1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kosmologi adalah ilmu yang mempelajari alam semesta, cosmos, dalam berbagai dimensinya. Istilah cosmos sudah digunakan sejak awal perkembangan pemikiran metafisika Yunani yang berarti “harmony” atau “order”.1 Oleh karena itu, secara definitif kosmologi adalah ilmu tentang asal, struktur, komponen, tatanan, dan hukum-hukum alam semesta. Penelitian tentang kosmos atau alam meliputi berbagai aspek membentang mulai dari filsafat, sains, mistisime, teologi, dan juga ilmu alam itu sendiri. Keberagaman penelitian tersebut disebabkan oleh adanya rasa ingin tahu manusia, misalnya terhadap pertanyaan seperti: dari mana dan bagaimana alam semesta muncul, serta apa yang akan terjadi ketika manusia meninggal. Sebelum
kemenangan
kosmologi
fisika
modern,
jawaban
dari
pertanyaan-pertanyaan di atas menjadi hak preogratif para filsuf, saintis, teolog dan para mistikus sebagai dari ilmu agama. Doktrin dan penjelasan kosmologinya memiliki signifikansi tidak hanya untuk memperoleh kebenaran yang valid, ilmiah mengenai alam semesta, tetapi juga menjadi hukum-hukum moral dan agama.2 Relevansi penjelasan alam semesta yang tidak hanya menjelaskan aspek fisik, tetapi juga meliputi aspek spiritual, salah satunya dapat ditemukan dalam penggunaan istilah kosmos itu sendiri. Kosmos dalam bahasa arab berarti “alam”, berasal dari kata yang sama dengan ‘alama (tanda); ‘alam (petunjuk jalan); dan ‘ilm (pengetahuan). Derivasi istilah tersebut menunjukan bahwa kosmos adalah sumber pengetahuan, tanda dan rambu-rambu yang menunjuk kepada sesuatu selain dirinya. 3 Dalam pengertian yang paling umum, kata kosmos berarati “dunia”dalam hal ini merujuk pada alam materi atau alam kenisbian. 1
Momamed Haj Yousef, Ibn Arabi: time and cosmology, (London: Rouledge, 2008), hal. 1. Lihat juga Humaidi, Paradigma Sains Integratif Al Farabi, (Jakarta Selatan : Sadra Press, 2015), hal, 135. 2 Sammer Akkach, Cosmology and architecture in premodern Islam: An Architectural Reading of Mystical Ideas, (Albany:State University of New York Press,2005), hal, 3 3 Willian C. Chittick, The Self Disclosure of god: Principle of Ibnu Arabi’s Cosmology (Albany:State University of New York Press,2005), hal, 1
Demikian pula, para ilmuwan dan filsuf pra islam mendeskripsikan substansi alam dengan merujuk pada satu aspek saja, Phytagoras misalnya menyebut alam dengan dunia angka-angka; Plato menggambarkan alam sebagai bentuk-bentuk transenden; Aristoteles menggambarkan alam berdasarkan pada materi; Euclid menyimpulkan berdasarkan aksioma-aksioma bentuk ruang dan waktu, Archimedes mengaplikasikan matematika pada alam semesta; dan Diophantus memperkenalkan al-jabar sebagai alat untuk menjelaskan alam.4 Pandangan para ilmuan muslim di satu sisi sama dengan pandangan ilmuan pra islam, disii lain berbeda dengan berbagai asumsi dan gambaran para ilmua tersebut. Bagi para ilmuan muslim, alam disebut sebagai segala sesuatu selain Tuhan (Kullu mâ SiwaLlâh), atau menurut definisi Ibnu ‘Arabi adalah sesuatu yang riil.5 Segala sesuatu selain Tuhan tersebut meliputi dua aspek, yaitu dunia kasat mata dan dunia visual yang mana kedua dunia tersebut dilengkapi dengan tatanan, bentuk, dan makhluk yang mendiami dan menjaga masingmasing dunia.6 Karena alam dalam pandangan islam meliputi dua aspek yaitu fisik dan non fisik, maka ruang lingkup kosmologi islam, atau juga disebut kosmologi tradisional, memiliki beberapa aspek, seperti aspek kuantitatif, kualitatif dan aspek-aspek simbolis. Artinya, ilmu kosmos dalam prespektif tidak hanya menggunakan ekplanasi kualitatif simbolis. Bahasa kualitatif simbolis ini mengandaikan adanya kesesuaian antara berbagai eksistensi alam semesta baik dunia non fisik maupun dunia visual, dan keserasiannya antara dunia langit dan bumi. Bentuk lain dari studi tentang kosmos dalam konteks tradisional, sebagai penjelasan lebih jauh mengenai makna alam pada aspek kualitatif simbolis , adalah kontemplasi bentk tertentu alam sebagai cermin atau manifestasi dari nama-nama ilahi (Divine Qualitaties) yang melihat alam dalam citra Tuhan.
4
B.K Ridley, on science: Thingking in Action, (London: Routledge, 2001), hal, 41 dan Joel L Kreamer, Philosophy In Renaisance of Islam (Leiden: E. J. Brill. 1986), 173-175 5 Willian C. Chittick, The Self Disclosure of god: Principle of Ibnu Arabi’s Cosmology (Albany:State University of New York Press,1998), hal, 3 6 Sammer Akkach, Cosmology and architecture in premodern Islam: An Architectural Reading of Mystical Ideas, (Albany:State University of New York Press,2005), hal, 3
2
Prespektif ini menurut Nasr7, di dasarkan pada kekuatan bentuk ide-ide dalam arti Platonis sebagai sarana untuk mengingat kembali dan perenungan pada asal alam semesta. Perenungan ini memiliki arti sebagai bentuk realisasi intelektualSpiritual yang juga menyiratkan adanya transparansi metafisik dalam objek dan bentuk alam sebagai dimensi dan aspek niscaya dalam kehadiran Tuhan di seluruh alam.8
Kosmos dipandang sebagai salah satu realitas tak terpisah-selamanya
bergerak, hidup organis; dalam bentuk materi dan spiritual dalam waktu yang sama. Selain sebagai sarana untuk mengingat kembali pada asal alam semesta studi kosmos secara Integratif-Simbolis berimplikasi pada bidang astronomi. Menurut Howard S. Turner, salah satu karakteristik kosmologi dalam islam, terutama dalam bidang astronomi, selain mengungkapkan sifat fisik dan struktur dunia langit, yaitu adanya pengaruh dan keterkaitan antara benda-benda langit dengan peristiwa-peristiwa kehidupan masyarakat di bumi.9 Ilmu ini disebut juga astrologi, yaitu bidang ilmu yang menggunakan instrument yang sama seperti yang digunakan dalam istronomi teoritis dan melalui pengamatan indrawi misalnya matematika. Dengan menggunakan ilmu kalkulasi dan pengamatan menunjukan bahwa astrologi Muslim, lanjut Turner, sama-sama memiliki karakter ilmiah seperti yang dilakukan astronomi modern. Bedanya adalah terletak pada interpretasi mereka yang tergantung pada prosedur keselarasan dunia metafisik hubungannnya dengan konfigurasi perubahan duania langit dan maknanya bagi kehidupan sehari-hari manusia.
