BAB I PENDAHULUAN
1.1. LatarBelakang Pariwisata yang dipandang sebagai industri multidimensi, memiliki karakteristik fisik, sosial, budaya, ekonomi dan politik, merupakan industri terbesar dan tumbuh paling cepat di dunia saat ini. Menurut World Travel dan Tourism Council (WTTC), pariwisata adalah industri terbesar di dunia menghasilkan 12% dari Produk Nasional Bruto global dan mempekerjakan sekitar 258 juta orang di seluruh dunia (WTTC, 2011). Hal ini diperkuat oleh pendapat yang mengatakan bahwa pariwisata telah dikembangkan menjadi salah satu sektor industri di dunia yang paling penting, dan tumbuh dua kali lebih cepat dalam 30 tahun terakhir (Budeanu dalam Sonak, 2004). Dalam kurun waktu yang sama, kepariwisataan nasional telah menunjukkan perkembangan yang luar biasa. Sektor pariwisata telah tumbuh menjadi suatu industri yang penting dan dapat diandalkan dalam menjadi pilar perekonomian bangsa. Perolehan devisa negara dari sektor pariwisata pada tahun 2011 mencapai angka 8,5 miliar dolar AS atau sekitar 75 triliun rupiah. Angka ini meningkat 11,8% dibandingkan dengan perolehan di tahun 2010 sekitar 7,6 milliar dolar AS (Menparekraf, 2011). Peningkatan ini menempatkan sumbangan sektor pariwisata pada tahun 2011 berada di posisi lima penyumbang devisa nagara. Pariwisata dan lingkungan akan saling mempengaruhi tergantung dari bagaimana keduanya saling berproses. Pariwisata adalah suatu industri yang
1
2
kelangsungan hidupnya sangat ditentukan oleh baik buruknya lingkungan (Wall, 2006). Pesatnya pertumbuhan pasar global, termasuk diantaranya pariwisata, telah diikuti dengan peningkatan ketidakseimbangan dan kerusakan lingkungan di seluruh dunia (Borghesi, dalam Sonak 2004). Bali
sebagai
barometer
perkembangan pariwisata nasional,
juga
mengalami perkembangan kepariwisataan yang pesat. Perkembangan pariwisata di Provinsi Bali ini terus meningkat, yang ditandai antara lain oleh arus kunjungan wisatawan mancanegara dan jumlah akomodasi. Jumlah wisatawan mancanegara ke Bali pada Bulan Januari sampai dengan Desember tahun 2012 mencapai 8,04 juta wisatawan atau naik 5,16 persen dibandingkan dengan kunjungan wisatawan mancanegara pada periode yang sama tahun sebelumnya, yang berjumlah 7,65 juta wisatawan (BPS, 2013). Pada realitasnya, pertumbuhan investasi pariwisata terlihat dalam perubahan bentang lahan Pulau Bali meningkat secara drastis. Daerah pesisir, persawahan, daerah bantaran sungai, perbukitan dan pegunungan bahkan hutan yang berfungsi sebagai daerah resapan air pun tidak lepas dari sasaran lokasi pembangunan fasilitas pariwisata. Perubahan fungsi-fungsi lahan yang sangat pesat, bukan saja menjadi ancaman serius terhadap eksistensi para petani yang sejak lama bergantung pada lahan pertanian sawah, tetapi juga mengakibatkan perubahan struktur pekerjaan yang rentan menciptakan masalah pengangguran. Pesatnya
perkembangan
pariwisata
di
daerah
Bali,
menjadikan
perkembangan sarana akomodasi juga mengalami peningkatan. Sampai dengan tahun 2012, jumlah kamar hotel berbintang, hotel non bintang dan akomodasi
3
lainnya
yang tersedia di Bali sudah mencapai 48.537 kamar. Jumlah ini
meningkat sekitar 4,3 persen dibandingkan pada tahun sebelumnya yang jumlahnya 46.363 kamar. Di Kabupaten Badung, pada tahun 2012 jumlah kamar mencapai 27.725 kamar atau sebesar 53% dari keseluruhan kamar yang ada di Bali. Banyaknya jumlah kamar yang terdapat di Kabupaten Badung tidak terlepas dari adanya tiga kawasan pariwisata yang sudah berkembang yaitu Kawasan Nusa Dua, Kawasan Tuban dan Kawasan Kuta. Namun di balik perkembangan kuantitatif yang cukup positif tersebut, Provinsi Bali sebagai destinasi pariwisata, menyimpan persoalan yang cukup serius, terutama dalam aspek degradasi lingkungan alam dan kehidupan sosial budaya masyarakat Bali. Keberadaan pariwisata yang di satu sisi, memang dapat memperkuat solidaritas sosial masyarakat adat dengan memanfaatkan peluang dari pariwisata guna memperkuat pertahanan diri ke dalam. Pada sisi lain, keberadaan pariwisata menyebabkan ancaman degradasi lingkungan Subak dengan pengambilalihan lahan persawahan untuk fasilitas pariwisata. Pariwisata adalah industri yang dalam operasionalnya membutuhkan sumberdaya
dan
sekaligus
menghasilkan
limbah.
