BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG A.1. Konteks Islam di Indonesia Pergulatan Islam pada satu dasawarsa terakhir menghantar pengamatan pada akar masalah sejarah panjang pertautan Islam dan politik. Bahwa Islam dan politik yang dipahami melekat-identik sedari masa formatif menjadi pemicu munculnya berbagai upaya pembaruan
W
pemikiran Islam yang merintis jalan baru Islam dengan wilayah-wilayah baru yang dimasukinya.1 Praksis pembaruan Islam di Indonesia, selain sebagai reaksi atas dominasi
U KD
Barat yang hegemonik,2 tidak dapat dilepaskan dari pergulatan internal Islam di bidang politik untuk kontekstual dengan nalar publik masyarakat modern.3 Gagasan untuk studi ini diinspirasi oleh kondisi masa kini umat Islam Indonesia, yang makin pragmatis, fungsional (dan kurang dogmatis) dalam sikap politik, yang bisa diacu pada kekalahan partai-partai politik Islam pada dua pemilu terakhir tahun 1999 dan 2004,4 serta
©
peristiwa-peristiwa berupa pertarungan ditataran wacana antara ‘Islam liberal’ dan ‘Islam
1
Lihat ‘The Resurgence of Islamic State’ dalam Asghar Ali Enginer, The Islamic State, 1980, New York: Advent Book, p. 147-198.
2
Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, 1998, Bandung: Mizan, p. 253-255. Lihat juga Abdullahi Ahmed An-Na’im, Dekonstruksi Syariah: Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia, dan Hubungan Internasional dalam Islam, 2004, Yogyakarta: LKiS, p. 6-7. Anthony Bubalo dkk., PKS dan Kembarannya: Bergiat Jadi Demokrat di Indonesia, 2012, Depok: Komunitas Bambu, p. 5-6.
3
Lihat Olaf Schumann, ‘Kata Pengantar’, dalam Djohan Effendi, Pembaruan Tanpa Membongkar Tradisi: Wacana Keagamaan di Kalangan Generasi Muda NU Masa Kepemimpinan Gus Dur, 2010, Jakarta: Kompas, p. vii-xxvi. Yudi Latif, Dialektika Islam: Tafsir Sosiologis atas Sekularisasi dan Islamisasi di Indonesia, 2007, Yogyakarta: Jalasutra, p. 77-78, 91-92. Budhy Munawar-Rachman, Argumen Islam untuk Sekularisme: Islam Progresif dan Perkembangan Diskursusnya, 2010, Jakarta: Grasindo, p. 37.
4
Luthfi Assyaukanie, Ideologi Islam dan Utopia: Tiga Model Negara Demokrasi di Indonesia, 2011, Jakarta: Freedom Institute, p. 286.
1
fundamentalis’.5 Penegasan ini tidaklah menafikan kebangkitan Islamisme radikal yang menciderai paham pluralitas Indonesia, menggunakan agama menyulut pertikaian, menebar konflik yang berarti ‘membajak Tuhan’.6 Melalui lingkungan kreatif (milieu), generasi muda Nahdliyin dan Muhammadiyah,7 lahir gagasan-gagasan pembaruan Islam di Indonesia. Bila merunut ke sejarah Indonesia modern, Islam dan politik seperti ditakdirkan saling bertaut. Dalam perkembangan mutakhir pertautan itu semakin rapat.8 Inilah yang Taufik Abdullah sebut ‘struktur keniscayaan’ (plausibility structure) teologis, historis dan sosiologis.9 Islam itu universal (teologis), berpengalaman dengan politik sejak masa formatif
W
(historis), dan dipeluk oleh mayoritas penduduk Indonesia (sosiologis). Karenanya, prinsip majoritarianisme10 pun merupakan keniscayaan.
U KD
Pertanyaannya, bagaimana teologi mampu membentuk ‘struktur keniscayaan’ umat Islam di bidang politik? Teologi merupakan hasil konstruksi umat Islam terhadap ajaran agamanya. Di bidang politik, aspek teologis memuat keyakinan terhadap kaitan Islam dan
Ulil Abshar-Abdalla, dkk., Islam Liberal & Fundamental: Sebuah Pertarungan Wacana, 2003, Yogyakarta: eLSAQ Press. Farag Fouda, Kebenaran Yang Hilang: Sisi Kelam Praktik Politik dan Kekuasaan dalam Sejarah Kaum Muslim, 2008, Jakarta: Paramadina.
6
Budhy Munawar-Rachman, Membela Kebebasan Beragama: Percakapan tentang Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme (Buku 1), 2010, Jakarta: Paramadina dan LSAF, p. 191-208. Munawar-Rachman, Argumen Islam untuk Sekularisme: Islam Progresif dan Perkembangan Diskursusnya, 2010, p. 38-39. Komaruddin Hidayat dan Muhamad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan: Perspektif Filsafat Perenial, 2003, Jakarta: Paramadina, p. 53-67.
7
Kontribusi Generasi Muda NU dalam Islam kontekstual, lihat Hairus Salim HS dan Muhammad Ridwan (Ed.), Kultur Hibrida: Anak Muda NU di Jalur Kultural, 1999, Yogyakarta: LKiS. Sementara dari Kultur Muhammadiyah, lihat Ahmad Syafii Maarif, (Eds.), Menggugat Modernitas Muhammadiyah: Refleksi Satu Abad Perjalanan Muhammadiyah, 2010, Jakarta: Best Media Utama dan PSIF UMM. Pradana Boy dan M. Hilmi Faiq (Ed.), Kembali ke Al’Qur’an Menafsir Makna Zaman: Suara-suara Kaum Muda Muhammadiyah, 2004, Malang: UMM. Mu’arif, Meruwat Muhammadiyah: Kritik Seabad Pembaruan Islam di Indonesia, 2005, Yogyakarta: Pilar Media.
8
Syarifuddin Jurdi, Pemikiran Politik Islam Indonesia: Pertautan Negara, Khilafah, Masyarakat Madani dan Demokrasi, 2008, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, p. 465-486. Lili Romli, Islam Yes Partai Islam Yes: Sejarah Perkembangan Partai-Partai Islam di Indonesia, 2006, Yogyakarta-Jakarta: Pustaka Pelajar dan LIPI.
9
Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah, 1996, Jakarta: LP3ES, p. 39.
10
Saiful Mujani, Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia PascaOrde Baru, 2007, Jakarta: Gramedia, Paramadina, Kedubes Denmark, p. 83-84.
©
5
2
politik.11 Yaitu keyakinan teologis terhadap totalitas ajaran Islam, persis yang dinyatakan H.A.R. Gibb: ‘Islam is indeed much more than a system of theology, it is complete civilization’.12 Politik diyakini sebagai salah satu –kalau tidak malah satu-satunya— aspek penting dari ajaran Islam. Keterlibatan dalam politik sama halnya dengan menerapkan ajaran Islam. Merujuk pandangan di atas, Nazih Ayubi mengatakan bahwa ‘bagi kalangan Muslim ini realisasi sebuah masyarakat Islam dibayangkan dalam penciptaan negara Islam, yakni negara ideologis berdasar ajaran-ajaran Islam yang lengkap’.13 Sinyalemen Ayubi ini dalam
W
konteks dekade awal Orde Baru tidak beroleh dukungan politik dan publik, akibatnya hubungan politik antara Islam dan negara merupakan cerita antagonisme satu sama lain.14
U KD
Sejarah mencatat bahwa Islam di Indonesia mengalami transformasi sosial dan pergeseran cara berpikir. Hingga meretasnya corak Islam damai dan tentram. ‘Sebuah Islam tanpa ambisi politik’, kata Fachry Ali.15 Tanpa agenda politik-ideologis umat Islam terbantu menjawab tantangan konteks untuk menampilkan diri sebagai kekuatan dinamis dalam transformasi sosial.16 Hingga muncul generasi baru Islam dari kalangan santri yang sangat dengan
ide-ide
progresif.17
Mereka
berwacana
teologi
progresif
untuk
©
gemar
11
Lihat Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, 1988, Jakarta: LP3ES, p. 1.
12
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, 1998, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, p. 79-80. Dikutip dari H.A.R. Gibb, Wither Islam?: A Survey of Modern Movement in the Moslem World, 1932, London: Victor Gollancz, p. 12.
13
Nazih Ayubi, Political Islam: Religion and Politics in the Arab World, 1991, London-New York: Routledge, p. 63-64. Perdebatan tentang negara Islam dan pikiran-pikiran kalangan Islam progresif pada era modern lihat Engineer, The Islamic State, 1980, p. 87-121.
14
Donald K. Emmerson, ‘Islam in Modern Indonesia: Political Impasse, Cultural Oppurtunity’, dalam Philip H. Stoddard (Ed), Change and the Muslim World, 1981, Syracuse: Syracuse University Press, p. 160.
15
Fachry Ali, ‘Kembali ke Individu dan Hotel Mandarin’, dalam Tempo, 19 Juli 1986, No. 21, Thn. XVI, p. 70-71. Lihat juga Latif, Dialektika Islam: Tafsir Sosiologis atas Sekularisasi dan Islamisasi di Indonesia, 2007, p. 80, 90.
16
Howard M. Federspiel, Muslim Intellectual and National Development in Indonesia, 1992, New York: Nova Science Publishers, p. 9-10.
3
‘mengindonesiakan Islam’.18 Secara teologis, Azyumardi Azra menyebutnya sebagai babak baru kelahiran Teologi Kontekstual dalam pengalaman Islam di Indonesia.19
A.2. Konteks Kristen (Protestan) di Indonesia Modernisme yang melanda dunia Barat pada sekitar dua abad lalu telah melahirkan tata dunia baru yaitu dominasi sains dan kapitalisme. Di bidang ekonomi, materialisme ontologis dan praktis membentuk sistem nilai berupa ke-‘buas’-an mengontrol dan menguasai dunia material. Proses eksploitasi alam pun diyakini sebagai ‘kehendak Tuhan’.20 Dengan
W
paham filosofis-teologis tertentu21 cita-cita hidup adalah ‘berapa banyak manusia dapat memiliki’ (what is one’s own)22 dan ‘gelora mengejar kemakmuran’ (the revolution of rising
U KD
expectations).23 Ironisnya, keyakinan ini mengalami transmisi dalam relasi sosial menjadi imperialisme-kolonialisme. Kini berlaku aturan main the struggle of people against people: perjuangan memperebutkan hak atas hidup, kemerdekaan dan harta milik ‘yang lain’ (the
Budhy Munawar-Rachman, Reorientasi Pembaruan Islam: Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme Paradigma Baru Islam Indonesia, 2010, Jakarta: LSAF dan Paramadina.
18
Mujiburrahman, Mengindonesiakan Islam: Representasi dan Ideologi, 2008, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Nurcholish Madjid, ‘Agama dan Negara dalam Islam: Telaah atas Fikih Siyasi Sunni’, dalam Budhy Munawar-Rachman, Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, 1995, Jakarta: Paramadina, p. 588. Latif, Dialektika Islam: Tafsir Sosiologis atas Sekularisasi dan Islamisasi di Indonesia, 2007, p. 77, 91-92.
19
Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam, 1999, Jakarta: Paramadina.
20
Herry Priono, ‘Nilai Budaya Barat dan Timur: Menuju Tata Hubungan Baru’, dalam Tim Redaksi, Seri Filsafat Driyarkara 4, Capita Selekta: Jelajah Hakikat Pemikiran Timur, 1993, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, p. 6.
21
Bdk. Max Weber, Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme, 2006, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Lihat juga Agus Rachmat W., ‘Kultur Individualitas Modern’, dalam I. Bambang Sugiharto dan Agus Rachmat W., Wajah Baru Etika & Agama, 2005, Yogyakarta: Kanisius, p. 143.
22
Priono, ‘Nilai Budaya Barat dan Timur: Menuju Tata Hubungan Baru’, dalam Tim Redaksi, Seri Filsafat Driyarkara 4, Capita Selekta: Jelajah Hakikat Pemikiran Timur, 1993, p. 8.
23
Rachmat W., ‘Titik Sentuh Etika dan Ekonomi’, dalam Sugiharto dan Rachmat W., Wajah Baru Etika dan Agama, 2005, p. 31.
©
17
4
other).24 Di sini teologia Kristen tentang ‘yang lain’ (the other) dibangun dan berandil dalam proses imperialisme-kolonialisme, di mana ‘misi Kristen membonceng di dalamnya’.25 Kedatangan bangsa Barat ke Asia dan Nusantara memberi panggung rivalitas dengan babak baru permusuhan antara Katolik –diwakili Spanyol dan Portugis— dengan pihak Protestan Belanda.26 Penjelajahan samudera juga diselimuti motivasi teologis –dengan semboyan 3G: Gold, Glory and Gospel— untuk melanjutkan cerita berseri perjumpaan Barat yang Kristen dengan ‘imperium setan’, Islam.27 Perjumpaan dengan Islam sesungguhnya mengandung problem teologis yang tidak mudah dijelaskan oleh kekristenan. Dari dulu
W
sampai sekarang tidak ada pendapat yang umum diterima mengenai tempat Islam dalam teologi Kristen.28 Setidaknya berakhirnya Perang Salib di belahan Barat tidak berarti selesai
U KD
sudah dendam kesumat. Luka-luka batin (painful remembering) menjadi ‘ingatan kolektif’ (collective memory) dibawa oleh bangsa-bangsa Barat (Spanyol dan Portugis) hingga tiba di belahan Timur. Di dunia baru itupun terjadi perjumpaan Barat yang Kristen dengan rival abadi, Islam. Di sinilah perkembangan teologi Kristen mengenai perang suci kental latar
©
belakang perlawanan terhadap ancaman Islam.29 Bahkan, ‘Hampir satu milenium, umat
24
Lihat Rachmat W., ‘Kultur Individualitas Modern’, dalam Ibid., p. 131.