7
Seyyed Hossein Nasr di lahirkan di Kota Teheran, Iran pada tanggal 7 April 1933. Ia berasal dari keluarga ulama yang dibesarkan dari tradisi Syi'ah tradisional, yang merupakan faham dominan di negeri Iran. Ayahnya adalah orang yang terpelajar yang berprofesi sebagai dokter, baik secara tradisional maupun modern, disamping juga sebagai penyair. Pada waktu Nasr dilahirkan, negara Iran secara politik berada dalam masa-masa ketegangan antara penguasa (Dinasti Pahlevi) pada masa itu dengan para ulama.7Pendidikan dasarnya didapatkan di kota kelahirannya berupa pendidikan tradisional. Kondisi intelektual dalam sistem pendidikan tradisional di Iran tidak pernah padam, ini terbukti dengan filsafat yang merupakan kebanggaan intelektualisme Iran (Persia) masih berlangsung sampai sekarang. Lihat Seyyet Hossein Nasr, Islam Antara Cita dan Fakta, alih bahasa: Abdurrahman Wahid dan Hasyim Wahid, (Yogyakarta: Pustaka, 2001), hal. 151 8 Sayyed Hossein Nasr, knowledge and the Sacred (New York : State University of New York Press, 1989), hal 169. 9 Sayyed Hossein Nasr, knowledge and the Sacred (New York : State University of New York Press, 1989), hal 169.
3
Penciptaan adalah bagian dari pembahasan Kosmologi10, di mana kosmologi diartikan sebagai sebuah cabang ilmu filsafat yang mempelajari alam
semesta sebagai suatu
sistem
yang
rasional dan teratur.11 Teori
penciptaan semesta mempunyai sejarah panjang dalam pemikiran manusia, para teolog dan para filsuf pada dasarnya bukan merupakan asli dari konsep Islam, melainkan banyak diilhami oleh pemikir-pemikir masa sebelumnya terutama dari filsuf Yunani klasik yang mempunyai ide tentang proses penciptaan alam.12 Itu sebabnya, pada beberapa generasi berikutnya, ide-ide tersebut mendapatkan banyak tanggapan pro dan kontra. Pertanyaan mendasar dari teori penciptaan adalah apakah Alam ini ada dari tiada ? (Creatio Ex Nihilo) atau Alam ini ada dari yang sudah ada ? (Ex Nihilo nihil Fit). Dalam perkembangannya filsuf awal pada masa Yunani Kuno (pra Sokrates) membahas tentang bahan dasar alam ini kemudian pada masa klasik lebih jauh bertanya dari manakah asal/sumber yang ada tersebut. Filsuf awal yang pertama yang menjelaskan mitos penciptaan secara rasional adalah Thales. Ia berpendapat bahwa air merupakan arche (prinsip) dari seluruh alam semesta.13 Kemudian menurut Atiyeh (1923-2008 M), para filsuf Yunani Kuno secara keseluruhan; mulai Plato (428-347 SM),14 Aristoteles (384-322 SM)15 sampai 10
Kosmologi adalah ilmu yang mempelajari alam semesta, cosmos, dalam berbagai dimensinya. Istilah cosmos sudah digunakan sejak awal perkembangan pemikiran metafisika Yunani yang berarti “harmoni” atau “order” , sebagai lawan dari kekacauan, disorder, berdasarkan pada salah satu penciptaan Yunani, berasal dari meteri tak berbentuk yang muncul dari penciptaan alam semesta, atau harmonious order. Lihat Humaidi, Paradigma Sains Integratif Al Farabi, (Sadra Press: Jakarta Selatan, 2015), hal, 135.lihat juga Momamed Haj Yousef, Ibn Arabi: time and cosmology, (London: Rouledge, 2008), hal. 1. 11 Lorens, Bagus, Kamus Filsafat (Gramedia: Jakarta, 2005), hal. 499 12 Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hal. 19 13 Thales adalah salah satu dari tujuh orang bijak Yunani, yang masing-masing dikenal terutama karena satu pernyataannya yang bijak. Menurut kisah tradisi, Thales membuat pernyataan bahwa “yang terpenting adalah air”. Menurut Aristoteles, Thales berpendapat bahwa air adalah substansi dasar yang membentuk segala hal lainnya, dan ia mengatakan bahwa bumi terapung di atas air. Berdasarkan penuturan Aristoteles, Thales juga mengatakan bahwa magnet juga memiliki jiwa, karena bisa menggerakkan besi. Selain itu, segala sesuatu sesungguhnya penuh dengan dewadewa. Lihat Bertrand Russell Sejarah Filsafat Bara, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2007), hal. 33 14 Plato adalah filsuf paling terkenal, dihormati dan dirujuk di antara filsuf-filsuf dunia barat lainnya. Dia hidup di Athena dua puluh empat abad lalu, abad IV SM, dan sepanjang sejarah hingga saat ini. Pujian terhadap Plato telah diekspresikan dalam berbagai macam kiasan, seakanakan saling berlomba kefasihan. Filsuf dan ahli matematika Inggris Alfred North Whitehead menilai sejarah filsafat Barat hanyalah catatan kaki bagi bagi Plato. Penyair dan filsuf Amerika Ralph Waldo Emerson berkata, “ Plato itulah filsafat, dan filsafat adalah Plato,” dan juga di luar Plato segala hal masih tertulis dan diperdebatkan di antara pemikir.” Lihat T.Z. Lavine, From
4
Plotinus (204-270 M), berpandangan bahwa alam semesta tercipta dari yang ada.16 Sebab bagi mereka apa yang disebut mencipta adalah membuat sesuatu yang baru berdasarkan apa yang ada sebelumnya (Creatio ex Materia), baik lewat gerakan atau emanasi. Artinya, dalam pandangan filsafat Yunani, Tuhan bukanlah pencipta dalam makna yang sesungguhnya, dari tiada menjadi ada, melainkan hanya sebagai penggerak atau pewujud realitas, dari alam potensialitas kepada alam aktualitas. Konsekuensinya, alam menjadi qadim, tidak terbatas dan abadi karena gerak atau emanasi Tuhan adalah qadim, tidak terbatas dan abadi. Suatu teori penciptaan yang tidak dapat diterima oleh kaum teolog muslim manapun.17 Al-Kindî18
juga
menolak
teori tersebut
dan
sebagai
gantinya
memunculkan gagasan bahwa alam tercipta dari yang tiada (Creatio ex Nihilo), menurutnya semesta ini terbatas, tidak abadi, dan tercipta dari tiada. Argumentasi yang digunakan tidak bersifat teologis melainkan filsufis, dan itu didasarkan atas prinsip-prinsip logika Aristoteles. Pertama, bahwa segala sesuatu yang tidak terbatas tidak dapat berubah menjadi terbatas yang berwujud dalam bentuk aktual. Kedua, bahwa materi, waktu, dan gerak muncul secara serentak dan bersamaan. Dua prinsip ini oleh Al-Kindî kemudian dikembangkan menjadi sembilan pernyataan :