Akan
tetapi,
dalam
membutuhkan sumberdaya, pariwisata cenderung memperebutkan sumberdaya yang langka dan sering menjadi pemenang (Wall, 2006). Hal ini sering mengakibatkan ketidakseimbangan dalam pemanfaatan sumberdaya antara kebutuhan pariwisata dengan sektor lainnya. Pada akhirnya kualitas sumberdaya akan rusak dan lingkungan secara umum menjadi menurun pula kualitasnya.
4
Perkembangan pembangunan pariwisata yang dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan diantaranya adalah dampak pembangunan fasilitas pariwisata, dampak penggunaan alat transportasi, dan dampak pengoperasian industri pariwisata (Richardson dan Fluker, 2004). Ekspansi pembangunan infrastruktur pariwisata (hotel, villa, bungalow, restoran, pertokoan, lapangan golf, dan sebagainya) yang demikian cepat mengakibatkan penyempitan luas lahan pertanian secara drastis. Studi lainnya menemukan bahwa setiap tahun lahan pertanian Bali berkurang hingga 1.000 hektar (Yayasan Wisnu, 2001). Penelitian JICA (2005), memperkirakan selama kurun waktu 6 tahun (1997-2003) luas sawah di Bali telah berkurang dari 87.850 hektar menjadi 82.644 hektar. Artinya, laju alih fungsi lahan persawahan mencapai 870 hektar (1,0%) per tahun. Data ini memberikan makna tentang terancamnya keberlanjutan subak, yang merupakan organisasi tradisional petani Bali yang telah terkenal keseluruh dunia. Dengan semakin menyusutnya lahan persawahan, menghilang pula berbagai manfaat eksternalitas positif yang muncul dari kegiatan budidaya padi, khususnya padi sawah beririgasi. Fenomena ini memberikan pemahaman soal keberadaan sumberdaya alam Bali yang semakin terancam oleh pertumbuhan prasarana dan sarana pariwisata. Konsekuensi logis yang mudah diprediksi adalah penurunan kemampuan swasembada pangan dan marjinalisasi para petani. Hal ini dikhawatirkan akan mengancam keberlanjutan pariwisata itu sendiri, karena sektor pertanian itu sendiri merupakan salah satu daya tarik Pulau Bali. Perubahan penggunaan lahan dapat mempengaruhi besar kecilnya air yang meresap ke dalam tanah dan yang mengalir di permukaan, sehingga
5
menentukan besarnya ketersediaan air di suatu daerah. Salah satu persoalan krusial dalam perkembangan pariwisata Bali adalah perubahan daya dukung lingkungan, terutama dalam penyediaan air bersih. Daerah pedesaan yang dulunya nyaris tidak pernah mengalami kekeringan sumber air, belakangan harus menghadapi krisis yang tidak tergolong ringan. Hal ini terkait dengan semakin tingginya intensitas eksploitasi sumberdaya air akibat pembangunan infrastruktur dan fasilitas pariwisata. Besarnya volume air yang dikonsumsi oleh akomodasi pariwisata di Kabupaten Badung, yakni 1.500 liter per kamar per hari, jauh lebih besar daripada kebutuhan air bersih yang hanya 120 liter per kapita (Yayasan Wisnu, 2001). Bahkan hotel-hotel di kawasan pariwisata Ubud, khususnya di Desa Kadewatan membutuhkan air 2.500 liter per kamar per hari (Sunarta, 1994). Hal ini menunjukan bahwa, kebutuhan air untuk pariwisata bervariasi, sangat tergantung dari jenis akomodasinya. Hotel, villa, homestay, atau cottage akan membutuhkan air yang