BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang UNESCO (United Nations Education, Scientific, and Cultural Organization), badan PBB yang bergerak pada pengembangan Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan menerima permohonan Otoritas Palestina (OP) untuk mendapatkan status keangotaan penuh pada sidang General Conference (GC) ke 36 UNESCO pada 31 Oktober 2011. Sebanyak 107 negara dalam proses pemungutan suara yang diadakan dalam salah satu sesi sidang
menyetujui usulan
keanggotaan yang diajukan OP. Pada 23 November 2011, Palestina resmi menjadi anggota UNESCO ke 195 setelah meratifikasi Konstitusi UNESCO. Penerimaan status keanggotaan penuh UNESCO ini berdampak signifikan pada Palestina. Salah satunya adalah terbukanya akses untuk meratifikasi konvensi-konvensi UNESCO dan berhak mengikuti progam-program dan bantuan dari UNESCO termasuk pengiriman nominasi pendaftaran situs warisan budaya (Program World Heritage List). Pendudukan Israel atas tanah-tanah Palestina berdampak pada kondisi sosial dan ekonomi warga Palestina. Situs-situs kebidayaan Palestina berubah menjadi pemukiman masal, sekitar 70% kawasan pertanian beralih fungsi menjadi pemukiman sipil warga Israel dan penggalian illegal situs situs kebudayaan milik rakyat Palestina.1 Paska pendudukan tahun 1967, Israel menduduki bangunan bernilai sejarah di Morroccan Quarter di kota tua Jerusalem. Selain situs kebudayaan, bangunan-bangunan pendukung seperti seperti Museum Arkheologis Palestina, dan teater juga tidak luput dari penghancuran atau klaim sepihak. Operasi militer Israel pada tahun 2002 menimbulkan kehancuran pada beberapa kompleks Kota Tua Nablus dan Gereja Natalitas di Bethlehem. Selain itu, pada tahun 2010, Israel mengklaim bahwa Masjid Ibrahimi atau yang dikenal sebagai Cave of the Patriach’s di Hebron serta Rachel’s Tomb di Bethlehem. Padahal sesuai dengan perjanjian Oslo 1993, lokasi dua situs ini Hebron dan Bethelem tidak berada dalam wilayah administratif pemerintah Israel. Usaha untuk melindungi warisan budaya seperti
1
Intifada Palestine. 2010. Dr. Hanan Chehata:The Cultural Genocide of Palestine. Diakses pada 14 Februari 2016 < http://www.intifada-palestine.com/2010/05/dr-hanan-chehatathe-cultural-genocide-of-palestine/>
Gereja Natalitas dengan mendaftarkannya dalam program World Heritage pada tahun 2011 terhalang regulasi, karena saat itu Palestina hanya memiliki status keanggotaan sebagai observer state sejak 1974. Kondisi ini sesuai dengan pernyataan Hamdan Taha selaku Menteri Kedudayaan OP menyebutkan bahwa usaha pemerintah Israel ini akan terus membahayakan kelestarian warisan budaya Palestina dan proses perundingan damai. 2 Keanggotaan dalam UNESCO juga membuka kesempatan Palestina menandatangani berbagai konvensi terkait dengan perlindungan warisan budaya (heritage. Lebih lanjut, penerimaan status keanggotan penuh Palestina berdampak pada terbukanya partisipasi Palestina pada program-program UNESCO, seperti program World Heritage. Setelah diterima secara resmi menjadi anggota penuh pada tahun 2011, dua situs warisan budaya Palestina telah masuk dalam program World Heritage UNESCO yaitu the Church of the Nativity and the Pilgrimage Route di Bethlehem, dan Kawasan Land of Olives and Vines di Battir yang terletak di jalur Jerusalem-Bet Gubrin pada tahun 2012 dan 2014. The Church of the Nativity and the Pilgrimage Route menjadi situs yang dihormati pemeluk agama Islam, Kristen dan Judaisme semakin terkikis kelestariannya karena umur bangunan yang lebih dari seabad. Sedangkan Kawasan Battir yang merepresentasikan kearifan lokal dalam bentuk sistem irigasi tradisional Palestina berulangkali terancam keberadaannya karena aneksasi wilayah di sekitarnya oleh pemerintahan Israel untuk pembuatan pemukiman warga Israel. Sementara itu, penerimaan status keanggotaan penuh Palestina membawa konsekuensi bagi UNESCO. Keputusan ini berakibat pada penarikan dana bantuan operasional dari beberapa negara anggotanya. Komposisi voting negara-negara anggota UNESCO tentang kasus ini adalah: dari total 173 suara, 107 negara anggota menyatakan setuju, 14 negara menolak sementara 52 negara anggota abstain. Sikap negara-negara anggota UNESCO yang juga menjadi Dewan Keamanan PBB pun tidak mencerminkan satu suara tunggal: Sembilan negara anggota UNESCO, yang juga menjadi negara anggota DK PBB memilih opsi mendukung yaitu Perancis, Brazil, RRT, Rusia, India, Afrika Selatan, Libanon, Gabon dan Nigeria. Sementara Portugal,
2
Israel claims West Bank holy sites. “Maan News Agency, 21 Februari 2010 (online). Diakses pada 14 Maret 2016 < http://www.maannews.com/Content.aspx?id=263146>
Colombia, Bosnia-Herzegovina serta Inggris Raya memilih abstain, sedangkan Jerman dan Amerika Serikat (AS) memilih menolak.3 Penolakan dari AS atas permohonan status keanggotaan OP didasari oleh landasan politik domestiknya. Legislasi federal AS dari tahun 1990 dan 1994 yang melarang pemerintahan AS menyediakan bantuan dana bagi organisasi PBB yang “menganggap Palestina Liberation Organization (PLO) memiliki posisi yang setara dengan negara” ( (P.L. 101-246, Title IV [1990] and P.L. 103-236, Title IV [1994]).4 Perwakilan AS berargumen bahwa penolakan atas pengakuan keanggotaan organisasi di sebuah badan otonom PBB seharusnya menunggu resolusi pengajuan keanggotaan penuh secara terpusat di level DK PBB terlebih dahulu. Selain itu, pengakuan status layaknya sebuah negara bagi Palestina harus didapat dari perundingan dengan Israel bukan karena tindakan pihak ketiga atau organisasi internasional. Sikap pemerintah AS ini dinilai ambigu oleh para diplomat perwakilan negara-negara Arab di PBB, dan