Socrates to Sarte: The Philosopic Quest, terj. Andi Iswanto dan Deddy Andrian Utama ( Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2002), hal. 4. Selanjutnya disebut sebagai: Lavine, From Socrates to Sarte. 15 Aristoteles lahir pada 384 SM di kota Stagira, Macedonia, dekat dengan kota modern Salonika. Ia berangkat dari keturunan penasihat Raja Macedonia. Ayahnya, Nicomachus adalah seorang penasehat Raja Amyntas, dan Aristoteles muda tumbuh di lingkungan Istana Macedonia bersama Philip, putra raja. Dipercaya bahwa tahun 367 SM, dalam usia delapan belas tahun, Aristoteles memasuki akademi Plato di Athena, tempat ia belajar dan mengajar selama dua puluh tahun, sampai saat meninggalnya Plato pada 347 SM. Salah satu perbedaan Plato dan Aristoteles secara filsufis dan esensial benar–benar diekspresikan oleh kritik yang menjatuhkan atas teori bentuk Plato. Bagi Plato, bentuk tak terbantahkan dari keadaan abadi menciptakan realitas dan berada di atas alam kasat mata yang berubah dari bergeser dari keadaan lahiriah saja. Aristoteles berpendapat sebaliknya, bahwa benda yang nyata –tumbuhan, hewan, manusia, dan negaramerupakan substansi yang kongkrit. Lihat Lavine, From Socrates to Sarte, hal.56 16 A. Khudori,Soleh, Filsafat Islam: Dari Klasik Hingga Kontemporer (Ar-Ruzz Media:Jogjakarta, 2013), hal, 97. Selanjutnya disebut sebagai: A. Khudori,Soleh, Filsafat Islam. 17 George N. Atiyeh, Al-Kindî Tokoh Filsuf Muslim. terj. Kasidijo Djojosuwarno. (Pustaka: Bandung, 1983), hal. 48 18 Dikenal sebagai fisuf muslim keturunan arab pertama, nama lengkapnya adalah Abû Yûsuf bin Ya’kûb ibnu Ishâq ibn al-Shabbah ibnu Imrân ibn Muhammad ibn Al-Asy’as ibn Qais al-Kindî. Ia populer dengan sebutan Al-Kindî, yaitu dinisbatkan kepada Kindah, yaitu suatu kabilah terkemuka pra Islam yang merupakan cabang dari Bani Kahlan yang menetap di Yaman. Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam (Gaya Media Pratama Jakarta: Tanggerang Selatan, 2013), hal. 15. Selanjutnya disebut sebagai: Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam.
5
1. Dua besaran yang sama, jika salah satunya tidak lebih besar yang lainnya, berarti adalah sama. 2. Jika satu besaran ditambahkan pada salah satu dari dua besaran yang sama tersebut, keduanya menjadi tidak sama. 3. Jika sebuah besaran dikurangi, sisanya adalah lebih kecil dari besaran semula. 4. Jika suatu besaran diambil sebagiannya, kemudian sebagaimana tersebut dikembalikan lagi, hasil besarannya adalah sama seperti sebelumnya. 5. Besaran yang terbatas tidak dapat berubah menjadi tidak terbatas, begitu pula sebaliknya. 6. Jumlah dua besaran yang sama, jika masing-masing bersifat terbatas, adalah terbatas. 7. Besaran alam aktualitas adalah sama dengan besaran alam potensialitas. 8. Dua besaran yang tidak terbatas tidak mungkin salah satunya menjadi lebih daripada lainnya. 9. Apa yang dimaksud sebagai lebih besar adalah dalam hubungannya dengan bagian yang kecil, dan yang disebut sebagai lebih kecil adalah dalam hubungannya dengan yang lebih besar.19
Berdasarkan atas dua prinsip dan sembilan pernyataan di atas, Al-Kindî kemudian membuktikan kebenaran pandangannya. Pertama, jika kita menyatakan bahwa alam semesta ini tidak terbatas, kita juga harus menyatakan bahwa wujud aktual dari alam semesta ini juga tidak terbatas. Kedua, jika wujud semesta yang diasumsikan tidak terbatas ini kita ambil sebagiannya, sisanya dapat berupa wujud tidak terbatas sebagaimana keseluruhannya, atau menjadi wujud terbatas. Namun, jika dikatakan tidak terbatas, berarti ada dua hal yang sama-sama tidak terbatas, dan itu mengaplikasikan bahwa keseluruhan adalah sama dengan bagiannya dan itu tidak masuk akal. Jika dikatakan menjadi wujud terbatas, hal itu bertentangan
19
A. Khudori,Soleh, Filsafat Islam, hal 99
6
dengan pernyataan bahwa yang tidak terbatas tidak mungkin melahirkan yang terbatas. Ketiga, jika bagiannya yang diambil kita dikembalikan lagi, hasilnya adalah sebagaimana ada sebelumnya. Namun ini mengimplikasikan ada sesuatu yang tidak terbatas (keseluruhan) yang lebih besar dari sesuatu yang tidak terbatas lainnya (bagian); sesuatu yang tidak masuk akal. 20 Berdasarkan kontradiksikontradiksi logis tersebut, menurut Al-Kindî, semesta yang ada dalam aktualitas ini tidak dapat lain kecuali harus bersifat terbatas; dan karena terbatas, maka semesta ini berarti tidak abadi, tidak qadim dan tercipta dari yang tiada. Mengenai itu Al-Farâbî menggunakan teori Neo-Platonisme monistik tentang emanasi.21 Filsuf Yunani seperti halnya Aristoteles, menganggap bahwa Tuhan bukanlah pencipta alam, melainkan penggerak pertama (prima causa). Sedangkan doktrin Mutakallimîn, Tuhan adalah pencipta (shani’, Agent) yang menciptakan dari tiada menjadi ada (al-ijâdu min al-‘adam, creatio ex nihilo). Bagi al-Farâbî, Tuhan menciptakan sesuatu dari bahan yang sudah ada secara pancaran. Tuhan menciptakan alam semenjak azali dengan materi alam berasal dari yang qadim, sedangkan susunan materi yang menjadi adalah baharu, karena itu menurut filsuf kun Tuhan yang termaktub dalam al-Qur’an ditujukan pada syai’, bukan pada la syai’.Adapun proses terjadinya yang banyak dari yang satu, Al-Farâbî berpegang pada asas: yang berasal dari yang satu pasti satu juga (la yafidu an al-wahid illa wahidun).22 Menurut asas itu, Allah Yang Maha Esa mustahil dapat melimpahkan secara langsung beraneka macam hasil emanasi, apalagi menciptakan aneka warna ciptaan. Lebih-lebih alam semesta merupakan satu kesatuan yang bertingkattingkat. Urut-urutan tingkatan turun dari yang satu sampai yang banyak menurut proses mekanik secara deterministis. Jadi dunia itu azali, tanpa permulaan bukan ciptaan. 20
George N. Atiyeh, Al-Kindî Tokoh Filsuf Muslim, terj. Kasidijo Djojosuwarno (Pustaka, Bandung, 1983), hal, 51 21 Emanasi adalah doktrin tentang terjadinya dunia, dunia terjadi karena dan oleh proses dimana yang Ilahi meleleh. Sebuah doktrin alternatif penciptaan. Konsep ini menghubungkan tata kekal dan tata sementara, biasanya melalui tahap antara. Di barat, Gnostisisme dan NeoPlatonisme merupakan filsafat emanasionistik. Lihat Lorens, Bagus, Kamus Filsafat (Gramedia: Jakarta, 2005), hal. 193 22 Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, hal. 37.