25
Elisabeth Schussler Fiorenza, The Power of The Word: Scripture and the Rhetoric of Empire, 2007, Minneapolis: Fortress Press. Lamin Sanneh, Translating the Message: The Missionary Impact on Culture, 1991, New York: Orbis Books, p. 88-129. E.G. Singgih, Mengantisipasi Masa Depan: Berteologi dalam Konteks di Awal Milenium III, 2005, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, p. 166.
26
M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, 2008, Jakarta: Serambi, p. 69-70. Lihat juga Bambang Ruseno Utomo, Hidup Bersama di Bumi Pancasila: Sebuah Tinjauan Hubungan Islam dan Kristen di Indonesia, 1993, Malang: Pusat Studi Agama dan Kebudayaan, p. 98-99. Lihat juga van den End, Ragi Carita 1: Sejarah Gereja di Indonesia 1500-1860, 2006, p. 27.
27
Lihat Esposito, Unholy War: Teror Atas Nama Islam, 2003, p. vii. Lihat juga Th. van den End dan Christian de Jonge, Sejaran Perjumpaan Gereja dan Islam, 1997, Jakarta: STT Jakarta.
28
Lihat van den End dan de Jonge, Sejarah Perjumpaan Gereja dan Islam, 1997, p. 140.
29
Ibid., p. 70-71.
5
Kristen Eropa secara periodik melihat Islam sebagai ancaman militer’.30 Yang hingga kini masih sulit disembuhkan dan selalu bisa dicarikan penjelasannya pada akar sejarah ini. Tumpang tindihnya motif ekonomi dan teologi membuat ‘misi mengadabkan’ (mission civilatrice) bangsa-bangsa lain hanyalah pelunakan saja dari misi menghancurkan para musuh Tuhan. Agama Kristen mengklaim punya mandat Tuhan, dan atas nama Tuhan misi mewartakan iman yang benar berarti mengalahkan setiap penghalang misi Tuhan.31 Catatan John Hick dan Ayoub memberi arsiran betapa bayang-bayang perang salib ternyata ‘meninggalkan warisan saling curiga yang masih terus berlanjut hingga kini’.32 Dalam relasi
W
religio-kultural yang kini diupayakan, persoalan ‘warisan kolektif’ ini bukanlah soal yang mudah diselesaikan oleh pihak Kristen. ‘Gambaran karikatur’33 berupa ‘ingatan kolektif’ ini
U KD
memvisualkan cerita pedih melampaui maksud dari situasi asalnya.34 Dalam keruhnya situasi yang dibangun oleh teologi Kristen, upaya merajut konteks menjadi tantangan buat meretasnya Teologi Kontekstual dalam pengalaman Kristen di Asia35 dan di Indonesia.36 Sebuah teologi progresif tentang tempat Islam dalam pengalaman berteologi Kristen.
Leo D. Lefebure, Penyataan Allah, Agama, dan Kekerasan, 2006, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, p. 193.
31
James Turner Johnson, Ide Perang Suci dalam Tradisi Islam dan Barat, 2002, Yogyakarta: Qalam.
32
John Hick, Dimensi Kelima: Menelusuri Makna Kehidupan, 2001, Jakarta: Raja Grafindo Persada, p. 195. Lihat juga Mohammad Ayoub, Mengurai Konflik Muslim Kristen Perspektif Islam, 2007, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, p. 252.
33
Calvin E. Shenk, Who Do You Say That I Am?: Christians Encounter Other Religions, 1997, ScottdaleOntario: Herald Press, p. 212-213.
34
Faisal Ismail, ‘Ingatan Kolektif Tentang Perang Salib dan Butir-Butir Hikmah Pembelajarannya Bagi Kesinambungan Penguatan Hubungan Muslim-Kristen di Indonesia’, 2011, dalam Kumpulan Makalah Studi Intensif Tentang Islam (SITI) Angkatan IX, Kerjasama PSAA UKDW, LPPS GKJ-GKI, Sinode GKJ, Sinode GKI, 18-28 Juli 2011, tidak diterbitkan, p. 1-11. Lihat juga Latif, Dialektika Islam: Tafsir Sosiologis atas Sekularisasi dan Islamisasi di Indonesia, 2007, p. 61-63.
35
Douglas J. Elwood (Ed.), Teologi Kristen Asia: Tema-tema yang Tampil ke Permukaan, 1992, Jakarta: BPKGunung Mulia. R.S. Sugirtharajah, Wajah Yesus di Asia, 2007, Jakarta: BPK-Gunung Mulia. A.A. Yewangoe, Theologia Crucis di Asia: Pandangan-pandangan Orang Kristen Asia Mengenai Penderitaan dalam Kemiskinan dan Keberagamaan di Asia, 1996, Jakarta: BPK-Gunung Mulia.
36
E.G. Singgih, Dari Israel ke Asia: Masalah Hubungan di antara Kontekstualisasi Teologi dengan Interpretasi Alkitabiah, 1982, Jakarta: BPK-Gunung Mulia. E.G. Singgih, Berteologi dalam Konteks: Pemikiran-pemikiran Mengenai Kontekstualisasi Teologi di Indonesia, 2000, Jakarta-Yogyakarta: BPK-
©
30
6
A.3. Islamisasi dan Kristenisasi Menurut Merle C. Ricklefs, Islamisasi Indonesia adalah proses perubahan agama yang terjadi selama beberapa abad. Bahkan, Islamisasi adalah proses yang berlangsung terus hingga kini.37 Premis ini penting untuk mengkonstruksi arus masif transmisi Islam dari lingkungan asalnya dan merupakan proses yang sangat menentukan dalam sejarah Indonesia. Di mana Islamisasi damai telah berkait-kelindan dengan proses penaklukan dengan peperangan.38 Untuk kedua proses, damai dan perang, Islam tampil menjadi kekuatan yang paling mengakar dalam religiositas masyarakat dan menjadi agama rakyat.39
W
Ketika Kristen (Katolik dan Protestan) tiba, nyaris seluruh wilayah Nusantara telah di bawah pengaruh Islam. Kekristenan bermetamorfosis menjadi kantong-kantong kecil, secara
U KD
sosial terisolasi dalam kekristenan benteng. Agama Kristen, dibanding Islam, tetaplah bercitra agama asing dan untuk batas tertentu tidak sempat bertransformasi menjadi agama pribumi.40 Sejarah transformasi Kristen paling jelas adalah ‘gereja suku’ yang secara sosial terisolasi, cemas dengan Islam, membangun benteng diri dengan keparlentean rohani, penuh
©
dengan fetish karena terpesona pada penyembahan nenek moyang, dan di tengah
Gunung Mulia-Kanisius. Pramudianto dan Martin L. Sinaga (Peny.), Pergulatan Kontekstualisasi Pemikiran Protestan Indonesia, 1999, Jakarta: UPI STT Jakarta. Eka Darmaputera (Peny.), Konteks Berteologi di Indonesia: Buku Penghormatan Untuk HUT ke-70 Prof.Dr.PD. Latuihamallo, 2004, Jakarta: BPK-Gunung Mulia. Widi Artanto, Menjadi Gereja Misioner dalam Konteks Indonesia, 2008, Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen. 37
Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, 2008, p. 34, 45.
38
Ibid., p. 48.
39
Aqib Suminto, ‘Islam Indonesia Sepanjang Sejarah’, dalam Abdurrahman (Eds.), 70 Tahun H.A. Mukti Ali: Agama dan Masyarakat, 1993, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, p. 314. Jacob Sumardjo, Arkeologi Budaya Indonesia: Pelacakan Hermeneutis-Historis terhadap Artefak-Artefak Kebudayaan Indonesia, 2002, Yogyakarta: Kalam, p. 53-66.
40
Zakaria J. Ngelow, Kekristenan dan Nasionalisme: Perjumpaan Umat Kristen Protestan dengan Pergerakan Nasional Indonesia, 1900-1950, 1994, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, p. 14-15. Lihat juga Lorraine V. Aragon, Fields of The Lord: Animism, Christian Minorities, and State Development in Indonesia, 2000, Honolulu: University of Hawaii Press, p. 326.
7
kompleksitas kemajemukan tidak siap bertemu ‘sang liyan’ (the other).41 Identitas Kristen akhirnya sarat patologi sosial yang berakar pada praksis yang nyaris buta konteks sosial. Dalam perjumpaan antara Islam dan Kristen hingga di abad modern, idea Islamdom dan Christendom masih menjadi ‘ingatan pedih’ (painful remembering)42 dalam rangka integrasi sosial secara kontekstual. Transformasi identitas dan praksis sosial akan menjadi titik balik meretasnya teologi progresif tentang kemanusiaan dan keindonesiaan.
B. RUMUSAN MASALAH
W
B.1. Pergulatan Islam di Indonesia Pandangan bahwa politik sebagai satu-satunya cara memahami realitas telah
U KD
menggerakkan sebuah paradigma memahami Islam secara monolitik. Adanya berbagai macam teologi, filsafat, mazhab fiqh, telah menunjukkan bahwa ajaran Islam itu ‘warnawarni’ (multiinterpretatif).43 Watak ‘warna-warni’ ini mengisyaratkan keharusan pluralisme dalam tradisi Islam44 dan memaknai realitas pun secara plural.45
Martin Lukito Sinaga, ‘Mencari Corak Lokal Kekristenan di Indonesia’, dalam Jurnal Teologi Proklamasi, Edisi No. 5 / Th. 3 / Februari 2004, p. 22-29. Lihat juga Singgih, Berteologi dalam Konteks: Pemikiranpemikiran Mengenai Kontekstualisasi Teologi di Indonesia, 2000, p. 125.
42
Lihat Latif, Dialektika Islam: Tafsir Sosiologis atas Sekularisasi dan Islamisasi di Indonesia, 2007, p. 61-63. Lihat Th. Sumartana, Mission at the Crossroads: Indigenious Churches, European Missionaries, Islamic Association and Socio-Religious Change in Java 1812-1936, 1993, Jakarta: BPK-Gunung Mulia. Lihat ‘Pasang Surut Interaksi Kristen-Islam’ dalam Alwi Shihab, Membedah Islam di Barat: Menepis Tudingan Meluruskan Kesalahpahaman, 2004, Jakarta: Gramedia, p. 41-112. Lihat juga John Chesworth, ‘Challenges to the Next Christendom: Islam in Africa’, dalam Frans Wijsen dan Robert Schreiter (Eds.), Global Christianity: Contested Claims, 2007, Amsterdam: Rodopi, p. 117-132.
43
Budhy Munawar-Rachman, Argumen Islam Untuk Pluralisme: Islam Progresif dan Perkembangan Diskursusnya, 2010, Jakarta: Grasindo, p. 35. Lihat ‘Myth of the Monolith’, dalam Mohammad Ayoub (Ed), The Politics of Islamic Reassertion, 1981, London: Croom Helm, p. 1-6. Robert W. Hefner, Civil Islam: Muslims and Democratization di Indonesia, 2000, Princeton and Oxford: Princeton University Press, p. 7.
44
Marshall G.S. Hodgson, The Venture of Islam: Iman dan Sejarah dalam Peradaban Dunia, 1999, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina (buku 1). Lihat juga Bahtiar Effendy, ‘Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktek Politik Islam di Indonesia’, dalam Prisma, No. 5/1995.
45
Budhy Munawar-Rachman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, 2001, Jakarta: Paramadina.
©
41
8
Menurut Yudi Latif, selain tidak monolitik, di Indonesia tidak akan pernah terjadi Islamisasi total dan sekularisasi total.46 Kenyataan ini membuka banyak penafsiran mengenai Islam (a poly interpretable religion), yang tercermin pada pandangan berbeda diametral mengenai relasi Islam dan politik.47 Pada satu pihak, kaum Islamis menganggap bahwa Islam adalah agama sempurna48, konsep demokrasi bertentangan dengan konsep ummah dan harus ditolak.49 Di pihak lain, kalangan Islam progresif berpendapat bahwa perhatian utama alQur’an adalah tata masyarakat adil dan bermoral.50 Premis Islam adalah agama dan negara hanyalah mengaburkan posisi kenabian Muhammad.51 Sehingga tidak ada alasan teologis
W
menolak nilai-nilai politik modern berupa demokrasi, kemerdekaan sipil dan pluralisme.52
U KD
Wacana penegakkan khilafah atau imamah yang marak diwacanakan hanyalah romantisme
Latif, Dialektika Islam: Tafsir Sosiologis atas Sekularisme dan Islamisasi di Indonesia, 2007, p. xvi.
