BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Video Game merupakan salah satu media baru yang sedang berkembang pesat di zaman modern ini. Sebagai media hiburan, video game juga belakangan menjadi salah satu industri yang sukses dalam bidang ekonomi, sebagaimana terlihat dari angka penjualan video game yang besar setiap tahunnya.1 Dibandingkan media-media hiburan lainnya, video game memungkinkan penggunanya untuk “membenamkan” diri ke dalam dunia virtual dan berinteraksi dengannya, sehingga membuat pengalaman bermain video game sangat mengasyikkan. Tidak heran mengapa video game sangat diminati oleh banyak orang.2 Secara alami, video game membuat munculnya kalangan gamer (pemain video game). Meskipun awalnya video game diidentikkan sebagai mainan anak-anak, kenyataannya pemain video game memiliki rentang usia yang cukup luas. Data yang dihimpun oleh ESA (Entertainment Software Association) Amerika menunjukkan bahwa tidak hanya anakanak dan remaja yang bermain video game, tetapi juga orang tua dan kalangan perempuan.3 Banyak juga gamer yang tergabung ke dalam suatu komunitas yang didorong oleh berbagai penyebab. Baik sebagai sesama fans (penggemar) video game tertentu, dari jaringan pertemanan, atau sekadar dari kesamaan letak geografis. Dari segi skala, komunitas gamer ini juga semakin besar dikarenakan oleh perkembangan teknologi, khususnya oleh internet. Saat ini terdapat banyak sekali situs-situs, forum, dan jejaring sosial yang membahas video game di mana banyak gamer yang berinteraksi, bertukar pendapat, ataupun bermain bersama secara online. 1
2015 Essential Facts About the Computer and Video Game Industry. Hal. 12. Dapat dilihat di http://www.theesa.com/wp-content/uploads/2015/04/ESA-Essential-Facts-2015.pdf 2 Ibid. Hal. 2, 4. 3 Ibid. Hal. 3.
1
Maraknya penggunaan video game ini juga menimbulkan banyak pro dan kontra. Salah satu pandangan yang kerap ditemui adalah anggapan bahwa video game sarat akan dampak negatif. Dampak-dampak negatif ini antara lain adalah masalah kecanduan video game yang menyebabkan pemain menjadi lupa waktu, malas, mendorong perilaku agresif hingga berpotensi melakukan kekerasan, menjadi antisosial, dan lain-lain.4 Namun, tidak sedikit juga pihak-pihak yang beranggapan bahwa video game merupakan sebuah media yang membawa dampak positif. Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa video game dapat mendorong kreativitas5, melatih koordinasi mata dan tangan6, berpotensi menjadi media pendidikan yang ampuh, dan bahkan meningkatkan kehidupan sosial pemainnya. Ada berbagai fenomena sosial yang menarik di kalangan gamer. Misalnya kisah para pemain yang mendapatkan teman melalui video game, orang tua yang merasa bermain video game dapat membuatnya menjadi lebih dekat dengan anaknya7, dan bahkan juga orang-orang yang bertemu jodohnya melalui sebuah online game dan menikah.8 Di Indonesia, fenomena dampak negatif dan positif dari video game ini juga banyak ditemui. Menjamurnya rental console9 PlayStation dan gamenet10 sekitar satu dekade yang lalu menandai popularitas video game di Indonesia yang menyebabkan banyak anak-anak dan remaja yang menjadi hobi bermain game. Permasalahan serupa seperti anak-anak yang kecanduan, menurun prestasi akademiknya, dan bolos sekolah demi bermain video game kerap menjadi liputan dalam berbagai media massa. 4
Lihat di http://www.psmag.com/books-and-culture/violent-video-games-bad-behaviorevidence-mounts-74372 5 Jackson A. Linda, et. al. 2011. Information technology use and creativity: Findings from the Children and Technology Project. Elsevier Ltd. 6 Lihat di http://news.nationalgeographic.com/news/2003/05/0528_030528_videogames.html 7 Ibid. 1, hal. 9. 8 Lihat di http://www.dailymail.co.uk/news/article-1329250/Couple-marry-falling-love-onlinegame-theyd-met.html 9 Sebuah perangkat keras video game yang berfungsi sebagai perangkat hiburan di rumah. Umumnya dirancang untuk digunakan dengan televisi. 10 Warung internet yang terspesialisasi untuk bermain game komputer secara online.