7
Jelasnya proses emanasi itu sebagai berikut: Tuhan sebagai akal berpikir tentang diri-Nya dan dari pemikiran-Nya ini tumbul satu maujudain. Tuhan merupakan Wujud Pertama (al-wujud al-awwal) dan dengan pemikiran itu timbul Wujud Kedua (al-wujud al-Tsani) yang juga mempunyai substansi. Ia disebut Akal Pertama (al-Aql al-awwal, first Intelligence) yang tidak bersifat materi (jauhar ghairu mutajassim ashlan wa la fi madah). Wujud Kedua ini berpikir tentang Wujud Pertama, dan dari pemikran itu timbul Wujud Ketiga (al-wujud alTsalis) disebut Akal Kedua (al-aql al-tsani, second intelligence). Wujud Kedua atau Akal Pertama ini juga berpikir tentang dirinya, dan dari situ timbul Langit Pertama (al-sama’al-ula, first heaven).23 Wujud 3/Akal 2
-
Tuhan = Wujud 4/Akal 3 Dirinya = bintang-bintang
(Al-kawâkibu altsaniyah)
Wujud 4/Akal 3
-
Tuhan = Wujud 5/Akal 4 Dirinya = Saturnus
(Kurratu Zahla)
al-
Wujud 5/Akal 4
-
Tuhan = Wujud 6/Akal 5 Dirinya = Jupiter
(Kurratu Mustawâ)
al-
Wujud 6/Akal 5
-
Tuhan = Wujud 7/Akal 6 Dirinya = Mars
(Kurratu marîj)
al-
Wujud 7/Akal 6
-
Tuhan = Wujud 8/Akal 9 Dirinya = Matahari
(Kurratu Syams)
al-
Wujud 8/Akal 7
-
Tuhan = Wujud 9/Akal 10 Dirinya = Venus
(Kurratu Zuhra)
al-
Wujud 9/Akal 8
-
Tuhan = Wujud 10/Akal 9 Dirinya = Mercury
(Kurratu iṭâradi)
al-
Wujud10/Akal 9
-
Tuhan = Wujud 10/Akal 11 Dirinya = Bulan
(Kurratu Qamar)
Al-
Pada Wujud 11/Akal 10 berhentilah terjadinya akal-akal. Tapi dari Akal 10 muncullah bumi serta roh-roh dan materi pertama yang menjadi dasar dari keempat unsur yakni api, udara, air, tanah. Dengan demikian ada 10 Akal dan 9 23
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, hal. 37
8
langit (dari teori Yunani tentang 9 langit [sphere] yang kekal berputar di sekitar bumi). Akal 10 mengatur dunia yang ditempati manusia ini.24 Akal 10 ini disebut juga ‘aql fa’âl (akal aktif) atau wahib al-shuwar (pemberi bentuk) dan terkadang disebut Jibril yang mengurusi kehidupan di bumi. Akal-akal dan planet-planet itu terpancar dengan cara berurutan dalam tingkatannya, tetapi terjadi dalam waktu yang bersamaan. Hal ini disebabkan Tuhan berpikir tentang diri-Nya menghasilkan daya atau energi yang karenanya menghasilkan sesuatu, maka terciptalah Akal 1 sampai Akal 10. Al-Farâbî mengklasifikasikan yang wujud kepada dua rentetan, yaitu: 1. Rentetan wujud yang esensinya tidak berfisik, termasuk dalam hal ini varitas yang tidak berbentuk fisik (Allah, Akal Pertama, dan ‘uqaul alafalak) serta yang tidak berfisik tapi bertempat pada fisik (jiwa, bentuk dan materi). 2. Rentetan wujud yang berfisik, yaitu benda-benda langit, manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, benda-benda tambang, dan unsur yang empat (air, udara, tanah dan api).
Tujuan Al-Farâbî mengemukakan teori emanasi tersebut adalah untuk menegaskan kemahaesaan Tuhan. Karena tidak mungkin yang esa berhubungan dengan yang tidak esa atau banyak. Andaikata alam diciptakan secara langsung mengakibatkan Tuhan berhubungan dengan yang tidak sempurna dan ini menodai ke-esaan-Nya. Jadi, dari Tuhan Yang Maha Esa hanya muncul satu, yakni akal pertama yang berfungsi sebagai perantara dengan yang banyak. Sedangkan menurut Ibnu Sînâ25 dengan teori emanasi yang banyak dipengaruhi dari Neo-Platonisme, berpendapat bahwa Tuhan memancar Akal Pertama, sekalipun Tuhan terdahalu sebagai dzat, namun Tuhan dan Akal Pertama adalah sama-sama azali, selanjutnya Ibnu Sînâ berpendapat, berbeda dengan Al24
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hal. 23. Selanjutnya disebut sebagai: Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme. 25 Nama lengkapnya Abû ‘Alî al-Husain Ibn Abdullah Ibn al-Hasan Ibn ‘Alî Ibn Sînâ. Ia dilahirkan di desa Afsyanah, dekat Bukhara, Transoxiana (Persia Utara) pada 370 H (980M). Di dunia Barat ia termasyhur dengan sebutan Avicenna atau disebut juga dengan Aristoteles baru. Pada akhir hayatnya ia menjadi guru filsafat dan dokter di Isfahan dan meninggal di Hamadzan pada 428 H (1037 M) dalam usia 57 tahun. Lihat De Boer, T.J, Tarikh al-Filsafat fi al-Islam terj. Abd al-Hadi Abu Raidah (Kairo; Lajnah al-Ta’if wa al-Tarjamah wa al-Nasyr, 1938), hal, 166
9
Farâbî26, bahwa Akal Pertama memiliki dua sifat: sifat wajib wujud sebagai pancaran dari Allah dan sifat mungkin wujud jika ditinjau dari hakikat dirinya (Necersarry by Virtue of the Necessary Being dan Possible in Essence). Dengan demikian ia mempunyai tiga obyek pemikiran: Tuhan, dirinya sebagai wajib wujud, dan dirinya sebagai mungkin wujud. Dari pemikiran tentang Tuhan timbul akal-akal. Dari pemikiran tentang dirinya sebagai wajib wujudnya timbul jiwajiwa. Dan dari pemikiran tentang dirinya sebagai mungkin wujudnya timbul langit-langit.27 Dari Akal Pertama memancar Akal Kedua, jiwa, dan Langit Pertama, dan seterusnya hingga Akal 10, jiwa dan bumi. Dari Akal 10 memancar segala apa yang terdapat di bumi yang berada di bawah bulan, termasuk jiwa manusia. Akal Pertama adalah malaikat tertinggi dan Akal Kesepuluh adalah Jibril. Akal bersifat tetap dan terasing dari falak, sedangkan jiwa berhubungan langsung dengan falak. Tuhan adalah Al-Khair al-Mutlak dan akal hanyalah alkhair yang menjadi tujuan dari segala gerakan falak untuk kesempurnaan dirinya. Kerinduan jiwa falak kepada al-khair disebut al-Isyq – al-mutlak, rindu inilah yang menyebabkan terjadinya bermacam-macam peristiwa dan berlangsungnya berbagai macam hal.28 Sementara itu, menurut teori Iluminasi, Tuhan diibaratkan sebagai matahari, dan alam adalah sinarnya. Menurut aliran ini , Tuhan adalah Cahaya, sebagai satu-satunya realitas sejati. Ketika dihubungkan dengan cahaya-cahaya lain, maka tuhan adalah Cahaya di atas cahaya, yang darinya semua cahaya berasal atau memancar. Berdasarkan argumen ini, maka segala sesuatu yang ada di dunia ini terdiri dari cahaya dan kegelapan. Cahaya itu sendiri memiliki wujud
