BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Pengelolaan sumberdaya hutan dalam dasawarsa terakhir dihadapkan pada gangguan akibat beragam aktivitas manusia, sehingga mengakibatkan kerusakan ekosistem hutan yang ditandai dengan hilangnya jenis lokal, gangguan keragaman hayati dan introduksi jenis asing yang berpotensi sangat merugikan secara ekologi maupun ekonomi (Arief,1994). Beberapa penelitian menjelaskan bahwa deforestasi hutan akibat aktivitas manusia menyebabkan perubahan kondisi lingkungan ekosistem, sehingga mengubah aktivitas dan hubungan antar organisme di dalamnya. Keadaan ini diduga sangat berpengaruh pada keragaman hayati dalam ekosistem tersebut, sehingga membutuhkan kajian lebih lanjut Perfecto & Vandermeer,1996. Penelitian lain dari Fahrig (2003) menjelaskan bahwa kajian-kajian tentang dampak kerusakan ekosistem terhadap keragaman hayati hampir semuanya menunjukkan kecenderungan yang berdampak negatif, meskipun terdapat beberapa kajian yang menjelaskan bahwa tanggapan tersebut beragam (Gaston & Williams, 1996). Keanekaragaman hayati (Biodiversitas) dalam suatu ekosistem terorganisir dalam jaringan ekologi oleh jenis-jenis yang saling berinteraksi.Biodiversitas tertata dalam jaringan interaksi jenis yang sangat kompleks dan mengacu pada beragam macam, kelimpahan spesies, komposisi genetik, serta jenis interaksi antar organisme. Biodiversitas juga mengacu pada macam struktur ekologi, fungsi dan proses pada semua tingkatan Indriyanto, 2006.
1
Stabilitas ekosistem dapat dipandang dari jumlah jenis dalam ekosistem yang konstan, atau jumlah individu suatu jenis di dalam suatu populasi yang konstan. Konsep ini sering disebut sebagai stabilitas tanpa goyangan (no-oscillation stability). Konsep yang lain ialah stabilitas dipandang sebagai kemampuan suatu sistem dalam memelihara, atau mengembalikan diri pada kondisi semula setelah terjadi perubahan, atau dampak karena faktor eksternal yang disebut sebagai stabilitas ketahanan (stabilityresistance). Ahli ekologi mengusulkan istilah daya lenting (resilience) yang berkaitan dengan kemampuan suatu sistem untuk mengatur diri terhadap tekanan, dan hal ini merupakan property yang bersifat fundamental bagi stabilitas ekosistem. Konsep stabilitas lebih ditujukan pada kemampuan sistem untuk kembali pada kondisi semula (Kimins, 1997c). Indonesia merupakan salah satu wilayah di Asia Tenggara yang memiliki masalah penurunan keragaman hayati akibat pembalakan dan alih fungsi lahan (Anonim, 2014). Aktivitas manusia diantaranya pembukaan hutan melalui kegiatan penebangan, pembakaran hutan dan alih fungsi hutan akan mengakibatkan hilangnya keragaman hayati, organisme lokal dan masuknya jenis organisme asing yang berpotensi merugikan,seperti yang pernah dilaporkan oleh Hoffman (2000) di Australia. Indonesia memiliki 187,9 juta ha area daratan, dimana 70% adalah kawasan hutan. Hutan di Indonesia terbagi menjadi hutan konservasi (23,54 juta ha), hutan lindung (31,6 juta ha), dan hutan produksi (81,95 juta ha) (Anonim, 2014). Meskipun demikian,laju deforestasi hutan di Indonesia cukup tinggi, yaitu sekitar 7,2 ha/menit. Forest Watch Indonesia mencatat, bahwa hutan asli Indonesia hanya tinggal 20% atau setara dengan 130 juta hektar (Anonim, 2014).
