1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Krisis energi yang terjadi di berbagai negara di belahan dunia saat ini sudah memasuki tahapan yang sangat serius dan memprihatinkan sehingga harus segera dicari metode pemecahan masalahnya, termasuk Indonesia. Menurut data PDSI (2008), saat ini sumber energi dunia masih didominasi oleh sumber daya alam yang tidak terbarukan antara lain minyak bumi, batubara dan gas alam, yakni sekitar 80,1%, dimana masing - masing penggunaanya adalah olahan minyak bumi sebesar 35,03%, batubara sebanyak 24,59% dan gas alam sekitar 20,44%. Sumber energi terbarukan lainnya, tetapi mengandung resiko yang cukup tinggi adalah energi nuklir yaitu sekitar 6,3%. Sementara itu sumber energi terbarukan lainnya yang baru dikembangkan sekitar 13,6%, terutama biomassa tradisional, yaitu hanya sekitar 8,5% saja. Kelangkaan yang disertai tingginya harga bahan bakar minyak secara global beberapa tahun terakhir membuat banyak negara di dunia meningkatkan upayanya untuk menggunakan biofuel sebagai bahan bakar alternatif. Salah satu biofuel yang paling banyak digunakan adalah etanol, zat ini diekstrak dari tanaman pangan seperti tebu dan singkong (Prihandana dkk, 2007). Pemerintah Indonesia juga telah mengeluarkan dua kebijakan penting tentang energi alternatif ini. Kebijakan itu adalah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional dan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2006 tentang penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati atau biofuel.
1
2
Kebijakan tersebut adalah instruksi untuk mengambil langkah-langkah untuk melaksanakan percepatan penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati (biofuels) sebagai bahan bakar pengganti bahan bakar konvensional yang digunakan saat ini. Pemakaian biogasoline (campuran bensin dan etanol) pada mesin kendaraan berbahan bakar bensin ternyata mempunyai efek positif terhadap lingkungan, karena dapat menekan emisi CO2, CO, hidrokarbon dan SOX. Meningkatnya penggunaan etanol sebagai salah satu sumber energi alternatif akan meningkatkan permintaan bahan baku. Mengingat hingga saat ini teknologi generasi pertama pembuatan etanol yang telah mantap dikembangkan adalah teknologi starch - based (Sun and Cheng, 2002), maka dikhawatirkan akan terjadi kompetisi antara ketersediaan bahan baku untuk pangan, pakan, dan sumber energi. Selain itu, untuk menggantikan semua kebutuhan bahan bakar minyak dunia saat ini dengan etanol maka diperlukan luas tanah, lahan pertanian, hutan, dan lain-lain yang tidak terbatas. Apalagi jika melihat bahwa saat ini di berbagai negara, khususnya negara berkembang sudah menunjukkan indikasi adanya krisis pangan dan energi sehingga sangatlah perlu untuk segera dicari sumber bahan baku pembuatan etanol yang lain. Sumber bahan baku potensial yang ketersediaannya melimpah, berharga murah, belum banyak dimanfaatkan orang dan mengandung struktur gula sederhana yang dapat diubah menjadi etanol adalah bahan-bahan berlignosellulosa (Ho dkk, 1998), yang dalam beberapa dekade terakhir, menjadi salah satu obyek penelitian yang menarik untuk mengetahui potensi dari bahan – bahan
3
lignoselulosa dalam usaha memproduksi etanol generasi kedua (Curreli dkk, 1997; Gaspar dkk, 2005). Proses pembuatan etanol dari bahan berselulosa memerlukan beberapa tahapan sebelum menghasilkan etanol, salah satunya adalah tahapan fermentasi. Hal ini disebabkan karena struktur selulosa yang lebih kompleks sehingga harus dirombak agar proses fermentasi sebagai tahapan awal pembuatan etanol dapat berlangsung dengan optimal. Menurut Shofiyanto (2008), bahan selulosa pada limbah dapat dimanfaatkan sebagai sumber karbon untuk produksi etanol dengan melakukan proses hidrolisis terlebih dahulu. Proses hidrolisis dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan gula sederhana dan mempermudah kerja yeast dalam proses fermentasi. Indonesia sebagai negara kepulauan dengan panjang garis pantai sekitar 81.000 km merupakan kawasan pesisir dan lautan yang memiliki berbagai sumberdaya hayati yang sangat besar dan beragam. Berbagai sumberdaya hayati tersebut merupakan potensi pembangunan yang sangat penting sebagai sumber-sumber pertumbuhan ekonomi baru. Salah satu komoditi perairan Indonesia yang sangat berpotensi untuk dikembangkan adalah rumput laut. Hal ini dikarenakan jumlah permintaan rumput laut di pasar lokal dan ekspor masih lebih besar dari pada penawarannya. Oleh karena itu pemerintah saat ini tengah menggalakkan peningkatan produksi komoditi rumput laut, sehingga untuk kedepannya produksi rumput laut di Indonesia akan terus mengalami peningkatan yang signifikan. Perkembangan penelitian pendayagunaan rumput laut di Indonesia telah dimulai sejak Ekspedisi Siboga yang dilakukan antara tahun 1899 - 1900. Penelitian
4
selanjutnya dilakukan Van Bosse pada tahun 1913 - 1928 telah berhasil mengoleksi jenis rumput laut yang tumbuh di perairan Indonesia sebanyak 555 jenis. Pada penelitian Van Bosse tahun 1914 - 1916 di Kepulauan Kai pada Ekspedisi Danish menemukan sebanyak 25 jenis alga merah, 28 jenis alga hijau dan 11 jenis alga coklat. Tidak semua hasil panen Eucheuma cottonii dapat diekspor sebagai bahan baku kosmetik dan bahan makanan, karena ada saja bagian – bagian yang tidak masuk kedalam kriteria kelayakan sebagai bahan baku untuk diekspor. Sisa hasil panen ini ada yang terserang penyakit, pertumbuhannya terhambat karena kurangnya nutrisi yang sangat dibutuhkan dalam masa pertumbuhan, serangan gulma, serta adanya serangan predator luar seperti ikan yang merusak pertumbuhan Eucheuma cottonii. Sehingga Eucheuma cottonii yang tidak masuk kriteria ekspor tersebut, menjadi kurang termanfaatkan dan cenderung dibiarkan begitu saja sehingga teronggok membusuk dan pada akhirnya menjadi sampah pantai yang mengganggu kesehatan, terutama bagi para wisatawan. Alangkah baiknya apabila sisa hasil panen Eucheuma cottonii yang tidak termanfaatkan tersebut dapat dimanfaatkan kembali menjadi salah satu bahan baku pembuatan etanol pengganti bahan baku yang selama ini digunakan seperti jarak, singkong dan tebu. Peluang pemanfaatan limbah Eucheuma cottonii ini mempunyai prospek yang sangat bagus sebagai salah satu sumber energi alternatif nabati di masa depan khususnya sebagai bahan baku pembuatan etanol, melihat kondisi Indonesia sebagai negara maritim dimana dua per tiga luas wilayahnya merupakan lautan, dan rumput laut sudah banyak dikembangkan oleh masyarakat disepanjang pesisir pantai – pantai di Indonesia pada umumnya dan di Provinsi Bali pada khususnya.
5
Beberapa penelitian sebelumnya telah membahas tentang pemanfaatan alga sebagai bahan bakar alternatif, salah satunya adalah penelitian dari Jorge Alberto Vieira Costa dan Michele Greque de Morais dari Laboratory of Biochemical Engineering, College of Chemistry and Food Engineering, Federal University of Rio Grande, Brazil (2010) yang melaporkan bahwa mikroalga ternyata dapat dijadikan sebagai sumber bahan baku utama dalam pembuatan biofuel pengganti energi fosil karena ramah lingkungan, dan mampu mengurangi emisi gas karbondioksida yang berdampak pada efek rumah kaca dan pemanasan global. Selanjutnya ada pula hasil penelitian sebelumnya tentang rumput laut dari jenis Eucheuma cottonii yaitu dari hasil penelitian Luthfy (1988) yang melaporkan bahwa rumput laut jenis Eucheuma cottonii ternyata mengandung kadar abu 19,92 %, protein 2,80 %, lemak 1,78 %, serat kasar 7,02 % dan mengandung karbohidrat yang cukup tinggi yaitu sekitar 68,48 %. Dari paparan hasil penelitian sebelumnya diatas, dapat dilihat bahwa limbah Eucheuma cottonii dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan etanol dengan tahapan awal proses fermentasi, melihat kandungan karbohidratnya yang cukup tinggi, yaitu sekitar 68,48%. Salah satu hal yang belum menarik banyak orang dalam bidang penelitian tentang pengolahan Eucheuma cottonii menjadi etanol adalah adanya senyawa lignin yang membungkus selulosa didalam matriks Eucheuma cottonii. Adanya lignin dalam bahan berselulosa ini akan menghambat aktifitas enzim yang terdapat didalam ragi dalam proses pengkonversian gula sederhana menjadi etanol. Sehingga untuk meningkatkan proses hidrolisis, maka perlu dilakukan proses delignifikasi untuk mendegradasi lignin dari struktur selulosa dengan menggunakan
6
bantuan senyawa katalis, salah satu caranya adalah dengan menggunakan katalis kimia berupa senyawa NaOH. Dari hasil penelitian Samsul Rizal (2005), penambahan konsentrasi katalis NaOH hingga 8% ternyata mampu meningkatkan kandungan selulosa dalam produksi pulp dari jerami, sehingga diperoleh hasil produksi optimum selulosa sekitar 91,4 % dengan sisa lignin dalam pulp yang hanya mencapai sekitar 1,2 % saja.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dari latar belakang diatas maka rumusan permasalahan yang akan dibahas dalam tesis ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah pengaruh variasi konsentrasi senyawa NaOH pada tahapan proses delignifikasi dalam usaha mengoptimalkan proses pembuatan etanol berbahan baku limbah Eucheuma cottonii ? 2. Bagaimanakah perbandingan kadar alkohol, volume produk fermentasi dan laju fermentasi yang dihasilkan dari setiap variasi delignifikasi, variasi perbandingan ragi dengan limbah Eucheuma cottonii, variasi perlakuan dan variasi waktu fermentasi pada rangkaian proses fermentasi limbah Eucheuma cottonii?
1.3
Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Khusus Tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
7
1. Menganalisa pengaruh variasi konsentrasi senyawa NaOH pada proses delignifikasi dalam usaha mempermudah proses pembuatan etanol generasi kedua dari limbah Eucheuma cottonii. 2. Menganalisa perbandingan kadar alkohol, volume produk fermentasi dan laju fermentasi yang dihasilkan yang dihasilkan dari setiap variasi delignifikasi, variasi perbandingan ragi dengan limbah Eucheuma cottonii, variasi perlakuan dan variasi waktu fermentasi pada proses fermentasi limbah Eucheuma cottonii.
1.3.2 Tujuan Umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Menggali potensi limbah rumput laut khususnya jenis Eucheuma cottonii sebagai salah satu sumber bahan baku alternatif dalam pembuatan etanol generasi kedua pengganti etanol generasi pertama berbahan baku biomassa darat yang selama ini digunakan. 2. Memberikan salah satu solusi alternatif dalam usaha mengatasi permasalahan sumber energi terbarukan di Indonesia khususnya dan dunia pada umumnya.
1.4 Manfaat Penelitian Dari penelitian yang dilakukan diharapkan dapat memberikan manfaatmanfaat seperti yang tercantum di bawah ini : 1. Diperoleh data-data signifikan yang dapat dijadikan acuan awal dalam hal penggunaan, pemanfaatan serta pengoptimalan pemakaian limbah Eucheuma
8
cottonii sebagai salah satu sumber bahan baku pembuatan etanol sehingga untuk kedepannya dapat dijadikan sebagai salah satu sumber energi alternatif pengganti bahan bakar fosil yang digunakan selama ini. 2. Memberikan informasi kepada masyarakat luas terkait potensi menjanjikan dari limbah Eucheuma cottonii sebagai salah satu sumber bahan baku alternatif pembuatan etanol sebagai bahan bakar ramah lingkungan di masa depan. 3. Dapat dijadikan sebagai salah satu acuan dalam usaha mendukung gerakan green energy.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian Dari permasalahan yang dihadapi perlu kiranya diberikan batasan – batasan atau ruang lingkup, sehingga rumusan permasalahan dapat diselesaikan dengan cara yang lebih sederhana tanpa ada bias tanpa mengurangi keakuratan dari hasil penelitian. Adapun beberapa batasan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Pembuatan etanol disini menggunakan bahan baku limbah makroalga dari jenis Eucheuma cottonii yang masuk dalam katagori ganggang merah. 2. Khamir (ragi) yang digunakan dalam proses fermentasi disini adalah jenis Saccharomyces cerevisiae yang mana merupakan khamir terbaik dan tercepat dalam membantu proses fermentasi. 3. Senyawa kimia yang digunakan dalam usaha pendegradasian lignin dalam limbah Eucheuma cottonii pada tahap pretreatment menggunakan senyawa Natrium Hidroksida (NaOH).
9
4. Senyawa yang digunakan dalam usaha mengoptimalisasi proses fermentasi dengan
perlakuan
secara
biologi
menggunakan
larutan
Effective
Microorganism (EM4). 5. Variasi – variasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Variasi delignifikasi limbah Eucheuma cottonii dengan larutan NaOH : a) 30 kilogram limbah Eucheuma cottonii + 10% Larutan NaOH b) 30 kilogram limbah Eucheuma cottonii + 15% Larutan NaOH c) 30 kilogram limbah Eucheuma cottonii + 20% Larutan NaOH Variasi treatment limbah Eucheuma cottonii dari setiap variasi delignifikasi: a) 15 kilogram limbah Eucheuma cottonii ditreatment dengan proses perlakuan fisika seperti penekanan, penggilingan dan penghancuran serta dilanjutkan dengan pemasakan (proses hidrolisis). b) 15 kilogram limbah Eucheuma cottonii ditreatment dengan proses pemasakan (hidrolisis) yang dilanjutkan dengan perlakuan secara biologi yaitu dengan penambahan Effective Microorganism (EM4). Variasi konsentrasi ragi yang digunakan dalam satu kali rentang proses fermentasi adalah sebagai berikut: a) 1 kilogram limbah Eucheuma cottonii + 1,5 gram ragi b) 1 kilogram limbah Eucheuma cottonii + 3 gram ragi c) 1 kilogram limbah Eucheuma cottonii + 4,5 gram ragi d) 1 kilogram limbah Eucheuma cottonii + 6 gram ragi e) 1 kilogram limbah Eucheuma cottonii + 7,5 gram ragi
10
Variasi waktu fermentasi: a) 3 hari, 6 hari dan 9 hari 6. Analisa – analisa penelitian yang dilakukan antara lain: a) Analisa pengaruh variasi proses delignifikasi terhadap proses fermentasi limbah Eucheuma cottonii. b) Analisa pengaruh variasi perlakuan, variasi komposisi perbandingan ragi dengan limbah Eucheuma cottonii dan variasi waktu fermentasi terhadap kadar alkohol, volume produk fermentasi dan laju fermentasi yang dihasilkan dalam proses fermentasi
limbah
Eucheuma cottonii. c) Pemodelan matematis proses laju fermentasi dalam usaha memprediksi hasil penelitian kedepannya. 7. Reaksi atau proses kimia tidak dijabarkan dalam penelitian ini. 8. Pengujian dan analisa data dilakukan di Pusat Kajian Industri dan Energi Jurusan
Teknik
Mesin
serta
Pascasarjana Universitas Udayana.
Laboratorium
Bioteknologi,
Gedung
11
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Umum Rumput Laut Alga laut diklasifikasikan menjadi makroalga dan mikroalga. Makroalga terdiri dari banyak sel yang membentuk koloni (Eastro dan Huber, 2003). Makroalga termasuk alga merah, alga hijau, dan alga coklat dan pada umumnya disebut dengan rumput laut. Struktur rumput laut lebih kompleks dari pada alga uniselular. Rumput laut tidak memiliki daun, batang dan akar sejati. Bagian tubuhnya disebut dengan thallus, dapat berupa filamen, lembaran tipis berdaun banyak. Rumput laut (seaweed), alga, ganggang dan lamun (seagrass) adalah tumbuhan yang memiliki perbedaan. Rumput laut atau yang biasa disebut dengan seaweed merupakan tanaman makro alga yang hidup di laut yang tidak memiliki akar, batang dan daun sejati dan pada umummnya hidup di dasar perairan. Rumput laut disebut tanaman karena memiliki klorofil (zat hijau daun) sehingga bisa berfotosintesis. Rumput laut juga sering disebut sebagai alga atau ganggang pada daerah - daerah tertentu di Indonesia. Akan tetapi rumput laut (seaweed) berbeda dengan lamun (seagrass). Lamun adalah tanaman yang hidup dilaut dan tidak memiliki klorofil. Bagian-bagian rumput laut secara umum terdiri dari holdfast yaitu bagian dasar dari rumput laut yang berfungsi untuk menempel pada substrat dan thallus yaitu bentuk-bentuk pertumbuhan rumput laut yang menyerupai percabangan. Tidak semua rumput laut bisa diketahui memiliki holdfast atau tidak. Rumput laut memperoleh atau menyerap makanannya melalui sel-sel yang terdapat pada thallusnya. Nutrisi terbawa
11
12
oleh arus air yang menerpa rumput laut akan diserap sehingga rumput laut bisa tumbuh dan berkembangbiak. Perkembangbiakan rumput laut melalui dua cara yaitu generatif dan vegetatif. Gambar bagian - bagian dari holdfast dan thallus dari rumput laut dapat dilihat pada gambar 2.1 dibawah ini.
Gambar 2.1 Morfologi Rumput Laut (Sumber : Afrianto dan Liviawati, 1993)
Secara morfologis rumput laut merupakan tanaman laut yang berklorofil dan memiliki thallus (batang). Rumput laut tidak memiliki perbedaan yang jelas antara akar, batang dan daun. Pertumbuhan dan percabangan thallus rumput laut antara jenis yang satu dengan yang lainnya berbeda-beda. Bentuk thallus rumput laut juga bervariasi, antara lain bulat seperti tabung, pipih, gepeng, bulat seperti kantong, lembaran dan juga ada yang berbentuk seperti helai rambut. Pada umumnya klasifikasi alga ditentukan dari pigmennya. Selain mengandung klorofil, alga yang juga disebut rumput laut ini juga mengandung zat warna lainnya seperti biru,keemasan, pirang, coklat dan merah. Karena memiliki klorofil, maka rumput laut dikatakan bersifat autotrop, yaitu dapat hidup sendiri tanpa harus tergantung pada makhluk lainnya. Para ahli menggolongkan alga dalam 5 kelas berdasarkan pigmentasinya, yaitu : 1. Cyanophyta (alga biru)
13
2. Chlorophyta (alga hijau) 3. Chrysophyta (alga keemasan) 4. Phaeophyta (alga coklat) 5. Rhodophyta (alga merah) Penggolongan tersebut di atas berdasarkan pada kandungan warna (pigmen) yang terkandung di dalamnya dan terlihat, baik pada saat hidup maupun ketika mati kekeringan. Cyanophyta mengandung warna biru sehingga disebut alga biru. Chlorophyta mengandung warna hijau, Chrysophyta mengandung warna keemasan, Phaeophyta mengandung warna coklat dan Rhodophyta mengandung warna merah.
2.2 Pemilihan Lokasi Budidaya Rumput Laut Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan lokasi budidaya rumput laut adalah sebagai berikut: 1.
Keterlindungan lokasi, dimana lokasi harus terlindung untuk cmenghindari kerusakan fisik rumput laut dari terpaan angin dan gelombang yang besar.
2.
Dasar perairan yang paling baik bagi pertumbuhan rumput laut adalah dasar perairan yang stabil yang terdiri dari potongan karang mati bercampur dengan pasir karang, dan adanya seagrass. Hal ini menunjukkan adanya gerakan air yang baik.
3.
Kedalaman air berkisar antara 30 -50 cm pada surut terendah, supaya rumput laut tidak mengalami kekeringan karena terkena sinar matahari secara langsung dan masih memperoleh penetrasi sinar matahari pada waktu pasang. Kedalaman maksimal adalah setinggi orang berdiri dengan mengangkat tangannya.
14
Umur panen yang tepat akan sangat mempengaruhi kualitas dari rumput laut tersebut. Yunizal dkk,(2000) menyatakan bahwa sebagai bahan baku pengolahan, rumput laut harus dipanen pada umur yang tepat. Untuk rumput laut jenis Gracilaria pemanenan dilakukan setelah berumur 3 bulan, sedangkan untuk jenis Eucheuma dipanen setelah berumur 1,5 bulan atau lebih.
2.3 Faktor –Faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Rumput Laut Faktor-faktor lingkungan yang sangat mempengaruhi pertumbuhan rumput laut dapat dijabarkan sebagai berikut: a.
Suhu Suhu merupakan indikasi jumlah energi (panas) yang terdapat dalam satu
sistem atau massa (Permatasari, 2003). Karena sifat fisiknya, air, terutama dalam jumlah besar seperti lautan menunjukan perubahan suhu yang kecil dan jarang melebihi batas letal organisme (Nyabakken, 1992). Namun, wilayah pantai dipengaruhi oleh suhu udara selama periode yang berbeda-beda dan suhu ini mempunyai kisaran yang luas baik secara harian maupun secara musiman. Perubahan suhu ini terjadi saat terjadinya pasang atau surut maksimal. Suhu juga mempunyai pengaruh tidak langsung terhadap organisme laut. Organisme laut dapat mati kehabisan air, meningkatnya suhu dapat mempercepat kehabisan air. Suhu air di permukaan nusantara berkisar antara 28 – 31°C (Permatasari, 2003). Suhu di dekat pantai biasanya sedikit lebih tinggi dari pada di lepas pantai. Suhu perairan sangat mempengaruhi laju fotosintesis, nilai suhu perairan yang optimal untuk laju fotosintesis berbeda pada setiap jenis rumput laut. Secara prinsip
15
suhu yang tinggi dapat menyebabkan protein mengalami denaturasi, serta dapat merusak enzim dan membran sel yang bersifat labil terhadap suhu yang tinggi. Pada suhu yang rendah, protein dan lemak membran dapat mengalami kerusakan sebagai akibat terbentuknya kristal di dalam sel. Terkait dengan itu, maka suhu sangat mempengaruhi beberapa hal yang terkait dengan kehidupan rumput laut, seperti kehilangan hidup, pertumbuhan dan perkembangan, reproduksi, fotosintesis dan respirasi (Eidman, 1991). Selanjutnya menurut Sulistijo (1994) menyatakan kisaran suhu perairan laut yang baik untuk rumput laut jenis Eucheuma adalah berkisar antara 27 - 30 oC. b. Arus Arus merupakan gerakan mengalir suatu masa air yang dapat disebabkan oleh tiupan angin, perbedaan densitas air laut dan pasang surut yang bergelombang panjang dari laut terbuka (Nontji, 1987). Arus mempunyai peranan penting dalam penyebaran unsur hara di laut. Arus ini sangat berperan dalam perolehan makanan bagi alga laut karena arus dapat membawa nutrien yang dibutuhkan dalam perkembangan rumput laut. Aslan (1991) menyatakan bahwa dalam budidaya rumput laut, kerugian yang ditimbulkan bila ombak atau gelombang cukup kuat adalah rumput laut kesulitan menyerap nutrisi yang berguna bagi pertumbuhan, perairan menjadi keruh sehingga menghalangi proses fotosintesis, dan menurut Sulistijo (1994), salah satu syarat untuk menentukan lokasi Eucheuma sp adalah adanya arus dengan kecepatan 0,33 - 0,66 m/detik.
