BAB I PENDAHULUAN I.1.
LATAR BELAKANG
1.1.1. Kampus sebagai Generator Pertumbuhan Kawasan. Ketika sebuah kampus Perguruan Tinggi berdiri pada suatu kawasan, maka dapat dipastikan akan berdatangan para mahasiswa yang ingin menuntut ilmu di kampus tersebut. Jumlah mahasiswa yang datang akan tergantung pada bidang ilmu yang ditawarkan. Mahasiswa yang datang tidak hanya berasal dari daerah sekitar kampus itu berdiri, mungkin juga berasal dari luar daerah yang jumlahnya tidak sedikit pula. Dengan keberadaan mahasiswa yang jumlahnya tidak sedikit itu maka dibutuhkan fasilitas-fasilitas penunjang yang tidak sedikit pula. Kemudian mulailah bermunculan fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan oleh para mahasiswa di sekitar lokasi kampus. Fasilitas-fasilitas pendukung tersebut tidak hanya disediakan oleh pihak kampus akan tetapi juga disediakan oleh pihak ketiga, dalam hal ini adalah masyarakat di sekitar lokasi kampus. Lama-kelamaan jumlah fasilitas yang ada semakin bertambah, dan tentu saja peluang usaha yang ada ini menarik pihak-pihak dari luar untuk ikut membuka usaha di sekitar lokasi kampus. Maka pada akhirnya terjadilah perkembangan yang luar biasa pada hampir semua lokasi pengembangan kampus. Daerah di sekitar kampus kemudian berkembang menjadi daerah permukiman dengan fasilitas-fasilitas penunjangnya, dan dalam jangka waktu yang tidak lama telah berkembang menjadi sebuah kota. Gambar 1.1. menunjukkan bahwa kawasan di sekitar lokasi pembangunan Gedung Balairung Kampus Universitas Gadjah Mada pada tahun 1951 masih berupa areal persawahan, sangat berbeda sekali dengan keadaan pada tahun 1999 yang telah berubah menjadi daerah permukiman yang sangat padat (Gambar 1.2).
1
Gambar 1.1. Foto pembangunan Balairung UGM tahun 1951 menunjukan sekitar wilayah kampus UGM masih berupa persawahan. Sumber : www.Wikipedia.com
Gambar 1.2. Foto udara tahun 1999 menunjukan perkembangan kawasan yang pesat di sekitar wilayah kampus UGM. Sumber : Google earth
1.1.2. Berkurangnya Ruang Publik Kota. Pada awal perkembangannya, beberapa kota besar di Indonesia dirancang sebagai kota taman (garden city) yang mengedepankan ruang publik atau ruang terbuka sebagai elemen utamanya, namun saat ini pemanfaatannya jauh dari apa yang sudah dirancang. Kebayoran Baru sebagai contohnya, pada tahun 70-80-an fasilitas ruang publik masih dapat dinikmati oleh masyarakat dengan baik. Namun sekarang, ruang publik di kota Jakarta semakin jauh dari gambaran sebagai tempat berinteraksi yang
2
nyaman, memadai dan aman. 1 Ruang publik yang ada tidak terjaga kebersihannya, kotor dan semrawut oleh keberadaan pedagang kaki-lima. Ruang publik yang ada juga rawan terhadap tindak kriminal. Fasilitas-fasilitas publik yang disediakan banyak yang ditemukan rusak akibat aksi vandalisme, bahkan ada pula yang sulit diakses publik secara bebas. Pembangunan kota-kota di Indonesia akhir-akhir ini banyak yang kurang sesuai dengan prinsip-prinsip dasar dalam penataan bangunan maupun dalam hal tata ruangnya. Kecenderungan tersebut dapat terlihat dengan adanya pergeseran keberadaan ruang publik kota menjadi ruang kota yang lebih kompleks. Pembangunan kota tidak diimbangi dengan penyediaan ruang publik sebagai tempat interaksi sosial antar warganya. Ruang publik memiliki banyak fungsi, yaitu sebagai tempat masyarakat bersosialisasi, mengekspresikan pandangan serta jiwa mudanya, menjalankan aktivitas kesenian-lingkungan hidup serta bahkan menjadi tempat interaksi komunitas lansia. Herry Zudianto, mantan Walikota Yogyakarta berpendapat bahwa2 keberadaan fasilitas sosial di kampung saat ini jauh semakin berkurang, sehingga masyarakat tidak memiliki ruang untuk bersosialisasi. Padahal sebenarnya ruang publik sangat diperlukan untuk berbagai keperluan, mulai dari dialog antar warga, sebagai tempat olahraga, berkesenian, dan kegiatan lain yang mampu menumbuhkan kebersamaan di dalam kehidupan bermasyarakat. Kepadatan penduduk di Kota Yogyakarta tidak dapat diimbangi dengan ketersediaan ruang publik yang layak untuk kegiatan masyarakatnya (Gambar 1.3). Sebagai contoh, Kecamatan Gedongtengen, Danurejan, dan Ngampilan, dengan kepadatan penduduk 27.900-28.900 jiwa/km2 hanya memiliki ruang publik dengan luas rata-rata 400m2 saja.
