BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hadirnya Rifka Annisa sebagai sebuah organisasi masyarakat sipil yang bergerak di bidang perempuan merupakan ilustrasi betapa perempuan menjadi penting untuk di jadikan objek kajian. Dalam beberapa akhir dekade ini isu perempuan mendapatkan perhatian yang sangat serius dari setiap kalangan. Sebagai sebuah organisasi Rifka Annisa yang dalam koridor nya bekerja untuk menangani isu perlindungan terhadap perempuan mencoba untuk mengangkat pengalaman ketertindasan menjadi realita yang mampu menjawab konteks kekinian yang dihadapi perempuan. Merekontruksi pemaknaan dalam menggunakan sudut pandang dan bahasa perempuan sendiri agar mampu dipahami realitasnya oleh perempuan sendiri yang kemudian tidak terdapat pemaknaan yang subyektif dan sepihak dari pihak-pihak yang melakukan penindasan merupakan arti penting dari hadirnya Rifka Annisa.
Sejak dikenalkannya istilah organisasi masyarakat sipil hal yang pertama muncul dalam pemikiran adalah suatu hubungan yang kaitannya erat antara negara dan masyarakat. Organisasi masyarakat sipil merupakan institusional atau pengelompokan dari berbagai anggota masyarakat yang secara sukarela dan mandiri yang dapat bebas dan egaliter bertindak aktif dalam wacana dan praksis mengenai segala hal yang berkaitan dengan masalah kemasyarakatan pada umumnya. Kemudian organisasi masyarakat sipil dapat juga dikatakan sebagai sebuah sistem dimana dalamnya terdapat adanya penggabungan dari asosiasi masyarakat yang secara sadar dan memiliki tingkat pemahaman yang tinggi akan kehadirannya sebagai bagian dari negara
Rifka Annisa sebagaimana organisasi masyarakat sipil yang dijelaskan diatas telah menjalankan peran dan funginya sendiri. Sebagai aktor dalam mengupayakan agenda perlindungan kekerasan bagi perempuan dinilai telah berhasil menjalankan program pelayanan bagi korban, termasuk dalam menguatkan dan mengembangkan sistem layanan terpadu. Prinsip self determination atau hak mengambil keputusan secara penuh oleh korban yang di anut oleh Rifka Annisa dalam pendampingan korban pun diakui merupakan satu modal pemberdayaan bagi korban (Survivor) yang didampingi.1 Sebagai organisasi masyarakat sipil Rifka Annisa dalam termnya tentu mempunyai ideologi yang akan membawa mereka pada garis pergerakan dan normatifnya perubahan sosial dalam masyarakat adalah satu perwujudan konkrit yang akan membawa sampai ke garis finish. Sekilas tentang kemunculan organisasi masyrakat sipil atau dalam istilah lain ada LSM di Indonesia, dapat di buktikan dengan maraknya bermunculan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), yayasan-yayasan, kemudian banyak lagi Ornop dan NGOs lainnya, kesemuannya merupakan organisasi masyarakat sipil. Mereka secara institusi yang menjadi penyeimbang bagi tegakyna demokrasi bagi suatu bangsa. Kehadiran lembaga-lembaga Ornop dan NGOs yang begitu pesat pertumbuhannya merupakan angin segar bagi suatu negara khususnya Indonesia yang selama ini sebelum reformasi dapat dikatakan sebagai negara yang terpenjara oleh sistem yang otoriter, tanpa mampu keluar dari balik jeruji hanya bisa melihat dan tidak kuasa untuk berbuat. Peran dari organisasi masyarakat sipil telah banyak memberi kontribusi pergerakan dalam sebuah perubahan. Melalui beberapa agenda advokasi terkait dengan advokasi kebijakan organisasi 1
Di kutip : Menuju Gerakan Sosial Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan, Refleksi 10 tahun Perjalanan Rifka Annisa, hal ii
masyarakat sipil telah banyak memberikan sumbangsih bagi perubahan sosial di Indonesia dan di tingkat lokal khususnya, hal ini dapat dilihat dengan agenda advokasi dari organisasi masyarakat sipil. Pentingnya advokasi kebijakan yang dilakukan oleh organisasi masyarakat sipil merupakan keharusan yang tidak dapat untuk dihindari, tanpa disadari advokasi kebijakan yang dilakukan oleh organisasi masyarakat sipil tersebut mempunyai implikasi langsung terhadap perubahan sosial dalam masyarakat. Advokasi kebijakan akan melahirkan produk baru bagi sebuah pergerakan dalam perubahan apabila dalam tahapannya mampu memberikan ide atau konsep bagi pemerintah pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. Terkait dengan advokasi kebijakan perempuan maka akan terciptanya satu titik temu dimana permasalahan yang sangat
fundamental
saat
ini
adalah
demokratisasi
perempuan
dalam
upaya
memperjuangkan hak dasar mereka pada ranah publik, memposisikan perempuan tidak lagi pada posisi obyek minoritas dan kemudian juga masih dominannya pelabelan oleh streotife gender yang selama ini terbangun tentang perempuan adalah makhluk yang lemah dan laki-laki adalah makhluk yang kuat kemuadian ditompang oleh paradigma masyarakat yang masih melekat yaitu budaya patriarkhis dimana laki-laki diposisikan sebagai superioritas dan perempuan adalah inferioritas sehingga daya kontrol laki-laki terhadap perempuan lebih mendominasi dalan strata sosial, dari sudut paradigma budaya tersebutlah perempuan jauh dari akses publik dan kerap menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga baik itu secara fisik, seksual maupun psikis sehingga kemudian perlindungan perempuan secara konfrehensif pada tataran kebijakan perlu adanya suatu pengadvokasian.
