BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu permasalahan yang terjadi akibat dampak dari semakin meningkatnya arus migrasi antarnegara adalah munculnya kasus human trafficking. Human trafficking atau perdagangan manusia dapat diartikan sebagai perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penampungan atau penerimaan seseorang dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk paksaaan lainnya, penculikan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, ataupun memberi atau menerima bayaran atau manfaat, untuk tujuan eksploitasi seksual, perbudakan atau praktik-praktik lain, pengambilan organ tubuh. Berdasarkan hal ini, dapat diketahui bahwa proses trafficking adalah perekrutan,
pengangkutan,
pemindahan,
penampungan
(penyekapan),
penerimaan.1 Human trafficking merupakan suatu pelanggaran atas hak asasi manusia, perlakuan yang tidak manusiawi serta berbagai macam penyalahgunaan maupun eksploitasi.2 Perdagangan manusia adalah pemindahtanganan seseorang dari satu pihak ke pihak lainnya yang meliputi kegiatan pencarian, transportasi, transfer, penampungan, dan penerimaan.3 Perdagangan manusia seringkali berkaitan dengan ekspolitasi seksual, migrasi ilegal, termasuk juga eksploitasi tenaga kerja, perbudakan, dan perdagangan organ.4 Kejahatan pedagangan manusia muncul sebagai sebuah kasus yang dihasilkan dari mekanisme permintaan dan penawaran pasar.5 Globalisasi menumbuhkan kemajuan pariwisata dengan didukung kemajuan teknologi informasi dan tranportasi membuka peluang untuk menawarkan pekerja seks 1
Rachmad Syafaat, 2002, Dagang Manusia-Kajian Trafficking terhadap Perempuan dan Anak di Jawa Timur. Yogyakarta: Lappera Pustaka Utama, hal. 4. 2
UN Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking In Persons, Especially Woman and Children, UN, 2000, www.no-trafficking.org/UN_Protocol_Suppress_Punish/2000vol0921/, diakses 17 April 2016. 3Tri Priyo, “Melawan Perdagangan Perempuan, Butuh Kemauan Semua Pihak”, Jurnal Perempuan, No.29, 2004, hal. 68. 4 Ruth Farrugian, “State Responsibility for Human Trafficking-Perspectives from Malta”, Journal of Money Laundering Control, Vol. 15 No. 2, pp. 142-152, Emerald Group Publishing Limited, 2012. 5 Budi Winarno, 2014, Dinamika Isu-Isu Global Kontemporer. Yogyakarta: PT. Buku Seru., hal. 342.
1
komersial. Perdagangan manusia merupakan sektor bisnis yang menjanjikan. Kejahatan ini memberikan pengaruh yang besar terhadap penerapa hak-hak asasi manusia versus prinsip ekonomi kapitalis. Mekanisme permintaan dan penawaran telah menyebabkan sebagian besar perempuan dan anak –anak sebagai korban perdagangan manusia di pasar internasional.6 Kejahatan transnasional merupakan implikasi negatif dari fenomena globalisasi. Kejahatan human trafficking masih berhubungan dengan berbagai kegiatan kriminal transnasional. Para korban yang dipaksa dalam perbudakan seks seringkali dibius dengan obat-obatan dan menderita kekerasan yang luar biasa. Para korban yang diperjualbelikan untuk eksploitasi seksual menderita cedera fisik dan emosional akibat kegiatan seksual yang belum waktunya, diperlakukan dengan kasar, dan menderita penyakit-penyakit yang ditularkan melalui hubungan seks termasuk HIV/AIDS. Beberapa korban menderita cedera permanen pada organ reproduksi mereka. Selain itu, korban biasanya diperdagangkan di lokasi yang bahasanya tidak mereka pahami, yang menambah cedera psikologis akibat isolasi dan dominasi. Ironisnya, kemampuan manusia untuk menahan penderitaan yang amat buruk dan terampasnya hak-hak mereka malah membuat banyak korban yang dijebak terus bekerja sambil berharap akhirnya mendapatkan kebebasan. Kondisi geografis kawasan dapat membuat sebuah negara memiliki banyak wilayah perbatasan yang sering berdekatan dan berhimpitan, terpencil, serta tidak terjangkau oleh kontrol pemerintah pusat. Kondisi demikian, kemudian dimanfaatkan oleh organisasi kriminal trasnasional.7 Misalnya, negara-negara segitiga emas, yaitu negara yang berada di wilayah pegunungan yang menghubungkan negara-negara di Greate Mekong Subregion (GMS), yaitu Myanmar, Laos dan Thailand. Wilayah ini menjadi pusat kejahatan transnasional, baik perdagangan manusia, narkoba, penyelundupan senjata dan lain-lain. Kasus perdagangan manusia sudah menjadi kejahatan transnasional. Human trafficking yang terjadi di Asia Tenggara banyak diantaranya berlatar belakang
6Ibid., 7
hal. 343 Budi Winarno, 2014, Dinamika Isu-Isu Global Kontemporer, Yogyakarta: PT. Buku Seru, hal. 339.