2
Namun, jika kita lihat dalam kehidupan sehari-hari, peristiwa-peristiwa sosial seperti mendapatkan teman melalui hobi bermain game juga banyak ditemui, terutama pada masa-masa sekolah. Fenomena sosial dalam kalangan gamer ini menjadi menarik untuk diteliti. Hal tersebut menunjukkan bahwa video game ternyata tidak hanya sekadar media hiburan, namun dapat juga digunakan untuk bersosialisasi. Terry Flew (2005: 101-114) berpendapat bahwa video game menjadi semakin sosial dan menyatakan bahwa video game dimainkan dalam setting publik dan sosial, seperti console video game yang dimainkan di ruang keluarga, di mana pemain bermain dengan keluarga atau temantemannya. Interaksi sosial ini juga terlihat cukup digalakkan oleh perkembangan video game saat ini. Didorong oleh perkembangan teknologi, saat ini terdapat banyak jenis video game yang mengutamakan aspek multiplayer, yaitu video game yang dapat dimainkan oleh lebih dari satu pemain, baik secara offline maupun online. Studi mengenai video game di Indonesia belum banyak meskipun media hiburan ini sudah digunakan di Indonesia sejak lama, dan selama ini penelitian mengenai video game di dunia mayoritas berkisar mengenai dampak positif dan negatif kepada para pemainnya. Fenomena sosial di kalangan gamer ini dapat juga dilihat dari sisi komunitas. Di mana suatu komunitas berdiri atas suatu kesamaan antar anggotanya dan di dalamnya tentu terdapat interaksi antar anggotanya. Salah satu komunitas gamer di Indonesia adalah komunitas yang bernama “Otacom”. Komunitas ini merupakan suatu perkumpulan kecil yang terbentuk oleh jaringan pertemanan di mana anggota-anggotanya memiliki hobi bermain game. Komunitas ini terbentuk pada sekitar tahun 2006 dan berlokasi di Yogyakarta. Kegiatan utama dari komunitas ini adalah bermain game bersama-sama di salah satu rumah anggotanya yang dijadikan “markas” mereka. Kegiatan ini dilakukan hampir secara rutin, utamanya pada setiap akhir pekan di mana mayoritas anggotanya dapat berkumpul. Anggota komunitas ini sampai saat ini berjumlah sekitar 18
3
orang, dari yang sebelumnya hanya delapan orang ketika komunitas ini terbentuk. B. Rumusan Masalah Berdasarkan karakteristik komunitas gamer Otacom di atas, terlihat bahwa komunitas ini dapat bertahan lama meskipun jumlah anggotanya sedikit. Ditambah dengan asal mulanya yang terbentuk melalui jaringan pertemanan, hal-hal ini memberikan implikasi bahwa ada keeratan hubungan antar anggotanya. Oleh
karena
itu,
rumusan
masalah
penelitian
ini
adalah:
“Bagaimanakah hubungan pertemanan dari anggota-anggota kelompok gamer Otacom?” C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mencari tahu bagaimana anggota komunitas
Otacom
membentuk
hubungan
pertemanan
dalam
kelompoknya. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini bermanfaat untuk: 1. Menambah kajian mengenai media baru, khususnya mengenai media video game. 2. Menjadi referensi untuk penelitian dalam bidang yang sama. 3. Memberikan gambaran mengenai hubungan pertemanan yang dapat terjadi pada suatu komunitas gamer. 4. Melihat potensi manfaat yang bisa didapat dari media video game. E. Kerangka Pemikiran 1. Etnografi dan audiens media Etnografi, yang bermula dari ilmu Antropologi, merupakan sebuah pendekatan penelitian kualitatif yang ditujukan untuk memahami nilainilai dan budaya suatu kelompok sosial. Pendekatan ini dilakukan untuk mendapatkan “insider’s point of view” atau juga disebut sebagai perspektif 4
