1
BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Pada masa permulaan Kraton Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono I
mendirikan Pesanggrahan Tamansari yang kemudian dilanjutkan penyelesaiannya oleh Sri Sultan Hamengkubuwana II (Tashadi 1981/1982). Pesanggrahan tersebut digunakan sebagai tempat rekreasi keluarga raja keraton. Hal itu terlihat dari kelompok gugusan bangunan Tamansari yang mempunyai ruang‐ruang berupa halaman-halaman dan jalan-jalan di antara bangunan dan struktur bangunan. Halaman-halaman dengan pot-pot besar sebagai bagian dari taman, alur jalan untuk akses sambil menikmati perjalanan, serta bangunan dan struktur bangunan sebagai penunjang aktivitas rekreasi. Di dalam Laporan Tim Studi Teknis Arkeologi Situs Tamansari (1996), wilayah Pesanggrahan Tamansari dibagi berdasarkan fungsi bangunan menjadi tiga kelompok, yaitu: (1) bangunan dan struktur yang membujur dari barat ke timur, yang merupakan jalur gapura, meliputi: Gapura Pagelaran, Gapura Agung, Gapura Panggung, dan Gapura Kenari. Di antara gapura‐gapura ini terdapat bangunan seperti Gedong Lopak‐Lopak, Umbul Binangun, dan Gedong Sekawan. (2) bangunan dan struktur bangunan yang terdapat di sebelah utara yang merupakan kompleks Segaran, seperti: Segaran, Pulo Kenanga, Sumur Gemuling, Pulo Panembung, Urung‐Urung, Gedong Patehan, dan Pongangan Peksi Beri. (3) bangunan dan struktur bangunan di sebelah selatan, yang disebut Kompleks
1
2
Taman Umbulsari, seperti: Pasarean Ledoksari, Gedong Blawong, Gedong Madaran, Gedong Carik, Pasiraman Umbulsari, Gerbang Ledoksari, Gedong Garjita, Pasiraman Garjitawati, dan Kolam Naga Luntak (lihat lampiran hal. 125). Pembagian tersebut sesuai dengan pengukuran yang dilakukan oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) DIY (sekarang bernama Balai Pelestarian Cagar Budaya) pada tahun 2003. Secara garis besar di dalam Laporan Hasil Ketinggian Situs Tamansari (2003), Tamansari dapat dibagi menjadi tiga wilayah berdasarkan ketinggian (tingkat elevasi), yaitu: bagian utara yang merupakan wilayah Segaran, bagian tengah yang merupakan jalur gapura, dan bagian selatan yang merupakan wilayah kompleks Taman Umbulsari. Pada setiap bangunan di Pesanggrahan Tamansari terdapat ciri khas yang membedakan bangunan yang satu dengan yang lain. Sebagaimana umumnya bangunan tradisional setiap bangunan dapat diidentifikasi dari bentuk fisik berupa struktur bangunan dan ragam hias. Penelitian ini lebih terfokus kepada ragam hias yang terlihat menarik dan khas. Tamansari memiliki beragam ornamen atau ragam hias seperti hiasan flora, burung, pilaster, kala, dan naga. Beragam ornamen tersebut memperlihatkan adanya pengaruh budaya tertentu seperti dari masa Klasik Indonesia yang terlihat atas hiasan kala, hiasan dominan flora dan sulursuluran sebagai pengaruh budaya Islam, sengkalan sebagai gabungan antara hiasan flora dan burung sebagai pengaruh budaya Jawa, dan ragam hias pilaster yang memiliki karakter pengaruh budaya elemen arsitektur Eropa. Salah satu keistimewaan ragam hias di Tamansari terdapat di Gapura Agung dalam bentuk pepohonan dengan bunga-bunga dengan burung yang
3
sedang menghisap bunga tersebut. Ragam hias itu merupakan sengkalan memet yang berbunyi Lajering Sekar Sinesep Peksi yang bermakna angka Tahun Jawa 1691/1765 Masehi (Tashadi 1981/1982, 18). Selain itu di Gapura Agung juga ditemui ragam hias yang membentuk pilaster pada temboknya. Kemudian ada pula hiasan lain di Blumbang Kuras berupa patung kepala naga di sebelah selatan dan di Bangunan Bertingkat dengan hiasan kemamang di bagian tutup keongnya. Hiasan pada bangunan tersebut dijumpai beragam ornamen/ragam hias yang bervariasi antara satu tempat dengan tempat yang lain sehingga menarik untuk diketahui keterkaitan antara ragam hias di Pesanggrahan Tamansari dengan pola tata ruangnya. Bangunan-bangunan di Tamansari yang dibagi menjadi tiga wilayah berdasarkan fungsi bangunan sebagaimana telah disebut di atas, perlu diteliti lebih dalam untuk mengetahui hubungannya dengan ragam hias yang bervariasi dalam bentuk dan sumber pengaruh.