16
c. Salinitas Salinitas merupakan kadar garam yang terkandung dalam air laut. Perubahan salinitas dapat mempengaruhi organise-organisme yang hidup di laut dan zona intertidal (Nybakken, 1992). Pada keadaan tertentu penurunan salinitas yang melewati batas toleransi akan mengakibatkan matinya organisme tertentu. Salinitas akan mengalami penurunan saat hujan dan mengalami kenaikan saat siang hari yaitu saat terjadi penguapan. Kenaikan salinitas akan menurunkan potensi air yang menyebabkan percepatan plasmolisis sel dan stress pada rumput laut (Graham dan Wilcox, 2000). Rumput laut di daerah intertidal dapat mentoleransi perubahan salinitas lebih baik dibandingkan rumput laut di daerah subtidal. Jenis Eucheuma sp tumbuh berkembang dengan baik pada tingkat salinitas yang tinggi. Penurunan salinitas akibat masuknya air tawar dari sungai dapat menyebabkan pertumbuhan rumput laut Eucheuma sp menurun. Sadhori (1989) menyatakan bahwa salinitas yang cocok untuk pertumbuhan rumput laut berkisar antara 31-35 ppt. Selanjutnya menurut Dawes (1981), kisaran salinitas yang baik bagi pertumbuhan Eucheuma sp adalah 30-35 ppt. Sementara itu Soegiarto dkk. (1978) menyatakan kisaran salinitas yang baik untuk Eucheuma sp adalah 32 - 35 ppt. d. pH Keasaman atau derajat pH merupakan salah satu faktor penting dalam kehidupan alga laut, sama halnya dengan faktor-faktor lainnya. Aslan (2005) menyatakan bahwa kisaran pH maksimum untuk kehidupan organisme laut adalah 6,5 8,5.
17
e. Pasang Surut Naik dan turunnya permukaan laut secara periodik selama satu interval waktu tertentu disebut pasang-surut (Nybakken, 1992). Pasang-surut terjadi karena interaksi antara gaya gravitasi matahari dan bulan terhadap bumi serta gaya sentrifugal yang ditimbulkan oleh rotasi bumi dan sistem rotasi bulan. Pasang-surut berpengaruh terhadap kehidupan rumput laut. Pola pasang surut mempengaruhi struktur komunitas rumput laut (Graham dan Wilcox, 2000). Perbedaan pasang surut yang terlalu tinggi dapat menghambat budidaya rumput laut. Perbedaan pasang surut yang terlalu tinggi menyebabkan spine (ujung tanaman) menjadi kering dan rusak. f. Substrat dan Nutrien Tipe dan sifat substratum dan dasar perairan merupakan faktor penting dalam pemilihan lokasi. Keadaan substratum ini merupakan refleksi dari keadaan oseanografi perairan karang dan dapat pula digunakan untuk menentukan derajat kemudahan dalam pembangunan konstruksi budidaya. Area yang sangat berkarang umumnya sangat terbuka terhadap ombak (wave exposed), sedangkan tipe substratum yang terdiri dari fine sand atau silt umumnya terlindung dari segala macam gerak air. Kedua macam substratum ini tidak tepat untuk dipilih (Mubarak, 1982).
2.4 Kandungan Dan Manfaat Rumput Laut Rumput laut telah lama digunakan sebagai makanan maupun obat-obatan di negeri Jepang, Cina, Eropa maupun Amerika. Diantaranya sebagai nori, kombu, puding atau dalam bentuk hidangan lainnya seperti sop, saus dan dalam bentuk mentah sebagai sayuran. Adapun pemanfaatan rumput laut sebagai makanan karena mempunyai gizi
18
yang cukup tinggi yang sebagian besar terletak pada karbohidrat di samping lemak dan protein yang terdapat di dalamnya. Menurut Harvey (2009), secara kimia rumput laut terdiri dari air (27,8%), protein (5,4%), karbohidrat (33,3%), lemak (8,60%), serta serat kasar (3,0%), dan abu (22,25%) dan menurut Suriawiria (2003), uji proksimat yang dilakukan pada limbah rumput laut kering didapatkan presentase masing-masing komponen kadar air adalah 11.28%, kadar abu 36,05%, kadar lemak 0,42%, kadar protein 1.86%, kadar serat kasar 8,96% dan karbohidrat 41,43%.
2.5 Alga Merah (Rhodophyta) Alga merah merupakan kelompok alga yang jenis-jenisnya memiliki berbagai bentuk dan variasi warna. Salah satu indikasi dari alga merah adalah terjadi perubahan warna dari warna aslinya menjadi ungu atau merah apabila alga tersebut terkena panas atau sinar matahari secara langsung. Alga merah merupakan golongan alga yang mengandung karaginan dan agar yang bermanfaat dalam industri kosmetik dan makanan. Alga merah pun dapat berproduksi dengan cepat yaitu sekitar 7-13% bahkan dapat bertambah sampai 20% per harinya. Dapat dibayangkan apabila harus menggunakan pohon yang harus menunggu puluhan tahun. Dengan adanya bahan baku untuk energi alternatif ini diharapkan pohon-pohon di dunia tidak semakin berkurang karena pohon merupakan hal yang sangat penting bagi kehidupan manusia dan menjaga kelestarian ekologi. Budidaya alga merah ini dapat dilakukan oleh siapa saja karena mudah dikembangkan. Alga ini dapat ditemukan di perairan dengan arus yang tenang. Beberapa contoh rumput laut jenis alga
19
merah yang bernilai ekonomis dan terdapat di perairan laut Indonesia dapat dilihat pada Tabel 2.1 dibawah ini. Tabel 2.1 Jenis Alga Merah Yang Memiliki Nilai Ekonomis Di Perairan Laut Indonesia No
Nama Spesies
Contoh gambar
1
Eucheuma cottonii
Thallus silindris, permukaan licin, warna hijau, kuning, abu – abu dan merah. Melekat pada substrat dengan alat perekat dengan cakram.
2
Eucheuma spinossum
Thallus silindris,permukaan licin, warna coklat tua, hijau coklat, hijau kuning atau merah ungu. Tumbuh di daerah bersubstrat batu.
3
Eucheuma edule
Thallus silindris, permukaan licin, warna hijau kuning atau coklat hijau. Pada thallus terdapat benjolan. Menepel pada batu di daerah rataan terumbu karang.
4
Gelledella acerosa
Thallus silindris dengan percabangan tidak teratur yang keluar dari stolon. Thallus mempunyai ranting – ranting pendek.
Sumber: Rumput Laut, Jenis Dan Morfologinya,Wahid Junaedi, 2004
Ciri –ciri dan Habitat
20
2.6 Eucheuma cottonii Rumput laut jenis Eucheuma cottonii merupakan salah satu rumput laut dari jenis alga merah (Rhodophyta). Rumput laut jenis ini memiliki thallus yang licin dan silindris, berwarna hijau, hijau kuning, abu-abu dan merah. Tumbuh melekat pada substrat dengan alat perekat berupa cakram (Atmadja dkk,1996). Klasifikasi Eucheuma cottonii menurut Doty (1985) adalah sebagai berikut : Kingdom
: Plantae
Divisi
: Rhodophyta
Kelas
: Rhodophyceae
Ordo
: Gigartinales
Famili
: Solieracea
Genus
: Eucheuma
Species
: Eucheuma alvarezii
Keadaan warna tidak selalu tetap, kadang-kadang berwarna hijau, hijau kuning, abu-abu atau merah sering terjadi hanya karena faktor lingkungan. Kejadian ini merupakan suatu proses adaptasi kromatik yaitu penyesuaian antara proporsi pigmen dengan berbagai kualitas pencahayaan (Aslan, 1998). Penampakan thallus bervariasi mulai dari bentuk sederhana sampai kompleks. Duri-duri pada thallus runcing memanjang, agak jarang-jarang dan tidak bersusun melingkari thallus. Percabangan ke berbagai arah dengan batang-batang utama keluar saling berdekatan ke daerah basal (pangkal). Tumbuh melekat ke substrat dengan alat perekat berupa cakram. Cabang pertama dan kedua tumbuh dengan membentuk rumpun yang rimbun dengan mengarah ke arah datangnya sinar matahari (Atmadja dkk, 1996).
21
Umumnya Eucheuma cottonii tumbuh dengan baik di daerah pantai terumbu (reef). Habitat khasnya adalah daerah yang memperoleh aliran air laut. Kondisi perairan yang sesuai untuk budidaya rumput laut Eucheuma cottonii yaitu perairan terlindung dari terpaan angin dan gelombang yang besar, kedalaman perairan 7,65 - 9,72 m, salinitas 33 -35 ppt, suhu air laut 28-30 oC, kecerahan 2,5-5,25 m, pH 6,5-7,0 dan kecepatan arus 2248 cm/detik (Wenno, 2009).
2.7 Lignoselulosa Bahan lignoselulosa merupakan biomassa yang berasal dari tanaman dengan komponen utama lignin, selulosa, dan hemiselulosa (Fujita dan Harada, 1991). Ketersediaannya yang cukup melimpah, terutama sebagai limbah pertanian, perkebunan, dan kehutanan, menjadikan bahan ini berpotensi sebagai salah satu sumber energi melalui proses konversi, baik proses fisika, kimia maupun biologis. Lignoselulosa mengandung tiga komponen penyusun utama, yaitu selulosa (30-50%-berat), hemiselulosa (15-35%-berat), dan lignin (13-30%berat). Selulosa adalah senyawa kerangka yang menyusun 40% - 50% bagian kayu dalam bentuk selulosa mikrofibril, di mana hemiselulosa adalah senyawa matriks yang berada di antara mikrofibril mikrofibril selulosa. Lignin, di lain pihak adalah senyawa yang keras yang menyelimuti dan mengeraskan dinding sel. Salah satu proses konversi bahan lignoselulosa yang banyak diteliti adalah proses konversi bahan berlignoselulosa menjadi etanol generasi kedua yang
22
selanjutnya dapat digunakan untuk mensubstitusi bahan bakar bensin untuk keperluan transportasi.
2.7.1 Hemiselulosa Hemiselulosa merupakan istilah umum bagi polisakarida yang larut dalam alkali. Hemiselulosa sangat dekat asosiasinya dengan selulosa dalam dinding sel tanaman (Fengel dan Wegener, 1984). Hemiselulosa merupakan polisakarida yang mempunyai berat molekul lebih kecil daripada selulosa. Molekul hemiselulosa lebih mudah menyerap air, bersifat plastis, dan mempunyai permukaan kontak antar molekul yang lebih luas dari selulosa (Oshima, 1965). Berbeda dengan selulosa yang hanya tersusun atas glukosa, hemiselulosa tersusun dari bermacammacam jenis gula. Lima gula netral, yaitu glukosa, mannosa, dan galaktosa (heksosan) serta xilosa dan arabinosa (pentosan) merupakan konstituen utama hemiselulosa (Fengel dan Wegener, 1984). Berbeda dari selulosa yang merupakan homopolisakarida dengan monomer glukosa dan derajat polimerisasi yang tinggi (10.000– 14.000 unit), rantai utama hemiselulosa dapat terdiri atas hanya satu jenis monomer (homopolimer), seperti xilan, atau terdiri atas dua jenis atau lebih monomer (heteropolimer), seperti glukomannan. Rantai molekul hemiselulosa pun lebih pendek dari pada selulosa.
2.7.2 Selulosa Sifat fisik selulosa adalah zat yang padat, kuat, berwarna putih, dan tidak larut dalam alkohol dan eter. Kayu terdiri dari 50% selulosa, daun kering mengandung 10-
23
20% selulosa, sedangkan kapas mengandung 90% selulosa. Selulosa digunakan dalam industri pulp, kertas, dan krayon. Selulosa adalah unsur struktural dan komponen utama dinding sel dari pohon dan tanaman tinggi lainnya. Senyawa ini juga dijumpai dalam tumbuhan rendah seperti paku, lumut, ganggang, dan jamur. Serat alami yang paling murni ialah serat kapas, yang terdiri dari sekitar 98% selulosa. Selulosa hampir tidak pernah ditemui dalam keadaan murni di alam, melainkan selalu berikatan dengan bahan lain seperti lignin dan hemiselulosa. Selulosa merupakan polisakarida yang terdiri atas satuan-satuan dan mempunyai massa molekul relatif yang sangat tinggi, tersusun dari 2.000-3.000 glukosa. Rumus molekul selulosa adalah (C6H10O5)n. Selulosa terdapat dalam tumbuhan sebagai bahan pembentuk dinding sel dan serat tumbuhan. Molekul selulosa merupakan mikrofibil dari glukosa yang terikat satu dengan lainnya membentuk rantai polimer yang sangat panjang. Adanya lignin serta hemiselulosa di sekeliling selulosa merupakan hambatan utama untuk menghidrolisis selulosa (Sjostrom,1995). Hidrolisis sempurna selulosa akan menghasilkan monomer selulosa yaitu glukosa, sedangkan hidrolisis tidak sempurna akan menghasilkan disakarida dari selulosa yaitu selobiosa (Fan dkk, 1982). Selulosa dapat dihidrolisis menjadi glukosa dengan menggunakan media air dan dibantu dengan katalis asam atau enzim. Selanjutnya glukosa yang dihasilkan dapat difermentasi menjadi menjadi prodik fermentasi yang nantinya dapat diolah lagi menjadi etanol. Alga coklat dan hijau memiliki sebuah struktur polisakarida berupa selulosa yang secara esensial mirip dengan tumbuhan terestrial dan terdapat sekitar 10% dari bobot keringnya (Kennedy,1989). Penggunaan terbesar selulosa di dalam industri
24
adalah berupa serat kayu dalam industri kertas dan produk kertas dan karton. Pengunaan lainnya adalah sebagai serat tekstil yang bersaing dengan serat sintetis.
Gambar 2.2 Struktur Selulosa Yang Merupakan Polimer Dari Glukosa Pada Tabel 2.2 dapat diketahui besarnya kandungan selulosa dalam Gracilaria sebesar 19,7 % dan kandungan karbohidrat yang cukup tinggi dibandingkan dengan rumput laut jenis lain. Selulosa dapat dikonversi menjadi produk-produk bernilai ekonomi yang lebih tinggi seperti glukosa, etanol dan pakan ternak dengan cara menghidrolisis selulosa dengan bantuan selulase sebagai biokatalisator atau dengan cara hidroloisis secara asam atau basa (Kim dkk, 2008).
25
Tabel 2.2 Komposisi Kimia Rumput Laut Selulosa Galaktan
Karbohidrat
Protein
Jenis alga
etc (lipid, ash) (%) (%)
(%)
(%)
(%)
Gelidium amansii. Marocco
16,8
55,2
72,0
21,1
6,9
Gelidium amansii, joju
23
56,4
79,4
11,8
8,8
Gracilaria
19,7
44,4
74,1
11
14,9
Eucheuma Cottoni
7,1
43,4
50,5
4,9
44,6
Codium Fragile
10,9
47,8
58,7
34,7
6,6
Undaria pinattinda
2,4
38,7
41,1
24,2
34,7
Laminaria japonica
6,7
40,0
46,7
12,2
38,1
Alga Merah
Alga Hijau Alga Coklat
Sumber : Kim dkk. 2008
2.7.3 Lignin Lignin atau zat kayu adalah salah satu zat komponen penyusun tumbuhan. Komposisi bahan penyusun ini berbeda-beda bergantung jenisnya. Lignin merupakan zat organik polimer yang banyak dan yang penting dalam dunia tumbuhan. Lignin tersusun atas jaringan polimer fenolik yang berfungsi
merekatkan serat selulosa dan hemiselulosa sehingga menjadi sangat kuat. (Sun dan Cheng, 2002). Dalam kayu, kandungan lignin berkisar antara 20% hingga 40%. Kayu lunak normal mengandung 26-32% lignin, sedangkan kandungan lignin kayu keras adalah 35-40%. Lignin yang terdapat dalam kayu keras sebagian larut
26
selama hidrolisis asam. Pada batang, lignin berfungsi sebagai bahan pengikat
komponen penyusun lainnya, sehingga suatu pohon bisa berdiri tegak (seperti semen pada sebuah batang beton). Berbeda dengan selulosa yang terbentuk dari gugus karbohidrat, struktur kimia lignin sangat kompleks dan tidak berpola sama. Gugus aromatik ditemukan pada lignin, yang saling dihubungkan dengan rantai alifatik, yang terdiri dari 2-3 karbon. Proses pirolisis lignin menghasilkan senyawa kimia aromatis berupa fenol, terutama kresol. Lignin mempunyai struktur molekul yang sangat berbeda dengan polisakarida karena terdiri atas sistem aromatik yang tersusun atas unit-unit fenil propana. Kandungan lignin dalam kayu daun jarum lebih tinggi daripada dalam kayu daun lebar. Di samping itu, terdapat beberapa perbedaan struktur lignin dalam kayu daun jarum dan dalam kayu daun lebar (Fengel dan Wegener, 1984). Selain itu lignin merupakan tandon karbon utama di dalam biofer, kalau dihitung kira-kira 30% dari 1.4 x 1012 kg karbon disimpan di dalam lignin tanaman setiap tahunnya. Karena lignin merupakan salah satu komponen utama sel tanaman, karena itu lignin juga memiliki dampak langsung terhadap karakteristik tanaman. Misalnya saja, lignin sangat berpengaruh pada proses pembuatan pulp dan kertas. Struktur kimia lignin mengalami perubahan di bawah kondisi suhu yang tinggi dan asam. Pada reaksi dengan temperatur tinggi mengakibatkan lignin terpecah menjadi partikel yang lebih kecil dan terlepas dari selulosa (Taherzadeh dan Karimi, 2008).
27
Gambar 2.3 Struktur Lignin Saat ini biomassa lignoselulosa sedang dilirik untuk bahan baku pembuatan bahan bakar masa depan (etanol). Kandungan lignin merupakan salah satu penghambat utama biokonversi lignoselulosa menjadi etanol. Lignin dalam hal ini melindungi selulosa, sehingga selulosa sulit untuk dihidrolisis menjadi glukosa. Proses pretreatment saat ini banyak dilakukan untuk memecah pelindung ini sehingga selulosa menjadi mudah dihidrolisis tanpa banyak kehilangan polysakaridanya. Penelitian tentang lignin & biosintesa lignin saat ini banyak dilakukan untuk memaksimalkan pemanfaatan biomassa lignoselulosa. Seperti misalnya penelitian tentang struktur alami lignin, biosintesis lignin dan bagaimana menanipulasinya, di mana inisiasi lignin di dalam sel, transportasi monolignol dari dalam sel ke dinding sel, polymerasi lignin, dan topik-topik mendasar lainnya.
28
2.8 Karbohidrat Kata karbohidrat berasal dari kata karbon dan air. Secara sederhana karbohidrat didefinisikan sebagai polimer gula. Karbohidrat adalah senyawa karbon yang mengandung sejumlah besar gugus hidroksil. Karbohidrat paling sederhana bisa berupa aldehid (disebut isebut polihidroksialdehid atau aldosa) atau berupa keton (disebut polihidroksiketon atau ketosa). Berdasarkan pengertian di atas berarti diketahui bahwa karbohidrat terdiri atas atom C, H dan O. Adapun ru rumuss umum dari karbohidrat adalah: Cn(H2O)n atau CnH2nOn.
Gambar 2.4 Klasifikasi Karbohidrat (Sumber : Mc Donald, 1973)
29
Struktur komponen karbohidrat akan mengalami perubahan selama proses penyimpanan, hal ini tergantung pada bahan pakan yang disimpan. Perubahan pada komponen karbohidrat dari kelompok sugar pada bahan sereal akan meningkatkan gula reduksi dan mengurangi gula nonreduksi. Melalui terjadinya pernafasan, gula dirubah menjadi karbondioksida dan air pada kondisi kadar air diatas 14%. Sedangkan pada bahan pakan berserat yang mengandung banyak komponen karbohidrat kelompok nonsugar akan mengalami perubahan fisik berupa perubahan warna bahan dan bau, lepasnya ikatan-ikatan kuat komponen penyusun dinding sel dan terurainya komponen karbohidrat rantai panjang menjadi komponen karbohidrat yang memiliki rantai molekul lebih pendek.
2.8.1 Klasifikasi Karbohidrat Karbohidrat dapat dikelompokkan menurut jumlah unit gula, ukuran dari rantai karbon, lokasi gugus karbonil, serta stereokimia. Berdasarkan jumlah unit gula dalam rantai, karbohidrat digolongkan menjadi 4 golongan utama yaitu: 1.
Monosakarida (terdiri atas 1 unit gula)
2.
Disakarida
3.
Oligosakarida (terdiri atas 3-10 unit gula)
4.
Polisakarida
(terdiri atas 2 unit gula)
(terdiri atas lebih dari 10 unit gula)
Pembentukan rantai karbohidrat menggunakan ikatan glikosida. Berdasarkan lokasi gugus –C=O, monosakarida digolongkan menjadi 2 yaitu: 1.
Aldosa (berupa aldehid)
30
2.