diangggap sebagai manuver, untuk mencegah Palestina mendapatkan status keanggotaan penuh di tingkat Majelis Umum.5 Meskipun UNESCO merupakan badan dibawah koordinasi PBB, namun tidak ada veto di dalamnya dan berhak mengambil keputusan secara independen, termasuk dalam memutuskan siapa yang berhak menjadi anggota. Konstitusinya juga juga tidak mensyaratkan status keanggotaan penuh di PBB untuk negara yang ingin menjadi anggotanya. Sementara itu, senada dengan pernyataan diplomat Palestina di PBB, pemerintah Palestina di Tepi Barat menanggapi pengakuan ini sebagai langkah maju bagi negaranya, terutama untuk melindungi beberapa situs waarisan budaya yang berada di wilayah Palestina namun dianeksasi oleh Israel. Selain itu, dasar hukum yang digunakan juga tidak lagi relevan, mengingat OP dibawah PM Mahmoud Abbas, yang memiliki pengalaman panjang dalam
3
Karl Vick.2011. Palestinian Statehood Gets Recognized by UNESCO: What’s Next?. Majalah “Time” edisi 31 Oktober 2011 (Online), < http://world.time.com/2011/10/31/palestinian-statehood-gets-recognized-unescowhats-next/> diakses pada 29 Desember 2014 4 Laura C. Engel and David Rutkowski.2012. UNESCO Without U.S. Funding? Implications For Education Worldwide Center for Evaluation & Education Policy , Indiana Unversity (online) < http://ceep.indiana.edu/projects/PDF/SP_UNESCO.pdf> diakses pada 11/06/15 5 Steven Erlanger And Scott Sayare . 2011. UNESCO Accepts Palestinians as Full Members. Harian The New York Times edisi 31 Oktober 2011, (edisi online) < http://www.nytimes.com/2011/11/01/world/middleeast/unescoapproves-full-membership-for-palestinians.html?_r=0> diakses pada 11/06/15
bernegosiasi dengan Israel, tidak hanya terdiri dari anggota PLO dan PLO bukan lagi dikategorikan sebagai sebuah kelompok teroris. 6 Perdebatan terbesar dari keputusan penerimaan ini adalah dilema yang dihadapi UNESCO. Sebagai sebuah organisasi internasional, keputusan UNESCO dinilai bertolak belakang dengan sikap negara-negara pendonor terbesarnya, Sebuah pola yang selama ini diyakini banyak pihak. Namun keputusan Amerika Serikat (AS) sebagai pendonor terbesar UNESCO ternyata tidak serta merta membuat organisasi ini mengambil kebijakan yang serupa. Padahal, seperti yang diyakini banyak pihak, keputusan yang dikeluarkan UNESCO selaku institusi internasional yang banyak didanai oleh AS seharusnya mencerminkan sikap politik AS. Intrepretasi dari UU domestik menjadi landasan sikap politik AS di UNESCO, yaitu menolak dan keberatan atas keputusan ini, bahkan memberikan ancaman untuk memutus donor dana bagi UNESCO. Nominal donor yang disumbangkan AS cukup signifikan, yaitu mencapai USD $ 80 Juta atau sekitar 22 % dari total dana tahunan UNESCO.7 Hal ini tentunya berpengaruh pada keberlangsungan operasional UNESCO jika AS bersama Israel, yang menyumbang sebanyak 3%, benar- benar menarik dana donornya. Ancaman ini dibuktikan pemerintah AS dengan benar-benar menarik dana bantuan sebesar US$ 60 Juta Dolar pada tahun berikutnya.8 UNESCO telah memprediksi reaksi yang ditunjukkan AS, bahkan Direktur Jenderal UNESCO Irina Bokova berkunjung ke Kongres AS untuk mengkampanyekan perubahan kebijakan dan menegosiasikan kemungkinan perubahan konstitusi. Namun kepotusan Kongres AS yang mayoritas komposisi legislatornya berasal dari Partai Republik yang beraliran konservatif, tetap tidak berubah.9 . Hal ini tentu membuktikan bahwa dampak keputusan ini berdampak cukup serius bagi UNESCO, terutama untuk mendanai sebagaian besar programprogram dan biaya operasionalisasi sehari-hari. Namun pada kenyataanya pilihan ini tetap dipilih dengan berbagai konsekuensi. Kesesuaian bidang kerja organisasi dengan urgensi permasalahan
6
Dr. Siti Mutiah Setyawati, dkk. 2004. Kesulitan Penyelesaian Masalah Bersama Arab dalam “Irak di Bawah Kekuasaan Amerika: Dampaknya bagi Stabilitas Politik Timur Tengah dan Reaksi (Rakyat) Indonesia”. PPMTT IHI Fisipol UGM hal 205-206 7 Michael Weiss & Houriya Ahmed. 2011. Political Implications of the Palestinian Accession to UNESCO. The Henry Jackson Society, Project for Democratic Geopolitics ,
diakses pada 28 Desember 2014 8 ^Ibid. Karl Vick. 2011 9 Steven Erlanger &Scott Sayare .2011.Unesco Accepts Palestinians as Full Members. Harian “New York Time” edisi 31 Oktober 2011 (online), < http://www.nytimes.com/2011/11/01/world/middleeast/unesco-approvesfull-membership-for-palestinians.html?pagewanted=all&_r=0> diakses pada 28 Desember 2014
yang dihadapi Palestina terkait pelestarian heritage di tengah konflik dapat menjadi salah satu pertimbangan UNESCO menerima keanggotaan OP meskipun ditolak oleh PBB. Berdasarkan paparan penjelasan di atas, penulis meyakini terdapat pertimbanganpertimbangan lain yang melatarbelakangi pengambilan keputusan UNESCO. Pertimbangan dalam pengambilan kebijakan tidak hanya berdasarkan perhitungan pertimbangan untung-rugi secara materi saja. Hasil kebijakan UNESCO yang terjadi di luar prediksi inilah yang membuat penulis berpendapat perlunya penelitian yang lebih mendalam untuk mengeksplorasi fenomena ini. Terdapat pertimbangan lain yang dimiliki UNESCO melebihi persoalan dukungan finansial semata dan kekuatan negara untuk mengintervensi. Penelitian ini bertujuan untuk melihat interaksi politik UNESCO dan negara-negara anggota dalam menghasilkan suatu output kebijakan. Analisa motif politik didalamnya dan diharapkan mampu menjelaskan orientasi arah kebijakan yang diambil dan kaitannya dengan konflik Palestina-Israel.
B. Pertanyaan Penelitian Pertanyaan penelitian yang diajukan adalah: “Mengapa UNESCO menerima permohonan Otoritas Palestina (OP) untuk mendapatkan status keangotaan penuh di UNESCO?
