BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Salah satu pengkajian yang sangat penting untuk dibahas dan harus segera dicari solusi penyelesaiannya adalah upaya perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum (selanjutnya disingkat ABH). Anak merupakan bagian dari konstruksi sosial tidak terlepas dari permasalahan social, anak bisa saja terjebak dalam melakukan kejahatan, perbuatan tercela, maupun perbuatan yang melanggar ketentuan hukum. Angka kriminalitas yang cenderung meningkat menunjukkan besarnya dimensi kejahatan, perbuatan kriminal tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa tetapi juga anak-anak, apalagi dengan berbagai pbrkembangan dan kecanggihan teknologi menjadi salah satu faktor yang menyebabkan anak terlibat dalam melakukan perbuatan melawan hukum (kejahatan). Menurut data dari Departemen Kehakiman dan Hak Asasi manusia (sekarang Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia) pada Mei Tahun 2003, jumlah anak se lndonesia yang bermasalah dengan hukum berada di Lembaga Permasyarakatan dan rumah tahanan negara berjumlah 3004 anak. Di Medan anak pelaku kejahatan usia 13-18 tahun pada tahun 1999-2004 berjumlah 499 orang (Marlina, 2009: 9), pada tahun 2008 berjumlah 5760 ABH (DS.Dewi, 2011:47). Angka tersebut menunjukkan fenomena ini sangat mengkhawatirkan bahkan 57 % ABH bercampur
dengan orang dewasa, secara nasional data ABH dapat dilihat dalam grafik berikut: Melihat fenomena tersebut, perlakuan terhadap anak dan orang dewasa yang melakukan kejahatan tidak jauh berbeda. walaupun dengan bentuk dan bahasa yang berbeda anak juga dihukum bahkan lebih kurang 90% ABH dipenjara sehingga diperlakukan sama sebagai seorang kriminil. Padahal anak seharusnya mendapat pemisahan stigma dalam hal ini karena secara psikologis dalam periode usia di bawah umur kepribadian anak belum stabil dan terbentuk utuh dan gampang terpengaruh, oleh sebab itu pada hakikatnya perbuatan melawan hukum atau kejahatan yang dilakukan anak tidak dapat dipertanggungjawabkan, anak bukanlah pelaku kriminal murni dan perlu perlindungan dari berbagai pihak. Hukum di lndonesia telah menetapkan anak yang melakukan tindak pidana diatur dalam undang-undang khusus yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
tentang
pengadilan
Anak.
Ketetentuan
undangundang
ini
memberikan perlakuan khusus terhadap anak yang melarrr"n tindak pidana, diantaranya: Hakim, penuntut umum, penyidik dan Penasihat hukum dan petugas lainnya dalam sidang anak tidak memakai toga atau pakaian dinas (Pasal 6), Sidang anak dilakukan secara tertutup (Pasal 8 ayat 1), Hakim sidang anak adalah hakim khusus (pasal 9), Perkara anak diputus oleh hakim tunggal (pasal 11 ayat 1), Adanya peran pembimbing kemasyarakatan daram sidang perkara anak (pasal 34 ayat 1) penyidik terhadap anak nakar adalah penyidik khusus (pasal 41 ayat 1), penyidik
wajib memeriksa dalam suasana kekeluargaan dan wajib dirahasiakan (Pasal 42 ayat 1), penahanan dilakukan setelah dengan sungguh-sungguh mempertimbangkan kepentingan anak (pasal 45 ayat 1), penempatan tahanan anak di ruang khusus anak (pasal 45 ayat 3), ketentuan khusus lainnya. Proses peradilan bagi ABH wataupun telah didesain untuk kepentingan anak tetapi lebih mengedepankan proses hukum (pidana) daripada pengenyampingan pidana, anak yang melanggar hukum tetap harus berhadapan dengan polisi, jaksa serta hakim, dan anak juga tetap dapat dipenjara. untuk itu perlu didesain suatu model perlindungan khusus bagi
anak
yang
terlibat
dalam
persoalan
pidana
dengan
mengenyampingkan hukuman pidana dan mengedepankan keadilan dan kepentingah bagi anak. Model perlindungan bagi ABH dalam penelitian ini adalah Model Mediasi Penal Berbasis Restorative Justice Dalam Penyelesaian perkara Pidana Anak di Pengadilan. Restotative Justice (Keadilan Restorasi) merupakan bentuk alternatif penyelesaian tindak pidana yang diarahkan kepada penyelesaian informal dengan melibatkan semua pihak yang terkait dalam tindak pidana yang terjadi. penyelesaian dengan konsep restorative justice merupakan bentuk penyelesaian tindak pidana yang telah berkembang di beberapa negara dalam penanggulangan kejahatan ,Marlina, 2009;17).
Model Mediasi Penal Berbasis Restorative Justice ini dirancang akan dalam menyelesaikan perkara pidana yang melibatkan anak. Mediasi Penal merupakan salah satu bentuk alternatif penyelesaian sengketa, Dalam mediasi ada pihak yang menjadi penengah (mediator) dari kedua belah pihak. pada perkara pidana kedua belah pihak adalah pelaku tindak pidana dan korban. Dalam konteks proses peradilan anak, pelakunya adalah ABH dan di pihak lain adalah korban daritindakan anak. Dengan menggunakan basis Mediasi Penat ini akan dikembangkan suatu model Keadilan Restorasi untuk menyelesaikan perkara pidana anak
dengan
menerapkan
win-win
solution
(solusi
yang
dapat
diterima/menyenangkan kedua belah pihak) baik anak sebagai pelaku di satu sisi dan korban di sisi rain tanpa mengedepankan hdkum (pidana). Tentunya hal ini diharapkan dapat memberikan penanganan yang baik terhadap kepentingan anak dalam proses peradilan pidana.
B. Tujuan Penelitian Perkembangan hukum selalu sejalan dengan perkembangan masyarakat. Masyarakat modern menghendaki hukum khususnya hukum pidana ramah terhadap anak, bukan karena pemberlakuan hukum yang diskriminatif tetapi lebih kepada upaya untuk memberikan perlindungan komprehensif bagi anak termasuk anak yang terlibat dalam persoalan hukum.