Memulai tujuan awal dari sebuah pergerakan dan menghasilkan tujuan akhir yaitu terciptanya demokrasi, demokratisasi akan menciptakan ruang gerak bagi masyarakat untuk melakukan perubahan-perubahan hidup tanpa adanya suatu penindasan, jadi secara otomatis kontribusi demokrasi sangat besar dalam penguatan organisasi masyarakat sipil, dalam arti mengadvokasi sebuah kebijakan dipandang perlu adanya segenap kualitaskualitas yang ada pada organisasi masyarakat sipil yang senantiasa merujuk pada nilainilai demokrasi, maka ia akan menciptakan suatu tata kehidupan kerakyatan serta kebangsaan yang mandiri secara menyeluruh dan mewujudkan demokratisasi lokal secara khusus. Rifka Annisa sebagai elemen dari organisasi masyaratat sipil yang bergerak di bidang perempuan yang selalu mengadvokasi hak-hak perempuan. Dengan mempunyai peran sebagai penguatan pada wilayah hak-hak perempuan maka disini peneliti bermaksud untuk meneliti strategi advokasi dari rifka annisa tersebut dalam memperjuangkan kebijakan perlindungan perempuan dan hambatan yang terdapat didalamnya. Landasan ideal berdirinya organisasi masyarakat sipil/lembaga swadaya masyarakat Rifka Annisa ini muncul dari kepedulian yang dalam terhadap kecendrungan budaya patriarkhi dimana pada satu sisi meperkuat posisi laki-laki dan memperlemah posisi perempuan pada sisi yang lain dan kemudian mengakibatkan perempuan rentan akan kekerasan seperti perkosaan, pelecehan seksual, kekerasan dalam rumah tangga dan sebagainya. Dari sejarah berdirinya
Rifka Annisa yang sekilas peneliti ketahui
bahwasannya dikatakan juga sudah banyak perempuan kekerasan korban kekerasan telah mengadu ke Rifka Annisa sejak awal pendirian organisasi tersebut. hal ini kemudian yang menjadi faktor bagi peneliti untuk menjadikan Rifka Annisa sebagai organisasi
masyarakat sipil yang bertempatkan di Yogyakarta, sekaligus merupakan bagian dari organisasi masyarakat sipil yang menarik untuk di jadikan objek penelitian. Perjalanan dari Rifka Annisa yang sudah begitu cukup lama bergerak dalam bidang perempuan peneliti mengangap advokasi kebijakan perlindungan perempuan merupakan satu analisa kajian yang cukup menarik untuk dijadikan pembahasan penelitian. Selanjutnya faktor pendukung yang menjadi ketertarikan bagi peneliti dalam meneliti organisasi masyarakat sipil di Yogyakarta mencari jawaban atas upaya yang dilakukan organisasi masyarakat sipil sendiri dengan melihat dari banyak terdapat organisasi masyarakat sipil yang bergerak dibidang perempuan di Yogyakarta. Kemudian juga ada beberapa acuan yang menjadi bangunan dasar bagi peneliti mengapa Rifka Annisa yang menjadi objek kajian sekaligus advokasi kebijakan menjadi topik utama kajian penelitian yaitu, Rifka Annisa merupakan salah satu CSO yang sudah cukup lama berdiri di Yogyakarta, kemudian Rifka Annisa telah membuktikan advokasinya pada wilayah advokasi kebijakan perlindungan perempuan dengan lahirnya Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 62 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Bagi Korban Kekerasan Berbasis Gender Dan Trafficking, kemudian advokasi kebijakan perlindungan perempuan bagi peneliti merupakan satu langkah yang tepat untuk memberikankan hak-hak terhadap perempuan sekaligus memberi ruang gerak bagi perempuan dalam kontribusi sosial dan budaya baik secara pemahaman maupun praktek. B. Rumusan Masalah
1). Bagaimanakah Strategi Rifka Annisa dalam mengadvokasi kebijakan perlindungan perempuan “Peraturan Walikota NO 62 Tahun 2007 tentang penyelenggaraan
pelayanan terpadu bagi korban kekerasan berbasis gender dan trafficking” di Yogyakarta ? 2).