C. Studi Literatur Fokus penelitian yang berusaha menganalisa proses politik dalam sebuah reziim berimplikasi pada penentuan studi literatur. Lebih lanjut, tema tulisan yang digunakan sebagai studi literatur tidak jauh bergeser dari dua topik bahasan utama yaitu seputar heritage regime dan relevansinya dengan konflik Israel-Palestina. Studi literatur yang dipilih ini, selanjutnya bertujuan untuk memetakan posisi penelitian penulis sekaligus memberikan pandangan awal mengenai topik yang akan dibahas dalam penelitian. Ulasan tentang heritage regime dapat ditemui pada tulisan The Future of World Heritage and the Emergence of Transnational Heritage Regimes oleh W.J.H Willems (2014).10 Dalam artikel ini Willems menyebutkan tentang definisi terminologis, sifat dasar dari heritage, proses berkembangnya kajian hingga berkembangnya pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang siapa 10
Willem J. H. Willems. 2014. The Future of World Heritage and the Emergence of Transnational Heritage Regimes. Jurnal “ Heritage & Society”, Vol. 7 No. 2, November, 2014, 105–120 (online) http://www.networkedheritage.org/wp-content/uploads/2014/12/Willems-HS7-2014.pdf diakses pada 27/08/15 hal 107
yang berhak memiliki heritage serta memiliki wewenang untuk mengaturnya muncul. Heritage dikonsepkan sebagai proyeksi nilai-nilai yang melekat pada bangunan, wilayah atau bahkan filosofi hidup yang sejatinya berasal dari masa lalu namun dimanfaatkan sedemikian rupa sehingga relevan untuk tetap layak dilindungi keberadaannya hingga kini. Salah satu poin yang menariuk dari tulisan Willems ini adalah penegasan bahwa manajemen heritage sangat terkait dengan negara. Hingga kini, negara berdaulat (sovereign state) masih menjadi jawaban utama yang dianggap berhak mengelola kelestarian heritage sebagai perwakilan sah masyarakat. Pentingnya peran negara juga diperkuat oleh buku Heritage Regime and the State yang menjelaskan bagaimana rezim di bidang heritage diimplementasikan dalam tataran domestik oleh beberapa negara-negara anggota UNESCO dan pencapaian yang didapat setelahnya. 11 Selain keterkaitan dengan negara, selanjutnya WIllems juga menyebutkan tentang kemungkinan terbentuknya rezim yang bersifat transnasional di masa depan karena di isu heritage yang semakin kompleks. Meskipun, kemunculan rezim ini tidak lepas dari peranan elemen dasar di dalamnya yaitu negara (soveirgn state) serta para ahli (expert) di bidang yang terkait. Wujud peranan aktor non state yang akan semakin menigkat kapasitasnya dalam bentuk kerjasama finansial dan partisipasi teknis pelaksanaan program perlindungan heritage. Meskipun Willems menekankan pentingnya peran negara berdaulat (sovereign-state) dalam heritageregime, kritik tetap disampaikan pada dominansi state sebagai aktor dominan di dalamnyai. Menurutnya, jangkauan perlindungan rezim heritage yang terlalu bersandar pada state dinilai tidak bisa memberi perlindungan pada beberapa entitas yang tidak termasuk di dalamnya, seperti heritage di daerah konflik atau berada di sebuah entitas yang belum jelas status kenegaraannya. Berdasarkan pemaparan di atas, perbedaan tulisan Willem dengan penulis adalah fokus tulisannya tidak mengangkat topik heritage dalam konflik Palestina-Israel secara khusus. Tulisan Willems membahas keberlangsungan heritage regime holistik, tanpa memfokuskan diri pada kasus tertentu secara mendetail. Palestina hanya sekali disebutkan bersama Somaliland dan Taiwan sebagai beberapa contoh wilayah yang yang luput dari jangkauan kerja heritage regime jika hanya bertumpu pada sovereign-state. Terkait dengan tulisan Willems, penulis setuju dengan beberapa ide pokok penulisan, salah satunya pentingnya peran (sovereign-state) dalam heritage regime, terutama jika dikaitkan dengan kasus permohonan OP dalam keanggotaan
11
Regina Bendix et al. 2012 Heritage Regime and State. Universitätsverlag Göttingen online, diakses pada 19/11/14
UNESCO. Peran negara penting karena dalam UNESCO, keputusan tertinggi termasuk dalam memutuskan penerimaan anggota baru diambil oleh negara melalui proses voting. Sehingga penulis berpendapat bahwa dalam konteks kasus ini, pilihan yang diambil UNESCO sedikit banyak adalah representasi sikap mayoritas negara-negara anggotanya. Selanjutnya, pada buku yang berjudul UNESCO’s ‘World Heritage regime’ and its international influence, Stefania Fenucci menjelaskan tentang pengaruh politis heritage regime dalam tataran global.12 Buku yang dibuat berdasarkan tesis dengan judul serupa ini menjelaskan tentang bagaimana UNESCO selaku organisasi internasional menginisasi berdirinya sebuah heritage regime yang akhirnya mempengaruhi keputusan-keputusan negara anggotanya. Fanucci menyebutkan UNESCO memiliki kemampuan untuk mengolah power yang dimiliki dalam bentuk tertentu, sehingga mampu memunculkan aspek compliance. Negara-negara anggota UNESCO tidak hanya merefleksikan kepentingannya pada UNESCO, namun disisi lain UNESCO sedikit banyak juga mempengaruhi perilaku negara anggotanya, terutama dalam konteks heritage regime. Penulis menggunakan buku ini sebagai sumber inspirasi utama mengingat kedekatannya dengan topik bahasan penelitian. Meskipun memiliki kesamaaan, perbedaan penelitian penulis dengan buku Fenucci adalah spesifikasi kasus yang diangkat. Fenucci mengangkat heritage regime UNESCO secara umum dan menunjukkan penerapan kasus pada dinamika program World Heritage List di Katedral Cologne dan Lembah Kathmandu. Sementara penulis meneliti peranan heritage regime dalam membentuk motif politik negara anggota UNESCO, yang terkait dengan strategi diplomasi Palestina untuk diterima menjadi anggota UNESCO. Tulisan kedua, dari Rosemary J. Coombe and Lindsay M. Weiss yang berjudul Neoliberalism, Heritage Regimes, and Cultural Rights, memberikan ulasan kritis tentang heritage . Tantangan utama yang dihadapi dalam heritage regime menurut mereka adalah bergesernya pandangan yang melihat heritage tidak hanya dalam kacamata politik ekonomi global. Pelaksanaan program yang dijalankan rezim ini, dalam konteks neoliberal memposisikan heritage sebagai obyek (state property) yang harus dilindungi oleh negara untuk keuntungan ekonomi. Namun pada perkembangannya, regulasi tentang heritage yang menitik beratkan pada proses perlindungan semakin menjadi gerakan global. Tentu saja hal ini berdampak dengan