berbeda-beda dalam operasionalnya. Secara umum, status daya dukung air Provinsi Bali adalah defisit (Bappeda, 2010). Status tersebut merupakan akumulasi dari faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi besarnya ketersediaan air dan tingkat kebutuhan air. Apabila rata-rata jumlah wisatawan asing maupun domestik yang datang di Provinsi Bali dalam setahun dimasukkan sebagai salah faktor yang mempengaruhi status daya dukung air, maka defisit air Bali menjadi semakin buruk (Bappeda, 2010; Sunarta, 2010). Terdapat lima
kabupaten yang memiliki status daya
dukung air defisit yaitu; Kabupaten Buleleng, Kabupaten Gianyar, Kabupaten Badung, Kabupaten Klungkung, dan Kota Denpasar, sedangkan 4 kabupaten lain,
6
yaitu
Kabupaten Tabanan, Kabupaten Bangli, Kabupaten Jembrana, dan
Kabupaten Karangasem status daya dukung airnya surplus. Berbagai fenomena di atas terjadi akibat perkembangan pariwisata Bali yang lebih cenderung mengarah kepada menguatnya bentuk pariwisata massal (mass tourism). Tidak hanya jumlah wisatawan, tetapi juga penyediaan infrastuktur pariwisata, perilaku wisatawan, serta aktivitas yang dilakukan oleh wisatawan di Bali semakin merepresentasikan sosok pariwisata massal. Faktor kebijakan pemerintah di dalam menempatkan Bali sebagai destinasi pariwisata andalan memainkan peran penting dalam hal ini. Pemerintah sebagai lokomotif penggerak pembangunan kepariwisataan selalu menargetkan jumlah kunjungan wisatawan sebanyak-banyaknya sebagai cerminan kesuksesan pembangunan pariwisata. Fasilitas akomodasi, baik kategori hotel berbintang dan non-bintang maupun resort-resort mewah yang dimiliki pemodal asing terus dibangun tanpa memperhatikan daya dukung Bali. Hal ini tercermin dari makin meningkatnya nilai investasi di sektor pariwisata di Bali. Badan Penanaman Modal Provinsi (BPMP) Provinsi Bali mencatat bahwa dari Rp 7 triliun investasi pada tahun 2010, sebanyak 80 persen diantaranya masuk untuk sektor pariwisata. Data lain menunjukkan bahwa pada tahun 2009 tercatat jumlah kamar hotel bintang sebanyak 18.684 unit ditambah dengan 21.775 unit kamar hotel non-bintang (BPS, 2011). Sementara jumlah kamar hotel di Bali, baik berbintang maupun nonbintang, pada tahun 2010 sudah mencapai 45.557 kamar. Adanya peristiwa serangan teroris telah menimbulkan ketakutan bagi sebagian
wisatawan
sehingga
mengakibatkan
mereka
cenderung
untuk
7
menghindari tempat-tempat terkonsentrasinya wisatawan asing. Hal tersebut juga tercermin dari pemilihan jenis akomodasi yang cenderung mengarah pada jenis akomodasi yang lebih tenang, aman dan private.
Villa adalah salah satu
akomodasi yang dijadikan alternatif sebagai sarana akomodasi pariwisata yang pada perkembangannya menjadi suatu sarana akomodasi pariwisata yang banyak diminati oleh wisatawan. Keberadaan villa menjadi suatu fenomena dalam industri pariwisata di Bali pada umumnya, dan khususnya Kabupaten Badung. Perkembangan jumlah vila di Kabupaten Badung sampai tahun 2005 tidak diketahui secara jelas karena belum adanya lembaga pemerintah maupun non pemerintah yang melakukan pendataan mengenai keberadaan vila.