47
W. Montgomery Watt, Islamic Political Thought, 1980, Edinburgh: Edinburgh University Press. Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, 2008, Jakarta: UI Press, p. 1-3. Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna: Respon Intelektual Muslim Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi (1966-1993), 1999, Yogyakarta: Tiara Wacana, p. 64-66. Din Syamsuddin, ‘Usaha Pencarian Konsep Negara dalam Sejarah Pemikiran Politik Islam’, dalam Ulumul Qur’an, No.2, Vol.IV tahun 1993. Umaruddin Masdar, Membaca Pikiran Gus Dur dan Amien Rais tentang Demokrasi, 1999, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Studi terbaru dari Luthfi Assyaukanie, lihat Assyaukanie, Ideologi Islam dan Utopia: Tiga Model Negara Demokrasi di Indonesia, 2011, p. 23-24.
48
Bernard Lewis, What Went Wrong? Western Impact and Middle Eastern Response, 2002, Oxford: Oxford University Press, p. 100.
49
Djaka Soetapa, Ummah: Komunitas Religius, Sosial dan Politis dalam Al Qur’an, 1991, Yogyakarta: Duta Wacana University Press dan Mitra Gama Widya. Samuel P. Huntington, The Clash of Civilizations: Remaking of the World Order, 1997, New York: Simon and Schuster, p. 112.
50
Djohan Effendi dan Ismed Natsir (Peny.), Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib, 2003, Jakarta: LP3ES dan Freedom Institute, p. 148.
51
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante, 1996, Jakarta: LP3ES, p. 15-16. Munawar-Rachman, Membela Kebebasan Beragama: Percakapan tentang Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme (Buku 1), 2010, p. 174. Nurcholish Madjid, ‘Cita-Cita Politik Kita’, dalam Bosco Carvallo dan Dasrizal (Ed), Aspirasi Islam Indonesia, 1983, Jakarta: Lappenas, p. 4.
52
Abdurrahman Wahid, ‘Islam Punya Konsep Kenegaraan?’, dalam Tempo, No. 44, Thn. XIV, 29 Desember 1984, p. 18. Abdurrahman Wahid, Tuhan Tidak Perlu Dibela, 2011, Yogyakarta: LKiS, p. 19-22. Lihat juga Abdurrahman Wahid (Ed.), Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, 2009, Jakarta: Gerakan Bhineka Tunggal Ika, The Wahid Institute dan Maarif Institute.
©
46
9
sejarah daripada realitas historis.53 Jelasnya Islam mendorong demokrasi dan menolak teokrasi.54 Meletakkan penekanan studi ini pada kebangkitan Islam progresif jelas bukan berarti mengabaikan kebangkitan Islamisme radikal. Beberapa studi terbaru tentang Jamaah Islamiyah55, Laskar Jihad56, Negara Islam Indonesia (NII)57, dan Gerakan Islam Transnasional58, membenarkan betapa Islamisme radikal59 turut menemukan momentum semasa era reformasi. Islamisme radikal kini bukan hanya menarik banyak kalangan muda terdidik perkotaan namun berhasil menggiring Islamisme ke pusat pertarungan diskursus dan
W
gerakan di level kebijakan dan kekuasaan,60 yang membenarkan sebuah pandangan bahwa aspirasi pendirian negara Islam tidak pernah mati di kalangan Islam Indonesia.61
U KD
Mengafirmasi studi Noorhaidi Hasan, kelompok Islam militan tidak menunjukkan akan berhasil mengambil alih kendali atas ruang publik Indonesia pasca Orde Baru, tidak Munawar-Rachman, Membela Kebebasan Beragama: Percakapan tentang Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme (Buku 1), 2010, p. 195-197. Lihat juga Ainur Rafiq al-Amin, Membongkar Proyek Khilafah Ala Hizbut Tahrir di Indonesia, 2012, Yogyakarta: LKiS.
54
Budhy Munawar-Rachman, Membela Kebebasan Beragama: Percakapan tentang Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme (Buku 2), 2010, Jakarta: LSAF dan Paramadina, p. 1665-1691.
55
M. Zaki Mubarak, Genealogi Islam Radikal di Indonesia: Gerakan, Pemikiran dan Prospek Demokrasi, 2008, Jakarta: LP3ES.
56
Noorhaidi Hasan, Laskar Jihad: Islam, Militancy, and the Quest for Identity in Post-New Order Indonesia, 2006, Ithaca, New York: Southeast Asia Program Publications, Southeast Asia Program Cornell University.
57
Abdul Munir Mulkhan dan Bilveer Singh, Demokrasi di Bawah Bayangan Mimpi NII: Dilema Politik Islam dalam Peradaban Modern, 2011, Jakarta: Kompas.
58
Wahid (Ed.), Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, 2009, p. 59-112.
59
Haedar Nashir, Gerakan Islam Syariat: Reproduksi Salafiah Ideologis di Indonesia, 2007, Jakarta: PSAP Muhammadiyah. Khamami Zada, Islam Radikal: Pergulatan Ormas-Ormas Islam Garis Keras di Indonesia, 2002, Jakarta: Teraju. Endang Turmudi dan Riza Sihbudi, Islam dan Radikalisme di Indonesia, 2005, Jakarta: LIPI.
60
Lihat Mubarak, Genealogi Islam Radikal di Indonesia: Gerakan, Pemikiran dan Prospek Demokrasi, 2008, p. 346.
61
Lihat, misalnya, Patmono SK, ‘Aspirasi Islam dalam Konteks Negara Bangsa’, dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (Eds.), Menjadi Indonesia: 13 Abad Eksistensi Islam di Bumi Nusantara, 2006, Jakarta: Mizan dan Yayasan Festival Istiqlal, p. 599. M. Muhsin Jamil, Membongkar Mitos Menegakkan Nalar: Pergulatan Islam Liberal versus Islam Literal, 2005, Yogyakarta-Semarang: Pustaka PelajarILHAM, p. x-xi.
©
53
10
mengubah peta Islam Indonesia, tidak bisa menggantikan sistem sekular negara-bangsa Indonesia dan mayoritas umat Islam Indonesia tetap toleran dan menentang kekerasan.62 Artinya, transformasi Indonesia menjadi negara Islam tetaplah ‘jauh panggang dari api’.63 Kata Merle C. Ricklefs, bukan hanya karena: ‘kekuatan Islam pluralistik yang toleran dan liberal terinstitusionalisasikan dengan kuat, di pimpin dengan baik, sumber beberapa pemikiran paling progresif dalam dunia Islam, mampu berfungsi tanpa penindasan resmi dan secara luas disokong rakyat’64, melainkan juga, kata Assyaukanie:
W
‘karena Muslim santri (pen: progresif) itu sendiri kini dengan kokoh berdiri di garis depan dalam memerangi pemahaman Islam yang radikal dan konservatif. Tantangan terbesar terhadap Islam radikal kini bukan lagi datang dari kaum sekular (seperti pada 1950-an), melainkan dari dalam santri progresif yang berakar kuat dan sangat menguasai tradisi intelektual Islam’.65 Bangkitnya demokrasi dan penghargaan nilai-nilai pluralisme jelas merupakan
U KD
keberhasilan promosi wacana dan gerakan Islam progresif. Dialog Islam-Kristen sebagai salah satu pranata demokrasi pun tumbuh kokoh dalam praksis Islam kontekstual.66 Gagasan Islam kontekstual adalah bentuk respon generasi muda Islam yang akrab dengan gagasanHasan, Laskar Jihad: Islam, Militancy, and the Quest for Identity in Post-New Order Indonesia, 2006, p. 221.
63
Lihat Azyumardi Azra, ‘Negara dan Syariat Islam dalam Perspektif Politik Hukum Indonesia’, dalam Arskal Salim dan Azyumardi Azra, Syariat Islam: Pandangan Muslim Liberal, 2003, Jakarta: Jaringan Islam Liberal, p. 80.
64
Merle C. Ricklefs, ‘Islamizing Indonesia: Religion and Politics in Singapore’s Giant Neighbour’, dalam Asian Research Institute, National University of Singapore, 23 September 2004, p. 8-9. Dikutip dari Assyaukanie, Ideologi Islam dan Utopia: Tiga Model Negara Demokrasi di Indonesia, 2011, p. 296-297. Cetak miring dari penulis.
65
Assyaukanie, Ideologi Islam dan Utopia: Tiga Model Negara Demokrasi di Indonesia, 2011, p. 297.
66
Banyak studi yang meneguhkan bahwa antara Islam dan demokrasi adalah dua hal yang sulit didamaikan. Namun studi Saiful Mujani membuktikan bahwa telah terjadi proses pembalikkan yang penting bahwa Islam ternyata sangat mendukung pertumbuhan demokrasi, dan pengalaman Islam di Indonesia membuktikan hal itu. Lihat Mujani, Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia PascaOrde Baru, 2007. Dalam studi-nya, Mujani mematahkan banyak tesis para raksasa studi Islam semacam Samuel Huntington, Bernard Lewis dan Allie Kedourie (p. 313), sekaligus para Indonesianis, yang telah dianggap benar –bahwa Islam dan demokrasi adalah dua hal yang berbeda— antara lain: Herbert Feith, Harry J. Benda, Benedict R. Andersen, Donald K. Emmerson, Karl D. Jackson dan Allan A. Samson. Pandangan yang lebih positif bahwa Islam dan demokrasi bisa diperjumpakan misalnya dari studi Bahtiar Effendy, Masykuri Abdillah, Robert W. Hefner dan John L. Esposito. Penulis memeriksa pandangan Esposito, misalnya mengatakan ‘demokrasi adalah cita-cita politik Islam yang paling penting’. Lihat John L. Esposito, Islam The Straight Path: Ragam Ekspresi Menuju ‘Jalan Lurus’, 2010, Jakarta: Dian Rakyat dan Paramadina, p. 187.
©
62
11
gagasan progresif. Berarti, ‘modal sosial’ demokrasi dan pembangunan masyarakat dialog di Indonesia adalah Muslim progresif.67 Mobilisasi religius yang ‘lintas iman’ (secular civic engagement) dalam kerangka ukhuwwah wathaniyyah (solidaritas nasional) akan meretaskan suatu budaya ‘sivik-liberal’ yakni nilai-nilai demokrasi, pluralisme dan masyarakat sipil sebagai nilai juang bersama. Ini berarti bahwa masa depan masyarakat demokrasi pluralistik di Indonesia sangat ditentukan oleh peran Islam progresif-kontekstual.
B.2. Pergulatan Kristen (Protestan) di Indonesia
W
Tahun 1605 menandai pengalihan jemaat-jemaat Katolik Indonesia menjadi jemaatjemaat Protestan.68 Gereja di masa ini, selain minim tenaga, sibuk berdagang dan berrival
U KD
dengan musuh lama ‘imperium setan’, Islam, dan musuh baru, Belanda, yang Protestan.69 Masa ini juga ditandai perubahan kebijakan kolonial yang membawa arus besar kedatangan badan-badan pekabaran Injil yang saling bertikai.70 Kenyataan ini membawa dampak negatif bagi karya misi. Hingga tercipta De Protestansche Kerk in Nederlandsch-
©
Indie (Gereja Protestan di Hindia Belanda) bersifat ekumenis, tetapi menjadi ‘alat’ lembaga
67
Assyaukanie, Ideologi Islam dan Utopia: Tiga Model Negara Demokrasi di Indonesia, 2011, p. 297. Mujani, Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca-Orde Baru, 2007, p. 117-151.
68
Lihat van den End, Ragi Carita 1: Sejarah Gereja di Indonesia 1500-1860, 2006, p. 66.
69
Lihat Esposito, Unholy War: Teror Atas Nama Islam, 2003, p. vii. Baca juga van den End dan de Jonge, Sejaran Perjumpaan Gereja dan Islam, 1997, p. 19. Lihat van den End, Ragi Carita 1: Sejarah Gereja di Indonesia 1500-1860, 2006, p. 27, 146-147. Suminto, ‘Islam Indonesia Sepanjang Sejarah’, dalam Abdurrahman (Eds.), 70 Tahun H.A. Mukti Ali: Agama dan Masyarakat, 1993, p. 315. Th. Muller-Krueger, Sedjarah Geredja di Indonesia, 1959, Jakarta: BPK, p. 56. A. Hauken, Ensiklopedi Gereja, 2004, Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, p. 170. Huub J.W.M. Boelaars, Indonesianisasi: Dari Gereja Katolik di Indonesia Menjadi Gereja Katolik Indonesia, 2005, Yogyakarta: Kanisius, p. 69.
70
Th. van den End dan J. Weitjens, Ragi Carita 2: Sejarah Gereja di Indonesia 1860-an – sekarang, 2000, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, p. 38.
