum. Dalam kaitan ini sistem pemilihan umum adalah rangkaian aturan yang menurutnya pemilih mengekspresikan prefensi politik mereka, dan suara pemilih diterjemahkan menjadi kursi. Sedangkan electoral process adalah menyangkut mekanisme yang dijalankan didalam
11
12
Rusli M. Karim, Pemilu Demokratis Kompetitif, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1991), hlm. 37. Diakses dari www.repository.usu.ac.id/bitstream pada tanggal 24 agustus pukul 21.35
Universitas Sumatera Utara
mengelola pemilihan umum, mulai dari pendaftaran pemilih, pencalonan, kampanye (baik yang menyangkut isi, tema, prosedur, dan teknik) pemberian suara, serta penghitungan suara. Pemilu dianggap sebagai bentuk paling riil dari demokrasi serta
wujud
paling
konkret
keiktsertaan
(partisipasi)
rakyat
dalam
penyelenggaraan negara. Oleh sebab itu, sistem & penyelenggaraan pemilu hampir selalu menjadi pusat perhatian utama karena melalui penataan, sistem & kualitas penyelenggaraan pemilu diharapkan dapat benar-benar mewujudkan pemerintahan demokratis Dalam hal ini, pemilu dan netralitas Pegawai Negeri Sipil memang sangat dibutuhkan dalam proses politik seperti Pemilihan Umum Kepala Daerah karena pegawai negeri merupakan pelayan publik dan pegawai negeri yang betul-betul berdiri secara independen tanpa harus memihak. Harus diperhatikan bahwa kadang kala pegawai negeri terbawa arus atau dengan kata lain dalam keadaan terpaksa untuk memihak pada salah satu pihak apalagi ketika salah satu kandidat merupakan calon (incumbent). Ketidaknetralan Pegawai negeri juga sangat terlihat apabila ada calon kepala daerah yang berasal dari keluarganya, sehingga nilai-nilai yang seharusnya dimiliki harus terbuang dan ditinggalkan. Tidak mengherankan jika banyak proses politik dalam hal ini pemilihan umum kepala daerah dicederai dengan adanya keterlibatan secara langsung pegawai negeri sipil dalam mendukung salah satu calon kepala daerah. Ketentuan tentang dilarangnya atau tidak diperbolehkannya pegawai negeri sipil untuk ikut serta secara langsung dalam pemilihan Kepala Daerah diatur dalam Pasal 79 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menegaskan: 1. Dalam kampanye, dilarang melibatkan: a. Hakim pada semua peradilan; b. Pejabat BUMN/BUMD; c. Pejabat Struktural dan Fungsional dalam Jabatan Negeri; d. Kepala Desa.
Universitas Sumatera Utara
2.
Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila pejabat tersebut menjadi calon kepala daerah dan wakil
3.
kepala daerah.
Pejabat negara yang menjadi calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam melaksanakan kampanye harus memenuhi ketentuan: a. tidak menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatannya; b. menjalani cuti di luar tanggungan negara; dan c. pengaturan lama cuti dan jadwal cuti dengan memperhatikan keberlangsungan tugas Penyelenggaraan pemerintahan daerah.
4.
Pasangan calon dilarang melibatkan pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai peserta kampanye dan juru kampanye dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah.
I.6.3
Teori Kebijakan Kebijakan merupakan terjemahan dari kata policy yang berasal dari bahasa
Inggris. Kata policy diartikan sebagai sebuah rencana kegiatan atau pernyataan mengenai tujuan-tujuan, yang diajukan atau diadopsi oleh suatu pemerintahan, partai politik, dan lain-lain. Kebijakan juga diartikan sebagai pernyataanpernyataan mengenai kontrak penjaminan atau pernyataan tertulis. Pengertian ini mengandung arti bahwa yang disebut kebijakan adalah mengenai suatu rencana, pernyataan tujuan, kontrak penjaminan dan pernyataan tertulis baik yang dikeluarkan oleh pemerintah, partai politik, dan lain-lain. Dengan demikian siapapun dapat terkait dalam suatu kebijakan. James E. Anderson memberikan pengertian kebijakan sebagai serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah tertentu. James E. Anderson secara lebih jelas menyatakan bahwa yang dimaksud kebijakan adalah kebijakan yang dikembangkan oleh badan-badan dan pejabatpejabat pemerintah. Pengertian ini, menurutnya, berimplikasi:
Universitas Sumatera Utara
(1) bahwa kebijakan selalu mempunyai tujuan tertentu atau merupakan tindakan yang berorientasi pada tujuan, (2) bahwa kebijakan itu berisi tindakan-tindakan atau pola-pola tindakan pejabat-pejabat pemerintah, (3) bahwa kebijakan merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah, (4) bahwa kebijakan bisa bersifat positif dalam arti merupakan beberapa bentuk tindakan pemerintah mengenai suatu masalah tertentu atau bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pejabat pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu, (5) bahwa kebijakan, dalam arti positif, didasarkan pada peraturan perundang-undangan dan bersifat memaksa (otoritatif).