Pentingnya pengkajian dan penelitian yang dapat menemukan solusi yang tepat dalam menyelesaikan masalah peradilan anak maka beberapa hal yang perlu dikaji dan menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah:
Mengetahui
pengaturan
hukum
yang
digunakan
dalam
penyelesaian perkara pidana anak. Mengetahui dan menganalisis proses, prosedur dan mekanisme yang digunakan dalam penyelesaian perkara pidana anak di lndonesia.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Anak dan Peradilan Pidana Anak Hukum positif di lndonesia tidak memberikan pengaturan yang tegas berkaitan dengan pengertian dan kriteria anak. Sebagai contoh pada Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) menentukan bahwa anak merupakan seseorang yang belum mencapai usia 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak lebih dahulu kawin. Menurut undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 mengatur anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang berada dalam kandungan (L Riza Zarzani, Juliana, 2011:12). Pengertian anak menurut Wiryono Prodjodikoro .dalam Maidin disebut dertgan sesorang yang belum dewasa (minderjaring/ person under age), orang yang di bawah umur (minderjarigheid/infeioiti) atau kerap juga disebut sebagai anak yang di bawah pengawasan wali (mindeijarige ondervoordij), Hukum Adat menentukan seseorang dikatakan belum dewasa bukan dari umurnya, tetapi ukuran yang dipakai adalah: dapat bekerja sendiri, cakap melakukan sesuatu, sedangkan dalam Hukum lslam, batas dewasa ditentukan jika laki-laki sudah akil baligh dan perempuan sudah mengalami menstruasi. (Maidin, 2006: 31) Memperhatikan pengertian anak yang terah dijelaskan sebelumnya, ternyata hukum positif lndonesia (ius constitutum/ius operatum) belum
mengatur adanya unifikasi hukum yang baku dan berlaku universal untuk menentukan kriteria batasan umur bagi seorang anak. Berikut ini akan dijelaskan secara lebih detail dan terperinci ada beberapa kategori tentang batasan umur bagi seorang anak menurut hukum di lndonesia, yaitu: 1. Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1997 (LNRI Tahun 1997 Nomor.3, TLNRI Nomor: 3668) tentang Pengadilan Anak. Dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 ditentukan bahwa anak merupakan orang yang mencapai umur 8 tahun sampai sebelum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin. 2. Undang-Undang Rl Nomor: 12 tahun 1995 (LNRI tahun 1995 Nomor 77 TLNRI 3614) Tentang Pemasyarakatan. Menurut ketentuan Pasat 1 angka 8 huruf a, b dan c, untuk dapat dididik di Lapas Anak adalah paling lama sampai berumur 18 tahun dan untuk anak sipil guna dapat ditempatkan di Lapas Anak maka perpanjangan penempatannya hanya boleh paling lama sampai berumur 18 tahun (pasal 32 ayat (3) uu No.12/1995) dan ketentuan batasan umur ini indentik dengan “convention on the rights of the child” (Konvensi tentang hak-hak anak). 3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 1 ayat (1) dan pasal 50 ayat (1) UU No.1/1974 maka batasan untuk disebut anak adalah belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
4. Undang-Undang Nomor: 8 tahun 1981 ( LNRI 1981 Nomor: 76, TLNRI 3209) tentang Kitab Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 batasan umur anak di sidang pengadilan yang boleh diperiksa tanpa sumpah dipergunakan batasan umur di bawah 15 tahun dan belum pernah kawin (pasal 171 KUHAP) dan dalam hal-hal tertentu hakim "dapat" menentukan anak yang belum mencapai umur 17 tahun tidak diperkenakan menghadiri sidang (pasar 153 ayat (5) KUHAP dan Penjelasannya). 5. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (stb 847 Nomor 23). Berdasarkan ketentuan Pasal 330 KUHPerdata maka anak adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan belum kawin. 6. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 (LNRI tahun 1979 Nomor: 3143, TLNRI Nomor: 3367) Tentang Kesejahteraan Anak. Menurut ketentuan Pasal 1 ayat (2) UU No. 4 Tahun 1979 maka anak adalah seseorarig yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin. 7. Kitab undang-Undang Hukum pidana (KUHP). Menurut ketentuan Pasal 45 KUHP maka batasan anak adalah orang yang berumur, dibawah 16 tahun. Akan tetapi ketentuan ini berdasarkan ketentuan Pasal 47 UU No. 3 Tahun 1997 dinyatakan tidak berlaku lagi: Sedangkan apabila ditinjau batasan anak dalam KUHP sebagai korban kejahatan (victim of crime) sebagaimana Bab XIV ketentuan
Pasal 287, 290, 292, 294 dan 295 KUHP adalah berumur kurang dari 15 tahun. undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pada Pasal 1 ayat (1) butir (a), dijelaskan definisi anak yaitu sebagai berikut: Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun (delapan belas) tahun, termasuk anak yang dalam kandungan. Berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum positif indonesia tersebut maka ketentuan batas umur bagi seorang anak kriterianya bervariasi. Ada hukum positif lndonesia yang menentukan batasan umur seorang anak dengan batasan usia maksimal 18 tahun, di bawah 17 Tahun, di bawah umur 21 Tahun, di bawah 16 Tahun dan di bawah 15 tahun. Oleh karena itu, dengan lahirnya Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, maka semakin jelaslah bahwa apa sebenarnya definisi anak itu. Pengertian anak yang dikaji dalam penelitian ini adalah pengertian anak yang berhadapan dengan hukum (ABH). Menurut Uhdang-Undang No. 3 Tahuh 1997 tentang Pengadilan Anak, yang dimaksud anak adalah yang telah mencapai umur 8 tahun tetapi belum mencapai 18 tahun dan belum pernah kawin (Pasal 1 ayat (1)). Menurut undang-Undang Peradilan Anak ini ABH disebut dengan anak nakal. Anak nakal adalan anak yang melakukan tindak pidana atau anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-
undangan maupun peraturan lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan (Pasal 1 ayat (2)). lstilah anak berhadapan dengan hukum muncul dari Surat Keputusan Bersama (SKB) Ketua Mahkamah Agung, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Sosial, dan Menteri Pemberdayaan
Perempuan
dan
Anak tentang
penanganan
Anak
Berhadapan dengan Hukum, yang ditandatangani pada tanggal 22 Desember 2009. SKB ini dibuat sebagai payung hukum sementara bagi aparat hukum karena perangkat hukum yang ada sekarang tidak dapat dijadikan
landasan
bagi
pelaksanaan
keadilan
restorative
dalam
menangani kasus ABH (DS.Dewi, 2011: 9). Peradilan adalah tiang teras dan tandasan negara hukum. Peraturan hukum yang diciptakan memberikan manfaat apabila peradilan berdiri secara kokoh tanpa intervensi dan pengaruh dari manapun termasuk kekuasaan. Peradilan juga merupakan tempat setiap orang mencari keadilan dan menyelesaikan persoatan-persoalan tentang hak dan kewajibannya menurut hukum (Maidin, 2006: 65). Pemahaman dalam masyarakat tentang pengadilan memberikan pengertian bahwa lembaga tersebut merupakan institusi sosial yang dijadikan
tumpuan
untuk mencapai
keadilan bagi
semua
orang.
Pengadilan berjalan di atas ketentuan perundang-undangan ,untuk memenuhi keinginan masyarakat hidup tertib dan tentram.