Ketosa (berupa keton)
Gambar 2.5 Klasifikasi Karbohidrat Menurut Lokasi Gugus Karbonil Berdasarkan jumlah atom C pada rantai, monosakarida digolongkan menjadi: 1.
Triosa (tersusun atas 3 atom C)
2.
Tetrosa (tersusun atas 4 atom C)
3.
Pentosa (tersusun atas 5 atom C)
4.
Heksosa (tersusun atas 6 atom C)
5.
Heptosa (tersusun atas 7 atom C)
6.
Oktosa (tersusun atas 8 atom C)
Gambar 2.6 Klasifikasi Karbohidrat Menurut Jumlah Atom C
31
Gambar 2.7 Contoh Monosakarida Gambar 2.8 di atas (sebelah kiri) menunjukkan sebuah monosakarida triosa (memiliki 3 atom C), aldosa (berstruktur aldehid/ aldehid/-COH) sehingga ngga dinamakan gula aldotriosa. Sedangkan contoh kedua (sebelah kanan) menunjukkan sebuah monosakarida heksosa (memiliki 6 atom C), ketosa (berstruktur keton/R-CO-R) keton/R sehingga dinamakan gula ketoheksosa.
2.9 Etanol Etanol (Etil Alkohol) merupakan senyawa alkohol yang terdiri dari karbon, hydrogen dan oksigen, sehingga dapat dilihat sebagai turunan senyawa hidrokarbon yang mempunyai gugus hidroksil dengan rumus C2H5OH.. Karena merupakan senyawa alkohol, etanol memiliki beberapa sifat yaitu larutan yang tidak berwarna (jernih), berfase cair pada ada temperatur kamar, mudah menguap, serta mudah terbakar (Sudaryanto,2007).
32
Etanol bersumber dari bahan baku gula sederhana, pati dan selulosa. Setelah melalui proses fermentasi dan distilasi maka dihasilkan etanol. Etanol adalah senyawa organik yang merupakan zat cair, tidak berwarna, berbau spesifik, mudah terbakar dan menguap, dapat bercampur dalam air dengan segala perbandingan. Etanol mempunyai titik beku -114,1°C, titik didih pada 78,5°C serta density 0,789 g/ml pada 20°C (Shakashiri,2009). Secara garis besar penggunaan etanol adalah sebagai pelarut untuk zat organik maupun anorganik, bahan dasar industri asam cuka, ester, spirtus, asetaldehid, antiseptik. Selain digunakan di dalam arak, etanol juga digunakan sebagai bahan bakar pengganti bensin. Hal ini dikarenakan nilai oktan etanol lebih tinggi dari bensin premium yaitu 108, sehingga akan terbakar lebih sempurna pada rasio kompresi yang tinggi dan temperatur penguapan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan temperatur penguapan bensin sehingga akan menghasilkan perbandingan energi yang lebih baik jika dibandingkan dengan penggunaan bensin. Fungsi lain dari alkohol adalah sebagai octane booster, artinya etanol mampu menaikkan nilai oktan secara positif terhadap efisiensi bahan bakar. Fungsi lain ialah oxigenating agent, yakni alkohol mengandung oksigen sehingga menyempurnakan pembakaran bahan bakan dengan efek positif meminimalkan pencemaran udara. Etanol bisa digunakan dalam bentuk murni ataupun sebagai campuran untuk bahan bakar gasolin (bensin) maupun hidrogen. Dan perbandingan 10% ethanol dan 90% gasoline (E10), merupakan perbandingan campuran yang paling banyak digunakan sebagai bahan bakar kendaraan dalam usaha meningkatkan efisiensi pembakaran serta mengurangi
33
dampak dari gas karbon monoksida yang diperoleh dari pembakaran yang tidak sempurna. Setiap mol glukosa akan diubah menjadi dua mol etanol, oleh karena itu secara teoritis setiap glukosa memberikan 0.51 gram etanol. Pada kenyataannya etanol kadar alkoholnya tidak melebihi 90-95% dari hasil teoritis (Oura,1983). Etanol mengandung 35 persen oksigen, maka etanol dapat meningkatkan efisiensi pembakaran. Etanol juga ramah lingkungan karena emisi gas buangnya rendah kadar karbon monoksida, nitrogen oksida, dan gas-gas rumah kaca yang menjadi polutan. Karena proses pembuatan etanol meliputi proses fermentasi dan berbahan dasar biomassa, maka etanol juga dapat diartikan sebagai cairan biokimia dari proses fermentasi gula (sumber karbohidrat) dengan menggunakan bantuan mikroorganisme (Lowenstein, 1985).
Tabel 2.3 Sifat Fisika Etanol SIFAT Massa molekul relatif (g/mol) Titik beku (°C) Titik didih normal (°C) Dentitas pada 20°C (g/ml) Kelarutan dalam air (20°C) Viskositas pada 20°C (cP) Kalor spesifik, 20°C (kal/g°C) Kalor pembakaran, 25°C (kal/g) Kalor penguapan 78,32°C (kal/g) Sumber : Rizani. 2000
JUMLAH 46,07 -114,1 78,32 0,7893 Sangat larut 1,17 0,579 092,1 200,6
34
Mengingat pemanfaatan etanol beraneka ragam, maka grade etanol yang dimanfaatkan harus berbeda sesuai dengan penggunaannya. Untuk etanol yang mempunyai grade alkohol 96-99,5% volume dapat digunakan sebagai campuran untuk miras dan bahan dasar industri farmasi. Berlainan dengan besarnya grade etanol yang dimanfaatkan sebagai campuran bahan bakar untuk kendaraan, harus betul-betul kering dan anhydrous supaya tidak korosif, sehingga etanol yang dibutuhkan untuk campuran kendaraan bermotor harus mempunyai grade sebesar 99,5-100% (Reksowardojo, 2006). Etanol dapat dicampur dengan bensin dalam kuantitas yang bervariasi untuk mengurangi konsumsi bahan bakar minyak bumi, dan juga untuk mengurangi polusi udara. Bahan bakar tersebut dikenal di AS sebagai gasohol dan di Brasil sebagai bensin tipe C. Dua campuran umum di AS adalah E10 dan E85 yang mengandung 10% dan 85% etanol. Sedangkan campuran yang umum di Brasil adalah bensin tipe C dan jenis oktan tinggi, yang mengandung 20-25% etanol (Wargiono, 2006).
2.9.1 Etanol Generasi Kedua Pembuatan etanol secara konvensional di hasilkan melalui proses fermentasi bahan pati atau gula dari tanaman menjadi tanol dan air. Proses ini sering diistilahkan sebagai generasi pertama untuk memproduksi etanol. Untuk itu perlu dilakukan penelitian pembuatan etanol generasi kedua yang diharapkan dapat dikembangkan secara komersial. Etanol generasi pertama bahan bakunya berbasis pada bahan makanan seperti singkong, jagung, dimana bahan baku tersebut lebih mudah diolah menjadi etanol, namun terdapat kekurangan mendasar dimana akan terjadi
35
persaingan antara kebutuhan akan energi dengan kebutuhan pangan, terbentur pada penggunaan lahan yang luas sebagai media tanam dari tanaman pangan tersebut. Pada metode generasi yang kedua, bahan baku yang ada mempunyai jumlah yang cukup besar, seperti bahan – bahan berlignoselulosa dikonversikan menjadi etanol dengan menghidrolisis selulosa dan diteruskan dengan memfermentasikan gula yang kemudian dilanjutkan dengan proses untuk menghasilkan etanol. Pada pengembangan metode generasi yang kedua, etanol akan dihasilkan didasarkan pada bahan baku berselulosa dari limbah pertanian pasca panen seperti bagas tebu, jerami dan sekam padi, batang & tongkol jagung, tandan kosong sawit, serta limbah industri dan domestik (Soeprijanto,2010).
2.9.1.1 Proses Pembuatan Etanol Generasi Kedua Pretreatment limbah lignoselulosa harus dilakukan untuk meningkatkan hasil gula yang diperoleh dari tahapan hidrolisis. (Mosier, dkk., 2005). Gula yang diperoleh tanpa pretreatment kurang dari 20%, sedangkan dengan pretreatment dapat meningkat menjadi 90% dari hasil teoritis (Hamelinck, Hooijdonk, & Faaij, 2005). Tujuan pretreatment adalah untuk membuka struktur lignoselulosa agar selulosa menjadi lebih mudah diakses oleh enzim yang memecah polimer polisakarida menjadi monomer gula. Proses penggilingan merupakan salah satu cara pretreatment limbah lignoselulosa. Tujuan dari penggilingan yaitu untuk memperkecil ukuran bahan selulosa dan memecah ikatan kimia pada rantai
36
molekul yang panjang. Proses ini tidak dapat menghilangkan lignin, tetapi akan memepermudah perlakuan selanjutnya. Hidrolisis adalah salah satu tahapan selanjutnya dalam pembuatan etanol berbahan baku limbah lignoselulosa. Hidrolisis bertujuan untuk memecah selulosa dan hemiselulosa menjadi monosakarida (glukosa & xylosa) yang selanjutnya akan difermentasi menjadi etanol. Secara umum teknik hidrolisis dibagi menjadi dua, yaitu: hidrolisis berbasis asam dan hidrolisis dengan enzim. Hidrolisis sempurna selulosa menghasilkan glukosa, sedangkan hemiselulosa menghasilkan beberapa monomer gula pentose (C5) dan heksosa (C6). Pembuatan etanol dari glukosa melibatkan proses fermentasi. Fermentasi adalah perubahan 1 mol glukosa menjadi 2 mol etanol dan 2 mol CO2. Proses fermentasi dilakukan dengan menambahkan yeast atau ragi untuk mengkonversi glukosa menjadi etanol yang bersifat anaerob yaitu tidak memerlukan oksigen (O2). Menurut Judoadmidjojo dkk.(1989), proses fermentasi pembentukan etanol membutuhkan bantuan yeast atau khamir. Untuk bahan yang mengandung gula dalam bentuk polisakarida atau oligosakarida, terlebih dahulu harus diubah dulu dalam bentuk yang lebih sederhana yaitu monosakarida (fruktosa atau glukosa). Yeast tersebut akan merubah gula-gula sederhana yaitu fruktosa atau glukosa (C6H12O6) menjadi etanol (C2H5OH) dan karbondioksida (CO2). Proses pembuatan etanol secara garis besar meliputi persiapan bahan baku, proses fermentasi, dan pemurnian (distilasi). Secara singkat teknologi proses produksi etanol tersebut dapat dibagi dalam empat tahap, yaitu pretreatment, treatment, sakarifikasi, fermentasi dan distilasi (Nurdyastuti, 2008).
37
2.9.1.1.1 Proses Perlakuan Awal (Pretreatment) Proses pretreatment atau perlakuan awal sangat penting dalam langkah awal memudahkan pemecahan pati dan selulosa menjadi glukosa. Pretreatment biomassa lignoselulosa harus dilakukan untuk mendapatkan hasil yang tinggi di mana sangat penting untuk pengembangan teknologi biokonversi dalam skala komersial (Mosier, dkk, 2005). Pretreatment merupakan tahapan yang banyak memakan biaya dan berpengaruh besar terhadap biaya keseluruhan proses. Sebagai contoh pretreatment yang baik dapat mengurangi jumlah enzim yang digunakan dalam proses hidrolisis (Wyman,dkk.2005). Selama beberapa tahun terakhir berbagai teknik pretreatment telah dipelajari melalui pendekatan biologi, fisika, kimia. Menurut (Sun & Cheng, 2002) tahapan pretreatment seharusnya memenuhi kebutuhan seperti berikut: 1) Meningkatkan pembentukan gula atau kemampuan menghasilkan gula pada proses berikutnya melalui hidrolisis enzimatik; 2) Menghindari degradasi atau kehilangan karbohidrat; 3) Menghindari pembentukan produk samping yang dapat menghambat proses hidrolisis dan fermentasi, 4) Biaya yang dibutuhkan ekonomis. Teknik pretreatment yang telah dikembangkan lebih banyak dilakukan secara mekanik atau fisikokimia. Pretreatment secara biologi sedikit dilaporkan. Berbagai metode pretreatment telah diulas secara mendalam oleh Mosier dkk. (2005). Pretreatment dapat meningkatkan hasil gula yang diperoleh. Gula yang diperoleh tanpa
38
pretreatment kurang dari 20%, sedangkan dengan pretreatment dapat meningkat menjadi 90% dari hasil teoritis (Hamelinck, Hooijdonk, 2005). Selain itu tujuan dari pretreatment adalah untuk membuka struktur lignoselulosa agar selulosa menjadi lebih mudah diakses oleh enzim yang memecah polymer polisakarida menjadi monomer gula. Larutan alkali seperti NaOH, Ca(OH)2 dan ammonia sering digunakan untuk pretreatment biomassa, dan pengaruh pretreatment tergantung pada kandungan lignin didalam batang tanaman (Bjerre,dkk,1996). Bila biomassa ditreatment dengan NaOH encer, luas permukaan internal bahan meningkat dengan pembesaran permukaan. Pembesaran permukaan ini menyebakan penurunan derajad polimerisasi, pemisahan ikatan struktur lignin dan karbohidrat dan merusak struktur lignin (Fan,dkk,1987).
2.9.1.1.2 Natrium Hidroksida (NaOH) Natrium hidroksida (NaOH), juga dikenal sebagai soda kaustik atau sodium hidroksida, adalah sejenis basa logam kaustik. Natrium hidroksida terbentuk dari oksida basa Natrium oksida dilarutkan dalam air. Natrium hidroksida membentuk larutan alkali yang kuat ketika dilarutkan ke dalam air. Fungsi umum penggunaan dalam proses pembuatan kertas NaOH ada pada proses pendegradasian lignin. Proses delignifikasi menggunakan NaOH menurut Fengel dan Wegener (1995), merupakan proses dengan bahan aktif yang paling murah. Dalam proses chemical recovery-nya biasanya digunakan bahan kimia lain yakni Natrium
39
Karbonat. Natrium hidroksida digunakan di berbagai macam bidang industri, kebanyakan digunakan sebagai basa dalam proses produksi bubur kayu dan kertas, tekstil, air minum, sabun dan deterjen dan natrium hidroksida adalah basa yang paling umum digunakan dalam laboratorium kimia. Tabel 2.4 Sifat Fisika NaOH Rumus molekul NaOH Massa molar 39,9971 g/mol Penampilan zat padat putih Densitas 2,1 g/cm³, padat Titik leleh 318 °C (591 K) Titik didih 1390 °C (1663 K) Kelarutan dalam air 111 g/100 ml (20 °C) Kebasaan (pKb) -2,43 Sumber: Wikipedia
Natrium Hidroksida murni berbentuk putih padat dan tersedia dalam bentuk pelet, serpihan, butiran ataupun larutan jenuh 50%. NaOH bersifat lembab cair dan secara spontan menyerap karbon dioksida dari udara bebas. NaOH sangat larut dalam air dan akan melepaskan panas ketika dilarutkan. NaOH juga larut dalam etanol dan metanol, walaupun kelarutan NaOH dalam kedua cairan ini lebih kecil daripada kelarutan KOH. NaOH tidak larut dalam dietil eter dan pelarut non-polar lainnya
Gambar 2.8 Natrium Hidroksida
40
2.9.1.1.3 Proses Treatment Proses treatment atau perlakuan yang digunakan didalam penelitian menggunakan dua macam treatment, yaitu treatment secara fisika dan treatment secara biologi. Treatment secara fisika dilakukan dengan proses penggilingan dan penghancuran, sedangkan treatment
dengan cara biologi dilakukan dengan
menggunakan bantuan cairan EM4, dimana EM4 ini mengandung Azotobacter sp., Lactobacillus sp., ragi, bakteri fotosintesik dan jamur pengurai selulosa.
Gambar 2.9 Effective Microorganism (EM4)
EM4 adalah kultur campuran dari mikroorganisme yang menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman. Sebagian besar mengandung mikroorganisme Lactobacillus sp. bakteri penghasil asam laktat, serta dalam jumlah sedikit bakteri
41
fotosintetik Streptomyces sp. dan ragi. EM4 mampu meningkatkan dekomposisi limbah dan sampah organik, meningkatkan ketersediaan nutrisi tanaman serta menekan aktivitas serangga hama dan mikroorganisme patogen.
Tabel 2.5 Komposisi Kandungan EM4 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Komposisi Lactobacillus Bakteri Pelarut Fosfat Yeast/Ragi Calsium (Ca) Magnesium (Mg) Besi (Fe) Aluminium (Al) Zinc (Zn) Cooper (Cu) Mangan (Mn) Sodium (Na) Boron (B) Nitrogen (N) Nickel (Ni) Kalium (K) Phospor (P) Chlorida (Cl) C Organik (C) pH
Kadar (netto 1 Liter) 8,7 x 105 7,5 x 106 8,5 x106 1.675 ppm 597 ppm 5,54 ppm 0,1 ppm 1,90 ppm 0,01 ppm 3,29 ppm 363 ppm 20 ppm 0,07 ppm 0,92 ppm 7,675 ppm 3,22 ppm 414,35 ppm 27.05 ppm 3,9
Sumber : Lab Fak. MIPA IPB Bogor, 2006
EM4 diaplikasi sebagai inokulan untuk meningkatkan keragaman dan populasi mikroorganisme di dalam tanah dan tanaman, yang selanjutnya dapat meningkatkan kesehatan, pertumbuhan, kuantitas dan kualitas produksi tanaman secara berkelanjutan. Keuntungan dan manfaat EM4 adalah sebagai berikut: a)
Memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah.
42
b)
Meningkatkan ketersediaan nutrisi tanaman, serta menekan aktivitas serangga hama dan mikroorganisme patogen.
c)
Meningkatkan dan menjaga kestabilan produksi tanaman dan menjaga kestabilan produksi.
d)
Mempercepat proses fermentasi pada pembuatan kompos. Kompos yang dibuat dengan teknologi EM4 disebut dengan bokashi.
e)
Memperbaiki komposisi dan jumlah mikroorganisme pada perut ternak sehingga pertumbuhan dan produksi ternak meningkat. EM4 juga dapat digunakan untuk mempercepat pengomposan sampah
organik atau kotoran hewan, membersihkan air limbah, serta meningkatkan kualitas air pada tambak udang dan ikan. Proses perlakuan fisika dapat dilakukan dengan cara pemotongan, penggilingan, pemanasan dan penekanan. Proses ini dinamakan juga dengan proses gelatinasi. Dalam proses gelatinasi bahan baku yang mengandung karbohidrat seperti ubi kayu, ubi jalar, atau jagung dihancurkan dan dicampur air sehingga menjadi bubur, yang diperkirakan mengandung pati antara 27-30 persen. Kemudian bubur pati tersebut dimasak atau dipanaskan selama 2 jam sehingga berbentuk gel. Proses gelatinasi tersebut dapat dilakukan seperti dibawah ini: a) Bubur pati dipanaskan sampai 130°C selama 30 menit, kemudian didinginkan sampai mencapai temperatur 95°C yang diperkirakan memerlukan waktu sekitar 15 menit. Temperatur 95°C tersebut dipertahankan selama sekitar 1 jam 15 menit, sehingga total waktu yang dibutuhkan mencapai 2 jam.
43
Pemanasan dengan suhu tinggi (1300 C) dimaksudkan untuk memecah granula pati, sehingga lebih mudah terjadi kontak dengan air enzim. Perlakuan pada suhu tinggi tersebut juga dapat berfungsi untuk sterilisasi bahan, sehingga bahan tersebut tidak mudah terkontaminasi.
2.9.1.1.4 Proses Sakarifikasi Pada tahap sakarifikasi, selulosa diubah menjadi selobiosa dan selanjutnya menjadi gula-gula sederhana seperti glukosa. Hidrolisis selulosa dapat dilakukan menggunakan larutan asam atau secara enzimatis, masing-masing dengan kelebihan dan kekurangannya. Proses hidrolisis secara enzimatis biasanya berlangsung pada kondisi yang ringan (pH sekitar 4,80 dan suhu 45–50°C) dan tidak menimbulkan masalah korosi. Kelemahannya adalah harga enzim cukup mahal. Komponen biaya enzim dapat mencapai 53 – 65% dari biaya bahan kimia, dan biaya bahan kimia sekitar 30% dari biaya total.