12
kolonial.71 Terciptalah ‘gereja negara’, yaitu gereja yang secara administratif dan finansial menikmati pemeliharaan sebagai anak emas dan tunduk kepada pemerintah.72 Ketika ‘politik etis’ diterapkan, pemerintah kolonial menempuh kebijakan Snouck Hurgronje (1857-1936), yaitu netral terhadap ‘Islam doktrinal’ dan membasmi ‘Islam politik’. Inilah strategi pelestarian kekuasaan kolonial.73 Tetapi di luar yang dikehendaki, upaya membendung Islam justru berbalik menjadi dorongan kuat kebangkitan Islam.74 Kaum terpelajar,75 ditunjang pengaruh reformasi politis-keagamaan Islam di Timur Tengah abad ke19 berhasil membelokkan arah politik etis dan memompa Islam menjadi simbol nasionalisme.
W
Politik etis, selain bermaksud ‘membaratkan Indonesia’ (westernizing Indonesia), nyatanya menguntungkan perluasan agama Kristen.76 Dibanding sikap netral agama, politik
U KD
etis memberi konsesi besar pada kersteningspolitiek (politik kristenisasi). Jika dikatakan
Ngelow, Kekristenan dan Nasionalisme: Perjumpaan Umat Kristen Protestan dengan Pergerakan Nasional Indonesia, 1900-1950, 1994, p. 16. Lihat juga Chris Hartono, Gerakan Ekumenis di Indonesia, 1984, Yogyakarta: PPIP Duta Wacana, p. 12.
72
Jan Aritonang dalam sebuah artikel menyebut Gereja Protestan Indonesia (GPI) sebagai ‘gereja negara’ karena sangat hirarkis dan dikuasai oleh para pejabat negara. Lihat Jan S. Aritonang, ‘Berbagai Aliran di dalam dan di Seputar Gereja’, dalam Ihromi (Peny.), Dalam Kemurahan Allah: Kumpulan Karangan dalam Rangka Dies Natalis STT Jakarta Ke-60, 1994, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, p. 124. Alle Hoekema juga menyebut GPI sebagai ‘gereja negara’. Lihat A.G. Hoekema, Berpikir dalam Keseimbangan yang Dinamis: Sejarah Lahirnya Teologi Protestan Nasional di Indonesia (Sekitar 1860-1960), 1997, Jakarta: BPKGunung Mulia, p. 317. Sejarahwan lain, van den End dan Weitjens, juga menyebut GPI sebagai ‘gereja negara’ yakni gereja yang diatur oleh negara. Lihat van den End dan Weitjens, Ragi Carita 2: Sejarah Gereja di Indonesia 1860-sekarang, 2000, p. 51. Berarti ‘gereja negara’ dalam hal ini GPI (nanti menjadi 12 sinode, antara lain: GMIM, GPM, GMIT dan GPIB) adalah gereja yang diasuh, dikuasai secara administrasi, dan dibiayai oleh pemerintahan kolonial Belanda. Kondisi ini memunculkan kritik atas independensi Gereja sekaligus kritik pada misi Gereja yang kental dipengaruhi oleh kepentingan pemerintah kolonial.
73
Elsbeth Locher-Scholten, Etika yang Berkeping-keping: Lima Telaah Kajian Aliran Etis dalam Politik Kolonial 1877-1942, 1996, Jakarta: Djembatan, p. 237-280 (p. 270).
74
Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, 1983, Jakarta: LP3ES, p. 24, 37.
75
Lihat Onghokham, Runtuhnya Hindia Belanda, 1987, Jakarta: Gramedia, p. viii, 124-126.
76
Ngelow, Kekristenan dan Nasionalisme: Perjumpaan Umat Kristen Protestan dengan Pergerakan Nasional Indonesia, 1900-1950, 1994, p. 40-41. Lihat juga Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang, 1980, Jakarta: Pustaka Jaya, p. 27-52. Aritonang, ‘Berbagai Aliran di dalam dan di Seputar Gereja’, dalam Ihromi (Peny.), Dalam Kemurahan Allah: Kumpulan Karangan dalam Rangka Dies Natalis STT Jakarta Ke-60, 1994, p. 122.
©
71
13
bahwa ‘Gereja Protestan adalah bagian dari lembaga pemerintahan kolonial’,77 maka munculnya perlawanan rakyat menggunakan simbol Islam juga bentuk ekspresi perlawanan terhadap kehadiran (ekspansi) karya misi Kristen.78 Ini menjadi sebab mengapa peradaban Barat-Kristen baru mengakar di beberapa wilayah suku di Indonesia di abad ke-19, sekaligus membuat kekristenan bagaikan ‘transplantasi Barat’ yang tetap dianggap ‘asing’. Belakangan muncul kesadaran bahwa status ‘gereja negara’ jauh dari hakikat gereja. Namun, menurut penulis, masalah justru bermula di sini. Bahwa ternyata usaha revitalisasi fungsi misioner gereja dan pemisahan 'gereja-negara' dalam reorganisasi,79 bukan membentuk
W
atau mempertahankan pola ‘gereja kesatuan’ melainkan ‘pola pemisahan’ menurut kenyataan alami warganya, menurut suku dan kedaerahan. Gereja di masa Jepang juga memperlihatkan
U KD
peningkatan gerakan pemisahan gereja menurut ras.80 Itu berarti bahwa bangkitnya nasionalisme juga memunculkan problem etnisitas dalam tubuh Gereja Kristen.81 Kentalnya etnisitas ini tidaklah melulu negatif. Di konteks Maluku Tengah, agama Kristen menjadi ‘gereja suku’ kontekstual, yang disambut ke dalam sistem keagamaan dan kebudayaan setempat.82 Ironisnya, agama Ambon ini menjadi identitas berdaya tangkal
©
‘kebal’ terhadap pengaruh Islam. Di sinilah muncul persoalan kedua dalam rangka 77
Ngelow, Kekristenan dan Nasionalisme: Perjumpaan Umat Kristen Protestan dengan Pergerakan Nasional Indonesia, 1900-1950, 1994, p. 21.
78
Sumartana, Mission at the Crossroads: Indigenious Churches, European Missionaries, Islamic Association and Socio-Religious Change in Java 1812-1936, 1993, p. 22-58. Sartono Kartodirjo, Ratu Adil, 1984, Jakarta: Sinar Harapan. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang, 1980, p. 32.
79
Kraemer sering dianggap sebagai ‘guru kadiwasan’, dengan kata lain, guru yang menunjuk pada kemandirian. Lihat Hoekema, Berpikir dalam Keseimbangan yang Dinamis: Sejarah Lahirnya Teologi Protestan Nasional di Indonesia (Sekitar 1860-1960), 1997, p. 102-103, 188. Ngelow, Kekristenan dan Nasionalisme: Perjumpaan Umat Kristen Protestan dengan Pergerakan Nasional Indonesia, 1900-1950, 1994, p. 17.
80
van den End dan Weitjens, Ragi Carita 2: Sejarah Gereja di Indonesia 1860-an – sekarang, 2000, p. 57.
81
Singgih, Mengantisipasi Masa Depan: Berteologi dalam Konteks di Awal Milenium III, 2005, p. 398.
82
Cooley, Mimbar dan Takhta: Hubungan Lembaga-lembaga Keagamaan dan Pemerintahan di Maluku Tengah, 1987, Bab. IV.
14
berekumene bahwa kesadaran ekumene dari gereja-gereja Protestan ternyata bukan hanya tanggapan cerdas atas nasionalisme, tetapi karena rasa takut83 yaitu ketakutan pada kekuatan Islam.84 Menurut penulis, makin jelas bahwa toleransi ekumenik yang sulit di internal protestantisme, ternyata juga dengan Islam, berupa ‘ideologi panik anti Islam’85 dalam kekristenan (baik Katolik dan Protestan) masa kini. Model eklesial ‘gereja suku’ juga mengandung dilema karena ‘gereja-gereja etnis adalah suatu simbol bagi suatu kendala besar untuk belajar hal-hal yang bersifat lintas budaya’.86 'Gereja suku' mengidap ‘bahaya’ keterasingan akibat semangat pietisme yang
W
tertutup, keterbatasan suku, dan kepemimpinan misionaris (Barat) atas gereja.87 Ironis bahwa pembentukan PGI (Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia), juga memperlihatkan kesulitan
U KD
mempersatukan berbagai ‘gereja-gereja suku’.88 Gereja tidak siap karena minus pemahaman teologis atas 'yang lain'. Ini disebabkan gereja terlanjur berwacana hanya dalam taraf nasional saja. Bila demikian patologis situasinya, bagaimana transformasi etnisitas dalam gereja-
©
gereja Protestan di Indonesia?
83
Sumartana, Mission at the Crossroads: Indigenious Churches, European Missionaries, Islamic Association and Socio-Religious Change in Java 1812-1936, 1993, p. 108-207.
84
Singgih, Mengantisipasi Masa Depan: Berteologi dalam Konteks di Awal Milenium III, 2005, p. 399. Lihat Th. Sumartana, ‘Sarekat Islam dan Zending: Proses Emansipasi Rakyat sebagai Tantangan Keagamaan di Masa awal Pergerakan Nasional di Indonesia, khususnya di Jawa’, dalam Darmaputera (Peny.), Konteks Berteologi di Indonesia: Buku Penghormatan Untuk HUT ke-70 Prof.Dr.P.D. Latuihamallo, 2004, p. 131155. Lihat Sumartana, Mission at the Crossroads: Indigenious Churches, European Missionaries, Islamic Association and Socio-Religious Change in Java 1812-1936, 1993, p. 157-262. Lihat juga Trisno S. Sutanto, ‘Perihal Kristen Liberal di Indonesia: Sketsa Pergulatan Th. Sumartana, dalam Jurnal Teologi Proklamasi, Edisi No. 5 / Th. 3 / Februari 2004, p. 38-49.
85
Y.B. Mangunwijaya, Gereja Diaspora, 2002, Yogyakarta: Kanisius, p. 31.
86
Bernard Adeney, Etika Sosial Lintas Budaya, 2000, Yogyakarta: Kanisius, p. 74.
87
Martin Lukito Sinaga, Identitas Poskolonial ‘Gereja Suku’ dalam Masyarakat Sipil: Studi tentang Jaulung Wismar Saragih dan Komunitas Kristen Simalungun, 2004, Yogyakarta: LKiS, p. 102.
88
Ibid., p. 102-107.
15
Persoalan lain adalah bagaimana Injil bertemu dengan kebudayaan. Patut dicatat adalah upaya-upaya ‘prototheologie’ di Jawa.89 Model teologi operatif ini, selain merupakan transformasi etnis, menurut Sumartana, juga memberikan kemungkinan luas bagi dialog dengan Islam di saat model ortodoksi (pemurnian) justru mengalami jalan buntu.90 Namun apa lacur bahwa sejarah mencatat upaya merintis ‘hermeneutik budaya’ varian Coolen di Ngoro, Jawa Timur,91 dan varian Kyai Sadrach di Purworejo, Jawa Tengah92 harus gugur oleh serangan ‘senjata teologis’ dicap ‘sesat’, sinkretis dan ditumpas orang-orang Kristen Belanda yang menerapkan ‘perpindahan budaya’ sebagai tanda Kristen. Adanya beberapa
W
varian Kristen lokal dalam sejarah misi membentangkan kenyataan di waktu ke depan, pergumulan yang sering disebut ‘Injil dan budaya’ di mana warisan corak teologi Barat yang
U KD
dekontekstual seolah tanpa reserve diterima sebagai bentuk kekristenan asli dan satu-satunya, serta dianggap berlaku di segala waktu dan tempat.
Hoekema, Berpikir dalam Keseimbangan yang Dinamis: Sejarah Lahirnya Teologi Protestan di Indonesia 1860-1960, 1997 , Bab II. Lihat juga tanggapan Gerrit Singgih untuk menggunakan istilah ‘teologi operatif’, ketimbang istilah ‘prototheologi’ (Hoekema) yang terkesan merendahkan atau meremehkan. Teologi operatif merupakan hasil dari pertemuan iman dengan budaya lokal dan tetap suatu teologi yang sah. Lihat Singgih, Mengantisipasi Masa Depan: Berteologi dalam Konteks di Awal Milenium III, 2005, p. 393. Lihat juga E.G. Singgih, ‘Kesimpulan: Teologi Operatif dan Dampak-dampaknya’, dalam B.A. Abednego (Ed.), Seputar Teologi Operatif, 1994, Jakarta-Yogyakarta: BPK-Gunung Mulia dan Kanisius, p. 213-230.
90
Lihat Sumartana, Mission at the Crossroads: Indigenious Churches, European Missionaries, Islamic Association and Socio-Religious Change in Java 1812-1936, 1993, p. 337-343.
91
Handoyomarno Sir, Benih Yang Tumbuh VII: Suatu Survey Mengenai Gereja Kristen Jawi Wetan, 1976, Malang-Jakarta: GKJW-LPS DGI, p. 24-32. Philip van Akkeren, Dewi Sri dan Kristus: Sebuah Kajian tentang Gereja Pribumi di Jawa Timur, 1994, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, p. 69-71. C.W. Nortier, Tumbuh, Dewasa, Bertanggungjawab: Suatu Studi Mengenai Pertumbuhan Greja Kristen Jawi Wetan Menuju ke Kedewasaan dan Kemerdekaan + 1835-1935, 1981, Jakarta: BPK-Gunung Mulia dan Persetia, p. 5-21. Lihat juga Singgih, Berteologi dalam Konteks: Pemikiran-pemikiran Mengenai Kontekstual Teologi di Indonesia, 2004, p. 90-94.