2
perekonomian yang lemah. Kondisi perekonomian yang melemah ini kemudian dimanfaatkan oleh organisasi kriminal transnasional untuk meraup keuntungan ekonomi, yaitu dengan memperdagangkan manusia dari Asia Tenggara yang miskin untuk dijadikan pekerja paksa dengan biaya murah di negara-negara Asia yang lebih maju.8 Laos merupakan negara yang masuk dalam daftar negara yang terlibat dalam permasalahan human trafficking di Asia Tenggara, sebagai negara sumber dan juga transit.9 Beberapa propinsi di Laos seperti Savannakhet, Vientiane, Khammuan, dan Champassak menjadi sumber perdagangan manusia yang bekerja secara ilegal di Thailand, dan bekerja di pusat-pusat prostitusi di negara tersebut. Ini menjadikan Laos sebagai negara yang menjadi rute utama perdagangan manusia bersama dengan Thailand, Kamboja, dan Myanmar.10 Selain itu, Laos merupakan negara transit bagi korban trafficking yang berasal dari negara Cina, Myanmar, dan Kamboja untuk dikirim ke Thailand dan negara-negara lain di Asia Tenggara. Data International Organization for Migration (IOM) tahun 2011 menunjukkan bahwa negara Laos menempati urutan nomor empat dalam menyumbangkan kasus perdagangan manusia.11 Laos juga merupakan negara yang berada di wilayah sungai Mekong, yang merupakan jalur para trafficker dan penyelundup dari wilayah Asia Tenggara. Sungai Mekong merupakan sungai utama yang melewati wilayah Cina selatan, Myanmar, Vietnam, Kamboja, dan Thailand. Sungai ini merupakan jalur strategis bagi para pelaku trafficker. Survei pemerintah Laos pada tahun 2003 menemukan mayoritas para migran lebih muda dibawah usia 25 tahun dan bahkan 20% berusia 18 tahun. Yang terpenting, kasus migrant para kaum muda yang terjadi pada masa lalu selalu
Janie Chuang, Beyond a Snapshot:Preventing Human Trafficking in the Global Economy”, Indiana Journal of Global legal studies, Vol. 13, No.1 2006, hal.138. 9 Human Trafficking : Lao PDR, http://www.humantrafficking.org/countries/lao_pdr, diakses13 April 2016. 10Brendan Howe dan Kearrin Sims, “Human Security and Development in the Lao PDR Freedom from Fear and Freedom from Want”, Asian Survey, Vol. 51, No. 2 (March/April 2011), University of California Press, 2011. 11International Organization for Migration, Counter Trafficking and Assistance to Vulnerable Migrants: Annual Report of Activities 2011 (Geneva:IOM,2011), hal .29. 8
3
terulang dengan bertujuan untuk kepentingan proyek pembangunan nasional.12 Kebanyakan dari para imigran Laos ini dating ke Thailand sebagai pekerja dan tidak jarang diantara mereka diperdagangkan. Dalam konteks Laos, sekitar 20.000 orang wanita dan anak-anak yang berasal dari Laos dijual menuju Karachi, Pakistan pada tahun 2003.13 Pada tahun yang sama, sebanyak 80.000 orang yang berasal dari Laos berada di Thailand sebagai imigran ilegal dan 35%nya bekerja di tempat prostitusi di Thailand.14 U.S State Departement Trafficking in Persons Report memasukan Laos sebagai daftar negara