2.9.1.1.5 Proses Fermentasi Fermentasi merupakan proses mikrobiologi yang dikendalikan oleh manusia untuk memperoleh produk yang berguna, dimana terjadi pemecahan karbohidrat dan asam amino secara anaerob. Peruraian dari kompleks menjadi sederhana dengan bantuan mikroorganisme sehingga menghasilkan energi. (Perry, 1999). Fermentasi dapat diartikan juga sebagai perubahan gradual oleh enzim beberapa bakteri, khamir dan jamur. Contoh perubahan kimia dari fermentasi meliputi
44
pengasaman susu, dekomposisi pati dan gula menjadi alkohol dan karbondioksida, serta oksidasi senyawa nitrogen organik (Hidayat, dkk, 2006). Sementara itu menurut Winarno dan Fardiaz, (1990), fermentasi adalah suatu reaksi oksidasi-reduksi di dalam sistem biologi yang menghasilkan energi, dimana sebagai donor dan akseptor elektron menggunakan senyawa organik. Senyawa organik yang biasa digunakan sebagai substrat adalah karbohidrat dalam bentuk glukosa. Senyawa tersebut akan diubah oleh reaksi-reaksi dengan katalis enzim menjadi suatu bentuk lain misalnya aldehida dan dapat dioksidasi menjadi asam. Ragi mempunyai kemampuan dapat memfermentasi gula yaitu glukosa, galaktosa, sukrosa, maltosa, laktosa, dan polisakarida. Oksigen tidak ikut serta pada proses peragian karena peragian glukosa oleh ragi merupakan peristiwa anaerob tetapi ragi sendiri adalah organisme aerob. Ragi dapat ditemukan pada media yang dapat membentuk gula yang dapat diragikan seperti nectar dari bunga, buah dan dedaunan. Pertumbuhan ragi tergantung dari ketersediaan air. Bahan-bahan yang terlarut dalam air digunakan oleh mikroorganisme untuk membentuk bahan sel dan memperoleh energi yaitu bahan makanan. Selama fermentasi berlangsung, gula dalam bentuk glukosa dirombak menjadi etanol dan berbagai substansi lainnya seperti gliserol dan asam laktat yang disebut sebagai produk fermentasi. Perombakan tersebut berlangsung bersamaan dengan pembentukkan asam, khususnya asam asetat yang semakin meningkat jumlahnya dari asam-asam volatile lainnya (Winton, 1958). Secara umum proses fermentasi alkohol terjadi dari pemecahan karbohidrat melalui suatu degradasi dari monosakarida yaitu glukosa menjadi asam piruvat. Asam
45
piruvat ini selanjutnya akan dirombak menjadi etanol dan juga CO2 yang biasanya berlangsung melalui proses oksidasi reduksi dengan menggunakan DNPH + H+ sebagai donor elektron (Winarno dan Fardiaz, 1990). Proses fermentasi akan berlangsung dengan baik apabila mengikuti kaidah – kaidah seperti dibawah ini: 1. Mikroorganisme dapat membentuk produk yang diinginkan. 2. Organisme ini harus berpropagasi secara cepat dan dapat mempertahankan keseragaman biologis, sehingga memberikan yield yang dapat diprediksi. 3. Fermentasi dapat berlangsung dengan cepat. 4. Produk mudah diambil dan dimurnikan. Reaksi dalam fermentasi berbeda-beda tergantung pada jenis gula yang digunakan dan produk yang dihasilkan. Secara singkat, glukosa (C6H12O6) yang merupakan gula paling sederhana, melalui fermentasi akan menghasilkan etanol (2C2H5OH). Reaksi fermentasi ini dilakukan oleh ragi, dan digunakan pada produksi makanan. Mikroba-mikroba dalam fermentasi meliputi ragi, kapang, dan bakteri. Karena organisme tersebut tidak memiliki klorofil sendiri, mereka tidak dapat melakukan fotosintesis, sehingga mereka harus mendapatkan makanannya dari bahan-bahan organik. Tiap jenis mikroba memiliki ciri morfologi, bentuk dan ukuran, serta perkembangbiakan yang berbeda, namun mereka memiliki persamaan, yaitu dapat menghasilkan enzim. Menurut produk yang paling banyak dihasilkan, dikenal beberapa macam fermentasi, yaitu fermentasi etanol, fermentasi asam sitrat, fermentasi asam propinoat, fermentasi asam butirat, dan fermentasi asam asetat.
46
Salah satu jenis mikroorganisme yang memiliki daya konversi gula menjadi etanol yang sangat tinggi adalah Saccharomycess cereviceae. Mikroorganisme ini menghasilkan enzim zimase dan invertase. Enzim zimase berfungsi sebagai pemecah sukrosa menjadi monosakarida (glukosa dan fruktosa). Enzim invertase selanjutnya mengubah glukosa menjadi etanol. Konsentrasi gula yang umumnya dibuat dalam pembuatan etanol sekitar 14-20 persen. Jika konsentrasi gula terlalu tinggi akan menghambat aktivitas ragi. Lama fermentasi diperkirakan sekitar 30-70 jam dengan kondisi fermentasi anaerob (Judoamidjojo, dkk, 1992). Fermentasi etanol berlangsung secara anaerob (tanpa oksigen) dan untuk kelangsungan hidupnya, Saccharomyces cereviceae membutuhkan energi. Di dalam proses fermentasi, Saccharomyces cereviceae memperoleh energi dari bahan yang difermentasikan. Kondisi – kondisi yang memungkinkan fermentasi berlangsung secara anaerob adalah : a) Menggunakan khamir Saccharomyces cereviceae. b) Mampu mengubah glukosa menjadi produk fermentasi. c) Temperatur proses sekitar 45- 65 oC dan pH 2-6. d) Memerlukan nutrisi yang mengandung karbon, nitrogen dan senyawa anorganik. Adapun kelebihan-kelebihan apabila fermentasi menggunakan proses anaerob : a) Mengubah gula menjadi etanol dengan satu langkah. b) Bakteri tumbuh dengan baik pada temperatur 60oC. Perbedaan temperatur yang besar antara suhu media dengan suhu air pendingin memudahkan dalam pembuangan panas.
47
c) Kontaminasi
dengan
organisme
yang
membutuhkan
bisa
diminimalisasi karena bekerja pada kondisi anaerob. d) Organisme yang hanya dapat hidup dalam kondisi mendekati pH netral akan mati karena operasi fermentasi dilakukan pada kondisi asam dengan pH 4,5- 6. Kekurangan proses anaerob : a) Kosentrasi etanol lebih rendah dibandingkan dengan proses aerob. b) Biaya proses lebih mahal dibandingkan dengan proses aerob. Secara garis besar, fermentasi karbohidrat oleh dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu: 1.
Pemecahan karbohidrat (pati) menjadi gula pereduksi Pemecahan karbohidrat menjadi gula pereduksi karena difermentasi oleh enzim diastase dan zymase yang terkandung dalam ragi, seperti yang terlihat pada reaksi berikut : 2(C6H10O5)n + nH2O pati C12H22O11 Zymase Maltosa
2.
nC12H22O11 Maltosa C6H12O6 Glukosa
diastase
Perubahan gula pereduksi menjadi etanol Perubahan gula pereduksi menjadi etanol dilakukan oleh enzyme invertrase, yaitu enzim kompleks yang terkandung dalam ragi. Reaksinya adalah sebagai berikut : invertrase
C6H12O6 Glukosa
2C2H5OH + 2CO2 + 2 ATP Etanol + karbondioksida+ (Energi = 118 kJ per mol)
48
Ditinjau dari reaksi diatas, dapat dilihat bahwa oksigen (O2) ternyata tidak diperlukan, yang ada hanya pengubahan zat organik yang satu menjadi zat organik yang lain (glukosa menjadi etanol). 3. Fermentasi Asam Asetat Merupakan kelanjutan dari proses fermentasi alkohol. Proses dimulai dari proses pemecahan gula menjadi alkohol, selanjutnya alkohol menjadi asam asetat. bakteri 2C2H5OH + 2 O2 Bakteri yang aktif : Acetobacter aceti Acetobacter pasteurianum Acetobacter oxydans, dll
2 CH3COOH + 2H2O
Selanjutnya adalah proses pemecahan selulosa menjadi glukosa dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu : 1. Pemecahan dengan media air (proses hidrolisis) Hidrolisis adalah suatu proses antara reaktan dengan air agar suatu senyawa pecah terurai. Reaksi hidrolisis antara selulosa dengan air dapat dijabarkan sebagai berikut: (C6H10O5)n + n H2O Polisakarida air
nC6H12O6 Glukosa
Reaksi antara selulosa dengan air ini berlangsung sangat lambat sehingga diperlukan bantuan katalisator untuk memperbesar kereaktifan air. Katalisator ini bisa berupa asam maupun enzim katalisator asam yang biasa digunakan adalah asam klorida, asam nitrat dan asam sulfat dan natrium hidroksida (NaOH). Dalam industri umumya digunakan asam klorida sebagai katalisator.
49
2. Pemecahan dengan Menggunakan enzim Selulase Selulosa dapat dihidrolisis menjadi glukosa dengan bantuan enzim sebagai katalis. Selulosa dapat dihidrolisis oleh enzim selulase menjadi glukosa dan selobiosa, dan glukosa merupakan hasil hidrolisis sempurna dari selulosa. Reaksinya dapat dijabarkan sebagai berikut: Enzim Selulase (C6H10O5)n Selulosa
nC6H12O6 Glukosa
Efektivitas hidrolisis enzimatis selulosa dapat ditingkatkan dengan melakukan pemanasan terhadap bahan baku yang akan dihidrolisis yaitu dengan menggunakan uap air pada suhu yang tinggi. Pemanasan ini menyebabkan proses degradasi hemiselulosa menjadi pentosa. Pada penelitian sebelumnya sudah banyak yang memanfaatkan metode fermentasi dalam menghasilkan etanol, dan kebanyakan masih menggunakan biomassa darat sebagai bahan baku dalam proses fermentasi. Penelitian Aminah dan Suparti (2009) yang meneliti tentang lama fermentasi dan dosis ragi terhadap kadar glukosa dan etanol pada gaplek ketela pohon dan didapatkan hasil bahwa waktu fermentasi dan variasi dosis ragi cukup berpengaruh terhadap kadar glukosa pada fermentasi. Selanjutnya dari penelitian Endah dan Adrian (2007) bahwa suhu proses fermentasi berpengaruh terhadap hasil etanol dan jenis yeast kering (dried yeast) memberikan hasil etanol yang lebih besar. Menurut Agnes pada pembuatan etanol dari buah nangka (2009) variabel yang paling berpengaruh adalah waktu fermentasi, kadar nutrisi, suhu dan kadar ragi. Berdasarkan hasil penelitian Sriyanti (2003), bahwa tinggi rendahnya kadar gula dan kadar alkohol tiap gramnya dipengaruhi oleh banyak sedikitnya
50
kandungan karbohidrat. Hal ini menunjukkan kadar karbohidrat yang lebih tinggi mempengaruhi kadar alkohol yang dihasilkan dalam proses fermentasi karbohidrat. Sedangkan dalam penelitian Sugiarti (2007), menyimpulkan bahwa semakin lama waktu fermentasi maka semakin tinggi pula kadar alkohol yang dihasilkan dan semakin banyak dosis ragi yang diberikan maka kadar alkohol juga akan semakin tinggi. Selanjutnya adalah dari penelitian Ratna Putri (2009) yang membuat etanol dari nira sorgum dengan proses fermentasi didapat hasil bahwa percobaan pada 9% volume starter dan waktu fermentasi 7 hari memberikan kadar alkohol yang paling tinggi yaitu sekitar 11,82 %. Berikutnya adalah penelitian Wahyudi (2007) yang memproduksi alkohol dari tetes tebu (molase) dengan starter Saccharomycess ellipsoideus dan randemen produk substrat yang tinggi diperoleh kadar alkohol tertinggi yaitu sebesar 11,85%. Secara garis besar kelemahan mendasar dari serangkaian penelitian diatas adalah masih rendahnya kadar alkohol yang dihasilkan dan dan masih statis pada proses fermentasi konvensional saja, selain itu mereka masih memanfaatkan tanaman pangan dan biomassa yang pembudidayaannya masih terbatas, lambat dan memerlukan lahan tanam yang sangat luas dan akan timbul persaingan dengan kebutuhan pangan, sehingga dapat mengancam kelangsungan hidup manusia. Selain itu ketersediaannya juga tidak
kontinyu dan cenderung musiman, padahal salah satu syarat mutlak
pembuatan etanol dari biomassa adalah harus adanya ketersediaan bahan baku yang kontinyu, cepat, mudah dikembangkan serta kemudahan dalam hal penanganan dan penyimpanan serta ramah lingkungan dan tidak mengancam kebutuhan manusia akan kebutuhan pangan.
51
Untuk itu perlu ditawarkan solusi alternatif dalam hal pembuatan etanol dari limbah rumput laut khususnya jenis Eucheuma cottonii yang kontinyu ketersediaannya, karena dikembangkan oleh sebagian besar petani rumput laut di Indonesia, dan mempunyai lahan tanam yang sangat luas karena letaknya diperairan. Proses pembuatan etanol disini dapat dioptimalkan dengan serangkaian proses- proses perlakuan sebelum memasuki tahapan proses fermentasi yang diharapkan mampu meningkatkan kadar alkohol dalam produk fermentasi dan pada akhirnya dapat dikaji kembali sebagai bahan bakar nabati yang ramah lingkungan serta terbarukan.
2.10 Mekanisme Fermentasi Di dalam proses fermentasi, kapasitas mikroba untuk mengoksidasi tergantung dari jumlah aceptor electron terakhir yang dapat dipakai. Sel-sel melakukan fermentasi menggunakan enzim - enzim yang akan mengubah hasil dari reaksi oksidasi, dalam hal ini yaitu asam menjadi senyawa yang memiliki muatan positif, sehingga dapat menangkap elektron terakhir dan menghasilkan energi (Winarno dan Fardiaz, 1990). Menurut Reed (1982), bahwa sukrosa mula-mula dihidrolisis menjadi glukosa dan fruktosa oleh enzim invertase kemudian glukosa dan fruktosa juga menjadi asam pyruvat melalui tahap-tahap reaksi pada jalur Embden-Meyerhof-Parnas. Selanjutnya asam pyruvat didekarbosilasi menjadi asetaldehida menjadi etanol. Untuk memperoleh hasil fermentasi yang optimum, persyaratan untuk pertumbuhan ragi harus diperhatikan, yaitu: 1. pH dan kadar karbohidrat dari substrat 2. Temperatur selama fermentasi
52
3. Kemurnian dari ragi itu sendiri (Winarno, dkk., 1980). Jika tumbuh dalam keadaan anerobik,, kebanyakan khamir lebih cenderung memfermentasi substrat karbohidrat untuk menghasilkan etanol bersama sedikit produk akhir sesuai dengan mekanisme fermentasi sebagai berikut :
Gamb Gambar 2.10 Mekanisme Fermentasi Alkohol (Sumber : Departemen Biologi Davidson College, 2010)
2.11 Faktor-Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Proses Fermentasi 1. Temperatur Fermentasi etanol sebagai eksi enzimatik akan berlangsung dengan baik antara temperatur 24 – 30oC, sebab pada temperatur tersebut enzim yang dihasilkan oleh mikroba Saccharomyces cereviceae dapat melangsungkan aktifitasnya dengan baik. Diatas temperatur tersebut aktifitas enzim yang dihasilkan akan menurun karena mengalami denaturasi. Sedangkan diba dibawah wah temperatur 24oC proses fermentasi akan berlangsung lambat.
53
2. pH Aktifitas enzim sangat dipengaruhi oleh pH dari medium fermentasi. Aktifitas enzim terletak pada trayek pH tertentu dan mempunyai pH optimal. Di luar pH optimal, enzim akan bekerja lebih lambat. Untuk enzim yang melangsungkan fermentasi etanol, pH optimalnya adalah 4,5- 6,0. 3. Oksigen Oksigen pada proses fermentasi harus diatur sebaik mungkin untuk memperbanyak atau menghambat pertumbuhan mikroba tertentu. Misalnya Saccharomyces cereviceae yang menghasilkan etanol dari gula akan lebih baik dalam keadaan anaerobik. Setiap mikroba membutuhkan oksigen yang berbeda jumlahnya untuk pertumbuhan atau membentuk sel-sel baru dan untuk fermentasi. Seperti misalnya Saccharomyces cereviceae akan tumbuh lebih baik pada keadaan aerobik tetapi bila melakukan terhadap gula jauh lebih cepat dalam keadaan anaerobik. 4. Konsentrasi Gula (substrat) dan Konsentrasi Enzim Untuk mendapatkan hasil etanol yang optimal, diperlukan konsentrasi enzim tertentu untuk mengubah semua substrat menjadi produk. Hal ini berarti jumlah etanol optimal yang dihasilkan bergantung pada konsentrasi gula (substrat) yang akan diubah oleh enzim. Konsentrasi gula yang diperlukan untuk fermentasi adalah 10 sampai 18 %. Apabila konsentrasi gula terlalu tinggi maka proses fermentasi akan berjalan lambat. 5. Jenis Mikroba
54
Setiap jenis fermentasi mempergunakan mikroba dengan jenis yang berbeda. Sebagai contoh dalam fermentasi yang digunakan adalah mikroba jenis Saccharomyces cereviceae. 6. Konsentrasi Etanol Seperti mikroba lainnya, Saccharomyces cereviceae tidak tahan terhadap konsentrasi etanol yang lebih besar dari 14% dan pada konsentrasi etanol 16% kegiatan Saccharomyces cereviceae sudah hampir tidak ada sehingga kecepatan fermentasi juga terhenti. 7. Waktu Fermentasi Laju
perbanyakan
bakteri
bervariasi
menurut
spesies
dan
kondisi
pertumbuhannya. Pada kondisi optimal, bakteri akan membelah sekali setiap 20 menit. Untuk beberapa bakteri memilih waktu generasi, yaitu selang waktu antara pembelahan, dapat dicapai selama 12 menit. Jika waktu generasinya 20 menit, pada kondisi yang cocok sebuah sel dapat menghasilkan beberapa juta sel selama 7 jam. 8. Makanan Semua mikroorganisme memerlukan makanan dan nutrien yang berfungsi untuk menyediakan: - Energi, biasanya diperoleh dari substansi yang mengandung karbon, yang salah satu sumbernya adalah gula. - Nitrogen, sebagian besar mikroba yang digunakan dalam fermentasi berupa senyawa organik maupun anorganik sebagai sumber nitrogen. Salah satu contoh sumber nitrogen yang dapat digunakan adalah urea.
55
- Mineral, mineral yang diperlukan mikroorganisme salah satunya adalah phospat yang dapat diambil dari pupuk TSP. - Vitamin, sebagian besar sumber karbon dan nitrogen alami mengandung semua atau beberapa vitamin yang dibutuhkan. Defisiensi vitamin tertentu dapat diatasi dengan cara mencampur berbagai substrat sumber karbon atau nitrogen (Fessenden, 1982). Fermentasi dihentikan bila kadar alkohol telah mencapai 14-16%. Jika diinginkan kadar yang lebih tinggi campuran itu harus disuling. Destilat (sulingan) berupa campuran azeotrop 95% alkohol, 5% air (suatu campuran azeotrop ialah suatu campuran yang mendidih pada suatu titik didih konstan seakan-akan suatu senyawa murni). Destilat ini dapat dicampurkan kembali ke campuran peragian atau fermentasi untuk meningkatkan keadaan kadar alkoholnya atau dapat ditambahi air untuk mendapatkan kadar yang diinginkan (Fessenden, 1982).
2.12 Laju Fermentasi Laju fermentasi disini merupakan massa produk fermentasi yang dihasilkan dari suatu proses fermentasi per satuan waktu fermentasi. Massa yang dihasilkan dari proses ini adalah massa dari produk fermentasi yang terbentuk selama proses fermentasi dalam rentang waktu tertentu. Berikut ini merupakan persamaan untuk menentukan laju fermentasi dalam proses fermentasi limbah Eucheuma cottonii : •
mb =
∆mb ……………………………………………............... (2.1) ∆t
56
dimana : •
mb
= Laju Fermentasi ( kg / hari)
∆mb = Massa Produk Fermentasi Yang Dihasilkan ( kg ) ∆t
= Selang Waktu fermentasi ( hari)
2.13 Khamir (Yeast) Sejak dahulu kala, yeast telah digunakan oleh manusia untuk menghasilkan makanan dan minuman yang diinginkan. Dapat dinyatakan disini bahwa yeast merupakan jasad renik (mikroorganisme) yang pertama yang digunakan manusia dalam industri pangan.
Gambar 2.11 Ragi Roti (Saccharomyces cerevisiae)
Khamir dapat berkembang biak dalam gula sederhana seperti glukosa, maupun gula kompleks disakarida yaitu sukrosa. Selain itu untuk menunjang kebutuhan hidup diperlukan oksigen, karbohidrat, dan nitrogen. Pada uji fermentasi gula-gula mempunyai reaksi positif pada gula dekstrosa, galaktosa, sukrosa, maltosa, raffinosa, trehalosa, dan negatif pada gula laktosa (Lodder, 1970) .
57
Jenis khamir yang populer dikembangkan adalah Saccharomyces cerevisiae yang disebut dengan Baker’s yeasts. Sejak saat itu, perusahan roti, minuman dan para ahli mulai berupaya untuk memproduksi strain murni yeast yang tepat untuk keperluan industri yang disesuaikan dengan rasa dan keperluan kualitas serta karateristik lainnya. Sedangkan di Indonesia yang dikenal dengan ragi untuk tape sebenarnya ada yang tidak murni dari jenis yeast saja akan tetapi dicampur dengan jenis bakteri dimana disesuaikan dengan kebutuhan produk yang akan dihasilkannya.
2.14 Sumber Energi Yeast Untuk keperluan hidupnya khamir (yeast) memerlukan bahan-bahan organik dan anorganik. Khamir mendapatkan energi dari ikatan karbon untuk pertumbuhan dan perkembangbiakannya yang berasal dari molekul sederhana seperti gula, asam organik atau alkohol yang diubah menjadi senyawa kompleks seperti protein, polisakarida, lemak dan lignin (Garraway dan Evans, 1984). Sementara itu menurut Prescott dan Dunn (1981), khamir memerlukan media dan lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Unsur-unsur dasar yang dibutuhkan adalah karbon, hidrogen, oksigen, fosfor, potasium zat besi dan magnesium. Unsur karbon banyak diperoleh dari gula, sedangkan sebagai sumber notrogen dapat digunakan amonia, garam amonium, asam amino, peptida, pepton, nitrat atau urea tergantung dari jenis khamir. Sementara itu menurut Buckle,dkk, (1987) karbon dan energi dapat diperoleh dari karbohidrat sederhana seperti glukosa. Karbohidrat tersebut merupakan sumber karbon yang paling banyak digunakan dalam proses fermentasi oleh sel khamir.
58
2.15 Saccharomyces cerevisiae Saccharomyces cerevisiae merupakan mikroorganisme unggul yang digunakan dalam proses fermentasi dalam usaha menghasilkan etanol. Dalam melakukan proses fermentasi, Saccharomyces cerevisiae dipengaruhi oleh faktor tumbuh yang meliputi pH pertumbuhan antara 2,0-8,6 dengan pH optimum antara 4,5-5,0. Laju fermentasi gula oleh Saccharomyces cerevisiae relatif intensif pada pH 3,5-6,0 (Goebol, 1987). Sedangkan menurut Fraenkel (1982), temperatur pertumbuhan yang optimum untuk Saccharomycess cereviceae adalah 28 - 36°C dan pH optimum untuk pertumbuhan sel khamir 4,5 - 5,5 ( Moat and Foster, 1988). Saccharomyces cerevisiae dapat memfermentasi glukosa, sukrosa, galaktosa serta rafinosa (Kunkee dan Mardon,1970). Saccharomyces cerevisiae merupakan top yeast tumbuh cepat dan sangat aktif memfermentasi pada suhu 20oC (Frazier dan Westhoff , 1978).