1.2.
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, permasalahan
penelitian ini dirumuskan sebagai berikut. 1. Apa saja ragam hias di masing-masing bangunan Pesanggrahan Tamansari? 2. Apakah ragam hias pada keseluruhan situs Pesanggrahan Tamansari mempunyai pola penempatan tertentu? 3. Bagaimanakah makna pola ragam hias di Pesanggrahan Tamansari?
4
1.3.
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Memberikan deskripsi mengenai ragam hias di Pesanggrahan Tamansari. 2. Memberikan kesimpulan mengenai hubungan antara dimensi bentuk (ragam hias) dengan dimensi ruang (pola tata ruang bangunan Tamansari). 3. Menjelaskan makna pola ragam hias di Pesanggrahan Tamansari sehingga dapat menjadi rujukan baik mengenai konsep bangunan atau pun terkait hiasan pada bangunan maupun struktur bangunan.
1.4.
Ruang Lingkup Penelitian Ragam hias dalam penelitian ini ialah melingkupi hiasan dua dimensi dan
tiga dimensi yang terdapat pada bangunan dan struktur bangunan yang masih tersisa di Tamansari. Kemudian terkait aspek ruang, Pesanggrahan Tamansari dilihat dalam ruang skala meso, yaitu mempelajari sebaran dan hubungan lokasional antarbenda arkeologi dan situs di dalam suatu situs (Clarke 1977). Skala meso diambil karena bangunan-bangunan di dalam Pesanggrahan Tamansari secara sendiri-sendiri dapat dikaji dalam skala mikro dan Kraton Yogyakarta secara keseluruhan merupakan skala makro. Berdasar peta pada tahun 1824, wilayah keraton ialah Kompleks Keraton, Pesanggrahan Tamansari, Segaran, Pulo, Dalem Panembahan Mangkurat, Alun-Alun Utara, Masjid Besar, dan Alun-Alun Selatan (Tashadi 1981/1982, 16).
5
1.6.
Tinjauan Pustaka Ragam menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (1976), berarti “pola”
atau “corak”,sedangkan corak berarti bunga atau gambar–gambar. Di dalam KBBI terbaru, ragam berarti macam, jenis. Pengertian ragam oleh (Gustami 1980, 176) diartikan bahwa ragam menjadi pokok suatu pola, dimana setelah ragam itu mengalami gambar penyusunan dan ditebarkan secara berulang-ulang akan memperoleh sebuah pola. Selanjutnya dalam Kamus Indonesia Modern (1988) dijelaskan bahwa kata hias mempunyai arti sesuatu untuk menambah indah. Dengan demikian pengertian kata hias yang dimaksud adalah sesuatu untuk menambah indah, baik terdiri dari unsur–unsur hias berupa ragam maupun unsur– unsur hias lainnya. Oleh karena itu ragam hias adalah bentuk atau elemen dasar yang bertujuan untuk suatu keindahan dalam kesenian. Kemudian di dalam Ensiklopedi Indonesia (1980) dijelaskan bahwa hiasan adalah ornamen; dibidang seni bangunan dikenal beberapa jenis hiasan, antara lain hiasan aktif, yaitu hiasan yang keberadaannya tidak dapat dipisahkan dari bangunan utama, karena kalau hiasan itu dipisahkan akan merusak konstruksi bangunan tersebut. Sedangkan hiasan pasif adalah hiasan yang lepas dari bangunan utama, yang dapat dihilangkan tanpa mempengaruhi konstruksi bangunan. Adapun hiasan teknis adalah hiasan yang fungsinya sebagai hiasan dan juga punya fungsi lain. Pada masa lampau berkembang di istana raja–raja dan para bangsawan, baik di Barat maupun di Timur, untuk menghiasi bentuk–bentuk dasar dari hasil kerajinan tangan (Hassan 1980, 2604).