12
Tredition
Stefania Ferrucci.2012. UNESCO’s World Heritage regime and its international influence . Hamburg:
semakin banyaknya aktor non negara yang berperan dalam pengelolaan heritage. pembahasan isu yang dibahas pun semakin berkembang. Motif ekonomi yang tidak lagi menjadi fokus utama dalam heritage regime, memberi kesemapatan isu-isu lain yang terkait unutk muncul di permukaan. Salah satu yang tentang unsur-unsur hak asasi manusia (HAM), terutama perlindungan terhadap hak-hak minoritas.13 Hal ini sejalan dengan uraian Bendix juga menyebutkan bahwa ada isu human rights dalam heritage regime. Heritage tidak lagi dipahami sebagai public domain, dimana pihak manapun dapat mengeksplorasinya tanpa tuntutan mempertanggungjawabkan dampak yang terjadi akibat tindakannya. Isu heritage regime berada pada perpotongan antara isu-isu human rights dan intellectual property rights. Tulisan Coombe & Weiss berusaha mengajak pembaca kembali pada isu mendasar dari heritage yaitu mengenai perdebatan tentang kepemilikannya. Dalam tataran praktis, belum adanya kesepakatan siapa yang benar-benar memiliki otoritas menjaga heritage, membuatnya rawan untuk dieksploitasi ataupun menjadi sumber konflik laten. Sementara itu, dalam tataran perdebatan akademis kepemilikan dan otorisasi heritage (who owns heritage, who decides, and who manages) juga mendorong perdebatan di kalangan akademis bagaimana seharusnya heritage dikelola. Meskipun memberikan kajian kritis tentang pergeseran isu yang ada dalam heritage regime, tulisan Coombe & Weiss tidak mengaplikasikan idenya dalam kasus yang spesifik. Sementara topik yang diangkat penulis berada di seputar proses politik heritage regime dalam konflik yaitu penerimaan UNESCO atas permohonan keanggotaan oleh Palestina. Namun, mengingat konsep yang diangkat memiliki keterkaitan dengan tema penelitian penulis, tulisan ini tetap digunakan penulis sebagai penguat argumen. Penulis mendukung argumen Coombe & Weiss yang menyebutkan bahwa fokus pergerakan heritage regime tidak hanya pada bidang politik ekonomi saja, namun mulai bergerak pada kesadaran untuk berperan dalam pada proses perlindungan heritage secara global. Sementara itu pada tulisan David Keane yang berjudul Unesco, Palestine And Archaeology In Conflict berusaha melihat konlik Palestina dan Israel bukan dari sudut pandang konflik dari fragmen high politics saja, tetapi efek samping dari konflik yang dikaitkan dengan
13
Rosemary J. Coombe and Lindsay M. Weiss. 2015. Neoliberalism, Heritage Regimes, and Cultural Rights. Jurnal “Global Heritage: A Reader”, First Edition (online) < http://www.yorku.ca/rcoombe/publications/Coombe%20and%20Weiss%202015%20%20Neoliberalism,%20Heritage%20Regimes,%20and%20Cultural%20Rights.pdf> diakses pada 14/11/15
heritage yaitu : konflik arkeologis.
14
Menurutnya, Palestina dan daerah rawan koflik lainnya
tidak hanya kehilangan wilayah secara terus menerus karena dianeksasi pihak lain, namun peninggalan-peninggalan arkeologis yang terdapat di wilayah konflik menjadi rawan berpindah tangan dan dapat menjadi sumber konflik baru ketika ada suatu wilayah yang memiliki nilai heritage tinggi diperebutkan oleh kelompok yang bertikai. Secara umum, Keane & Azarov mencoba memetakan implikasi konflik arkeologis yang terjadi di wilayah konflik Palestina-Israel dan kemungkinan membawa sengketa ke Mahkamah Internasional. Meskipun berada dalam satu topik besar yang sama, posisi tulisan penulis sedikit berbeda dengan tulisan Keane & Azarov. Peranan heritage dalam suatu konflik tetap menjadi perhatian utama, namun penulis berusaha berfokus hanya pada proses politik yang terjadi di internal UNESCO. Sementara posisi tulisan Keane & Azarov lebih holistic, membahas konflik arkeologis di Palestina sejak paska Kekaisaran Ottoman hingga Perundingan Oslo 1993. Ulasan dari Keane & Azarov akan digunakan penulis sebagai sumber inspirasi dan rujukan karena kedekatan topik bahasan.
D. Landasan Konsep Untuk meneliti peranan suatu world heritage regime mempengaruhi sekelompok negara untuk mengakui sebuah entitas menjadi anggota yang memiliki kedudukan seperti layaknya negara, dirasa penting bagi penulis untuk menyajikan beberapa konsep yang digunakan untuk penelitian ini yaitu : Rezim Internasional, International Organization’s Behaviour
dan
Pengakuan Negara (State Recognition) Pertama, Rezim Internasional digunakan sebagai konsep penjelas untuk membantu memetakan posisi heritage regime.
Penjelasan di dalamnya akan meliputi definisi world
heritage regime, posisinya dalam kajian Rezim Internasional serta relevansinya dengan masalah penelitian. Kedua, teori tentang International Organization’s Behaviour yang diusung Barnett dan Finnemore digunakan penulis untuk menjelaskan peranan organisasi internasional dapat power yang dimiliki untuk membentuk motif yang mempengaruhi output kebijakan yang diambil negara-negara anggotanya. Sementara itu, konsep Pengakuan Negar dalam hukum internasional
14
David Keane & Valentina Azarov. 2013, UNESCO, Palestine And Archaeology In Conflict. Denver Journal of International Law and Policy, Vol. 41, No. 309, 2013 (Online) < http://djilp.org/wpcontent/uploads/2014/04/Keane_Final-to-Printer.pdf> diakses pada 27 /06/15 hal 316
digunakan untuk membantu menjelaskan posisi legal yang turut menyertai dari keputusuan tersebut
1. Heritage Regime
Sebelum membahas konseptualisasi heritage regime, penulis akan mencoba memberikan penjelaskan definisi heritage terlebih dahulu. Selanjutnya, penulis akan memaparkan tentang penerapan
isu
heritage
pada
sebuah
rezim.