Saccharomyces cerevisiae dapat toleran terhadap kadar
alkohol yang cukup tinggi (12-18 % abv), tahan terhadap kadar gula yang tinggi dan tetap aktif melakukan fermentasi pada suhu 4-32oC (Harisson dan Graham,1970). Saccharomycess cereviseae mempunyai bentuk sel bundar, oval atau elongasi. Berkembang biak secara vegetatif dengan membentuk tunas dan membentuk spora aseksual pada askus 1 - 4 spora dengan bentuk yang beragam. Reproduksi generatif berlangsung dengan konjugasi isogami maupun heterogami (Pelczar, dkk., 1983). Taksonomi Saccharomyces sp adalah sebagai berikut (Sanger, 2009) : Super Kingdom
: Eukaryotik
Phylum
: Fungi
Subphylum
: Ascomycota
59
Class
: Saccharomycetes
Order
: Saccharomycetales
Family
: Saccharomycetaceae
Genus
: Saccharomyces
Species
: Saccharomyces cerevisiae Menurut Hartoto (1992), pada kondisi aerobik atau konsentrasi glukosa
tinggi Saccharomyces cerevisiae tumbuh dengan baik, namun alkohol yang dihasilkan rendah. Sedangkan pada kondisi anaerobik,, pertumbuhan lambat dan piruvat dari jalur katabolik dipecah oleh enzim piruvat dekarboksilase menjadi asetaldehid dan karbondioksida secara reduksi oleh enzim alkohol dehidrogenase. Pada kondisi aerobik, pemecahan gula mengikutsertakan oksigen atmosfir melalui beberapa lintasan proses. Pada respir respirasi asi oksidasi sempurna dari glukosa menghasilkan CO2 dan air, sedang oksidasi tidak sempurna diikuti oleh akumulasi asam dan lain-lain lain produk intermediet. Tabel 2.6 Komposisi Sel Khamir Saccharomyces cerevisiae
Sumber : Surawiria (1990 1990)
Saccharomyces cerevisiae telah lama digunakan dalam industri alkohol alkoho dan minuman beralkohol karena memiliki kemampuan dalam memfermentasi mfermentasi glukosa
60
menjadi etanol. Saccharomyces cerevisiae membutuhkan mineral tertentu (misalnya, Ca, Mg, Mn, Co, Fe, Cu, K, Na, Zn) untuk pertumbuhan dan fermentasi etanol. Sebagian besar nutrisi yang dibutuhkan biasanya sudah tersedia dalam bahan baku industri untuk produksi etanol.
61
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir Kerangka berpikir dalam penelitian ini dimulai dari usaha untuk mengkaji potensi pengembangan bahan bakar alternatif untuk mensubstitusi bahan bakar konvensional yang tidak terbarukan. Bahan bakar alternatif yang dikembangkan saat ini adalah etanol, dimana selama ini teknologi yang baru dikembangkan adalah teknologi pembuatan etanol generasi pertama dengan menggunakan bahan baku yang masih terpaku pada penggunaan biomassa darat yang mengandung karbohidart (starch based), yang dikhawatirkan dapat mengganggu keseimbangan pangan serta penggunaan lahan pertanian, sehingga perlu dilakukan diversifikasi energi dengan mengembangkan teknologi pembuatan etanol generasi kedua dengan memanfaatkan bahan baku biomasaa lain khususnya limbah bahan baku yang mengandung selulosa. Salah satu sumber bahan baku alternatif yang dapat dikaji dalam usaha pembuatan etanol generasi kedua dengan fokus pada biomassa yang hidup di perairan, khususnya dengan memanfaatkan limbah rumput laut Eucheuma cottonii yang dari sepengetahuan penulis dan kajian literatur ternyata mengandung karbohidrat sekitar 68,48% (Luthfy,1988) dan belum dikembangkan secara massal sebagai salah satu bahan baku pembuatan etanol di Indonesia, sehingga dapat dijadikan kajian penelitian sebagai salah satu sumber bahan baku untuk bahan bakar alternatif pengganti bahan bakar konvensional sebagai antisipasi dari kekhawatiran penggunaan etanol generasi pertama 61
62
yang mengancam kelangsungan tanaman pangan, serta mengantisipasi semakin menipisnya cadangan minyak bumi yang tidak terbarukan.
3.2 Konsep Adapun konsep penelitian yang digunakan disini dapat disederhanakan untuk memudahkan pemahaman dalam bentuk penjabaran seperti yang terlihat pada bagan di bawah ini: Mengantisipasi krisis energi akibat penggunaan bahan bakar fosil yang tidak terbarukan, serta kelangsungan etanol generasi pertama yang meragukan karena proses produksinya dapat mengancam kelangsungan komoditi pangan
Usaha pembuatan etanol generasi kedua dari limbah bahan baku yang mengandung selulosa terutama dari biomassa yang hidup di kawasan perairan, khususnya limbah rumput laut jenis Eucheuma cottonii Diperlukan usaha yang lebih kompleks dalam tahapan awal pembuatan etanol generasi kedua dari bahan berlignoselulosa karena adanya senyawa lignin yang membungkus matriks selulosa yang menghambat kerja yeast dalam proses fermentasi
Usaha – usaha yang diperlukan antara lain meliputi, proses pretreatment, delignifikasi, treatment secara fisika dan biologi, proses sakarifikasi, proses fermentasi, hingga dilanjutkan dengan pengukuran kadar alkohol, volume produk fermentasi dan perhitungan laju fermentasi
Dihasilkan produk fermentasi yang selanjutnya dapat dimurnikan lagi menjadi etanol generasi kedua sebagai jawaban atas permasalahan krisis energi dan pangan di dunia pada umumnya dan Indonesia pada khususnya
Gambar 3.1 Skema Konsep Penelitian
63
3.3 Hipotesis Dalam penelitian ini diberikan beberapa hipotesis awal dalam hal memperkirakan hasil penelitian kedepannya. a) Dari kajian pustaka dan perbandingan literatur yang telah dijabarkan pada bab sebelumnya, penulis mengambil hipotesis awal bahwa untuk setiap perlakuan awal pada tahap variasi konsentrasi NaOH pada proses delignifikasi, yang kemudian
dilanjutkan
dengan
variasi
pada
proses
treatment,
akan
mempengaruhi kadar alkohol, volume produk fermentasi dan laju fermentasi. Dimana kadar alkohol, volume produk fermentasi dan laju fermentasi pada limbah Eucheuma cottonii yang melalui proses delignifikasi akan menghasilkan hasil yang lebih baik, jika dibandingkan dengan spesimen tanpa perlakuan awal. b) Penentuan waktu fermentasi terbaik dilakukan dengan menggunakan starter Saccaromyces cereseviciae pada variasi konsentrasi yang berbeda serta pengukuran dilakukan selama 9 hari. Dari kajian pustaka dan perbandingan literatur, hipotesa awal yang dapat diambil untuk semua jenis perlakuan pada limbah Eucheuma cottoni, baik tanpa proses delignifikasi maupun dengan proses delignifikasi akan menunjukan peningkatan kadar alkohol pada hari ke 3, dan terjadi peningkatan kadar alkohol tertinggi pada hari ke 6, selanjutnya akan mengalami penurunan sampai pada batas hari ke 9. Hal ini disebabkan karena jumlah glukosa yang terkandung didalam limbah sudah semakin sedikit bahkan sudah hampir habis dikonversi menjadi produk fermentasi oleh Saccaromyces cereseviciae.
64
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian Adapun rancangan penelitian yang digunakan yang dipakai penulis dalam penelitian tesis ini mengandung beberapa urutan bagian yang dimulai dari penentuan data primer atau data utama yang digunakan dalam penelitian ini. Adapun data – data utama diperoleh dari berbagai ulasan baik berupa jurnal – jurnal nasional maupun internasional, buku – buku pendukung, yang membahas tentang kelangkaan bahan bakar fosil serta kelangsungan etanol generasi pertama sebagai bahan bakar alternatif yang berkompetisi dengan produksi pangan yang dikhawatirkan mengganggu keseimbangan pangan. Selanjutnya diperoleh juga informasi dari berbagai sumber yang membahas tentang berbagai pemanfaatan terbaru bahan berlignoselulosa khususnya limbah Eucheuma cottonii sebagai bahan baku pembuatan etanol sehingga dari komparasi literatur dan kajian pustaka dapat diperoleh sesuatu yang belum dikembangkan sehingga dapat diangkat menjadi salah satu topik penelitian saat ini, yaitu tentang tahapan proses pembuatan etanol dari limbah rumput laut Eucheuma cottonii, dimana penulis menitikberatkan pada tahapan proses fermentasi yang berorientasi pada penggunaan dan pengembangan metode baru dalam hal pengolahan limbah Eucheuma cottonii yang selama ini belum termanfaatkan secara optimal untuk dapat dijadikan salah satu sumber bahan baku pembuatan etanol generasi kedua yang nantinya dapat digunakan sebagai pengganti energi konvensional yang selama ini telah
64
65
digunakan dan menepis kekhawatiran umat manusia terhadap kelangsungan tanaman ta pangan.
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Proses perlakuan awal (delignifikasi) (delignifikasi), perlakuan, sampai dengan proses fermentasi limbah Eucheuma cottoni cottonii dilakukan di Pusat Kajian Industri dan Energi Program Studi Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Udayana, Bukit Jimbaran. Selanjutnya untuk pengujian kadar alkohol produk fermentasi dilakukan di Laboratorium Bioteknologi teknologi Gedung Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar Bali. Bali
Gambar 4.1 Limbah Eucheuma cottonii
4.3 Penentuan Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah rumput laut dari jenis Eucheuma ucheuma cottonii yang tersebar di sepanjang pantai Bali khususnya dan Indonesia pada umumnya. Obyek penelitian ini adalah di sekitar pantai Sawangan dan Serangan, dan sepanjang pantai Nusa Penida. Dimana populasii penelitian yang sekiranya dijadikan tempat pengambilan data awal penelitian adalah obyek penelitian
66
rumput laut jenis Eucheuma cottonii cukup besar karena mayoritas dikembangkan oleh para petani rumput laut, sehingga dapat diasumsikan produksi limbahnya pun juga akan lebih besar, karena untuk memenuhi standard ekspor harus memenuhi kriteria yang cukup ketat. Selanjutnya sumber pengambilan data juga diperoleh dari kajian literatur pada proses penelitian yaitu dari proses perlakuan awal (pretreatment) dengan metode delignifikasi dan proses perlakuan secara fisika dan biologi, dimana dari setiap variasi perlakuan awal dan perlakuan inilah diperoleh komparasi data yang pada akhirnya dapat dijadikan sebagai sumber pengambilan data penelitian.
4.4 Variabel Penelitian Variabel – variabel penelitian disini merupakan variabel – variabel yang sekiranya berpengaruh terhadap hasil penelitian dan dapat divariasikan dalam usaha diperoleh komparasi data – data penelitian. Adapun variasi – variasi variabel penelitian adalah sebagai berikut: 1. Variasi konsentrasi NaOH dalam pretereatment (delignifikasi). Variasi konsentrasi ini sangat berperan dalam usaha pendegradasian lignin sehingga akan berpengaruh terhadap jumlah/ konsentrasi selulosa didalam limbah Eucheuma cottonii, dimana diharapkan dari variasi konsentrasi NaOH ini diperoleh variasi konsentrasi yang tepat di dalam proses delignifikasi sehingga dapat mengoptimalkan proses fermentasi. 2. Variasi treatment, yaitu treatment secara fisika dan treatment secara biologi, dimana dari variasi treatment ini dapat diperoleh perbandingan data – data penelitian, sehingga dapat diperoleh data pada kondisis treatment yang manakah lebih mampu
67
dalam mengoptimalkan proses konversi selulosa menjadi karbohidrat dan selanjutnya dikonversi menjadi gula sederhana (glukosa). 3. Variasi konsentrasi ragi (Saccaromyces cereviciae), dimana variasi ini dilakukan untuk mengetahui pada variasi konsentrasi ragi berapakah yang berpengaruh signifikan pada laju fermentasi, volume produk fermentasi dan kadar alkohol yang dihasilkan. 4. Variasi waktu fermentasi sangat berpengaruh terhadap peningkatan kadar alkohol, karena hanya dalam rentang waktu yang tepatlah diperoleh kadar alkohol tertinggi sebelum pada akhirnya mulai menurun.
4.5 Bahan Penelitian Adapun bahan - bahan penelitian yang dibutuhkan dalam proses fermentasi limbah Eucheuma cottonii adalah sebagai berikut : 1.
Limbah Eucheuma cottonii
: ± 120 kg
2.
Saccaromyces cereviciae (yeast)
: ± 500 gram
3.
NaOH
: 1 kg
4.
Effective Microorganism (EM4)
: 3 liter
5.
Kapur (CaCO3)
: 1 kg
4.6 Instrumen Penelitian Dalam menunjang penelitian ini maka diperlukan instrumen – instrumen penelitian yang digunakan dalam hal membantu kelancaran penelitian. Adapun instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
68
1. Baskom besar
: 1 buah
Digunakan sebagai tempat penampungan limbah Eucheuma cottonii untuk melakukan proses penetralan garam dan proses delignifikasi, sebelum masuk ke tahapan proses treatment. 2.
Gelas ukur
: 1 buah
Digunakan untuk menampung dan mengukur volume produk fermentasi limbah Eucheuma cottonii. 3.
Heater
: 1 buah
Digunakan dalam proses hidrolisis dengan pemanasan pada bahan baku limbah Eucheuma cottonii dalam proses treatment sebelum memulai proses fermentasi. 4.
Timbangan digital
: 1 buah
Digunakan untuk menimbang perbandingan massa limbah Eucheuma cottonii dengan ragi (yeast) agar diperoleh komposisi yang sesuai. 5.
pH meter
: 1 buah
Digunakan mengukur derajat keasaman limbah Eucheuma cottonii sebelum memulai tahapan proses fermentasi. 6.
Basin
: 2 buah
Digunakan sebagai media dalam proses hidrolisis limbah Eucheuma cottonii dalam proses treatment. 7.
Vinometer
: 1 buah
Digunakan untuk mengukur kadar alkohol dalam skala rendah produk fermentasi limbah Eucheuma cottonii (rentang 0-25% alcohol by volume ).
69
Gambar 4.2 Vinometer
4.7 Prosedur Penelitian Adapun langkah-langkah penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Sebanyak 90 kg limbah rumput laut jenis Eucheuma cottonii ditaruh pada baskom besar, lalu dicuci dan dibilas dengan air bersih untuk memisahkan butiran pengotor dan pasir. 2. Setelah itu limbah Eucheuma cottonii memasuki tahapan proses penghilangan garam yang bertujuan untuk menghilangkan kandungan garam yang ada di dalam limbah Eucheuma cottonii agar nantinya tidak menghambat/ mengganggu kerja yeast dalam proses fermentasi. Proses penghilangan kandungan garam dalam limbah Eucheuma cottonii ini dilakukan dengan menggunakan senyawa kapur (CaCO3) yang dicampur dengan air dimana dalam penelitian ini penulis menggunakan
perbandingan 1 kg CaCO3 dilarutkan dalam 100 liter air.
Selanjutnya limbah Eucheuma cottonii dimasukkan dan direndam selama 24 jam. Adapun persamaan reaksi secara teoritis yang terjadi dalam proses penghilangan garam adalah sebagai berikut : 2 NaCl + CaCO3
Na2CO3 + CaCl2
70
3. Selanjutnya dilakukan pretreatment berupa proses delignifikasi. Proses delignifikasi disini merupakan proses degradasi lignin yang membungkus selulosa didalam matriks limbah Eucheuma cottonii, dimana keberadaan lignin ini akan menghambat aktifitas dari Saccharomyces cerevisiae yang terdapat dalam ragi dalam tahapan proses fermentasi. Adapun proses delignifikasi ini menggunakan proses delignifikasi secara kimia yaitu dengan menggunakan senyawa NaOH sebagai katalis dalam proses delignifikasi dengan variasi sebagai berikut: a. 30 kg limbah Eucheuma cottonii di delignifikasi dengan larutan NaOH 10 % selama 1 jam. b. 30 kg limbah Eucheuma cottonii di delignifikasi dengan larutan NaOH 15% selama 1 jam. c. 30 kg limbah Eucheuma cottonii di delignifikasi dengan larutan NaOH 20 % selama 1 jam. Pada proses delignifikasi pertama menggunakan 30 kg limbah Eucheuma cottonii yang di delignifikasi dengan larutan NaOH 10%. Untuk perbandingan antara media air dengan massa NaOH yang digunakan dapat diperoleh dengan rumus pengenceran sebagai berikut: a) Pengenceran dengan menggunakan NaOH 10% NaOH 10% = 10 gram NaOH dalam 100 ml air Mr NaOH = 40 Massa jenis (ρ) NaOH = 1,087 gr/ml Molaritas NaOH per 100 ml = (10 gram / 40)/100 ml = 0.25 mol/0,1 liter = 2,5 M
71
Rumus Pengenceran : V1.M1 = V2.M2 V1. 2,5 M = 5 liter .0,1M V1 = 0,5 M liter/2,5 M V1 = 0,2 liter V1 = 200 ml Massa NaOH = 200 ml x 1.087 gr/ml Jadi massa NaOH yang dibutuhkan untuk pengenceran dengan 5 liter air adalah 217,4 gram b) Pengenceran dengan menggunakan NaOH 15% NaOH 15% = 15 gram NaOH dalam 100 ml air Mr NaOH = 40 Massa jenis (ρ) NaOH = 1,087 gr/ml Molaritas NaOH per 100 ml = (15 gram / 40)/100 ml = 0,375 mol/0,1 liter = 3,75 M Rumus Pengenceran : V1.M1 = V2.M2 V1. 3,75 M = 5 liter .0,1M V1 = 0,5 M liter/3,75 M V1 = 0,133 liter V1 = 133 ml Massa NaOH = 130 ml x 1.087 gr/ml = 144,9 gram
72
c) Dengan cara yang sama dilakukan untuk kadar NaOH 20 % NaOH 20% = 20 gram NaOH dalam 100 ml air Mr NaOH = 40 Massa jenis (ρ) NaOH = 1,087 gr/ml Molaritas NaOH per 100 ml = (20 gram / 40)/100 ml = 0,5 mol/0,1 liter =5M Rumus Pengenceran : V1.M1 = V2.M2 V1. 5 M = 5 liter .0,1M V1 = 0,5 M liter/5 M V1 = 0,1 liter V1 = 100 ml Massa NaOH = 100 ml x 1.087 gr/ml Massa NaOH = 108,7 gram
(a) Gambar 4.3. (a) Senyawa NaOH
(b) (b) Proses Pengukuran Massa NaOH
73
4. Selanjutnya untuk setiap variasi pretreatment delignifikasi pada langkah nomor 3 diberikan treatment yang bertujuan untuk menghidrolisis selulosa menjadi gula sederhana. Adapun variasi yang digunakan dalam proses treatment ini adalah sebagai berikut: a) 15 kg limbah Eucheuma cottonii di treatment secara fisika, yaitu dengan dikukus selama 30 menit di dalam basin stainless steel pada temperatur 100 °C, lalu ditiriskan selama 1 jam (dalam hal ini proses sakarifikasi untuk menstabilkan derajat keasaman) dalam suhu ruangan (27°C-30°C). Setelah itu barulah masuk pada tahapan proses fermentasi dengan penambahan ragi dengan variasi komposisi 1:0,0015, 1:0,003, 1:0,0045, 1:0,006, 1:0,0075 untuk limbah Eucheuma cottonii dan ragi. b) Treatment secara biologi dilakukan dengan menggunakan 15 kg limbah Eucheuma cottonii yang di panaskan selama 30 menit di dalam basin stainless steel pada temperatur 100° C lalu ditiriskan selama 1 jam dalam suhu ruangan (27°C-30°C). Setelah itu ditambahkan cairan EM4 dengan perbandingan 1 kg limbah Eucheuma cottonii ditambahkan dengan 50 ml EM4 yang selanjutnya masuk pada tahapan proses fermentasi dengan penambahan ragi dengan variasi komposisi 1:0,0015, 1:0,003, 1:0,0045, 1:0,006, 1:0,0075 untuk limbah Eucheuma cottonii dan ragi.
74
(a)
(b)
Gambar 4.4 Proses Perlakuan Limbah Eucheuma Cottonii (a) Perlakuan Secara Fisika, (b) Perlakuan Secara Biologi
Kelima variasi campuran ragi dan limbah Eucheuma cottonii pada setiap pembagian treatment tersebut dimasukkan kedalam toples kaca agar tidak terjadi kontaminasi dengan udara luar dan ditutup dengan rapat, sehingga tercipta kondisi anaerob sehingga Saccharomyces cerevisiae dapat bekerja dengan baik dalam proses fermentasi.Proses fermentasi ini dilakukan dengan menggunakan media topless kaca untuk menjaga kondisi anaerob (tanpa udara) dengan pH awal 6, didalam ruang tertutup dalam suhu kamar (27-30°C). Tahapan proses fermentasi ini berlangsung selama 9 hari dimana pencatatan data dilakukan setiap 3 hari sekali untuk mengukur volume produk fermentasi dan kadar alkohol yang dihasilkan.
75
(a)
(b)
Gambar 4.5 (a) Proses Fermentasi Limbah Eucheuma cottonii dalam Kondisi Anaerob Pada Perlakuan Fisika, (b) Proses Fermentasi Limbah Eucheuma cottonii dalam Kondisi Anaerob Pada Perlakuan Biologi
5. Dalam setiap rentang waktu 3 hari hari, hasil fermentasi limbah Eucheuma cottonii cotto ditampung tampung dalam gelas ukur, lalu diukur volume produk fermentasi yang dihasilkan dari setiap variasi treatment (fisika dan biologi), variasi delignifikasi NaOH dan variasi konsentrasi ragi.
Gambar 4.6 Proses Penekanan Limbah Eucheuma cottoni ottonii Untuk Memperoleh Volume Produk Fermentasi
76
6. Selanjutnya dilakukan proses pengukuran kadar alkohol dengan menggunkan alat ukur vinometer, yang penggunaannya dapat dijabarkan sebagai berikut : a) Masukkan produk fermentasi kedalam vinometer hingga penuh, diamkan beberapa saat sehingga berada dalam keadaan steady, kemudian vinometer yang sudah terisi penuh dengan produk fermentasi tersebut dibalik, sehingga akan terjadi proses penurunan cairan, tunggu sesaat hingga penurunan cairan berhenti dan dari angka yang tertera pada skala vinometer dapatlah ditentukan berapa kadar alkohol dari produk fermentasi tersebut, dalam satuan persen volume (% abv).