Pengadilan
juga
sering
dijadikan
sebagai
jalan
terakhir
nenyelesaikan konflik atau permasalahan ketika institusi atau lembaga amnnya gagal menyelesaikannya. Penyelesaian permasalahan di sini termasuk juga institusi Pengadilan Anak yang bertugas untuk menangani perkara pidana yang melibatkan anak. pasal 2 Undang-Undang No.3 Tahun 1997 menentukan bahwa pengadilan Anak adalah pelaksana kekuasaan kehakiman yang berada di lingkungan Peradilan Umum. Istilah "peradilan" menunjukkan kepada lingkungan badan peradilan, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Militer. Sedangkan istilah "pengadilan" pengertiannya lebih mengacu kepada fungsi badan peradilan, karena suatu peradilan fungsinya menyelenggarakan pengadilan untuk memeriksadan mengadili perkara-perkara yang diajukan kepadanya. Dalam lingkungan peradilan tidak tertutup kemungkinan adanya pengkhususan, misalnya dalam peradilan umum ada Pengadilan Niaga, pengadilan HAM, pengadilan Hubungan lndustrial, termasuk di dalamnya pengadilan Anak. (Maidin, 2006: 70). Pengadilan Anak dilaksanakan dalam Sistem Peradilan Pidana Anak berbeda dengan system peradilan pidana bagi orang dewasa. Peradilan anak memiliki kekhususan dalam menangani perkara pidana yang melibatkan anak, meliputi aktivitas pemeriksaan dan pemutusan perkarapidana yang menyangkut anak. peradilan Anak merupakan rangkaian proses peradilan dimulai tingkat penyidikan hingga pengadilan
yang
dirancang
secara
khusus
memperhatikan
kepentingan
dan
kenyamanan anak. Perlakuan khusus ini meliputi: penyidik dan hakim khusus yang menangani perkara pidana anak, penahanan yang dilakukan dengan memperhatikan sebesar mungkin kepentingan anak, proses persidangan yang berbeda dengan orang dewasa baik dari tata ruJng pengadilan maupun pakaian penegak hukum dan lainnya. Tujuan Pengadilan Anak adalah memberikan proses dan keadilan yang paling baik bagi anak, tanpa mengorbankan kepentingan masyarakat dan penegakan hukum serta keadiran. Dalam mengadili suatu perkara, hakim berusaha mengakkan kembali hukum yang dilanggar, kemudian salah satunya melalui Pengadilan Anak. Melalui lembaga ini diupayakan suatu perlindungan bagi anak untuk mendidik tanpa mengabaikannya tegakknya keadilan. Pengadilan Anak bertujuan untuk mendidik kembali anak,
mengembalikan
perilakunya,
menyadarkannya
untuk
dapat
meninggalkan perbuatan buruk yang selama ini dilakukannya. Usaha ini dilakukan dalam rangka rehabilitasi dan resosialisasi dan kemudian menjadi landasan peradilan anak.
B. Mediasl Penal lstilah mediasi bukanlah hal yang baru daram pemahaman masyarakat. Hal ini dapat dibuktikan dari praktek musyawarah yang telah lama dilaksanakan masyarakat lndonesia. Budaya lndonesia yang kompromis, komunal dan kooperatif muncur di mana saja dalam berbagai
lapisan masyarakat. Masyarakat lebih menyukai penyelesaian sengketa dengan membawanya ke lembaga adat yang ada untuk diselesaikan dengan damai. Mediasi merupakan bentuk altemative penyelesaian sengketa. Dalam mediasi ada pihak ketiga yang berfungsi sebagai penengah (mediator). Mediator tidak memiliki kekuasaan memutus total seperti hakim, dalam posisi ini tugas dan fungsi mediator hanya mengarahkan bagaimana penyelesaian sengketa yang ada. (DS. Dewi, 2011: 68). Mediasi juga mensyaratkan adanya kesukarelaan atau iktikad baik dari pihak yang bersengketa untuk mencapai kompromi. Tanpa syarat ini mediasi tidak mungkin dilaksanakan atau gagat mencapai kesepakatan. Dalam praktiknya, mediasi penyelesaian sengketa bisa digunakan dalam beberapa model/ pendekatan. Namun penggunaan model ini tidak dilakukan secara kaku/ rigid. Mediator bisa saja menggunakan salah satu model
kemudian
merubahnya
karena
kondisinya
berbeda
atau
menggunakan model atau pendekatan yang lain. Terdapat beberapa bentuk mediasi yang sering digunakan dalam penyelesaian sengketa yaitu mediasi formal dan mediasi informal komunitas.. Mediasi formal merupakan mediasi yang diterapkan di pengadilan dalam penyelesaian perkara perdata. Konsep mediasi formal dilawarkan dalam hukum acara perdata yang sudah ada ratusan tahun yang lalu, kemudian secara formal dikeluarkan paeraturan Mahkaman Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di pengadilan.
Mediasi formal memiliki kekuatan eksekutorial sama seperti putusan hakim. sedangkan mediasi informal komunitas adalah mediasi yang digunakan untuk semua jenis sengketa baik bersifat privat maupun yang bersifat public, termasuk di dalamnya mediasi untuk kasus kejahatan atau tindak pidana. Hal ini sesuai dengan sifat mediasi komunitas yang lebih mementingkan harmoni di tengah masyarakat (keadilan restorasi) dibandingkan memberikan hukuman bagi pelaku. Mediasi penal (penal mediation), dalam bahasa Belanda disebut strafbemiddelingg, dalam Bahasa Prancis disebut de mediation penale, ciri khas mediasi penal ini terdapat pada upaya mempertemukan pelaku tindak pidana dengan korban. Semakin banyaknya penggunaan rnediasi penal sebagai alternatif sistem peradilan pidana untuk ABH karena keunggulan-keunggulan yang ditawarkan, seperti fleksibilitas, kecepatan waktu penyelesaian, biaya yang rendah, dan kekuasaan yang dimiliki para pihak untuk menentukan proses dan kekuasaan yang diinginkan. Selain itu Mediasi penal sebagai altematif sistem peradilan pidana saat ini diharapkan dapat mengurangi penumpukan perkara, memberikan akses, yang luas kepada para pihak untuk memperoleh keadilan, dan lkan fungsi lembaga pengadilan dalam ng proses menjatuhkan pemidanaan. Pelaksanaan mediasi penal sebagai instrumen hukum Restorative Justice (Keadilan Restoratif) adalah diskursus baru dalam sistem hukum Indonesia yang menawarkan solusi yang komprehensif dan efektif dalam menangani permasalahan ABH, walaupun mediasi sebenarnya bukanlah
metode penyelesaian sengketa yang baru dalam sistem hukum lndonesia. Dengan demikian apabila hakim berkeyakinan perkara anak yang diperiksanya telah memenuhi syarat-syarat /kriteria Restorative Juitice dengan cara pendekatan Restoratif Justice di ruang mediasi yang dihadiri pihak-pihak terkait (Pelaku/Orang Tua, Korban/Orang Tua, PK BAPAS, pembimbing Kemasyarakatan. Jaksa Anak, Hakim Anak, Perwakilan Komunitas Masyarakal! RT/ RW/ Kepala Desa/ Guru/ Tokoh Agama).