yang memiliki kasus human trafficking cukup besar beserta negara lainnya seperti Ekuador, Korea Utara, Venezuela, Bangladesh, Kuba, Guyana, Siera Leone dan Sudan. Negara-negara tersebut diberi sanksi embargo oleh Amerika Serikat dan bantuan kemanusiaan lainnya.15 Maraknya human trafficking ini menimbulkan permasalahan baru bagi pemerintah Laos. Kejahatan human trafficking membutuhkan penanganan yang serius untuk dapat menanggulangi kejahatan tersebut. Upaya penanganan yang dapat dilakukan antara lain berupa penetapan dan pelaksanaan berbagai kebijakan yang terkait dengan kejahatan human trafficking. Kebijakan tersebut dapat berupa kebijakan internal maupun eksternal. Berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk menangani masalah ini antara lain dengan penetapan undang-undang dan peraturan-peraturan terkait dengan human trafficking, bekerjasama dengan NGO (Non Government Organization) lokal, badan-badan internasional seperti PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa), INGO (International Non Government Organization), dan negara-negara kawasan lainnya yang juga memiliki kebijakan yang sama tentang human trafficking. Human trafficking merupakan permasalahan nyata yang harus ditanggulangi pemerinah Laos. Untuk mengatasi permasalahan ini, pemerintah Laos haruslah 12
Roy Huijsmans, The Treatr of Human Trafficking: A Global Discourse on Lao Stages, Berghahn Journal 2011, pp.70 13Indrani Sinha, “Paper on Globalization and Human Right”, SANLAAP India, dalam: http://www.coalition_againts_trafficking_women_in_Myanmar.pdf, diakses 17 April 2016. 14
MLSW and UNICEF,Broken Promises Shattred Dreams :8, 2004, dalam: www.notrafficking.org/Broken_Promises_Shattred_Dreams/2004vol0112/, diakses 17 April 2016. “Lao PDR: Threat of Sanction Cant Stop Human Trafficking”, http://www.hrsolidarity.net/mainfile.php/2004vol114no05/2368/, diakses 14 April 2016. 15
dalam:
4
berusaha untuk membuat berbagai kebijakan untuk menanggulangi keberadaan human trafficking. Kebijakan yang dibuat ini meliputi kebijakan internal dan eksternal yang kesemuanya bertujuan untuk menanggulangi human trafficking ini. Kebijakan yang diambil pemerintah Laos dalam menangani masalah human trafficking di wilayahnya juga sangat menarik, terutama untuk melihat kebijakankebijakan apa yang telah dan akan dilakukan oleh pemerintah Laos dalam mengatasinya sehingga dapat dijadikan sebagai pedoman (jika kebijakan tersebut berhasil) dan juga sebagai sebuah upaya perbaikan (jika kebijakan tersebut gagal) untuk kebijakan serupa dalam mengatasi masalah human trafficking, terutama di wilayah negara Laos, sehingga dapat menghapus permasalahan human trafficking ini.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas maka dapat ditarik rumusan masalah yaitu: Bagaimana kondisi human trafficking yang terjadi di Laos dan apa penyebabnya? Bagaimana kebijakan pemerintah Laos dalam menangani human trafficking dan bagaimana efektivitasnya?