emik (Hoey, 2014: 2) mengenai suatu fenomena kultural dari kelompok sosial yang diteliti. Dalam penerapannya, etnografi banyak dipakai untuk mengetahui fenomena-fenomena budaya yang berkembang melalui rutinitas kehidupan sehari-hari. Pendekatan etnografi digunakan oleh berbagai disiplin ilmu, seperti sosiologi, psikologi, komunikasi, dan bahkan juga ilmu ekonomi. Sesuai dengan arti katanya (ethno: orang, masyarakat; grafi: penggambaran / pelukisan)11, kajian etnografi berpusat pada kehidupan manusia. Oleh karena itu, kajian etnografi dalam ilmu komunikasi berkisar pada audiens, yaitu “konsumen” media. Dalam kehidupan sehari-hari, orang-orang menggunakan media dengan berbagai macam situasi dan kondisi. Sebagai contoh, dalam membaca surat kabar, ada orang-orang yang membaca sekadar sebagai rutinitas pagi tanpa alasan khusus, ada juga orang yang membaca surat kabar untuk konten, baik itu berita, hiburan, lowongan pekerjaan, iklan, dan lain-lain. Karena setiap orang memiliki caranya sendiri dalam menggunakan media, maka tidak ada karakteristik audiens yang definitif. Setiap media memiliki target audiensnya sendiri dan studi untuk pemahaman audiens juga dilakukan dengan berbagai tujuan, utamanya agar suatu media dapat memberikan apa yang diinginkan oleh audiens. Dalam memahami audiens media, kita perlu memahami konteks penggunaannya. Sebagaimana yang dinyatakan oleh David Morley dan Roger Silverstone (dalam Jensen, K. Bruhn dan Nicholas, W. Jankowski, 1991: 149): We need to investigate context—the specific ways in which particular communications technologies come to acquire particular meanings and thus come to be used in different ways, for different purposes, by people in different types of households. 11
Definisi dari Dictionary.com. http://dictionary.reference.com/browse/ethno- dan http://dictionary.reference.com/browse/graphy-
5
Berangkat dari pemikiran tersebut, maka untuk memahami audiens dalam menggunakan medianya, kita harus melihat praktiknya dalam kehidupan sehari-hari mereka. Oleh karena itulah, pendekatan etnografi dinilai cocok sebagai salah satu metode yang digunakan dalam upaya pemahaman audiens dalam menggunakan medianya. 2. Video Game sebagai media baru Menurut Jan van Dijk (2006:9), media baru didefinisikan sebagai media yang terintegrasi dan interaktif dan juga menggunakan kode digital pada pergantian abad ke 20 dan 21. Berdasarkan definisi ini, media baru memiliki tiga karakteristik, yaitu terintegrasi (konvergensi data dan komunikasi ke dalam satu medium), interaktif (memungkinkan rangkaian aksi dan reaksi), dan juga menggunakan kode digital (digitalisasi konten untuk kemudahan penyebarluasan). Video game memiliki ketiga karakteristik tersebut sehingga menjadikannya salah satu bentuk dari media baru. Video game merupakan integrasi dari berbagai data seperti data visual, suara, dan teks, di mana data-data ini berbentuk kode digital karena video game menggunakan komputer untuk beroperasi. Selain itu, video game juga memungkinkan adanya interaktivitas kepada para pemainnya. a) Interaktivitas dalam video game Interaktivitas jika diartikan secara luas, merupakan sebuah rangkaian aksi dan reaksi. Pada media video game, proses ini dapat terjadi antara pemain dan AI (artificial intelligence / kecerdasan buatan) sebuah game, di mana seorang pemain memberikan input dan AI game tersebut akan segera memberikan respon atas input tersebut, interaktivitas juga dapat terjadi antar pemain, yang hanya dapat terjadi pada multiplayer game.