1
Sambutan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah dalam rangka Seminar Manajemen Ruang publik Jakarta yang diselenggarakan oleh : Ikatan Mahasiswa Perencanaan Indonesia KORWIL II Jakarta, 24 Juli 2002 2 Kompas, Rabu, 6 Agustus 2008, Pemkot Perbanyak Ruang Publik, Antisipasi Fasilitas Sosial di Kampung yang Makin Habis, Defri Werdiono dan Lukas Adi Prasetya.
3
Gambar 1.3. Peta Kepadatan Penduduk dan Ruang Publik di Kota Yogyakarta Sumber : Litbang Kompas/ BIM, diolah dari Bappeda Kota Yogyakarta, BPS, dan berbagai sumber
Sedangkan kondisi dari ruang publik yang tersedia sebagian besar masih berupa lahan kosong saja dan belum direncanakan dan dikembangkan sebagai ruang publik yang baik (Gambar 1.4).
\ Gambar 1.4. Peta Kondisi Ruang Publik di Kota Yogyakarta Sumber : Bagian Tata Pemerintahan Sekda Kota Yogyakarta, dan pengamatan Kompas
4
Kekurangan ruang publik dalam jangka panjang dapat mengakibatkan efek yang kurang baik bagi kondisi psikis warganya. Berkurangnya ruang publik akan membuat warga lebih banyak melakukan aktivitas yang dapat menyenangkan diri sendiri daripada besosialisasi atau berinteraksi dengan alam. Minimnya ketersediaan ruang publik membuat warganya menjadi autistik, terperangkap dalam dunianya sendiri. Budaya individualis ini akan tertanam sedikit demi sedikit di dalam diri anak di kota ini seiring waktu. Dan tentu saja hal ini tidak baik bagi perkembangan diri mereka, karena budaya individualis itu lekat dengan budaya hostile-mudah berkonfrontasi dengan orang lain. Berkurangnya ruang-ruang publik mendorong orang untuk mencari ruang-ruang publik yang lain. Bentuk-bentuk baru ruang publik yang berkembang berupa atrium mal, kawasan kampus, bahkan tempat-tempat peribadatan.
1.1.3. Penggunaan Ruang Terbuka di Kawasan Kampus sebagai Pasar Tiban. Kota sebagai wadah spasial bagi segala aktivitas masyarakatnya memiliki berbagai macam jenis kegiatan yang terus berkembang seiring dengan tumbuhnya perkotaan itu. Aktivitas penduduk kota bisa dikelompokan menjadi kegiatan yang bersifat formal dan non-formal/informal. Salah satu kegiatan yang bersifat informal adalah aktivitas pedagang kakilima (PKL). Karena sifat kegiatannya yang bersifat informal, karakteristik kegiatan PKL adalah sementara, tidak ada keteraturan, dan seringkali menggunakan area-area yang sebenarnya tidak sesuai/ tidak pada tempatnya, sehingga keberadaan PKL seringkali dianggap sebagai penyebab terjadinya kemacetan, pencemaran lingkungan, dan kekumuhan. Area-area yang digunakan untuk kegiatan PKL biasanya merupakan area publik yang memiliki fungsi tersendiri, seperti trotoar untuk jalur pejalan kaki dan kadang sampai memanfaatkan jalan yang ada di depannya. Hal tersebut membawa konsekuensi bertambahnya fungsi yang harus diwadahi oleh ruang publik sebagai tempat terjadinya aktivitas ekonomi, sehingga seringkali terjadi konflik pada penggunaan ruang-ruang publik ini, antara kegiatan yang bersifat publik itu sendiri dengan kegiatan ekonomi yang berkembang pada area yang sama.
