BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang “The fact that I’m not sick, but I might as well be. The fact that the only reason I was born was as a harvest crop for my sister. The Fact that even now, a major decision about me is being made, and no one’s bothered to ask the one person who most deserves it to speak her opinion.” - Anna Fitzgerald, my sister keeper (Picoult, 2005:18)
“Kematian”, sebuah kata yang cukup menakutkan bagi sebagian manusia. Kematian dapat didefinisikan sebagai saat di mana berhentinya fungsi-fungsi biologis, dan pastinya akan dialami oleh setiap makhluk hidup. Fenomena yang biasanya menyebabkan kematian di antaranya karena penyakit, umur yang sudah menua, malnutrisi, bunuh diri, pembunuhan, kelaparan, dehidrasi dan kecelakaan. Kematian telah dipandang sebagai kejadian yang menyedihkan dan memilukan. Hal ini dikarenakan adanya ikatan dan kasih sayang dari yang meninggal, atau juga berupa ketakutan akan kematian yang biasa disebut dengan nekrofobia (Kübler-Ross, 1998). Ketakutan terhadap kematian akan menggiring manusia untuk melakukan apa saja dalam upaya mengundur datangnya kematian. Seorang sejarawan Prancis, Phillipe Aries, telah melakukan riset tersendiri terkait pergeseran pandangan masyarakat dari abad 12 hingga saat ini, termasuk karakteristik dan tindakan yang dilakukannya. Dalam bukunya Western Attitudes Toward Death from the Middle Ages to the Present (1974), Aries membagi pandangan kematian menjadi empat. Keempat pandangan tersebut dibagi sesuai dengan periode waktunya yaitu Tamed
1
Death, One’s Own Death, Thy Death, and Forbidden Death. Tamed death dan one’s own death dicirikan dengan karakteristik masyarakat abad ke-12 dan sebelumnya yang masih dekat dengan hal berbau kematian. Pada periode ini, kematian masih dianggap sakral, berharga, dan mesti dipersiapkan. Pergeseran mulai muncul sejak revolusi industri memasuki modernitas. Aries menyebutnya Thy death dan Forbiden death, di mana kematian merupakan hal yang taboo diperbincangkan, ditakuti, dan berusaha disangkal. Menurut Aries masyarakat modern sejak awal abad ke-19 tergolong ke dalam kategori Forbiden Death (Aries, 1974:88). Penyakit mematikan merupakan hal yang paling ditakuti oleh masyarakat modern dewasa ini. Maraknya NGO (Non-Government Organization) atau komunitas-komunitas kesehatan
yang berdalih gerakan
antisipatif penyakit
mematikan seperti leukimia, kanker, HIV/AIDs, dan TBC, malah menjadikan masyarakat modern terus dihantui bayang-bayang kematian. Ketakutan masyarakat terhadap kematian lebih dikarenakan visualisasi-visualisasi yang hadir dalam pikiran kemudian menjelma dalam setiap tindakan. Hal ini senada dengan apa yang digambarkan oleh Curran (1975: 254) : “We can, however, get a different perspective of death by seeing it neither as a certitude nor as a price, but as a frame; that is, death frames life by completing the picture of life. The analogy of the artist comes to mind; when at last he puts the curtain around the painting, it is finished. So we forever see the painting and its final brush marks. Similarly, death is the final brush mark of life.” Kita dapat, bagaimanapun, memperoleh perbedaan persfektif kematian bukan dengan melihatnya sebagai ketentuan maupun sebagai nilai, tetapi sebagai bingkai kehidupan yang melengkapi gambaran hidup. Analogi figur yang datang pada pikiran; seperti ketika meletakkan tirai pada lukisan, itu selesai. Sehingga kita selalu melihat lukisan dan itu akhir dari bekas goresan kuas. Sama halnya, kematian yang merupakan kuas kehidupan.
2
Kutipan di atas semakin memperlihatkan bahwa ketakutan terhadap kematian lebih pada gambaran-gambaran kematian yang dihadirkan. Selain itu juga, pemberitaan di media, artikel-artikel serta semua isu terkait penyakit yang menyebabkan kematian menjadi sebuah gambaran yang menakutkan. Implikasi dari ketakutan terhadap kematian tersebut menggiring masyarakat untuk menunda bahkan menjauhi kematian. Menurut Aries, “At the end fifteenth century, we see the themes concerning death begin to take on an erotic meaning. In the oldest dance of death, death scarcely touched the living to warn him and designed him” (1974:56). (Pada akhir abad 15, kita melihat tema terhadap kematian mulai dimaknai secara erotis, kematian menyentuh hidup untuk memperingatkannya dan mendesainnya). Pernyataan Aries tersebut menunjukkan bahwa ketakutan terhadap kematian membuat diri menjadi selalu merasa terancam kemudian membentuk pandangan tersendiri yang menggiring pada tindakan penyangkalan terhadap kematian. Disatu sisi, kemajuan teknologi dan pengetahuan mengambil peran sebagai obat penawar bagi ancaman ketakutan terhadap kematian. Terdapat tindakan nirsadar yang spontan dilakukan oleh masyarakat ketika berhadapan dengan ancaman kematian. Emosi yang ekstrim akan penghindaran terhadap kematian dan tekanan emosi menjadi dominan pada abad 19 hingga saat ini. Aries menyebutkan ada dua tren sosial yang dia percaya sangat mempengaruhi pergantian sikap terhadap kematian: 1) kehadiran rumah sakit sebagai sebuah tempat untuk yang sekarat dan 2) sebuah pertumbuhan sentimen di mana kehidupan harus selalu bahagia. Pergeseran pandangan masyarakat abad ke-19 hingga saat ini terhadap kematian memunculkan
3
budaya penyangkalan kematian, kemudian didukung juga oleh perangkat-perangkat sebagai pembenaran akan pandangan tersebut. Peranan rumah sakit, dokter, psikiater, ilmu pengetahuan dan teknologi medis kemudian menjadi semakin dominatif di abad ini. Bahkan, dalam tingkatan yang paling ekstrim hak atas keputusan hidup dan mati manusia kini telah berpindah tangan di bawah paramedis. Salah satu contoh upaya manusia untuk menghindari kematian yaitu dengan teknologi kloning. Pada Tahun 1932 Aldous Huxley menulis sebuah fiksi ilmiah dengan judul Brave New world. Tulisan ini menggambarkan semua proses reproduksi manusia yang dijalankan dengan sebuah laboratorium, di mana masing-masing bayi dikloning dari sebuah induk. Awal tahun 1997, isu tersebut menjadi kenyataan dengan keberhasilan kloning mamalia dewasa (domba dolly) dan selanjutnya akan dikembangkan dengan objek manusia. Namun karena banyaknya timbul kontroversi, riset tersebut kemudian dihentikan. Pada tahun 2015, rumor mengenai
manusia
kloning
kembali
mencuat
dalam
CNN
news
yang
mempublikasikan bahwa tim peneliti medis UK telah berhasil memodifikasi embrio manusia yang pertama kalinya dalam sejarah manusia. “By the end of this century, I am absolutely confident that we will have the tools for someone with the means to use this information to change the child they can have through this process” ujar Ronald Green (2016:-), a Dartmouth College professor and author of "Babies by Design: The Ethics of Genetic Choice,"1 disadur dari CNN. 1
Sheena Mckenzia, 2016. UK Scientists Given Go-ahead to Genetically Modify Human Embryos. Dalam http://edition.cnn.com/2016/02/01/health/genetically-modified-embryos-dna-uk-scientists. Diakses tanggal 17 Februari 2016.