92
C. Guillot, Kiai Sadrach: Riwayat Kekristenan di Jawa, 1985, Jakarta: Grafiti Pers. Lihat juga Soetarman Soediman Partonadi, Komunitas Sadrach dan Akar Kontekstualnya: Suatu Ekspresi Kekristenan Jawa pada abad XIX, 2001, Jakarta-Yogyakarta: BPK-Gunung Mulia dan TPK Yogyakarta.
©
89
16
B.3. Mencari Konvergensi Bersama Sejak teolog Mukti Ali, dialog dan upaya membangun titik temu antar agama menjadi kesadaran karena melihat potensi agama tidak hanya sebagai rahmat melainkan juga laknat.93 Kesan ini tidak berasal dari ruang kosong, oleh karena agama-agama sangat ‘cantik’ untuk dipakai melegitimasi segala kepentingan, termasuk politik kekuasaan.94 Situasi dialog di masa Orde Baru dibungkus keyakinan bahwa pembangunan dapat berjalan dan stabilitas ekonomi dapat dipertahankan jika ‘persatuan dan kesatuan nasional’ melalui ‘proyek kerukunan’ agama-agama dapat diwujudkan.95
W
Keruhnya situasi dialog agama-agama di masa Orde Baru menjadi cemeti bersama untuk keluar dari formalisme dialog.96 Di sinilah upaya menginterupsi dialog sebagai gerakan
U KD
dari bawah (from below) akan menjadi ‘modal sosial’ (social capital) pengayaan peradaban di masa mendatang. Seraya mengafirmasi tumbuhnya ekspresi teologi yang progresif. Teologi progresif yang mengusung teologi kontekstual akhirnya adalah sebuah 'kerja-kerja kolektif' (civic engagement) bagi pembaruan teologi umat.
Salah satu pranata dalam ranah ‘dialog peradaban’ antarumat beragama di Indonesia adalah penguatan kelembagaan sipil (secular civic engagement). Model dari civil society ini
©
jelas dalam praksis progresif Fakultas Teologi, Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW),
93
Tentang Mukti Ali dan apresiasi atasnya, lihat Abdurrahman (Eds.), 70 Tahun H.A. Mukti Ali: Agama dan Masyarakat, 1993.
94
Benedict R.O’G. Anderson, Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia, 1990, IthacaLondon: Cornell University Press, p. 67-72.
95
Lihat Mochtar Pabottinggi, ‘Dilema Legitimasi Orde Baru: Bayangan Krisis Politik dan Arah Pemecahannya’, dalam Syamsuddin Haris dan Riza Sihbudi (Eds.), Menelaah Kembali Format Politik Orde Baru, 1995, Jakarta: Gramedia, p. 21. Muhammad A.S. Hikam, Politik Kewarganegaraan: Landasan Redemokratisasi di Indonesia, 1999, Jakarta: Erlangga, p. 6. E.G. Singgih, Dua Konteks: Tafsir-tafsir Perjanjian Lama sebagai Respons atas Perjalanan Reformasi di Indonesia, 2009, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, p. 16. Nur Kholis Setiawan, ‘Refleksi Keberadaan dan Kiprah Dialogue Centre’, dalam Agus M. Najib dan Ahmad Baidowi, Merajut Perbedaan Membangun Kebersamaan, 2011, Yogyakarta: Dialogue Centre Press dan PPS UIN Sunan Kalijaga, p. 6-7.
96
Trisno S. Sutanto dan Martin L. Sinaga (Eds.), Meretas Horison Dialog: Catatan dari Empat Daerah, 2001, Jakarta: ISAI, TAF dan MADIA, p. 27-28.
17
yang menonjol dalam pengembangan teologi kontekstual Kristen di Indonesia.97 Bersama dengan Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, telah dijalin forum lintas agama, kajian agama yang objektif, tidak doktrinal (non-confessional), tanpa menghakimi, mengaitkan agama dan isu-isu kontemporer, demi pemahaman antaragama yang lebih baik. UIN Yogyakarta juga lembaga keilmuan progresif yang konsern dengan pengembangan studi keagamaan dialogis dalam bingkai berteologi Islam kontekstual.98 Ini sebangun makin disadarinya bahwa teologi dalam pelbagai agama semestinya bukan hasil tekanan dari luar, melainkan digali dari rahim Indonesia yang amat plural.99
W
UKDW dengan Pusat Studi Agama-Agama (PSAA) dan UIN dengan Dialogue Centre (DC) menjelma sebagai wadah pendidikan multikultural-religius dan wawasan ekumenis.100
U KD
Pada tahun 2007, atas sebuah konsorsium bersama tiga universitas ternama di Yogyakarta – UGM, UIN, dan UKDW— dibentuklah Indonesian Concortium for Religious Studies (ICRS)-Yogyakarta. ICRS adalah konsorsium jenjang Ph.D,101 merintis kontekstulisasi peran agama-agama di ruang publik dan civil society yang toleran dan merayakan pluralitas.
C. PERTANYAAN PENELITIAN
©
Ada dua pertanyaan utama yang hendak dijawab lewat penelitian ini.
97
Lihat J.B. Banawiratma, Zainal Abidin Bagir, etc., Dialog Antarumat Beragama: Gagasan dan Praktik di Indonesia, 2010, Jakarta-Yogyakarta: Mizan-CRCS UGM, p. 199.
98
Ibid., p. 193, 212-213. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan IntegratifInterkonektif, 2010, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, p. 229-243.
99
Setiawan, ‘Refleksi Keberadaan dan Kiprah Dialogue Centre’, dalam Najib dan Baidowi, Merajut Perbedaan Membangun Kebersamaan, 2011, p. 14-15.
100
Banawiratma, Bagir, etc., Dialog Antarumat Beragama: Gagasan dan Praktik di Indonesia, 2010, p. 60, 192-193.
101
Ibid., p. 61, 204-207.
18
Pertama, praksis Islam dan Kristen yang seperti apa yang memberi harapan bagi penguatan nilai-nilai demokrasi, pluralisme dialogis dan Hak-hak asasi manusia di Indonesia? Pertanyaan ini akan dijawab di Bab II dan Bab III. Kedua, apakah ada titik temu yang dapat didialogkan antara praksis Islam progresif yang ingin mengindonesiakan Islam menjadi Islam kontekstual dengan praksis Kristen progresif yang juga punya keprihatinan sama tentang kontekstualisasi teologi? Pertanyaan ini akan dijawab di Bab IV.
W
D. TUJUAN PENELITIAN Pertama, ingin menggambarkan sekaligus mengafirmasi dari kacamata ‘teologi
U KD
interdisipliner’102 kemunculan sebuah arus baru pembaruan teologi Islam Indonesia dan teologi Kristen Indonesia yang kian kontekstual.
Kedua, studi ini juga ingin mengafirmasi Islam progresif sebagai 'model Islam kontekstual'103 dan pemikiran teologi kontekstual Kristen Indonesia sebagai 'model Kristen progresif' untuk praksis kemanusiaan dan keindonesiaan.
Ketiga, kajian ini juga mau menguatkan sebuah tesis bahwa masa depan demokrasi
©
dan penguatan budaya sivik-liberal di Indonesia akan sangat ditentukan oleh peran Islam
102
Studi ini menyadari bahwa pendekatan yang dipakai adalah ilmu teologi. Namun, teologi yang dimaksud adalah teologi sosial lintas ilmu (interdisipliner) dengan membuka perspektif sosiologi, politik, kebudayaan untuk menjadi pisau analisa mempertajam kajian ini. Bdk. Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, 2011, Yogyakarta: LKiS, p. 1-20. Lalu, asumsi penulis dalam studi ini bahwa perspektif apapun yang dipakai tetaplah tidak pernah ‘bebas nilai’ (tabularasa). Lihat J.B. Banawiratma dan J. Muller, Berteologi Sosial Lintas Ilmu: Kemiskinan sebagai Tantangan Hidup Beriman, 1995, Yogyakarta: Kanisius, p. 76-78. Bahkan Hans-Georg Gadamer mengatakan bahwa setiap fakta selalu sudah diberi nilai. Lihat Hans-Georg Gadamer, Philosophical Hermeneutics, 1976, Berkeley: University of California Press. Lihat Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif, 2010, p. vii, 172-183, 244-271, 399. Lihat Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas dan Historisitas, 1996, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, p. 28. Studi ini setidaknya ada dalam kesadaran itu.
103
Akar-akar kesadaran Islam kontekstual, lihat Martin van Bruinessen, NU, Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, 2009, Yogyakarta: LKiS, p. 235-238. Sayyed Hossein Nasr, Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modern, 1994, Bandung: Penerbit Pustaka, p. 320. Syamsul Arifin, Studi Agama: Perspektif Sosiologis dan Isu-isu Kontemporer, 2009, Malang: UMM Press, p. 139.
19
progresif.104 Di kalangan Kristen, upaya untuk mengikis identitas ‘asing’, phobia pada Islam dan berwacana di tataran super struktur nasionalisme telah diperankan oleh Kristen progresif dari tradisi berteologi Duta Wacana.105 Keempat, penelitian ini juga hendak menyediakan suatu upaya ‘titik temu’ (common platform) dengan gagasan progresif dari para teolog Duta Wacana yang aktif menghadirkan wajah baru Kristen Indonesia dan memberi tempat pada ‘yang lain’ (the other).
E. KEGUNAAN PENELITIAN
W
Pertama, membangun ‘pluralisme dialogis’ melalui pencarian ‘titik temu’ (kalimatun sawa)106 antara Islam dan Kristen di tengah keniscayaan pluralisme agama-agama.
U KD
Kedua, kajian ini menawarkan sebuah Studi Agama-Agama dengan pendekatan konfirmasi (afirmasi) atas kebangkitan Islam progresif di Indonesia, melampaui pendekatan konfrontasi dan explaining away warisan kolonial. Studi ini juga menawarkan jembatan dialogis-paradigmatis melalui fusi dua paradigma, yakni paradigma pluralisme dan paradigma perjumpaan gereja dan budaya. Paradigma gereja dan budaya merupakan orientasi misiologi interkultural.107 Di mana ‘tantangan pluralisme’ adalah inspirasi (orienting),
©
sekaligus perumus teologi dan jatidiri yang baru.108
104
Assyaukanie, Ideologi Islam dan Utopia: Tiga Model Negara Demokrasi di Indonesia, 2011, p. 297. Mujani, Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca-Orde Baru, 2007, p. 232.
105
Singgih, Berteologi dalam Konteks: Pemikiran-pemikiran Mengenai Kontekstualisasi Teologi di Indonesia, 2004, p. 167. Bandingkan studi Mojau yang memperlihatkan aneka model/tipe respon lembaga (PGI) dan teolog-teolog Kristen Protestan (termasuk Gerrit Singgih, dari Duta Wacana, yang disebut: 'teolog sosial liberatif dan pluralis'). Tipologi ini disebut 'teologi sosial', mengatasi 'identitas kolonial' Kristen Protestan Indonesia berhadapan Islam Politik. Lihat Julianus Mojau, Meniadakan atau Merangkul?: Pergulatan Teologis Protestan dengan Islam Politik di Indonesia, 2012, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, p. 143, 280.
106
Lihat Siti Nadroh, Wacana Keagamaan dan Politik Nurcholish Madjid, 1999, Jakarta: Raja Grafindo Persada, p. 126. Lihat juga Budhy Munawar-Rachman, ‘Menguak Batas-Batas Dialog Antar Agama’, dalam Ulumul Qur’an, 1993, No. 4, Vol. IV, p. 9.
107
Terkait dengan paradigma baru dalam misi menjadi ‘misiologi interkultural’ atau ‘misiologi kontekstual’, lihat David J. Bosch, Transforming Mission: Paradigm Shifts in Theology of Mission, 1991, New York: Orbis Books. Franz Xaver Scheuerer, Interculturality: A Challenge for the Mission of the Church, 2001,
20
Ketiga, kajian ini juga mengafirmasi apa yang berkembang dalam sejarah Indonesia sebagai ‘perluasan peradaban santri’,109 yang bukan berideologi ‘Islam Negara’ (Islamisme). Melainkan ‘sejarah Indonesia adalah perluasan peradaban santri progresif’.110 Generasi Islam progresif disebut juga sebagai ‘Islam kontekstual’.111 Sejajar itu, masa depan Kristen Indonesia akan diletakkan oleh Kristen kontekstual yang progresif.
