18 April 2016
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Hakim merupakan jabatan yang memiliki tanggung jawab untuk menerima,
memproses,
dan
memutuskan
perkara
sampai
tidak
menimbulkan permasalahan lagi di kemudian hari. Apabila hukumnya tidak jelas, tidak lengkap, atau bahkan tidak ada, maka hakim harus mencari hukumnya atau melakukan penemuan hukum (rechtsvinding).1 Peran besar hakim tersebut sejalan dengan prinsip bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum dan konsekuensinya menurut UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) ditentukan adanya suatu kekuasaan kehakiman yang merdeka dan terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Kekuasaan Kehakiman berikut dengan hakimnya diatur dalam BAB IX UUD NRI Tahun 1945 mengenai Kekuasaan Kehakiman yakni dalam Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24C, dan Pasal 25. Menurut Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076), yang dimaksud dengan hakim adalah:
hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut. Status hakim sebagai pejabat negara pada awalnya diatur dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (UU Penyelenggara Negara) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851), yang secara eksplisit menyatakan sebagai berikut, “Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Selanjutnya status hakim menjadi pejabat negara sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang 1 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-bab tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, hlm. 32.
1
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang PokokPokok Kepegawaian, sebagaimana telah diganti oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5494), yang menyatakan bahwa, “Pejabat Negara adalah pimpinan dan anggota lembaga tertinggi/tinggi negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Pejabat Negara lainnya yang ditentukan oleh Undang-undang.” Selanjutnya yang termasuk pejabat negara dijelaskan dalam Pasal 11 ayat (1) huruf d UU tersebut,
bahwa Pejabat Negara yaitu salah satunya terdiri atas,
“Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Agung pada Mahkamah Agung, serta Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim pada semua Badan Peradilan”. Status hakim sebagai pejabat negara ditegaskan lagi dalam Pasal 2 UU Penyelenggara Negara yang menyatakan bahwa salah satu penyelenggara negara adalah hakim. Kedudukan hakim sebagai pejabat negara juga dinyatakan dalam Pasal 19 UU Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan bahwa “Hakim dan Hakim Konstitusi adalah pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman
yang
diatur
dalam
undang-undang.”
Kemudian
dalam
perkembangannya status hakim ini juga kembali dipertegas sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 122 huruf e UU ASN yang menyatakan bahwa Pejabat Negara yaitu “Ketua, wakil ketua, ketua muda dan hakim agung pada Mahkamah Agung serta ketua, wakil ketua, dan hakim pada semua badan peradilan kecuali hakim ad hoc”. Perlu menjadi catatan dalam perkembangan terbaru ini adalah UU ASN mengeluarkan hakim ad hoc dari pengertian “hakim” yang dikategorikan sebagai pejabat negara. Hal ini tentu dapat menjadi potensi masalah di kemudian hari mengingat pengertian “hakim” dalam UU Kekuasaan Kehakiman
juga melingkupi
hakim ad hoc.2 Adapun
dalam
Putusan
Mahkamah
Konstitusi
Nomor
32/PUU-
XII/2014 yang dibacakan pada tanggal 20 April 2015, Mahkamah Konstitusi (MK) menguatkan konsep bahwa hakim ad hoc bukanlah termasuk dalam pengertian hakim yang dikategorikan sebagai pejabat negara. MK berpendapat bahwa pengangkatan hakim ad hoc dilakukan melalui serangkaian proses seleksi yang tidak sama dengan proses rekrutmen
dan
pengangkatan
hakim
sebagai
pejabat
negara
pada
umumnya. Selain itu, tujuan awal dibentuknya hakim ad hoc adalah untuk memperkuat peran dan fungsi kekuasaan kehakiman dalam 2 Taufiqurrohman Syahuri, Hakim Pasca UU Aparatur Sipil Negara, Notulensi Hasil Diskusi yang Diselenggarakan oleh Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) bersama Forum Diskusi Hakim Indonesia (FDHI), 25 Januari 2014.