1.3 Tinjauan Pustaka Semakin berkembangnya perhatian dunia internasional, yang salah satunya ditunjukan dengan laporan U.S State Department “Trafficking in Persons Report” mengenai perdagangan manusia, disadari bahwa masalah human trafficking tidaklah semata-mata “penjualan” manusia saja.16 Pada tahun 2000 melalui Protocol to Prevent, Supress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children, Supplementing The United Nations Convention Against Transnational Organized Crime, definisi mengenai perdagangan manusia mulai dikembangkan dan mulai dijadikan standar internasional bagi suatu instansi
“Lao People’s Democratic Republic: Threat of Sanction Can’t Stop Human Trafficking”, dalam : http://www.hrsolidarity.net/mainfile.php/2004vol14no05/2368/, diakses 11 April 2016 16
5
negara atau pun instansi non-negara yaitu berkenaan dengan masalah perdagangan manusia tersebut. Hal ini terbukti dari beberapa definisi yang ada.17 Menurut United Nations Protocol to Prevent, Supress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children (Protokol Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Mencegah, Menekan, dan Menghukum Perdagangan Manusia, Khususnya pada Wanita dan Anak-anak) mendefinisikan perdagangan manusia (human trafficking) sebagai: Perekrutan, pengiriman, pemindahan, atau pengiriman seseorang dengan ancaman atau menggunakan kekerasan atau bentukbentuk
lain
dari
pemaksaan,
penculikan,
penipuan,
kebohongan,
atau
penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau memberi atau menerima bayaran atau memperoleh persetujuan dari seseorang yang berkuasa atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi dalam konteks ini antara lain eksploitasi untuk melacurkan orang lain atau pun bentuk lain dari eksploitasi seksual, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktek-praktek semacamnya dan pengambilan organ tubuh secara paksa.18 United
Nations
Trafficking
Protocol
mendefinisikan
bentuk-bentuk
perdagangan berat sebagai berikut:19 1. Seks komersial dimana tindakan seks komersial dilakukan secara paksa, dengan cara penipuan, atau kebohongan, atau dimana seseorang diminta secara paksa melakukan suatu tindakan demikian sebelum ia mencapai 18 tahun; atau 2. Merekrut,
menampung,
mengangkut,
menyediakan
atau
mendapatkan
seseorang untuk bekerja atau memberikan pelayanan melalui paksaan, penipuan atau kekerasan untuk tujuan penghambatan, penjeratan hutang atau perbudakan.
“Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women And Children, Supplementing The United Nation Convention Against Transnational Organized Crime”, dalam : http://www.uncjin.org/Documents/conventions/dcatoc/final_documents_2/convention_%20traff_eng.pdf, diakses 11 April 2016 18 “United Nations General Assembly 2000, Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons Especially Women And Children, Supplementing the United Nations Convention Against Transnational Crime: article 3(a)”, dalam : http://www.undoc.org/pdf/crime/a_res_55/res5525.pdf, diakses 8 April 2016 19“Laporan Mengenai Perdagangan Manusia”, dikeluarkan oleh Kantor Pengawasan dan Pemberantasan Perdagangan Manusia, Departemen Luar Negeri AS 14 Juni 2004 dalam http://www.usgov.org/129/foreign_ministry/pdf. diakses pada 1 April 2016. 17
6
Resolusi mengenai perdagangan (trafficking) perempuan dan anak-anak yang diadopsi Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1994. Dalam resolusi ini disebutkan bahwa trafficking adalah: “Pergerakan dan penyelundupan orang secara sembunyi-sembunyi melintasi batas-batas negara dan internasional, kebanyakan berasal dari negara berkembang atau negara-negara yang ekonominya sedang dalam transisi, dengan tujuan untuk memaksa perempuan dan anak-anak masuk ke dalam sebuah situasi yang secara seksual maupun ekonomi teroperasi, dan situasi eksploitatif demi keuntungan perekrut, penyelundup, dan sindikat kriminal, seperti halnya aktivitas ilegal lainnya yang terkait dengan perdagangan (trafficking), misalnya pekerja rumah tangga paksa, perkawinan palsu, pekerja yang diselundupkan dan adopsi palsu”.20 Perdagangan manusia memiliki 3 (tiga) elemen kunci yaitu: proses (perekrutan, pengangkutan, transfer, penyembunyian, dan juga penerimaan orang), cara (dengan ancaman, atau menggunakan kekerasan atau bentuk pemaksaan lainnya, penculikan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan posisi rentan, atau memberikan atau menerima