C. Restorative Justice Perangkat
hukum
yang
ada
saat
ini
belum
memberikan
penanganan yang baik terhadap ABH. Fakta di lapangan menunjukkan anak yang melakukan kejahatan setiap tahun semakin meningkat dan anak tersebut kemudian berhadapa dengan proses hukum yang selayaknya tidak didapatkan pada usianya. Berikut data ABH menurut jenis kelamin dan provinsitahun 2008: Penegakan
hukum
dan
upaya
penanggulangan
kejahatan
dilaksanakan dalam suatu sistem yang disebut dengan sistem peradilan pidana yang terdiri dari empat komponen penegak hukum yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasayarakatan (LAPAS). Sistem peradilan pidana menjadi benteng dalam mengurangi tingkat kejahatan dan keadilan bagi setiap orang. Sistem ini diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan sosial yang berdimensi hukum seperti kejahatan, perbuatan tercela maupun
perbuatan melanggar hukum lainnya dan dengan sistem ini juga diharapkan pelakunya kembali ke jalan yang benar. (Rusli Muhammad, 1999:45)= Rusli Muhammad (1999). Reformasi Sistem Pemasyarakatan. Yogyakarta: dalam Jurnal Hukum Ius Quia Iustum Nomo 1, Vol 6. Kegagalan dalam mewujudkan rehabilitasi moral pelaku disebabkan banyak faktor diantaranya perilaku tebang pilih atau pemberlakuan hukum secara diskriminatif membuat orang sering tidak percaya terhadap proses hukum. Kegagalan sistem Peradilan Pidana juga dirasakan daram har penyelesaian perkara pidana anak. Anak sebagai generasi muda penerus bangsa seharusnya menjadi objek perlindungan dalam proses peradilan tetapi menjadi sasaran pemberlakuan hukum yang juga diperlakukan bagi orang dewasa. sangat menyedihkan jika anak dalam usia sangat di bawah umur seharusnya belajar, bermain dan menikmati masa kanakkanak justru terpuruk dan mengalami keadaan tragis sebagai pesakitan di penjara. Dbn yang lebih menyakitkan lagi sebelum menerima hukuman terlebih dahulu anak harus menjalani proses peradilan pidana yang rumit dan melelahkan, dimulai
dari
kepolisian,
kejaksaan,
pengadilan
hingga
krnbaga
pemasyarakatan yang secara psikologis dapat merusak mental dan jiwa anak. Untuk itu diperlukan suatu konsep yang rebih ramah terhadap anak dalam proses peradilan pidana melalui penerapan konsep restorative Justice (keadilan restorasi).
Restorative Justice merupakan proses penyelesaian tindakan pelanggaran hukum yang terjadi dilakukan dengan membawa korban dan pelaku (Tersangka) bersama-sama duduk dalam satu pertemuan untuk bersama-sama
berbicara.
Dalam
pertemuan
tersebut
mediator
memberikan kesempatan kepada pihak pelaku untuk memberikan gambaran yang sejelas-jelasnya mengenai tindakan yang dilakukannya. Pihak pelaku yang melakukan, pemaparan sangat mengharapkan pihak korban untuk. dapat menerima dan memahami kondisi dan penyebab mengapa pihak pelaku melakukan tindak pidana yang menyebab kerugian pada korban. selanjutnya dalam penjelasan pelaku juga memaparkan tentang bagaimana dirinya bertanggung jawab terhadap korban dan masyarakat atas perbuatan yang telah dilakuakanya (Marlina, 2009:180). Restorative Justice (keadilan restoratif) adalah alternatif yang populer di berbagai belahan dunia untuk penanganan anak yang bermasalah dengan hukum karena menawarkan solusi yang komprehensif dan efektif (Bazemore & Schiff, 2005: 5). Restorative Justice (Keadilan Restoratif) bertujuan untuk memberdayakan para korban, pelaku, keluarga dan masyarakat untuk memperbaiki suatu perbuatan melawan hukum, dengan menggunakan kesadaran dan keinsyafan sebagai landasan untuk nnemperbaiki kehidupan bermasyarakat (pavlich, 2002: 1). Wright.M (1992: 525) menjelaskan bahwa konsep Restorative Justice pada dasarnya sederhana. Ukuran keadilan tidak lagi berdasarkan pembalasan setimpal dari korban kepada pelaku (baik secara fisik, psikis
atau hukuman), namun perbuatan yang menyakitkan itu disembuhkan dengan memberikan dukungan kepada korban dan mensyaratkan pelaku untuk bertanggungjawab, dengan bantuan keluarga dan masyarakat bila diperlukan. Perubahan paradigma tentang keadilan dalam hukum pidana merupakan fenomena yang sudah mendunia dewasa ini. Masyarakat lnternasional semakin menyadari dan menyepakati bahwa perlu ada perubahan pola pikir yang radikal dalam menangani permasalahan ABH. sistem peradilan anak yang sekarang berlandaskan pada keadilan retributive (menekankan keadilan pada pembatasan) dan restitutive (menekankan
keadilan
atas
dasar
pemberian
ganti
rugi)
hanya
memberikan wewenang kepada Negara yang didelegasikan kepada Aparat Penegak Hukum (Polisi, Jaksa, dan Hakim). petaku (ABH) dan korbannya sedikit sekali diberikan kesempatan untuk menyampaikan versi keadilan yang mereka inginkan. Negara yang menentukan derajat keadilan bagi korban dengan memberikan hukuman penjara pada pelaku. Karena itu tak heran tindak kriminal yang dilakukan ABH semakin meningkat karena di penjara mereka justru mendapat tambahan ilmu untuk melakukan kejahatan dan kemudian merekrut anak lain untuk mengikutinya. (DS.Dewi, 2012: 4). Proces Restorative justice menghendaki agar pelaku memaparkan tentang tdakan yang telah dilakukannya dan sebab-sebab mengapa sampai tindakan tersebut dilakukan pelaku, korban wajib mendengarkan dengan
teliti penjelasan pelaku. untuk selanjutnya pihak korban dapat memberikan tangapan atas penjelasan pelaku. Disamping itu, juga hadir pihak masyarakat yang mewakili kepentingan masyarakat. Wakil masyarakat tersebut memberikan gambaran tentang kerugian yang diakibatkan oleh telah terjadinya tindak pidana yang dilakuakan oleh pelaku. Dalam paparannya tersebut masyarakat mengharapkan agar pelaku melakukan suatu
perbuatan
atau
tindakan
untuk
memulihkan
kembali
keguncangan/karusakan yang telah terjadi karena perbuatannya (Marlina, 2009:181). Sebenarnya di lndonesia praktik secara restorative justice ini juga telah dilakukan sejak masa nenek moyang bangsa ini. Penyelesaiannya dilakukan melalui penyelesaian musyawarah yang dilakukan dengan rasa kekeluargaan. Praktik yang ada dalam rnasayarakat ndonesia terutama pada masyarakat adat merupakan sebagian dari tradisi dalam masyarakat yang mengedepankan permasalahan dengan arif dan bijaksana. Kontjaraningrat dalam Ardial
mengatakan Bangsa lndonesia
merupakan bangsa besar yang memiliki keragaman budaya. Setiap budaya
memiliki
permasalahan
berbagai
hidup
yang
kearifan dihadapi,
tersendiri
dalam
termasuk
menyikapi
kearifan
dalam
menyelesaikan konflik atau masalah. Kearifan inilah yang sering disebut sebagai kearifan lokal (local wisdom) (Ardial, 2009: 232). Kearifan lokal dalam menyelesaikan konflik dalam masyarakat Indonesia telah diterapkan untuk menyelesaikan berbagai permasalahan