4
Laju perkembangan sejarah medis kini telah berubah arah. Banyak pengharapan disematkan kepada penemuan baru dengan dalih untuk menyejahterakan umat manusia dengan memproduksi kebutuhan pangan, mencegah penyakit, bahkan menghentikan datangnya kematian. Akan tetapi, teknologi ini menimbulkan permasalahan baru manakala manusia telah menjadi objek teknologi serta subjek dalam semua hukum. Isu mengenai kloning ini merupakan salah satu bentuk celebriting technology di mana teknologi ingin menjadikan manusia sebagai subjek dalam artian manusia bisa menyelesaikan hidupnya sendiri bahkan bisa mengakali kematian. Melihat fenomena pandangan kematian serta implikasinya di atas, maka pandangan kematian bisa dilihat lebih dalam lagi dengan menggunakan perspektif Michael Foucault. Berbeda dengan Aries, pendekatan genealogi Foucauldian justru menolak pencarian akan asal usul melainkan mencoba mengungkap, mengolah, dan mengidentifikasikan setiap detail serta kecelakaan yang muncul dari permulaan suatu kejadian dan peristiwa. Pendekatan ini lebih menekankan pada mekanisme formasi diskursif yang mengkontruksi dan mengontrol sebuah pandangan. Begitu halnya dengan kematian yang dianggap sebagai ancaman menakutkan merupakan praktik diskursif yang telah mempengaruhi pandangan manusia. Oleh karena terdapat praktik diskursif yang bekerja di balik pergeseran pandangan kematian, maka kematian menjadi tindakan karena memiliki efek. Efek dari kematian inilah kemudian melahirkan operasi kekuasaan di mana terdapat kepentingan-kepentingan di balik pandangan kematian. Dengan kata lain, pandangan kematian yang dikategorikan sebagai ancaman menakutkan atau forbidden death telah dimanfaatkan oleh
5
kekuasaan yang memiliki kepentingan. Melalui pendekatan kekuasaan Foucault, dapat dilihat bahwa kematian dalam hal ini menjadi instrumen kekuasaan untuk melegitimasi kepentingan tertentu. Konsep kekuasaan Foucault berbeda dengan konsep kekuasaan pemikiran lainnya. Pelaksanaan kekuasaan dalam perfektif Foucault tidak pertama-tama melalui kekerasan atau masalah persetujuan (sebagaimana dalam konsep Hobbes dan Locke), tetapi seluruh struktur tindakan yang menekan dan mendorong tindakan-tindakan lain melalui rangsangan, rayuan, atau paksaan dan larangan. Jadi, kekuasaan bukan represi (sebagaimana konsep Freud dan Reich) atau pertarungan kekuatan (dalam konsep Machiavelli dan Marx) dan bukan juga fungsi dominasi suatu kelas yang didasarkan pada penguasaan atas ekonomi atau manipulasi ideologi (dalam konsep Marx). Kekuasaan berarti perang bisu yang menempatkan konflik dalam berbagai institusi sosial, dalam ketidaksetaraan ekonomi, dalam bahasa, dan bahkan dalam tubuh masing-masing. Foucault mendefinisikan kembali kekuasaan dengan menunjukkan ciri-cirinya yaitu: kekuasaan tidak dapat dilokalisir, merupakan tatanan disiplin dan dihubungkan dengan jaringan, memberi struktur kegiatan-kegiatan, tidak represif namun produktif, serta melekat pada kehendak untuk mengetahui (Haryatmoko, 2016:14). Pandangan masyarakat modern, yang disebutkan Aries sebagai Forbiden Death, tidak terlepas dari sebuah kuasa baru yang dibangun tanpa sadar, terus menerus dan terlegitimasi. Prosedur operasi kekuasaan yang bersifat larangan tidak serta merta disadari oleh masyarakat melainkan menjadi kebiasaan-kebiasaan nirsadar. Adapun beberapa karakteristik Forbiden Death yang diuraikan Aries di
6
antaranya menganggap kematian sebagai sesuatu yang menakutkan, taboo untuk diperbincangkan, dan diulur-ulur kedatangannya (Aries, 1974:90). Di sisi lain, produksi operasi kekuasaan tersebut semakin menguntungkan bagi sistem-sistem dominasi yang membangun kuasa, seperti meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap teknologi kesehatan, obat-obatan, dan pencegahan gangguan kesehatan. Rumah sakit, dokter, psikiater, bahkan keluarga merupakan aparatur disiplin sebagai sarana untuk semakin menguatkan kuasa yang bekerja. Fenomena sosial empiris mengenai kematian yang diuraikan di atas, mempunyai keterkaitan cukup erat dengan tema kematian dalam karya sastra. Sebagai bahasa, karya sastra sebenarnya dapat dibawa dalam keterkaitan yang kuat dengan dunia sosial tertentu yang nyata, yaitu pada lingkungan sosial di mana tempat dan waktu bahasa yang digunakan karya sastra itu hidup dan berlaku. Menurut Faruk (2013:46) apabila bahasa dipahami sebagai sebuah tata simbolik yang bersifat sosial dan kolektif, maka karya sastra yang menggunakan bahasa itu berbagi tata simbolik yang sama dengan masyarakat pemilik dan pengguna bahasa itu sendiri. Untuk mempertalikan sastra dengan dunia sosial yang nyata bukan tidak terdapat sama sekali. Mengutip Swingswood dalam Faruk (2013:47) menyebutkan bahwa upaya untuk melacak keterkaitan tersebut sudah dilakukan hingga demikian jauh ke belakang, terutama ke teori mimesis dari Plato. Menurut Plato, dunia dalam karya sastra merupakan tiruan terhadap dunia kenyataan yang sebenarnya juga merupakan tiruan dari dunia ide. Dengan demikian, apabila dunia dalam sastra membentuk diri sebagai sebuah dunia sosial, maka sesungguhnya dunia tersebut merupakan tiruan
7
terhadap dunia sosial yang ada dalam kenyataan sebagaimana yang dipelajari dalam sosiologi (Faruk, 2013:47). Salah satu novel yang mengangkat tema kematian dengan setting abad ke-21 di Amerika adalah My Sister’s Keeper (MSK) karya Jodi Picoult. MSK merupakan novel karya Picoult yang dipublikasikan pada tahun 2005. Picoult telah menulis sejak ia berumur lima belas tahun dengan judul The Lobster that was Misunderstood, yang dimuat dalam Seventeen Magazine, di Princeton. Novel pertamanya, Song of the Humback Whale, dimuat pada tahun 1992. Menurut Megan (2009) dalam artikelnya Book Reviews for Jodi Picoult, Picoult telah menulis 21 novel di mana semuanya masuk dalam kategori best seller. Tema yang diusung oleh Picoult lebih banyak berbicara seputar hukum, sickness, kematian, dan kisah romans tragedi2. Selain menduduki sebagai intenasional best seller, novel MSK juga mendapatkan beberapa penghargaan seperti New England book award tahun 2006, American Library Association (ALA) tahun 2009, serta diadaptasi dalam film pada tahun 2009. Awal dipublikasikan, novel MSK juga mengalami kontroversi terkait isu genetic engineering serta tema kematian yang diangkat. Sebagaimana dilansir dalam Religion & Ethics newsweekly menyebutkan bahwa “Religion, says Picoult, has brought comfort and misery. She does not affiliate herself with any formal religion”3. Namun kehadiran MSK tetap disambut baik oleh pembaca dan penggemar Picoult. Dari 2
Megan McArdle, 2009. Book Group Theraphy: Survey Reveals Some Truths Why Some Book Groups Work and Others May Need Some Time on the Couch. Dalam http://www.jstor.org/stable/20865213. Diakses 17 Februari 2016 3 Bob Faw. 2009. Religion and Ethics Newsweekly Interview Toward Jodi Picold. Dalam http:// www.pbs.org/ wnet/religionandethics / 2009/04/24/ april-24-2009-jodi-picoult/2753. Di akses tanggal 12 Januari 2016
8
uraian tersebut, novel MSK tetap menjadi novel yang diperhitungkan dan layak untuk diteliti. Selain MSK, novel Picoult yang berbicara tentang kematian dan mengangkat permasalahan yang dialami dalam kehidupan masyarakat Amerika di antaranya Small Great Things (2016), Leaving Time (2014), Where There’s Smoke (2014), dan The Tenth Circle (2006). Sebagaimana tradisi Picoult, ia selalu melakukan riset tekait tema yang diangkat sebelum menuliskan karyanya. Beberapa riset yang dilakukan oleh Picoult di antaranya mengunjungi Rhode Island Crime Laboratory dan berkutat dengan fenomena kematian sebelum membuat novel “Change of Heart” (2008), tinggal di Farm Amish sebelum mencetus novel “Plain Truth (2001)”. Begitu juga dengan Novel MSK, Picoult terinspirasi dari sebuah keluarga di Amerika yang berjuang menyembuhkan anak tertuanya dari leukimia serta kesulitannya dalam menemukan sumsum tulang belakang yang cocok dengan pasien. Dalam interviews dengan Goodread Magazine Picoult mengatakan bahwa ia melakukan riset dengan dokter onkologi terkait leukimia, kanker, serta transplantasi stem-cell selama membuat Novel MSK4. Novel MSK bersetting di sebuah kota fiksi bernama Upper Darby, Rhode Island, Amerika Serikat. Picoult mengetengahkan isu leukimia sebagai penyakit yang mematikan serta sikap penyangkalan tokoh terhadap bayang-bayang kematian. Sepenggal kutipan diawal latar belakang tulisan ini merujuk pada salah satu karakter 4
Goodreads. 2009. Interviews with Jodi Picoult. Dalam http: // www.goodreads.com /interviews/show /30.Jodi_Picoult. diakses 14 Januari 2016.