Dalam pengertian ini, James E. Anderson menyatakan bahwa kebijakan selalu terkait dengan apa yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah. James Anderson sebagai pakar kebijakan publik meenetapkan proses kebijakan public sebagai berikut: 1. Formulasi masalah (problem formulation): apa masalahnya? Apa yang membuat hal tersebut menjadi masalah kebijakan? Bagaimana masalah tersebut dapat masuk dalam agenda pemerintah? 2. Formulasi kebijakan (formulation): bagaimana mengembangkan pilihanpilihan atau alternatf-alternatif untuk memecahkan masalah tersebut? Sipa saja yang berpartisipasi dalam formulasi kebijakan? 3. Penentuan
kebijakan
(adoption):
bagaimana
alternative
ditetapkan?
Persyaratan atau criteria seperti apa yang harus dipenuhi? Siapa yang akan melaksanakan
kebijakan?
Bagaimana
proses
atau
strategi
untuk
melaksanakan kebjakan? Apa isi dari kebijakan yang telah ditetapkan? 4. Implementasi (implementasion): siapa yang terlibat dalam implementasi kebijakan? Apa yang mereka kerjakan? Apa dampak dari isi kebijakan?
Universitas Sumatera Utara
5. Evaluasi (evaluation): bagaimana tingkat keberhasilan atau dampak kebijakan diukur? Siapa yang mengevaluasi kebijakan? Apa konsekuensi dari adanya evaluasi kebijakan? Adakah tuntutan untuk melakukan perubahan atau pembatalan?
I.6.4 Netralitas Birokrasi Konsep pada netralitas birokrasi sangat erat dengan perkembangan analisis sosial dan politik hampir dua abad yang lalu. Sekitar abad ke 20-an, konsep netralitas organisasi birokrasi menjadi sangat penting dalam kehidupan sosial politik modern. Para penulis di tahun 30-an mulai lantang berbicara tentang managerial revolution dan konsep baru tentang birokrasi dunia (bureaucratization of the world). Dengan itu, mereka juga ingin mengetahui sampai di mana peranan birokrasi dalam perubahan-perubahan besar dalam kehidupan sosial, ekonomi dan politik pada zaman yang semakin maju ini. Bila dibandingkan dengan kondisi birokrasi di Indonesia khususnya pada era Orde Baru yang berjalan hamipr 32 tahun di mana jelas bahwa birokrasi sudah menampakkan keberpihakannya kepada satu kekuatan politik tertentu (Golkar) sebenarnya juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah politik Orde Baru itu sendiri. Ketika masa Orde Baru lahir, kehidupan kepartaian kita Indonesia dalam kondisi dan situasi yang sangat memprihatinkan. Hal – hal ini disebabkan oleh strategi pembangunan politik orde lama di mana PKI merupakan satu-satunya partai politik yang tetap eksis dengan fungsinya. Sedangkan parta-partai lain satu persatu hilang, baik secara alamiah atupun karena tidak sesuai dengan Bung Karno sebagai Presiden yang sekaligus sebagai Panglima Tertinggi dan menyatakan dirinya juga sebagai Panglima Besar Revolusi pada waktu itun itu yang mengeluarkan gagasan JAREK (jalannya revolusi kita) Dalam keadaan seperti itu pulalah masyarakat sangat merindukan terciptanya satu situasi yang memungkinkan kepentingan mereka tersalurkan dan terwakili melalui partai politik. Situasi yang demikian dibaca oleh rejim baru, sehingga begitu orde lama tumbang, orde baru berusaha untuk memulihkan keadaan dengan menerapkan dua strategi dasar yaitu: pertama, menjadikan
Universitas Sumatera Utara
tentara/ABRI sebagai ujung tombak demokrasi dan pemegang kemdali pemerintahan ditopang oleh birokrasi yang kuat dan terlepas dari ikatan kepartaian konvensional/tradisional. Kedua, menitikberatkan pembangunan ke arah rehabilitasi ekonomi. Dua strategi tersebut sangat jelas akan memerlukan stabilitas dengan segala resikonya yang dalam banyak hal akan merugikan bagi parpol non-pemerintah. Dalam kerangka inilah ABRI kemudian mendirikan Sekretariat Bersama Golongan Karya (pada tahun 1964 sebagai embrio bagi partai pemerintah (partai pelopor seperti konsep Presiden Soekarno). Dari sini kita melihat bahwa politik orde baru berusaha menciptakan iklim politik yang mendukung tumbuh suburnya kembali partai-partai politik, namun tetap berada di bawah kontrol birokrasi sehingga tidak akan menggoyahkan stabilitas nasional. 13 Untuk mewujudkan Netralitas diharapkan dalam manajemen sistem kepegawaian perlu selalu ada: (a)
Stabilitas, yang menjamin agar setiap PNS tidak perlu kuatir akan masa depannya serta ketenangan dalam mengejar karier.