termasuk persoalan yang menyangkut dengan hukum pidana. Dalam masyarakat adat tertentu diatur penyelesaian permasalahan secara musyawarah dengan duduk bersama diantara para pihak. Consedine dalam Dewi memberikan pendapat tentang pengertian Restorative justice (Keadilan restorasi): "Keadilan restorasi berlandaskan pada kemanusiaan kedua belah pihak, pelaku dan korban. Proses restoratif bertujuan untuk memulihkan luka semua pihak yang disebabkan oleh kejahatan yang dilakukan. Alternatif solusi dieksplorasi dengan berfokous untuk memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan (DS. Dewi, 2011.,29). Praktik-praktik yang ada tetap mempunyai dasar prinsip restorative justice
yang
telah
diakui
banyak
negara
yang
mana
dalam
pelaksanaannya kini telah diimplementasikan dalam sejumlah aturan dan pola atau cara. Bentuk praktik restorative justice yang telah berkembang di negara Eropa, Amerika serikat, canada, Australia, dan New Zealand dapat dikelompokkan dalam empat
jenis praktik yang menjadi pioneer
penerapan restorative justice di beberapa neara yaitu, Victim Offender, Medi ation, Conferencin/famili Group Conferencing Circles dan Restorative Board/ Youth Panels. Proses restorative justice terbaru yang pertama adalah victim offender mediation (VOM). Program Victim Offender Mediation pertama kali, dilaksanakan sejak tahun 1970 di Amerika bagian utara dan Eropa seperti Norwegia dan Filandia. VOM di negara baian Pennsylvania
Amerika Serikat menjalankan program tersebut dalam kantor pembelaan terhadap korban di bawah tanggung jawab Departemen penjara. Program tersebut berjalan dengan sebuah ruang lingkup kejahatan kekerasan termasuk pelaku yang diancam hukuman mati. (Marlina, 2009: 182). Proses restorative justice diarahkan pada pada penekanan dialog diantara korban yang di mungkinkan ikut serta bertukar pikiran sehubungan dengan akibat yang di timbulkan berupa trauma dari kejahatan dan menerima jawaban dan informasi tambahan dari pelaku yang telah menyakitinya. Hal tersebut membuat suatu kondisi antara pelaku dengan korban berada dalam posisi yang sejajar. Memberikan kesempatan diantara para phak untuk mengeluarkan segala perasaan dan meminta serta mencari solusi ide penyelesaian masalah yang berasal dari mereka sendiri. Permintaan untuk melakukan mediasi merupakan inisiatif dan usulan korban dan kehendak korban. Selanjutnya dilakukan upaya penyembuhan dan penghapusan kerusakan yang terjadi akibat tindakan pelaku. Upaya penyembuhan dan menghilangkan trauma yang terjadi dalam kurun waktu relatif agak lama yaitu menunggu pihak korban untuk bersedia melakukan perdamaian dan berniat ikut serta dalam program restorative justice yang akan dilaksanakan. Pelaku diundang untuk ikut berpartisipasi harus dengan suka rela. Victim offender mediation adalah satu proses yang menyediakan korban sebagai pokok dari kejahatan dan kekerasan untuk bertemu
dengan pelaku, dalam suasana aman dan teratur dengan tujuan membuat tanggung jawab langsung dari pelaku dengan adanya bentuk kompensasi kepada korban. Dengan bantuan dan dukungan mediator, korban memberitahu pelaku tentang bagaimana kejahatannya, untuk menerima jawaban atau bertanya kepada pelaku, dan dilibatkan secara langsung menyusun sebuah rencana ganti rugi kepada pelaku atas kehilangan dan kerugian yang diterima korban. pelaku dapat bertanggung jawab secara langsung atas kelakuannya, belajar mendapat akibat atas apa yang diperbuatnya dan untuk membangun rencana membuat ganti rugi kepada orang yang dilukai. Pada victim offender reconciliation beberapa prcgftrm victim offender, atau victim offender dialogue (Marlina, 2009: 187). Keadilan restorasi sampai saat ini belum mendapat landasan hukum yang kuat dalam perundang-undangan di lndonesia, walaupun nilai-nilainyh sudah terkandung dalam berbagai perundang-undangan yang menyangkut proses peradilan pidana anak. Di lndonesia, yang dimaksud
Restorative
Justice
(Keadilan
Restoratif)
adatah
suatu
penyelesaian secara adil yang melibatkan pelaku, korban, retuaLa rnereka dan pihak lain yang terkait dalam suatu tindak pidana secara hersamasama mencari penyelesaian terhadap tindak pidana tersebut dan mrplikasinya dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula. Salah satu upaya mengantisipasi tiadanya payung hukum ini kemudian dilakukan dengan menerbitkan Surat Keputusan Bersama
(SKB) yang ditandatangani antara Ketua Mahkamah Agung, Jaksa Agung, Kepala
Kepolisian
Rl,
Menteri
Hukum
dan
HAM,
dan
Menteri
Pemberdayaan Perempuan dan Anak pada tanggal 27 Desember 2009 tentang Penanganan Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum, hal ini rnerupakan terobosan baru dalam penanganan anak yang berhadapan denga hukum. Adapun syarat-syarat / kriteria Restorative Justice sebagai berikut: 1. Pengakuan atau pernyataan bersalah dari pelaku. 2. Persetujuan dari pihak korban / keluarga dan adanya keinginan untuk memaafkan pelaku. 3. Dukungan komunitas setempat untuk melaksanakan penyelesaian secara musyawarah dan mufakat. Konsep Keadilan Restorasi mewajibkan setiap aparat hukum yang mnnargarti
perkara
pidana
melakukan
diversi.
Menurut
sejarah
pertembangan hukum pidana kata "diversion" pertama kali dikemukakan sebagai kosa kata pada laporan pelaksanaan peradilan anak yang disampaikan Presiden Komisi Pidana Anak ( Prcsident 's Crime Commissions) Australia di Amerika Serikat pada tahun 1990 ( Cunneen and White, 1995 ;1 ). Sebelum dikemukakannya istilah diversi praktek pelaksanaan yang hcrruk seperti Diversi telah ada sebelum tahun 1960 ditandai dengan peradilan anak (Children's Courts) sebelum abad ke- 19 yaitu dari sistem peradilan pidana formal dan formalisasi polisi untuk peringatan (policy
cautioning). Prakteknya telah berjalan dinegara bagian Victoria Australia pada tahun 1959, diikuti oleh Negara bagian Queensland pada tahun 1963. (Marlina, 2008: 1). Menurut Jack E. Bynum dalam bukunya Juvenile Delinguency a socialogical approach, yaitu ( Jack E. Bynum, William E. Thompson, 2002: 430) :Diversion is ’'an attempt to divert, or channel out, youthful offenders from the juvenile justice system" (terjemahan penulis diversi adalah sebuah tindakan atau perlakuan untuk mengalihkan /menempatkan petaku tindak pidana anak keluar dari sistem peradilan pidana). (Marlina, 2008: 2). Adapun tujuan Diversi antara lain, adalah sebagai berikut : Mencapai perdamaian antara korban dan anak, Menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan, Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan, Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi, Menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak. D. Road Map Penelitian Penyelesaian perkara pidana anak selama ini dilakukan dengan dasar hukum UU No.3 Tahun lggz tentang pengadilan Anak, urutan Pemeriksaan perkara anak adalah sebagai berikut (DS.Dewi, 2011:106) : 1. Pada hari sidang yang telah ditentukan, jaksa menghadirkan terdakwa anak, selanjutnya disidangkan dalam ruang tertutup untuk umum.