F. RUANG LINGKUP DAN KETERBATASAN PENELITIAN Fokus studi ini adalah tumbuhnya gelombang baru pemikiran Islam pasca Nurcholish
W
Madjid dan Abdurrahman Wahid yang ditipologikan sebagai generasi Islam progresif.112
U KD
Batasan studi adalah kebangkitan generasi baru ini pasca tumbangnya Orde Baru hingga
Bangalore: Asian Trading Corporation. Stephen B. Bevans dan Roger P. Schroeder, Terus Berubah – Tetap Setia: Dasar, Pola, Konteks Misi, 2006, Maumere: Ladalero. Norman E. Thomas, Teks-Teks Klasik tentang Misi dan Kekristenan Sedunia, 2000, Jakarta: BPK-Gunung Mulia. Th. Sumartana, ‘Kemanusiaan: Titik Temu Agama-Agama’, dalam Martin L. Sinaga (Ed.), Agama-Agama Memasuki Milenium Ketiga, 2000, Jakarta: Grasindo, p. 194-203. Lihat Sutanto, ‘Perihal Kristen Liberal di Indonesia: Sketsa Pergulatan Th. Sumartana’, dalam Jurnal Teologi Proklamasi, Edisi No. 5/ Th. 3/ Feb. 2004, p. 38-49. Lihat juga E.G. Singgih, Iman dan Politik dalam Era Reformasi di Indonesia, 2004, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, p. 153-177.
109
Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam di Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang 1942-1945, 1983, p. 33.
110
Assyaukanie, Ideologi Islam dan Utopia: Tiga Model Negara Demokrasi di Indonesia, 2011, p. 296. M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik tentang Cendekiawan Orde Baru, 1995, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, p. 129.
111
E.G. Singgih, Menguak Isolasi, Menjalin Relasi: Teologi Kristen dan Tantangan Dunia Postmodern, 2009, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, p. 90-91.
112
Tipologi yang dimaksud penulis sama dengan analogi ‘kandang’ (figura) dalam filsafat Paul Ricoeur. Setiap tipologi atau kandang tidak pernah mengungkap tepat realitas yang kompleks (contingent). Setiap tipologi atau kandang hanyalah ‘alat bantu’ membatasi jagat pergulatan studi keislaman (berlaku juga untuk Kristen), sekaligus mewakili salah satu perspektif –dari banyaknya kemungkinan (appropriation)— mendekati realitas yang tidak dapat dimutlakkan. Lihat Dan R. Stiver, Theology after Ricoeur: New Directions in Hermeneutical Theology, 2001, Louisville: Westminster John Knox Press, p. 100-136. Jika 'Islam progresif' adalah tipologi, maka 'Kristen progresif' pun demikian. Ini semacam 'alat bantu' memahami realitas Islam dan Kristen yang kompleks. Studi Julianus Mojau tentang teologi sosial Kristen secara sadar menggunakan tipologi (modernis, liberatif, pluralis) sebagai 'pembedaan kategoris' yang hampir tak terhindarkan untuk subyek kajian yang demikian kompleks. Lihat Mojau, Meniadakan atau Merangkul?: Pergulatan Teologis Protestan dengan Islam Politik di Indonesia, 2012, p. 12-13, 404.
©
108
21
sekarang (2010).113 Juga untuk membatasi penelusuran kepustakaan, primer dan sekunder, hingga tahun 2010. Peta sosial pergulatan Islam dan Kristen sebagai Islam dan Kristen progresif akan diulas secara genealogis pada Bab II dan Bab III. Sebagai jembatan dialog, studi ini memasukkan kajian dari perspektif Kristen (teolog Duta Wacana) yang tak kalah progresif membangun ‘tradisi baru’ berteologi kontekstual. Penulis membatasi sumber kajian pada pemikiran Harun Hadiwijono, Djaka Soetapa, dan utamanya Emanuel Gerrit Singgih (Duta Wacana circle).114 Kajian ini juga mengandung keterbatasan lain, yakni tidak memuat kepentingan
W
wawancara sebagai sarana konfirmasi terhadap data-data hasil studi kepustakaan.115 Studi ini ingin bergerak di tataran kajian teks dengan argumen bahwa teks mempunyai ruang hidupnya
U KD
sendiri ketika pengarang selesai melahirkannya dalam tulisan.116 Penelusuran pustaka akan menunjukkan adanya intertekstualitas117 dari setiap wacana yang lahir.
Dalam studi S1, penulis telah mengkaji secara elaboratif kebangkitan generasi baru para pemikir pembaruan Islam di Indonesia dengan menstudi gagasan pembaruan, teologi-keagamaan dan politik Islam menurut Nurcholish Madjid, ‘sang penarik gerbong pembaruan’, antara tahun 1970-1999. Lihat John C. Simon, ‘NeoModernisme Islam di Indonesia: Sebuah Studi atas Pemikiran Nurcholish Madjid tentang Pengembangan Dasar-Dasar Pembaruan, Teologi-Keagamaan dan Politik Islam (1970-1999)’, 2000, Skripsi Sarjana Teologia, Yogyakarta: Fakultas Teologia UKDW. Karena itu, studi penulis yang sekarang merupakan kelanjutan dari studi S1 tersebut untuk kajian pemikiran Islam progresif (pasca liberal) pada satu dasawarsa terakhir, 2000-2010. Sekaligus studi ini memperlihatkan perkembangan dan kritik terhadap pemikiran para pembaru awal.
114
Lihat Singgih, Iman dan Politik dalam Era Reformasi di Indonesia, 2004, p. 163-167. Dalam studi ini Harun disebut dalam urutan pertama. Penulis mengikuti pendapat Alle Hoekema, bahwa karya Harun 'Iman Kristen' (terbit pertama kali 1973) disebut karya yang sadar konteks pluralisme agama-agama. Disertasi Djaka (1986) disebut 'sikap baru terhadap Islam'. Lihat Hoekema, Berpikir dalam Keseimbangan yang Dinamis: Sejarah Lahirnya Teologi Protestan Nasional di Indonesia (Sekitar 1860-1960), 1997, p. 361 (fn. 300), 393 (fn. 26).
115
Setidaknya kajian Budhy Munawar-Rachman menemukan bahwa akar-akar wacana progresif untuk pengarusutamaan (mainstreaming) Islam kontekstual juga ada di Yogyakarta, dalam tokoh-tokoh dan pemikirannya di lingkaran UIN Sunan Kalijaga dan lembaga kajian-penerbitan seperti LKiS. Lihat Budhy Munawar-Rachman, Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme: Islam Progresif dan Perkembangan Diskursusnya, 2010, Jakarta: Grasindo, p. 125, 135.
116
Paul Ricoeur, Hermeneutik Ilmu Sosial, 2009, Bantul: Kreasi Wacana. Lihat juga Stiver, Theology after Ricoeur: New Directions in Hermeneutical Theology, 2001.
117
Intertekstualitas adalah sebuah istilah di mana teks dan ungkapan dibentuk oleh teks yang datang sebelumnya, saling menanggapi dan salah satu bagian dari teks tersebut mengantisipasi lainnya, baik mengkonfirmasi atau mengkonfrontasikannya. 'Teks' yang dimaksud di sini adalah pemikiran seseorang. Lihat Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, 2011, p. 305.
©
113
22
G. METODOLOGI PENELITIAN Studi ini merupakan pembahasan kepustakaan (library research), yang menjadikan bahan pustaka primer, yaitu dari generasi Islam dan Kristen progresif, maupun sekunder, yaitu yang membahas dan menjelaskan lebih lanjut gagasan Islam dan Kristen progresif, sebagai sumber data utama. Paradigma (metodologi)118 yang dipakai adalah paradigma pluralisme agama-agama yang dikomparasikan (baca: difusikan?) dengan paradigma gereja dan budaya. Pertama, bahwa kajian ini tergolong Studi Agama-Agama.119 Kedua, secara orienting pemikiran Islam
W
dan Kristen saling bertemu dan memperkaya.120 Yang diperjumpakan adalah pemikiran Islam progresif dengan Kristen progresif (teolog Duta Wacana). Kedua arus pemikiran secara
U KD
dialektis mendekati konteks masa lalu (tradisi) dan konteks kekinian,121 hadir semakin kontekstual di bidang garap sama yaitu kemanusiaan dan keindonesiaan yang berbhineka.
Paradigma atau asumsi filosofis diterangkan oleh Cresswell: ‘…the philosophical assumptions about what constitutes knowledge claims’. Lihat J.W. Cresswell, Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods, 2003, London and New Delhi: SAGE Publications, p. 3. Sementara Yunita Winarno menjelaskan lebih lanjut: ‘Klaim pengetahuan (knowledge claims) itu dapat pula disebut dengan paradigma, epistemologi, dan ontologi atau yang secara luas disebut dengan metodologi penelitian’. Selanjutnya dikatakan, ‘pada awal suatu penelitian seorang peneliti lazimnya menyatakan suatu klaim tentang apa itu pengetahuan (ontology), cara kita mengetahuinya (epistemology), apakah nilai-nilai untuk melakukan hal itu (axiology), cara kita menuliskannya (rhetoric), dan proses-proses untuk mempelajarinya (methodology) […] jelaslah bahwa metodologi penelitian bukanlah metode penelitian’. Lihat Yunita T. Winarno, ‘Suatu Refleksi Metodologi Penelitian Sosial’, dalam Jurnal Ilmiah Humatek, Vol. 1, No. 3, September 2008, p. 161.
119
Tiga tulisan yang menstimulus penggunaan paradigma pluralisme agama-agama dalam studi ini adalah: Waleed El-Ansary dan David K. Linnan (Ed.), Muslim and Christian Understanding: Theory and Application of ‘A Common Word’, 2010, New York: Macmillan Palgrave. David Brown, Tradition and Imagination: Revelation and Change, 1999, New York: Oxford University Press. Donald G. Dawe dan John B. Carman (Eds.), Christian Faith in a Religiously Plural World, 1978, New York: Orbis Books.
120
Lihat Singgih, Mengantisipasi Masa Depan: Berteologi dalam Konteks di Awal Milenium III, 2005, p. 51, 53, 55. Lihat juga Singgih, Berteologi dalam Konteks: Pemikiran-pemikiran Mengenai Kontekstualisasi Teologi di Indonesia, 2000, p. 177-179.
121
Studi ini juga hendak meneguhkan apa yang telah dirintis oleh filsuf besar Hans Georg-Gadamer soal fusion of the two horizons yang punya dampak orang bisa kembali menghargai tradisi sebagai bagian dari cakrawala masa lalu, yang saat diperjumpakan (terjadi penggabungan) dengan cakrawala masa kini (modern) justru memunculkan ‘makna asli’?. Namun, ‘makna asli’ ini –dalam filsafat Paul Ricoeur dipertajam— tidak selamanya tunggal. Ia membentuk ‘makna baru’ (baca: tradisi baru) dan sekaligus terjadi pluralitas makna (surplus of meaning). Lihat Stiver, Theology after Ricoeur: New Directions in Hermeneutical Theology, 2001, p. 40-48, 66-70. Lihat juga Singgih, Mengantisipasi Masa Depan: Berteologi dalam Konteks di Awal Milenium III, 2005, p. 49.
©
118
23
Metode yang digunakan adalah deskriptif-analitis yang tujuannya tidak sekadar uraian deskriptif mengenai pokok masalah dengan perihal yang menyekitarinya, tetapi yang tak kalah penting dan menentukan adalah analisa mengapa dan atau bagaimana pokok masalah itu memberi dasar dengan sebab-akibat yang mengkonstruksinya. Bagaimana konteks sosial dibangun dengan kepentingan (ideology) yang diusung akan dijelaskan secara genealogis menurut teori Michel Foucault.122 Genealogi (baca juga: arkeologi) adalah istilah khas dalam filsafat Michel Foucault –yang dipinjamnya dari Friedrich Nietzsche— sebagai upaya menyelami bagaimana berfungsinya kuasa atau pengetahuan pada suatu bidang tertentu dan
W
tarik menariknya dengan konteks sosial.123 Genealogi menyelami gagasan Islam dan Kristen progresif dengan konteks sosial kebangkitannya serta praktik sosial yang diperankannya.124
U KD
Dari sini akan jelas bahwa perspektif liberatif mendasari wacana baru teologi progresif yang diusung baik pemikiran Islam dan Kristen di Indonesia.
Penting dijelaskan terkait data, analisa data, dan alat menginterpretasikan data. Hal ini terkait dengan banyaknya penamaan pada gagasan pembaruan pemikiran Islam di Indonesia. Untuk kajian ini penulis memakai 'tipologi' (Ricoeur: figura) ‘Islam Progresif’ yaitu praksis Islam yang melakukan desakralisasi terhadap tradisi keislaman yang diperjumpakan dengan
©
isu-isu kontemporer.125 Demikian, Kristen progresif yaitu praksis Kristen kontekstual melalui evaluasi dan rekomendasi hermeneutik, teologi, eklesiologi dan misiologi.
122
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, 2011, p. 1-20.
123
Tim Dant, Knowledge, Ideology and Discourse: A Sociological Perspektive, 1991, London: Routledge, p. 120-122.
124
K. Bertens, ‘Dua Tokoh Filsafat Perancis Dewasa Ini: Michel Foucault dan Jacques Derrida’, dalam Orientasi: Pustaka Filsafat dan Teologi, Thn. XV, 1983, p. 37. Michel Foucault, Seks dan Kekuasaan: Sejarah Seksualitas, 1997, Jakarta: Gramedia, p. 17-41. Michel Foucault, Disiplin Tubuh: Bengkel Individu Modern, 1997, Yogyakarta: LKiS.