26
Nama lengkapnya adalah Abû Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkhan ibn Auzalagh. Di kalangan orang-orang latin Abad Tengah, al-Farâbî lebih dikenal dengan Abû Naśr (Abunaser). Ia lahir di Wasij, distrik Farab, Turkistan pada 257 H (870 M). Al-Farâbî dikenal seabagai filsuf terbesar, filsuf yang datang sesudahnya banyak mengambil dan mengupas sistem filsafatnya. Pandangannya yang demikian mengenai filsafat, terbukti dengan usahanya untuk mengahiri kontradiksi antara pemikiran Plato dan Aristoteles lewat risalahnya Al-Jam’u baina Ra’yay al-Hâkimain Aflațûn wa Arisțu. Pengetahuannya yang mendalam mengenai filsafat Yunani, terutama Plato dan Aristoteles membuat ia dijuluki al-Mu’allim al-Tsânî (guru kedua), sedangkan guru yang pertama adalah Aristoteles. Lihat Arthur Hyman dan James J. Walsh, Philoshophy in Middle Ages (New York: Happer, 1969), hal. 236 27 Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme hal. 30. Lihat juga Musthafa Ghalib, Ibnu Sînâ (Dar Al-Maktabah wa al-Hilal), hal. 46 28 Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, hal. 69
10
objektif atau positif, sedangkan kegelapan tidak memiliki tidak memilki realitas objektif atau negatif. Kegelapan ada atau hadir karena diakibatkan oleh tidak hadirnya atau tidak adanya cahaya. Ketika cahaya hadir, maka kegelapanpun sirna.29 Secara kosmologis, baik Emanasi maupun Iluminasi sama-sama percaya bahwa alam semesta memancar (emanate atau illuminate) dari tuhan. Namun demikian ada perbedaan dalam penggunaan istilah, struktur tatanan kosmik. Jika teori emanasi menyebut Tuhan dengan istilah wâjib al-wujûd, wujud niscaya dan selalu aktual, maka dalam teori iluminasi menyebut tuhan dengan istilah Nûr alAnwâr yang memilki sifat sejati dilihat sebagai cahaya dan sumber bagi cahayacahaya lain. Cahaya adalah al-Ghanî, independen, dilihat dari kemandirian-Nya dari alam semesta. Sedangkan alam disebut al-faqîr, yang tergantung dengan alghanî, atau mumkin al-wujud dalam pandangan emanasi.30 Alasan penulis mengambil pembahasan ini adalah: pertama, penciptaan kelihatannya akan selalu menjadi persoalan yang seksi untuk dibicarakan. Bukan hanya karena ia menyisakan misteri tentang mula alam semesta, tetapi karena ia berkorelasi dengan banyak hal, terutama dengan realitas puncak. Namun sangat disayangkan, ranah yang semula adalah bagian –dan bahkan trend awal– filsafat ini,
di
Barat
belakangan
rasanya
mulai
ditinggalkan.
Entah
karena
ketidakmampuan atau karena rasa rendah diri, problem penciptaan alam tampak hanya menjadi bahan perdebatan antara para ilmuan –khususnya fisikawan– dengan riset ilmiahnya dengan para agamawan dengan otoritas sucinya. Suara filsafat pada ranah ini tidak lagi selantang dulu. Kedua, karena Ibnu Sînâ yang dikenal sebagi Avicennna atau disebut juga “Aristoteles Baru” merupakan sorang filsuf yang sangat besar pada masanya, terbukti ketika Al-Ghazali melancarkan serangan terhadap pemikiran kaum filsuf, Al-Ghazali tidak menemukan tokoh filsafat di hadapannya sekaliber Ibnu Sînâ.31
29
Humaidi, Epistemologi Islam dan Problem Paradigma Sains Modern, Jurnal Filsafat Islam, Volume 1 Tahun 2013, hal.31 30 Mulyadi Kartanegara, Gerbang Kearifan: Sebuah pengantar Filsafat Islam (Lentera Hati: Ciputat, 2006), hal. 49-50 31 Hasyimsyah Nasution, Filsafat, hal.67
11
Ketiga, penulis lebih memilih Ibnu Sînâ dibandingkan Al-Farâbî, karena Ibnu Sînâ lebih kompleks membahas penciptaan, seperti pada klasifikasi Tuhan, Wâjibul Wujûd, dan Mumkinul Wujûd.
B. Identifikasi Masalah Dari gambaran tentang latar belakang masalah di atas, terlihat diskursus tentang penciptaan alam, selanjutnya lebih khusus membahas konsep penciptaan Ibnu Sînâ dan Kontribusinya terhadap saint Kontemporer.
C. Batasan dan Rumusan Masalah Untuk menghindari pembahasan yang meluas, penulis memberikan batasan-batasan pada
masalah seputar
konsep penciptaan Ibnu Sînâ
Kontribusinya terhadap saint Kontemporer. Dari
dan
batasan masalah ini, maka
dapat diturunkan beberapa rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana Diskursus Teori Penciptaan? 2. Bagaimana Prinsip-Prinsip Teori Penciptaan Ibnu Sînâ? 3. Bagaimana Harmonisasi antara Manusia dan Alam?
D. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan menjelaskan Kosmologi Ibnu Sînâ, beserta kontribusinya terhadap saint kontemporer. Kaitannya tentang harmonisasi antara Manusia dan Alam.