2. Setelah hakim mananyakan identitas terdakwa, selanjutnya atas perintah hakim petugas Badan Pemasyaratan membacakan laporan penelitian kemasyarakatan. 3. Atas perintah hakim Jaksa Penuntut Umum membacakan dakwaan. 4. Apabila penasihat hukum terdakwa tidak mengajukan eksepsi atau keberatan atas dakwaan jaksa maka dilanjutkan dengan pemeriksaan saksi dan alat buktiyang diajukan jaksa penuntut umum ke pengadilan. 5. Hakim mendengarkan keterangan terdakwa. Selanjutnya apabila hakim berkeyakinan semua unsure yang didakwakan jaksa penuntut umum telah terbukti dan terdakwa mengakui perbuatannya, sedangkan saksi atas pertanyaan hakim berkeinginan untuk memaafkan terdakwa, maka terdakwa, maka criteria dari keadilan retoratif justice telah terpenuhi, yaitu: perkara kualifikasi ringan, terdakwa anak telah mengakui perbuatannya, saksi korban berkeinginan memaafkan, perwakilan masyarakat mendukung dan tidak berkeberatan untuk ikut bermusyawarah. 6. Selanjutnya hakim memberikan kesempatan kepada para pihak untuk melakukan musyawarah di ruang mediasi didampingi oleh pihak-pihak terkait. Persidangan ditunda untuk acara tuntutan dan hakim menghimbau para pihak untuk melakukan pertemuan di ruang mediasi Musyawarah di ruang mediasi ini bertujuan untuk mendapatkan ekses
keadilan
bagi
pelaku,
korban
dan
masyarakat.
SeUelum
menjatuhkan putusan berupa tindakan, hakim dapat terlebih dahulu
mempertemukan pelaku/orangtua, korban/orang tua, dan perwakilan masyarakat agar hakim dapat melakukan pendekatan keadilan restorative untuk mewujudkan putusan yang bukan saja mempertimbangkan legal justice, akan tetapi moral justice dan social justice agar tercapai kaseimbangan dalam masyarakat pasca putusan hakim. Pada pertemuan pertama mediasi penal, mediator membuka Proses tersebut dengan menyampaikan maksud dan tujuan pertemuan mediasi sebagai implementasi dari keadilan restorasi. Disampaikan pula bahwa tujuan pokok pertemuan mediasi adalah pemulihan bagi pelaku anak, korban, dan masyarakat serta menyambung ikatan persaudaraan antara korban, pelaku dan keluarga agar tidak timbul dendam dan amarah dikemudian hari. Penekanan proses ini adalah proses pernulihan pelaku agar menjadi pembelajaran dan pelaku tidak mengulanginya lagi. Peta Jalan (road map) penelitian dimulai dari prosedur dan mekanisme yang telah berjalan berdasarkan Undang-Undang Pengadilan Anak, UndangUndang Perlindungan Anak, dan undang-Undang Kekuasaan Kehakiman kemudian melahirkan desain model mediasi penal berbasis keadilan restorasi yang akan menjadi produk penelitian ini. Adapun road map secara utuh dapat dilihat pada bagan berikut:
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Metode Penelitian ini adalah studi normatif dengan pendekatan studi kasus. Studi kasus digunakan untuk mengkaji kasus trafficking berdasarkan fenomena yang berkembang di masyarakat mellaui studi dokumentasi, analisis kebijakan, analisisn surat kabar dan dokumen lainnya.
B. Sumber Data 1. Bahan Hukum Primer, yang diambil dari peraturan perundangan yang berkaitan dengan mediasi penal. 2. Bahan Hukum sekunder, yaitu informasi tentang bahan sekunder meneakup buku-buku, jurnal dan tulisan ilmiah.
C. Teknik Pengumpulan Data 1. Kajian literatur Berbagai literatur dipelajari dalam pengembangan model mediasi penal berbasis restorative justice dalam penyelesaian perkara pidana anak, buku, jurnal, putusan pengadilan, tulisan-tulisan di media massa, yang sernuanya ada kaitan dengan perkara pidana anak akan peneliti kaji dan gunakan untuk keperluan pembahasan data deskriptif yang didapat dani hasil kajian eksploratori.
2. Diskusi Terfokus (Focus Group Discussion) Langkah ini biasa dipakai untuk kelompok pemerintah dan non pemerintah. Data yang akan dibahas sekitar efektifitas mediasi penal
dalam rangka
penyelesaian
perkara
mewujudkan pidana
keadilan
anak
di
restorasi dalam
pengadilan
dengan
menghadirkan pakar hukum dan praktisi.
D. Teknik Analisis Data Penelitian ini dianalisis secara kualitatif terhadap indikator yang ftapkan. Analisis kualitatif yang dilakukan diharapkan dapat merBhasilkan data deskriptif., yaitu apa yang dinyatakan perilaku nyata brnudian ditetapkan transformasi
beberapa konflik.
indikator
dengan
Pendekatan
menggunakan
transfdrmasi
konflik
pendekatan merupakan
pendekatan yang dikembangkan John paul Lederach pakar mediasi dari Amerika Serikat (DS.Dewi,2011: 100).
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pengaturan Hukum Mediasi Penal dalam Peradilan pidana Anak Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh anak di bawah usia 8 tahun. Menurut Undang-undang No. 3 tahun 1997 (pengadilan Anak), batas usia anak nakal yang dapat diajukan ke pengadilan sekurangkurangnya 8 tahun dan belum mencapai 18 tahun. Terha-dap anak di bawah 8 tahun, penyidik dapat menyerahkan kembali anak ter-sebut kepada orang tua, wali, atau orang tua asuhnya apabila dipandang masih dapat dibina atau diserahkan kepada Departemen Sosial apabila dipandang tidak dapat lagi dibina oleh orang tua/ wali/orang tua asuh (Pasal 5 Undang -Undang No. 3 tahun 1997). Ketentuan
di
atas
hanya
memberi
kemung-kinan
adanya
penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan, namun belum merupakan "mediasi penal" seperti yang diuraikan di Penyelesaian di luar pengadilan berdasar Pasal 82 KUHP di atas belum meng-gambarkan secara tegas adanya kemung-kinan penyelesaian damai atau mediasi antara pelaku dan korban (terutama dalam masalah pemberian ganti rugi atau kompensasi) yang merupakan "sarana pengalihan/ diversi" (means of diversion)" untuk dihen-tikannya penuntutan maupun penjatuhan pidana. Walaupun Pasal 82 KUHP merupakan alasan penghapus penuntutan, namun bukan karena telah adanya ganti rugi/ kompensasi terhadap korban, tetapi hanya
karena
telah
membayar
denda
maksimum
yang
diancamkan.
