BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Dalam PP No. 6 Tahun 2007 Pasal 1 angka 1, Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) diartikan sebagai wilayah pengelolaan hutan sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat dapat dikelola secara efisien dan lestari (Firdaus, 2012). Pembentukan wilayah pengelolaan hutan dilakukan pada tingkat unit pengelolaan. Yang dimaksud dengan unit pengelolaan hutan terkecil sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien dan lestari, yang kemudian disebut KPH, antara lain dapat berupa kesatuan pengelolaan hutan lindung (KPHL), kesatuan pengelolaan hutan produksi (KPHP), dan kesatuan pengelolaan hutan konservasi (KPHK). Seluruh kawasan hutan di Indonesia terbagi habis dalam wilayah KPH. Menurut Kartodihardjo, dkk., (2011), dalam satu wilayah KPH dapat terdiri lebih dari satu fungsi pokok hutan. KPH dikelola oleh organisasi pemerintah yang menyelenggarakan fungsi pengelolaan hutan. Penetapan wilayah KPHL dan KPHP Provinsi Kalimantan Barat sesuai Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK. 67/Menhut-II/2010 tanggal 28 Januari 2010 meliputi area dengan luas ± 6.973.613 ha terdiri dari 29 unit KPHP 29 dengan luas ± 5.601.268 ha dan 5 unit KPHL 5 unit dengan luas ± 1.364.345 ha. Penetapan KPHP Model Kapuas Hulu di Kabupaten Kapuas Hulu melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.380/Menhut-II/2011
1
tanggal 18 Juli 2011 (Azwar, 2014). Sesuai dengan fungsinya kawasan KPHP Kapuas Hulu memiliki tiga tipe hutan yaitu hutan lindung (±246.646,13 ha), hutan produksi terbatas (±131.780,75 ha ), dan hutan produksi (±69.853,34 ha). KPHP Kapuas Hulu merupakan bentuk awal dari KPH Produksi dan masih dalam proses pengembangan, sehingga sering disebut KPH Model Kapuas Hulu. Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Model yang akan menjadi contoh uji coba pengelolaan hutan berkelanjutan di tingkat tapak yang hasilnya akan menjadi pembelajaran dalam pengembangan KPH-KPH lainnya di Kabupaten Kapuas Hulu (Azwar, 2014). Dilihat dari sejarah, kawasan hutan yang berada di wilayah KPH Model Kapuas Hulu pertama kali ditunjuk sebagai kawasan hutan produksi dengan Keputusan Menteri Kehutanan No. 757/Kpts/Um/10/1982, tanggal 12 oktober 1982 yang lebih dikenal sebagai Rencana Pengukuhan dan Penatagunaan Hutan (RPPH) atau Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) Provinsi Kalimantan Barat dengan fungsi Hutan Lindung (HL), Taman Nasional (TN), Hutan Produksi (HP) dan Hutan Produksi Terbatas (HPT) yang merupakan satu hamparan yang sangat luas di Kabupaten Kapuas Hulu (Azwar, 2014). Kemudian diselaraskan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Kalimantan Barat (RTRWP) pada tahun 1995 dan kemudian ditindaklanjuti oleh Pemaduserasian antara RTRWP dengan TGHK Provinsi Kalimantan Barat. Kawasan hutan tersebut kemudian ditunjuk ulang oleh Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 259/Kpts-II/2000, tanggal
2
23 Agustus 2000, tentang penunjukan kawasan hutan dan perairan di Provinsi Kalimantan Barat dan dalam perjalanannya penunjukan tersebut mengalami perubahan delineasi sejalan dengan updater sebagai akibat adanya tata batas. Areal ini juga ditandai dengan adanya izin pemanfaatan oleh perusahaan HPH PT Lanjak Deras, PT. Surya Ketapang Lestari, PT Benua Indah dan PT Bumi Raya Utama, PT Toras Benua Sukses serta HTI PT Lembah Jati Mutiara (Azwar, 2014). Keberadaaan KPHP Kapuas Hulu yang sangat strategis di antara dua taman nasional menjadi jembatan antara ekosistem perairan Taman Nasional Danau Sentarum (TNDS) dan ekosistem dataran rendah hingga pegunungnan Taman Nasional Betung Kerihun (TNBK ). Sebagai koridor lalu lintas satwa liar antar dua taman nasional tersebut, kawasan KPHP Kapuas Hulu berguna untuk memelihara fungsi kawasan sebagai bagian dari kelangsungan habitat satwa liar
yang hidup didalamnya. Keberadaan KPH sekaligus berperan
sebagai salah satu pintu masuk atau akses menuju kedua taman nasional tersebut. Di kawasan koridor tersebut digunakan juga sebagai tempat bermukim masyarakat suku dayak yang memiliki kebudayaan yang khas. Koridor sebagai area penyambung yang dapat menghubungkan kembali bentang alam yang terputus karena alih fungsi lahan (Hilty et al, 2006). Kawasan tersebut ditetapkan sebagai Kawasan Koridor TNBK dengan TNDS yang masuk ke dalam Kawasan Strategi Kabupaten (KSK). Penetapan tersebut dengan tujuan mengembalikan fungsi kawasan TNBK dan TNDS sebagai tempat pelestarian satwa liar yang hidup didalamnya (Azwar, 2014).
