BAB I PENDAHULUAN Pada bab I ini akan menguraikan tentang hal-hal yang melatarbelakangi penelitian, rumusan masalah penelitian yang tertangkap oleh peneliti yang kemudian akan mengerucut pada pertanyaan penelitian yang akan dicari jawabannya dalam penelitian ini. Pada bab ini juga memuat tujuan dan motivasi dilakukannya penelitian ini serta kontribusi yang diharapkan dari penelitian ini.
1.1.
Latar Belakang Masalah Sejak diundangkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 71 Tahun
2010, Pemerintah Pusat telah meminta kepada Pemerintah Daerah untuk mempersiapkan diri melakukan transisi penerapan akuntansi dari berbasis kas menuju akrual ke akuntansi akrual penuh. Himbauan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah untuk menyambut implementasi akuntansi basis akrual tentu tidak dapat direspon secara serentak oleh Pemerintah Daerah. Tingkat kesiapan Pemerintah Daerah dalam menyambut akuntansi berbasis akrual tidak dapat diseragamkan. Hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah satu elemen pos laporan keuangan yang menunjukkan basis akuntansi akrual adalah pos piutang. Dalam modul Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 64 Tahun 2013, piutang merupakan salah satu komponen aset yang menambah kekayaan Pemerintah Daerah. Menurut PP 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintah (SAP) yang berbasis akrual, piutang diklasifikasikan sebagai aset lancar yang diharapkan dapat diterima pelunasannya dalam waktu 12 bulan setelah tanggal pelaporan (PSAP
1
No. 1 paragraf 55). Perlakuan akuntansi piutang sebagai aset seperti yang telah dinyatakan dalam PSAP diakui pada saat potensi manfaat ekonomi masa depan diperoleh Pemerintah dan mempunyai nilai atau biaya yang dapat diukur dengan andal (PSAP No. 1 paragraf 67). Aset diakui pada saat diterima atau kepemilikannya dan/atau kepenguasaannya berpindah (PSAP No. 1 paragraf 68). Dengan demikian, pengakuan piutang dilakukan pada saat muncul hak tagih oleh Pemerintah Daerah terhadap debitur atau telah terjadi perpindahan penguasaan kepemilikan. Akuntansi piutang diatur lebih lanjut dalam Buletin Teknis (Bultek) Nomor 6 Tahun 2005 dan Bultek Nomor 16 Tahun 2014. Bultek Nomor 6 Tahun 2005 mengatur tentang piutang yang berbasis kas menuju akrual, sedangkan Bultek Nomor 16 Tahun 2014 mengatur tentang akuntansi piutang berbasis akrual. Menurut SAP, piutang dicatat sebesar nilai nominalnya (PSAP No. 1 paragraf 69), tetapi menurut Bultek Nomor 16 Tahun 2014 menyatakan bahwa piutang disajikan sebesar nilai bersih yang dapat direalisasikan (net realizable value) dan penyisihan piutang tak tertagih diatur oleh masingmasing Pemerintah Daerah. Estimasi nilai bersih yang dapat direalisasikan dapat disesuaikan dengan membentuk penyisihan atas piutang yang kemungkinan tidak dapat tertagih. Piutang mempunyai risiko tidak dapat tertagih. Piutang yang tidak dapat ditagih tersebut akan menghilangkan hak/kesempatan Pemerintah Daerah untuk menerima kas. Oleh karena itu, Pemerintah Daerah perlu mengantisipasi kemungkinan adanya piutang tak tertagih tersebut. Artinya Pemerintah Daerah
2
perlu melakukan estimasi atas piutang yang dapat diterima kembali dan mengestimasi piutang yang kemungkinan tidak dapat tertagih. Kebijakan penyisihan piutang tak tertagih tersebut harus dilakukan dengan sikap penuh kehati-hatian agar pos piutang dapat mencerminkan nilai per tanggal neraca (Bultek No. 16, 2014). Penyajian akun piutang dalam neraca perlu mempertimbangkan karakteristik dan jenis piutangnya, serta diklasifikasikan berdasarkan kualitas piutang dari setiap jenis piutang. Berdasarkan klasifikasi kualitas piutang dapat diketahui piutang yang sudah dekat dengan tanggal jatuh tempo, telah jatuh tempo, dan telah lewat jatuh tempo. Kualitas piutang ini dapat digunakan sebagai dasar dalam menghitung penyisihan piutang tak tertagihnya. Semakin lama umur piutang yang belum dapat ditagih, maka semakin besar pula kemungkinan tidak tertagihnya (Ritonga, 2012). Menurut Bultek Nomor 16 Tahun 2014, peristiwa yang dapat menimbulkan piutang di lingkungan Pemerintah Daerah antara lain adanya tunggakan pungutan pendapatan. Pungutan pendapatan Pemerintah Daerah tersebut salah satunya berasal dari pendapatan pajak daerah. Penelitian ini akan memfokuskan pada pertimbangan yang mendasari penentuan grading kualitas piutang pajak daerah. Pendapatan pajak ini menjadi istimewa karena menurut undang-undang perpajakan, pajak adalah kontribusi wajib kepada Pemerintah yang terutang oleh wajib pajak yang bersifat memaksa dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi kemakmuran
