BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Berbicara mengenai birokrasi menjadi sebuah topik yang tidak ada habisnya menjadi bahan atau topik perbincangan di berbagai kalangan di Indonesia. Perspektif mengenai birokrasi di indonesia bagi sebagian masyarakat hampir selalu dipandang sebagai sebuah sistem yang berbelit belit, tidak efisien, kurang memihak pada masyarakat kecil, lebih banyak mengatur daripada memberikan pelayanan pada masyarakat. Birokrasi pemerintahan di Indonesia mulai menampakkan perubahan yang cukup signifikan ketika muncul sebuah era desentralisasi yang mampu memberikan perubahan sistem terkait dengan pembagian pelimpahan kewenangan sesuai dengan undang-undang Nomor 32 tahun 2004. Keberadaan desentralisasi tersebut tidak lepas dengan kebijakan pemberian pelayanan pemerintah pada masyarakat yang lebih efektif dan efisien. Pemberian pelayanan tersebut terkait dalam pelayanan publik maupun pelayanan yang bersifat privat. Salah satu urusan privat yang menjadi kebutuhan masyarakat yaitu masalah tentang pernikahan. Secara regulatif permasalahan perkawinan itu sudah menjadi tanggug jawab atau wewenang dari pemerintah sesuai dengan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974. Dalam perjalanan era moderisasi saat ini, hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat terkait dengan kebutuhan hidupnya peran pemerintah menjadi saat krusial. Berbagai sendi kehidupan masyarakat dewasa ini tidak luput dari perhatian dan campur tangan pemerintah baik pusat maupun daerah. Mulai dari aspek eksternal seperti sosial, ekonomi, maupun politik hingga aspek internal masyarakat, tak terkecuali dengan sistem pernikahan dan perkawinan di tataran
masyarakat. Sejak era orde baru hingga sekarang kebijakan mengenai sistem perkawinan di Indonesia masih menjadi urusan dan campur tangan pemeritah. Mulai dari prosedur hingga tata cara pernikahan dan perkawinan pemerintah memiliki sistem yang harus dipatuhi dan dijalankan oleh masyarakat ketika akan memasuki jenjang pernikahan sesuai dengan undang-undang No. 1 Tahun 1974. Undang-undang tersebut digadang-gadang sebagai pedoman pemerintah untuk mengatur warga masyarakatnya dalam urusan pernikahan tersebut ternyata pada realitanya masih dirasakan belum mampu berjalan secara maksimal. Oleh karena itu keberadaan UU yang diharapkan mampu menjadi koridor bagi pelaksanaan sistem pernikahan di Indonesia tersebut pada akhirnya diperkuat dengan Keputusan Menteri No. 417 Tahun 2004. Kehadiran Kepmen tersebut diharapkan dapat lebih aplikatif dalam menunjang keberfungsian UU perkawinan tersebut. Dalam Kepmen tersebut menyatakan dan tertuang dalam bentuk anggaran dasar BP4 bertujuan mempertinggi mutu perkawinan guna mewujudkan keluarga sakinah menurut ajaran islam untuk mencapai Indonesia yang maju, mandiri, bahagia, sejahtera, materiil dan spiritual. Keberadaan badan ini merupakan rangkaian yang tak dapat terpisahkan dalam sistem pernikahan dan perkawinan di Idonesia. Oleh karena itu keberadaan badan ini menjadi sangat penting ketika sebuah sistem pernikahan dan perkawinan ini berjalan. Sebagai pemangku utama dalam hal memberikan bimbingan, penasihatan, dan juga mediasi keberadaan badan BP4 ini memiliki kedudukan di bawah KUA dan berada dalam satu payung hukum dengan instansi KUA tersebut. Dalam perkembangannya keberadaan BP4 ini memiliki tugas utama sesuai Keputusan Menteri Agama Nomor 85 tahun 1961, diakui bahwa BP4 adalah satu-satunya Badan yang berusaha dibidang Penasehatan Perkawinan dan Pengurangan Perceraian untuk meningkatkan
kualitas perkawinan. Hal ini didasarkan pada penghargaan terhadap perkawinan terus menerus merosot dikarenakan gaya hidup bebas. Bebas untuk berhubungan, fenomena kawin cerai, dan pengaruh budaya barat yang kesemuannya itu menjadi tantangan tersendiri bagi eksistensi peran BP4 ini. Secara eksplisit peran BP4 ini memang sudah diatur dan secara legalitas memiliki dasar hukum yang cukup kuat dan keberadaannya sudah diakui. Namun dalam realita yang terjadi pada era modernisasi saat ini keberadaan BP4 seakan-akan “mati suri” tanpa ada eksistensi yang jelas. Padahal keberadaan BP4 ini merupakan suatu rangkaian yang tak dapat dipisahkan dengan sistem perkawinan yang sejak dahulu