9
dalam novel MSK, Anna Fitzgerald, yang terlahir dari proses genetic enginering5. Anna menjadi bayi allogenic (saudara serupa) sebagai penjaga kakaknya, Kate Fitzgerald, yang mengidap penyakit Accute Promyelocytic Leukemia (APL). Kelahiran Anna merupakan jawaban dari sikap penyangkalan orang tuanya terutama ibunya, Sarah, terhadap ancaman kematian Kate yang divonis hanya memiliki tingkat kesempatan hidup 20-30%. Rumah sakit melalui kemajuan pengetahuan dan teknologi menawarkan alternatif kepada keluarga Kate untuk menyelamatkannya dengan memprogram bayi khusus yang memiliki kecenderungan Allogenic melalui penyatuan DNA kedua orang tuanya. Dari sinilah kemudian muncul eksploitasi terhadap tubuh Anna yang sejak kecil harus mendonorkan dirinya untuk menyelamatkan Kate. Sejak lahir Anna telah menyumbangkan bagian tubuhnya dengan mendonor darah tali pusar. Enam bulan kemudian, ia mendonor limfosit dan granulosit secara rutin terhadap Kate. Umur lima tahun ia kembali diminta untuk menyumbangkan sumsum tulang belakang. Awalnya semua berjalan lancar, tetapi penyakit kanker tersebut terus menerus kambuh selama Kate hidup. Anna biasanya bersedia mendonasikan apapun yang dibutuhkan Kate, tetapi ketika menginjak usia 13 tahun dia diminta untuk melakukan transflantasi ginjal. Dari sinilah konflik dalam novel terjadi. Anna tidak mau menyerahkan salah satu ginjalnya karena akan membawa masalah bagi dirinya dikemudian hari. Anna 5
"Genetic engineering or human germ line modification" means deliberately changing the genes passed on to children and future generations – in other words, creating genetically modified people. [Genetic engineering atau modifikasi sel manusia merupakan perubahan gen sejak kecil dan untuk generasi masa depan- dengan kata lain, menciptakan modifikasi manusia secara genetis.] Sumber: Sharon Begley. 2015. About Human Germline Gene Editing by Center for Genetics and Society. Dalam http://www.geneticsandsociety.org/article.php?id=8711. Diakses 20 Februari 2016.
10
pun menuntut kedua orang tuanya di pengadilan untuk mendapatkan medical emancipation6 karena dia merasa memiliki hak atas organ tubuhnya sendiri. Di
balik
intrik
keluarga
yang
dihadirkan
dan
perjuangan
dalam
mempertahankan hidup tokoh dalam novel, ada permasalahan yang menarik untuk dikaji yaitu bagaimana sikap masing-masing tokoh yang merepresentasikan masyarakat di Amerika dalam menyikapi kematian. Masyarakat cenderung untuk menghindari, menjauhi, dan melarang pembicaraan mengenai kematian meskipun kematian dapat menghampiri siapa saja. Kemajuan teknologi dan pengetahuan medis pun membuat masyarakat menganggap bahwa kematian dapat dihindari dan dijauhi. Produk-produk kesehatan dan teknologi muncul sebagai sesuatu yang menjanjikan bagi manusia modern untuk lepas dari kematian. Kepercayaan yang tinggi terhadap kemajuan teknologi dan pengetahuan selanjutnya mendewakan dan membuat masyarakat modern menjadi ketergantungan. Dari sinilah kemudian operasi kekuasaan bekerja memanfaatkan wacana ketakutan masyarakat dalam menghadapi kematian. Dengan menggunaan pendekatan Michael Foucault mengenai kekuasaan, penulis akan menelusuri bagaimana kematian sebagai instrumen kekuasaan serta agenda-agenda apa yang mengkontruksi kekuasaan di balik wacana kematian yang 6
“It has been found to have the capacity to make serious medical decisions alone. By contrast, "medical emancipation" formally releases children from some parental involvement requirements but does not necessarily grant that decision making to children themselves”. [Keputusan yang ditemukan untuk membuat keputusan medis yang penting secara pribadi. Di lain hal, medical emancipation biasanya pembebasan anak dari keterlibatan orang tua tetapi bukan jaminan bahwa keputusan diserahkan sepenuhnya terhadap tersebut.] Sumber: Ann Maradiegue. 2003. Minor's Rights Versus Parental Rights: Review of Legal Issues in Adolescent Health Care. Journal of Midwifery & Women's Health.
11
terdapat dalam novel MSK karya Jodi Picoult, kemudian mengaitkannya dengan realitas fenomena sosial masyarakat saat ini. 1.2.
Rumusan Masalah Picoult dalam karyanya MSK merepresentasikan salah satu fenomena
masyarakat saat berhadapan dengan kematian. Permasalahan dalam novel MSK ini terletak pada sikap dan pandangan masyarakat modern terhadap kematian yang terepresentasi oleh tokoh-tokoh dalam novel. Pandangan kematian dalam hal ini bukan sesuatu yang natural begitu saja terjadi, ada pergeseran pandangan dan kontruksi wacana yang panjang sehingga memunculkan wacana dominan kematian sebagai hal yang ditakuti. Ketakutan atas kematian ini pula kemudian diproduksi dan dimanfaatkan oleh kepentingan-kepentingan tertentu sehingga menciptakan relasi kekuasaan antara satu dengan yang lainnya dengan strategi dan mekanismenya masing-masing. Dari permasalahan tersebut, maka terdapat dua pertanyaan riset yang akan dikaji dalam penelitian ini, yaitu: 1.
Bagaimana signifikansi kematian dalam novel MSK karya Jodi Picoult dilihat dari perspektif kekuasaan Foucauldian?
2.
Bagaimana kematian digunakan sebagai instrumen kekuasaan yang terdapat dalam novel MSK karya Jodi Picoult?
1.3.
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui signifikansi kematian
yang terdapat dalam novel MSK karya Jodil Picoult dengan konsep kekuasaan Michael Foucault. Selanjutnya, melihat bagaimana pandangan kematian dijadikan sebagai instrumen kekuasaan yang terdapat dalam novel tersebut.
12
1.4.
Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini terdiri dari manfaat teoritis dan praktis. Manfaat teoritis
penelitian ini adalah menerapkan teori kekuasaan Michael Focault ke dalam kajian sastra. Manfaat praktis penelitian ini adalah untuk menambah referensi mengenai penelitian terdahulu yang memiliki kaitan dengan teori Foucault, serta untuk menginspirasi penelitian berikutnya dalam kajian sastra. 1.5.
Tinjauan Pustaka Sejauh ini, penelitian yang khusus mengkaji kematian sebagai instrumen
kekuasaan yang terdapat dalam novel MSK karya Jodi Picoult belum penulis temukan. Namun, ada beberapa penelitian yang sejalan dan memberikan sedikit banyak inspirasi bagi penulis dalam mengembangkan dan menganalisis penelitian ini. Penulis menemukan ada beberapa penelitian sebelumnya yang menggunakan objek material yang sama berupa novel MSK namun dengan kosep yang berbeda. Pertama, penelitian yang berjudul Konflik Anna Fitzgerald dalam novel MSK oleh Citra Patrow dari Universitas Sam Ratulangi pada tahun 2013. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi konflik batin dan konflik fisik dalam cerita, yang menjadi sebab dan akibat terhadap Anna Fitzgerald. Citra Patrow menggunakan teori Buehler tentang model konflik. Dilihat dari pendekatan yang dipakai dan juga tujuannya, penelitian Citra Patrow berbeda dengan penelitian yang akan dilakukan dalam tesis ini. Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Ruri Reviani Furi yang berjudul Anna’s Sacrifices in Jodi Picoult’s Novel MSK (2012). Penelitian ini menganalisa
13
tentang pengorbanan-pengorbanan yang dilakukan oleh tokoh utama, Anna. Adapun metode yang digunakan peneliti dalam penulisan skripsinya adalah metode analisis deskriptif. Sementara, teori pendekatan sastra yang digunakan adalah teori intrinsik oleh Wellek dan Warren.