Secara
sederhana
heritage
UNESCO
mendefinisikannya sebagai “produk dari masa lalu (legacy if the past) yang dimanfaatkan kegunaannya untuk masa kini dan generasi mendatang dan sumber inspirasi yang tak tergantikan”.15 Definisi dari UNESCO ini diperjelas oleh tulisan Graham & Howard, yang juga mendefinisikan heritage sebagai: “In this presnt context we adopt a constructionist perspective which regards the concept as referring to the ways in which very selective past material artefacts, natural landscapes, mythologies, memories and traditions become cultural, political and economic resources for the present16. Berdasarkan dua definisi di atas, penulis menyetujui pendapat Graham & Howard yang memahami heritage sebagai konstruksi sosial. Sehingga, heritage berkontribusi pada pembentukan identitas nasional, dan seringkali menjadi bahan legitimasi untuk meraih power.17 Sehingga, dalam praktiknya, isu tentang heritage tidak pernah netral bahkan dalam satuan derajat tertentu sangat bersifat politis. Heritage di satu sisi, dapat membawa nilai positif karena menyatukan masyarakat / bangsa yang terpisah (menguatkan rasa ke-“kami” an). Namun, di sisi lain heritage dapat memicu timbulnya konflik jika ada dua pihak atau lebih yang ingin memperebutkan kedaulatan atau otoritas di sebuah wilayah. Kondisi ini semakin parah jika masing-masing pihak bersikukuh dengan klaim kebenaran yang dimiliki. Salah satu contoh adalah konflik dimana heritage memiliki peran sentral adalah sengketa antara Thailand dan Kamboja atas situs kuil Preah Vihear yang telah disahkan dalam Warisan Budaya Dunia pada 2008.
15
World Heritage Information Kit. 2008. UNESCO World Heritage Centre. diakses pada 01/09/2015 16 Brian Graham & Peter Howard. 2005 . Ashgate Research Companion to Heritage and Identity < https://www.gowerpublishing.com/pdf/SamplePages/Ashgate_Research_Companion_to_Heritage_and_Identity_Intr o.pdf> diakses pada 11/09/15 17 ^Willem J. H. Willems. 2014. Loc.Cit hal 107
Istilah Heritage regime: pada awalnya merujuk pada usaha pembentukan disiplin akademis yang menghasilkan suatu perhatian yang lebih sistematis pada penyelamatan dan perlindungan suatu heritage di Eropa pada masa Reinaisance. Semakin kompleksnya regulasi legal di bidang heritage, mendorong berkembangnya isu yang masih relevan dibahas hingga kini, seperti siapa yang memiliki heritage, dan siapa yang berhak mendefinisikan kategori heritage dan mengelolanya. Pada praktiknya, pengelola yang dinilai paling berhak mengelola heritage adalah sovereign-nation, meskipun dalam operasionalnya sangat tergantung pada keahlian dari ilmuwan ahli (expert) yang bergelut di bidangnya. Sehingga dapat dipahami bahwa dalam heritage regime terdapat dua elemen dasar yang saling berpengaruh, yaitu: sovereignity (kedaulatan) dan expertise (keahlian). Meskipun pengelolaan heritage diposisikan pada negara, dalam pengambilan keputusan teknis, negara bergantung pada keputusan para ahli. Peran serta para ahli ini mengubah arah tujuan heritage regime yang sebelumnya memposisikan heritage sebagai aset negara menjadi semangat pemberdayaan. Semangat ini menjadikan pengelolaan heritage juga melibatkan aktor non negara dan komunitas lokal untuk berpartisipasi peluang masuknya
nilai-nilai
lain
dalam
pengelolaan
heritage,
seperti
misalnya
semangat
memperjuangkan human rights a) Heritage Regime dalam Rezim Internasional Sebagai sebuah fenomena yang muncul paska Perang Dunia II, kajian tentang rezim hingga sekarang masih memiliki banyak perdebatan bahkan dalam tataran definisi. Namun ditengah banyak perdebatan, para ahli umumnya menyetujui definisi yang dibuat oleh Stephen Krasner tentang rezim, yaitu: “set of implicit or explicit principle, norms, rules and decision making procedures around which actor’s expectation converge in a given area of international relations” 18 Penekanan aturan-aturan yang mengikat aktor di dalamnya membedakan kajian rezim dengan Organisasi Internasional (OI), meskipun keduanya memilki kesamaan tertentu. Kajian OI meneliti tentang suatu organisasi internasional saja, yang melihat bagaimana perannya dalam politik internasional. Namun rezim menekankan pada seperangkat aturan yang dibuat oleh aktoraktor di dalamnya mengenai sebuah isu. Aktor-aktor yang terlibat didalamnya pun bisa bervariasi, tidak hanya OI saja, namun juga negara, NGO dan aktor non negara lainnya. 18
Richard Little. 1998. International Regime. Dalam “ the Globalization of World Politics: An Introduction to International Relation” (diedit oleh Steve Smith dan John Baylis). London: Oxford University Press hal 235
Sehingga, meskipun ada perbedaan, sebenarnya antara kajian rezim dan OI ada keterkaitan. Keterkaitan ini timbul karena dalam beberapa rezim, OI memiliki peran yang penting di dalmnya. Dengan memahami keterkaitan antara keduanya membantu memahami sejaum mana peran OI dalam suatu rezim. Rezim Internasional umumnya berpusat pada dua permasalahan utama, yaitu berfokus pada bagaimana menjelaskan pembentukan rezim dan bagaimana rezim itu beroperasi, sedangkan yang kedua berfokus pada efektivitas rezim, yaitu respon yang dilakukan rezim menghadapi masalah-masalah yang dihadapi.19 Perbedaan keduanya terletak pada cara memposisikan rezim yang diteliti, apakah melihatnya sebagai satu fokus analisis tunggal tanpa melihat keterlibatan rezim lain atau justru melihat dampak interaksi dengan rezim lain. Penelitian ini menggunakan pendekatan kategori pertama yang bertujuan menganalisis proses yang terjadi di dalam sebuah rezim. Hal ini sesuai dengan masalah penelitian yang ingin melihat interaksi politik UNESCO dan negara-negara anggota dalam menghasilkan suatu output kebijakan dalam sebuah rezim, bukan efek samping dari berdirinya rezim pada aktor di luar rezim tersebut. Setidaknya ada tiga perspektif dalam HI yang menganalisis proses yang terjadi di dalam rezim, yaitu aliran realis yang fokus pada power relationship antar negara; aliran neoliberalis berbasis analisis konstelasi interest aktor berupa economic gain , serta aliran konstrutivis/ kognitivistik