sudah menjadi urusan pemerintah melalui instansi KUA dan Pengadilan Agama. Permasalahan mengenai keterkaitan peran BP4 dan instansi lainnya terjadi dalam hal proses mediasi dimana tahapan ini secara mendasar merupakan tugas/peran utama dari BP4. Namun pada kenyataannya dalam menjalankan peran tersebut peran BP4 ini seakan-akan meredup dibandingkan dengan KUA yang sudah ada sejak awal pembentukannya dan secara hirarki berada di atas BP4 ini. Peran BP4 ini dapat dianggap sebagai pelengkap ketika sebuah sistem sudah dihandel oleh instansi lain yang memiliki power lebih kuat. Hal ini ternyata juga terjadi di salah satu wilayah Kota Yogyakarta tepatnya di kabupaten Sleman, yaitu Kecamatan Seyegan. Dalam konteks ini kecamatan yang berada di sebelah utara dari pusat kota Yogyakarta ini dan tergolong wilayah transisi antara kota dan desa, ternyata permasalahan perkawinan juga masih menyelimuti dan menjadi fokus perhatian bagi pemerintah setempat. Hal ini terlihat sesuai dengan terjadinya trend peningkatan angka perceraian dari tahun ke tahun seperti dapat dilihat pada data Nikah Cerai dari KUA Kecamatan Seyegan dari tahun 2011 sampai dengan tahun 2012 berikut :
Tabel 1.1 Data Nikah dan Cerai di wilayah Kecamatan Seyegan Tahun 2011-2012 No 1
2
Tahun 2011
2012
Bulan
Nikah
Cerai
Prosentase
Januari- Juni
190
2
1,05
Juli – Desember
161
5
3,1
Januari – Juni
212
9
4,25
Juli- Desember
146
10
6,85
Sumber : Dokumen Nikah & Cerai KUA Kecamatan Seyegan (2011-2012)
Meningkatnya angka perceraian tersebut menunjukan indikasi bahwa keharmonisan dalam kehidupan rumah tangga masih belum terwujud sepenuhnya. Selain itu juga merupakan indikasi bahwa banyak pasangan suami istri yang mengalami berbagai persoalan yang menyangkut hubungan yang kurang cocok dalam berbagai aspek kehidupan keluarga. Hal itu juga menunjukkan adanya kekurangsiapan calon pasangan suami istri yang akan menikah, khususnya bagi kalangan muda atau kalangan yang menikah di usia dini. Seringkali pernikahan di usia dini terjadi bukan karena keinginan yang direncanakan namun seringkali karena keterpaksaan. Perceraian tidak hanya dialami oleh pasangan yang menikah di usia dini, bahkan pasangan yang menikah dengan dasar dan persiapan yang kuat pun di tengah bahtera kehidupan rumah tangga terkadang timbul masalah-masalah yang bisa menggoyahkan rumah tangga. Rendahnya moralitas dan perilaku sosial yang menyimpang dari nilai-nilai ajaran agama, budi pekerti luhur serta norma yang berlaku di masyarakat adalah merupakan tantangan dari pembangunan agama yang merupakan salah satu pilar bekal kehidupan berkeluarga. Banyak
faktor-faktor yang menyebabkan perceraian itu terjadi. Dari mulai faktor ekonomi, faktor sosial, faktor biologis, faktor umur, dan masih banyak lagi faktor-faktor yang dapat mempengaruhi keharmonisan rumah tangga. Penelitian ini lebih melihat dari perspektif peran lembaga pemerintah yang berkapsitas menangani permasalahan tersebut. Dan dalam hal ini karna BP.4 yang merupakan lembaga terdepan yang dibentuk untuk mengatasi problem-problem perkawinan, penanggulangan perceraian. Bahwa setiap suami istri yang akan mengajukan perceraian ke pengadilan agama harus terlebih dahulu datang kekantor penasihat perkawinan untuk sedapat mungkin dirukunkan melalui mediasi dari berbagai pihak yang bersangkutan dengan harapan dapat diselesaikan perselisihan perkawinan tersebut, sebelum gugatan perceraian tersebut diajukan ke Pengadilan Agama. Seperti penjelasan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 mulai pasal 15 sampai 18, yang dijelaskan oleh Lili Rasjidi (1983: 24-25) bahwa tatacara perceraian dengan cara talak adalah sebagai berikut :Seorang suami yang hendak menceraikan atau mentalak istrinya, hendaknya mebenritahukan maksutnya kepada Pengadilan Agama dimana dia bertempat tinggal disertai alasan-alasanya dan meminta melakukan siding untuk keperluan tersebut: 1. Pengadilan akan mempelajari isi surat pemberitahuan itu dan dalam waktu selambatlambatnya 30 hari semenjak penerimaan pemberitahuan, akan memanggil kedua belah pihak untuk didengar dan dimintakan penjelasannya tentang pemberitahuan perceraian itu. 2. Pertama-tama Pengadilan Agama akan berusaha mendamaikan kedua belah pihak dengan meminta bantuan BP.4.