2
menegakkan hukum dan keadilan yang sejalan dengan kompleksitas perkara yang ada. Hakim ad hoc merupakan hakim nonkarier yang mempunyai keahlian dan kemampuan untuk mengadili suatu perkara khusus. Hakim ad hoc dapat memberi dampak positif ketika hakim ad hoc bersama hakim karier menangani sebuah perkara sehingga dalam putusan tersebut MK menilai bahwa Pasal 122 huruf e UU ASN tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Akan tetapi dalam pertimbangan putusan tersebut, MK berpendapat bahwa penentuan hakim ad hoc sebagai pejabat negara merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) yang sewaktu-waktu dapat diubah oleh pembentuk undang-undang. Dengan demikian penentuan kualifikasi pejabat negara yang dikecualikan untuk hakim ad hoc sepenuhnya merupakan kewenangan pembentuk undangundang.3 Pemberian
status
“pejabat
negara”
pada
jabatan
hakim,
dari
sebelumnya sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), didasari pemikiran bahwa hakim adalah personil yang menyelenggarakan kekuasaan di bidang yudikatif dan bukan di bidang eksekutif sehingga status yang melekat pada hakim bukan PNS. Status hakim sebagai PNS sangat memungkinkan terjadinya intervensi atas kebebasan hakim karena persoalan struktural, psikologis, dan watak korps serta birokrasi yang membawa atau menuntut ikatan tertentu.4 Kemandirian hakim dalam negara hukum (rechtstaat) adalah
mutlak.5
Commission
of
Hal Jurist”
ini
sesuai
yaitu
dengan
peradilan
prinsip
bebas
“The
dan
International
tidak
memihak
(independence and impartiality of judiciary).6 Salah satu konsekuensi logis dari penetapan status tersebut adalah proses rekrutmen dan pengangkatan hakim tidak lagi mengikuti pola rekrutmen bagi PNS. Berdasarkan uraian tersebut, dalam ketentuan: a. Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (UU Perubahan Kedua UU Peradilan Umum) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 158, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5077); b. Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (UU Perubahan Kedua UU Peradilan Agama) (Lembaran Negara Republik 3
Mahkamah Konstitusi, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUUXII/2014, Pengujian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 20 April 2015, hlm. 111-112. 4 Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum Menegakkan Konstitusi, (Jakarta: LP3ES, 2006), hlm. 103. 5 Ibid. 6 Ibid.
3
Indonesia Tahun 2009 Nomor 159, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5078); dan c. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU Perubahan Kedua UU PTUN) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 160, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5079), telah
diatur
mengenai
proses
seleksi
hakim
pada
masing-masing
lingkungan peradilan tersebut bahwa proses seleksi dilakukan bersama oleh Komisi Yudisial (KY) dan Mahkamah Agung (MA), yang selanjutnya diatur bersama oleh KY dan MA. Seleksi pengangkatan hakim tersebut kemudian diwujudkan dalam peraturan bersama MA dan KY Nomor 01/PB/MA/IX/2012
dan
01/PB/P.KY/09/2012
tentang
Seleksi
Pengangkatan Hakim. Peraturan ini mengatur metode seleksi hakim dan formula sistem untuk seleksi hakim yang disusun untuk mengatasi kekosongan hukum bahwa proses seleksi pengangkatan hakim dilakukan bersama oleh MA dan KY. Adapun dalam Putusan MK Nomor 43/PUU-XII/2015 yang dibacakan pada tanggal 7 Oktober 2015, MK membatalkan norma bahwa seleksi pengangkatan hakim dilakukan bersama oleh MA dan KY. Dalam amar putusannya MK menyatakan bahwa Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3) sepanjang kata “bersama” dan frasa “dan Komisi Yudisial” UU Perubahan Kedua UU Peradilan Umum bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Kalimat