3
masyarakatnya (Bultek No. 16, 2014). Piutang pajak timbul pada saat terdapat hak Pemerintah Daerah untuk menagih. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak (SKP) atau dokumen lain tentang penetapan pajak tetapi belum dibayar oleh wajib pajak sampai dengan akhir periode tahun anggaran yang bersangkutan. Piutang pajak disajikan sebesar tunggakan pajak yang belum dilunasi oleh wajib pajak (Bultek No. 16, 2014). Pajak yang belum dibayar oleh wajib pajak harus dilakukan penagihan oleh Pemerintah Daerah karena sudah menjadi hak Pemerintah Daerah untuk menerima kas dari piutang pajak. Risiko ketidaktertagihan suatu piutang pajak daerah dapat diprediksi melalui kualitas piutang pajaknya. Pemerintah Daerah perlu melakukan analisis dan studi tersendiri untuk dapat memetakan dan melihat sifat dan karakteristik piutang
pajak
lingkungannya.
yang
dimilikinya
Pemerintah
serta
Daerah
debitur
diharapkan
yang dapat
berada
dalam
menguraikan
pertimbangan yang mendasari dalam menentukan kebijakan grading kualitas piutangnya, tidak hanya mendasarkan pada perkiraan atau bahkan hanya meniru dari Pemerintah Daerah lain. Setiap jenis piutang pajak mempunyai sifat dan karakteristik serta pola penagihan yang berbeda-beda. Untuk menentukan besaran jumlah saldo penyisihan piutang dari masing-masing jenis piutang pajak tidak dapat disamaratakan antara jenis piutang pajak yang satu dengan jenis piutang pajak yang lain. Penentuan besaran penyisihan piutang yang tak tertagih juga perlu mempertimbangkan karakteristik dari debitur di lingkungan Pemerintah Daerah
4
yang bersangkutan. Budaya dan karakter dari masing-masing masyarakat yang berada di lingkungan suatu Pemerintah Daerah tidak sama dengan masyarakat di Pemerintah Daerah lainnya. Adanya kebijakan grading kualitas piutang pajak Pemerintah Daerah yang sama pada kondisi yang seharusnya berbeda akan menimbulkan penyajian laporan keuangan overstate atau understate, sehingga laporan keuangan mengandung informasi yang tidak relevan dan tidak valid untuk dijadikan sebagai dasar pertimbangan pengambilan keputusan. Laporan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2014 terkait dengan piutang pajak Pemerintah Daerah menyatakan bahwa masih terdapat kelemahan dalam penyajian saldo piutang pajak dan retribusi per 31 Desember 2013 yang tidak didukung dengan dokumen data wajib pajak dan wajib retribusi dan belum menggambarkan nilai bersih yang dapat direalisasikan. Hasil temuan BPK yang dituangkan dalam IHPS II Tahun 2014 tersebut menunjukkan bahwa masih terdapat kelemahan pada sistem akuntansi piutang pajak daerah. Temuan yang menyatakan bahwa piutang pajak belum menggambarkan nilai bersih yang dapat direalisasikan dapat menjadi indikasi bahwa Pemerintah Daerah belum melakukan penyisihan piutang tak tertagih atau kebijakan tentang grading kualitas piutang belum dilakukan secara tepat. Penelitian yang telah dilakukan oleh Safitri (2012) tentang sistem pendapatan dan sistem piutang di Indonesia, menunjukkan hasil bahwa sistem piutang Pemerintah di Indonesia saat ini masih buruk, karena banyaknya
5
regulasi yang ada mengharuskan sistem piutang dilaksanakan dengan melibatkan banyaknya organisasi/orang yang ikut serta dalam pengelolaan sistem. Selain itu pelaksanaan sistem piutang di lapangan saat ini sangat rumit, waktu yang diperlukan lama, dan sangat berbelit. Pada penelitian Safitri (2012) tersebut memberikan gambaran secara umum tentang sistem piutang di Indonesia berdasarkan pada regulasi yang ada. Penelitian tersebut belum menganalisis lebih dalam tentang kebijakan penyisihan piutang yang merupakan bagian dari sistem piutang, khususnya pada penentuan grading kualitas piutang. Pada penelitian ini akan melakukan penelitian yang fokus pada pertimbangan yang mendasari penentuan grading kualitas piutang pajak pada Pemerintah Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul. Pada tahun anggaran 2014, Pemerintah Daerah se-DIY yang terdiri dari Kabupaten Bantul, Kabupaten Sleman, Kabupaten Kulonprogo, Kabupaten Gunungkidul, dan Kota Yogyakarta telah mempunyai kebijakan akuntansi tentang penyisihan piutang tak tertagih. Persentase yang digunakan untuk menghitung penyisihan piutang tak tertagih menggunakan grading kualitas umur piutang dan persentase estimasi ketidaktertagihan piutang yang berdasarkan pada kualitas umur piutangnya. Kebijakan penyisihan piutang pajak tak tertagih Pemerintah Daerah se-DIY ditunjukkan sebagai berikut.