Ketiga, penelitian yang ditulis oleh Nur Fatimah Zainal dengan judul Not All Children are Created Equal: Discrimination Againts Children as Seen in My Sister’s Keeper (2012). Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap bentuk-bentuk diskriminasi terhadap anak yang terdapat di dalam novel. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori pragmatik dari Abrams. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 29 data, terdapat 5 kasus diskriminasi di antaranya; 1) diskriminasi dalam mendapatkan perhatian dan kasih sayang, 2) diskriminasi terhadap hak untuk dilindungi dari kekerasan dan eksploitasi, 3) diskriminasi dalam mengemukakan pendapat dan ekspresi, 4) diskriminasi dalam bermain, 5) diskriminasi dalam mendapatkan layanan publik. Semua diskriminasi telah mempengaruhi psikologi anak seperti tidak bisa bersosialisasi, kehilangan kepercayaan diri, melakukan hal-hal berbahaya, dan mengkonsumsi alkohol serta narkoba. Keempat, penelitian yang ditulis oleh Debora Pasaribu dengan judul Anna's Personality Through Sigmund Freud's Theory in Jodi Picoult's My Sister's Keeper (2009). Penelitian ini membahas mengenai struktur kepribadian tentang hubungan dorongan libido terhadap kepribadian manusia yang terefleksi melalui toko Anna Fitzgerald. Peneliti menggunakan pendekatan psikoanalisis Sigmund Freud. Hasil penelitian
ini
mengungkapkan
bahwa
dorongan
id
membuat
seseorang
14
mengesampingkan akal sehat dan moral demi memenuhi keinginan libidonya. Sebaliknya, sisi super-ego muncul ke permukaan ketika seseorang mulai mempertimbangkan tindakannya berdasarkan nilai-nilai moral sehingga dorongan super-ego cenderung membuat seseorang lebih mementingkan kepentingan orang lain dari pada kepentingannya sendiri dan sisi ego-lah yang berusaha menengahi dua dorongan yang saling berlawanan. Namun dalam penelitian ini, Debora menemukan bahwa super-ego berhasil mengalahkan dorongan id dan ego, karena Anna sebagai tokoh utama lebih mengutamakan kepentingan Kate, kakak perempuannya di akhir cerita novel My Sister’s Keeper. Selanjutnya, penelitian berbentuk jurnal dilakukan oleh Richard F. Storrow dari Law Studies, Universitas California. Penelitiannya menggunakan dua objek novel; My Sister’s Keeper karya Jodi Picoult dan Never Let Me Go karya Kazuo Ishiguro. Tulisan yang berjudul Therapeutic Reproduction and Human Dignity (2009)
menguraikan
kontroversi
medis
modern
terapi
reproduksi
yang
direpresentasikan kedua novel berdasarkan the American Society for Reproductive Medicine and the European Society for Human Reproduction and Embryology. Menurutnya, Kedua novel distopia tersebut berhasil mengungkap mengenai fenomena penggunaan teknologi berdalih kesehatan yang bertentangan dengan etika medis reproduksi. Storrow menguraikan juga bahwa teknologi kloning merepresentasikan seperti sikap kemanusian yang ingin menjadi subjek atas kehidupan. Semua penelitian tersebut tentu saja sangat membantu dalam memberikan inspirasi pada kajian penelitian ini. Namun tetap penulis memberikan batasan dan objek penelitian yang berbeda untuk menganalisis tesis yang dibuat. Penelitian ini
15
lebih mengungkap signifikansi kematian dalam novel MSK dikaitkan dengan teori kekuasaan Michael Foucault serta bagaimana mekanisme kekuasaan tersebut bekerja. 1.6.
Landasan Teori Karya sastra memiliki kaitan erat dengan kehidupan sosial masyarakat. Karya
sastra lahir di tengah kehidupan bermasyarakat. Permasalahan yang terdapat di dalam karya sastra merupakan gambaran permasalahan yang ada dalam masyarakat di mana karya sastra tersebut diciptakan, baik itu permasalahan sosial, politik, maupun ekonomi. Permasalahan yang ada dalam kehidupan bermasyarakat merupakan salah satu inspirasi dalam pembuatan karya sastra. Permasalahan-permasalahan ini dikemas menjadi sebuah dunia imajinatif dalam karya sastra dan hadir mengisi kehidupan sosial yang ada dalam karya sastra tersebut. Wellek dan Werren (1990:109) mengatakan bahwa lagi pula, sastra “menyajikan kehidupan” dan “kehidupan” sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial, walaupun karya sastra juga meniru alam dan dunia subjektif manusia. Kematian merupakan fenomena sosial dunia empiris yang terjadi dalam kehidupan. Untuk mempertalikan kematian dalam karya sastra bukanlah tidak mungkin adanya. Isu-isu kematian yang diangkat dalam karya sastra menjadi fenomena tersendiri yang dapat digali dengan berbagai perspektif. Representasi fenomena kematian dalam karya sastra merupakan produk masyarakat, dalam artian karya
sastra
tidak
terhindarkan
dari
keadaan-keadaan
masyarakat
yang
melahirkannya. Hal tersebut dijadikan jembatan dalam mempermasalahkan fenomena
16
kematian pada novel, karena istilah fenomena merujuk pada keadaan-keadaan yang ada di dalam masyarakat (Pradopo, 2002:22). Untuk mengerti, memahami, dan menilai teks sastra memang tidak hanya tergantung pada teori sastra. Persoalan-persoalan yang terdapat di luar teks seperti politik, sosial, ekonomi, budaya dan psikologi merupakan bangunan karya sastra yang diciptakan pengarang. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa karya sastra sebenarnya merupakan karya yang sangat kompleks karena sastra adalah refleksi kehidupan manusia dengan berbagai macam dimensi yang ada. Oleh karena itu, untuk mempelajari teks sastra secara sistematik, peneliti sastra tidak hanya dituntut untuk menguasai teori-teori sastra, melainkan juga disiplin ilmu lainnya seperti filsafat, sosiologi, psikologi dan agama (Zainudin, 2002:2-3). Karya sastra sebagai satu kesatuan yang utuh dapat dilihat dari berbagai sisi dengan menggunakan perspektif yang berbeda-beda, sesuai dasar orientasi yang digunakan. Oleh karena itu, permasalahan-permasalahan yang terdapat dalam karya sastra dapat didekati dengan menggunakan berbagai kajian. Dari uraian di atas, maka dalam landasan teori penulis menggunakan pendekatan Michel Foucault untuk mengkaji fenomena isu kematian yang terdapat dalam novel My Sister Keeper karya Jodi Picoult. Hal ini juga terkait dengan identifikasi masalah yang telah disinggung dalam latar belakang mengenai pandangan kematian yang dianggap sebagai ancaman atau ketakutan pada masa modern ini. Oleh karena itu, untuk menelusuri pandangan kematian, penulis beranjak dari pendekatan genealogi Foucault dalam membaca sejarah yang memiliki korelasi dengan kematian. Dalam penelitian ini, penulis tidak hanya menguraikan bagaimana pandangan
17
Foucault mengenai kematian tetapi juga agenda apa saja yang mengontruksi kepentingan-kepentingan di balik kematian tersebut. 1.5.1. Melacak Pandangan Kematian dalam Perspektif Foucault Pandangan mengenai kematian tidak dapat didefinisikan secara tunggal. Dengan menggunakan pendekatan Foucault, pandangan terhadap kematian dapat ditelusuri lebih mendalam. Legitimasi mengenai kebenaran malah menjadi sebuah pertanyaan. Pandangan masyarakat modern yang menjadikan kematian sebagai ancaman menakutkan bukan hadir secara natural begitu saja, melainkan hasil dari kontruksi sejarah yang memiliki kepentingan-kepentingan. Hal ini dikarenakan di sisi lain pernah ada bentuk-bentuk pandangan lain terhadap kematian. Pendekatan geneologi Foucault dapat digunakan untuk mengkaji secara kritis mengenai pandangan kematian, terutama kematian yang taken for granted dianggap sebagai ancaman atau hal yang ditakuti. Konsep pemikiran Foucault beranjak dari hasil pembacaannya terhadap karya Nietzche, on Genealogy of Mortality. Menurut Foucault, genealogi justru menjaga jarak yang berseberangan dengan perspektif sejarah konvensional dalam hal pencarian asal-usul suatu kejadian atau peristiwa. Sebagaimana dalam pernyataanya: Genealogy does not oppose itself to history as the loftly and profound gaze of the philosopher might compare to the mole like perspective of the scholar; on the contrary, it rejects the metahistorical deployment of ideal significations and indefinite teleologies. It opposes itself to the search for “origin” (Foucault, 1977:140). Genealogi tidak menentang dirinya sendiri dari sejarah sebagai landasan. Sebaliknya, ia menolak penyebaran metahistoris ideal dan teleologis yang tak terbatas. Ia menentang pencarian pada asal usul.