3
Satwa liar merupakan potensi kawasan hutan yang perlu dilindungi keberadaannya. Keberadaan satwa liar yang langka ataupun dilindungi di kawasan hutan menjadikan kawasan tersebut memiliki nilai konservasi tinggi dan perlu dilindungi keberadaannya. Salah satu kelas satwa liar yang mudah dijumpai di kawasan hutan adalah burung. Keberadaan burung mempunyai peran yang sangat penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Menurut Sujatnika, dkk., (1995), burung memiliki peranan sebagai indikator bagi keanekaragaman hayati, karena keanekaragaman jenis burung di suatu wilayah
dapat
mencerminkan tingginya
kehidupan
liar
di
daerah
tersebut. Kawasan hutan KPHP Kapuas Hulu merupakan kawasan hutan yang baru dibentuk. Kawasan tersebut perlu membutuhkan data ekologis yaitu berupa data satwa liar dan kondisi lingkungan. Salah satu satwa liar tersebut adalah burung. Sehingga diperlukan penelitan yang membantu menambah database yang berupa informasi mengenai biodiversitas burung beserta kondisi lingkungan di kawasan hutan KPHP Kapuas Hulu. Kegiatan pengelolaan hutan yang dilakukan oleh KPHP Kapuas Hulu pada berbagai tipe hutan (Hutan Lindung, Hutan Produksi, dan Hutan Produksi terbatas), secara tidak langsung mempengaruhi kehidupan dan kelestarian burung yang ada
didalamnya.
Burung
berperan
sebagai
bio-indikator
kesehatan
lingkungan. Sehingga melalui keanekaragaman jenis burung akan mampu menggambarkan tingginya kualitas hayati dari berbagai tipe hutan. Penilitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pengelolaan kawasan hutan
4
KPHP Kapuas Hulu secara lestari pada setiap fungsi kawasan hutan berdasarkan komposisi jenis burung dan kondisi lingkungan. B. Rumusan Masalah Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Kapuas Hulu merupakan kawasan hutan yang baru dibentuk. Sehingga diperlukan masukan informasi berupa data ekologis. Salah satu data ekologiss yang diperlukan adalah data jenis – jenis burung beserta kondisi lingkungan. Kegiatan pengelolaan hutan yang dilakukan oleh KPHP Kapuas Hulu di ketiga tipe hutan (Hutan Lindung, Hutan Produksi, dan Hutan Produksi Terbatas), secara tidak langsung mempengaruhi kehidupan dan kelestarian burung yang ada didalamnya. Sehingga rumusan masalah yang terdapat pada penelitian ini adalah: 1. Bagaimana komposisi dan keanekaragaman jenis burung pada berbagai tipe hutan di KPHP Kapuas Hulu Kalimantan Barat? 2. Bagaimana kesamaan jenis burung pada berbagai tipe hutan di KPHP Kapuas Hulu Kalimantan Barat? 3. Bagaimana kondisi lingkungan pada berbagai tipe hutan di KPHP Kapuas Hulu Kalimantan Barat? C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengetahui komposisi dan keanekaragaman jenis burung pada berbagai tipe hutan di KPHP Kapuas Hulu Kalimantan Barat.
5
2. Mengetahui kesamaan jenis burung pada berbagai tipe hutan di KPHP Kapuas Hulu Kalimantan Barat. 3. Mendeskripsikan kondisi lingkungan pada berbagai tipe hutan di KPHP Kapuas Hulu Kalimantan Barat. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Memberikan informasi mengenai pengetahuan hubungan jenis burung dengan kondisi lingkungan, khususnya di wilayah pengelolaan hutan yang memiliki fungsi utama berupa produksi hasil hutan. Data hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai data sekunder bagi penelitian – penelitian satwa liar (burung) yang akan dilakukan, khususnya yang di Kapuas Hulu maupun Kalimantan. 2. Manfaat Praktis Memberikan bantuan berupa database mengenai jenis burung dan kondisi lingkungan di KPHP Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Data ini berguna untuk mengetahui jenis – jenis burung yang terancam punah, agar diharapkan dilakukan upaya perlindungan kawasan, dan sebagai bahan acuan untuk memetakan kawasan bernilai konservasi tinggi. Kawasan KPHP Kapuas Hulu juga berperan sebagai koridor satwa, dengan diketahuinya jenis – jenis burung dan kondisi lingkungannya, maka hal ini dapat menjadi bahan pertimbangan KPH mengembangkan ekowisata di wilayah KPH terutama wilayah yang menjadi koridor antar kedua taman nasional dengan potensi budaya masyarakat lokal yang ada.
6