Apakah yang menjadi hambatan Rifka Annisa dalam mengadvokasi kebijakan perlindungan perempuan di Yogyakarta ?
C. Tujuan danManfaat Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah : Untuk mengetahui strategi dan hambatan apa saja yang dilakukan oleh Rifka Annisa dalam mengadvokasi kebijakan perlindungan perempuan Yogyakarta Kemudian manfaat dari penelitian ini adalah : Dapat memberikan pengayaan akan pengetahuan pada khalayak umum dan peneliti khususnya serta dapat memberikan kontribusi bagi organisasi masyarakat sipil dalam dimensi advokasi kebijakan perlindungan perempuan.
D. Kerangka Teori
1. Civil Society Organization a. Pengertian Civil Society Organization Organisasi Masyarakat sipil yang merupakan asosiasi kelompok atau lembaga yang memiliki tatanan sosial dan mampu melingkupi berbagai ruang dalam mengakses dan memobilisir masyarakat atau warga negara diluar varian-varian masyarakat sipil itu sendiri, dalam arti adanya suatu bentuk tanggung jawab dari organisasi masyarakat sipil sendiri untuk menjadi jembatan penghubung antara negara dan masyarakat.
Organisasi masyarakat sipil merupakan varian dari masyarakat sipil itu sendiri, kemudian juga satu konteks yang tidak bisa terlepaskan ketika berbicara organisasi masyarakat sipil (CSO), Ornop atau NGOs dan LSM. Empat kata yang berbeda pengertian namun mempunyai esensi yang sama. Studi tentang organisasi masyarakat sipil merupakan suatu fenomena baru dalam ranah sistem politik Indonesia. Istilah organisasi masyarakat sipil ini sendiri merupakan bentuk dari adaptasi bahasa Inggris Non Govermental Organisasions (NGOs). Edward dan Humme mendefinisikan istilah NGOs sebagai kategori organisasi yang batasannya sangat luas terjadi dari lembaga yang beragam. Mereka mencoba mendefinisikan batasan NGOs dilihat dari bentuk, ukuran dan fungsinya yang dibedakan menjadi 3 tipe yakni:
NGOs internasional seperti Save the Children Aid (biasanya disebu sebagai “Northern NGOs” atau “NGOs”); LSM “perantara” di selatan (NGOs, selatan) yakni mereka yang mendukung kerja kelompok akar rumput (grassroots) melalui pendanaan, nasihat teknis dan advokasi; gerakan akar rumput dari jenis yang beragam (organisasi akar rumput atau GROs, dan organisasi yang berbasis komunitas atau CBOs) yang dikendalikan oleh anggotanya sendiri; serta jaringan kerja maupu federasi yang terdiri atas beberapa atau seluruh tipe LSM di atas (Mansour fakih, 2004:2-3)
Selanjutnya dengan kata lain organisasi masyarakat sipil bisa dikatakan sebagai intermediary antara negara dan masyarakat. Sejatinya dalam keadaan tertentu organisasi masyarakat sipil bisa menjadi penyeimbang yang sifatnya netralitas terhadap negara kemudian disisi lain juga bisa menjadi kelompok penekan yang apabila diposisikan sebagai kelompok yang merasa terasingkan oleh negara, atau dengan kata lain apabila
organisasi masyarakat sipil tersebut tidak memiliki corong atau tidak dianggap sebagai patron oleh negara. Berada dalam ruang dan dimensi yang memungkinkan bagi organisasi masyarakat sipil untuk menjadi penyeimbang tidak menutup kemungkinan adanya kontra indikasi bagi organis dalam usahanya sebagai varian terpenting dalam mewujudkan tatanan nilai yang universal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
b. Mazhab Kontestasi Civil Society Organization Sutoro Eko2 membagikan organisasi masyarakat sipil kedalam 3 (tiga) mazhab) yang terdiri dari, konfrontasi, reklaim dan engagement. Mazhab dalam suatu paradigma nya merupakan kategorisasi dalam melihat pola pergerakan dari organisasi masyarakat sipil. Dari tiga model mazhab di atas menunjukkan bahwasannya pergerakan sosial organisasi masyarakat sipil mempunyai cara pandang yang berbeda dalam sebuah pergerakan dan juga mempunyai beberapa tahapan dalam proses melakukan perubahan sosial. Mazhab tersebut menggambarkan suatu bentuk metode perlawanan tersendiri dalam sebuah perubahan sosial. Asumsi dasar dalam memandang realitas merupakan bangunan dasar bagi sebuah pergerakan. Perbedaan paradigma dalam menyimpulkan konteks sosial merupakan variasi dari ketiga mazhab tersebut dalam mengagendakan pergerakan.