Penyelesaian kasus pidana dengan memberi ganti rugi kepada korban, dimungkinkan dalam hal hakim akan menjatuhkan pidana bersyarat (Pasal 14c KUHP). Patut dicatat, ketentuan pidana bersyarat dalam KUHP inipun masih tetap berorientasi pada kepentingan pelaku (offender oriented), tidak "victim oriented". Upaya perlindungan anak yang melakukan tindak pidana sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak sudah banyak cara yang dilakukan oleh pemerintah dm pihak pihak terkait, namun cukup memprihatinkan kenyataan yang ada bukan semakin berkurang tetapi semakin bertambah dan merajalela dengan beraneka ragam modus operandinya. Anak-anak yang diciptakan oleh Tuhan dengan segala keindahan dan kesempurnaan, mereka memiliki masa depan, hak apapun yang ada didunia dan mereka hadir untuk dicintai. Sehingga mereka melakukan tindakan-tindakan yang terkadang mereka tidak mengetahui bahwa tindakan itu sangatlah berbahaya bagi mereka. Oleh karenanya masalah anak merupakan salah satu masalah pokok yang harus diperhatikan dan dipikirkan dalam kaitannya dengan pembinaan
generasi
penerus
bangsa
yang
terampil
dan
bertanggungjawab. Anak-anak baik yang menjadi korban ataupun mereka sebagai pelaku tindak kejahatan sudah barang tentu semuanya berurusan dengan hukum dan mereka pasti akan memperoleh cap ataupun lebel sebagai
penjahat cilik dan tidak mustahil masa depan cerah mereka akan berubah menjadi masa depan yang suram. Sebelum seseorang beranjak dewasa tentunya terlebih dahulu mereka akan melalui masa masa yang disebut dengan anak-anak. Berdasarkan undang-undang perlindungan anak, yang dimaksudkan dengan anak dah mereka yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan (UU No. 23 Tahun 2002). Sedangkan
menurut
undang-undang
pengadilan
anak
yang
dimaksudkan dengan anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pemah kawin (UU No. 3 Tahun 1997). Terhadap mereka yang disebut dengan anak nakal dapat dijatuhi sanksi yang berupa tindakan dan pidana. Mencegah kejahatan adalah lebih baik daripada mendidik penjahat untuk menjadi lebih baik kembali. Tindakan ini jauh lebih bermanfaat (baik dari segi biaya dan pencapaian tujuannya). Banyak faktor yang mendorong munculnya kejahatan yang dilakukan oleh anak anak yaitu adanya faktor intern dan faktor ekstern. Oleh karena itu apabila kita menginginkan kasus kriminal yang dilakukan oleh anakanak dapat berkurang dan bila memungkinkan dapat lerhapus, maka titik fokus pencegahan dan penanggulangannya harus diarahkan sepenuhnya pada anak karena kemerosotan mental orang dewasa telah diawali dengan kemerosotan mental sejak kecil (masih anak anak).
Upaya untuk memahami dan menjelaskan gejala yang yang sedang terjadi dengan maraknya pelaku tindak kejahatan oleh anak-anak tentunya banyak tantangan yang harus dihadapi. sebagai kunci urnanya adalah sesering mungkin untuk mensosialisakan undang udang dan peraturan peraturan yang terkait dengan perlindungan anak keseluruhan komponen masyarakat. Mengupayakan setiap kegiatan kegiatan yang berkaitan dengan kepedulian
dan
kebutuhan
pada
anak-anak
secara
proposional.
Menjauhkan dan menghindarkan anak-anak dari konflik, hukum yang pasti akan menyulitkan bagi mereka dimasa depannya, karena siapapun yang telah melanggar hukum pasti mendapatkan sanksi. Apabila mereka pernah masuk penjara dan tecatat sebagai pelaku tindak kriminal maka tidak menutup kemungkinan mereka akan mendapatkn perlakuan diskriminasi dari masyarakat. Para penyelenggara perlindungan anak terutama penegak hukum untuk berhati hati dalam menjatuhkan sanksi karena dapat berakibat fatal terhadap kehidupan anak-anak. (kenyataan dengan penjatuhan sanksi penjara yang terlalu lama serta didikan yang "keras dan kasar” bukan membuat mereka jera tetapi akan menimbulkan hal-hal yang semakin mencemaskan bagi mereka yaitu mencetak penjahat penjahat dimasa depan). Didik mereka dengan cinta kasih yang tak bersyarat bukan dengan kekerasan karena apa yang dilakukan oleh anak anak merupakan cerminan dan produk dari kita yang membinanya. Sedangkan dalam
rangka
memperbaiki/rehabilitasi
terhadap anak-anak pelaku
tindak
kejahatan maka haruslah melibatkan orang tua sebagai pihak pertama yang memberikan dasar kepribadian dalam perkembangan/pembentukan sifat dan sikapnya. Selanjutnya dalam rangka mengembalikan dan memberikan perlindungan terhadap anak anak perlu adanya kerjasama pada semua pihak (baik pemerintah ataupun swasta) serta didukung oleh penyediaan dana yang telah terencana dan melaksanakan tujuan dari konvensi anak yang telah diratifikasi sebagai ,dasar dalam melaksanakan upaya perlindungan, pencegahan dan pemulihan pada anak anak pelaku tindak kejahatan, agar mereka dapat diterima dilingkungan keluarga serta komunitasnya dan hidup normal. Alternative Dispute Resolution (ADR) suatu rangkaian proses yang bertujuan untuk menyelesaikan perselisihan antara pihak-pihak yang pada mulanya perselisihan atau persengketaan itu hanya bisa diselesaikan lewat badan peradilan artinya melalui suatu pengadilan. Dalam mekanisme kerjanya Alternative Dispute Resolution (ADR) ini biasanya melibatkan penengah yang adil, dalam arti kata tidak memihak, dan bertindak sebagai pihak-pihak ketiga yang netral. Dengan adanya Alternative Dispute Resolution (ADR) ini peradilan itu akan meringankan beban pengadilan, di samping itu juga tujuannya untuk memperoleh adanya solusi yang saling menguntungkan.