yang menekankan pada pentingnya perubahan pengetahuan, komunikasi dan identitas dalam rezim.20 Perbedaan argumentasi ketiganya dibangun dari sejauh mana aktor dapat berperan termasuk motif yang melatarbelakangi tindakan aktor dalam sebuah rezim.. Argumen Realis, rezim timbul karena distribusi kekuasaan mempengaruhi prospek rezim yang efektif untuk muncul dan bertahan serta mendefinisikan karakteristik utamanya. Sementara, Liberal Institusionalisme, menekankan bahwa rezim membuat negara negara mampu menyatakan untuk mengkoordinasikan perilaku mereka sehingga mereka dapat terhindar dari keuntungan relatif yang tidak optimal. Sedangkan kognitivisme berfokus pada teori berbasis pengetahuan yang mampu mempengaruhi aktivitas aktor melalui norma-norma sosial dan keterlibatan lembaga pengetahuan tertentu (epistemic community) yang dirangkul untuk memberikan pendapat. Output kebijakan yang dihasilkan berdasar pada bukti-bukti ilmiah dan kedibilitasnya tinggi karena 19
Jakub Krè*. 2008.The interaction between international regimes - regime interplay dalam “ The Interplay between Multilateral Regimes as the Relationship between Trade and Environmental Rules”. Jurnal Acta Oeconomica Pragensia, roè. 16, è. 2, 2008 (online) https://www.vse.cz/polek/download.php?jnl=aop&pdf=57.pdf 20 Andreas Hasenclever (et. al). 1997. Theories of International Regimes. Edinburgh : Cambridge University Press (hal 1
reputasi yang selama ini beredar mengasilkan keputusan obyektif yang bebas dari kepentingan politis. Pembentukan World Heritage Regime, sebagai salah satu implementasi action plan UNESCO yang paling dikenal luas, selaras dengan tulisan Stephen Krasner yang menyebutkan bahwa pembentukan rezim, sebagai perpaduan dari self interest, power dalam bentuk common goods, norma dan pengetahuan yang mendasari kerjasama antar aktor di dalamnya. Lebih lanjut jika konsep dioperasionalisasikan dalam kasus penelitian, Stefania Ferucci mendefinisikan selfinterest World Heritage Regime sebagai “keinginan untuk menjaga reputasi, leverage, dan monopoli posisi internasional dalam melindungi warisan dunia (world heritage)”.21 Selain itu, common goods yang dihasilkan ketika rezim ini terbentuk, akan secara dinamis berkembang secara independen mengikuti kerangka pikir konstruktivis. Dari tiga perspektif yang tersedia dalam kajian rezim internasional, penulis menggunakan pendekatan kognitivistik sebagai sebagai kerangka acuan analisa. Hal ini didasari oleh kecenderungan pola perilaku negara-negara dalam heritage regime, yang bertindak berdasarkan pertimbangan yang tidak lagi didasari keinginan power struggle ataupun keuntungan ekonomi. Sejalan dengan tulisan Willems yang menyebutkan bahwa dalam heritage regime ada kolaborasi antara negara berdaulat (soverign-nation) dan para ahli (expert).
Heritage regime juga
memungkinkan aktor lain seperti organisasi interasional untuk berperan. Argumen ini sesuai dengan sesuai ulasan Finnemore yang mengungkapkan bahwa organisasi internasional dapat berperan tidak hanya merespon keinginan dari negara anggota, namun juga membentuk pilihan tindakan mereka.22 Peran ini diwujudkan dengan membentuk motif negara dari dalam dengan menyediakan pilihan-pilihan kebijakan dalam level internasional. 2. International Organization’s Behavior
Konsep yang diajukan Barnett & Finnemore berusaha memposisikan Organisasi Internasional (OI) sebagai sebuah entitas dengan tatanan birokratis (burreucracies) sendiri, dan menempatkannya tidak hanya sebagai aktor yang hanya merespon keinginan negara. Tatanan
21
Stefania Ferrucci. 2011. UNESCO’s Benign Organism: World Heritage regime and its international influence. Victoria University of Wellington (online) < http://researcharchive.vuw.ac.nz/xmlui/bitstream/handle/10063/4523/thesis.pdf?sequence=1> diakses pada 28/08/2015 hal 15-16 22 Martha Finnemore. 1996. International Organizations as Teachers of Norms: The United Nations Educational, Scientific and Cutural Organization and Science Policy. Jurnal “Intemational Organization” 47 , 4, Autumn 1993,p p. 565-597?3 1994 by T he 10 Foundation and the Massachusetts Institute of Technology
birokratis ini didefinisikan sebagai “suatu bentuk otoritas sosial yang khas dan yang memilki logika internal dan kecenderungan perilaku khusus”. 23 Birokrasi memiliki otoritas (authority) yang membuat OI memiliki otonomi (autonomy) dan memiliki kemampuan untuk mengaplikasikan power yang dimiliki. Otoritas diartikan sebagai “the ability of one actor to use institutional and discursive resources to induce deference from others”.24 Seringkali otoritas hanya dilihat dalam konteks negara saja, padahal aktor lain seperti OI juga memilikinya. Aspek inilah yang menjadi fokus perhatian konsep ini untuk melihat sejauh mana perilaku OI berpengaruh pada aktor lain. Poin inilah yang mendasari mengapa OI diposisikan Finnemore & Barnett tidak hanya menjadi agen dari negara. Dari otoritas yang dimiliki OI ini, perilaku OI dan dampaknya bagi aktor lan dapat dilihat dari empat aspek , yaitu : autonomy, power, dysfunction dan change . Dari keempat perilaku OI di atas, penulis hanya menggunakan dua kriteria pertama yaitu otonomi power dan karena relevansinya dengan topik utama penelitian. Aspek dysfunctional, digunakan untuk menganalisis OI yang memiliki catatan kinerjanya dinilai negatif (undesirable and self-defeating). Misalnya, menganalisis kebijakan OI yang membuat negara anggotanya menarik keanggotaan. Hal ini tidak sesuai dengan topik penelitian, dimana programprogram heritage sangat populer di mata publik internasional dan belum ada negara yang hingga kini mengundurkan diri dari UNESCO, hanya karena permasalahan keanggotaan Palestina. Sementara itu, untuk aspek change digunakan untuk menjelaskan perilaku OI yang menyebabkan resisten sangat besar dan bahkan sebagian negara-negara anggota tidak bisa menerima bahkan berusaha menghentikan perilaku OI. Sementara dalam kasus penelitian ini, keputusan yang diambil OI didukung oleh mayoritas negara anggota. Finnemore dan Barnett menekankan bahwa perilaku OI tidak hanya terjadi karena kepentingan negara-negara besar. Melalui otoritas susunan birokratis yang dimiliki, OI mampu mewujudkan tujuannya sendiri melalui legitimasi yang diperolehnya dari negara anggota. Alur logikanya adalah sebagai berikut: otoritas OI menghasilkan autonomy (otonomi) yang dapat diperoleh karena kekuatan birokrasinya sehingga memungkinkannya memiliki otoritas atas dirinya sendiri seperti layaknya aktor internasional lain seperti state, dan individu. Otoritas didapatkan OI karena misi yang diusung dan cara OI mengimplementasikan misinya. Bagi OI, 23