Gambar 4.7 Skema Proses Pengukuran Kadar Alkohol
7. Selanjutnya adalah menghitung laju fermentasi dalam satuan (kg/hari) dari setiap rentang waktu fermentasi dari setiap variasi delignifikasi, variasi perlakuan fisika dan biologi dan variasi perbandingan konsentrasi limbah Eucheuma cottonii dengan ragi (yeast).
77
Gambar 4.8 Skema Alur Penelitian
78
4.8 Analisis Data Analisa data dilakukan dengan metode analisa dan komparasi data – data pengujian dari uji kuantitatif dilapangan, dimana analisa penelitian diacu dari hipotesis awal yang membandingkan setiap data – data penelitian dari setiap variasi yang dilakukan serta berbagai variabel yang berpengaruh dalam proses penelitian sehingga dari hasil komparasi data pengujian tersebut diperoleh data terbaik dari setiap alur proses suatu penelitian dan dapat ditarik suatu kesimpulan dari komparasi data – data tersebut.
79
BAB V HASIL PENELITIAN
5.1 Pengukuran Kadar Alkohol Produk Fermentasi Limbah Eucheuma cottonii Pengukuran kadar alkohol dilakukan untuk mengetahui besarnya kadar alkohol yang mampu dihasilkan dalam serangkaian proses fermentasi limbah Eucheuma cottonii sehingga pada akhirnya dapat dilakukan perbandingan kadar alkohol antara limbah Eucheuma cottonii yang melalui tahapan perlakuan awal (proses delignifikasi) dan perlakuan (fisika dan biologi), dengan kadar alkohol pada limbah Eucheuma cottonii yang tanpa melalui tahapan delignifikasi dan tanpa perlakuan.
Gambar 5.1 Produk Fermentasi Limbah Eucheuma cottonii Pada Delignifikasi NaOH 15 %, Dengan Perbandingan (1:0,006) Untuk Limbah Eucheuma cottonii dan Ragi
79
80
Dari hasil pengukuran kadar alkohol hasil fermentasi limbah Eucheuma cottonii dengan starter Saccaromyces ceresiviciae maka didapatkan hasil pengukuran yang dapat ditampilkan dalam bentuk tabel sebagai berikut:
Tabel 5.1 Tabel Hasil Pengukuran Kadar Alkohol Produk Fermentasi Limbah Eucheuma cottonii Tanpa Delignifikasi Kadar Alkohol Produk Fermentasi(% abv) Waktu (hari)
(1:0.0015)
(1:0.003)
(1:0.0045)
(1:0.006)
(1:0.0075)
3
4,2
4,3
4,7
5,2
4,6
6
5,1
5,3
6,7
6,9
5,9
9
4,5
4,8
5,6
5,8
5,4
Dengan Perbandingan Konsentrasi yeast
Tabel 5.2 Tabel Hasil Pengukuran Kadar Alkohol Produk Fermentasi Limbah Eucheuma cottonii Dengan Delignifikasi NaOH 10 % Kadar Alkohol Produk Fermentasi (% abv) Waktu (hari)
3
6
9
Treatment Perlakuan Fisika Perlakuan Biologi Perlakuan Fisika Perlakuan Biologi Perlakuan Fisika Perlakuan Biologi
Dengan Perbandingan Konsentrasi yeast
(1:0.0015) (1:0.003) (1:0.0045)
(1:0.006)
(1:0.0075)
4,5
4,8
5,1
5,9
5,4
4,9
5,3
6,4
6,7
6,2
6,7
7,2
7,5
7,9
7,3
7,4
7,7
8,1
8,3
7,9
6,3
6,5
6,7
7,2
6,6
7,2
7,3
7,6
7,8
7,1
81
Tabel 5.3 Tabel Hasil Pengukuran Kadar Alkohol Produk Fermentasi Limbah Eucheuma cottonii Dengan Delignifikasi NaOH 15% Kadar Alkohol Produk Fermentasi (% abv) Waktu (hari)
3
6
9
Treatment Perlakuan Fisika Perlakuan Biologi Perlakuan Fisika Perlakuan Biologi Perlakuan Fisika Perlakuan Biologi
Dengan Perbandingan Konsentrasi yeast
(1:0.0015) (1:0.003) (1:0.0045)
(1:0.006)
(1:0.0075)
13,1
13,3
13,6
14,3
11,5
13,4
13,8
14,1
14,7
12,8
13,4
13,7
14,5
14,8
13,8
13,6
14,3
14,7
15,5
14,5
11,6
12,2
12,7
13,4
12,3
12,5
12,7
13,1
13,7
13,2
Tabel 5.4 Tabel Hasil Pengukuran Kadar Alkohol Produk Fermentasi Limbah Eucheuma cottonii Dengan Delignifikasi NaOH 20% Kadar Alkohol Produk Fermentasi (% abv) Waktu (hari)
3
6
9
Treatment Perlakuan Fisika Perlakuan Biologi Perlakuan Fisika Perlakuan Biologi Perlakuan Fisika Perlakuan Biologi
Dengan Perbandingan Konsentrasi yeast
(1:0.0015) (1:0.003) (1:0.0045)
(1:0.006)
(1:0.0075)
6,3
7,5
7,8
8,1
7,2
6,8
7,9
8,2
8,5
8,1
7,2
7,7
8,4
8,7
7,8
7,6
8,3
8,6
9,1
8,3
6,8
7,2
7,5
7,9
7,2
7,1
7,4
8,1
8,4
7,8
82
5.2 Pengukuran Volume Produk Fermentasi Limbah Eucheuma cottonii Proses pengukuran volume produk fermentasi selama proses fermentasi dilakukan untuk mengetahui seberapa banyak volume produk fermentasi yang dihasilkan selama proses fermentasi limbah Eucheuma cottonii dalam setiap rentang waktu fermentasi. Dari hasil pengukuran volume inilah dapat ditentukan massa dari produk fermentasi yang dihasilkan dan pada akhirnya dapat dilanjutkan untuk perhitungan laju fermentasi. Dari hasil pengukuran volume produk fermentasi yang dilakukan dengan proses penekanan dengan tekanan 0,5 bar dilaboratorium, diperoleh data – data dapat ditampilkan dalam bentuk tabel dibawah ini.
Tabel 5.5 Tabel Hasil Pengukuran Volume Produk Fermentasi Limbah Eucheuma cottonii Tanpa Delignifikasi Waktu (hari)
3 6 9
Volume Produk Fermentasi (ml) Dengan Perbandingan Konsentrasi yeast
(1:0.0015)
(1:0.003)
(1:0.0045)
(1:0.006)
(1:0.0075)
110 135 152
145 158 184
156 170 195
176 211 235
124 165 177
83
Tabel 5.6 Tabel Hasil Pengukuran Volume Produk Fermentasi Limbah Eucheuma cottonii dengan Delignifikasi NaOH 10% Waktu (hari)
3
6
9
Treatment Perlakuan Fisika Perlakuan Biologi Perlakuan Fisika Perlakuan Biologi Perlakuan Fisika Perlakuan Biologi
Volume Produk Fermentasi (ml) Dengan Perbandingan Konsentrasi yeast (1:0.0015) (1:0.003) (1:0.0045) (1:0.006) (1:0.0075) 125
155
170
188
135
148
166
182
196
152
154
177
194
215
163
162
186
213
224
178
165
190.5
215
243
182
186
212
232
255
196
Tabel 5.7 Tabel Hasil Pengukuran Volume Produk Fermentasi Limbah Eucheuma cottonii dengan Delignifikasi NaOH 15% Waktu (hari)
3
6
9
Treatment Perlakuan Fisika Perlakuan Biologi Perlakuan Fisika Perlakuan Biologi Perlakuan Fisika Perlakuan Biologi
Volume Produk Fermentasi (ml) Dengan Perbandingan Konsentrasi yeast (1:0.0015) (1:0.003) (1:0.0045) (1:0.006) (1:0.0075) 143
172
184
200
150
155
183
195
215
166
160
196
210
227
178
172
212
225
244
192
176
217
230
250
195
210
226
244
272
213
84
Tabel 5.8 Tabel Hasil Pengukuran Volume Produk Fermentasi Limbah Eucheuma cottonii dengan Delignifikasi NaOH 20 % Waktu (hari)
Treatment Perlakuan Fisika Perlakuan Biologi Perlakuan Fisika Perlakuan Biologi Perlakuan Fisika Perlakuan Biologi
3
6
9
Volume Produk Fermentasi (ml) Dengan Perbandingan Konsentrasi yeast (1:0.0015) (1:0.003) (1:0.0045) (1:0.006) (1:0.0075) 134
165
175
194
146
155
174
189
205
162
160
176
195
220
170
174
188
205
234
186
180
193
210
240
192
196
215
235
265
205
5.3 Perhitungan Laju Fermentasi Limbah Eucheuma cottonii Proses perhitungan laju fermentasi dapat dilakukan dengan membandingkan massa produk fermentasi dengan selang waktu fermentasi. Massa produk fermentasi diperoleh dari persamaan massa jenis: ρ = m/v (kg/ml) m = ρ x v (kg) dimana ρ alkohol ρ air
= 0,7 kg/liter = 0,97 kg/liter
Sebagai contoh untuk pengukuran kadar alkohol pada limbah Eucheuma cottonii tanpa
delignifikasi pada hari ketiga fermentasi dengan perbandingan limbah Eucheuma cottonii dan ragi terbaik (1:0.006) didapatkan data sebagai berikut : a) Kadar alkohol
= 5,2%
(alcohol by volume)
85
b) Kadar air
= 94,8 % (water by volume)
c) Volume produk fermentasi = 176 ml = 0,176 liter Sehingga dari data diatas didapatkan massa jenis dan massa produk fermentasi sebagai berikut: ρ produk fermentasi
= ((5,2% x 0,7 kg/liter)/100%) + ((94,8% x 0,97 kg/liter)/100%)
ρ produk fermentasi
= 0,96 kg/liter
m produk fermentasi = ρ produk fermentasi x v produk fermentasi (kg) m produk fermentasi = 0,96 kg/liter x 0,176 liter m produk fermentasi = 0,16896 kg = 168,96 gram Laju fermentasi ditentukan dengan persamaan di bawah ini : •
mb =
∆mb ∆t
dimana : •
mb
= Laju Fermentasi ( kg / hari)
∆mb = Massa Produk Fermentasi yang dihasilkan ( kg ) ∆t
= Selang waktu fermentasi ( hari)
Sehingga laju Fermentasi pada hari ke 3 dapat dihitung sebagai berikut : =
= 0,05632 kg/hari
Dengan cara perhitungan yang sama seperti diatas maka diperoleh data – data laju fermentasi yang dapat ditampilkan seperti pada tabel berikut ini:
86
Tabel 5.9 Tabel Laju Fermentasi Limbah Eucheuma cottonii Tanpa Delignifikasi Waktu (hari) 3 6 9
Laju Fermentasi (kg/hari) Dengan Perbandingan Konsentrasi yeast (1:0.0015) (1:0.003) (1:0.0045) (1:0.006) (1:0.0075) 0.035 0.022 0.016
0.046 0.025 0.020
0.050 0.027 0.021
0.056 0.034 0.025
0.040 0.026 0.019
Tabel 5.10 Tabel Laju Fermentasi Limbah Eucheuma cottonii dengan Delignifikasi NaOH 10% Waktu (hari)
3
6
9
Treatment Perlakuan Fisika Perlakuan Biologi Perlakuan Fisika Perlakuan Biologi Perlakuan Fisika Perlakuan Biologi
Laju Fermentasi (kg/hari) Dengan Perbandingan Konsentrasi yeast (1:0.0015) (1:0.003) (1:0.0045) (1:0.006) (1:0.0075) 0.040
0.050
0.054
0.060
0.043
0.047
0.053
0.058
0.063
0.049
0.024
0.028
0.031
0.034
0.026
0.026
0.030
0.034
0.036
0.028
0.018
0.020
0.023
0.026
0.019
0.020
0.022
0.025
0.027
0.021
87
Tabel 5.11 Tabel Laju Fermentasi Limbah Eucheuma cottonii dengan Delignifikasi NaOH 15% Waktu (hari)
3
6
9
Treatment Perlakuan Fisika Perlakuan Biologi Perlakuan Fisika Perlakuan Biologi Perlakuan Fisika Perlakuan Biologi
Laju Fermentasi (kg/hari) Dengan Perbandingan Konsentrasi yeast (1:0.0015) (1:0.003) (1:0.0045) (1:0.006) (1:0.0075) 0.045
0.054
0.058
0.063
0.047
0.049
0.058
0.061
0.068
0.052
0.025
0.031
0.033
0.036
0.028
0.027
0.033
0.035
0.038
0.030
0.019
0.023
0.024
0.026
0.021
0.022
0.024
0.026
0.029
0.022
Tabel 5.12 Tabel Laju Fermentasi Limbah Eucheuma cottonii dengan Delignifikasi NaOH 20 % Waktu (hari)
3
6
9
Treatment Perlakuan Fisika Perlakuan Biologi Perlakuan Fisika Perlakuan Biologi Perlakuan Fisika Perlakuan Biologi
Laju Fermentasi (kg/hari) Dengan Perbandingan Konsentrasi yeast (1:0.0015) (1:0.003) (1:0.0045) (1:0.006) (1:0.0075) 0.043
0.053
0.056
0.062
0.047
0.049
0.055
0.060
0.065
0.052
0.026
0.028
0.031
0.035
0.027
0.028
0.030
0.033
0.037
0.030
0.019
0.021
0.022
0.025
0.020
0.021
0.023
0.025
0.028
0.022
88
5.4 Grafik Perbandingan Waktu Fermentasi Dengan Kadar Alkohol Pada Proses Fermentasi Limbah Eucheuma cottonii
Kadar Alkohol (% Volume)
7.5 7.0 6.5
(1:0.0015)
6.0 5.5
(1:0.003)
5.0
(1:0.0045)
4.5
(1:0.006)
4.0 (1:0.0075)
3.5 3.0 3
6
9
Waktu Fermentasi (hari)
Gambar 5.2 Grafik Perbandingan Waktu Fermentasi Dengan Kadar Alkohol Pada Proses Fermentasi Eucheuma cottonii Tanpa Delignifikasi
kadar Alkohol (% volume)
9 8 7 (1:0.0015) 6
(1:0.003)
5
(1:0.0045) (1:0.006)
4 (1:0.0075) 3 3
6
9
Waktu Fermentasi (hari)
Gambar 5.3 Grafik Perbandingan Waktu Fermentasi dengan Kadar Alkohol Pada Proses Fermentasi Eucheuma cottonii Dengan Perlakuan Fisika Pada Delignifikasi NaOH 10%
89
Kadar Alkohol (% Volume)
9
8
7
(1:0.0015) (1:0.003)
6
(1:0.0045) (1:0.006)
5
(1:0.0075)
4 3
6
9
Waktu Fermentasi (hari)
Gambar 5.4 Grafik Perbandingan Waktu Fermentasi dengan Kadar Alkohol Pada Proses Fermentasi Eucheuma cottonii Dengan Perlakuan Biologi Pada Delignifikasi NaOH 10%
Kadar Alkohol (% volume)
16 15 14 (1:0.0015) 13
(1:0.003) (1:0.0045)
12
(1:0.006) 11
(1:0.0075)
10 3
6
9
Waktu Fermentasi (hari)
Gambar 5.5 Grafik Perbandingan Waktu Fermentasi Dengan Kadar Alkohol Pada Proses Fermentasi Eucheuma cottonii Dengan Perlakuan Fisika Pada Delignifikasi NaOH 15%
90
16
Kadar Alkohol (% Volume)
15 14 (1:0.0015)
13
(1:0.003) 12 (1:0.0045) 11
(1:0.006)
10
(1:0.0075)
9 3
6
9
Waktu Fermentasi (hari)
Gambar 5.6 Grafik Perbandingan Waktu Fermentasi dengan Kadar Alkohol Pada Proses Fermentasi Eucheuma cottonii Dengan Perlakuan Biologi Pada Delignifikasi NaOH 15%
Kadar Alkohol (% volume)
9
8 (1:0.0015) 7
(1:0.003) (1:0.0045) (1:0.006)
6
(1:0.0075) 5 3
6
9
Waktu Fermentasi (hari)
Gambar 5.7 Grafik Perbandingan Waktu Fermentasi dengan Kadar Alkohol Pada Proses Fermentasi Eucheuma cottonii Dengan Perlakuan Fisika Pada Delignifikasi NaOH 20%
91
9.5 Kadar Alkohol (% volume)
9 8.5 8 (1:0.0015)
7.5
(1:0.003)
7
(1:0.0045)
6.5
(1:0.006)
6
(1:0.0075)
5.5 5 3
6
9
Waktu Fermentasi (hari)
Gambar 5.8 Grafik Perbandingan Waktu Fermentasi dengan Kadar Alkohol Pada Proses Fermentasi Eucheuma cottonii Dengan Perlakuan Biologi Pada Delignifikasi NaOH 20%
5.5 Grafik Perbandingan Waktu Fermentasi dengan Volume Produk
Volume Produk Fermentasi (ml)
Fermentasi Pada Proses Fermentasi Limbah Eucheuma cottonii
250 200 (1:0.0015) 150
(1:0.003) (1:0.0045)
100
(1:0.006) (1:0.0075)
50 3
6
9
Waktu Fermentasi (hari)
Gambar 5.9 Grafik Perbandingan Waktu Fermentasi dengan Volume Produk Fermentasi Pada Proses Fermentasi Eucheuma cottonii Tanpa Delignifikasi
Volume Produk Fermentasi (ml)
92
300 250 (1:0.0015)
200
(1:0.003) 150
(1:0.0045) (1:0.006)
100
(1:0.0075) 50 3
6
9
Waktu Fermentasi (hari)
Gambar 5.10 Grafik Perbandingan Waktu Fermentasi dengan Volume Produk Fermentasi Pada Proses Fermentasi Eucheuma cottonii Dengan Perlakuan Fisika Pada Delignifikasi NaOH 10%
Volume Produk Fermentasi (ml)
300 250 200
(1:0.0015) (1:0.003)
150
(1:0.0045) (1:0.006)
100
(1:0.0075) 50 3
6
9
Waktu Fermentasi (hari)
Gambar 5.11 Grafik Perbandingan Waktu Fermentasi dengan Volume Produk Fermentasi Pada Proses Fermentasi Eucheuma cottonii Dengan Perlakuan Biologi Pada Delignifikasi NaOH 10%
93
Volume Produk Fermentasi (ml)
300 250 200
(1:0.0015) (1:0.003)
150
(1:0.0045) (1:0.006)
100
(1:0.0075) 50 3
6
9
Waktu Fermentasi (hari)
Gambar 5.12 Grafik Perbandingan Waktu Fermentasi dengan Volume Produk Fermentasi Pada Proses Fermentasi Eucheuma cottonii Dengan Perlakuan Fisika Pada Delignifikasi NaOH 15%
Volume Produk Fermentasi (ml)
300 250 200
(1:0.0015) (1:0.003)
150
(1:0.0045) (1:0.006)
100
(1:0.0075) 50 3
6
9
Waktu Fermentasi (hari)
Gambar 5.13 Grafik Perbandingan Waktu Fermentasi dengan Volume Produk Fermentasi Pada Proses Fermentasi Eucheuma cottonii Dengan Perlakuan Biologi Pada Delignifikasi NaOH 15%
94
volume Produk Fermentasi (ml)
250
200 (1:0.0015) 150
(1:0.003) (1:0.0045)
100
(1:0.006) (1:0.0075)
50 3
6
9
Waktu Fermentasi (hari)
Gambar 5.14 Grafik Perbandingan Waktu Fermentasi dengan Volume Produk Fermentasi Pada Proses Fermentasi Eucheuma cottonii Dengan Perlakuan Fisika Pada Delignifikasi NaOH 20%
Volume Produk Fermentasi (ml)
300 250 200
(1:0.0015) (1:0.003)
150
(1:0.0045) (1:0.006)
100
(1:0.0075) 50 3
6
9
Waktu Fermentasi (hari)
Gambar 5.15 Grafik Perbandingan Waktu Fermentasi Dengan Volume Produk Fermentasi Pada Proses Fermentasi Eucheuma cottonii Dengan Perlakuan Biologi Pada Delignifikasi NaOH 20%
95
5.6 Grafik Perbandingan Waktu Fermentasi dengan Laju Fermentasi Pada Proses Fermentasi Limbah Eucheuma cottonii
Laju Fermentasi (kg/hari)
0.060 0.050 0.040 (1:0.0015) 0.030
(1:0.003)
0.020
(1:0.0045) (1:0.006)
0.010
(1:0.0075)
0.000 3
6
9
Waktu Fermentasi (hari)
Gambar 5.16 Grafik Perbandingan Waktu Fermentasi dengan Laju Fermentasi Limbah Eucheuma cottonii Tanpa Delignifikasi
laju Fermentasi (kg/hari)
0.070 0.060 0.050 (1:0.0015) 0.040
(1:0.003)
0.030
(1:0.0045) (1:0.006)
0.020
(1:0.0075)
0.010 3
6
9
Waktu Fermentasi (hari)
Gambar 5.17 Grafik Perbandingan Waktu Fermentasi dengan Laju Fermentasi Limbah Eucheuma cottonii dengan Perlakuan Secara Fisika Dengan Delignifikasi NaOH 10%
96
Laju Fermentasi (kg/hari)
0.070 0.060 0.050 (1:0.0015) 0.040
(1:0.003)
0.030
(1:0.0045) (1:0.006)
0.020
(1:0.0075)
0.010 3
6
9
Waktu Fermentasi (hari)
Gambar 5.18 Grafik Perbandingan Waktu Fermentasi dengan Laju Fermentasi Limbah Eucheuma cottonii dengan Perlakuan Secara Biologi Dengan Delignifikasi NaOH 10%
Laju Fermentasi (kg/hari)
0.070 0.060 0.050 (1:0.0015) 0.040
(1:0.003)
0.030
(1:0.0045) (1:0.006)
0.020
(1:0.0075)
0.010 3
6
9
Waktu Fermentasi (hari)
Gambar 5.19 Grafik Perbandingan Waktu Fermentasi dengan Laju Fermentasi Limbah Eucheuma cottonii dengan Perlakuan secara Fisika Dengan Delignifikasi NaOH 15%
97
Laju Fermentasi (kg/hari)
0.080 0.070 0.060 0.050
(1:0.0015)
0.040
(1:0.003)
0.030
(1:0.0045)
0.020
(1:0.006)
0.010
(1:0.0075)
0.000 3
6
9
Waktu Fermentasi (hari)
Gambar 5.20 Grafik Perbandingan Waktu Fermentasi dengan Laju Fermentasi Limbah Eucheuma cottonii dengan Perlakuan Secara Biologi Dengan Delignifikasi NaOH 15%
Laju fermentasi (kg/hari)
0.070 0.060 0.050 (1:0.0015)
0.040
(1:0.003)
0.030
(1:0.0045) 0.020
(1:0.006)
0.010
(1:0.0075)
0.000 3
6
9
Waktu Fermentasi (hari)
Gambar 5.21 Grafik Perbandingan Waktu Fermentasi dengan Laju Fermentasi Limbah Eucheuma cottonii Dengan Perlakuan Secara Fisika Dengan Delignifikasi NaOH 20%
98
Laju Fermentasi (kg/hari)
0.070 0.060 0.050 (1:0.0015)
0.040
(1:0.003)
0.030
(1:0.0045) 0.020
(1:0.006)
0.010
(1:0.0075)
0.000 3
6
9
Waktu Fermentasi (hari)
Gambar 5.22 Grafik Perbandingan Waktu Fermentasi dengan Laju Fermentasi Limbah Eucheuma cottonii dengan Perlakuan Secara Biologi Dengan Delignifikasi NaOH 20%
99
BAB VI PEMBAHASAN
6.1
Pengaruh Variasi Komposisi Senyawa NaOH Pada Proses Delignifikasi Limbah Eucheuma cottonii Proses atau teknologi konversi biomassa menjadi etanol dewasa ini sudah