18
Dalam konteks tersebut, persoalan asal-usul (ursprung), yang mendapat penentangan dari Nietzche sebagai ahli genealogi, menurut Foucault lebih pada upaya untuk memperoleh esensi yang akurat, serta berbagai kemungkinan yang paling murni dan identitas yang ditutupi. Artinya, genealogi tidak bermaksud untuk kembali ke masa lampau dalam pelacakan suatu sejarah, lebih-lebih tidak ditujukan untuk memulihkan sebuah kontinuitas yang tidak terputus. Prinsip kerja genealogi justru berusaha mengolah dan mengidentifikasi setiap detail serta kecelakaan yang muncul di setiap permulaan suatu kejadian atau peristiwa. Sebagaimana yang dikatakan Foucault : A genealogy of value, morality, asceticism and knowledge will never confuse itself with a quest for their “origins,”, will never neglect as inaccessible the vicissitudes of history. On the contrary, it will cultivate the detail and accidents that accompany every beginning (Foucault, 1977:144). Sebuah genealogi nilai, moral, asketis, dan pengetahuan tidak akan pernah ragu pada dirinya sendiri terhadap pertanyaan asal usul, tidak akan menolak ketercapaian pergeseran sejarah. Sebaliknya, ia akan mengolah secara detail dan setiap kejadian dan setiap kecelakaan awal peristiwa. Selanjutnya genealogi Foucault juga menekankan penolakannya terhadap sudut pandang yang melihat proses sejarah berjalan secara linear atau berkesinambungan
(continous
history).
Sebaliknya,
Foucault
lebih
melihat
diskontinuitas dalam sejarah. Dipengaruhi oleh pemikiran Nietzche, konsep genealogi yang bekerja dalam penekanannya pada diskontinuitas sejarah ini sekaligus mengeliminasi analisis sejarah tradisional yang cenderung mempertanyakan strata dan peristiwa mana yang harus diisolasi dari yang lain, jenis hubungan yang harus dikontruksi serta kriteria periodisasi.
19
Terkait konstruksi periodisasi, Phillipe Aries, sejarawan Prancis, dalam bukunya Western Attitudes Toward Death from the Middle Ages to the Present (1978) telah mengkategorikan pergeseran pandangan kematian masyarakat Barat sejak abad ke-12 hingga saat ini. Aries membagi pandangan kematian menjadi empat; Tamed Death, One’s Own Death, Thy Death, dan Forbidden Death. Pembagian tersebut dilakukan sesuai dengan periode waktunya. Tamed death dan one’s own death dicirikan dengan karakteristik masyarakat abad ke-12 dan sebelumnya yang masih dekat dengan hal berbau kematian. Kematian masih dianggap sakral, berharga, dan harus dipersiapkan. Pergeseran mulai muncul setelah revolusi industri memasuki modernitas pada awal abad ke-17, Aries menyebutnya Thy death dan Forbiden death, di mana kematian merupakan hal yang taboo diperbincangkan, ditakuti, dan berusaha disangkali. Beranjak dari pandangan Aries tersebut, pendekatan genealogi Foucault justru mempertanyakan secara detail mengapa pandangan kematian abad ini telah bergeser dan diklaim sebagai Forbiden death atau kematian yang ditakuti. Beranjak dari uraian diatas, konsep Foucauldian lebih menggali dan melihat dari perspektif kekinian. Sebagaimana konsep sejarawan Nietzchean, Foucault mengkaji sejarah bermula dengan masa kini, melacak transformasi dan berusaha untuk mempertahankan, baik diskontinuitas maupun kontinuitas (Foucault dalam Faruk, 2012:240). Dalam hubungannya dengan formasi wacana, kematian yang dianggap sebagai ancaman menakutkan dicurigai merupakan praktik diskursif yang telah mempengaruhi pandangan. Dikarenakan ada praktik diskursif yang bekerja di balik pergeseran pandangan kematian, maka kematian menjadi tindakan yang memiliki efek. Efek dari
20
kematian inilah kemudian melahirkan operasi kekuasaan di mana terdapat kepentingan-kepentingan di balik pandangan kematian. Dengan kata lain, pandangan kematian yang dikategorikan sebagai ancaman menakutkan atau forbidden death dimanfaatkan oleh praktik kekuasaan tertentu. Melalui pendekatan genealogi Foucault, dapat dilihat bahwa kematian dalam hal ini sebagai instrumen kekuasaan untuk melegitimasi kepentingan tertentu. Hal ini sejalan dengan pandangan James mengenai Foucault berikut: Representations of death necessarily engage questions about power, they argue: “its locus, its authenticity, its sources, and how it is passed on”. To speak of power in a discursive sense—and particularly in relation to bodies— is unavoidably to speak of Foucault. Much of Foucault’s theory is instrumental in revealing how power is installed into discourse, how it operates in relation to other discourses, and how it produces real material effects (Foucault dalam James, 2009:13). Representasi kematian perlu mengikut sertakan pertanyaan mengenai kekuasaan, argumentasinya: lokusnya, autensitasnya, sumbernya, dan bagaimana penelusurannya. Berbicara tentang kuasa dalam wacana diskursif dan relasi atas tubuh tidak terlepas dari pemikiran Foucault. Kebanyakan teori Foucault sebagai alat bagaimana kekuasaan diinstalalasi dengan wacana, bagaimana operasi relasi wacana lainnya dan bagaimana memproduksi efek materialnya. Kutipan di atas menunjukan bahwa kekuasaan memiliki korelasi dengan wacana kematian. Tubuh merupakan sasaran dari wacana untuk melanggengkan kekuasaan. Tubuh menjadi subjek kekuasaan. Begitu juga halnya dengan pandangan masyarakat modern tentang kematian yang dianggap sebagai ancaman menggiring mereka untuk menghindarinya. Di balik tindakan tersebut ada agen-agen kekuasaan yang memiliki kepentingan terhadap kematian. Dalam hal ini, kedokteran yang dijamin oleh institusi kesehatan memiliki peran dominatif dalam memberikan obat penawaran terhadap ancaman kematian. Munculnya perkembangan teknologi medis
21
seperti transplantasi organ tubuh, bedah plastik, modifikasi genetik, bahkan kloning merupakan bentuk praktik kekuasaan kedokteran terhadap tubuh di balik upaya menaklukan kematian. Dengan demikian, kematian menjadi instrumen sebagai wacana untuk melanggengkan kekuasaan. 1.5.2. Konsep Kekuasaan Michael Foucault Untuk mengetahui hubungan antara kekuasaan dengan kematian, kita akan mengetahui terlebih dahulu bagaimana konsep kekuasaan menurut Michael Foucault. Kekuasaan dalam pandangan Foucault berbeda dengan konsep pemikiran kekuasaan lainnya. Pelaksanaan kekuasaan tidak pertama-tama melalui kekerasan atau masalah persetujuan seperti yang dimaksudkan oleh Hobbes dan Locke. Kekuasaan pertamatama bukan bercorak represif (Freud) atau pertarungan kekuatan (Machiavelli, Marx) dan bukan juga fungsi dominasi suatu kelas yang didasarkan pada penguasaan atas ekonomi, atau manipulasi ideologi (Marx). Foucault mengatakan dengan kekuasaan “harus dipahami pertama-tama banyak dan beragamnya hubungan-hubungan kekuatan yang melekat pada bidang hubungan-hubungan tersebut dan organisasinya. Kekuasaan berarti menempatkan konflik dalam berbagai institusi sosial, dalam ketidaksetaraan ekonomi, dalam bahasa, dan bahkan dalam tubuh kita masingmasing” (Haryatmoko, 2016:14-15). Kekuasaan menurut Foucault (1980:187) tidak terbangun atas keinginankeinginan (baik secara individual maupun kolektif), bukan juga berdasarkan atas kepentingan. Kekuasaan tertata dan berfungsi dengan landasan kuasa-kuasa tertentu,
22
serangkaian isu, dan serangkaian pengaruh dari kekuasaan tersebut. Ini juga menjelaskan bahwa kekuasaan tidak bersifat terpusat tetapi menyebar kemana-mana. Between every point of social body, between a man and a women, between members of family, between a master and his pupil, between everyone who knows and everyone who doesn’t know, there exist a relation of power which are not purely simply a projection of the sovereign’s great power over the individuals; they are rather the concrete, changing soil in which the sovereign’s power that grounded, the condition which make it possible to function (Foucault; 1980:187). Di antara setiap tubuh sosial, diantara laki-laki dan perempuan, di antara tuan dan muridnya, antara setiap yang tahu dan tidak tahu, di sana adanya relasi kekuasaan yang tidak semata-mata proyeksi sederhana dari kekuasaan terbesar terhadap individual; hadirnya cukup konkrit, memiliki landasan yang mana kekuasaan itu mengandaskan, kondisi yang mana membuatnya memungkinkan untuk berfungsi Dari sini, kita bisa melihat bahwa ada kekuatan tertinggi yang berfungsi dengan topangan dari kuasa-kuasa yang lebih kecil yang timbul sebagai akibat dari adanya relasi. Semua relasi yang terjadi di antara entitas yang memiliki perbedaan menimbulkan kuasa. Di atas kekuasaan-kekuasaan kecil inilah kekuasaan tertinggi itu dapat berjalan. Dalam relasi itu, menurut Foucault tentu saja ada pihak yang berada di atas dan di bawah, di pusat dan di pinggir, di dalam dan di luar. Ini tidak berarti bahwa kekuasaan terletak di atas, di pusat, dan di dalam. Sebaliknya kekuasaan tersebar, memencar, dan hadir di mana-mana seperti jejaring yang menjerat kita semua. Kekuasaan merasuki seluruh bidang kehidupan masyarakat modern. Kekuasaan berada di semua lapisan, kecil dan besar, orang tua dan anak, sekolah, dan rumah sakit. Kekuasaan dilaksanakan dalam tubuh bukan sebagai milik melainkan strategi yang menyebar dalam masyarakat modern (Foucault, 2008:120).