Barnett, M. and Finnemore, M. 2004. Rules for the World. : International Organisations in Global Politics, Ithaca: Cornell University Press, hal 3 24 ^Ibid . Barnett & Finnemore. 2004. hal 4
peran sebagai promotor nilai-nilai sosial tertentu misalnya human rights, dan menghasilkan kredibilitas dan menjadi modal untuk memperoleh legitimasi yang kuat dari negara anggota. Sebagai entitas yang memiliki otoritas birokratis yang mandiri, legitimasi yang kuat diperoleh OI dari usaha mewujudkan misinya dengan yang
metode yang
rasional, teknokratik, tidak
memihak dan menganut prinsip non violence. Legitimasi yang diperoleh menggunakan cara-cara yang obyektif ini didefinisikan sebagai otoritas tipe rasional legal (rational-legal authority).25 Namun memahami otoritas OI tidak hanya cukup dengan otoritas tipe rasional-legal, terdapat tiga kategori lain yang mendasari terbentuknya otoritas OI yaitu: moral authority, delegated authority dan expert authority. Keterkaitan ketiga kategori otoriras ini dapat menghasilkan otonomi OI dalam derajat tertentu. Beberapa tingkatan otonomi OI yang mungkin terjadi jika dikaitkan pada interaksinya dengan kepentingan negara anggota adalah sebagai berikut: otonomi diberikan oleh negara-negara kuat untuk menjaga interestnya tetap terjaga (autonomy by design) otonomi yang terjadi karena state tidak terlalu mengetahui isu pembahasan OI, biasanya pada topik-topik yang dinilai tidak terlalau signifikan otonomi OI lemah karena gagal bertindak dan memenuhi permintaan dari negara anggota, tatanan birorasi yang ada gagal memenuhi tuntutan yang dijanjikan pada negara anggota otonomi yang dimiliki OI bertolak belakang dengan mayoritas interest negara anggota, tidak patuh kepentingan negara kuat namun juga tidak mengakomodir kepentingan negara lemah otonomi yang dimiliki OI merubah persepsi normatif negara anggota sehingga konsisten dengan preferensi OI. Kondisi ini mendorong state untuk menerima agenda-agenda yang dimiliki, sehingga sikap dan identitas state sesuai dengan misi yang diusung.26 Selanjutnya, birokrasi juga mengolah power yang dimiliki OI untuk melahirkan legitimasi. Hal ini dapat dicapai melalui kemampuannya untuk menciptakan impersonal rule, yang bersifat adil dan tidak memihak kepentingan tertentu. Sebelumnya, hanya dikenal dua
25 26
^Ibid. Barnett & Finnemore. 2004. hal 21 ^ Ibid. Barnett & Finnemore. 2004 hal 27-28
media untuk mencapai power , yaitu material coercion dan otoritas mengolah informasi.
27
Menurut Finnemore & Barnett, OI juga menggunakan power yang dimiliki untuk meregulasi realitas yang ada, sehingga merubah perilaku aktor negara maupun non negara. Salah satu caranya dengan menghadapkan pilihan negara pada norma-norma terkait yang sudah diterima masyarakat internasional. Hal ini membuat aktor mau tidak mau harus patuh dengan power yang dimiliki OI daripada tetap memperjuangkan interest yang berlawanan dengan apa yang anggap benar oleh banyak pihak. Selain itu, OI juga menggunakan power-nya untuk membentuk kepentingan dan regulasi baru. Sehingga dapat disimpulkan, melalui otoritas birokrasi yang dimiliki, OI memanfaatkan hak istimewanya untuk memperoleh informasi dan mengolahnya sebagai pengetahuan untuk membentuk realita sosial sekaligus mendesain agenda kita saat meresponnya. 3. Konsep Pengakuan Negara Pengakuan (recognition) menjadi kajian penting dalam hukum internasional,karena menjadi dasar penentuan status legal jika para aktor yang diakui sebagai subyek hukum ingin menjalin aktivitas dengan aktor lain. Konsep pengakuan negara dan self determination terdapat dalam konsep-konsep yang dikenal dalam kajian hukum internasional. Namun penerapannya tidak dapat dipisahkan dari kondisi politis yang melatarbelakangi. Seringkali pengakuan legal hanya dilaksanakan ketika secara politis syarat-syarat yang dimiliki suatu entitas bisa diterima oleh komunitas internasional. Berdasarkan ada atau tidaknya pernyataan resmi yang diberikan, pengakuan dikategorikan menjadi dua, yaitu : pengakuan secara langsung dan pengakuan secara tidak langsung. Tindakan pengakuan suatu aktor pada aktor lain dapat merubah statu quo yang ada. Istilah pengakuan dapat dipahami menjadi dua tindakan yang berbeda yaitu secara legal dan secara politik.28 Terdapat dua teori yang berbicara tentang pengakuan,, yaitu yaitu Teori Deklaratif dan Teori Konstitutif. Teori Deklaratif mencakup pandangan secara legal yang menjelaskan bahwa pengakuan hanyalah sebuah pernyataan formal saja dan tidak berakibat apapun terhadap keberadaan suatu negara sebagai subjek hukum internasional. Sementara Teori Konstitutif pengakuan justru sangat penting dalam membantu mendefinisikan sebuah negara menjadi subyek hukum internasional atau tidak. Pengakuan menciptakan penerimaan, yang 27
^ Ibid, Barnett & Finnemore. 2004 hal 6 Hans Kelsen. Recognition in International Law: Theoretical Observations. The American Journal of International Law, Vol. 35, No. 4 (Oct., 1941), pp. 605-617 (online) 28