cukup mapan untuk biomassa penghasil karbohidrat jenis pati atau sukrosa, seperti ubi kayu, jagung, molasse, dan gula tebu. Untuk biomassa lignoselulosa, masalahnya menjadi agak berbeda karena didalam bahan berlignoselulosa terdapat senyawa lignin yang terlebih dulu harus dipisahkan (didegradasi) dari selulosa dan hemiselulosa. Selain itu, selulosa merupakan senyawa yang mempunyai bagian yang berstruktur kristal yang agak sulit didegradasi oleh mikroba atau enzim selulase. Salah satu faktor penting dalam seleksi bahan berlignoselulosa untuk dikonversi menjadi etanol adalah rasio selulosa terhadap lignin. Untuk memperoleh rendemen yang tinggi, harus dipilih bahan baku dengan kandungan selulosa dan hemiselulosa yang cukup tinggi, dan sebaliknya kandungan lignin harus rendah (Kendry, 2002). Secara garis besar ilustrasi proses penghancuran dinding lignin yang membungkus struktur hemiselulosa dalam proses pretreatment dapat dilihat pada gambar 6.1 berikut ini:
99
100
Gambar 6.1. Skema Tujuan Pretreatment Biomassa Lignoselulosa (Mosier,dkk., 2005)
Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa lignin gnin laksana dinding kokoh yang membungkus senyawa selulosa dalam suatu matriks tumbuhan berlignoselulosa (dalam hal ini limbah Eucheuma cottonii). Senyawa lignin inilah yang membuat sisi luar tanaman menjadi keras dan dapat berdiri kokoh. Namun hal ini akan menjadi masalah dalam proses fermentasi, dimana keberadaan lignin ini akan menyulitkan kerja dari enzim dan mikroba dalam starter yeast dalam proses fermentasi, sehingga proses konversi selulosa losa menjadi gula sederhana, yang selanjutnya dikonversi menjadi etanol akan terhambat. Untuk itu diperlukan usaha luar untuk membantu usaha penghancuran dinding lignin sehingga akan diperoleh lebih banyak selulosa yang dapat dikonversi menjadi gula sederhana ana (glukosa). Dari data - data yang diperoleh pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa spesimen dengan proses delignifikasi menggunakan senyawa NaOH 15% pada kondisi data terbaik dengan perbandingan (1:0,006) untuk limbah Eucheuma cottonii dan ragi diperoleh kadar alkohol dari perlakuan secara biologi yaitu
101
sebesar 15,5% dan kadar alkohol yang diperoleh dari perlakuan fisika yaitu sebesar 14,8% pada hari ke 6 proses fermentasi (lihat tabel 5.3). Begitu juga dengan volume produk fermentasi yang mampu dihasilkan adalah sebanyak 272 ml pada perlakuan biologi dan 250 ml pada perlakuan fisika pada hari ke 9 fermentasi (lihat tabel 5.7). Sementara itu laju fermentasi yang terjadi selama proses fermentasi adalah sebesar 0,068 kg/hari pada perlakuan biologi dan 0,063 kg/hari pada perlakuan fisika pada hari ke 3 proses fermentasi (lihat tabel 5.11). Sementara itu data – data penelitian pada spesimen dengan delignifikasi NaOH 10% dan 20% dapat dilihat bahwa secara garis besar kadar alkohol, volume produk fermentasi dan laju fermentasi yang dihasilkan memang meningkat jika dibandingkan dengan spesimen tanpa delignifikasi, tetapi tidak sesignifikan hasil yang diperoleh pada spesimen yang melalui proses delignifikasi dengan menggunakan NaOH 15%. Dimana pada spesimen dengan proses delignifikasi NaOH 10% pada kondisi data terbaik penelitian dengan perbandingan (1:0,006) untuk limbah Eucheuma cottonii dan ragi didapatkan hasil kadar alkohol sebesar 8,3% pada perlakuan biologi dan 7,9% pada perlakuan fisika pada hari ke 6 proses fermentasi (lihat tabel 5.2). Volume produk fermentasi yang dihasilkan adalah sebanyak 255 ml pada perlakuan biologi dan 243 ml pada perlakuan fisika pada hari ke 9 fermentasi (lihat tabel 5.6), serta laju fermentasi yang mampu dihasilkan adalah sebesar 0,063 kg/hari pada perlakuan biologi dan sebesar 0,06 kg/hari dengan perlakuan fisika pada hari ke 3 proses fermentasi (lihat tabel 5.10). Sementara itu pada spesimen dengan proses delignifikasi menggunakan NaOH 20% pada kondisi data terbaik penelitian dengan perbandingan (1:0,006) untuk
102
limbah Eucheuma cottonii dan ragi didapatkan hasil kadar alkohol yang mampu dihasilkan adalah sebesar 9,1% pada perlakuan biologi dan 8,7% pada perlakuan fisika pada hari ke 6 fermentasi (lihat tabel 5.4). Volume produk fermentasi yang dihasilkan adalah sebesar 265 ml pada perlakuan biologi dan 240 ml pada perlakuan fisika pada hari ke 9 fermentasi (lihat tabel 5.8), serta laju fermentasi yang dihasilkan adalah sebesar 0,065 kg/hari pada perlakuan biologi dan sebesar 0,062 kg/hari pada perlakuan fisika pada hari ke 3 fermentasi (lihat tabel 5.12). Dari paparan diatas dapat dilihat secara keseluruhan dalam penelitian ini, spesimen pada ketiga variasi delignifikasi diatas menghasilkan kadar alkohol, volume produk fermentasi dan laju fermentasi yang lebih baik jika dibandingkan dengan kadar alkohol, volume produk fermentasi dan laju fermentasi yang dihasilkan dari limbah Eucheuma cottonii tanpa melalui proses delignifikasi. Dimana spesimen dengan kondisi tanpa delignifikasi pada kondisi data terbaik dengan perbandingan (1:0,006) untuk limbah Eucheuma cottonii dan ragi, kadar alkohol tertinggi yang mampu dihasilkan adalah sebesar 6,9% pada hari ke 6 fermentasi (lihat tabel 5.1), sementara itu volume produk fermentasi tertinggi yang dihasilkan adalah sebesar 235 ml pada hari ke 9 proses fermentasi (lihat tabel 5.5), serta laju fermentasi tertinggi adalah sebesar 0,056 kg/hari pada hari ke 3 proses fermentasi (lihat tabel 5.9). Dari paparan penjelasan perbandingan data diatas dapat dilihat bahwa spesimen dengan proses delignifikasi dengan senyawa NaOH 15% menunjukkan hasil penelitian yang paling baik diantara ketiga variasi delignifikasi dan dengan spesimen tanpa melalui proses delignifikasi. Hal ini disebabkan dari ketiga variasi delignifikasi, komposisi delignifikasi NaOH 15%
103
merupakan rasio yang paling tepat dalam penelitian ini dalam usaha mendegradasi lignin yang membungkus selulosa dalam matriks limbah Eucheuma cottonii, sehingga jumlah lignin yang mampu di degradasi menjadi lebih optimal dengan kemungkinan prosentase kehilangan selulosa yang lebih kecil sehingga akan berimplikasi pada lebih banyak selulosa yang didapatkan serta mempermudah kerja ragi dalam proses konversi selulosa menjadi produk fermentasi, yang nantinya dapat dilanjutkan dengan proses distilasi untuk meningkatkan kadar alkoholnya. Dari pembahasan hasil penelitian diatas dapat dilihat bahwa variasi delignifikasi yang dilakukan mampu membuktikan bahwa perlakuan awal (pretreatment) dengan NaOH encer, mampu mendegradasi lignin yang membungkus selulosa. Hal ini diakibatkan oleh luas permukaan internal bahan baku yang meningkat yang disertai dengan terjadinya pembesaran permukaan. Pembesaran permukaan ini menyebakan penurunan derajad polimerisasi, pemisahan ikatan struktur lignin dan karbohidrat dan merusak struktur lignin (Fan,dkk,1987).
6.2 Pengaruh Proses Treatment Fisika Dan Biologi Terhadap Proses Fermentasi Limbah Eucheuma cottonii Dengan semakin gencarnya tuntutan proses treatment yang ramah lingkungan, maka dalam penelitian ini digunakan perlakuan secara fisika dan biologi dalam treatment limbah Eucheuma cottonii sebelum masuk pada tahapan proses fermentasi. Perlakuan secara fisika disini berupa penggilingan, penekanan,
104
dan penghancuran yang dilanjutkan dengan proses pemanasan (hidrolisis) dengan suhu 100°C. Sementara itu perlakuan secara biologis dilakukan dengan menggunakan bantuan mikroba lain dan senyawa – senyawa kimia yang terintegrasi dalam suatu larutan yang dinamakan dengan larutan Effective Microorganism (EM4). Dimana dari variasi proses treatment ini akan diperoleh suatu perbandingan data - data penelitian sehingga dapat ditentukan pada kondisi perlakuan yang manakah yang merupakan treatment terbaik, yang menghasilkan kadar alkohol, volume produk fermentasi dan laju fermentasi terbaik. Dari data – data hasil penelitian didapatkan hasil bahwa secara keseluruhan spesimen
limbah
Eucheuma
cottonii
dengan
perlakuan
secara
biologi
menghasilkan kadar alkohol, volume produk fermentasi dan laju fermentasi yang rata – rata lebih tinggi jika dibandingkan dengan kadar alkohol, volume produk fermentasi dan laju fermentasi yang dihasilkan spesimen limbah Eucheuma cottonii yang melalui perlakuan secara fisika, dimana kadar alkohol tertinggi yang mampu dihasilkan dengan perlakuan biologi adalah sebesar 15,5% pada hari ke 6 fermentasi, volume produk fermentasi tertinggi yang dihasilkan adalah sebanyak 272 ml pada hari ke 9 proses fermentasi dan laju fermentasi terbaik diperoleh sebesar 0,068 kg/hari pada hari ke 3 proses fermentasi (lihat tabel 6.1). Sementara itu pada perlakuan secara fisika, kadar alkohol yang dihasilkan adalah sebesar 14,8% pada hari ke 6 proses fermentasi, volume produk fermentasi tertinggi yang dihasilkan sebesar 250 ml pada hari ke 9 fermentasi serta laju fermentasi tertinggi sebesar 0,063 kg/hari pada hari ke 3 proses fermentasi (lihat tabel 6.1).
105
Dari paparan diatas dapat dilihat bahwa pada kondisi data terbaik dalam penelitian ini, spesimen yang melalui proses treatment dengan cara biologi ternyata memberikan hasil yang lebih baik jika dibandingkan dengan hasil yang diperoleh pada spesimen yang melalui proses treatment secara fisika. Hal ini mungkin disebakan karena pengaruh penambahan larutan EM4, dimana didalam larutan EM4 terdapat banyak nutrisi dan unsur hara yang sangat dibutuhkan Saccaromyches cereviciae sebagai substrat tambahan dalam proses fermentasi dan adanya bantuan bakteri pengurai lain yang mampu membantu kerja dari Saccaromyches cereviciae dalam proses fermentasi. Berikut ini ditampilkan tabel data – data kadar alkohol, volume produk fermentasi, dan laju fermentasi pada rasio terbaik untuk limbah Eucheuma cottonii dan ragi untuk melihat trend data dari kadar alkohol, volume produk fermentasi, dan laju fermentasi pada proses fermentasi limbah Eucheuma cottonii.
NaOH 20%
NaOH 15%
NaOH 10%
Pretreatment
3 6 9 3 6 9 3 6 9
Waktu Fermentasi (hari) (1:0.006) Perlakuan Perlakuan Fisika Biologi 188 196 215 224 243 255 200 215 227 244 250 272 194 205 220 234 240 265
(1:0.006) Perlakuan Perlakuan Fisika Biologi 5.9 6.7 7.9 8.3 7.2 7.8 14.3 14.7 14.8 15.5 13.4 13.7 8.1 8.5 8.7 9.1 7.9 8.4
106
Volume Produk Fermentasi Pada Perbandingan Limbah Eucheuma Cottonii dan Ragi Terbaik (ml)
Kadar Alkohol Pada Perbandingan Limbah Eucheuma Cottonii dan Ragi Terbaik (%(abv))
(1:0.006) Perlakuan Perlakuan Fisika Biologi 0.060 0.063 0.034 0.036 0.026 0.027 0.063 0.068 0.036 0.038 0.026 0.029 0.062 0.065 0.035 0.037 0.025 0.028
Laju Fermentasi Pada Perbandingan Limbah Eucheuma cottonii dan Ragi Terbaik (kg/hari)
Tabel 6.1 Perbandingan Kadar Alkohol, Volume Produk Fermentasi dan Laju Fermentasi Pada Kondisi Data Terbaik Penelitian
106
107
Dari tabel 6.1 untuk data – data perbandingan kadar alkohol, secara keseluruhan dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan kadar alkohol yang dimulai dari rentang hari ke 1 sampai hari ke 3 proses fermentasi dan mencapai puncaknya pada hari ke 6 proses fermentasi, dan dari rentang hari ke 6 hingga hari ke 9 mulai terjadi penurunan kadar alkohol. Jika dibandingkan dengan penelitian Kusnadi (2009) yang meneliti pemanfaatan sampah organik menjadi etanol dengan penambahan asam sulfat encer (1%), diperoleh kadar alkohol tertinggi dihasilkan pada hari ke 6 untuk fermentasi dengan ragi tape dan pada hari ke 2 fementasi dengan penambahan starter Saccharomyces cerevisiae. Tinggi rendahnya kadar alkohol ditentukan oleh aktivitas yeast dengan substrat gula yang terfermentasi. Menurunnya kadar alkohol setelah hari ke 6 proses fermentasi menunjukkan bahwa bakteri Saccharomyces cerevisiae dalam yeast memasuki fase terakhir yang merupakan fase stasioner dikarenakan ketersediaan glukosa dan nutrisi dalam media fermentasi jumlahnya sudah mulai berkurang sehingga tidak sebanding dengan banyaknya jumlah Saccharomyces cerevisiae yang terus berkembang biak selama proses fermentasi, sehingga ada kemungkinan Saccharomyces cereviseae lebih banyak menggunakan nutrisi tersebut untuk bertahan hidup dari pada merombak gula menjadi alkohol. Dan pada saat substrat mulai habis (fase decay/menuju kematian), kemungkinan mikroba menghasilkan aktivitas antibakteri untuk mempertahankan kondisi fisiologisnya sehingga kadar alkohol menjadi menurun dimana alkohol yang sudah terbentuk dijadikan substrat oleh mikroba dalam proses metabolismenya serta adanya kontaminasi dengan adanya mikroba yang mati akibat substrat yang digunakan untuk bertahan hidup semakin menipis.
108
Dari tabel 6.1 untuk data – data perbandingan volume produk fermentasi, secara umum dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan volume produk fermentasi dimulai dari rentang hari ke 1 sampai hari ke 3 fermentasi dan berlanjut hingga hari ke 6, dan mencapai puncaknya pada hari ke 9. Peningkatan volume produk fermentasi ini disebabkan oleh aktifitas bakteri Saccharomyces cerevisiae yang terus berkembang biak selama proses fermentasi, dan pada rentang hari ke 6 sampai hari ke 9 dimana saat substrat mulai habis mikroba menghasilkan aktivitas antibakteri untuk mempertahankan kondisi fisiologisnya dimana produk fermentasi yang sudah terbentuk kemungkinan terkontaminasi oleh bakteri yang sudah mati serta dijadikan substrat oleh mikroba dalam proses metabolismenya dan terjadi fermentasi lanjutan etanol, sehingga produk fermentasi yang telah terbentuk terkonversi menjadi asam asetat dan air. Dari tabel 6.1 untuk data-data perbandingan laju fermentasi secara umum dapat dilihat bahwa laju fermentasi tertinggi berlangsung pada hari ke 3 proses fermentasi, dan mulai menurun di hari ke 6 proses fermentasi, dan terus menurun hingga batas hari ke 9 proses fermentasi. Hal ini disebabkan karena rentang waktu efektif fermentasi berlangsung dari hari ke 1 hingga ke 3 proses fermentasi, dimana setelah melewati hari ke 3 sampai hari ke 6 proses fermentasi, proses fermentasi mulai berlangsung lambat dan cenderung menurun sehingga laju fermentasinya juga menurun. Hal ini mungkin disebabkan karena starter Saccaromyces cereviciae telah melewati batas maksimumnya dalam usaha mengkonversi glukosa menjadi produk fermentasi diakibatkan oleh mulai menurunnya kandungan glukosa dan nutrisi didalam limbah Eucheuma cottonii sehingga hanya tersisa sedikit glukosa yang dapat
109
dikonversi menjadi produk fermentasi sedangkan sisa nutrisi yang lainnya digunakan mikroba untuk bertahan hidup.
6.3 Perumusan Matematis Laju Fermentasi Limbah Eucheuma cottonii Perumusan matematis dalam penelitian ini digunakan untuk memprediksi hasil penelitian kedepannya sebagai bahan hipotesis awal penelitian sebelum memasuki tahapan eksperimen. Perumusan matematis laju fermentasi juga dapat digunakan untuk mengetahui seberapa besar penyimpangan data yang diperoleh dengan perhitungan matematis dengan data – data penelitian yang diperoleh melalui eksperimen.
6.3.1 Perumusan Matematis Laju Fermentasi Terbaik Limbah Eucheuma cottonii Dengan Perlakuan Fisika
Laju Fermentasi (Kg/hari)
0.070 0.060
y3= 0.062x-0.79
0.050 0.040 Delignifikasi NaOH 15% 0.030 0.020 3
6
9
Waktu Fermentasi (hari)
Gambar 6.2 Perumusan Matematis Pada Perbandingan Waktu Fermentasi Dengan Laju Fermentasi Terbaik Limbah Eucheuma cottonii Dengan Perlakuan Fisika Dari grafik laju fermentasi dengan perlakuan fisika diatas dapat diperoleh suatu pendekatan perumusan matematis dalam usaha memberikan hipotesis untuk
110
memperkirakan hasil penelitian kedepannya. Dimana dari gambar 6.2, dapat dilihat laju fermentasi terbaik mempunyai perumusan matematis sebagai berikut: a. Perumusan matematis laju fermentasi limbah Eucheuma cottonii dengan delignifikasi NaOH 15% : y = 0,062x-0,79 dimana y = laju fermentasi (kg/hari) x = waktu fermentasi (hari) Dalam rumus pendekatan ini diperoleh hasil bahwa waktu fermentasi mempunyai pengaruh yang paling besar terhadap trend laju fermentasi limbah Eucheuma cottonii.
6.3.2 Perumusan Matematis Laju Fermentasi Terbaik Limbah Eucheuma cottonii Dengan Perlakuan Biologi
Laju Fermentasi (kg/hari)
0.070 0.060 0.050
y3= 0.067x-0.78
0.040
Delignifikasi NaOH 15%
0.030 0.020 3
6
9
Waktu Fermentasi (hari)
Gambar 6.3 Perumusan Matematis Pada Perbandingan Waktu Fermentasi Dengan Laju Fermentasi Terbaik Limbah Eucheuma cottonii Dengan Perlakuan Biologi
111
Dari analisa grafik laju fermentasi dengan perlakuan biologi diatas dapat diperoleh suatu pendekatan perumusan matematis dalam usaha memberikan hipotesis dan memperkirakan hasil penelitian kedepannya. Dari gambar 6.3, untuk data laju fermentasi terbaik mempunyai perumusan matematis sebagai berikut: a. Perumusan matematis laju fermentasi limbah Eucheuma cottonii dengan delignifikasi NaOH 15% y = 0,067x-0,78 dimana y = laju fermentasi (kg/hari) x = waktu fermentasi (hari) Dalam pendekatan disini diperoleh kesimpulan bahwa selang waktu fermentasi mempunyai pengaruh yang paling besar terhadap trend laju fermentasi.