Data yang cukup lengkap mengenai
keberadaan vila di Kabupaten Badung baru diketahui pada tahun 2006 yang diperoleh berdasarkan penelitian yang dilakukan tim Tourism Field Study (TFS) Sekolah Tinggi Pariwisata, Nusa Dua Bali.
Berdasarkan hasil sensus yang
dilakukan oleh tim tersebut diketahui bahwa jumlah vila yang terdapat di Kabupaten Badung mencapai 642 unit vila. Pola pemanfaatan dari 642 unit vila tersebut adalah (1) bersifat komersil sebanyak 345 unit atau 53,7%; (2) bersifat pribadi dan komersil sebanyak 137 unit vila atau 21,4%; dan (3) bersifat pribadi sebanyak 160 unit atau 24,9 % (Tim TFS, 2006). Berdasarkan data jumlah vila di Kabupaten Badung pada tahun 2006 dan tahun 2007 dapat diketahui bahwa terjadi peningkatan jumlah vila sebanyak 49 unit atau sebesar 7,63 %.
Pada tahun 2007, peningkatan jumlah vila yang
diperuntukkan sebagai akomodasi lainnya mencapai 8,75% atau lebih tinggi
8
1,49% dari peningkatan jumlah vila yang diperuntukkan sebagai sarana akomodasi pariwisata. Sampai tahun 2008, di Kabupaten Badung jumlah vila yang terdata adalah sebanyak 711 unit villa dengan fungsi sebagai sarana akomodasi pariwisata sebanyak 529 unit vila dan sebanyak 182 unit vila merupakan akomodasi lainnya seperti rumah pribadi atau rumah sewa. Pada tahun 2008 telah terjadi peningkatan jumlah vila sebanyak 2,89% dibandingkan tahun 2007, dengan persebaran pembangunan vila di lima kecamatan di Kabupaten Badung kecuali Kecamatan Petang, dengan jumlah persebaran vila terbanyak terdapat di Kecamatan Kuta Utara. Kondisi ini menunjukkan bahwa animo masyarakat dan investor terutama para pelaku pariwisata untuk menjadikan bangunan vila sebagai sarana akomodasi pariwisata masih sangat tinggi. Pembangunan vila di Kabupaten Badung telah menjadi suatu trend yang lebih mengarah kepada industri pariwisata. Perkembangan bangunan villa sebagai sarana akomodasi pariwisata di Bali sepertinya dapat dijadikan sebagai salah satu contoh dari perkembangan industri pariwisata yang tidak direncanakan sebelumnya. Hal tersebut dapat dilihat dari perkembangannya yang begitu cepat seperti tanpa kendali.
Keberadaan vila
memiliki beberapa potensi yang mendapat perhatian cukup luas dari berbagai kalangan, baik itu potensi yang bersifat positif ataupun negatif, seperti: pertumbuhan fisik, peruntukan, pelanggaran perijinan, perebutan dan eksploitasi sumberdaya, pencemaran dan lain sebagainya. Selain manfaat ekonomi, pembangunan sarana pariwisata telah menjadi suatu permasalahan yang cukup serius bagi Bali. Selama sepuluh tahun terakhir
9
ini pembangunan fasilitas kepariwisataan terutama hotel dan restoran terlalu dipacu tanpa memperhatikan kebutuhan akan sarana akomodasi dan ketersediaan serta kemampuan akan sumberdaya alam yang dimiliki, yang pada akhirnya menyebabkan over supply yang telah mengarah pada perusakan dan penurunan kemampuan
sumberdaya
alam
tersebut.