125
Machasin, ‘Metodologi Pemikiran Islam Kontemporer: Sebuah Auto-Kritik’, dalam Abshar-Abdalla, dkk., Islam Liberal & Fundamental: Sebuah Pertarungan Wacana, 2003, p. 12-19.
24
H. KERANGKA TEORI Wacana Islam progresif di Indonesia lahir dari upaya bernas para pemikir dan aktivis muda Islam tradisional (NU)126 dan Muslim modernis (Muhammadiyah). Islam progresif adalah abstraksi atas varian baru pemikiran Islam paling kontemporer.127 Penulis mengikuti pandangan Budhy Munawar-Rachman bahwa Post-tradisionalisme Islam bisa dipertukarkan bahkan turut menjelaskan apa yang dimaksud Islam progresif. Nilai yang diusung adalah kontekstualisasi teologi Islam.128 Islam progresif menurut perspektif Post-tradisionalisme dapat didefiniskan sebagai:
U KD
W
‘Upaya melampaui tradisi dalam rangka melahirkan tradisi baru yang senafas dengan tuntutan kekinian […] mencoba mencari ‘jalan baru’ untuk melapangkan dan membebaskan manusia dalam membangun masyarakat yang menghargai perbedaan, menegakkan hukum, mengembangkan pemahaman pluralistik dan demokratis [...] meyakini bahwa menelaah tradisi secara kritis merupakan jalan terbaik untuk membangun kebudayaan dan tradisi pemikiran yang mendorong transformasi sosial dan perubahan pada tataran praksis’.129 Islam progresif di Indonesia merupakan konstruksi intelektual yang berpijak dari dinamika ‘budaya lokal’ (tradisi atau indigenous society) Indonesia.130 Sebagai konstruksi lokal, ia semacam upaya ‘mengindonesiakan Islam’. Berinteraksi secara terbuka dengan berbagai ‘kelompok kewargaan sekular’ (secular civic engagement) seperti buruh, petani,
©
LSM, dan gerakan feminis. Juga dengan pemikiran-pemikiran kontemporer, dari tradisi klasik
126
Muhammad Abed al-Jabiri, Post Tradisionalisme Islam, 2000, Yogyakarta: LKiS, p. 24. Gagasan Posttradisionalisme Islam di Indonesia diperkenalkan pertama kali oleh KH. Said Agil Siradj yang sekarang Rais Am PB NU. Dan dilanjutkan oleh kalangan muda NU semacam Ahmad Baso, Ulil Abshar Abdalla, Luthfi Assyaukanie, Syafiq Hasyim yang dikenal juga sebagai para penggagas Islam Liberal. Lihat Ibid., p. x-xi.
127
Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesis: Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid, 1999, Jakarta: Paramadina, p. 40-41.
128
Munawar-Rachman, Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme: Islam Progresif dan Perkembangan Diskursusnya, 2010, p. 134-135.
129
Zuhairi Misrawi, ‘Dari Tradisi Menuju Post Tradisionalisme Islam’, dalam Taswirul Afkar, 2001, No. 10, p. 56-57. Cetak miring dari penulis.
130
Lihat ‘Pendekatan Hermeneutik: Visi Keindonesiaan Pembaharuan Pemikiran Islam’ dalam Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif, 2010, p. 244-271.
25
hingga post-modernisme. Islam progresif merupakan paradigma Islam kontekstual di Indonesia.131 Dalam studi ini, fusi paradigma pluralisme agama-agama dengan paradigma perjumpaan gereja dan budaya mendapat peneguhan karena: ‘Bagi dunia ketiga, konteks budaya itulah yang penting dan dari situlah kita berangkat untuk mencari makna teks’132 sekaligus 'menambahi makna ke dalam teks'.133 Dari dunia ketiga lalu tumbuh perspektif teologi kontekstual-liberatif seperti Minjung, Dalit, feminis, pembebasan, tafsir poskolonial dan ekoteologi. ‘Hermeneutik budaya’, adalah usaha ‘ingin ikut dalam sebuah proses
W
pembebasan’.134 Dalam Reformasi dan Transformasi Pelayanan Gereja, hermeneutik budaya diperluas Singgih dalam konteks pluralitas agama-agama: di mana tempat agama-agama lain
U KD
dalam kerangka wawasan Kristiani?135 Di sini penulis mendapat pintu masuk yang meyakinkan bahwa fusi paradigma agama-agama dan paradigma budaya sangat pas untuk menjadi kerangka teori dalam studi ini. Sehingga, Kristen progresif adalah upaya menggali makna dari horizon tradisi sendiri dan memperjumpakan dengan horizon kekinian berupa Ahmad Baso, ‘Neo-Modernisme Islam versus Post-Tradisionalisme Islam’, dalam Taswirul Afkar, 2001, No. 10, p. 24-46. Lihat Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan, 2003, Jakarta: Teraju, p. 137-138. Lihat juga Munawar-Rachman, Argumen Islam untuk Liberalisme: Islam Progresif dan Perkembangan Diskursusnya, 2010, p. 183-186.
132
Pemikiran teologi Kristen di dunia ketiga adalah teologi kontekstual yang dimulai dari konteks ke teks (secara dialektis), melampaui pemikiran teologi warisan Barat yang bergerak dari teks ke konteks (dimutlakkan). Lihat Jeffrey Kuan, ‘Asian Biblical Interpretation’, dalam John H. Hayes (Peny.), Dictionary of Biblical Interpretation A-J, 1999, Nashville: Abingdon Press, p. 70-77. Lihat juga Choan-Seng Song, ‘New Frontiers of Theology in Asia: Ten Theological Proposals, dalam D. Preman Niles dan T.K. Thomas (Eds.), Varieties of Witness, Christian Conference of Asia, p. 46-65.
133
E.G. Singgih, 'Evaluasi Teologis dan Inovasi Teologis: Suatu Usaha untuk Menempatkan Teologi Rakyat sebagai Acuan Utama Teologi Kontekstual di Indonesia', dalam Asnath N. Natar (Peny.), Teologi Operatif: Berteologi dalam Konteks Kehidupan yang Pluralistik di Indonesia, 2003, Jakarta: BPK-Gunung Mulia dan Program Pengembangan Teologi Citra Asia, p. 23.
134
Lihat Singgih, Mengantisipasi Masa Depan: Berteologi dalam Konteks di Awal Milenium III, 2005, p. 51, 53, 55.
135
E.G. Singgih, Reformasi dan Transformasi Pelayanan Gereja Menyongsong Abad ke-21, 2004, Yogyakarta: Kanisius, p. 164. E.G. Singgih, ‘Menghapus Prasangka dalam Pergaulan dengan Penganut Agama Lain’ dalam J. Garang dan Weinata Sairin (Peny.), Teologi Perjumpaan: Buku Kenangan 72 Tahun Roland Dumartheray, 1993, Jakarta: BPP PGI, p. 239-250, p. 202. Singgih, Mengantisipasi Masa Depan: Berteologi dalam Konteks di Awal Milenium III, 2005, p. 424.
©
131
26
pluralisme, isu-isu kemiskinan, ketidakadilan, adil gender, ekologi, dan demokrasi yang berkeadaban. Penting disinggung pendekatan reader’s response. Menurut Singgih ‘pembaca’ di sini dapat melampaui komunitas iman dan budaya sendiri.136 Untuk kerangka teori studi ini akan dikatakan bahwa Islam progresif sejalan dengan keprihatinan para teolog, termasuk pakar biblika, yang ingin dijadikan komparasi-orienting dari perspektif Kristen. Keterjebakan dalam penjara konteks sendiri kian menantang terjalinnya intercontextuality.137 Sehingga, menurut penulis, pada Islam dan Kristen progresif inilah relasi keduanya menemukan dasar
W
teologis menuju mobilisasi religius model ‘Kelompok Kewargaan Sekular’ (Secular Civic Engagement)138 atau ‘Komunitas Basis Kemanusiaan’ (Basic Human Community).139
U KD
Ketika konvergensi memperoleh ruang sosial yang kaya makna liberatif, maka dapat dipastikan bahwa upaya berefleksi teologis tentang ‘menamai Tuhan’ (naming God) menjadi keniscayaan.140 Tuhan kembali memperoleh tempat yang wajar dalam ruang-ruang publik
©
manusia. ‘Tuhan tidak perlu dibela’ kalau demi menelikung keindonesiaan pluralistik.141
136
Lihat Singgih, Mengantisipasi Masa Depan: Berteologi dalam Konteks di Awal Milenium III, 2005, p. 49.
137
Ibid., p. 51.
138
Lihat Mujani, Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia PascaOrde Baru, 2007, p. 314-317, 324.
139
J.B. Banawiratma (Ed.), Gereja Indonesia, Quo Vadis?: Hidup Menggereja Kontekstual, 2000, Yogyakarta: Kanisius, p. 181-196. J.B. Banawiratma, ‘Christian Life in Religious Pluralism: Ecumenical Concerns in Interreligious Dialogue’, dalam Our Pilgrimage in Hope, 2001, Philippines: St. Pauls, p. 156-164 (p. 158).
140
Paul Ricoeur, Figuring The Sacred: Religion, Narrative, and Imagination, 1995, Minneapolis: Fortress Press, p. 217-235.
141
Wahid, Tuhan Tidak Perlu Dibela, 2011, p. 67.
27
I. JUDUL Penulis tiba pada pilihan judul penulisan tesis ini dengan narasi sebagai berikut: Teologi Progresif : Studi Komparatif-Orienting atas Pemikiran Teologi Kontekstual Islam Progresif Pasca Orde Baru (1999 – 2010) dengan Pemikiran Teologi Kontekstual Kristen Progresif Duta Wacana dan Pengaruhnya bagi Hubungan Antara Islam dan Kristen
W
J. DEFINISI KERJA Di dalam judul tersebut tersusun gagasan-gagasan sebagai berikut.
U KD
Pertama, Islam Progresif
Islam progresif dapat dijelaskan dengan uraian sebagai berikut:
©
‘Islam Progresif adalah Islam yang menawarkan sebuah kontekstualisasi penafsiran Islam yang terbuka, ramah, segar, serta responsif terhadap persoalan-persoalan kemanusiaan. Hal ini […] berbeda dengan Islam militan dan ekstrem yang tetap berusaha menghadirkan wacana penafsiran masa lalu serta menutup diri terhadap ideide baru. Bahkan, seringkali untuk meneguhkan keyakinannya, mereka bertindak dengan mengklaim diri sebagai pemilik otoritas kebenaran untuk bertindak secara otoriter terhadap paham dan agama lain […] Islam Progresif menawarkan sebuah metode berislam yang menekankan terciptanya keadilan sosial, kesetaraan gender, dan pluralisme keagamaan’.142 Definisi di atas memberi ruang ijtihad143 yang kaya dalam upaya Islam berdialog
dengan tradisi sendiri dan konteks-konteks lain (intercontextuality). Gagasan khas Islam 142
M. Nur Kholis Setiawan, Akar-akar Pemikiran Progresif dalam Kajian al-Qur’an, 2008, Yogyakarta: eLSAQ Press, p. 27. Cetak miring dari penulis. Seperti jelas dalam kerangka teori, bahwa Islam Progresif menurut Budhy Munawar-Rachman dapat dipertukarkan dengan ‘proyek gagasan’ (project of mind) Posttradisionalisme Islam.
143
Ijtihad adalah upaya keras mencari jawaban atas berbagai persoalan dengan pertama-tama melalui olah akal dan pengetahuan. Prinsip ijtihad oleh banyak ulama konservatif dianggap berbahaya karena para penganjurnya membuka pada kemungkinan bahwa al-Qur’an dan turunannya Hadis, yang oleh paham konvensional dianggap final dan menjawab semua persoalan, justru dalam kenyataannya tidak berbicara mengenai persoalan kekinian. Karena itu, generasi baru Islam berpendapat bahwa ijtihad belum tertutup dan masih terbuka lebar untuk ruang setiap generasi mengatasi banyak persoalan yang dihadapi di masa kini, antara lain isu gender, isu politik Islam, isu ekologis dll, justru ketika teks al-Qur’an sendiri masih diam. Bdk. Jalaludin Rahmat, Ijtihad dalam Sorotan, 1992, Bandung: Mizan.