(b)
Balas jasa yang sesuai untuk menjamin kesejahteraan PNS beserta keluarganya. Sehingga keinginan untuk melakukan korupsi, baik korupsi jabatan maupun korupsi harta, menjadi berkurang, kalau tidak mungkin dihapuskan sama sekali.
(c)
Promosi dan mutasi yang sistematis dan transparan, sehingga setiap PNS dapat memperkirakan kariernya dimasa depan serta bisa mengukur kemampuan pribadi Dengan melihat banyaknya masalah politisasi birokrasi yang tetap
berlangsung, maka jelas tampak di sini pentingnya untuk mengartikulasikan kembali tuntutan netralisasi birokrasi. Sebenarnya tuntutan seperti ini sudah pernah menghangat ketika muncul perdebatan mengenai rangkap jabatan seorang
13
A. Isa Anshori. 1994. “Netralitas Birokrasi” Makalah disampaikan dalam Seminar Dikotomi Politik dan Administrasi. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta
Universitas Sumatera Utara
pejabat pemerintahan sekaligus pengurus atau anggota partai. Namun demikian, tuntutan itu mendapatkan resistensi dari parpol dan para politisi atau kader partai yang meraih kekuasaan dalam kepemimpinan birokrasi pemerintahan
I.6.5
Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pegawai Negeri Sipil Salah satu langkah mendasar dari reformasi birokrasi, Pemerintah telah
menetapkan kebijakan baru dalam pembinaan Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai bagian dari Pegawai Negeri, yang pada prinsipnya mengarahkan sikap politik PNS dari yang sebelumnya harus mendukung golongan politik tertentu menjadi netral atau tidak memihak, yang selanjutnya lazim disebut kebijakan netralitas politik PNS. Kebijakan netralitas PNS tersebut dinyatakan secara tegas dengan memasukkan pengaturannya dalam:
a.
Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, Pasal 3 ayat (1) – (3): (1). Pegawai Negeri berkedudukan sebagai unsur aparatur negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan dan pembangunan. (2). Dalam kedudukan dan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pegawai Negeri harus netral dari pengaruh semua golongan dan partai politik serta tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. (3). Untuk menjamin netralitas Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Pegawai Negeri dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik. 14
14
Fokus Media, Pokok-Pokok Kepegawaian Edisi Lengkap, Bandung: Tahun 2007.
Universitas Sumatera Utara
b.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 tentang Larangan Pegawai Negeri Sipil menjadi anggota Partai Politik pada pasal 2 dan pasal 3.
PASAL 2: (1). Pegawai
Negeri
Sipil
dilarang
menjadi
anggota
dan/atau
pengurus partai politik. (2). Pegawai Negeri Sipil yang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik diberhentikan sebagai Pegawai Negeri Sipil. PASAL 3: (1). Pegawai Negeri Sipil yang akan menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik wajib mengundurkan diri sebagai Pegawai Negeri Sipil. (2). Pegawai Negeri Sipil yang mengundurkan diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil. (3). Pemberhentian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berlaku terhitung mulai akhir bulan mengajukan pengunduran diri. 15
c.
Undang – Undang nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dalam Pasal 59 ayat (5) bagian g, dimana Partai Politik atau gabungan partai politik pada saat mendaftarkan calon, wajib menyerahkan: “Surat pernyataan mengundurkan diri dari jabatan negeri bagi calon yang berasal dari Pegawai Negeri Sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, dan Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. 16
d.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disipln Pegawai Negeri Sipil. Dimana Larangan pada bagian Kedua Pasal 4 ayat (12) yaitu Larangan memberikan dukungan kepada Calon Presiden/Wakil
15 16
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2004 tentang Larangan Pegawai Negeri Sipil menjadi anggota Partai Politik. Diakses dari www.kpu.go.id pada tanggal 20 Juli 2013
Universitas Sumatera Utara
Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan cara: -
Ikut serta sebagai pelaksana kampanye,
-
Menjadi peserta kampanye dengan menggunakan atribut partai atau atribut Pegawai Negeri Sipil.