Dengan
dasar
pertimbangan
memperhatikan jumlah kamar akomodasi yang tersedia, Pemerintah Propinsi Bali mengeluarkan Surat Edaran Gubernur Bali No.570/1124/BPKMD mengenai penghentian sementara untuk bidang usaha tertentu (termasuk hotel berbintang), serta Moratorium Gubernur Bali No.556.2/8702/ Binpproda mengenai perihal pembatasan pembangunan hotel baru di Kabupaten Badung dan Kota Denpasar. Walaupun demikian, para investor masih menganggap wilayah Kabupaten Badung sebagai tempat yang ideal untuk berinvestasi, khususnya untuk akomodasi pariwisata karena memiliki sarana dan prasarana penunjang yang cukup memadai dibandingkan daerah lainnya.
Dengan adanya kondisi ini
menjadikan para investor mencari celah untuk dapat menyiasati kebijakan tersebut, yaitu dengan membuat sarana akomodasi pariwisata yang berbeda dari yang ada sebelumnya, namun memiliki fasilitas dan pelayanan seperti layaknya hotel berbintang maupun hotel melati. Perkembangan jenis akomodasi seperti vila tumbuh dengan cepat terutama di Kecamatan Kuta, terlebih lagi di Kecamatan Kuta Utara. Dilihat dari topografi dan pemanfaatannya, sebagian besar lahan di Kecamatan Kuta Utara merupakan daerah landai dan lahan pertanian dengan hamparan sawah yang luas dan lokasinya yang berdekatan dengan pantai.
10
Perdesaan yang tenang dan pemandangan sawah yang menghijau, serta jauh dari kebisingan menjadi salah satu alasan wisatawan untuk menginap ataupun membangun vila di wilayah ini.
Pesatnya perkembangan akomodasi terutama
vila di wilayah ini tidaklah berdiri sendiri. Dengan meningkatnya kualitas jalan, restoran juga tumbuh dimana-mana, rumah-rumah penduduk tradisional berubah meniru design vila sehingga sulit dibedakan antara rumah penduduk yang mereka tempati sendiri, dengan rumah (villa) yang difungsikan sebagai akomodasi. Perkembangan
pembangunan
sarana
akomodasi
ini
tentu
akan
memanfaatkan lahan sawah dan membutuhkan sumberdaya air yang tidak sedikit. Studi perkembangan sawah di Bali dari tahun 1990 sampai dengan tahun 2020 mengalami penurunan yang sangat drastis, 105.705 Ha. di tahun 1990 menurun menjadi 69.965 Ha. Pada tahun 2020. Di Kabupaten Badung/Denpasar luas sawah dengan menggunakan strategi pertumbuhan yang tinggi (strategi 5) diperkirakan akan habis di tahun 2020 (Wiranatha, 2001).
Dikemukakan juga bahwa,
perbandingkan antara potensi ketersediaan air bersih dengan total kebutuhan air bersih di Kabupaten Badung/Denpasar akan minus/defisit pada tahun 2020. Hal yang paling menarik dalam penelitian tersebut adalah untuk semua strategi, mulai dari strategi dasar sampai dengan strategi dengan pertumbuhan tinggi keseimbangan air di Kabupaten Badung/Denpasar akan minus/defisit. Kondisi ini tentu saja akan sangat mempengaruhi sistem tata air dan irigasi di Kabupaten Badung. Pembangunan pariwisata beserta infrastrukturnya dapat mengakibatkan perubahan yang signifikan pada sumberdaya alam. Masalah ini sering dipersulit
11
oleh kenyataan bahwa pariwisata sering terjadi di daerah yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, sehingga menjadi salah satu pendorong utama dibalik kerusakan sumberdaya di daerah tersebut
(UNEP. 2003).