2
Sutoro Eko didalam, NEGARA, CIVIL SOCIETY DAN DEMOKRASI, Pergerakan Membangun Solidaritas Sosial dalam Merebut Perubahan, Malang : In-TRANS Publishing, 2008, hal. 125
Tabel 1.1 Peta Mazhab Kontestasi Organisasi Masyarakat Sipil (CSO)3 NO
ITEM
KONFRONTASI
REKLAIM
ENGAGEM ENT
3
1
Aliran
Kiri
2
Konsep utama
Gerakan sosial
3
Asumsi dasar tentang Negara
1). Negara adalah sumber dari segala sumber masalah 2). Rakyat tidak bisa berbuat salah
4
Konteks/kondisi empirik
Negara dikuasai oleh penguasa otoriter, korup dan berpihak pada pemodal
5
Tujuan dan Agenda
Melawan Negara, meruntuhkan
Ibid…
Kiri baru
Konvergen si kanankiri (kiri tengah) atau liberal yang kiri Strong democracy Good (participatory governance democracy) atau democratic, demokrasi deliberatif, governance dan citizenship. Negara telah Negara berubah karena sangat demokratisasi, penting dan tetapi ia masih dibutuhkan dikuasai oligarki , tetapi elite kapasitas dan responsivit asnya sangat lemah Demokrasi Oligarkis, dibajak oleh komitmen kaum elite. politik Terjadi krisis dan lemah, involusi partisipasi demokrasi warga perwakilan sangat lemah Memperdalam Membuat demokrasi dan Negara
6
Strategi utama
penguasa otoritarian, melawan kebijakan yang tidak pro rakyat
merebut jabatan publik untuk mengontrol Negara
Aksi kolektif
Memperkuat CSOs, gerakan politik dan representasi
lebih akuntabel dan responsif, serta memprkuat partisipasi warga. Konsultasi, komunikasi , negosiasi yang dialogis antara CSOs dan negara
Mazhab dalam pergerakan organisasi masyarakat sipil dalam melakukan gerakan advokasi tidak terlepas dari ideologi dan cara pandang dalam menjalankan roda organisasi. Pada mazhab engagement menganggap demokrasi perwakilan tetap penting meski terbatas dan menganggap pentingnya Negara meskipun kondisi negara lemah harus di perbaiki dan diperkuat. Mazhab ini berangkat dari kontrak sosial antara pemerintah dan masyarakat dengan keyakinan bahwa kebaikan bersama dapat dipastikan dam melalui proses yang demokratis. Konsep utama dari mazhab ini adalah gerakan dilakukan melalui proses negosiasi dan yang dialogis antara negara dengan organisasi masyarakat sipil yang lainnya untuk mencari solusi bersama. Rifka Annisa pada konsep penerapannya juga tidak terlepas dari kerja sama dengan organisasi masyarakat sipil dan negara dalam hal ini pemerintah kota Yogyakarta.