6
Ragam hias dapat diartikan sebagai suatu pola atau corak hiasan yang terungkap sebagai ungkapan ekspresi terhadap keindahan atau pemenuhan kebutuhan lain. Ragam hias sebagai elemen pokok dari gambar dalam penerapannya di samping sebagai unsur penghias semata, sering pula ditemui adanya makna simbolis atau maksud–maksud tertentu yang sesuai dengan falsafah hidup penciptanya untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Dalam hal ini Gustami (1980) menerangkan bahwa terdapat nilai-nilai simbolik atau maksud-maksud tertentu dalam suatu ornamen yang biasanya berhubungan dengan pandangan hidup manusia pembuatnya sehingga mempunyai makna lebih dalam. Soegeng Toekio (1987) dalam bukunya Mengenal Ragam Hias Indonesia menguraikan bahwa ragam hias yang ada di kehidupan masyarakat sebagai media ungkapan perasaan yang diwujudkan dalam bentuk visual yang proses penciptaamya tidak lepas dari pengaruh lingkungan. Ragam hias itu dapat sebagai pelengkap rasa estetika namun dapat pula terdapat makna simbolis tertentu, menurut apa yang berlaku sah secara konvensional di lingkungan masyarakat pendukungnya. Di dalam buku Encyclopedia Of World Art (1967) yang lebih mengarah terkait seni, simbolisme merupakan sebagai suatu praktek mengartikan sesuatu melalui bentuk lain dan mempunyai kaitan yang khusus dengan pemindahan dan perubahan dari perwujudan imajinasi. Simbolisme selalu berhubungan dengan pemakaian tanda atau lambang yang tumbuh dari pengalaman pengindraaan, pewujudan dari imajinasi dan curahan perasaan seni. Sementara simbol yang berasal dari bahasa Yunani “simbolos” yang berarti “ciri, tanda”, mempunyai arti
7
dalam Kamus Modern Indonesia yang berarti “lambang”, merupakan suatu hal yang mengandung arti tertentu dan tersembunyi, seperti cincin sebagai tanda kesetiaan, lampu merah sebagai tanda berhenti dan lain–lain (Zain 1988, 159). Kemudian Budiono Heru Satoto (1987), menambahkan bahwa simbol atau lambang merupakan sesuatu hal atau keadaan yang merupakan pengantara pemahaman terhadap obyek. Tanda adalah suatu hal atau keadaan yang menerangkan atau memberitahukan obyek kepada si obyek. Tanda selalu merujuk kepada sesuatu yang riil, yaitu benda, kejadian atau tindakan. Tanda alamiah merupakan satu bagian dari hubungan alamiah tertentu dan menunjukkan pada bagian lain. Ragam simbol menurut Susan K. Langer (1976) dibedakan menjadi dua macam, yaitu simbol presentasional dan simbol diskursif. Simbol presentasional adalah simbol yang cara penangkapannya tidak membutuhkan intelek, dengan sepontan simbol itu menghadirkan apa yang dikandungnya. Simbol macam ini dijumpai dalam alam, lukisan, tari–tarian, pahatan dan lain–lain. Simbol diskursif adalah simbol yang cara penangkapannya menggunakan intelek, tidak secara spontan, tetapi berurutan. Simbol ini terungkap secara paling jelas dalam bahasa yang mempunyai konstruksi secara konsekuen. Simbol seperti ini dibangun oleh unsur–unsur sesuai aturan perhubungan tertentu dan dengan begitu dapat pula dipahami maknanya. Selain membedakan simbol presentasional dan simbol diskursif, Langer juga membedakan simbol menurut cara pemakaiannya, yaitu terdiri atas bahasa, ritus, mitos dan musik. Sementara itu, Cassirer (1987) menyebutkan bahwa
8