Mengingat jumlah vila yang terus berkembang di wilayah Kabupaten Badung khususnya Kecamatan Kuta Utara, tentu akan memberikan dampak terhadap kondisi lingkungan, tidak hanya terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat tetapi juga terhadap sumberdaya alam, khususnya lahan dan air. Pesatnya perkembangan usaha akomodasi di wilayah-wilayah yang ada di Kecamatan Kuta Utara selalu akan diikuti oleh sarana dan prasarana pariwisata lainnya, seperti restoran, bar, toko dan pasar modern, serta laundry. Berkembangnya usaha laundry merupakan fenomena menarik untuk mendapat perhatian. Keberadaan usaha laundry
di sebuah desa tidak hanya untuk
memenuhi kebutuhan akmodasi yang ada, tetapi juga dimanfaatkan oleh penduduk setempat. Jika perkembangan ini tidak dikontrol dengan baik ditengarai dapat menimbulkan dampak negatif terhadap potensi air. Lembaga swadaya lokal dan internasional telah mengkhawatirkan bahwa Bali akan mengalami krisis air yang serius pada tahun 2025 jika pengelolaan air tidak dijadikan prioritas (Cole, 2010). Kekhawatiran ini didasari oleh beberapa kenyataan bahwa pariwisata sangat tergantung dari kualitas dan kuantitas air yang memadai untuk dapat berfungsi dengan baik, dan dengan demikian cepat atau lambat krisis air di Bali akan menjadi krisis ekonomi dan krisis pariwisata. Fenomena inilah yang menarik untuk dikaji, untuk mengungkapkan lebih dalam tentang dampak pariwisata terhadap sumberdaya air di Kecamatan Kuta
12
Utara sebagai wilayah dengan perkembangan pariwisata yang paling pesat dibandingkan dengan empat kecamatan lainnya di Kabupaten Badung. Komponen sumberdayaair yang akan terkena dampak dari perkembangan pariwisata seperti air tanah dan air permukaan, baik secara kuantitas maupun kualitas. Komponen sumberdaya air yang tidak kalah pentingnya adalah aliran permukaan yang berpotensi mengakibatkan banjir. Disamping itu, penelitian ini
lebih jauh
dimaksudkan agar dapat diidentifikasi dampak-dampak negatif yang muncul sedini mungkin sehingga dapat diketahui oleh seluruh stakeholders pariwisata. Hasil penelitian ini juga dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam membuat perencanaan pembangunan pariwisata di Kabupaten Badung. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang diuraikan sebelumnya, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: 1.2.1. Bagaimana perkembangan usaha akomodasi di Kecamatan Kuta Utara? 1.2.2. Berapa besar daya dukung air untuk memenuhi perkembangan pariwisata di Kecamatan Kuta Utara? 1.2.3. Bagaimana dampak
yang ditimbulkan dari perkembangan usaha
akomodasi terhadap sumber daya air di Kecamatan Kuta Utara? 1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum Tujuan umum yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah mengetahui perkembangan usaha akomodasi dan menganalisis dampaknya terhadap sumber daya air di Kecamatan Kuta Utara.
13
1.3.2. Tujuan Khusus Tujuan khusus yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Menganalisis perkembangan usaha akomodasi yang terjadi di Kecamatan Kuta Utara, yang berpotensi mengakibatkan dampak terhadap sumber daya air. 2. Menganalisis besarnya daya dukung sumber daya air dalam memenuhi kebutuhan pariwisata di wilayah Kecamatan Kuta Utara. 3. Menganalisis dampak yang ditimbulkan dari perkembangan usaha akomodasi terhadap potensi aliran permukaan dan potensi air tanah baik secara kuantitas maupun kualitas. 1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat Teoritis Penelitian
ini
diharapkan
bermanfaat
bagi
pengembangan
ilmu
pengetahuan terutama dalam menganalisis dampak pembangunan fasilitas pariwisata khususnya vila dari segi lingkungan fisik di wilayah destinasi wisata. Kajian ini sangat penting artinya secara akademis dan diharapkan menjadi referensi yang berharga dalam penelitian dampak perkembangan pariwisata terhadap Sumber daya air pada suatu destinasi wisata. 1.4.2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan menjadi sumbangan pemikiran terutama kepada masyarakat lokal, pengambil keputusan dan kebijakan seperti; Bappeda, Dispenda, Dinas Pariwisata Provinsi Bali, Pemerintah Kabupaten Badung,
14
investor, dan stakeholders pariwisata yang ikut terlibat dalam perencanaan pengembangan industri kepariwisataan di Kabupaten Badung pada khususnya dan di Bali pada umumnya.