5
Sebuah fenomena menarik terjadi di lingkungan kampus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada setiap hari Minggu pagi. Pada hari Minggu pagi lingkungan kampus Universitas Gadjah Mada dimanfaatkan masyarakat untuk kegiatan olahraga seperti lari pagi ataupun sekedar jalan santai dan juga dimanfaatkan untuk kegiatan pasar hari Minggu pagi (Sunday Morning Market). Pasar yang rutin keberadaannya setiap hari Minggu pagi ini ibaratnya seperti one stop shopping, mewakili keinginan orang untuk bertambah bugar, kenyang, sekaligus tampil lebih modis. Masyarakat melakukan aktivitas lari pagi atau senam di seputaran Gedung Grha Sabha Pramana, kemudian mereka makan pagi di tempat itu juga, dan dilanjutkan berbelanja di pasar Minggu pagi di sepanjang Jalan Prof. Dr. Notonegoro. Fenomena menarik ini sudah berlangsung selama beberapa tahun dan semakin berkembang, tidak hanya dari jumlah pengunjungnya saja, tetapi juga dari jenis barang yang dijajakan. Pada saat ruang publik sudah semakin jarang di kota ini ataupun yang ada sudah terasa tidak nyaman karena kurang terawat, lingkungan kampus UGM menawarkan kenyamanan beraktivitas di hari libur, terutama di pagi hari, sekaligus daya tarik untuk berburu barang-barang yang fungsional dengan harga relatif murah. Aktivitas olahraga dan makanan lebih dahulu muncul jauh sebelum fenomena pasar Minggu berkembang. Masyarakat yang tinggal di sekitar kampus melakukan lari pagi, senam, hingga bermain futsal di area kampus, sementara itu para pedagang menjajakan aneka masakan, mulai dari bubur ayam, opor ayam, hingga nasi uduk yang digelar di seputaran lembah UGM. Saat ini, puluhan pedagang yang menjajakan makanan secara lesehan dan barang dagangan yang bermacam-macam tersebar di UGM tiap Minggu pagi. Setelah mengalami beberapa kali perpindahan lokasi, kegiatan pasar minggu pagi (Sunday Morning Market) oleh pihak Kampus Universitas Gadjah Mada diberikan tempat di sepanjang jalan Prof. Notonagoro sampai dengan jalan Olahraga, menempati lajur jalan sebelah timur. Jumlah PKL yang semakin bertambah dengan ragam dagangan yang semakin bervariasi menjadi daya tarik tersendiri bagi para pengunjung yang semakin hari juga semakin meningkat jumlahnya. Kondisi lingkungan fisik yang cenderung tidak banyak berkembang dan pertumbuhan jumlah PKL serta pengunjung
6
yang semakin meningkat menimbulkan kecenderungan terjadinya konflik. Konflik dapat terjadi karena adanya perbedaan kepentingan antara PKL, pengunjung, maupun pengguna jalan yang lain. Perbedaan kepentingan ini kemungkinan akan dapat mempengaruhi perilaku masing-masing pihak yang melakukan aktivitas pada kegiatan pasar minggu pagi ini.
I.2.
TUJUAN DAN SASARAN Tujuan dari penelitian ini adalah mengungkapkan fenomena perilaku pergerakan
dan preferensi pengunjung pada kegiatan pasar tiban/ pasar minggu pagi (Sunday Morning Market) di kawasan Kampus Universitas Gadjah Mada dalam rangka untuk memberikan rekomendasi/ arahan untuk penataan area kegiatan perdagangan informal dalam hal ini adalah pasar tiban yang memanfaatkan lajur jalan. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka ditentukan sasaran-sasaran penelitian sebagai berikut: 1. mengidentifikasi kondisi eksisting lingkungan fisik kampus yang dimanfaatkan untuk kegiatan publik/ pasar tiban/ pasar minggu pagi (Sunday Morning Market). 2. mengidentifikasi perilaku pergerakan pengunjung pada kegiatan pasar tiban/ pasar minggu pagi (Sunday Morning Market). 3. mengidentifikasi preferensi pengunjung (area/ lokasi yang menjadi area favorit maupun tidak favorit bagi para pengunjung). 4. mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi suatu area/ lokasi pada kegiatan pasar tiban/ pasar minggu pagi (Sunday Morning Market) menjadi favorit ataupun tidak (preferensi pengunjung).
I.3.
RUMUSAN PERMASALAHAN DAN PERTANYAAN PENELITIAN Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah perilaku pergerakan
serta preferensi pengunjung yang memanfaatkan ruang terbuka pada kawasan Kampus Univerisitas Gadjah Mada untuk kegiatan pasar tiban/ pasar minggu pagi (Sunday Morning Market).
7
Permasalahan tersebut kemudian dijabarkan ke dalam pertanyaan-pertanyaan penelitian: 1. bagaimanakah perilaku pergerakan pengunjung yang menggunakan ruang terbuka pada kawasan kampus untuk aktivitas publik dalam hal ini adalah pasar tiban/ pasar minggu pagi (Sunday Morning Market)? 2. bagaimanakah karakteristik dan faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi sebuah area bisa menjadi area yang favorit maupun tidak favorit bagi pengunjung kegiatan pasar tiban/ pasar minggu pagi (Sunday Morning Market)? 3. Bagaimanakah arahan untuk penataan area kegiatan perdagangan informal dalam hal ini adalah pasar tiban yang memanfaatkan lajur jalan?