6
Menurut Van Dijk dan De Vos (dalam Van Dijk, 2006: 8-9), interaktivitas merupakan konstruksi multi-dimensi yang terbagi dalam empat tingkat: 1. Kemampuan untuk melakukan komunikasi dua arah atau multilateral (dimensi ruang). Dalam video game, proses komunikasi terjadi antara pemain dan komputer / AI sebuah game, dan juga antara pemain dengan pemain lainnya. 2. Tingkat sinkronisasi (dimensi waktu). Semakin cepat terjadinya rangkaian
aksi
dan
reaksi
tanpa
gangguan
umumnya
meningkatkan kualitas interaksi, walaupun beberapa jenis media, seperti e-mail digunakan karena bersifat asynchronous. Dalam video game, tingkat sinkronisasi umumnya terjadi secara cepat (real time), baik antara pemain dengan komputer maupun antara pemain dengan pemain lain. Namun, ada kalanya sinkronisasi ini tidak berlangsung secara cepat karena terbatas oleh tipe / desain game, seperti dalam game yang berbasis giliran (turn-based) yang umumnya terdapat pada card game atau beberapa roleplaying game, di mana pemain dan komputer harus bergantian dan menunggu giliran untuk memasukkan input. Sinkronisasi ini juga terkadang terhambat oleh infrastruktur yang tidak memadai, seperti koneksi internet yang lamban pada online games, sehingga membuat pemain tidak bisa bereaksi dengan cepat terhadap perubahan yang terjadi pada game tersebut. 3. Tingkat kendali oleh para peserta (dimensi tingkah laku).Tingkat interaktivitas ketiga ini hanya dapat tercapai ketika kedua tingkat sebelumnya telah terpenuhi. Tingkat ini merupakan kemampuan antara pengirim dan penerima pesan untuk berganti peran kapanpun. Pada tingkat ini, interaktivitas berarti bahwa hal-hal yang dilakukan oleh satu pihak harus dapat menyebabkan perubahan pada pihak lain. Dalam video game, contoh tingkat
7
interaktivitas ini dapat terlihat dalam game bergenre fighting. Sebuah karakter yang menyerang karakter lawan dapat ditanggapi dengan berbagai macam cara. Karakter yang diserang dapat menangkis, menghindar, membalas serangan, atau diam saja. Dalam hal ini terlihat bahwa kedua karakter, baik dikendalikan oleh pemain atau komputer, berganti peran (sebagai penyerang / penerima serangan) dan memiliki kuasa untuk membuat perubahan pada sisi lawan (serangan dapat diterima untuk membiarkan lawan unggul, atau ditangkis / dihindari untuk membatalkan keunggulan tersebut). 4. Tingkat pemahaman makna dan konteks oleh para peserta (dimensi mental) – Ini merupakan tingkat tertinggi untuk interaktivitas penuh, di mana pihak-pihak yang terlibat proses komunikasi benar-benar memahami makna pesan yang ada. Dalam video game, tingkat interaktivitas ini umumnya hanya terjadi antara pemain dan pemain. Misalkan, dalam suatu fighting game, jika seorang pemain sudah memenangkan dua ronde pertandingan di mana pemenang harus memenangkan tiga ronde, maka pemain tersebut dan pemain lawan sama-sama mengetahui bahwa pemain tersebut memiliki keunggulan dan hanya perlu memenangkan satu ronde lagi. b) Multiplayer games Multiplayer games merupakan jenis game yang memungkinkan sebuah game dimainkan oleh dua pemain atau lebih. Hadirnya pemain kedua dan / atau selebihnya membuat interaksi dalam video game tidak hanya antara pemain dengan komputer seperti pada singleplayer games, namun juga interaksi antar pemain. Berdasarkan
jenis interaksinya,
multiplayer games secara umum dapat dibagi tiga (Zagal et. al, 2006: 2440):
8
Kompetitif. Di mana para pemain saling berlawanan dan mementingkan kepentingan sendiri.
Kooperatif. Para pemain saling membantu untuk mencapai tujuan masing-masing.
Kolaboratif. Para pemain bertindak sebagai satu tim yang memiliki satu tujuan yang sama.
Adanya interaktivitas yang tinggi dan juga keberadaan pemain kedua atau lebih dalam multiplayer games membuat tipe game ini memenuhi kriteria Networked Virtual Environment (Net-VE) (Wiklund, 2005: 3), yang didefinisikan sebagai: ...a software system in which multiple users interact with each other in real-time, even though those users may be located around the world. These environments aim to provide users with a sense of realism by incorporating realistic-looking 3D graphics and even stereo sound, to create an immersive experience (Singhal & Zyda, 1999, dalam Manninen, 2001: 3).
Adapun kriteria dari Net-VE sendiri adalah (Singhal & Zyda, 1999): 1. A shared sense of space. Ilusi keberadaan di tempat yang sama 2. A shared sense of presence, yang diwakilkan oleh avatar para peserta 3. A shared sense of time, adanya interaksi secara real-time 4. A way to communicate, dengan menggunakan berbagai metode interaksi yang tersedia 5. A way to share. Terdapat lingkungan dinamis yang dapat digunakan untuk berinteraksi.