bentuk–bentuk simbolik itu adalah bahasa, mite, seni dan agama. Bentuk lambang atau simbol dapat berupa bahasa (cerita, perumpamaan, pantun, syair, peribahasa), gerak tubuh (tari), suara atau bunyi (lagu dan musik), warna dan rupa (lukisan, hiasan, ukiran, bangunan). Kemudian makna simbolisme juga terdapat dalam budaya Jawa. Makna simbolisme dalam budaya Jawa antara lain adalah sebagai berikut (Sukmawati 2004, 18-19) : 1. Kepercayaan orang Jawa terhadap Tuhan, yang menciptakan manusia dan alam seisinya, dan juga adanya dunia lain untuk melanjutkan kehidupan dunia, yaitu alam yang diyakini dimana para arwah sekarang berada. 2. Berkembangnya budaya, simbol–simbol selalu mengalami pembaharuan dari masa ke masa. Pembaharuan tersebut disesuaikan dengan kemajuan pengetahuan demi kepuasan batin dan kebudayaan manusia. Ragam hias dapat mempunyai simbol tertentu selain keindahan dalam ragam hias itu sendiri. Makna dan arti simbol dari awal disebutkan secara umum kemudian lebih dikerucutkan makna simbolisme dalam budaya Jawa. Di dalam budaya Jawa pun ternyata ada makna tertentu pada simbolisme. Simbolisme yang juga dapat dijumpai dalam suatu ragam hiasnya. Tinjauan mengenai ragam hias dan simbol tersebut akan menjadi pemahaman awal sebagai pemantik. Hal tersebut diperlukan untuk memahami ragam hias dan simbol untuk dikaitkan dengan pola letak dan maknanya di Pesanggrahan Tamansari Yogyakarta.
9
1.7.
Kerangka Berpikir Ragam hias sebagai salah satu aspek arsitektural memiliki bentuk yang
beragam di Pesanggrahan Tamansari dengan berbagai pengaruh budaya. Berkembangnya budaya disebut oleh Sukmawaati (2004) bahwa makna terhadap simbol–simbol selalu mengalami pembaharuan dari masa ke masa. Pembaharuan tersebut disesuaikan dengan kemajuan pengetahuan demi kepuasan batin dan kebudayaan manusia. Manusia cenderung mengatur tempat tinggal ke dalam satuan ruang yang tidak bersifat acak, namun berpola, karena menusia tidak berperilaku acak dalam menempati habitatnya, tetapi dalam batas-batas tertentu dan mengikuti aturan umum yang berlaku di dalam masyarakat (Watson, Blanc, dan Redman 1971, 61). Bangunan dan struktur bangunan di Tamansari pun memiliki pola keruangan dengan batas tertentu dan aturan-aturan. Tamansari, keruangannya dibagi menjadi tiga wilayah berdasarkan fungsi bangunan yang telah disebutkan sebelumnya menjadi wilayah Segaran, Jalur Gapura, dan Komplek Taman Ledoksari Masyarakat yang menjunjung tinggi norma kehidupan bersama, bentuk tata ruang merefleksikan nilai-nilai dan norma-norma masyarakat tersebut, serta menjadi kaidah-kaidah yang mengarahkan pemberian bentuk-bentuk arsitektural dan pemberian hubungan antarfungsi dalam ruang (Poerba 1990, 4). Tata ruang bangunan yang teratur dan terstruktur merupakan salah satu wujud dari gagasan manusia untuk memenuhi kebutuhannya. Hal ini dikarenakan manusia cenderung mengatur tempat tinggalnya dengan pertimbangan ideologis, teknologis, ekologis, dan perilaku sosial (Mundardjito 1995, 27) ke dalam sebuah ruang berdasarkan
10
suatu tindakan aktivitas yang membentuk pola tata ruang (Sulistyowati 2004, 49). Penataan ruang tersebut cenderung dilakukan manusia sehingga selalu memperhatikan detail penempatan dan beragam aspek arsitektural. Demikian pula dengan penataan ruang di Pesanggrahan Tamansari yang juga memperhatikan peletakan ragam hias, sebagai salah satu dari aspek arsitektur.