Dari perkembangan semula ini merupakan suatu pertanggungan badan yang belum merupakan suatu bentuk yang mandiri tapi sekarang sudah diakui bahwa ADR itu merupakan disiplin yang independen (mandiri), artinya disiplin yang mempunyai metodemetode dan prosedurprosedur penyelesaian, dalam rangka mengkafer proses penyelesaian sengketa yang begitu baik ataupun tidak cukup penyelesaian sengketa serta mendesain sistem penyelesaian sengketa. Tujuan Alternative Dispute Resorution (ADR) menyediakan suatu proses yang sangat berharga untuk membantu di dalam penyelesaian pihak-pihak perselisihan yang bersengketa, terutama dalam proses atau terhadap penarikan sengketa dan pihakpihak yang bersengketa untuk mendesain bagaimana cara penyelesaian sengketa tersebut. Bagaimana penyelesaiannya bisa merarui Negosiasi, dan Mediasi. ciri utama dari masalah ADR ini adatah para pihaklah yang memberikan hasil dari yang disengketakan, dan para pihaklah yang menentukan yang mereka kehendaki bersama, mereka yang menentukan semuanya. Jadi dalam hubungannya dengan kasus penganiayaan tersebut di atas, maka sudah tepat apa yang dilakukan oleh para pihak tersebut menyelesaikan persoalannya. prosesnya dapat dalam bentuk-bentuk yang tersetruktur seperti Negosiasi atau Mediasi, dimana pihak ketiga atau penengah, yang dihormati, dan diharapkan dapat bertindak adil akan menengahi sengketa itu. pihak ketiga atau penengah ini, tidak mengambil putusan, tetapi memfasilitasi pihak - pihak untuk dapat mencapai apa yang menjadi solusi
terhadap persengketaan yang dihadapi. lni berarti bahwa kontrol atau pengendalian atau putusan diambil dari bentuk -bentuk penyelesaian dari persengketaan itu berada di tangan para pihak. Bagi masing-masing pihak yang terpenting adalah menerima kesepakatan yang telah diputuskan bersama tersebut. Dan untuk lebih mempunyai kekuatan hukum yang tetap, maka para pihak membuat Surat Pemyataan yang ditulis di atas kertas segel. Berdasarkan surat pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak dan saksi-saksi, maka kasus penganiayaan yang terjadi telah diselesaikan dengan cara kekeluargaan, dimana kedua belah pihak telah bersepakat untuk Samasama minta maaf dan memaafkan. Pihak pertama (pelaku) memberi bantuan uang dan pihak kedua (korban) menerima bantiran tersebut. sama-sama berjanji tidak akan mengulangi lagi per-buatan tersebut, baik kepada yang bersangkutan maupun kepada orang lain. sama -sama berjanji apabila mengulangi lagi perbuatan tersebut, bersedia dituntut sesuai hukum yang berlaku. Di sinilah letak mengapa Polri tidak melakukan penyidikan lebih lanjut. Sebab yang paling utama dan terutama adalah pihak korban, yang telah menerima tawaran berdamai dari pihak tersangka, dan sekaligus menyatakan bahwa masalah penganiayaan tersebut telah diselesaikan dengan cara kekeluargaan (damai) antara para pihak. Dengan demikian masalah tersebut dianggap tidak ada atau tidak pernah ada dengan adanya surat Pernyataan tersebut. Apalagi pihak korban telah menyetujui
dan disaksikan oleh para saksi. Lagi pula budaya lndonesia yang cenderung mementingkan harmoni, keselarasan, kerukunan, dan kurang begitu mau dan mampu melihat suatu konflik dalam kenyataan yang wajar. Alternatif penyelesaian sengketa hanya mencakup bentuk-bentuk penyelesaian sengketa berdasarkan pendekatan konsensus, seperti negosiasi, fasilitasi, mediasi, konsiliasi, konsultasi, dan koordinasi. Arbitrasi tidak dimasukkan ke dalam bentuk alternatif, karena arbitrasi berlangsung atas dasar pendekatan adversarial (pertikaian) yang menyerupai proses peradilan sehingga menghasilkan adanya pihak yang menang dan kalah. Kepastian hukum merupakan konsepsi tentang cita-cita hurtum disamping keadilan dan kegunaan hukum. Kepastian hukum dalam praktek sejak masa lalu merupakan fatamorgana dan unik. Sekalipun demikian, kepastian hukum tetap menjadi harapan semua lapisan masyarakat, baik kelas bawah, menengah maupun kelas atas, baik untuk orang yang baik juga diperlukan oleh orang yang telah berbuat jahat. Kepastian hukum memang sangat menjanjikan rakyat karena dalam kalimat ini terkandung banyak harapan untuk terciptanya ketertiban dan pada giliran terakhir akan memperoleh keadilan yang diharapkan oleh masing-masing orang, dimana keadilan itu tentunya sudut pandangnya berbeda-beda, tergantung individu masing-masing, walaupun sebenarnya
keadilan itu untuk semua orang tanpa kecuali, yaitu semua sama dihadapan hukum (equality before the law). Dalam kehidupan sehari-hari sering mendengar kalimat kepastian, orang banyak mengharap namun pada akhirnya sering berakhir dengan kekecewaan. Tampak kalimat kepastian dan kepastian hukum bersaudara dalam hal mengecewakan para penggemarnya. Rakyat sebaiknya menyadari bahwa dalam kehidupan sehari-hari kita sering mengukur idialisme dengan keadaan nyata, sedangkan dalam praktek justru keduanya sering bertentangan satu sama lain, deh karena itu, anggota kepolisian dalam melakukan tugas menangkap orang harus sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan. Pelaksanaan tugas yang sesuai dengan prosedur saja kadang menuai protes atau meminta kebijakan karena dianggap langi
amat mudah dilihat yaitu pada saat terjadi aksi sosial yang brutal terhadap ketidakpercayaan orang atau masyarakat terhadap aparat penegak hukum, khususnya terhadap institusi kepolisian. Perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum sesuai dengan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 diberikannya sanksi pidana denganmemasukkan anak ke penjara jelas melanggar ketentuan, sehingga sudah sangat mendesak, dengan demikian semua pihak hendaknya duduk bersama untuk merumuskan langkah apa yang harus dilakukan dalam rangka mengatasi fenomena tersebut guna menyelamatkan anak–anak sebagai generasi muda penerus dalam pembangunan bangsa dan negara. Upaya ini lebih dikenal dengan istilah " Restorative Justice" yang mana semua komponen duduk bersama guna merumuskan secara kolektif cara mengatasi konsekuensi pelanggaran hukum yang dilakukan oleh anak dan implikasinya di masa mendatang, upaya ini dibangun di atas dasar nilai-nilai tradisional komunitas yang positif dan sanksi-sanksi yang diterapkan atau dilaksanakan selalu menghargai hak asasi manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahid. 2001. Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual. Bandung: Refika Aditama Ahmad Sofian. 2010. Memperkuat Hukum Penanganan Eksploitasi Seksual Anok Koalisi Nasional PESKA: Medan Barda Nawawi Arief. 2008. Kebijakan Hukum pidana, perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru-Kencana prenada Media: Jakarta Eka Dalanta Rehulina (Ed). 2008. Eksploitasi Seksual Komersial Anak di Indonesia. Koalisi Nasional PESKA: Medan Irwanto, dkk. 2008. Menentang Pornografi dan Eksploitasi Seksual Terhadap Anak. Koalisi Nasional PESKA: Medan Mahmud Mulyadi. Feri Antoni Surbakti. 2010. Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Korporasi. Sofuedia: Jakarta Maidin, Gultom. 2006. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Indonesia, Refika Aditama: Bandung Marlina. 2009. Peradilan Pidana Anak di Indonesia. Refika Aditama: Bandung Ramlan. 2006. Tanya & Jawab tentang Eksploitasi Seksual Komersial Anak sebuah Buku saku Informasi oleh ECPAT Internasional. Bangkok ECPAT Intemational