Tabel 1. Perbandingan Kebijakan Grading Kualitas Piutang Pajak Pemerintah Daerah Se-DIY
6
No 1
2
3
4
5
Pemerintah Daerah Kabupaten Bantul Kabupaten Sleman Kabupaten Kulonprogo Kabupaten Gunungkidul Kota Yogyakarta
Penyisihan Berdasarkan Umur Piutang (%) 0-1 1-3 >3-5 >5 tahun tahun tahun tahun 0% 0-2 tahun
25% >2-3 tahun
50% >3-4 tahun
100% >4-5 tahun
>5 tahun
0% 1-2 tahun
25% >2-3 tahun
50% >3-4 tahun
75% >4-5 tahun
100% >5 tahun
20% ≤1 tahun
40% > 1-2 tahun
60% >2-3 tahun
80% >3-5 tahun
100% >5 tahun
1% ≤1 tahun
10% >1-2 tahun
25% >2-5 tahun
50% >5 tahun
100%
0%
25%
50%
100%
Sumber Peraturan Bupati Bantul Nomor 72 Tahun 2014 Peraturan Bupati Sleman Nomor 21 Tahun 2014 Peraturan Bupati Kulonprogo Nomor 24 Tahun 2014 Peraturan Bupati Gunungkidul nomor 43 Tahun 2013 Peraturan Walikota Nomor 71 Tahun 2013
Sumber: Diolah, 2015
Berdasarkan Tabel 1 menunjukkan adanya perbedaan kebijakan penentuan grading kualitas piutang di lingkungan Pemerintah Daerah se-DIY. Penentuan grading kualitas piutang pajak yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul hanya membagi kualitas piutangnya dalam empat grading. Pemerintah Kabupaten Kulonprogo, Gunungkidul, dan Sleman membuat grading kualitas piutangnya dalam lima grading. Setiap Pemerintah Daerah pasti mempunyai pertimbangan yang mendasari penentuan kebijakan grading kualitas piutang pajaknya.
1.2.
Rumusan Masalah
7
SAP, Bultek, maupun Modul Permendagri No. 64 Tahun 2013 tidak mengatur secara tegas tentang cara atau metode penentuan grading kualitas umur piutang Pemerintah Daerah. Ketiga pedoman tersebut hanya memberikan contohcontoh perhitungan, jurnal, dan penyajian dalam laporan keuangan. Artinya kebijakan mengenai penentuan grading kualitas piutang diserahkan secara mutlak kepada Pemerintah Daerah untuk menilai estimasi piutang yang benar-benar dapat tertagih di lingkungan masing-masing, karena risiko ketidaktertagihan piutang pajak Pemerintah Daerah tidak dapat disamakan. Hal tersebut sangat dipengaruhi oleh pemahaman dan pengetahuan Pemerintah Daerah terhadap pola dan karakteristik ketertagihan piutang pajak di lingkungan masing-masing. Kebijakan grading kualitas piutang masing-masing Pemerintah Daerah seDIY berbeda-beda. Ketidakseragaman kebijakan ini mengindikasikan suatu hal yang baik karena pola piutang masing-masing Pemerintah Daerah berbeda. Pada kasus ini perlu diteliti lebih lanjut apakah penentuan grading kualitas umur piutang Pemerintah Daerah didasarkan pada hasil analisis piutang pajak yang dimiliki dan mempertimbangkan karakteristik setiap jenis piutang pajak di lingkungan Pemerintah Daerah atau hanya berdasarkan perkiraan tanpa dasar atau hanya mencontoh aturan di atasnya dan/atau Pemerintah Daerah lainnya tanpa ada pertimbangan yang mendasarinya. Pada penelitian ini difokuskan pada penentuan kebijakan grading kualitas piutang pajak Pemerintah Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul yang hanya membagi kualitas piutangnya dalam empat grading di antara Pemerintah Daerah lainnya se-DIY yang membagi kualitas piutang pajaknya menjadi lima grading.