2. Advokasi a. Pengertian Advokasi Advokasi secara pengertian menurut Richard Holloway4 yang berasal dari kata to advocate adalah aktivitas melakukan “perubahan” (to change) secara terorganisir dan sistematis. Dengan demikian maka, advokasi berarti media yang digunakan dalam rangka mencapai tujuan tertentu secara sistematis dan terorganisir untuk mempengaruhi dan mendesakkan terjadinya perubahan dalam kebijakan publik secara bertahap dan maju (incremental).Pemahaman tentang advokasi memiliki banyak pengertian didalamnya tergantung dari sudut mana melihat advokasi sebagai sebuah pergerakan yang berdimensi mewujudkan keadilan sosial dalam kemasyarakatan. b. Strategi Advokasi5 Strategi advokasi merupakan mobilisasi segala sumberdaya untuk mewujudkan tujuan advokasi, sumberdaya yang dimobilisasi dapat berasal dari internal jejaring dan eksternal jejaring. (Hasrul Hanif & Rachmad Gustomy : 2010 : 59) Advokasi seharusnya mempunyai upaya yang dilandasi komitmen dan kepentingan bersama dalam rangka berpartisipasi dan membangun tatanan sosial berkeadilan dan demokratis merupakan satu langkah konkrit bagi pergerakan dalam advokasi. Namun disini pada dasarnya advokasi secara konsepnya memiliki bangunan dasar yang sama seperti menganggap perubahan demi kebaikan bersama merupakan salah satu falsafah terpenting dalam melihat advokasi sebagai sebuah pengertian yang tidak memiliki perbedaan yang secara signifikan, namun
4
Richard Holloway di dalam Rachmad Syafa’at, METODE ADVOKASI DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA.Intrans Publishing Malang, 2008, hal 63-64 5 Hasrul Hanif & Racmad Gustomy dalam Advokasi Berbasis Jejaring, edt Sigit Pamungkaas : Research Centre for Politics and Government (Polgov), : Yogyakarta, hal 59-80
terkadang masih banyak orang yang mendefinisikan atau memahami advokasi pada ruang kerja yang sangat sempit misalnya menganggap advokasi merupakan dimensi kerja pembelaan atas hukum yang dilakukan oleh pengacara dan advokat sehinggga menganggap advokasi hanya memiliki ranah kerja pada prakteknya. Kemudian dari itu perlu adanya suatu strategi dalam melakukan sebuah advokasi, strategi tersebut bermaksud untuk menjelaskan dimensi-dimensi yang dianggap penting dalam melakukan advokasi. Strategi Advokasi dapat dicakup kedalam dua hal : pertama, konsolidasi jejaring yang ada yang agar menjadi kekuatan yang lebih solid dalam mendorong advokasi kebijakan kedua, kombinasi berbagai aktivitas atau strategi advokasi agar tujuan yang ada bisa dicapai secara maksimal. (Hasrul Hanif & Rachmad Gustomy : 2010: 60)
Gambar 1.1 Strategi Advokasi
STRATEGI ADVOKASI
KONSOLIDASI AKSI KOLEKTIF
KOMBINASI SIASAT
Sumber : Hasrul Hanif & Rachmad Gustomy : 2010: 60
1. Konsolidasi Aksi Kolektif Advokasi berbasis jejaring membutuhkan kerja-kerja yang bersifat kolektif. Oleh karena itu konsolidasi aksi kolektif adalah sebuah kebutuhan yang tidak terhindarkan agar kerja-kerja advokasi berjalan secara optimal, tahan lama dan berkesinambungan. Meskipun demikian, usaha kearah itu tidak bisa dilakukan secara singkat dan simpatik. Perlu siasat dan keterampilan untuk menjaga dan mengkreasi konsolidasi kolektif. Secara spesifik, kerja konsolidasi kolektif dimaksudkan untuk : a. Merekayasa agar para pihak untuk menempa pola perilaku baru b. Menyamakan mimpi sehingga semua pihak berada dalam nada dan irama yang sama c. Menyepakati cara berfikir dan cara bekerja baru dilapangan dan dilakukan dalam berbagai kesepakatan baik yang informal maupun formal seperti aturan, prosedur, tata kerja dan sebagainya. (Hasrul Hanif & Rachmad Gustomy : 2010: 61)
Kemudian unruk membangun konsolidasi kolektif terdapat dua hal yang perlu dilakukan : pertama, pengorganisasian jejaring. Kedua, mengelola interaksi jejaring. (Hasrul Hanif & Rachmad Gustomy : 2010: 62) 1. Pengorganisasian Jejaring, dalam mengelola jejaring perlu melakukan identifikasi aktor dari sumber daya yang dimiliki. Setidaknya, terdapat beberapa lapis pihak yang terlibat secara aktif dalam proses advokasi. Pengorganisasian jejaring terdapat tiga lapis, yaitu : Pertama : Manajer Jejaring, berfungsi sebagai pihak utama yang merekayasa proses berjejaring dengan mentransformasikan aksi kolektif yang ada dalam sebuah kesatuan sistemik sehingga mampu melakukan perubahan atau memberikan alternatif dalam