E. Manfaat Penelitian Dari penelitian ini, penulis berharap dapat memberikan pemahaman yang
lebih
mendalam
kepada para masyarakat tentang
Penciptaan
yang
ternyata tidak saja bukan persoalan Theologi, tetapi juga sampai kepada persoalan Filsufis bahkan sampai ke saint. Semoga dengan pemahaman akan luasnya dimensi Penciptaan ini bisa melahirkan banyak kajian-kajian baru tentang persoalan ini, baik yang dilakukan oleh peneliti pribadi, maupun segala penggiat atau penikmat filsafat baik secara pribadi atau secara kelembagaan.
12
F. Kajian Pustaka Dalam disertasi filsafat ketuhanan Ibnu Rusyd: kritik terhadap pandangan Mutakallimîn dan falâsifah tentang konsep ketuhanan yang ditulis oleh Aminullah Elhady32, di sini penulis menulis konsep ketuhanan Ibnu Rusyd dalam kritiknya terhadap pandangan Mutakallimîn dan falâsifah. Dalam kajian mengenai masalah-masalah ketuhanan, baik di kalangan Mutakallimîn maupun falâsifah, terdapat persepsi yang berbeda-beda, disebabkan perbedaan sikap dasar atau perbedaan pemahaman terhadap dali-dalil wahyu. Pandangan-pandangan dalam kalâm maupun falsafah mengenai ketuhanan terbangun atas dasar dalil-dalil wahyu dan dalil-dalil kefilsafatan. Sejarah menunjukkan bahwa golongan mutakallimîn jauh lebih dahulu ada sebelum muncul kaum falâsifah. Yang dianggap sebagai tonggak lahirnya mutakallimîn adalah tampilnya washil Ibnu ‘Atha (w. 131/748), dan pada kaum falâsifah adalah tampilnya Al-Kindî (w. 252/865). Jadi terdapat rentang waktu lebih dari satu abad antara munculnya mutakallimîn dan munculnya falâsifah. Di kalangan Mutakallimîn terdapat dua aliran terkemuka, yaitu Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Terhadap masalah ketuhanan, masing-masing mempunyai sikap dasar yang berbeda, tetapi dalam memahami dalil dalil wahyu masing-masing bersedia menggunakan cara interpretasi meskipun dalam frekuensi yang berbeda. Golongan Mu’tazilah lebih banyak menggunakan cara ini dibandingkan golongan Asy’ariyyah, yang menggunakannya secara terbatas saja. Oleh karena itu, dalam pembahasan tema-tema masalah ketuhanan ada beberapa kesamaan pandangan di samping beberapa perbedaan di antara kedua golongan besar kalâm tersebut. Para mutakallimîn dari golongan Mu’tazilah dan Asy’ariyyah sama-sama berpandangan bahwa wujud Allah adalah sesuatu yang pasti, karena wujud-Nya merupakan sebab bagi segala wujud. Menurut mereka, keberadaan alam merupakan bukti keberadaan Allah. Perbedaan
paling
mendasar
diantara
golongan
Mu’tazilah
dan
Asy’ariyyah dalam masalah ketuhanan, terletak pada pembelaan masing-masing 32
Uin Jakarta 2000.
13
dalam menyatakan keesaan dan keunikan Allah, yaitu menyangkut dzat, sifat, dan perbuatan-Nya. Golongan Mu’tazilah berusaha menegakkan keyakinan atas keesaan Allah dengan meninggalkan segala atribut atu predikat yang dapat disandangkan kepada makhluk, dengan alasan bahwa Allah adalah unik dan satusatunya, sehingga tidak dapat disebut dengan sebutan-sebutan yang biasa diapakai untuk menyebut makhluk. Sedangkan bagi Asy’ariyyah tidak demikian. Menurut mereka, keyakinan terhadap keesaan Allah itu tidak menghalangi penerimaan dalil-dalil wahyu secara harfiah, mekipun ada suatu ayat yang menyebutkan sifatsifat fisikal, asalkan tidak disertai dengan keyakinan terhadap adanya keserupaan dengan makhluk. Dalam masalah seperti itu mereka diberi batasan “bilâ kayf” atau tanpa kualifikasi tertentu, sebagaimana berprilaku pada makhluk. Golongan Mu’tazilah berpandangan bahwa segala yang disandangkan kepada Allah tidak lain kecuali dzat-Nya sendiri. Sehingga untuk atribut seperti “pengetahuan” yang disandangkan kepada Allah, maka mereka menyatakan bahwa “Allah mengetahui segala pengetahuan, dan pengetahuan itu adalah dzatNya.” Golongan Asy’ariyyah berpandangan beda dari pendirian mu’tazilah tersebut, sebab pengetahuan adalah sifat, dan “sifat adalah sesuatu yang melengkapi dzat.” Demikian juga atribut-atribut lainnya. Sementara itu dikalangan falâsifah, tokoh-tokoh yang paling menonjol, khususnya dalam kaitan studi pada tulisan penulis, adalah Al-Farâbî dan Ibnu Sînâ. Keduanya termasuk falâsifah penganut Neo-Platonisme. Meskipun pada awalnya para falâsifah itu menganut Neo-Platonisme dalam persoalan fisika, yang berkait dengan gerak benda-benda langit, namun kemudian mereka bawa juga ke dalam persoalan metafisika, seperti dengan dikembangkannya teori emanasi. Benda-benda langit bukan saja merupakan benda-benda fisik, melainkan juga jiwa-jiwa. Ketika Ibnu Sînâ berusaha memahami beberapa ayat Al-Qur’an pun tidak jarang membawa pandangan Neo-Platonisme itu dalam penafsirannya. Ibnu Rusyd tampil memberikan responsi secara kritis terhadap pandangan atau pendirian para Mutakallimîn maupun falâsifah dalam berbagai persoalan metafisika, dan secara khusus dalam masalah-masalah ketuhanan. Dengan metode kritik itu Ibnu Rusyd membangun filsafat ketuhanannya. Jadi filsafat ketuhanan Ibnu Rusyd itu tercermin dari kritik-kritiknya dalam masalah
14
ketuhanan terhadap pandanagan Mutakallimîn dan falâsifah, sesuai dengan pendirian dan keyakinan yang dianutnya.