-
Sebagai peserta kampanye dengan mengerahkan Pegawai Negeri Sipil Lainnya, Sebagai peserta kampanye dengan menggunakan fasilitas negara. 17
-
e.
Surat Edaran MenPan nomor 7 Tahun 2009 tentang Netralitas Pegawai Negeri Sipil dalam Pemilihan Umum : - PNS yang mencalonkan secara perseorangan menjadi anggota DPD, Presiden/Wakil Presiden, atau Kepala Daerah / Wakil Kepala Daerah. 1.
PNS yang mencalonkan secara perseorangan menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah harus mengundurkan diri sebagai PNS.
2.
PNS
yang
mencalonkan
secara
perseorangan
menjadi
Presiden/Wakil Presiden harus mengundurkan diri dari jabatan negeri. 3.
PNS yang mencalonkan secara perseorangan menjadi Kepala/Wakil Kepala Daerah harus mengundurkan diri dari jabatan negeri.
- PNS dilarang : Memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden, dengan cara: a. ikut serta sebagai pelaksana kampanye; b. menjadi
peserta
kampanye
dengan
menggunakan
atribut
partai/Pegawai Negeri Sipil;
17
Diakses dari www.depkeu.go.id pada tanggal 21 Juli 2013
Universitas Sumatera Utara
c. sebagai peserta kampanye dengan mengerahkan Pegawai Negeri Sipil di lingkungan kerjanya; d. sebagai peserta kampanye dengan menggunakan fasilitas negara; e. membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu calon pasangan selama masa kampanye; f. mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap calon pasangan yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan dan pemberian barang kepada Pegawai Negeri Sipil dalam lingkungan kerjanya, anggota keluarga dan masyarakat.
I.7
METODE PENELITIAN Adapun definisi metode penelitian merupakan ajaran-ajaran mengenai
cara-cara yang digunakan dalam proses penelitian. Metodologi penelitian pada dasarnya merupakan suatu cara yang dipergunakan dalam mencapai tujuan penelitian yang dilakukan. 18 Tujuan umum dari penelitian ini sendiri adalah untuk memecahkan suatu masalah yang telah dirumuskan dan dilakukan dengan metode-metode ilmiah.
I.7.1
Jenis Penelitian Dalam penulisan ini, penulis menggunakan jenis penelitian deskriptif
untuk melihat bagaimana jawaban dari perumusan masalah yakni Bagaimana netralitas Pegawai Negeri Sipil Terhadap Pemilihan Kepala Daerah Sumatera Utara 2013. Penelitian deskriptif yang penulis gunakan adalah sebagai sebuah penelitian yang menjelaskan maupun menggambarkan suatu keadaan penelitian dan berusaha menggambarkan dengan jelas dan mendalam tentang apa yang diteliti pada pokok permasalahan.
18
Hadawi Nawawi, Metodologi Penelitian Sosial, Yogyakarta-Gajah Mada University Press, Hal. 61.
Universitas Sumatera Utara
I.7.2
Lokasi Penelitian Adapun lokasi penelitian dilakukan di Kantor Kementerian Agama
Provinsi Sumatera Utara tepatnya di Jl. Gatot Subroto depan kantor Kodam, Medan.
I.7.3
Populasi dan Sampel Populasi merupakan suatu keseluruhan objek yang terdiri dari manusia,
benda, hewan,
tumbuh-tumbuhan,
gejala, nilai, maupun peristiwa sebagai
sumber data yang memiliki karakteristik tertentu dalam suatu penelitian penelitian. 19. Populasi dalam penelitian ini adalah Seluruh Pegawai Negeri Sipil dalam Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Sumatera Utara yang berjumlah 209 Orang. Sedangkan Sampel merupakan sebagian yang diambil dari populasi dengan menggunakan cara tertentu. Seperti misalnya rumus Taro Yamane, antara lain: n=
Keterangan: n
= Jumlah Sampel
N
= Jumlah populasi
d
= Presisi 10% dengan tingkat kepercayaan 90%
Pada lokasi penelitian Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Sumatera Utara yang berjumlah 209 Orang. Jadi sampel yang diambil adalah: n=
n=
209 209 (0,1)2 + 1 209 3,09
n = 67,63 19
Ibid. Hal. 61
Universitas Sumatera Utara
Jadi setelah melalui penggenapan sampel yang diambil adalah sebanyak 68 orang, dengan distribusi sampel per bidang sebagai berikut:
Tabel I.1 NO. 1. 2. 3.