23
Relasi
kekuasaan
merupakan
dampak
langsung
dari
pembagian,
ketaksederajatan, dan ketimpangan yang dihasilkan didalamnya dan saling mensyaratkan secara intern berbagai perbedaan itu. Dengan kata lain, kekuasaan merupakan situasi yang intern dengan adanya perbedaan. Kekuasaan mempunyai teknik dan strategi untuk mempertahankan dirinya. Salah satunya dengan menjaga hubungan agar tetap tidak merata, mejaga diskriminasi atau ketidaksamaan tersebut. Kekuasaan menopang segala mobilitas dan sekaligus membekukan mereka (Foucault, 2008:121). Kekuasaan bukan sesuatu yang diperoleh, dirampas atau dibagi, sesuatu yang digenggam atau dibiarkan lolos, kekuasaan berfungsi berdasarkan jumlah yang tak terhitung jumlahnya dan dalam permainan yang tak terhitung jumlahnya, dan dalam permainan yang tak sederajat dan bergerak. Dalam artian, kekuasaan bukan sesuatu yang dimiliki atau dipegang seseorang melainkan sebuah kemampuan seseorang lewat strategi kompleks dalam suatu masyarakat dengan perlengkapan, manuver, teknik dan mekanisme tertentu. Kekuasaan bukan hak dominan melainkan akibat dari keseluruhan posisi strategisnya, akibatnya menunjukkan posisi yang didominasi (Foucault, 2008:122). Pandangan Foucault menunjukan adanya kaitan antara kekuasaan dan pengetahuan. Kekuasaan memproduksi kuasa sebagaimana kuasa memproduksi pengetahuan. Kekuasaan hanya akan mungkin muncul bila ada pengetahuan dan pada saat yang sama tidak akan ada pengetahuan kecuali melalui kekuasaan. Jadi ada semacam relasi ganda antara keduanya. Pengetahuan mengandung kekuasaan seperti kekuasaan juga mengandung pengetahuan. Foucault menentang pendapat bahwa
24
kekuasaan semata-mata bersifat negatif dan represif (dalam bentuk larangan dan kewajiban) sebagaimana dirumuskan dalam konsep yuridis mengenai kekuasaan. Menurutnya kekuasaan lebih beroperasi secara positif dan produktif (Foucault, 1998 : 27-35). Kekuasaan lebih berbentuk sesuatu yang produktif di mana setiap orang turut ambil bagian dan ia menghasilkan realitas. Efek-efek kekuasaan tidak perlu lagi digambarkan secara negatif sebagai yang menafikan, menindas, menolak, menyensor, menutupi, dan menyembunyikan. Ternyata kekuasaan menghasilkan sesuatu yang ril, menghasilkan bidang-bidang objek dan ritus-ritus kebenaran. Individu dan pengetahuan melanjutkan produksi itu (Foucault dalam Haryatmoko,2002:16). Kalau dulu kekuasaan dilaksanakan melalui perang, perjuangan, pelarangan atau melawan larangan. Dewasa ini, kekuasaan terlaksana dalam bentuk manajemen: manajemen kesehatan, manajemen seksual, kemampuan dan kehidupan masyarakat di mana pengetahuan tidak pernah dabaikan. Dengan demikian kekuasaan tidak dapat dilepaskan dari pengetahuan. Pengetahuan itu sendiri dalam konsep Foucault merupakan cara bagaimana kekuasaan memaksakan diri kepada subyek tertentu tanpa memberi kesan bahwa ia datang dari subyek tertentu. Hal itu dikarenakan kriteria keilmiahannya seakan-akan mandiri terhadap subjek. Padahal klaim ini merupakan bagian dari kekuasaan. Pemikiran Foucault mengenai relasi pengetahuan dan kekuasaan ini cukup membingungkan karena argumen pertama meniadakan kepemilikan, tetapi berakhir kepada satu pemikiran bahwa pengetahuan dan kekuasaan itu saling memiliki. Meskipun demikian, Foucault memfokuskan bahwa pengertian kekuasaan sudah
25
bergeser dari kepemilikan subjek ke struktur hubungan subjek tersebut. Hal ini dapat diintepretasikan bahwa kekuasaan memang tidak dimiliki, tetapi sumber-sumber kekuasaan dapat dimiliki. Dengan demikian, pengetahuan, yang merupakan sumber kekuasaan, akan digunakan untuk praktik kekuasaan. Pandangan modern terhadap kematian terkait wacana taboo membicarakan kematian, berusaha mengundur dan menghindari kematian, serta sikap takut menghadapi kematian pada masyarakat modern dewasa ini memiliki korelasi dengan kekuasaan. Kuasa memiliki relasi terhadap siapa yang lebih memiliki pengetahuan, karena pengetahuan merupakan sumber kekuasaan itu sendiri. Kekuasaan atas pengetahuan ini kemudian dipraktikkan oleh institusi dominatif tertentu seperti rumah sakit, sekolah, dan lembaga penyuluh kesehatan untuk tujuan dan kepentingan tertentu. Ketergantungan pasien kesehatan dan medis sebagai tindakan untuk mengundur datangnya kematian juga merupakan contoh praktik sebuah kuasa di bidang kesehatan di balik wacana kematian. Dalam hal ini, kemajuan teknologi kesehatan memiliki peranan yang cukup dominan. Penentuan keputusan hidup dan mati seseorang merupakan sebuah praktik kekuasaan. Ketakutan terhadap kematian menjadi instrumen bagi kekuasaan baru yang ditopang dengan pengetahuan dengan disiplin, mekanisme dan strategi tertentu. Dari kasus tersebut dapat dikatakan bahwa kekuasaan merupakan pengaruh potensial seseorang terhadap sikap dan perilaku orang lain atau potensi untuk memengaruhi orang lain demi kebaikan dan kejahatan. Pengaruh ini akan berjalan dengan serangkaian wacana yang dilakukan oleh pelaku kekuasaan.