1.8.
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan penalaran induktif. Sifat penelitiannya adalah
deskriptif analitis; pembahasan data yang hanya sampai pada tahap interpretasi sedangkan tujuan akhir yang ingin dicapai adalah generalisasi empiris atau kesimpulan umum. Secara lengkap, tahap penelitian ini dibagi menjadi empat, yaitu: 1.8.1.
Tahap Pengumpulan Data Data diperoleh melalui studi pustaka dan studi lapangan. Data pustaka
sebagai data sekunder berupa data tertulis dan data gambar. Data gambar antara lain berupa denah, gambar/sketsa, dan foto. Data tertulis berasal dari buku, laporan penelitian, babad (yang sudah diterjemahkan), dan karya tulis ilmiah (skripsi dan disertasi). Data lapangan sebagai data primer didapatkan melalui survei permukaan arkeologis (Mundardjito 1995, 28). Survei permukaan arkeologis dilakukan dengan cara pengamatan langsung terhadap tinggalantinggalan arkeologi khususnya ragam hias dan bangunan/pola ruang Tamansari.
11
Luasan Tamansari melihat dari denah Patilasan Pasanggrahan Tamansari dan Segaran Pulo Gedong 1758-1812 (1942) dengan ruang lingkup Situs Tamansari, bangunan, serta struktur bangunan yang masih ada saat ini. Keadaan bangunan asli juga mengacu pada foto lama untuk melihat detail bangunan asli. Ragam hias yang diteliti ialah ragam hias yang ada di Pesanggrahan Tamansari baik di luar bangunan tapi masih dalam situs maupun yang melekat pada bangunan. 1.8.2.
Tahap Deskripsi Pendeskripsian dilakukan dengan cara mengubah data hasil observasi yang
berupa pengamatan di lapangan dan data gambar menjadi bentuk deskriptif. Data deskripsi dengan penjelasan pada tiap-tiap bangunan dan struktur bangunan yang berdekatan atau berhubungan dengan ragam hias di Situs Tamansari. Pada tahap ini juga disertakan data gambar berupa potongan denah dan foto yang menjelaskan bangunan-bangunan di Tamansari. Pendeskripsian ragam hias di Tamansari dilakukan sesuai dengan bangunan atau struktur bangunannya. Deskripsi dengan mengelompokan masingmasing ragam hias dan jumlahnya di tiap-tiap bangunan. Pengelompokan yang ada tersebut kemudian dapat disajikan secara ringkas dalam suatu tabel. Tabel dengan isian kolom antara bangunan dengan jumlah ornamen yang sudah diklasifikasikan. 1.8.1.
Tahap Analisis Pengolahan data dilakukan seara kualitatif melalui analisis artefaktual dan
analisis sebaran. Analisis artefaktual ditujukan untuk mengetahui maksud tiap-tiap
12
ragam hias dengan memperhatikan temuan lainnya secara spasial. Pengamatan secara spasial ditekankan pada kedudukan bangunan secara horisontal (dalam satuan-satuan ruang), misalnya hubungan ragam hias di dalam suatu bangunan, hubungan ragam hias antarbangunan, dan hubungan ragam hias di Situs Tamansari. Analisis sebaran ditujukan untuk menjelaskan ragam hias terkait dengan faktor keletakkannya (Clarke 1977, 9). Hasil dari analisis dikorelasikan dengan pola tata ruang. Selanjutnya tabel yang dihasilkan dari tahap deskripsi tersebut dapat menjadi alat analisis sebaran ragam hias yang terdapat di Pesanggrahan Tamansari. 1.8.1.