proses kebijakan publik dan juga manajer jejaring melakukan fungsi-fungsi politis untuk menjaga solidaritas jejaring, seperti memfasilitasi terpolanya konsensus, memutuskan “office politics’’ yang sehat dalam jejaring dan sebagainya. Kedua : Koalisi Inti, merupakan jejaring para pihak yang selama ini bukan hanya memiliki ide atau gagasan yang sama melainkan juga membuat kesepakatan nyata tentang komitmen dan visi yang sama meskipun bemempunyai peran dan fungsi yang berbeda-beda. Koalisi inti merupakan aliansi yang telah menjadi penggagas, pemerkasa, pendiri, penegak utama, sekaligus penentu dan pengendali arah, tema atau issu, strategi dan sasaran dari kegiatan advokasi. Ketiga : Simpatisan, adalah kekuatan kolektif yang lebih luas yang biasanya tidak terlibat secara aktif dalam jejaring namun memberikan basis legitimasi politik atau dukungan sosial yang sangat kuat terhadap para pihak yang terlibat dalam proses advokasi dikarenakan memiliki kehirauan (concern) dan gagasan yang sama terhadap masalah sosial dan solusi yang ditawarkan terhadap masalah sosial tersebut. 2. Mengelola Interaksi Jejaring Terdapat dua strategi penting untuk mengembangkan dan menguatkan jejaring. Dua aktivitas itu adalah : pertama, mengelola “permainan”. Kedua, melembagakan ulang jejaring. Pertama : mengelola “permainan” merupakan aktivitas pengelolaan interaksi antar pihak yang terlibat dalam proses advokasi agar mengarah pada kondisi dan capaian tertentu yang dikehendaki. Aktivitas pengelolaan “permainan” bisa diibaratkan sebagai aktivitas pengkondisian agar pihak yang terlibat bisa “bermain” sebagaimana dikehendaki.
Pengkondisian
interaksi
pihak-pihak
yang
potensial
mendukung/menghambat aktivitas advokasi bisa dilakukan melalui berbagai cara seperti berikut ini : a. Membentuk dan mempengaruhi “permainan” baru b. Menyiapkan dan menata interaksi dalam “permainan” c. Menjembatani antar aktor dalam “permainan” d. Menyediakan fasilitas dalam “permainan” e. Mediasi dalam “permainan” f. Arbitrasi dalam “permainan”
Kedua : Menata jejaring, sangat boleh jadi jejaring yang ada atau yang telah terbentuk dalam proses advokasi kemudian tidak lagi cocok dengan kebutuhan. sebagai contoh, jejaring yang dimiliki anggota-anggota DPRD pada umumnya berbasis komunalitas : ikatan keagamaan, kolektifitas masyarakat adat, paguyuban pecinta sepak bola, keanggotaan dalam suatu organisasi massa dan sebagainya. Membangun dan menata ulang jejaring merupakan lapis pengelolaan jejaring yang perlu dilakukan. Membangun atau menata ulang jejaring bukan merubah pola “permainan” namun lebih jauh merubah “arena permainan”, cara pikir pemai dan sebagainya.
Ada beberapa cara yang bisa dilakukan utuk memodifikasi jejaring
tersebut : a. Mempengaruhi kebijakan “formal” b. Mempengaruhi pola interaksi c. Mempengaruhi nilai, norma, dan persepsi kolektif d. Memobilisasi koalisi-koalisi baru
e. Mematahkan koalisi dan mendorong pembentukan koalisi baru yang lebih kondusif
2. Kombinasi Siasat Dalam strategi advokasi kombinasi siasat hal terpenting pada advokasi kebijakan adalah bagaimana membangun siasat yang tepat agar misi dari advokasi tercapai. Ada dua kategori siasat dalam melakukan advokasi yakni : a. Strategi Otak Advoaksi tidak terlepas dari penguatan siasat “otak” dalam prosesnya. Dengan melakukan kajian-kajian ilmiah melalui berbagai metode dalam riset kita hendak meyakinkan para pembuat kebijakan maupun masyarakat luas bahwa isu advokasi yang kita usung merupakan isu publik yang sesungguhnya. Demikian juga halnya dengan tawaran yang kita berikan merupakan “obat” mujarab yang di formulasikan secara tapat berdasarkan riset.