3. Jika usaha itu mengalami kegagalan maka Pengadilan Agama akan bersidang lagi untuk mendengarkan pengucapan talak. Pengucapan talak ini harus disaksikan oleh istrinya atau kuasanya setelah itu suami menandatangani surat ikrar talak itu. Maka dari itu sebagai lembaga pemerintah yang terdepan dalam upaya penanganan perceraian, peran BP.4 sangatlah vital dalam rangka merukunkan kembali kedua belah pihak tentunya supaya pasangan sumai istri dapat berdamai. Tetapi tidak dipungkiri bahwa tidak semua pasangan suami istri yang melalui proses mediasi dengan BP.4 itu lantas dapat berdamai, banyak juga perselisihan yang tidak dapat diselesaikan oleh BP.4 termasuk dikecamatan Seyegan. Dari tingginya angka perceraian di Kecamatan Seyegan tersebut, menjadi tugas yang berat bagi Badan Penasihatan Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan. (BP4) Kecamatan Seyegan dalam upaya menekan angka perceraian. BP4 yang merupakan pengemban tugas dan mitra kerja Departemen Agama dalam mewujudkan keluarga sakinah. Maka dari itu menjadi tugas yang berat bagi Bp4 Kecamatan Seyegan, yang mana terdapat kenyataan bahwa angka perceraian di wilayah Kecamatan Seyegan cenderung mengalami peningkatan. Keberadaan BP.4 di tingkat kecamatan merupakan mitra kerja dari Kantor Urusan Agama (KUA) kecamatan dan sekaligus Kepala KUA merangkap jabatan sebagai Ketua Bp4 Kecamatan, dimana BP.4 berada merupakan institusi pertama tempat untuk mengurus perceraian sehingga peran BP.4 dalam upaya mencegah terjadinya perceraian sangatlah diharapkan. Dari kenyataan dan fenomena tersebut diatas peneliti tertarik untuk melakukan kajian lebih dalam tentang peranan BP4 Kecamatan Seyegan dalam upaya menekan angka perceraian dan menunjukkan eksistensinya di wilayah Kecamatan Seyegan.
1.2.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana Peran Lembaga Negara Dalam Urusan Privat: Studi Kasus Peran BP4 Dalam Usaha Pelestarian Perkawinan Di Kecamatan Seyegan?” 1.3.Tujuan Penelitian Berdasarkan dari permasalahan diatas, maka tujuan penulisan penelitian ini adalah “Mengetahui Peran Lembaga Negara Dalam Urusan Privat: Studi Kasus Peran BP4 Dalam Usaha Pelestarian Perkawinan Di Kecamatan Seyegan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta.”
1.4.Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dengan adanya penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat bagi institusi BP.4 Kecamatan Seyegan dalam perannya untuk menekan angka perceraian di Kecamatan Seyegan. Diharapkan ada hal-hal yang dapat diambil dari hasil penelitian untuk lebih mengefektifkan dan lebih memberdayakan. 2. Untuk bahan referensi dan menambah kepustakaan yang dapat menjadi sumber inspirasi dan penelitian lebih lanjut.