bayaran, atau keuntungan untuk mendapat ijin dari orang yang memegang kendali atas orang lain) dan tujuan (eksploitasi, paling tidak eksploitasi pelacuran oleh orang lain, atau bentuk lain dari eksploitasi seksual, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan).21 Kasus human trafficking jelas melanggar dan mencederai prinsip-prinsip hak asasi manusia yang tercantum dalam berbagai pejanjian internasional yang dibuat PBB, seperti Universal Decralation of Human Rights dan International Convenant on Civil and Political Rights. Pertama, tindakan memperdagangkan manusia itu sendiri termasuk sebagai salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusaia. Memperlakukan manusaia layaknya binatang atau benda mati yang bisa ditukarkakan dengan sejumlah uang dalam proses perdagangan merupakan tindakan yang sangat merendahkan harkat dan martabat manusia. Manuasia memiliki hati nurani seharusnya mendapatkan perlakuan yang istimewa bukan
20 21
Andy Yentriyani, Politik Perdagangan Wanita, Galang Press, Yogyakarta, Juli 2004, hal. 20 Emmy L.S, “Anak Bukan Barang Dagangan”, Jurnal Perempuan, No. 51. 2007, hal. 13
7
diperjualbelikan. Tindakan ini jelas melanggar hak dasar manusia berupa kebebasan. Kedua, cara-cara pelaku kejahatan perdagangan manusia juga termauk melanggar hak asasi manusia. Kerap para pelaku menggunakan cara paksaaan dalam menjaring korban. Padahal manusaia berhak untuk menentukan nasibnya tanpa adanya tekanan dari orang lain. Ketiga, tindakan-tindakan eksploitasi terhadap korban juga merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Para pelaku kejahatan perdagangan manusia tak jarang melakukan eksploitasi terhadap korban dengan memaksa mengikuti kehendaknya dan mmperlakukan dengan tidak manusiawi misalnya bekerja tanpa mendapatkan upah. Keempat, human trafficking merupakan kejahatan yang efeknya tidak langsung dirasakan oleh keamanan negara, namun pada akhirnya masalah ini juga mempengaruhi keamanan negara. Kelima, perdagangan manusia juga berarti ada arus keluar masuk manusia yang tidak terdeteksi oleh pemerintah. Ketidakjelasan status mereka mengancam kestabilan lingkungan sosial masyarakat di suatu negara. Alasan keenam adalah bahwa human trafficking pada umumnya diprakasai oleh organisasi kejahatan transnasional juga menimbulkan ancaman yang nyata bagi negara. Ketika wilyah nasional suatu negara dapat disusupi oleh jaringan kejahatan perdagangan manusia, berarti menunjukkan adanya celah kejahatan untuk masuk ke dalam wilayah negara tersebut. Hal ini juga memungkinkan organisasi kejahatan lain juga masuk dan mengganggu kinerja negara dalam menjaga warga negaranya. Alasan ketujuh, human trafficking juga memicu munculnya masalah-masalah tambahan sebagai efek samping tindak kejahatan itu. 22 Proses kebijakan diperlukan untuk menangani permasalahan perdagangan manusia ini. Proses kebijakan merupakan sebuah proses sosial dan dapat pula dikatakan merupakan proses politik. Dikatakan proses sosial karena proses ini melibatkan berbagai unsur masyarakat, baik sebagai pelaku atau pun sebagai objek kebijakan, dan proses ini sedikit banyak dipengaruhi oleh perilaku dan perkembangan situasi dalam masyarakat. Dikatakan sebagai proses politik karena 22Budi
Winarno, 2014, Dinamika Isu-Isu Global Kontemporer, Yogyakarta: PT. Buku Seru, hal. 345
8
para pelaku dalam proses ini menggunakan kekuasaan yang dimiliki untuk mempengaruhi arah dari proses kebijakan. Selain itu, proses ini berlangsung dalam setting sistem politik, administrasi dan sosial tertentu, dan merupakan bagian penting dari proses penyelenggaraan kehidupan bernegara. Kebijakan internal maupun eksternal dapat diberlakukan untuk menangani permasalahan human trafficking. Kebijakan internal dalam menangani human trafficking dapat dilakukan suatu negara melalui reformasi hukum dalam negeri (pembuatan undang-undang dan penegakan hukum yang mengarah pada undangundang yang berlaku), pelatihan bagi aparat negara terutama polisi yang wilayah kerjanya merupakan titik rawan akan terjadinya human trafficking, dan bekerja sama dengan NGO-NGO lokal, terutama NGO yang menangani permasalahan human trafficking. Kebijakan eksternal suatu negara mengenai penanganan human trafficking dapat dilakukan melalui peningkatan kerja sama antarnegara dan keaktifan negara dalam mengikuti setiap konferensi-konferensi maupun kesepakatan internasional menyangkut segala bentuk perdagangan manusia.