utuh dari Pasal 14A ayat (2) selengkapnya menyatakan bahwa, “Proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan negeri dilakukan oleh Mahkamah Agung” dan ayat (3) menjadi “Ketentuan lebih lanjut mengenai proses seleksi diatur oleh Mahkamah Agung.” Hal yang sama juga berlaku untuk Pasal 13A ayat (2) dan ayat (3) UU Perubahan Kedua UU Peradilan Agama yang dalam amar putusan tersebut menyatakan “Proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan agama dilakukan oleh Mahkamah Agung” dan “Ketentuan lebih lanjut mengenai proses seleksi diatur oleh Mahkamah Agung.” Begitu juga untuk Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3) UU Perubahan Kedua UU PTUN. MK dalam putusan tersebut berpendapat bahwa walaupun dalam Pasal 24 UUD NRI Tahun 1945 tidak menyebutkan secara tersurat mengenai kewenangan MA dalam proses seleksi dan pengangkatan calon hakim di lingkungan peradilan umum, peradilan agama, dan peradilan tata usaha negara, akan tetapi ayat (2) dari Pasal 24 UUD NRI Tahun 1945 telah secara tegas menyatakan bahwa ketiga undang-undang tersebut berada dalam lingkungan kekuasaan kehakiman di bawah MA. Dengan demikian 4
apabila dihubungkan dengan sistem peradilan “satu atap”, menurut MK seleksi dan pengangkatan calon hakim pengadilan tingkat pertama menjadi kewenangan MA dan bukan kewenangan KY.7 Permasalahan selanjutnya adalah sistem peradilan yang “satu atap” dengan manajemen Hakim militer. Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa manajemen hakim telah beralih dari pemerintah ke Mahkamah Agung. Akan tetapi, hal ini menjadi sulit dilakukan bagi Hakim militer. Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer (UU Peradilan Militer) dinyatakan bahwa untuk menduduki jabatan hakim pada tingkat tertentu harus memenuhi jenjang kepangkatan militer tertentu, yang mana urusan tersebut merupakan domain dari Tentara Nasional Indonesia (TNI). MA tidak dapat mempromosikan seorang Hakim militer dari suatu jabatan tertentu ke jabatan lainnya, karena MA tidak dapat menaikkan kepangkatan militer.8 Berdasarkan uraian tersebut, perlu dibentuk undang-undang yang mengatur mengenai jabatan hakim (UU Jabatan Hakim) yang lingkup pengaturannya antara lain mengatur mengenai proses pengangkatan, status kepegawaian, jenjang karier/kepangkatan, hak-hak keuangan, fasilitas, pembinaan, pengawasan hingga pemberhentian hakim. UU Jabatan Hakim ini diperlukan untuk menjamin bahwa hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman benar-benar mandiri dan bebas dari intervensi kekuasaan pemerintah. Saat ini beberapa aspek terkait jabatan hakim
seperti
pengangkatan
hakim,
hak
keuangan,
jenjang
karier/kepangkatan, dan fasilitas masih mengikuti standar aturan bagi PNS. Pembentukan RUU Jabatan Hakim sebenarnya secara tidak langsung merupakan
amanat
Pasal
19
UU
Kekuasaan
Kehakiman
yang
menyebutkan bahwa “hakim dan hakim konstitusi adalah pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undangundang.” RUU Jabatan Hakim juga harus mengatur secara jelas batasan hakim yang diatur dalam undang-undang ini, apakah hanya hakim pengadilan tingkat pertama saja, atau juga mencakup hakim agung dan hakim konstitusi. Sampai saat ini hanya hakim agung dan hakim konstitusi yang diatur secara tegas dalam peraturan perundang-undangan 7
Mahkamah Konstitusi, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUUXII/2015, Pengujian Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum, Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 20 April 2015, hlm. 120-123. 8 Gaji Hakim dan Gaji PNS, dimuat dalam http://www.pembaruanperadilan.net/v2/2012/04/gaji-hakim-dan-gaji-pns/, diunduh pada 26 Januari 2016, Pukul 16.00 WIB.