9
3. Hubungan interpersonal dan komunitas Secara umum, komunitas dapat didefinisikan sebagai berikut12: a) a social group of any size whose members reside in a specific locality, share government, and often have a common cultural and historical heritage. b) a social, religious, occupational, or other group sharing common characteristics or interests and perceived or perceiving itself as distinct in some respect from the larger society within which it exists (usually preceded by the ): the business community; the community of scholars.
Berdasarkan definisi di atas, dapat diimplikasikan bahwa ada dua faktor yang dapat membentuk sebuah komunitas, yaitu faktor kesamaan lokasi (baik secara geografis ataupun sebuah tempat), dan kesamaan karakteristik
(baik
kesamaan
minat
ataupun
nilai-nilai
tertentu).
Sekumpulan orang yang memiliki salah satu atau kedua kesamaan tersebut dapat secara alami termasuk ke dalam sebuah komunitas ataupun juga membentuk komunitas baru. Kesamaan lokasi dan karakteristik ini mendorong adanya interaksi dan komunikasi, sebagaimana dinyatakan dalam attraction theory (DeVito, 2012: 173) bahwa manusia cenderung menyukai orang-orang yang memiliki kesamaan dengan dirinya dalam hal kebangsaan, ras, kemampuan, sikap, dan penampilan (Pornpitakpan, 2003 dalam DeVito, 2012: 173) dan kedekatan fisik merupakan hal yang paling penting dalam tahap awal interaksi. Interaksi dan komunikasi ini kemudian secara umum mendorong terjadinya sebuah hubungan (relationship) (Littlejohn, 2002: 235). Oleh karena itu, wajar adanya jika seorang anggota komunitas. terutama yang
12
Definisi dari kamus dictionary.com. Dapat dilihat di http://dictionary.reference.com/browse/community
10
terbentuk
oleh
sebuah
kesamaan
minat,
membentuk
hubungan
interpersonal dengan anggota lainnya karena tentunya anggota-anggota komunitas tersebut akan saling berinteraksi dan berkomunikasi. Ada beberapa tujuan mengapa manusia memiliki hubungan interpersonal, di antaranya adalah (DeVito, 1986: 244-245):
Untuk menghilangkan rasa kesendirian. Manusia membutuhkan kontak dekat, baik secara fisik, emosional, dan keduanya dan merasa bahwa seseorang peduli dengannya. Inilah mengapa manusia menginginkan hubungan yang dekat dan berarti
Untuk mendapatkan stimulasi. Manusia merupakan makhluk yang memerlukan stimulasi. Stimulasi ini dapat berupa stimulasi intelektual (dengan ide-ide, argumen baru), fisik (dengan sentuhan, perasaan mendapat perhatian, dan lainnya), dan juga emosional (dengan tawa, tangis, afeksi, dan lainnya)
Untuk lebih mengerti diri sendiri. Dengan melihat diri kita melalui sudut pandang orang lain, kita menjadi lebih memahami diri kita sendiri
Untuk menambah kesenangan dan mengurangi kesedihan. Ada tiga bentuk utama hubungan interpersonal, yaitu pertemanan
(friendship), romantis (romantic), dan juga keluarga (family). Salah satu bentuk hubungan interpersonal yang kerap ditemui dalam sebuah komunitas adalah pertemanan. 4. Interaksi dan komunikasi pada komunitas gamer Istilah “gamer” secara umum ditujukan untuk orang-orang yang gemar bermain video game dan mendalaminya. Istilah ini juga bisa merujuk pada sekadar orang yang sedang bermain video game, walaupun istilah “player” (pemain) lebih sesuai untuk mendefinisikannya.
11
Sebagaimana komunitas pada umumnya, komunitas gamer juga dapat terbentuk melalui kesamaan lokasi dan juga kesamaan minat. Hal ini dapat dilihat dari rangkuman sejarah konteks sosial bermain game yang ditulis oleh Dmitri Williams (2006). Secara umum, Williams membaginya ke dalam tiga era, yaitu era arcade pada awal tahun 1980-an, era console rumahan pada akhir tahun 1980-an, dan era online game yang dimulai pada tahun 1990. Pada awal tahun 1980-an, perangkat video game ditempatkan pada ruang publik seperti bar, klub malam, dan pusat bermain video game yang dikenal sebagai arcade. Williams menyatakan bahwa arcade merupakan magnet sosial pada zaman tersebut, karena dipenuhi oleh gamer dari berbagai kalangan usia, gender, ras, maupun status sosial. Sebagaimana dinyatakan oleh seorang gamer perempuan (1981) pada majalah Newsweek Amerika Serikat mengenai arcade di kawasannya: “Look at all these people together—blacks, whites, Puerto Ricans, Chinese. This is probably the one place in Boston where there are not hassles about race.”