1.4 Kerangka Pemikiran Dalam menangani masalah perdagangan manusia (human trafficking) yang termasuk
kejahatan
trans-nasional
ini
pemerintah
suatu
negara
dapat
menggunakan kebijakan atau policy tertentu. Menurut Charles O. Jones, kebijakan digunakan dalam praktek sehari-hari namun digunakan untuk menggantikan kegiatan atau keputusan yang berbeda.23 Sedangkan menurut Miriam Budiarjo, konsep kebijakan adalah suatu kumpulan keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau kelompok politik dalam usaha memilih tujuan-tujuan tersebut.24 Kebijakan pemerintah adalah hasil dari suatu proses pengambilan keputusan, yaitu memilih beberapa alternatif yang akhirnya ditetapkan sebagai kebijakan pemerintah. Dalam mengatasi permasalahan ini suatu negara dapat mengambil suatu kebijakan dari dalam negeri (internal) yang berisikan tentang hukum dalam negeri, aturan pemerintah dan persiapan aparat-aparat negara. Lalu kebijakan
23 24
Budi Winarno, Kebijakan Publik:Teori dan Proses, Media Pressindo, Yogyakarta, 2011, hal. 16-17. Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001, hal. 12.
9
keluar (eksternal) atau bisa disebut hubungan dengan negara lain. Dalam hal ini konteks hubungan dengan negara lain ialah menjalin kerja sama dengan negara lain dalam mengatasi suatu permasalahan yang mana bersifat global atau internasional.25 Kebijakan publik adalah serangkaian tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan tertentu demi kepentingan seluruh masyarakat. Selanjutnya ditambahkan oleh Islami bahwa implikasi dari pengertian tersebut adalah: 1) Kebijakan publik bentuk perdananya adalah penetapan tindakantindakan pemerintah; 2) Kebijakan publik itu tidak cukup hanya dinyatakan tapi juga dilaksanakan dalam bentuk nyata; 3) Setiap kebijakan publik dilandasi dengan maksud dan tujuan tertentu; 4) Kebijakan publik pada hakekatnya ditujukan untuk kepentingan seluruh masyarakat.26 Dapat disimpulkan bahwa kebijakan publik merupakan keputusan yang dihasilkan oleh seseorang maupun sejumlah aktor dimana keputusan tersebut diterapkan didalam praktek kegiatan sehari-hari dan keputusan tersebut mengikat seluruh masyarakat yang berada di dalam lingkup wilayah suatu negara. Pemerintah
Laos
mengambil
kebijakan-kebijakan
untuk
mengatasi
permasalahan human trafficking ini. Berdasarkan arah kebijakannya, kebijakan ini dapat dibagi menjadi 2 (dua) bentuk, yaitu kebijakan internal dan kebijakan eksternal. Kedua kebijakan ini dapat dijadikan cara untuk mengatasi human trafficking.27 Kebijakan internal adalah mengembalikan kedaulatan internal kepada pemerintah nasional.28 Kebijakan eksternal adalah suatu upaya pemerintah menjalin kerja sama / komunikasi dengan negara lain untuk memecahkan suatu
25
Ibid, hal 18-19. Budi Winarno, Op.cit, hal. 17-18. 27“Deputy PM says Human Trafficking Threatens Society”, dalam: http://www.afesiplaos.org/news_detail.php?rid=6&pid=10&aid=10/diakses 9 April 2016. 28 Wolfgang H. Reinicke, Global Public Policy Governing Without Government?, Wolfgang H. Reinicke, Washington, Brookings Institution Press, 1998, Hal. 76-78, dikutipdari Upaya Pemerintah Indonesia di Dalam Menghadapi Ancaman Transnational Crimes Khususnya Ancaman Cyber Crimes, Yogyakarta, 2013. 26