Mansour fakih menjelaskan strategi siasat “otak” biasanya berupa: Pertama: Ajukan konspep banding, seperti legal drafting, counter draft, judicial review Kedua: Lakukan pembelaan, semisal class action, legal standing Ketiga : Pengaruhi pembuat dan pelaksana kebijakan, misalnya lobi, negosiasi, mediasi, kolaborasi. Keempat : Pengaruhi pendapat umum, contohnya kampanye, siaran pers, jajak pendapat, selebaran.
b. Strategi Otot Dalam siasat “otot” strategi advokasi yang dilakukan berupa aktivitas-aktivitas seatraktif mungkin sehingga mata perhatian semua pembuat kebijakan dan masyarakat luas akan tertuju kepada kita misalnya: mengumpulkan koin yang kesannya tidak terlalu berharga sebagai sindiran atau untuk mendukung warga negara yang tidak diuntungkan oleh proses hukum yang ada untuk sekedar menunjukkan bahwa rakyat kecil jangan pernah diremehkan karena meskipun terlihat tidak berdaya namun bila berkumpul akan menghasilkan kekuatan yang tidak bisa disepelekan begitu saja oleh sang penguasa. Mansour fakih menjelaskan siasat “otot” ini berupa strategi untuk melancarkan tekanan. Cara-cara yang dipilih bisa berupa demonstrasi, mogok massal, boikot pembangkangan sipil, perlawanan diam-diam dan aksi massa lainnya.
E. Metode Penelitian 1. Jenis penelitian Penelitian tentang advokasi kebijakan civil society organization oleh Rifka Annisa tentang strategi advokasi kebijakan perlindungan perempuan di Yogyakarta merupakan penelitian kualitatif dengan
metode deskriptif, yang dimaksud dengan
metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu obyek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran, ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifatsifat serta hubungan antara fenomena yang diselidiki.6
6
Moh. Nazir, Metode Penelitian, Galia Indonesia, 2005, hal 54
2. Lokasi penelitian Penelitian ini bertempatkan di D.I Yogyakarta.
3. Jenis data Data adalah segala keterangan atau informasi mengenai segala hal yang berkaitan dengan tujuan penelitian7. Data yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang bersumber dari obyek yang diteliti (data langsung) yang diperoleh melalui wawancara langsung dari sumber yang berkaitan. Data sekunder yaitu data yang tersusun dalam bentuk dokumen-dokumen (data tidak langsung) melalui buku-buku atau referensi yang berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti.8 Adapun bentuk dokumentasinya adalah berupa draft kebijakan, buku-buku yang berkaitan langsung dengan objek yang akan diteliti, seperti perjalanan Rifka Annisa dan langkah-langkan Rifka Annisa dalam advokasi kebijakan publik.
4. Unit Analisa Data Sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, maka penulis akan melalukan kegiatan atau menyusun unit analisa datanya pada pihak berkaitan langsung serta dapat mewakili untuk dijadikan sumber data yang diperlukan. Adapun yang menjadi unit analisa data adalah pengurus Rifka Annisa pada bidang Divisi Pengorganisasian Masyarakat dan Advokasi (DPMA).
7
Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1987. hal 22 8 Sumardi Suryabrata, Metode penelitian, Jakarta : Rajawali Grapindo, 1995
5. Teknik Pengumpulan Data Adapun teknik pengumpulan data yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Wawancara Teknik ini merupakan proses mendapatkan informasi dengan cara mewawancarai dan terlibat secara langsung terhadap responden dengan sistematis serta berlandaskan pada tujuan penelitian. Data yang diperoleh dari wawancara ini dikelompokkan sebagai data primer. Adapun sumber yang akan di wawancarai adalah Divisi Pengorganisasian Masyarakat dan Advokasi (DPMA), adapun sumber langsung yang dimaksud adalah individu-individu yang berkompeten dibidangnya. Berikut adalah nama-nama yang akan diwawancarai : Ketua DPMA : Suharti, Staf DPMA : Muhammad Tantowi, Asih Nuryanti, dan Norma.
2. Teknik Dokumentasi Dengan teknik ini, peneliti mengumpulkan data yang berupa buku-buku, arsip, website, dan catatan-catatan lain lainnya yang berhubungan dengan penelitian. Data yang diperoleh dari dokumentasi ini diklasifikasikan ke dalam data sekunder. 6. Teknik Analisa Data Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisa data kualitatif. Sehingga analisa tersebut berdasarkan kemampuan nalar peneliti dalam menghubungkan fakta, dan informasi yang ada. penelitian kualitatif menggunakan
metode kualitatif yaitu, wawancaa atau penelaahan dokumen. Metode kualitatif ini di gunakan karena beberapa pertimbangan. 1. Menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah apabila berhadapan dengan keadaan jamak. 2.