Pada akhir tahun 1980-an, kegiatan bermain video game mengalami pergeseran dari ruang publik ke ruang pribadi. Hal ini ditandai dengan munculnya video game console yang dapat digunakan di rumah. Implikasinya, pengunjung arcade menjadi menurun, dan komunitas gamer juga banyak terbentuk di lingkungan rumah, baik hanya dalam taraf keluarga, ataupun teman-teman dalam satu lingkungan. Pada era ini komunitas gamer cenderung berbentuk sebuah kelompok kecil yang beranggotakan sangat sedikit jika dibandingkan dengan yang terdapat pada sebuah arcade. Williams menyatakan hal ini dikarenakan oleh masih terbatasnya kemampuan teknologi video game saat itu yang hanya memungkinkan sebuah game dimainkan untuk satu atau dua pemain saja. Pada sebuah komunitas gamer, interaksi dan komunikasi juga terjadi saat sedang bermain game. Dalam bermain game, komunikasi yang
12
dilakukan oleh para pemain dapat dibagi menjadi komunikasi in-game (saat sedang bermain game) dan out-game (saat tidak bermain game), dengan komunikasi in-game dibagi lagi menjadi komunikasi in-character (berkomunikasi sebagai karakter yang sedang dimainkan) dan outcharacter (berkomunikasi di luar persona karakter yang sedang dimainkan) (Wiklund, 2005: 2-3). F. Kerangka Konsep 1. Bermain game sebagai praktik komunikasi interaktif Sebagai media baru, video game memungkinkan adanya interaktivitas pada pemainnya. Hal ini membuat aktivitas bermain game merupakan salah satu bentuk dari komunikasi interaktif yang diperantarai oleh komputer. Menurut Mahmoud & Auter (2009: 19), interaktivitas pada komunikasi yang diperantarai komputer (CMC) dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:
Pengguna terhadap pengguna: komunikasi antar manusia, baik terjadi secara langsung ataupun termediasi oleh komputer
Pengguna terhadap media: untuk menerima atau mengirim pesan
Pengguna terhadap pesan: untuk merangkai atau memahami pesan
Gambar 1 – Model interaktivitas dalam CMC. U = users / pengguna, E/D = Encoding / Decoding = merangkai / memahami pesan. Sumber: Mahmoud E.A. dan Auter J. P. 2009. The Interactive Nature of Computer-Mediated
13
Communication. Dalam American Communication Journal Vol. 11 No.4. Hal. 19
Menurut model interaktivitas tersebut, komunikasi akan tergolong interaktif apabila memenuhi syarat-syarat berikut: 1) Pengguna a. Pengguna merasa memiliki kendali yang besar dalam lingkungan komunikasi dan mampu mengendalikan proses komunikasi b. Pengguna merasa komunikasi bersifat responsif c. Pengguna merasa tujuan komunikasi lebih ke arah bertukar informasi d. Peran pengirim dan penerima pesan dapat bergantian di antara para peserta e. Adanya pertukaran dan aktivitas di antara pengguna f. Pengguna dapat berupa manusia ataupun mesin g. Pengguna
dapat
merasakan
perbedaan
tingkat
pengalaman interaktif 2) Media a. Memungkinkan para peserta untuk aktif berkomunikasi b. Memberikan
fleksibilitas
waktu
untuk
pengguna
komunikasi c. Media interaktif menyampaikan pesan dengan cepat d. Memberikan kesan keberadaan pada suatu tempat e. Memiliki lingkungan dan peralatan interaktif 3) Pesan a. Pesan tidak hanya dikirim oleh pengirim namun juga diseleksi oleh penerima b. Pesan dapat diperbarui c. Bersifat personal, saling terhubung, dan dapat diubahubah d. Berkaitan dengan kebutuhan pengguna 14
4) Setting Komunikasi a. Waktu komunikasi cukup fleksibel untuk memenuhi kebutuhan peserta b. Lingkungan komunikasi memberikan kesan keberadaan pada suatu tempat. Dalam bermain video game, pemain memiliki kendali penuh atas game yang dimainkan. Segala hal yang terjadi dalam permainan suatu game merupakan pesan-pesan yang ditimbulkan dari hasil interaksi antara pemain dengan komputer dan / atau pemain lainnya. Dalam sebuah game balap mobil, pemain dapat dengan bebas menentukan kapan mobil tersebut melaju, berbelok, atau mengerem dengan mengirimkan perintah kepada komputer game tersebut melalui unit controller. Komputer kemudian menanggapinya dengan membuat mobil berjalan sesuai dengan perintah pemain. Keadaan mobil tersebut (melaju / mengerem) yang tampak di layar merupakan pesan dari komputer yang diterima pemain sebagai tanggapan atas perintah pemain. Proses komunikasi interaktif ini membuat pemain memiliki tingkat keterlibatan yang tinggi sehingga menyebabkan bermain game menjadi suatu aktivitas yang menyenangkan. 2. Pertemanan Sebagai Hubungan Interpersonal Pertemanan merupakan salah satu bentuk hubungan interpersonal, sebagaimana didefinisikan oleh Joseph A. DeVito (2012: 187) sebagai berikut: “Friendship is an interpersonal relationship between two persons that is mutually productive and characterized by mutual positive regard”.