menentukan apakah suatu entitas memiliki kepribadian hukum internasional (international legal personality). Sehingga, tanpa pengakuan, suatu negara bukan atau belumlah merupakan salah satu subjek hukum internasional. Berdasarkan kebiasaan hukum internasional, kriteria penentuan pengakuan suatu negara ditentukan berdasarkan empat kriteria yang tercantum dalam Konvernsi Montevideo 1933, yaitu : adanya populasi yang permanen, wilayah yang jelas, pemerintahan yang efektif, dan kapasitas untuk menjalin hubungan dengan negara lain. Namun pada perkembangan hukum internasional modern, Konvensi Montevideo tidak serta merta menjadi acuan tunggal dalam menentukan pengakuan status kenegaraan suatu negara. Menurut Thomas Grant, dalam praktiknya, kini prinsip moral dan politis menjadi kunci panduan suatu negara untuk melaksanakan pengakuan pada negara lain. 29 Penelitian ini menggunakan kerangka pikir Teori Konstitutif karena kesesuaian dengan kasus yang diteliti, yaitu: memposisikan pengakuan suatu entitas sebagai negara berpengaruh pada keberlangsungannya berinteraksi dengan aktor lain. Konsep Pengakuan Negara digunakan untuk mengeksplorasi faktor ” moral dan politik”, yang mempengaruhi pilihan suatu negara untuk mengakui entitas lain sebagai negara dan implikasinya. jika dikaitkan dengan kasus yang diteliti konsep ini digunakan untuk motif politik pengakuan yang diberikan oleh negara-negara UNESCO pada OP dan implikasi legal yang dihasilkan. Salah satu fakta menarik adalah, tidak semua negara yang setuju menerima permohonan keanggotaan OP di UNESCO adalah negara yang mengakui kedaulatan Palestina secara langsung (eksplisit). Sementara penerimaan status keanggotaan suatu entitas dalam UNESCO bermakna menempatkan suatu entitas untuk memiliki posisi sejajar dengan member –state yang lain. Sehingga, berdasarkan sikap yang ditunjukkan, terdapat dugaan bahwa negara-negara ini sebenarnya telah mengakui kedaulatan Palestina secara implisit, yang ditunjukkan dengan menyetujui permohonan OP untuk keanggotaan setara negara. E. Argumen Utama UNESCO menerima permohonan Otoritas Palestina (OP) untuk mendapatkan status keanggotaan penuh karena : 29
Anne Suciu Atty & Limor Yehuda Atty. 2011. Human Rights in the Occupied Territories: Possible Implications of the Recognition of Palestinian Statehood. The Association for Civil Rights in Israel (online) hal 2 , < http://www.acri.org.il/en/wp-content/uploads/2011/09/ACRI-Implications-of-September-ENG.pdf> diakses pada 18/08/15
1. UNESCO adalah organsiasi internasional dengan tatanan birokrasi mandiri yang memiliki otoritas dan power untuk berperilaku otonom guna melindungi heritage di wilayah OP yang terancam kelestariannya akibat dari konflik Israel-Palestina. 2. Otoritas dan power UNESCO terimplementasi dalam World Heritage Program dan mampu mengubah persepsi normatif negara anggota untuk memberikan pengakuan terhadap kedaulatan Palestina.
F. Metodologi Penelitian Penulisan tesis menggunakan
metode
penelitian
kualitatif,
yaitu
penelitian
mengutamakan proses penelitian dengan data non kuantitatif sehingga menghasilkan data deskriptif dan perilakunya dapat diamati dari obyek yang diteliti. Teknik Pengumpulan Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sistem studi pustaka, yaitu dengan mengumpulkan informasi dan pengolahan terhadap data yang tergolong data sekunder. Data Sekunder diperoleh melalui studi literatur terkait yang dapat diperoleh dari buku-buku, jurnal, surat kabar, website resmi instansi yang terkait penerimaan keanggotaan Otoritas Palestina (OP) di UNESCO . Proses memperoleh data dilakukan penulis dengan menyadur langsung ataupun mengunduh (download) data secara online. Selanjutnya, data diolah secara induktif untuk mendapatkan generalisasi yang disertai dengan intrepertasi data yang sebelumnya telah diklasifikasi
dengan
menggunakan
prinsip-prinsip
konstruktivis
yang
sesuai
dengan
permasalahan. Klaim konstruktivis yang menyebutkan bahwa struktur ide dan norma-norma dapat membentuk dan mendefinisikan perilaku negara digunakan penulis untuk menjelaskan keterkaitan keputusan yang diambil UNESCO dan respon negara-negara anggotanya. Analisa menggunakan kaidah-kaidah konstruktivis memungkinkan penulis menyajikan sudut pandang baru, yaitu heritage sebagai bagian dari proses penyelesaian konflik Palestina-Israel
G. Sistematika Penulisan Penulis merencanakan menyusun thesis terdiri dari lima bagian, yaitu: Bab I penulis akan merencanakan penulisan seperti layaknya proposal penelitian, yaitu bagian pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, fokus penelitian, rumusan masalah, studi literatur, kajian teori serta kajian konsep, perumusan hipotesis serta sistematika penulisan.
Bab II, berisi data-data yang diperlukan dalam penelitian, yakni tentang kondisi internal rezim heritage UNESCO dan peranannya dalam perlindungan heritage di Palestina. Kondisi internal meliputi profil singkat struktur organisasi UNESCO, sistem pendanaan, proses pengambilan keputusan yang dianut oleh UNESCO. Sedangkan sub bab kedua membicarakan mengenai detail peranan UNESCO dalam menjaga pelestarian heritage dalam konflik IsraelPalestina yang nantinya menjelaskan alasan OP mengajukan keanggotaan keanggotaan Palestina di organisasi internasional seperti PBB dan UNESCO. Bab III akan menganalisa peranan UNESCO dalam heritage regime untuk membentuk, menekan dan melegitimasi motif negara serta menyediakan pilihan-pilihan kebijakan dalam level internasional. Konsep International Organization’s Behavior dari Finnemore & Barnett dan Pendekatan kognitivistik dalam Rezim Internasional digunakan sebagai kerangka acuan analisa untuk membuktikan otonomi dan power melegitimasi UNESCO yang dapat mempengaruhi perilaku negara-negara dalam heritage regime, khususnya pada isu perlindungan heritage di Palestina . Bab IV akan menyajikan analisa mengenai penerimaan status keanggotan penuh Palestina oleh UNESCO dari sudut pandang hukum internasional menggunakan Teori International Recognition. Teori ini digunakan untuk melihat sejauh mana OP mampu memenuhi kualifikasi sebagai subyek hukum internasional yang memiliki (international legal personality) dan dapat digunakan sebagai bekal memperoleh pengakuan kedaulatan dari negara-negara lain. Bab V berisi tentang kesimpulan dan harapan akademik penelitian. Kesimpulan menegaskan kembali korelasi hipotesis dengan hasil analisa. Sedangkan keterbatasan jangkauan penelitian berisi tentang sejauh mana fokus analisa dapat diterapkan dalam kasus ini dan bagian mana saja yang diperkirakan tidak dapat dijangkau