2
Kehilangan area hutan diduga dapat mengakibatkan kehilangan kekayaan hayati sebanyak 20-50% dari semua spesies pada abad berikutnya (Anonim, 2014). Provinsi Maluku memiliki hutan seluas 4.373.474,65 ha dimana 17.165.35 ha atau 0,39% telah mengalami pengurangan tutupan hutan selama periode 2006-2013 (Anonim,2013). Hutan Sirimau Ambon dengan luas 3,449 ha adalah salah satu kawasan hutan di Provinsi Maluku yang telah ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 430/Kpts-II/1996 tertanggal 13 Agustus 1996 dengan fungsi sebagai pengatur tata air, penampung air di musim hujan, pencegah banjir, pengendali erosi dan pencegah intrusi air laut untuk wilayah Kota Ambon. Pada perkembangannya, kawasan Hutan Sirimau telah mengalami perubahan akibat aktivitas manusia, hingga terbentuk fragmen-fragmen berupa klaster hutan sekunder, pertanian lahan kering, semak-belukar dan pemukiman, akibatnya terjadi fragmentasi hutan yang menganggu komponen biotik dan abiotik dalam hutan Sirimau. Salah satunya adalah semut yang merupakan bagian dari komponen biotik yang hidup dalam Hutan Lindung Sirimau Ambon. Semut adalah salah satu komponen biotik dalam ekosistem hutan yang paling banyak dikaji untuk menjelaskan dampak fragmentasi habitat pada komunitas organisme, terutama karena fungsi dan peran semut yang beragam dalam ekosistem hutan Lassau & Hochuli (2004). Longino dkk, 2002 juga menjelaskan bahwa kerusakan hutan dapat mempengaruhi komunitas semut. Misalnya spesies Aphaenogaster fulva dan Odontoponera transversa yang hanya dapat hidup pada kawasan yang minim gangguan manusia, sedangkan Aphaenogaster rudis dan
3
Camponotus ditemukan pada lahan yang berukuran lebih kecil dan terganggu aktivitas dan kehadiran manusia. Lebih lanjut, semut mempunyai hubungan yang khas dengan organisme lain, dan secara langsung maupun tidak langsung dapat berpengaruh pada keberadaan organisme lain (Majer, 1984 ; Braschler & Baur, 2005). King & Tschinkel (2008) menyatakan bahwa aktivitas manusia mampu menentukan perubahan ekologi, salah satunya melalui dinamika populasi dan susunan komunitas semut yang berpengaruh pada organisme yang lain. Sorvari dkk, 2014 menjelaskan bahwa pembukaan hutan menyebabkan ukuran tubuh semut pekerja spesies Formica aquilonia menjadi lebih kecil. Kajian tersebut menjelaskan bahwa semut kehilangan kutu afid penghuni pohon sebagai sumber pakannya. Dalam hal ini, penelitian dari Sorvari dkk, 2014 menjelaskan tentang hubungan saling ketergantungan antara tumbuhan, serangga herbivor (kutu Afid), dan semut F. aquilonia yang memakan kutu Afid. Kajian lain oleh O’Donnell & Kumar, 2006 menunjukkan bahwa pembukaan hutan cenderung meningkatkan suhu dalam habitat dapat mengganggu perilaku semut. Pada kajian tersebut, semut tentara terbukti cenderung mengurangi kecepatan mencari makan pada habitat yang telah dibuka. Hubungan antara keragaman spesies dan stabilitas komunitas memberikan penjelasan tentang pentingnya mempertahankan kekayaan spesies dalam komunitas biologi. Komunitas yang minim gangguan akan kaya dengan spesies dan memiliki ketahanan untuk melanjutkan fungsi ekosistem. Dalam bidang konservasi alam (nature conservation) dan pengelolannya, struktur dan fungsi hutan dapat dikarakterisasi dengan
4
menggunakan bioindikator, di antaranya dengan tumbuhan, hewan dan mikroorganisme baik dalam tingkat individu maupun populasi. Semut dapat digunakan sebagai indikator dalam sebuah ekosistem karena semut mampu merespon perubahan dan gangguan yang terjadi dalam habitatnya (Andersen, 1997). Pendapat lain dari Anjali Kumar & O'Donnell, 2007 bahwa semut dapat digunakan untuk menilai kondisi ekosistem hutan untuk tujuan pencapaian kesehatan hutan karena semut mempunyai korelasi yang kuat dengan beberapa variabel ekosistem yakni vegetasi, iklim mikro, tanah, dan fauna tanah lainnya. Semut juga sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan. Semut dapat menjadi alat ukur untuk mengevaluasi atau mengukur perubahan dalam ekosistem melalui pendekatan keanekaragaman dan pencandraan fungsi dan peran,serta interaksi (hubungan) antar organisme di dalam eksosistem hutan, baik yang belum terjamah maupun yang telah dijamah oleh manusia. Anjali Kumar & O'Donnell, 2007. Kerusakan habitat akan memaksa semut untuk tetap bertahan dan menyesuaikan diri, atau berpindah mencari habitat yang baru dalam menghadapi tekanan lingkungan habitatnya (Peterson & Seligman, 2004). Kemampuan semut untuk merespon keadaan lingkungan sangat menentukan kemampuan bertahan sekaligus menentukan stabilitas kehadirannya dalam ekosistem. Penelitian ini meliputi dua kajian yakni pertama terhadap kondisi Hutan Lindung Sirimau yang telah mengalami deforestasi akibat faktor antropogenik dan non antropogenik dan kajian kedua terhadap keberadaan semut dalam merespon kerusakan hutan lindung.