Berdasarkan definisi tersebut, pertemanan dapat disebut sebagai hubungan personal yang bersifat saling menguntungkan antara dua orang yang saling menyukai. Ada delapan karakteristik dalam hubungan pertemanan (Keith Davis dalam DeVito, 1986: 299-300):
15
Enjoyment. Seorang teman menyukai kehadiran satu sama lainnya
Acceptance. Sesama teman saling menerima satu sama lain apa adanya dan tidak mencoba untuk mengubah temannya menjadi orang lain
Trust. Sesama teman saling mempercayai
Respect. Sesama teman saling menghormati; setiap teman beranggapan bahwa temannya akan memutuskan untuk melakukan hal-hal yang baik
Mutual assistance. Sesama teman saling mengandalkan untuk bantuan dan dukungan
Confiding. Sesama teman saling berbagi perasaan dan pengalaman
Spontaneity. Sesama teman dapat mengekspresikan perasaan mereka secara spontan tanpa perlu khawatir akan menimbulkan masalah dalam hubungan
Understanding. Sesama teman saling mengerti akan hal-hal yang penting dan mengapa temannya berlaku apa adanya. Seorang teman dapat memprediksi tingkah laku dan perasaan temannya.
Pertemanan juga memiliki beberapa fungsi (DeVito, 1986: 302-303):
Pemenuhan kebutuhan. Seseorang memiliki teman karena memiliki kebutuhan tertentu yang ingin dipuaskan. Paul H. Wright (1978, 1984) menyatakan ada lima kebutuhan yang dapat diperoleh dari pertemanan: o Utility
value.
Seorang
teman
dapat
memiliki
bakat,
kemampuan, atau sumber daya tertentu yang dapat membantu tujuan kita o Affirmation value. Tingkah laku seorang teman terhadap kita merupakan cermin yang berfungsi untuk membenarkan nilainilai pribadi kita. Misalnya, seorang teman dapat melihat kemampuan kepemimpinan kita. o Ego-support value. Teman yang suportif dapat membuat kita merasa seperti individu yang bernilai dan penting
16
o Stimulation
value.
Seorang
teman
dapat
memperluas
pandangan kita dalam berbagai hal, seperti ide-ide baru dan juga pengalaman-pengalaman baru o Security value. Kita dapat berperilaku dengan bebas karena teman-teman
umumnya
tidak
akan
mempermasalahkan
kekurangan kita.
Fungsi kesenangan dan kesedihan. Seseorang berteman untuk memaksimalkan kesenangan dan meminimalkan kesedihan. Di saat senang, banyak orang yang ingin berbagi rasa kesenangan tersebut dengan teman-teamannya. Dan di saat sedih, seorang teman dapat membuat kita merasa lebih baik karena mereka dapat menghibur kita.
G. Metodologi Penelitian Penelitian ini akan dilakukan dengan metode penelitian etnografi. Bermula dari ilmu Antropologi, etnografi merupakan metode penelitian kualitatif yang meneliti kehidupan dan nilai-nilai budaya suatu kelompok masyarakat. Sebagaimana dikemukakan oleh Hammersley dan Atkinson (1983: 2 dalam Jensen and Jankowski, 1991: 153): “Simply one social research method, albeit an unusual one, drawing on a wide range of sources information. The ethnographer participates in people’s lives for an extended period of time, watching what happens, listening to what is said, asking questions, collecting whatever data are available to throw light on issues with which he or she concerned.”