Dalam thesis konsep tasawuf Ibnu Sînâ di dalam Al-Isyarat Wa AlTanbihat yang ditulis oleh Abd. Hamid Wahid33, thesis berfokus pada pembahasan tasawuf Ibnu Sînâ. Dia mengatakan bahwa, konsep-konsep yang dikemukakan oleh Ibnu Sînâ tidaklah bercorak tasawuf sebagai pengalaman batin yang dialami oleh seorang sufi dalam perjalanan pencarianya, tetapi lebih bersifat upaya teorisasi dan deskripsi fenomena-fenomena yang tampak dalam perjalan tersebut. Fenomena-fenomena tersebut bisa berupa fenomena yang kongkrit dan bersifat fisik, atau sesuatu yang abstrak sebagai fenomena psikologis, atau fenomena metafisis. Dengan demikian, sekalipun Ibnu Sînâ melakukan pembahasan tentang tasawuf tetapi pembahasannya dilihat sebagai pengalaman tasawuf (al-tajribah alshufiyah) tetapi lebih dapat dilihat sebagai pemikiran dan pandangan tasawuf atau bercorak tasawuf (al-madzhab al-shufii) yang dilandasi ilmu pengetahuan dan filsafat. Dan bahwa konsep-konsep yang diajukan Ibnu Sînâ tidak membahas dan membicarakan pengalaman-pengalaman yang dialami dalam bertasawuf sebagai pengalaman subyektif yang dialami oleh seorang sufi, tapi lebih sebagai apresiasi Ibnu Sînâ terhadap dunia tasawuf. Ciri berikutnya adalah bahwa penggambaran tersebut bukan dari sudut keberadaannya secara yakin yang didasarkan pada pengalaman yang telah dialami oleh pelaku tasawuf tetapi adalah penggambaran kebenaan dan keabsahan keberadaan fenomena tersebut dalam konstalasi rasional secara umum. Dalam upaya penggambaran Ibnu Sînâ tersebut, pemakaian istilah yang selama ini hidup dalam terminologi baku tasawuf hanyalah dipinjam Ibnu Sînâ untuk mendeskripsikan sisi penggambaran obyektif tersebut. Karena itu, seringkali pemakaian istilah tersebut tidak sama dengan apa yang lazim dan telah
33
UIN Jakarta 1998.
15
kita kenal secara umum dalam dunia tasawuf, sekalipun dalam beberapa term ada titik pertemuan dan kesamaan.
Dalam thesis proses penciptaan manusia menuerut Al-Qur’an (kajian tematik terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang berkenaan dengan proses penciptaan Manusia) yang ditulis oleh Yayan Nurbayan34, di sini dia menjelaskan penciptaan yang berfokus dengan pencitaan manusia, dengan pendekatan tematik. Perbedaan penafsiran para ilmuan atau ulama’ mendorongnya untuk mencoba mengungkap faktor-faktor penyebab terjadinya perbedaan penafsiran dikalangan ulama’. Secara khusus menyangkut perbedaan penafsiran dalam ayat yang berkaitan dengan proses penciptaan manusia. Untuk mengungkap masalah tersebut ia menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan tafsir maudu’iy. Pendekatan tafsir maudu’iy dalam penelitian ini mengikuti langkah-langkah seperti yang dikemukakan oleh Abdul Hayy – AlFarmawi. Adapun hasil kajiannya yaitu pertama sebagaian ulama’ berpendapat bahwa proses penciptaan manusia secara keseluruhan terdiri atas empat kategori 1). Proses penciptaan Adam As. 2). Proses penciptaan Hawa. 3). Proses penciptaan Isa. 4). Proses penciptaan manusia pada umumnya. Sedangkan pendapat sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa proses penciptaan manusia hanya satu sesuai dengan hukum-hukum Allah (sunnatulah). Kedua para ulama juga berbeda berpendapat bahwa adam merupakan manusia pertama, sedangkan sebagian lainnya berpendapat bahwa Adam bukanlah manusia pertama. Perbedaan tersebut diakibatkan oleh perbedaan mereka dalam memaknai ‘khalifah’ yang terdapat pada surat Al-Baqarah ayat 30. Dalam jurnal mahasiswa yang ditulis oleh Pratama Adi, dia menjelaskan bahwa Creatio ex Nihilo adalah sebuah pemikiran untuk menjelaskan penciptaan dunia. Allah adalah pencipta dunia satu-satunya, karena Ia abadi dan berada di luar waktu. Ia merupakan prinsip yang harus dan telah ada. Produk
34
UIN Jakarta 1997.
16
pertama dari kisah penciptaan ini adalah rationes seminales (benih-benih pikiran) yang merupakan materi dalam perkembangan penciptaan selanjutnya. Ada tiga tanggapan penulis terhadap pemikiran Santo Agustinus tentang Creatio Ex Nihilo. Pertama adalah Aurelius Agustinus tidak adanya pembedaan yang tegas antara matter dan form.
Santo Agustinus hanya
menyebutkan materi tanpa bentuk. Konsep materi tanpa bentuk terlalu abstrak
bagi
pikiran
manusia, sehingga
pikiran
manusia
tidak
dapat
menggambarkan, membayangkan atau mengimajinasikan materi tanpa bentuk yang dimaksudkan oleh Santo Agustinus. Kedua adalah konsep penciptaan rationes seminales Santo Agustinus berbeda dengan konsep penciptaan Santo Thomas Aquinas. Teori Santo Thomas Aquinas adalah teori Hylomorphism. Teori tersebut menekankan penciptaan dari satu matter dan satu form. Matter dan form adalah konsep metafisika dalam penciptaan yang sama-sama penting. Tidak ada benda nyata jika tidak mempunyai matter atau form. Matter dan form merupakan sebuah prinsip kesatuan yang harus ada dalam benda-benda realitas dunia. Ketiga adalah permasalahan pada pengertian kedua kata formless. Materi tersebut diciptakan oleh Tuhan dengan mempunyai form atau bentuk dasar. Hal itu mempunyai pengertian bahwa materi mempunyai sifat yang abadi dengan Tuhan. Seharusnya, bendabenda atau segala sesuatu yang berasal atau ciptaan Tuhan tidak abadi. Apakah materi tersebut Tuhan sendiri atau sesuatu yang dekat dengan Tuhan yang mempunyai sifat yang sama yaitu abadi.
Dalam buku filsafat islam karya Hasyimiyah Nasution, dia menulis bahwa Ibnu Sînâ dengan teori emanasi yang banyak dipengaruhi dari NeoPlatonisme, berpendapat bahwa tuhan memancar akal pertama, sekalipun tuhan terdahalu sebagai dzat, namun Tuhan dan akal pertama adalah sama-sama azali, selanjutnya Ibnu Sînâberpendapat, berbeda dengan Al-Farâbî, bahwa akal pertama memiliki dua sifat: sifat wajib wujudnya, sebagai pancaran dari Allah dan sifat mungkin wujujudnya, jika ditinjau dari hakikat dirinya. Dengan demikian ia mempunyai tiga obyek pemikiran: Tuhan, dirinya sebagai wajib wujudnya dan dirinya sebagai mungkin wujudnya. Dari pemikiran tentang Tuhan timbul Akal-
17
akal, dari pemikiran tentang dirinya sebagai wajib wujudnya timbul jiwa-jiwa, dan dari pemikiran tentang dirinya sebagai mungkin wujudnya timbul langit-langit.35 Dari akal pertama memancar akal kedua, jiwa, dan langit pertama, dan seterusnya hingga akal 10, jiwa dan bumi. Dari akal 10 memancar segala apa yang terdapat di bumi yang berada di bawah bulan, termasuk jiwa manusia. Akal pertama adalah malaikat tertinggi dan akal kesepulu adalah jibril. Akal bersifat tetapdan terasing dari falak, sedangkan jiwa berhubungan langsung dengan falak. Tuhan adalah Al-Khair al-Mutlak dan akal hanyalah alkhair yang menjadi tujuan dari segala gerakan falak untuk kesempurnaan dirinya. Kerinduan jiwa falak kepada al-khair disebut al-Isyq – al-mutlak, rindu inilah yang menyebabkan terjadinya bermacam-macam peristiwa dan berlangsungnya berbagai macam hal. Filsuf yang mendukung pemikiran Aristoteles beranggapan bahwa tuhan tidak tersibukkan dengan sesuatu yang ada di luar diri-Nya tuhan hanya memikirkan diri-Nya karena dia adalah Aql. Dengan kata lain, tuhan adalah subyek sekaligus obyek pemikiran. Karena itu tuhan tidak perlu tahu hal-hal yang bersifat partikular (juz’iyat). Hal-hal yang bersifat partikular adalah khusus bagi yang terbatas yang terpengaruh dengan berbagai kejadian obyek pengetahuan setelah terjadi pendapat tersebut tidak dapat diterima oleh Ibnu Sînâ. Baginya tuhan maha mengetahui segala sesuatu yang sudah atu yang akan terjadi dalam kekuasaan-Nya sejak azali. Jadi, pengetahuan-Nya itu bukanlah karena sesuatu sudah terjadi, bahkan pengetahuan-Nya itulah yang menyebabkan atau menjadi sebab bagi terjadinya segala sesuatu.