5
mengenai rekrutmen hingga pensiun, sebaliknya hakim-hakim di luar hakim agung dan hakim konstitusi masih belum ada pengaturan yang jelas.9
B. Permasalahan 1. Bagaimana teori dan praktik empiris mengenai jabatan hakim dalam penyelenggaraan pemerintahan negara? 2. Bagaimana pengaturan mengenai jabatan hakim dalam peraturan perundang-undangan pada saat ini? 3. Apakah argumentasi atau landasan
filosofis, landasan sosiologis, dan
landasan yuridis pembentukan Rancangan Undang-Undang tentang Jabatan Hakim? 4. Bagaimana jangkauan, arah pengaturan, dan ruang lingkup materi muatan Rancangan Undang-Undang tentang Jabatan Hakim yang akan diwujudkan?
C. Maksud dan Tujuan Adapun tujuan dari penyusunan naskah akademik adalah untuk mengetahui mengenai: 1. Teori tentang jabatan hakim dan praktik empiris mengenai jabatan hakim dalam penyelenggaraan pemerintahan negara; 2. Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Jabatan Hakim pada saat ini; 3. Landasan
filosofis,
landasan
sosiologis,
dan
landasan
yuridis
pembentukan Rancangan Undang-Undang tentang Jabatan Hakim; dan 4. Jangkauan, arah pengaturan, dan ruang lingkup materi muatan Rancangan Undang-Undang tentang Jabatan Hakim.
9 Mantan Ketua MK Mahfud MD UU Jabatan Hakim Harus Dibuat, dimuat dalam http://news.detik.com/berita/2956338/mantan-ketua-mk-mahfud-md-uu-jabatan-hakimharus-dibuat, diunduh pada 15 Oktober 2015, pukul 17.05 WIB.
6
BAB II KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
A. Kajian Teoretis 1. Konsep Negara Hukum Negara hukum sebagai suatu istilah dalam perbendaharaan bahasa Indonesia merupakan terjemahan dari rechsstaat ataupun rule of law. Kedua istilah tersebut memiliki arah yang sama, yaitu mencegah kekuasaan yang absolut demi pengakuan dan perlindungan hak asasi.10 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah negara hukum diartikan sebagai negara yang menjadikan hukum sebagai kekuasaan tertinggi.11 Negara hukum (rechstaat) secara sederhana adalah negara yang menempatkan
hukum
sebagai
dasar
kekuasaan
negara
dan
penyelenggaraan kekuasaan tersebut dalam segala bentuknya dilakukan di bawah kekuasaan hukum12. Dalam negara hukum, segala sesuatu harus dilakukan menurut hukum (everything must be done according to the law). Negara hukum menentukan bahwa pemerintah harus tunduk pada hukum, bukannya hukum yang harus tunduk pada pemerintah.13 Paham Negara hukum berakar pada keyakinan bahwa kekuasaan negara harus dijalankan atas dasar hukum yang baik dan adil.14 Menurut Franz Magnis-Suseno ada 2 (dua) unsur dalam paham negara hukum yaitu, pertama, hubungan antara yang memerintah dengan yang diperintah tidak berdasarkan kekuasaan, tetapi berdasarkan norma yang objektif yang juga mengikat pihak yang memerintah, kedua, bahwa norma obyektif itu adalah hukum yang memenuhi syarat bukan hanya secara formal, melainkan dapat dipertahankan berhadapan dengan idea hukum.15 Dalam Nomoi, Plato mengemukakan bahwa penyelenggaraan negara yang baik ialah didasarkan pada pengaturan (hukum) yang baik.16 Sementara itu, menurut Aristoteles konsep negara hukum muncul dari 10Azhary, Hukum Indonesia – Analisis Yuridis Normatif tentang Unsur-unsurnya, Cet. Pertama, 1995, UI PRESS, Jakarta, hlm. 30. 11Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Cet. Kedelapan, 1966, Balai Pustaka, Jakarta, hlm. 685. 12 A. Hammid S.Attamimi, Teori Perundang-Undangan Indonesia, Makalah pada Pidato Upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap di Fakultas Hukum UI, Jakarta, 25 April 1992, hlm.8. 13 H.W.R, Wade Administrative Law, Third Edition, Clarendon Press, Oxford, London,1971, hlm.6. 14Sirajuddin, S.H., M.H. & Zulkarnain, S.H., Komisi Yudisial dan Eksaminasi Publik, 2006, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.1. 15 Franz Magnis Suseno, Etika Politik, Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, 1999, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 295. 16 Tahir Azhary, Negara Hukum, Bulan Bintang, Jakarta, 1992, hlm. 63. Lihat juga Padmo Wahyono, Membudayakan Undang-Undang Dasar 1945, 1991, Ind.Hill-Co, Jakarta, hlm. 66.