10
permasalahan yang meliputi ekonomi, pertahanan atau pun perbatasan dengan cara melobi dan bertujuan untuk kepentingan domestik negara tersebut.29
1.5 Argumen Utama Permasalahan human trafficking yang terjadi di Laos dapat disebabkan karena faktor ekonomi dan faktor kondisi geografis. Faktor ekonomi dapat berupa kemiskinan dan keinginan mendapatkan penghidupan yang layak. Faktor kondisi geografis Laos yang dilewati oleh aliran Sungai Mekong membuat Laos semakin rentan dengan isu human trafficking. Laos merupakan negara yang berada di wilayah sungai Mekong, yang merupakan jalur para trafficker dan penyelundup dari wilayah Asia Tenggara. Selain melalui aliran Sungai Mekong, posisi Laos yang berbatasan langsung dengan lima negara semakin memudahkan human trafficking untuk terjadi. Dari sekian banyak usaha yang dilakukan Laos belum juga membuahkan hasil yang maksimal. Hal ini diperkirakan karena pengadilan kurang transparan, rincian pencatatan kurang memadai, dan korupsi. Oleh karena itu, diperlukan pengadilan yang transparan, rincian pencatatan yang memadai, dan tidak adanya korupsi. Dengan pencapaian hal-hal tersebut, diharapkan kebijakan-kebijakan yang dilakukan Laos, baik kebijakan internal maupun kebijakan eksternal, dapat mencapai tujuan dari adanya kebijakan-kebijakan tersebut, yaitu menangani human trafficking di Laos.
1.6 Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Metode penelitian untuk menjawab permasalahan pemerintah Laos dalam manangani human trafficking dan acuan yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada penelitian deskriptif kualitatif yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau pun bentuk hitungan lainnya. 2. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan atau 29
Budi Winarno, Op cit, hal. 16
11
library research dengan memanfaatkan data-data sekunder yang terdiri dari buku-buku, literatur, majalah, makalah, surat kabar, dan jurnal-jurnal berkala, serta memanfaatkan data-data melalui situs-situs internet dan referensi lainnya yang terkait dengan permasalahan yang diajukan dalam penelitian.
1.7 Sistematika Penulisan Sistemetika penulisan dalam tesis ini terdiri dari: Bab I:
Pendahuluan. Sub-sub bab yang dibahas meliputi Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tinjauan Pustaka, Kerangka Pemikiran, Argumen Utama, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
Bab II:
Human Traffiking di Laos, Penyebab, dan Upaya Penanggulangannya. Sub-sub bab yang dibahas meliputi Gambaran Umum negara Laos, Gambaran Umum Human Trafficking di Laos, Penyebab Human Trafficking di Laos, dan Upaya Penanggulangan Human Trafficking di Laos.
Bab III:
Kebijakan Internal dan Eksternal Serta Efektivitas Pemerintah Laos dalam Menangani Human Trafficking. Sub-sub bab yang dibahas meliputi Kebijakan
Internal
Laos dalam
Menangani
Human
Trafficking, Kebijakan Eksternal Laos dalam Menangani Human Trafficking, Prinsip-prinsip Penanggulangan Human Trafficking di Laos, dan Efektivitas Laos dalam Menangani Human Trafficking. Bab IV:
Penutup, berisis kesimpulan dari hasil pembahasan pada bab-bab sebelumnya.
12