112
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan 1. Dari variasi – variasi yang dilakukan pada penelitian ini maka diperoleh kadar alkohol, volume produk fermentasi dan laju fermentasi terbaik pada spesimen dengan perlakuan secara biologi, dengan perbandingan (1:0,006) untuk limbah Eucheuma cottonii dan ragi pada delignifikasi dengan menggunakan NaOH 15%. Dimana kadar alkohol didapatkan sebesar 15,5% pada hari ke 6 proses fermentasi, sementara itu volume produk fermentasi yang dihasilkan adalah sebanyak 272 ml pada hari ke 9 proses fermentasi. Sementara itu laju fermentasi yang dihasilkan sebesar 0,068 kg/hari pada hari ke 3 proses fermentasi. 2. Dalam penelitian ini pada kondisi data – data terbaik diperoleh perbandingan hasil data sebagai berikut: a. Kadar alkohol yang dihasilkan sebesar 15,5% pada spesimen dengan perlakuan biologi dan 14,8% pada spesimen dengan perlakuan fisika, sementara itu untuk spesimen tanpa perlakuan adalah sebesar 6,9%. b. Volume produk fermentasi yang dihasilkan sebesar 272 ml pada spesimen dengan perlakuan biologi dan 250 ml pada spesimen dengan perlakuan fisika, sementara itu untuk spesimen tanpa perlakuan adalah sebesar 235 ml. 112
113
c. Laju fermentasi yang dihasilkan sebesar 0,068 kg/hari untuk spesimen dengan perlakuan secara biologi dan 0,063 kg/hari untuk spesimen dengan perlakuan fisika, sementara itu untuk spesimen tanpa perlakuan adalah sebesar 0,056 kg/hari. Dari perbandingan data diatas dapat disimpulkan bahwa kadar alkohol, volume produk fermentasi dan laju fermentasi yang dihasilkan dari spesimen dengan perlakuan secara biologi memberikan hasil yang lebih baik jika dibandingkan dengan hasil yang diperoleh pada spesimen dengan perlakuan fisika. Dan hasil penelitian untuk spesimen dengan perlakuan secara fisika dan biologi memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan hasil yang diperoleh pada spesimen tanpa perlakuan. Hal ini kemungkinan akibat pengaruh kondisi delignifikasi NaOH yang mampu mendegradasi lignin yang membungkus selulosa dan pengaruh cairan EM4 yang didalamnya terkandung banyak unsur hara dan nutrisi yang sangat membantu dalam mengoptimalkan kerja bakteri Saccharomyces cereviciae dalam proses fermentasi limbah Eucheuma cottonii. 3. Dari data – data hasil penelitian yang telah dilakukan, maka rekomendasi yang dapat disampaikan dalam usaha mendapatkan alkohol khususnya untuk skala industri, maka kondisi spesimen yang diperlukan adalah sebagai berikut: a. Melalui proses delignifikasi dengan menggunakan NaOH 15%. b. Perbandingan (1:0,006) untuk limbah Eucheuma cottonii dan ragi. c. Kondisi perlakuan secara biologi.
114
d. Rentang waktu yang dibutuhkan adalah hari ke 1 s/d hari ke 3 proses fermentasi. Dari segi optimalisasi pembuatan alkohol, maka waktu fermentasi yang disarankan cukup samapai hari ke 3 proses fermentasi. Hal ini disebabkan peningkatan volume produk fermentasi, kadar alkohol dan laju fermentasi tidaklah begitu signifikan di hari ke 6 dan hari ke 9 proses fermentasi, selanjutnya untuk meningkatkan kadar alkoholnya maka dapat dilanjutkan dengan proses penyulingan/destilasi.
7.2 Saran 1.
Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk meneliti lebih spesifik tentang
pengaruh katalis asam/basa dalam proses delignifikasi untuk dapat melihat banyaknya kandungan lignin yang terdegradasi akibat delignifikasi pada matriks limbah Eucheuma cottonii. 2.
Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk dapat meneliti sifat – sifat fisika
etanol berbahan baku limbah Eucheuma cottonii serta analisa unjuk kerja mesin akibat penggunaannya.
115
DAFTAR PUSTAKA
Afrianto. E dan E, Liviawati.1989. Budidaya Rumput Laut dan Cara Pengolahannya. PT Bhratara Niaga Media. Jakarta. Amin, Muh, dkk. 2005.Kajian Budidaya Rumput Laut (E. cottonii) Dengan Sistim dan Musim Tanam Yang Berbeda di Kabupaten Pangkep Sulawesi Tengah. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Vol.8. Anggadiredja, J., Zatnika, A., dan Istini, S.1996. Potensi dan Manfaat Rumput laut Indonesia dalam Bidang Farmasi. Seminar Nasional Industri Rumput Laut.Jakarta. 18 hal. Aslan, L.M. 1998. Budidaya rumput Laut. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. 97 hal. Atmadja WS. Kadi A. Sulistijo dan Rachmaniar. 1996. Pengenalan Jenis-jenis Rumput Laut Indonesia. PUSLITBANG Oseanologi. Jakarta: LIPI. Atmaja, W. S. 1996. Pengenalan Jenis Algae Coklat (Phaeohyta). Di dalam Atmaja, W. S.,Kadi, A., Sulistijo, an Satari, R. Pengenalan Jenis-Jenis Rumput Laut Indonesia. Puslitbang Oseanografi LIPI. Jakarta. p. 57, 64–77. Atmaja, W. S. 1996. Pengenalan Jenis Algae Merah (Rhodophyta). Di dalam Atmaja, W. S., Kadi, A., Sulistijo, an Satari, R. Pengenalan Jenis-Jenis Rumput LautIndonesia. Puslitbang Oseanografi LIPI. Jakarta. p. 117. Balitbang.1990. Petunjuk Teknis Budidaya Rumput Laut.Badan Penelitian danPengembangan Pertanian Departemen Pertanian dan InternationalDevelopment Research Centre, Jakarta. 93 hal. Basmal J. 2001. Perkembangan Teknologi Riset Penanganan Pasca Panen dan Industri Rumput Laut. Forum Rumput Laut. Jakarta: Pusat Riset PengolahanProduk dan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautandan Perikanan. hlm 16-22. Cengel, Yunus A., dan Boles, Michael A. 1994. Thermodynamic: An Engineering Approach.United States of America. Mc. Graw-Hill Inc. Chapman, V. J. and Chapman, D. J. 1980. Seaweed and Their Uses. Chapman and Hall. London. 333 pp. Furia, T. E. 1975. Handbook of Food Additives: Gums. 2nd ed. CRC Press, Inc, Boca-Raton. Florida. p. 295- 359. Dahuri, R. 2004.Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita, Jakarta.
116
Dawes, C.J. 1981. Marine Botany. John Wiley and Sons. Singapura. 229 hal. Dean and Dalrymple.1992.Water Wave Mechanics for Engineer and Scientist.World Scientific Publishing, Singapore. Departemen Kelautan dan Perikanan .2001. Potensi Lingkungan Laut untuk Kegiatan Budidaya-Teknologi Budidaya Laut dan Pengembangan SeaFarming di Indonesia. Kerjasama dengan Japan InternasionalCooperation Agency, DKP. Jakarta. Ditjenkan Budidaya.2004. Petunjuk teknis Budidaya Laut : Rumput Laut Eucheuma spp. Direktorat Budidaya Ditjenkan Budidaya, Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta. 40 hal. Ditjenkan Budidaya.2004. Prosiding Pertemuan Teknis Budidaya. Jakarta. Doty, M.S. 1973. Farming the red seaweed, Eucheuma, for carrageenans. Micronesia 9:59-73. Doty.1987.dalam Yusron. 2005.Kajian Filogenetis dan Tipe KeraginanEucheuma cottonii. Jakarta. Drapcho, M Caye.,Phu Nuan, Nghiem., Walker,Terry H.2008. Biofuels Engineering Process Technology. United States of America. Mc. Graw-Hill Inc. Eastro P dan Michael H. 2003. Marine Biology. 4thed. New York: McGraw-Hill Companies. Inc. Eidman, M.1991. Studi Efektivitas Bibit Algae Laut (Rumput Laut). Salah Satu Upaya Peningkatan Produksi Budidaya Algae Laut (Eucheuma sp.). LaporanPenelitian. Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Fan, L.T., Y.H. Lee, dan M.M.Gharpuray. 1982. The Nature of Lignocellulosics and Their Pretreatment for Enzymatic Hydrolysis. Adv. Bichem. Eng. 23: 158 – 187. Fardiaz.S.1992.Mikrobiologi Pangan.Jakarta.Gramedia Fardiaz, S. 1989. Fistologi Fermentasi. Bogor: Pusat Antar Universitas. Institut Pertanian Bogor. Frank Keppler, John T. G. Hamilton, Marc Bra, and Thomas Röckmann. 2006. Methane emissions from terrestrial plants under aerobic conditions. Nature 439: 187– 191. Glicksman. M. 1983. Food Hydrocoloids. Vol. III.Florida .Boca Raton: CRE Press.
117
Goebol, O.H. 1987. Ullmann's Encyclopedia of Industrial Chemistry : Ethanol. Weinheim: VCH Publisher. Grethlein. 1978. Chemical Breakdown of Cellulosic Material. New York. Reinhold PubL, Corporation. Grethlein, H. E. 1984. Pretreatment for Enhanced Hydrolysis of Cellulosic Biomass. Biotechnology Advances 2(1), 43-62. Guisseley, K. B. 1968. Seaweed colloids. In Othmer, K. (ed.). Encyclopedia of Chemical Technology. Volume17. John Willey and Sons, Inc., USA. p. 763-784. Guisseley, K. B. 1970. The relationship between methoxyl content and gelling temperature of agarose. Carbohydr. Res. 13:247-256. Guist, G. G., Jr., C. J. Dawes, and J. R. Castle. 1985.Mariculture of the red seaweed Eucheuma isiforme.Fla. Sci. 48:56-57. Hadioetomo, R.S. 1990. Mikrobiologi Dasar dalam Praktek : Teknik dan Prosedur Dasar Laboratorium. Jakarta: PT. Gramedia. Handayani, Utami S.2008. Pemanfaatan Etanol Sebagai Bahan Bakar Pengganti Bensin. .Program Diploma III Teknik Mesin Fakultas Teknik. Semarang : Universitas Diponegoro. Harrison JS, Graham JCJ.1970. Yeasts in distillery practice. In: The Yeasts Vol. 3 ed. Rose AH, Harrison JS. pp. 283-332. LondonAcademic Press. Harvey F. 2009. Produksi Etanol dari Limbah Karaginan. Skripsi. Bogor: Departemen Teknologi Hasil Perairan. Fakultas Perikanan dan llmu Kelautan. Insitut Pertanian Bogor. Hirmen. Pedju M. Mous PJ, Jos. 2002. Seaweed Culture as an Alternative Livelihood for Local Eastal Villages .Around Komodo National Park. Hamelinck, C. N.; Hooijdonk, G. v. & Faaij, A. P. 2005. Etanol from Lignocellulosic Biomass: Techno-Economic Performance in Short, Middle, and Long-Term. Biomass and Bioenergy 28(4), 384–410. Hujaya, S. D. 2008. Isolasi Pigmen Klorofil, Karoten, dan Xantofil Dari Limbah Alga Di Area Budi Daya Ikan Bojongsoang. Skripsi. Program Studi Kimia. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Teknologi Bandung. p. 5–25. Indriyani. 1994. Mutu Anggur Sari Buah yang Dibuat dari Beberapa Jenis Pisang (Musa paradisiaca). Majalah Ilmiah tahun b1994 edisi 0852-2372,28-35.
118
Jimenez J, Benitez T.1986.Characterization of wine yeasts for ethanol production. Appl. Microbiol. Biotechnol. 25: 150-154. Judoamidjojo, M., A.A. Darwis, dan E.G. Said. 1992. Teknologi Fermentasi. Jakarta: Rajawali Press. Kadi, A. 1996. Pengenalan Jenis Algae Hijau (Chlorophyta). Di dalam Atmaja, W. S., Kadi, A., Sulistijo, an Satari, R. Pengenalan Jenis-Jenis Rumput Laut Indonesia. Puslitbang Oseanografi LIPI. Jakarta. p. 11, 50–53. Kartika, B., A.D. Guritno, D. Purwadi dan Dyah Ismoyowati. 1992. Petunjuk Evaluasi Produk Industri Hasil Pertanian. Yogyakarta : PAU Pangan dan Gizi UGM. Kim GS. Myung KS, Kim YJ. Oh KK, Kim JS, Ryu HJ, dan Kim KH. 2007. Methode of Producing Biofuel Using Sea Algae. Seoul: World Intelectual Property Organization. Kreger-van Rij NJW (Ed.).1984. The Yeasts - A taxonomic study, 3rd edn. Amsterdam, Elsevier Science. Layokun SK.1984. Use of the palm wine cultures for ethanol production from black strap molasses with particular reference toconditions in the tropics. Proc. Biochem. 19: 180-182. Lowenstein, M. Z. 1985. Energy Applications of Biomass. Solar Energy Research Institute. Colorado. USA. Mangunwidjaja, D. dan A. Suryani. 1994. Teknologi Bioproses. Penebar Swadaya. Jakarta. Marshall, A. T. 2007. Bioenergy from Waste: A Growing Source of Power, Waste Management World Magazine, April, hal. 34-37. Mc Cabe, W. L, Smith, J. C., and Harriot, P.1993. Operasi Teknik Kimia, Erlangga,Jakarta. Mosier, Nathan, et al. 2005. Features of Promising Technologies for Pretreatment of Lignocellulosic Biomass. Bioresource Technology 96 , pp. 673–686. Mukti.1987. Estimasi dan Analisa Sifat Fisika Dan Kimia Rumput Laut. Karya Ilmiah.Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor : 17 hal. Nixon, M. 1999. Distillation-How It Works. Nottingham University. England. Novak M, Stretiajano P, Moreno M, Goma G .1981. Alcoholic fermentation: Inhibitory effect of ethanol. Biotechnol. Bioeng. 23: 20,211. Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut, Suatu Pendekatan Ekologi. PT.Gramedia.Jakarta.
119
Odum, E.P. 1993. Dasar – dasar Ekologi. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press. Okafor N.1977.Microorganism associated with cassava fermentation for gari production. J. Appl. Bacteriol. 42: 279-284. Oshima, M. 1965. Wood Chemistry Process Engineering Aspect. Noyes Develop. Corp. New York. Oura E. 1983. Reaction Product of Yeast Fermentation. Dalam H. Dellweg (ed). Biotechnology Volume 111. New York: Academic Press. Pambayun, R., B. Haryono, dan D. Wibowo. 1996. Fermentasi Etanol pada Ubi Tolas Liar (Colocasia esculenta (L.) Schott) Tanpa Pemanasan oleh Saccharomycopsis fibuligeradan Saccharomyces cerevisiae. Yogyakarta BPPS-UGM, 9 (2B), Mei 1996,291 - 304. Palonen, Hetti. 2004. Role of Lignin in the Enzymatic Hydrolysis of Lignocellulose. VTT Biotechnology. Pelczar, M. J., Chan, E. C. S. & Pelczar, M. F.1982. Element of Microbiology. McGraw Hill Book Company, New York. Pelczar.M.J dan Reid.R.D.1979.Microbiology.McGraw Hill Books Co.NewYork. PDSI. Pusat Data dan Sistem Informasi. 2008. Indonesia menjajagi perkembangan biodiesel dari rumput laut. www.dkap.go.id. Perez, J. et al. 2005. Biodegradation and Biolgical Treatments of Cellulose, Hemicellulose, and Lignin: An Overview. Int Microbiol, Vol. 5, pp. 53-63. Puslitbangkan, 1991. Budidaya rumput laut (Eucheuma sp.) dengan rakit dan lepas dasar. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. 9 hal. Prescott, S.C. dan D.C. Dunn. 1982. Industrial Microbiology. First Edition. New York: McGrawfhll Book Co. Inc. Roy, F. R.,Perrin, C. H. & Graham, V. E.1993. Notes on Sugar Determination. Applied Biochemistry and Biotechnology 195:19-32. Samsul.Rizal Jalaludin.2005.Pembuatan Pulp dari Jerami Padi Dengan Menggunakan Natrium Hidroksida. Jurnal Sistem Teknik Industri.Vol 6.
120
Saquido, M. A. P., Cayabyab, V. A. & Uyenco, F. R.1983. Production of Microbial Protein for Feed from Banana Rejects.Natural Science Research center, University of Philippines. Quezon City. Philippines. Schlegel, H. G.1999. General Microbiology. Cambridge University Press, 7th edition. Selveira Semida. 2005. Bioenergy-Realising The Potential. Swedish. Elsevier Science and Technology Books. Senez, J. C. 1987. Single Cell Protein. Past and Present Developments. In Microbial Technology in the DevelopingCenturies. Dasilva, E. J., Dommergues, Y. R., Nyns, E.J., and Ratledge, C. (eds). Oxford University Press, Oxford. Soerawidjaja, T.H., T. Adrisman, U.W. Siagian, T. Prakoso, l.K. Reksowardojo, K.S. Permana, 2005. Studi Kebijakan Penggunaan Biodiesel di Indonesia. Kajian Kebijakan dan Kumpulan Artikel Pene1itian BiodieseL Kementrian Ristek dan Teknologi RI MAKSI IPB Bogor. Sudarmadii, S., Bambang Haryono, dan Suhardi. 1984. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Yogyakarta: Penerbit Liberty. Sudaryanto. 2007. Pengembangan Etanol di Indonesia. Penebar Swadaya. Jakarta. Sulistijo.1996. Perkembangan Budidaya Rumput Laut Di Indonesia. Puslitbang Oseanologi. LIPI.Jakarta.Hal 120-151. Sun, Y. and Cheng, J. 2002. Hydrolysis of Lignocellulosic Materials for Ethanol Production: A Review. Bioresource Technology, Vol. 83, pp. 1-11. Suriawiria,U. 1990. Pengantar Biologi Umum. Penerbit angkasa. Bandung. Stewart, G.G., C. J. Panchal, I. Russel, A.M. Sills. 1983. Biology of Ethanol Producting Microorganism. Critical Review in Biotech, 1. 161-188. Taherzadeh, Muhammad J. and Karimi, Keikhosro. 2008. Pretreatment of Lignocellulosic Waste to Improve Bioethanol and Biogas Production. Int. J. Mol. Sci 9, pp. 1621-1651. Taherzadeh, M.J. and Karimi, K. 2007. Acid-Based Hydrolysis Processes for Ethanol from Lignocellulosic Materials: A Review. Bioresources 2(3), pp. 472499. Tim Nasional Pengembangan BBN. 2007. Bahan Bakar Nabati. Penebar Swadaya. Jakarta. Tjahjono, A. E. dan M. A. Yudiarto. 2007. Pemilihan Bahan Baku dan Teknologi Pengolahan Etanol Skala Kecil dan Industri. Trubus. Jakarta.
121
Trubus. 2007. Produksi Etanol Ramah Lingkungan. Pelatihan Produksi Etanol skala Rumahan. Jakarta. Wahono. S. 2006. Kajian Komperhensif dan Teknologi Pengembangan Etanol Sebagai Bahan Bakar Nabati. Seminar Bioenergi : Pospek Bisnis dan Peluang Investasi. Departemen Pertanian RI, Jakarta. Walisiewicz, M. 2003. Energi Alternatif : Panduan ke Masa Depan Teknologi Energi. Penerbit Erlangga, Jakarta. Widianta, A. dan W.P. Deva. 2008. Proses Pembuatan Etanol dari Ubi Kayu. SMA Negeri 6. Bengkulu. Winarno, F.G. 1990. Teknologi pengolahan rumput laut. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. 109 hal. Winarno dan Donny. 2007. Prospek Market Etanol untuk Biofuel. Trubus. Jakarta. Winarno, F.G., S. Fardiaz.1990.Biofermentasi dan Biosintesa Protein. Penerbit: Angkasa. Bandung. Winarno, F.G., S. Fardiaz, dan D. Fardiaz.1980. Pengantar Teknologi Pangan. PT. Gramedia. Jakarta. Winarno.F.G.,Fardiaz.S.dan Fardiaz.D.1992. Kimia Pangan Gizi. Gramedia Pustaka Utama.Jakarta Winton, A.L., and K.B. Winton.1958. The Analysis of Food. New York-John Wiley and Sons, Inc., Chapman and Hall, Ltd. London. Yeliana.2004. Bahan Bakar dan Teknik PembakaranBahan Bakar.Program Studi Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Udayana. Denpasar. Zatnika, A. 2000. Manfaat, Pascapanen dan Pengolahan Rumput Laut. WorkshopAplikasi IPTEK Teknologi Budidaya dan Pengolahan Rumput Laut.Mataram, 7-9 Desember 2000. P.31-42. Zatnika, A. 1993. Menyimak Pasang Surut Rumput Laut Indonesia. Majalah Techner 08 Tahun II.P.51-54.
122
Riwayat Hidup Penulis
Nama Tempat/Tanggal Lahir Jenis Kelamin Agama Pekerjaan Alamat Rumah Phone E-mail Riwayat Pendidikan
: I Gede Wiratmaja,ST. : Klungkung, 28 Oktober 1988 : Laki-laki : Hindu : Engineer (MEP) : Jln Pengsong I No 36 BTN Pengsong Indah Kecamatan Labuapi Lombok Barat Prov.NTB : 08175781958 :
[email protected] :
Pendidikan SD SMP SMA Sarjana
Dari 1993 1999 2002 2005
Tempat Mataram Mataram Mataram Universitas Udayana
Sampai 1999 2002 2005 2009
Ijasah STTB STTB STTB Sarjana (ST)
Spesialisasi IPA Teknik Mesin
Riwayat Penelitian : 1. Analisa Karakteristik Fisika Biogasoline Sebagai Pengganti Bensin Murni serta Analisa Unjuk Kerja Motor Bensin Akibat Pemakaian Biogasoline (Dana Pribadi, Ketua, 2009). 2. Proses Fermentasi Limbah Rumput Laut Eucheuma Cottonii Sebagai Tahap Awal Pembuatan Etanol Generasi Kedua (Dana Pribadi, ketua ,2011) Publikasi Ilmiah : 1. Analisa Karakteristik Fisika Biogasoline Sebagai Pengganti Bensin Murni, Prosiding Seminar Nasional Teknik Mesin, Mataram, 25 Mei 2010, ISBN 978-602-8373-06-7. 2. Analisa Unjuk Kerja Motor Bensin Akibat Pemakaian Biogasoline, Prosiding Seminar Nasional Teknik Mesin, Mataram, 25 Mei 2010, ISBN 978-602-8373-06-7. 3. Pembuatan Etanol Generasi Kedua dengan Memanfaatkan Limbah Rumput Laut Eucheuma cottonii Sebagai Bahan Baku, Jurnal Cakram Teknik Mesin Unud, vol 5, periode April 2011. Riwayat Pekerjaan : 1. Tergabung dalam Tim Audit Energi PT Indonesia Power UBP Bali, Pesanggaran (Juni-Agustus 2010) 2. Engineer Bagian Mechanical Engineering dan Plumbing di Conrad Bali Hotel Resort and Spa, Nusa Dua (Nopember 2010 sampai sekarang).