28
progresif adalah ‘Islam warna-warni’.144 Bahwa Islam progresif adalah ‘Islam warna-warni’. Penghayatan Islam sebagai realitas sosial yang ‘warni-warni’ adalah pintu masuk paling memungkinkan untuk membayangkan titik temu antara Islam dan Kristen melampaui relasi ‘kelam’ monolitik-antagonistik Islam-Kristen.145 Kedua, Kristen Progresif Kristen progresif dapat dijelaskan dengan uraian berikut:
W
‘Berteologi tidak berarti sekadar mempertahankan dan meneruskan ajaran, melainkan secara kreatif menghubungkan kekayaan warisan tradisi yang kita terima dari luar dengan kekayaan tradisi kita yang diwarisi [...], sambil sungguh-sungguh memperhitungkan tantangan-tantangan zaman modern’.146 Berarti, Kristen progresif adalah upaya menggali makna dari horizon tradisi sendiri dan memperjumpakan dengan horizon kekinian berupa isu-isu pluralisme religius-kultural,
U KD
kemiskinan, ketidakadilan, adil gender, ekologi, demokrasi yang berkeadaban dan globalisasi.147 Muncul praksis baru komunitas secara teologis, eklesiologis dan misiologis, dalam relasinya terhadap 'yang lain' (the other). Kristen progresif yang dimaksud di sini adalah pemikiran Kristen Duta Wacana.148 Fokus studi bermuara pada pemikiran Gerrit Singgih yang menjadi discourse pembaruan pemikiran itu sendiri.149
Gagasan dalam definisi kerja ini banyak diinspirasikan dari buku John L. Esposito, Islam Warna-Warni: Ragam Ekspresi Menuju ‘Jalan Lurus’ (al-Shirat al-Mustaqim), 2004, Jakarta: Paramadina. Sebuah iklan produksi Devisi Iklan Layanan Masyarakat garapan Jaringan Islam Liberal (JIL) yang pernah tayang sebentar tahun 2002 di TV Swasta Nasional (RCTI dan SCTV), ‘Islam Warna-Warni’, namun menuai kontroversi dan protes keras, akhirnya dihentikan kalangan Islam Radikal, juga menguatkan tentang realitas historis mengenai sejarah Islam yang tidak monolitik, juga di Indonesia. Lihat Munawar-Rachman, Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme: Islam Progresif dan Perkembangan Diskursusnya, 2010, p. 41.
145
Utomo, Hidup Bersama di Bumi Pancasila: Sebuah Tinjauan Hubungan Islam dan Kristen di Indonesia, 1993. van den End dan de Jonge, Sejarah Perjumpaan Gereja dan Islam, 1997. Jan Sihar Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, 2010, Jakarta: BPK-Gunung Mulia.
146
E.G. Singgih, Bergereja, Berteologi dan Bermasyarakat, 2007, Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, p. 111.
147
Lihat Singgih, Mengantisipasi Masa Depan: Berteologi dalam Konteks di Awal Milenium III, 2005, p. 6173, 418-425.
148
Sebuah buku Apresiasi Kritis Alumni Fakultas Teologi UKDW dengan judul ‘Gerrit Singgih: Sang Guru dari Labuang Baji’ layak disebut sebagai apresiasi awal atas sebuah warna berteologi kontekstual yang dicitrakan dengan pemikiran teologi Emanuel Gerrit Singgih. Penulis menyebut ini sebagai kelahiran corak Kristen progresif di Indonesia. Lihat Daniel K. Listijabudi, ‘Sekilas Pandang tentang Pdt. Prof. E. Gerrit Singgih, Ph.D dan Tafsirannya di Kelas dan di Buku’, dalam Victor Hamel (Peny.), Gerrit Singgih: Sang
©
144
29
Untuk studi ini, Singgih tidaklah mulai dari ‘nol’ –sebagaimana ia sering mengatakan teologi kontekstual tidak pernah mulai dari ‘nol’. Wujud pemikirannya dibentuk secara ‘intertekstual’ dalam dialog dengan Harun Hadiwijono dan Djaka Soetapa.150 Mengafirmasi Hoekema, Harun disebut pertama karena ia adalah teolog yang sudah sadar akan konteks pluralisme religius.151 Bersama Djaka Soetapa kedua teolog dibedah untuk memetakan pemikiran teologi progresif-kontekstual dalam pengalaman Kristen (Duta Wacana circle). Ketiga, Studi Komparatif-Orienting Maksudnya bahwa studi ini secara komparatif-orienting hendak mempertemukan dua
W
paradigma (metodologi) mendekati subyek penelitian.152 Yang pertama, paradigma pluralisme agama-agama untuk mendekati dan membaca Islam dan Kristen. Yang kedua
U KD
adalah paradigma budaya untuk mencari ‘titik temu’ antara pemikiran Islam progresif dengan pemikiran Kristen progresif Duta Wacana. Dengan mengambil inspirasi (orienting), studi ini menjadi ‘proyek pencerahan’ karena terbuka dan belajar dari 'yang lain' (the other). Guru dari Labuang Baji, 2010, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, p. 28. Buku apresiasi kedua untuk Gerrit Singgih, lihat Robert Setio (Eds.), Teks dan Konteks yang Tiada Bertepi, 2012, Yogyakarta: Pustaka Muria. Novelina Laheba, ‘Mimpi Alternatif: Jelajah Kritik Pascamodern Pdt. Prof. E. Gerrit Singgih, Ph.D terhadap Misi Pelayanan Gereja’, dalam Ibid., p. 163.
150
Teologi kontekstual tidak pernah mulai dari ‘nol’. Lihat Singgih, Berteologi dalam Konteks: Pemikiranpemikiran Mengenai Kontekstualisasi Teologi di Indonesia, 2000, p. 24, 25, 32 (Bab 1), 197, 205-206. Lihat Singgih, Dari Israel ke Asia, 1982, p. 16. Seperti jelas di atas, intertekstualitas adalah sebuah istilah di mana teks (Gerrit Singgih) dan ungkapan dibentuk oleh teks yang datang sebelumnya (Harun Hadiwijono dan Djaka Soetapa), saling menanggapi dan salah satu bagian dari teks tersebut mengantisipasi lainnya. Lihat Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, 2011, p. 305.
151
Karya Harun 'Iman Kristen' (terbit pertama kali 1973) disebut karya yang sadar konteks pluralisme agamaagama. Maka dalam studi ini Harun disebut dalam urutan pertama. Lihat Hoekema, Berpikir dalam Keseimbangan yang Dinamis: Sejarah Lahirnya Teologi Protestan Nasional di Indonesia (Sekitar 18601960), 1997, p. 361 (fn. 300).
152
Lihat pandangan Amin Abdullah --penulis menyetujui-- bahwa studi komparatif yang menantang dikembangkan ke depan adalah dengan pola-pola dan aliran-aliran teologi di luar Islam, termasuklah dengan Kristen Protestan. Lihat Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif, 2010, p. 181-182. Sementara Gerrit Singgih mencatat pendekatan komparatif yang perlu didudukkan ulang secara kritis karena cenderung mengunggulkan teks Kristen. Penulis setuju dengan Singgih (yang mengutip Samartha) tentang pendekatan orienting (mencari inspirasi). Lihat Singgih, Berteologi dalam Konteks: Pemikiran-pemikiran Mengenai Kontekstualisasi Teologi di Indonesia, 2000, p. 78. Jadi, studi komparatif yang penulis maksud di sini tidak harus berarti siapa yang lebih unggul atau tidak unggul, melainkan teks religius yang dibaca bersama membawa inspirasi kepada Realitas terdalam dari hidup dan menggugah kepada transformasi sosial.
©
149
30
Keempat, Teologi Kontekstual Dalam wacana Islam progresif, teologi kontekstual adalah upaya sistematik untuk menggali nilai-nilai Islam yang liberatif pada isu-isu kemanusiaan, penghargaan pluralitas, transformasi sosial, dan menterjemahkan Islam menjadi hidup dan toleran.153 Dari kacamata Kristen progresif, kontekstualisasi mengandung dua perspektif, yaitu konteks kebudayaan dan agama dan konteks modernitas dengan perubahan nilai sehubungan dengan martabat manusia.154 Kontekstualisasi menyorot benturan dan perubahan nilai dalam hubungan dengan kedudukan perempuan, masalah keadilan sosial, pluralisme dan hak-hak
W
asasi manusia.155 Dari dua definisi ini Islam dan Kristen punya kesejalanan. Kelima, Pasca Orde Baru (1999 – 2010)
U KD
Masa ini dihitung sejak tumbangnya Orde Baru dan lengsernya Soeharto pada Mei 1998. Mengapa diawali tahun 1999? Karena tahun ini menjadi akumulasi repolitisasi Islam dalam gerakan parlementer dan ekstra parlementer (Islamisme radikal). Tahun ini juga menandai kian eskalatifnya konflik dan ekspresi kekerasan sektarian berbasis agama di beberapa wilayah Indonesia. Karena itu tahun 1999, selain dianggap titik pijak terbaik memetakan genealogi bangkitnya Islam dan Kristen progresif juga dimaksud sebagai batasan
©
titik berangkat studi dan penelusuran literatur, guna mengkonstruksi tema-tema pemikiran Islam progresif dan Kristen progresif hingga satu dasawarsa ke depan tahun 2010.
153
Bdk. al-Jabiri, Post Tradisionalisme Islam, 2000, p. 22.
154
Singgih, Berteologi dalam Konteks: Pemikiran-pemikiran Mengenai Kontekstualisasi Teologi di Indonesia, 2000, p. 18, 120. Lebih lanjut Singgih mengatakan bahwa: ‘konteks di sini adalah latar belakang, wawasanwawasan mengenai pandangan hidup fundamental masyarakat, baik yang tradisional maupun yang modern. Aspek-aspeknya juga luas sekali; meliputi perjumpaan dengan kenyataan-kenyataan berupa kemajemukan agama dan kemiskinan (Aloysius Pieris), agama Islam sebagai agama yang terbesar dan dengan demikian berpengaruh besar terhadap warna kekristenan kita, tantangan-tantangan sekularisasi dan modernisasi, tantangan ideologi, masalah-masalah keadilan di dalam berbagai bidang, termasuk perjuangan wanita untuk mendapatkan penghargaan sama seperti laki-laki’ (p. 63).
155
Lihat pandangan Theological Education Fund (TEF) seperti dikutip dalam B. F. Drewes dan Julianus Mojau, Apa Itu Teologi: Pengantar ke dalam Ilmu Teologi, 2011, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, p. 154-155.
31
Keenam, Teologi Progresif Teologi progresif (Islam dan Kristen) adalah hasil proses penggabungan (fusion) teks dengan situasi kekinian berupa refleksi etis-liberatif yang secara fungsional meneguhkan nilai-nilai kemanusiaan (HAM, keadilan, adil gender, kebebasan berpikir, kemiskinan, ekologi) dan keindonesiaan (menolak teokrasi, mendukung demokrasi, pluralisme).
K. SISTEMATIKA
W
Bab I. PENDAHULUAN Di sini akan diuraikan: Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Pertanyaan Penelitian,
U KD
Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian, Metodologi Penelitian, Kerangka Teori, Judul, Definisi Kerja, dan Sistematika.
Bab II. ISLAM PROGRESIF DI INDONESIA
Di sini akan dijelaskan dua bagian pokok: Pertama, genealogi Islam Progresif. Di dalamnya akan diuraikan: Islam Modernis versus Islam Tradisionalis; Gagasan Pembaruan Pemikiran
©
Islam di Indonesia; Dinamika Baru NU dan Muhammadiyah; Post-Tradisionalisme Islam; Transformasi Sosial: Munculnya Kelas Menengah Islam; Strategi Baru: Islamisasi di Jalur Kultural; Islam dan Relasi Kekuasaan; Islamisme di Indonesia; dan Transmisi Wacana Teologi dalam Islam Progresif di Indonesia. Kedua, Islam Progresif. Di dalamnya akan dijelaskan: Diskursus Dasar Islam Progresif, Lembaga-lembaga Pengarusutamaan Islam Progresif dan Tema-Tema Pengarusutamaan Islam Progresif.
32
Bab III. KRISTEN PROGRESIF DI INDONESIA Di sini akan dijelaskan dua bagian pokok: Pertama, genealogi Kristen Progresif. Di dalamnya akan diuraikan: Transplantasi Barat di Indonesia; Nasionalisme Indonesia dan Kemandirian Gereja-Gereja (Protestan) di Indonesia; Kesenjangan Ekumenikal dan Evangelikal serta Fundamentalisme Kristen (Protestan) di Indonesia; Gerakan Ekumene Gereja-Gereja Kristen (Protestan) di Indonesia; Teologi Yang Sadar Konteks Pluralisme Religius: Kesadaran Awal; Jejak Kristen Progresif di Indonesia: Dari Kristen Liberal; Peletak Dasar-dasar Pemikiran Teologi Progresif (Andreas A. Yewangoe dan J.B. Banawiratma);
W
Pergeseran Arah Berteologi Dunia Ketiga; dan Transmisi Wacana Teologi dalam Kristen Progresif di Indonesia. Kedua, Kristen Progresif. Di dalamnya akan diuraikan pemikiran
U KD
Harun Hadiwijono: Sang Perintis; Djaka Soetapa: Sang Pedialog; dan Emanuel Gerrit Singgih: Sang Teolog. Akhirnya, dikemukakan empat tema pengarusutamaan Kristen Progresif menurut Emanuel Gerrit Singgih: Hermeneutik-Kontekstual, Teologi, Eklesiologi, dan Misiologi.
Bab IV. MERETAS TITIK TEMU ISLAM PROGRESIF DAN KRISTEN
©
PROGRESIF
Di sini akan diuraikan dua bagian utama. Pertama, Islam Progresif dan Kristen Progresif sebagai Kritik. Kedua, Islam Progresif dan Kristen Progresif: Mencari Konvergensi Wacana. Di bagian kedua ini akan diperlihatkan dua hal: Kontinuitas Wacana dan Agenda Ke Depan Islam Progresif dan Kristen Progresif.
33