5
1.2.Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini yakni : 1. Mengidentifikasi kerusakan ekosistem Hutan Lindung Sirimau Ambon akibat aktivitas manusia dengan pendekatan pada hubungan vegetasi dan semut yang dipengaruhi oleh faktor abiotik (Suhu tanah, kandungan bahan organik, suhu udara dan kelembapan udara). 2. Mengetahui respon semut terhadap kerusakan yang terjadi dalam Hutan Lindung Sirimau Ambon. 1.3. Perumusan Masalah Aktivitas manusia di dalam Hutan Lindung Sirimau Ambon diduga telah merusak ekosistem hutan lindung sehingga menurunkan fungsinya sebagai pengatur tata air, penampung air di musim hujan, pencegah banjir, pengendali erosi dan pencegah intrusi air laut untuk wilayah Kota Ambon. Akibat lanjut terbentuk empat klaster baru yakni hutan sekunder, pertanian lahan kering, semak-belukar dan pemukiman. Pertanyaan yang muncul adalah apakah kerusakan yang disebabkan oleh aktivitas manusia tersebut menimbulkan dampak berantai pada vegetasi dan organisme yang berhubungan dengan vegetasi, salah satunya adalah Arthropoda? Jika dampak tersebut berantai, apakah Arthropoda, salah satunya semut dapat digunakan sebagai alat ukur dampak tersebut? Semut adalah salah satu komponen biotik dalam ekosistem hutan yang banyak dimanfaatkan untuk mengamati perubahan ekosistem, karena bersifat sangat tanggap (responsif). Semut digunakan dalam penelitian ini dengan mengamati hubungan
6
(korelasi) antara semut dengan vegetasi yang dipengaruhi oleh dinamika faktor-faktor abiotik (suhu tanah, kandungan bahan organik, suhu udara, kelembapan udara, curah hujan dan intensitas penyinaran matahari) akibat aktivitas manusia melalui analisis keragaman dan kekayaan spesies, frekuensi kehadiran, serta pengelompokkan semut yang dijumpai dalam kelompok-kelompok fungsional. Penelitian ini meliputi dua kajian yakni yang pertama kajian terhadap kondisi Hutan Lindung Sirimau yang telah mengalami deforestasi akibat faktor antropogenik dan non antropogenik serta kajian kedua terhadap keberadaan semut dalam merespon kerusakan hutan lindung. 1.4. Keaslian Penelitian Penelitian tentang tanggapan semut terhadap kondisi lingkungan (abiotik dan biotik) sudah banyak diteliti. Penelitian di Brasil oleh Delabie & Fowler (1993) menunjukkan bahwa aktivitas manusia pada perkebunan Kakao, termasuk pengolahan tanah dan pemupukan sangat mempengaruhi kehadiran semut. Dalam kurun waktu selama 20 tahun industri pertambangan di Australia telah menggunakan kekayaan jenis semut dan komposisinya sebagai indikator untuk menilai keberhasilan restorasi penambangan (Majer,1983) dan protokol ini juga diujicobakan di Brasil (Majer, 1992 ) dan Afrika Selatan (Majer & Nichols,1998). Mereka menemukan bahwa selama proses penambangan kekayaan jenis semut dan komposisinya menurun dan mengalami pemulihan ketika areal penambangan ditumbuhi vegetasi dan hadir kelompok invertebrata lainnya (Majer,1983).