Metode ini menyajikan secara langsung hakekat hubungan antara peneliti dan responden.
3. Metode ini lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama terhadap pola-pola nilai yang dihadapi.9
F. Defenisi Konsepsional Agar
tidak
terdapat
kekeliruan
dalam
memahami,
mengartikan
dan
mendefenisikan konsep-konsep dalam penelitian ini, Maka perlu adanya penegasan atas batasan-batasan konsep yang akan digunakan oleh peneliti. Konsep-kensep tersebut antara lain sebagai berikut : 1. Civil Society Organization Organisasi masyarakat sipil adalah suatu gerakan organisasi yang secara asosiasional tanpa suatu tendensi berada pada posisi dimana mampunyai tanggung jawab secara multi dimensional dalam koridor pemerintah dan bernegara dengan prasyarat tanpa tekanan dan paksaan dari negara. 2. Advokasi Advokasi adalah metode yang di gunakan untuk mencapai tujuan tertentu secara sistematis dan terorganisir untuk mempengaruhi terjadinya perubahan.
9
PROF. DR. Lexy J. Moleong, M.A, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2008 hal 9-10
3. Strategi Advokasi Strataegi Advokasi adalah cara yang digunakan dalam melakukan advokasi dan juga merupakan tahapan untuk mewujudkan tujuan advokasi, strategi memiliki hubungan langsung dengan sumber daya advokasi. G. Defenisi Operasional Untuk lebih mengarahkan pemahaman dalam menelusuri permasalahan yang telah dirumuskan berdasarkan uraian pada penjelasan sebelumnya berikut akan dikemukakan operasionalisasi dalam penelitian ini sebagai berkut : 1. Untuk mengetahui Strategi Rifka Annisa sebagai organisasi masyarakat sipil dalam advokasi kebijakan perlindungan perempuan di Yogyakarta dapat di ukur melalui : Internal : a. Profil Rifka Annisa b. Strategi Advokasi Rifka Annisa : issu advokasi sebagai kombinasi siasat kemudian membentuk tim advokasi, pemetaan stakeholder dan kerjasama dengan pemerintah sebagai konsolidasi aksi kolektif. Eksternal : a. Dinamika Advokasi Kebijakan Perlindungan Perempuan b. Sejauh mana upaya Rifka Annisa dalam advokasi kebijakan perlindungan perempuan Yogyakarta 2.
Kemampuan Rifka Annisa sebagai organisasi masyarakat sipil dalam advokasi
kebijakan perempuan di Yogyakarta dapat di lihat dari : a. Hambatan bagi Rifka Annisa dalam Mengadvokasi Kebijakan b. Analisis upaya dan penghambat Rifka Annisa dalam mengadvokasi kebijakan
H. Sistematika Penulisan Untuk menciptakan alur pemikiran yang jelas sehingga dapat ditarik suatu ketertarikan hubungan dari keseluruhan isi tesis ini, maka didalam penulisannya di bagi dalam lima bab. Bab I dibahas latar belakang masalah, rumusan masalah., tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teori dan metode penelitian. Pada sub bab metode akan diuraikan metode penelitian yang digunakan untuk membahas permasalahan dalam tulisan ini yakni akan menguraikan jenis penelitian lokasi penelitian, jenis data, unit analisa data, dan teknik analisa data. Bab II Gerakan perempuan dan Rifka Annisa dalam advokasi kebijakan perlindungan perempuan. Pokok bahasan sebagai berikut : (a). Pengantar (b). Konteks gerakan perempuan di Yogyakarta, (c ). Profil Rifka annisa dan (d). Fakta tekstual Rifka Annisa dalam advokasi kebijakan perlindungan perempuan di Yogyakarta Bab III Strategi advokasi kebijakan. Pokok bahasan sebagai berikut : (a). Pengantar (b). Strategi advokasi Rifka Annisa dalam mengadvokasi kebijakan peraturan walikota. (c). Pendekatan mazhab : Kualitas sumber daya politik, dan (d). Strategi advokasi Rifka Annisa : Konsolidasi aksi kolektif dan kombinasi siasat Bab IV Analisa hambatan advokasi kebijakan. Pokok bahasan sebagai berikut: (a). Pengantar (b). Analisa hambatan advokasi kebijakan perlindungan perempuan dan (c). Rifka Annisa : Advokasi kebijakan perlindungan vis a vis kepentingan politik Bab V (a). Kesimpulan. Rifka Annisa : Strategi advokasi dan kompleksitas hambatan advokasi kebijakan perlindungan perempuan