I.4.
LINGKUP PENELITIAN
1.4.1. Lingkup Wilayah Sesuai dengan topik yang diangkat dalam penelitian ini, maka wilayah studi yang akan menjadi daerah amatan adalah sepanjang jalan Prof. Dr. Drs. Notonagoro sampai dengan jalan Olahraga di lingkungan kampus Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, yang dimanfaakan untuk kegiatan pasar tiban/ pasar minggu pagi (Sunday Morning Market).
I.5.
KEASLIAN PENULISAN Beberapa penelitian yang telah dilakukan terkait dengan materi yang dibahas
dalam penelitian ini tersaji dalam berikut : Tabel 1.1. Keaslian Penulisan 6533/PS/DK B/00
Tesis
Don
Sistem Tata Ruang
Atribut yang terjadi dalam interaksi/ hubungan
Yesriel
Terbuka, Studi
antara komponen manusia dengan komponen
Yohan
Kasus: Perilaku
setting fisik :
Kusa
Lingkungan
1. Kenyamanan
Banunaek
(Environment
2. Sosialitas
Behavior) Zona
3. Privasi
Kawasan Pusat
4. Aksesibilitas
Kampus Universitas
5. Kualitas elemen ruang terbuka
Gadjah Mada
8
Yogyakarta
Faktor-faktor
yang
mempengaruhi
perilaku
pengguna ruang publik: 1. Kedekatan dengan jalan 2. Ruang gerak/ sirkulasi untukpejalan kaki 3. Kelengkapan ruang terbuka (signage, telpon umum, tempat duduk, tempat sampah) 4. Pengaturan/ penataan PKL 5. Kenyamanan visual 6. Daya tarik/ kemenarikan 7. Vegetasi/ pelindung 03/164572/T
Skripsi
Novan
Manajemen Ruang
Toleransi dan komitmen dari institusi UGM
K/28058
PWK
Kurnia
Publik,
merupakan kunci dari keberlanjutan kegiatan
Mayana
Studi Kasus : Pasar
pasar minggu pagi di kawasan kampus UGM
Minggu Pagi UGM
Pola, karakter, dan ciri utama dari manajemen pasar minggu pagi adalah mixed-management dimana pengelolaan operasional dan kontrol dilakukan oleh dua struktur formal-informal yaitu antara UGM dan paguyuban PKL.
03/172072/T
Skripsi
K/29207
PWK
Fabri Fideri
Kualitas Jalur
Persepsi
Pedestrian sebagai
berikut:
Ruang Publik
masyarakat
dapat
dilihat
sebagai
Persepsi negatif, yaitu respon yang diberikan
berdasarkan Persepsi
responden
Masyarakat,
ketidakpuasan/ ketidaknyamanan terhadap
Studi kasus : Jalan
kondisi
Kesehatan
(responden merasa tidak sesuai dengan
berupa lingkungan
penilaian yang
rasa
dirasakannya
kondisi lingkungannya)
Persepsi positif, yaitu respon yang diberikan responden berupa tanggapan penerimaan terhadap kondisi lingkungannya (responden merasa
nyaman
dengan
kondisi
lingkungannya) Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas jalur pedestrian adalah :
Aktivitas PKL dan parkir. Aktivitas PKL dan parkir
mengganggu
sirkulasi
perjalanan
pejalan kaki, karena dengan keberadaan kedua aktivitas ini maka pejalan kaki harus mengalah dan berjalan pada jalur kendaraan.
Desain/model jalur pedestrian. Desain/model
9
jalur
pedestrian
sepanjang
ruas
jalan
kesehatan ini kurang aksesibel dan tidak berkesinambungan. Hal ini dapat terlihat dari berbagai macam ukuran-ukuran pedestrian.
Kondisi lingungan. Kondisi lingkungan yang kurang
nyaman
mempengaruhi
kualitas
kenyamanan dan mengakibatkan persepsi masyarakat
menjadi
negatif,
misalnya
lingkungan yang kotor, panas, semrawut, dll.
25401033
Tesis
Sigit
Prinsip Perancangan
Penurunan kualitas lingkungan fisik sebuah
Dwiananto
Alun-alun Kota
ruang publik disebabkan antara lain oleh:
A
Yogyakarta
penyalahgunaan ruang, seperti penggunaan jalur pedestrian untuk PKL
penurunan kondisi komponen perancangan
konflik antar aktifitas dalam ruang, terutama antara aktifitas aktif dan pasif, dan antara komponen perancangan (seperti PKL) dengan aktifitas, yang disebabkan karena kurang tertatanya komponenkomponen perancangan
kurangnya perawatan terhadap komponen perancangan yang telah ada, seperti lampu jalan yang rusak, tempat sampah yang tidak bisa dipakai, dan sebagainya.
10