7
Spellerberg, 1993 di Brazil menggunakan semut sebagai indikator pada areal pertanian yang berbatasan dengan hutan dan areal pertanian yang berbatasan dengan pemukiman, menemukan perbedaan komposisi jenis dan jumlah yang sangat signifikan antara kedua lokasi. Penelitian seperti ini belum pernah dilaksanakan di Indonesia terutama di Maluku, sehingga penelitian ini dapat memberikan pencerahan tentang hubungan aktivitas manusia yang berwujud perubahan fungsi lahan terhadap kehadiran semut melalui dinamika kondisi abiotik dan biotik terutama dalam ekosistem hutan. Penelitian ini dilakukan dengan mengamati kondisi biotik dan abiotik pada lima klaster masing-masing hutan primer, hutan sekunder, semak belukar, pemukiman, dan pertanian lahan kering kemudian dikaitkan dengan keberadaan semut. Fokus dari penelitian ini adalah membuktikan dugaan bahwa keberadaan dan kehadiran semut dipengaruhi oleh kondisi vegetasi (diamati dengan metode NDVI dan inventarisasi vegetasi) akibat aktivitas manusia. Faktor abiotik disertakan dalam pengamatan untuk memperkuat dugaan bahwa aktivitas manusia pada vegetasi berdampak pada kondisi abiotik (suhu udara, kelembapan udara dan bahan organik). Penelitian ini menjadi berbeda dengan penelitian sebelumnya karena mengkombinasikan faktor abiotik (kondisi edafik dan non-edafik) dan biotik (kondisi vegetasi dan kehadiran semut) dalam dua kajian.
8
1.5. Hipotesis Penelitian Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang diulas maka beberapa hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini yakni : 1. Semut akan merespon kerusakan dalam ekosistem Hutan Lindung Sirimau yang ditunjukan melalui perubahan keragaman, kelimpahan, dominansi, kehadiran, ketidakhadiran, kehilangan dan kemunculan jenis baru. 2. Respon semut dalam Hutan Lindung Sirimau dapat digunakan sebagai alat ukur untuk menilai kerusakan ekosistem Hutan Lindung Sirimau. 1.6. Kerangka Pikir Penelitian Kerusakan ekosistem hutan akibat aktivitas manusia berdampak pada keragaman hayati, yang dapat menurunkan fungsi ekosistem hutan. Aktivitas manusia dalam Hutan Lindung Sirimau Ambon telah mengakibatkan kerusakan ekosistem dengan terbentuknya empat klaster baru, yaitu hutan sekunder, pertanian lahan kering, semak-belukar dan pemukiman. Hal ini berpotensi mengganggu fungsi Hutan Lindung Sirimau Ambon sebagai pengatur tata air, penampung air di musim hujan, pencegah banjir, pengendali erosi dan pencegah intrusi air laut untuk wilayah Kota Ambon. Semut adalah salah satu komponen biotik dalam ekosistem Hutan Lindung Sirimau, dengan fungsi dan peran ekologis yang sangat penting. Logika berpikir yang dibangun pada penelitian ini adalah sebagai berikut. Pertama, gangguan pada ekosistem,di antaranya penebangan pohon dan perubahan penggunaan lahan (land-use) akibat kehadiran manusia yang telah mengubah struktur dan komposisi vegetasi. Kedua, perubahan struktur dan komposisi vegetasi berdampak pada perubahan faktor abiotik,
9
yakni suhu, kelembapan udara, dan kondisi tanah. Ketiga, perubahan-perubahan yang terjadi pada faktor biotik dan abiotik akan mempengaruhi kehidupan semut yang merupakan salah satu komponen penting dalam ekosistem Hutan Lindung Sirimau Ambon, sehingga penelitian ini untuk mengamati ketiga hal tersebut dan menganalisis hubungan di antara ketiganya.
10