26
1.5.3. Mekanisme Kekuasaan Mekanisme Kekuasaan yang digunakan dalam penelitian ini terkait dengan kematian sebagai instrumen kekuasaan melalui dua konsep Foucault; Bio-power dan Normalisasi. Bio-power dalam hal ini bekerja di mana tubuh dijadikan sebagai objek disiplin untuk kepentingan politis dan ekonomis dengan memanfaatkan wacana terkait dengan kematian. Selanjutnya, normalisasi terkait upaya melanggengkan kekuasaan dengan pengkategorisasian norma-norma yang dianggap normal dan abnormal untuk merepetisi kekuasaan tersebut. 1.5.3.1. Bio-power Foucault mengenalkan terminologi Bio-povoir (Bio-power) yang mengarah pada pendisiplinan atas tubuh. Istilah ini muncul pada tahun 1974 dalam suatu konferensi tentang lahirnya kedokteran sosial yang diberikan di Universitas Negeri Rio de Janeiro dan diterbitkan tahun 1977. Dengan istilah Bio-power, Foucault memaksudkan biologis yang dipikirkan di dalam politik merupakan situasi di mana norma cenderung menggantikan hukum; medical power is at heart of a society of normalization (1978). Hubungan kekuasaan dalam konsep Bio-power ini terkait dengan hak menentukan kematian dan menguasai hidup. Foucault (2008:169-170) memberikan ilustrasi, dahulu, salah satu hak istimewa yang khas dari seorang raja adalah hak menentukan hidup dan mati. Dalam hubungan raja dan kawulanya, tidak lagi diterima bahwa raja menerapkan hak itu secara mutlak dan tanpa syarat tetapi hanya dalam hal jiwa raja terancam (kawula menentang atau melanggar hukum) maka hak tersebut diterapkan terhadap kawula. Artinya hak untuk hidup dan hak untuk mati atau hak
27
atas hidup dan mati tidak terjadi begitu saja namun di dalamnya terkandung suatu tujuan tertentu. Hak atas hidup dan mati ini sebenarnya merupakan hak untuk membiarkan untuk hidup dan membiarkan mati. Lebih lanjut Foucault (2008:175) menyatakan kekuasaan lama atas mati, yang dahulu merupakan lambang kekuasaan raja, sekarang diselubungi dengan rapat-rapat oleh tata usaha badan dan pengelolah hidup yang penuh dengan perhitungan. Kalau dahulu penguasa tradisional mempunyai hak atas kehidupan dan mati, penguasa modern menerapkan dengan memanajemen peduduk dengan disipliner, mengawasi kesehatan, dan mengusahakan kesejahteraannya. Hal tersebut digunakan untuk mengatasi masalah yang bermunculan seperti kelahiran, harapan hidup, kesehatan masyarakat, dan hunian. Semua merupakan bentuk teknik eksploitasi yang beraneka ragam untuk mendapatkan kepatuhan tubuh-tubuh dan untuk mengendalikan masyarakat. Dengan demikian, terbukalah era “Bio-power”. Tujuan utama Foucault dengan Bio-power adalah mengkritik cara masyarakat modern mengontrol dan mendisiplinkan individu maupun masyarakat dengan mendukung klaim dan praktik pengetahuan ilmu manusia: kedokteran, psikiatri, psikologi, kriminologi dan sosiologi. Kuasa baru dalam bentuk Bio-power menurut Foucault sebagaimana didedukasikan dalam “The Right of Death and Power Over Life” (2008:176), dibagi atas dua bentuk; pendisiplinan dan kontrol regulatif. Dalam pendisiplinan, tubuh dianggap sebagai mesin yang harus dioptimalkan kapabilitasnya, dibuat berguna dan patuh. Bentuk-bentuk seperti ini terdapat pada sistem militer, pendidikan, pekerjaan, maupun rumah sakit. Bentuk seperti ini disebut Foucault sebagai anatomo-politics of
28
the human body. Misalnya dalam sistem militer, tentara didoktrin tubuhnya untuk melakukan pengabdian, menjaga teritori negara bahkan harus mengorbankan jiwa raganya. Di sisi lain, ada pihak kuasa yang mengendalikan tubuh militer dengan dalih menjaga keutuhan negara sedangkan tujuan utamanya adalah penguasaan teritori. Bentuk Bio-power kedua disebut dengan kontrol regulasi atas populasi terkait siapa yang berhak dilahirkan dan siapa yang memiliki pembenaran untuk mati. Foucault menyebutnya dengan istilah bio-politic of the population-regulatory control. Dalam kasus Indonesia misalnya negara memberikan regulasi kontrol populasi dengan mencanangkan program KB; dua anak cukup. Dengan dalih kesehatan dan kesejahteraan, negara bahkan telah mengatur individu hingga hal yang bersifat privasi dalam hubungan seksual. Di sisi lain, kebijakan tersebut dilakukan oleh negara untuk melakukan kontrol populasi. Akibat dari Bio-power itu kemudian manusia semakin dikuasai oleh permainan norma yang mengorbankan sistem yuridis yang menyangkut hukum. Hukum tidak mungkin tidak harus dipersenjatai, dan senjata yang utama adalah kematian. Bagi mereka yang melanggarnya hukum mutlak yang menjawabnya adalah kematian, setidaknya sebagai jalan keluar terakhir. Namun suatu kekuasaan yang mempunyai tugas mengurusi hidup akan memerlukan mekanisme berkelanjutan, yang mengatur dan memperbaikinya. Masalahnya bukan lagi memberikan peranan kepada kematian dalam wilayah kekuasaan, melainkan mendistribusikan makhluk hidup dalam suatu nilai dan kegunaan. Dengan demikian, hukum saat ini makin lama semakin berfungsi sebagai norma, dan lembaga peradilan berganti sebagai perangkat seperti: medis, administratif, yang fungsinya mengatur. Masyarakat yang mengikuti
29
norma merupakan dampak historis dari suatu teknologi kekuasaan yang dipusatkan pada kehidupan (Foucault, 2008:180). Dalam kaitannya dengan novel MSK, dokter yang dijamin oleh institusi kesehatan menerapkan Bio-power melalui pendisiplinan tubuh terhadap pasien. Misalnya, rekaman medis yang berfungsi memudahkan identifikasi penyakit dan menghindari salah pengobatan, tetapi sekaligus membatasi kiprah pasien. Rekam medis, diagnosa, dan klaim merupakan salah satu upaya menggantikan hukum yang berbentuk norma-norma sedangkan dokter sebagai perangkat yang memiliki kendali atas hak menentukan mati dan membiarkan hidup pasien. Sementara, norma-norma yang diterapkan oleh kedokteran modern cenderung mengedepankan pendisiplinan untuk membuat pasien patuh, tunduk, selanjutnya beketergantungan. 1.5.3.2. Normalisasi Dalam buku Dicipline and Punishment, Foucault mengatakan bahwa “kekuasaan yang menormalisir” tidak hanya ada di dalam penjara, tetapi juga beroperasi melalui mekanisme-mekanisme sosial yang dibangun untuk menjamin kesehatan, pengetahuan, dan kesejahteraan (Foucault, 1975:358). Normalisasi merupakan terminologi yang cukup penting dalam konsep kekuasaan Foucault di mana mekanisme kekuasaan itu bekerja. Foucault melihat normalisasi sebagai proses yang tidak hanya menandai mayoritas dengan minoritas, tetapi keberadaan mereka untuk mendukung kelanggengan kekuasaan dalam masyarakat. Untuk menciptakan kekuasaan maka kekuasaan itu akan menciptakan others yang di-liyan-kan. Ada pengkategorisasian
30
antara yang normal dan yang abnormal untuk merepetisi sebuah kekuasaan. Melalui karyanya tentang normalisasi, Foucault berpendapat bahwa pengetahuan dan kekuasaan saling konstitutif. Ia menentang bahwa pandangan pengetahuan adalah kekuasaan, pandangan yang melihat pengetahuan sebagai sesuatu yang langkah yang diberikan kekuasaan pada orang-orang yang memilikinya. Sebaliknya Foucault berpendapat bahwa pelaksanaan kekuasaan terus menerus menciptakan pengetahuan dan
sebaliknya
pengetahuan
terus
menerus
menciptakan
efek
kekuasaan.
Sebagaimana Kutipan berikut: “Focault saw that normalization is as process that not only served to marked out the majority of “us” from the minority of “them” but which existed to the power relation of society. Through his work of normalization, Foucault came to the view that power and knowledge were mutually constitutive. He challenged the accepted view that knowledge is power, a view which show knowledge has a scarce of resource that conferred power on who possessed it. Incontrast, Foucault argued that “the exercise of power perpetually creates knowledge, and conversely, knowledge constantly induced effects of power. Knowledge was, then, both a creator of power, and a cration of power” (Leitch. 2007: 9). Foucault melihat normalisasi sebagai sebuah proses yang tidak hanya menyajikan tanda mayoritas sebagai “us” dari minoritas sebagai “them” tetapi pada hubungan kekuasaan dalam masyarakat. Melalui normalisasi, Foucault memperlihatkan kekuasaan dan pengetahuan berkonstitusi satu sama lain. Ia menentang bahwa pandangan pengetahuan adalah kekuasaan, pandangan yang melihat pengetahuan sebagai sesuatu yang langkah yang diberikan kekuasaan pada orang-orang yang memilikinya. Sebaliknya Foucault berpendapat bahwa pelaksanaan kekuasaan terus menerus menciptakan pengetahuan dan sebaliknya pengetahuan terus menerus menciptakan kekuasaan Dari kutipan di atas jelaslah bahwa normalisasi mengacu pada proses-proses sosial melalui ide-ide dan tindakan yang terlihat sebagai sesuatu yang normal dan dijadikan sebagai granted atau yang alami untuk mengontrol masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Foucault menjelaskan bahwa normalisasi merupakan salah
31