Dalam metode penelitian ini, peneliti melakukan observasi secara langsung pada kelompok masyarakat yang ditelitinya selama kurun waktu yang cukup lama. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran budaya secara lengkap dari kelompok yang diteliti dan melihat kebudayaan tersebut melalui sudut pandang kelompok masyarakat tersebut. Oleh karena itu, metode ini dinilai sesuai untuk menjawab pertanyaan penelitian ini.
17
1. Lokasi Penelitian Penelitian akan dilakukan utamanya di rumah salah satu anggota kelompok Otacom yang beralamat di Seturan, Yogyakarta, yang dijadikan tempat berkumpul utama oleh kelompok ini. Penelitian juga akan dilakukan di lokasi-lokasi lain di mana kelompok ini melakukan kegiatannya, seperti di gamenet ataupun rumah anggota lainnya. Daerah Istimewa Yogyakarta dipilih sebagai basis lokasi subjek penelitian karena peneliti saat ini berdomisili di DI Yogyakarta sehingga pelaksanaan penelitian akan lebih lancar jika dibandingkan dengan di daerah lainnya. Selain itu, Yogyakarta juga dikenal sebagai kota pelajar, di mana terdapat banyak pelajar dan berpopulasi heterogen karena tidak hanya terdiri dari penduduk asli, namun juga dari orang-orang luar Yogyakarta. 2. Subjek Penelitian Subjek penelitian adalah sejumlah anggota kelompok gamer Otacom yang ditetapkan menjadi informan dalam penelitian ini. Kriteria informan untuk penelitian ini adalah anggota-anggota komunitas Otacom yang paling sering berkumpul dan berkegiatan bersama dan memiliki keunikan sendiri dalam komunitasnya. Profil informan akan dijelaskan pada Bab 3. Informan kunci dalam penelitian ini adalah salah satu anggota kelompok Otacom dan juga merupakan salah satu anggota generasi pertama sehingga dianggap dapat memberikan informasi yang diinginkan oleh peneliti. Kelompok gamer Otacom dipilih menjadi subjek penelitian karena memiliki beberapa perbedaan dibandingkan dengan kelompok gamer pada umumnya, yaitu:
Pelaksanaan kegiatan bersifat sangat fleksibel. Jadwal kegiatan tidak menentu, namun hampir setiap hari ada anggota yang berkumpul. Kelompok ini juga kerap melakukan kegiatan bersama
18
yang terjadwal. Kelompok gamer pada umumnya memiliki jadwal kegiatan tersendiri yang selalu dihadiri oleh sebagian besar anggotanya.
Kelompok ini bersifat heterogen. Game yang dimainkan tidak hanya satu namun berbagai jenis game dan juga dalam berbagai perangkat yang berbeda-beda. Kelompok gamer pada umumnya memainkan satu jenis game pada satu jenis perangkat.
Terbentuk dari jaringan pertemanan. Di mana kelompok gamer pada umumnya terbentuk berbasis lokasi bermain (misalnya bermain di gamenet atau daerah yang sama) ataupun berbasis game yang dimainkan (seperti komunitas yang memainkan game MMO).
Syarat keanggotaan sangat minim. Untuk menjadi anggota tidak perlu memiliki minat akan game yang sama dengan anggotaanggota lain, dan lebih dititikberatkan untuk dapat berbaur dengan anggota-anggota lainnya.
3. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan melalui pengamatan dengan cara membuat catatan etnografi, observasi partisipatif, dan wawancara mendalam. Dalam observasi partisipatif peneliti akan melakukan pengamatan secara langsung dan juga mengikuti kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh komunitas Otacom, kemudian merekam segala kegiatan yang dilakukan dengan membuat catatan etnografi. Wawancara mendalam akan dilakukan kepada sejumlah anggota yang dipilih menjadi informan. Wawancara dilakukan untuk mendapatkan informasi lebih lengkap berdasarkan temuan-temuan hasil observasi dan juga sebagai sarana untuk memastikan kebenaran hasil pengamatan peneliti.
19