Dalam Buku Filsafat Islam : Dari Klasik Hingga Kontemporer karya A. Khudori Soleh bagian II tentang creatio ex nihilo Al-Kindî, dimana AlKindî menolak anggapan para filsuf yunani kuno bahwa, alam semesta tercipta dari yang ada. Sebab bagi mereka apa yang disebut mencipta adalah membuat sesuatu yang baru berdasarkan apa yang ada sebelumnya (Creatio ex materia), baik lewat gerakan atau emanasi, artinya, dalam pandangan filsafat Yunani, tuhan bukanlah pencipta dalam makna yang sesungguhnya, dari tiada menjadi ada, 35
Harun Nasution, falsafat dan Mistisisme dalam islam, hal. 30. Lihat juga Musthafa Ghalib, Ibnu Sînâ(Dar Al-Maktabah wa al-Hilal), hal. 46
18
melainkan hanya sebagai penggerak atu pewujud realitas, dari alam potensialitas kepada alam aktualitas. Konsekuensinya, alam menjadi qadim, tidak terbatas dan abadi karena gerak atau emanasi Tuhan adalah qadim. Sebagai gantinya ia memunculkan gagasan bahwa alam tercipta dari tiada creatio ex nihilo, sebagaimana yang diyakini dalam theologi islam. Menurutnya semesta ini terbatas, tidak abadi dan tercipta dari yang tiada. Namun argumentasi yang digunakan tidak bersifat theologis tetapi filsufis dan itu didasarkan atas prinsip-prinsip logika Aristoteles. Pertama, bahwa segala sesuatu yang tidak terbatas tidak dapat berubah menjadi terbatas yang berwujud dalam bentuk aktual. Kedua, bahwa materi, waktu dan gerak muncul secara serentak dan bersamaan.
Dalam
Buku
Tahafut
al-Falasifah
Karya
Al-Ghazali
yang
diterjemahkan oleh Ahmad Maimun, Dalam perbincangan mengenai penciptaan alam, Al-Ghazali mempunyai konsep yang sangat berbeda dari konsepsi yang dimiliki para filsuf Muslim lainnya. Para filsuf Muslim, termasuk Ibnu Rusyd, berpendapat bahwa alam itu azali, atau qadim, yakni tidak bermula dan tidak pernah ada. Sementara itu, Al-Ghazali berpikir sebaliknya, bila alam itu dikatakan qadim, mustahil dapat dibayangkan bahwa alam itu diciptakan oleh Tuhan. Jadi paham qadim-nya alam membawa kepada simpulan bahwa alam itu ada dengan sendirinya, tidak diciptakan Tuhan. Dan, ini berarti bertentangan dengan ajaran Alquran yang jelas menyatakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan segenap alam (langit, bumi, dan segala isinya).
G. Metode Penelitian Jenis penelitian ini bersifat penelitian kepustakaan (library research). Karena itu, sumber data penelitian ini sepenuhnya berpijak pada tulisan tulisan dan karya-karya terkait konsep penciptaan Creatio Ex Nihilo dan Konsep Penciptaan Ibnu Sînâ, baik yang sifatnya primer berupa karya masing-masing, maupun
sekunder
yang dalam bentuk ulasan atas pemikiran tokoh-tokoh
tersebut. Pendekatan yang digunakan penelitian ini bersifat Deskriptif analisis, meskipun begitu di sini bukan hanya berupa gambaran deskriptif, tetapi
19
menganalisis secara kritis konsep-konsep yang ditawarkan oleh para tokoh yang sedang dibahas. Sedangkan pendekatan komparatif digunakan untuk mengungkap kesamaan dan perbedaan pemikiran beberapa tokoh dengan bangunan
tradisi
intelektual
masing-masing. Dari
sifat
penelitian
yang
menitik beratkan pada kepustakaan dan dengan sumber data berupa karya tertulis, maka analisis data yang digunakan terutama adalah analisis kualitatif; bukan kuantitatif.
H. Sistematika Penulisan Dalam kerangka pembahasannya, tulisan ini akan dibangun ke dalam lima bagian besar yang menjadi bab. Pada masing-masing bab akan ada turunan-turunan pembahasan berupa sub bab-sub bab yang akan lebih detil menjelaskan maksud dari tiap-tiap judul bab, antara lain sebagai berikut: Bab I: Pendahuluan adalah pengantar pembahasan terutama pada persoalan masalah dan penelitiannya. Pada wilayah masalah, di sini akan dijelaskan mulai dari latar belakang masalah, identifikasi masalah, sampai dengan rumusan dan batasan masalahnya. Kemudian fokus pada persoalan penelitian, akan sedikit dijelaskan apa yang menjadi tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan metode penelitian apa yang digunakan. Di samping persoalan-persoalan tersebut, pada bab ini juga dimuat tentang kajian pustakan dan sistematika penulisan sebagaimana sedang diulas saat ini. Bab II: Berisi tentang sketsa biografis dalam hal ini adalah Ibnu Sînâ, lengkap dengan karya. Dan posisi Ibnu Sînâ dalam pemikran Kosmologi Islam. Bab III: Berisi tinjauan khusus analisis tentang Prinsip-prinsip konsep penciptaan Ibnu Sînâ. Bab IV: Berisi tentang kontribusi konsep Kosmologi Ibnu Sînâ. Bab V: Penutup ini akan meringkas kembali beberapa kesimpulan yang telah diperoleh dari bab-bab sebelumnya, untuk kemudian ditanggapi dalam
bentuk
kritik
dan
saran
terkait
kemungkinan pengaruhnya.
20
subjek
pembahasan
ini
dan