BIDANG Golongan II Golongan III Golongan IV JUMLAH
Berikut ini adalah
POPULASI 18 orang 145 orang 46 orang
SAMPEL 12 orang 33 orang 23 orang
209 orang
68 orang
bidang – bidang
yang
terbagi di dalam Kantor
Wilayah Kementerian Agama Provinsi Sumatera Utara :
NO.
BIDANG
POPULASI
1.
Tata Usaha
73 orang
2.
Pendidikan Madrasah
21 orang
3.
Agama & keagamaan Islam
14 orang
4.
Urais dan Pembinaan Syari’ah
17 orang
5.
Penerangan Agama islam zakat wakaf
13 orang
6.
Haji dan Umroh
29 orang
7.
Bimas Kristen
13 orang
8.
Pembimas Hindu
3 orang
9.
Pembimas Buddha
5 orang
10.
Pembimas Katolik
6 orang
11.
Pegawai Honorer
15 orang
JUMLAH
209 orang
Sumber data: data populasi bersumber dari Kanwil Kementerian Agama Prov.SU
Universitas Sumatera Utara
Adapun pada bidang Tata Usaha terdapat beberapa sub-bagian, antara lain: 1. Sub.Bagian Kepegawaian 2. Sub.Bagian Umum 3. Sub. Bagian Humas 4. Sub. Bagian Kerukunan Umat Beragama 5. Sub. Bagian Keuangan dan Perencanaan.
I.7.4
Teknik Pengumpulan Data Metode yang digunakan penulis untuk mendapatkan data yang relevan dan
secara langsung dari objek penelitian yang dimaksud. Beberapa teknik pengumpulan data yang digunakan oleh penulis meliputi:
1.
Wawancara dan Kuesioner Dalam metode ini merupakan suatu metode lapangan yang digunakan
penulis dengan cara memberikan sejumlah pertanyaan baik lisan maupun tulisan dari pihak – pihak yang terkait, untuk mendapatkan jawaban langsung yang mendukung pemecahan masalah dalam penelitian ini. 2.
Studi Pustaka Teknik pengumpulan data ini dengan menggunakan penelitian kepustakaan
(library search). Data yang digunakan adalah data-data sekunder seperti bukubuku, peraturan-peraturan, perundang-undangan, laporan, majalah, koran maupun media online serta bahan lain yang dianggap relevan dalam penelitian ini. 20
I.7.5 Teknik Analisis Data Sesuai dengan metode penelitian dalam menganalisis data, pada penelitian ini teknik analisis data yang digunakan adalah teknik kualitatif, yaitu teknik tanpa menggunakan alat bantu dengan rumus statistik. Metode Kualitatif dapat didefinisikan sebagai proses penelitian yang menghasilkan data deskriptif yang
20
Burhan Bungin, Metode Penelitan Sosial, Surabaya: Airlangga University Press, 2001, hal 4.
Universitas Sumatera Utara
mengkaji masalah secara kasus perkasus. Tujuan dari metodologi ini merupakan pemahaman secara mendalam pada suatu masalah.
I.8
SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika penulisan merupakan penjabaran rencana penulisan untuk lebih mempermudah dan terarah dalam pembahasan karya ilmiah ini. Maka penulis membagi sistematika penulisan terdiri dari empat bab, antara lain: BAB I
PENDAHULUAN Pada bab ini merupakan pendahuluan yang berisikan mengenai Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Kerangka Teori, Metodologi Penelitian dan Sistematika Penulisan.
BAB II
DESKRIPSI KANWIL KEMENTERIAN AGAMA PROV. SUMATERA UTARA Pada bab ini diuraikan mengenai gambaran umum dan keadaan lokasi penelitian. Bab ini berisi tentang deskripsi Kanwil Kemenag Provinsi Sumatera Utara, Pegawai Negeri Sipil yang terpilih secara acak sebagai responden.
BAB III ANALISIS DATA Dalam bab ini berisikan tentang penyajian data-data yang diperoleh dari penelitian yang dilakukan dalam penyebaran angket mengenai Netralitas Pegawai Negeri Sipil terhadap Pemilukada Sumatera Utara 2013 dengan Studi Analisis pada Kantor Kementerian Agama Provinsi Sumatera Utara dengan menggunakan teori yang digunakan penulis untuk memecahkan masalah yang diteliti.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV PENUTUP Bab ini merupakan Bab terakhir dari skripsi penulis yang berisikan tentang kesimpulan yang diperoleh dari hasil-hasil pembahasan pada bab-bab sebelumnya serta terdapat juga saransaran yang mungkin berguna bagi masyarakat umum.
Universitas Sumatera Utara