satu strategi untuk menggerakkan kontrol sosial secara maksimum dengan kekuatan minimum, yang disebut Foucault sebagai disiplin kekuasaan. Daya disiplin ini muncul sejak abad ke-19 untuk digunakan secara luas di rumah sakit, barak militer, sekolah, pabrik, maupun di kantor. Pada novel MSK misalnya, normalisasi banyak sekali dipraktikan dalam rangka mengontruksi kematian sebagai instrumen kekuasaan. Sebagaimana pernyataan Foucault tentang kekuasaan yang menormalisir, maka kekuasaan membentuk subjek-subjek yang dianggap abnormal atau di-liyan-kan. Di antaranya seperti tindakan yang normal adalah kematian sebagai ancaman yang menakutkan sehingga kematian harus diakali, dihindari, dan dijauhi. Tindakan pasrah terhadap kematian merupakan tindakan abnormal abad modern saat ini karena teknologi dapat menjawab permasalahan yang ada. Kemudian munculah teknologi kesehatan yang mengambil peran sebagai kuasa yang mendominasi. Teknologi kesehatan yang memiliki korelasi dengan pengetahuan mengambil lakon sebagai kuasa dominatif kemudian menciptakan subjek lain untuk melegitimasi kekuasaan yaitu pengetahuan itu sendiri dengan penciptaan bayi allogenic hasil genetic engineering. Maka untuk menormalisasi kekuasaan dibentuklah diskursus bahwa selayaknya manusia hasil kloning harus patuh untuk dimanfaatkan sebagian organ tubuhnya guna menyelamatkan manusia lain yang dilahirkan secara normal. Tindakan tuntutan berupa medical emancipation oleh manusia hasil kloning dianggap abnormal. Sesuatu yang menjadi abnormal dari subjek kloning adalah perasaan humanis yang dimiliki olehnya yang sudah dianggap seperti mesin produksi. Jadi jelaslah bahwa kekuasaan
32
melakukan normalisasi dalam rangka mempertahankan kekuasaan itu sendiri tanpa tindakan represif. 1.5.3.3. Resistensi Kekuasaan bukan merupakan hubungan subjek yang searah, kekuasaan juga tidak dapat berdiri sendiri. Setiap affirmasi kekuasaan akan melahirkan resistensi yang berbentuk resistensi. Hal ini dikarenakan resistensi tidak berasal dari luar, melainkan karena adanya kekuasaan itu sendiri. Foucault dalam The History of Sexuality (1978) menyebutkan “Where there is power, there is resistance and yet, or rather consequently, this is never in position of exteriority in relation to power” (Foucault, 1978:95). (Dimana ada kekuasaan, disana ada resistensi dan walaupun demikian, hal ini tidak pernah hadir diluar relasi kekuasaan tersebut). Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa kekuasaan co-existence dengan resistensi. Setiap ada kekuasaan maka akan muncul resistensi yang disebabkan oleh relasi kekuasaan tersebut. Masih dalam tulisan yang sama, Foucault menambahkan: “These points of resistence are present everywhere in the power network. Hence, there is no single and all the hiding places whose discovery is made into an impossible task” (1978:96). (Resistensi ini hadir dimana-mana dalam hubungan kekuasaan. Jadi tidak ada cuma satu titik resistensi dan semua tempat tersembunyi yang tidak memungkinkan hal itu terjadi). Dari kutipan Foucault tersebut diketahui bahwa resistensi dapat hadir dari siapapun dan jaringan kekuasaan manapun melalui hubungan kekuasaan. Resistensi tersebut merupakan sisi lain dari hubunganhubungan kekuasaan; terpatri di dalamnya dan tak tergoyahkan sebagai pelengkap
33
dialektikanya. Jadi resistensi itu juga didistribusikan secara tidak merata, titik-titik, simpul-simpul, api perlawanan perlawanan itu tersebar, sehingga terkadang membangun kelompok atau individu secara definitif, menyalakan titik resistensi tertentu dan kemungkinan besar, itulah kodifikasi titik-titik tersebut membuat suatu revolusi mungkin terjadi (Foucault, 2008:122). Untuk meredam resistensi, maka kekuasaan akan melakukan negosiasi. Negosiasi merupakan strategi untuk melegitimasi kekuasaan dengan cara menerima sekaligus menolak resistensi melalui kesepakatan dan perundingan. Woodwards (2002:99) mengatakan negosiasi berhubungan dengan relasi kekuasaan. Negosiasi merupakan bentuk penerimaan dan pelegitimasian keberadaan others dalam proses interaksi antar individu. 1.7.
Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif
kualitatif. Menurut Boglan dan Taylor metode kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orangorang dan perilaku yang diamati (Moleong, 1982: 3). Penelitian ini menggunakan kajian pustaka dengan cara menganalisis novel My Sister’s Keeper karya Jodi Picoult. Sebagai objek penelitian, karya tersebut kemudian dikaji dengan menggunakan analisis kekuasaan menurut pemikiran Michael Foucault. 1.6.1. Metode Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan untuk penelitian ini berupa data primer dan sekunder. Data primer dalam penelitian ini adalah novel My Sister’s Keeper karya Jodi Picoult.
34
Novel ini dipilih karena diduga menghadirkan bentuk-bentuk ketakutan dalam menghadapi kematian serta pengopreasian kematian sebagai instrumen kekuasaan. Adapun sumber data sekunder diperoleh dari referensi tertulis yaitu buku-buku, makalah, artikel, jurnal, laporan penelitian seperti tesis, skripsi, dan disertasi yang berkaitan dengan objek penelitian. 1.6.2. Metode Analisis Data Dalam menganalisis data, deskripsi teks dalam novel MSK sebagai sumber data primer dikumpulkan dengan melakukan pembacaan, kategorisasi, kemudian dianalisis dengan menggunakan pendekatan geneologis untuk menelusuri produksi wacana, hubungan kekuasaan, serta mekanisme kuasa dibalik pandangan kematian yang terdapat di dalamnya. Dalam kaitannya dengan analisis wacana menurut Foucault dalam Faruk (2012:250) ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan; Pertama, prinsip pembalikan, yakni untuk melihat adanya pemotongan dan penyaringan wacana. Kedua, prinsip diskontinuitas, yakni prinsip yang menyangkut kesediaan menempatkan aneka wacana. Ketiga, Prinsip spesifisitas yakni anggapan bahwa wacana merupakan sebuah tindakan kekerasan yang dilakukan manusia terhadap benda-benda dan disitulah peristiwa-peristiwa wacana menemukan prinsip regularitasnya. Keempat, prinsip ekterioritas, menyangkut perlu memperhatikan kondisi-kondisi
eksternal
yang
memungkinkan
wacana,
pemunculannya,
regularitasnya, apa yang membangkitkan peristiwa-peristiwa itu dan apa yang akan mengukuhkannya.
35
Oleh karena itu untuk menganalisis genealogi tentang pandangan kematian serta mekanisme kekuasaan yang bekerja dibalik pandangan kematian di dalam novel MSK melalui beberapa langkah berikut: 1.
Melihat wacana umum atau dominan mengenai pandangan kematian yang diproduksi yang selama ini dianggap benar dan keberadaannya seolah-olah tampak seperti given dan natural melalui tindakan dan sikap tokoh dalam novel.
2. Melihat adanya wacana-wacana lain yang termarginalkan atau submerged sebagai sesuatu yang diisolasi dan dianggap hilang. 3. Mencari hubungan timbal balik antara sistem kebenaran dan praktik kekuasaan berbentuk jaringan yang di dalamnya terdapat sistem politis yang memproduksi wacana kebenaran. 4. Mencari mekanisme-mekanisme kekuasaan berupa strategi-strategi yang digunakan untuk melegitimasi kekuasaan. 1.8.
Sistematika Penyajian Sistematika
Penyajian
Tesis
berjudul
“Kematian
sebagai
Instrumen
Kekuasaan dalam novel My Sister Keeper Karya Jodi Picoult” ini terdiri dari :
BAB I menguraikan perihal latar belakang masalah yang menjadi sebab utama kenapa penelitian ini harus dilakukan, meliputi latar belakang, masalah dan rumusan masalah. Kemudian landasan teori, yakni penentuan teori atau alat apa yang akan digunakan untuk menjawab masalah dalam penelitian ini yang disertai rasionalisasinya. Selanjutnya, tinjauan pustaka atau penelitian terdahulu untuk mendukung keaslian penelitian ini sekaligus menambah
36
wawasan tentang penelitian ini. Terkhir, metodelogi penelitian yang meliputi metode pengumpulan data, dan metode analisis data.
BAB II merupakan analisis yang menjawab pertanyaan penelitian pertama mengenai bagaimana signifikansi kematian dalam novel MSK karya Jodi Picoult dilihat dari perspektif kekuasaaan Michael Foucault. Pertama, penulis akan mengkategorisasikan bentuk-bentuk pandangan kematian yang terdapat dalam novel berupa kematian sebagai ancaman menakutkan. Setelah itu, penulis mengaitkan dengan konsep kekuasaan Foucault di mana ketakutan akan kematian dijadikan instrumen kekuasaan.
BAB III berisi analisis yang menjawab pertanyaan penelitian kedua mengenai bagaimana mekanisme kekuasaan terhadap wacana kematian yang terdapat dalam Novel MSK. Bab ini terdiri dari tiga sub-bab. Pertama, hubunganhubungan kekuasaan sebagai efek dari wacana kematian. Kedua, praktik BioPolitik kekuasaan yang terdiri dari anatomi politik terhadap
tubuh dan
regulasi kontrol terhadap populasi serta praktik normalisasi dalam rangka pendisiplinan untuk melegitimasi dan mempertahankan wacana kematian sebagai instrumen kekuasaan. Ketiga, ditemukan pula bentuk resistensi sebagai bagian dari adanya affirmasi kekuasaan.
BAB IV merupakan penutup yang berisi intisari atau kesimpulan dari hasil penelitian.
37