Tahap Interpretasi Pada tahan ini, dilakukan interpretasi dengan memperhatikan konteks,
untuk mengetahui keterkaitan antara sebaran ragam hias dengan pola tata ruang secara filosofis dan fungsional. Pada tahap interpretasi ini, menafsirkan hubungan-hubungan tersebut untuk mengetahui keterkaitan di antara ragam hias dengan pola tata ruang di Pesanggrahan Tamansari. Pada tahap ini digunakan data perbandingan dari ragam hias baik dalam satu situs maupun yang berada di daerah lain pada masa yang relatif sejaman untuk membandingkan dan mendukung interpretasi yang akan didapatkan. Pada tahap kesimpulan, hasil akhir dari interpretasi harus menjawab permasalahan yang diajukan serta sejalan dengan tujuan penelitiannya.
13
1.9.
Sistematika Penulisan Penyusunan sistematika penulisan ini untuk memudahkan penulisan dalam
skripsi ini, adapun susunan sistematika skripsi ini adalah sebagai berikut: Bab I berisi pendahuluan, bagian yang mengawali penulisan dengan menguraikan Latar Belakang tentang ragam hias dan pembagian kelompok bangunan Tamansari. Setelah latar belakang kemudian merumuskan permasalahan yang ingin diketahui dan diinterpretasikan. Selanjutnya sebagai target pencapaian hasil penelitian akan dimuat pada Tujuan Penelitian. Selain itu terdapat pula ruang lingkup penelitian untuk membatasi aspek ruang penelitian, keaslian penelitian untuk menjelaskan perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang lain, tinjauan pustaka beberapa pustaka mengenai ragam hias dan simbol, kerangka berpikir berupa alur besar dari penelitian, dan metode penelitian untuk mempertegas tahaptahap penelitian. Bab II membahas sejarah, bentuk fisik dan kondisi kini Pesanggrahan Tamansari. Sejarah Tamansari dari awal pembangunannya sampai setelah tidak dipergunakan sebagai pesanggerahan. Kemudian bentuk fisik dengan melihat keseluruhan bagian bangunan dan struktur bangunan pada pesanggrahan dengan melihat Denah Patilasan Pesanggrahan Tamansari dan Segaran Pulo Gedong 1756-1812. Selanjutnya kondisi terkini Pesanggrahan Tamansari setelah beberapa waktu tidak dipergunakan hingga dimanfaatkan lagi untuk pariwisata. Bab III berisi mengenai klasifikasi ragam hias di Tamansari, sebaran ragam hias di bangunan-bangunan dan pola ragam hias di Tamansari. Klasifikasi ragam hias di Tamansari menjadi dua, yaitu ragam hias bertipe dan ragam hias
14
sejenis. Pengelompokkan tersebut juga dengan mendeskripsikan masing-masing ragam jenis dan mencantumkan foto di dalam tabel. Kemudian ragam hias yang telah diklasifikasikan itu dicari tahu mengenai sebarannya di bangunan dan struktur bangunan Tamansari. Selanjutnya ragam hias yang sudah diklasifikasi dan diketahui sebaran di tiap-tiap bangunan itu dibahas tentang pola ragam hias di kelompok bangunan Tamansari. Bab IV membahas tentang keterkaitan ragam hias dan pola tata ruang yang menuai interpretasi tentang ragam hias bermakna profan publik, profan privat dan ragam hias bermakna sakral. Pada masing-masing bagian makna akan dijabarkan terkait maksud atau arti dari makna profan publik, profan privat, dan sakral. Kemudian dari tiap makna tersebut dikaitkan dengan ragam hias dan pola keruangannya. Selanjutnya Bab V berisi mengenai penutup penulisan berupa simpulan dari kegiatan penelitian. Simpulan berupa poin-poin penting merupakan rangkuman akhir dan menjadi inti dalam pembahasan dan interpretasi.
15