8
Empat atau lima grading tidak menjamin bahwa piutang bersih yang disajikan dalam neraca menjadi relevan, jika pertimbangan dalam menentukan kebijakan grading kualitas piutang tidak tepat. Dalam menentukan kebijakan penyisihan piutang tak tertagih harus bisa mendekati kondisi yang sebenarnya. Hal ini dibutuhkan pertimbangan-pertimbangan yang tepat.
1.3.
Pertanyaan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang ada, maka pertanyaan penelitian yang
diajukan dalam penelitian ini adalah faktor-faktor apa yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan kebijakan grading kualitas piutang pajak Pemerintah Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul?
1.4.
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi faktor-faktor yang perlu
dipertimbangkan dalam menentukan kebijakan grading kualitas piutang pajak Pemerintah Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul.
1.5.
Motivasi Penelitian PP Nomor 71 tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP)
berbasis akrual telah menjadi dasar hukum Pemerintah Daerah untuk wajib menerapkan akuntansi berbasis akrual mulai tahun anggaran 2015. Berdasarkan kajian yang telah dilakukan oleh Komite Standar Akuntansi Pemerintahan (KSAP), akuntansi berbasis akrual mempunyai manfaat antara lain memberikan
9
gambaran yang utuh atas posisi keuangan Pemerintah dan dapat menyajikan informasi yang sebenarnya mengenai hak dan kewajiban Pemerintah. Untuk dapat memberikan gambaran yang utuh atas posisi keuangan Pemerintah Daerah dan menyajikan informasi hak Pemerintah Daerah yang sebenarnya, piutang harus disajikan sebesar nilai bersih yang dapat direalisasikan (Bultek SAP No. 16, 2014). Salah satu metode untuk melakukan penyesuaian atas piutang yang tidak tertagih adalah dengan membentuk penyisihan piutang yang tak tertagih, sehingga piutang yang disajikan dalam laporan keuangan sebesar nilai bersih yang dapat direalisasikan. Piutang perlu dilakukan penyisihan untuk mengantisipasi adanya risiko ketidaktertagihan. Salah satu metode analisis yang digunakan untuk mengetahui kualitas dari piutang adalah dengan mengklasifikasikan piutang berdasarkan umur piutangnya atau lamanya piutang tersebut telah ada. Kemudian, berdasarkan penggolongan umur piutang tersebut ditentukan persentase estimasi ketidak tertagihan piutang. Grading kualitas piutang tersebut digunakan sebagai dasar untuk menghitung estimasi penyisihan atas piutang yang kemungkinan tidak dapat tertagih. Apabila penentuan grading kualitas umur piutang tersebut tidak dilakukan dengan prinsip hati-hati, maka akan mengakibatkan adanya likuiditas semu dalam laporan keuangan yang disajikan, karena terdapat overstatement atau understatement dalam laporan keuangan. Analisis umur piutang harus dilakukan oleh setiap entitas yang memiliki piutang. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam penentuan
10
grading kualitas piutang pajak Pemerintah Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul.
1.6.
Kontribusi Penelitian Penelitan ini diharapkan dapat memberikan kontribusi praktis dan teoritis
sebagai berikut: 1.
Kontribusi Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah dan memperkaya studi mengenai penentuan grading kualitas umur piutang pajak Pemerintah Daerah khususnya pada Pemerintah Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul. 2.
Kontribusi Praktis
Bagi Pemerintah Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi saran untuk melakukan revisi kebijakan grading kualitas piutang pajak. Berdasarkan dari hasil penelitian ini diharapkan Pemerintah Daerah mampu membuat model penyisihan piutang tak tertagih yang didasarkan pada penentuan grading kualitas piutang yang mendekati kondisi sebenarnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
11