7
Polis, negara kota yang memiliki wilayah sempit dan jumlah penduduk sedikit. Dalam negara Polis segala urusan negara diatur melalui musyawarah
seluruh
warga
negara
tanpa
melalui
perwakilan.17
Aristoteles dalam buku politica juga menjelaskan bahwa suatu negara yang
baik
ialah
negara
yang
diperintah
dengan
kostitusi
dan
berkedaulatan hukum. Ada 3 (tiga) unsur dari pemerintahan yang berkonstitusi
yaitu
pertama,
pemerintahan
dilaksanakan
untuk
kepentingan umum, kedua pemerintahan dilaksanakan menurut hukum yang berdasarkan pada ketentuan-ketentuan umum, bukan hukum yang dibuat secara sewenang-wenang yang menyampingkan konvensi dan konstitusi, ketiga pemerintahan berkonstitusi berarti pemerintahan yang dilaksanakan atas kehendak rakyat, bukan berupa paksaan tekanan yang dilaksanakan pemerintahan despotik.18 Immanuel Kant menggali ide negara hukum yang sudah dikenal sejak zaman Plato dengan istilah nomoi. Pemahaman Kant tentang negara hukum adalah sekedar untuk menegakkan keamanan dan ketertiban di masyarakat (rust en orde), sehingga ide negara hukum Kant dikenal dengan teori negara jaga malam (nachtwaker-staat), dengan pencapaian kesejahteraan masing-masing terserah pada warga sesuai dengan prinsip liberalisme.19 Negara hukum mempunyai istilah yang berbeda-beda di beberapa negara. Amerika Serikat lebih banyak menggunakan istilah Government under Law, Jerman menyebut dengan istilah der Rechsstaat, dan Prancis menggunakan istilah le Principe de la Legalite atau la Regie du Droit. Perbedaan tersebut
terjadi
karena
dipengaruhi
oleh
latar
belakang
sejarah
pandangan hidup suatu bangsa.20 Negara hukum menurut konsep Eropa Kontinental yang menggunakan sistem hukum civil law dinamakan rechtstaat dan negara hukum menurut konsep Anglo Saxon yang menggunakan sistem hukum common law disebut rule of law. 21 Konsep-konsep negara hukum ini memiliki dinamika sejarahnya masing-masing.22
Pemahaman
rechtstaat
secara
historis
telah
berkembang di dunia Barat sejak abad ke-17 sebagai akibat politik di Eropa yang didominasi oleh absolutisme, yakni penindasan kaum bangsawan dan gereja terhadap golongan cerdik pandai dan golongan
17 18
Bambang Arumanadi dan Sunarto, op.cit.him. 6. Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006,
hlm. 2. 19
Zainal Arifin Hoesein, Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, 2013, Imperium, Yogyakarta, hlm. 27. 20 A. Azhary, Negara Hukum…,op.cit, hlm. 33-34. 21 Tahir Azhary, Negara Hukum., op.cit., hlm. 24. 22 Ridwan HR, Hukum Administrasi.,op.cit.,hlm. 2.
8
kaya dengan menerapkan konsep etatisme.23 Penjelasan lain yang hampir senada menyebutkan bahwa konsep negara hukum (rechtstaat) muncul sebagai
reaksi
atas
praktik
pemerintahan
monarkhi
yang
tidak
menghargai harkat dan martabat manusia sebagai warga negara. Konsep rechtstaat juga lahir dari suatu perjuangan menentang absolutisme, sehingga sifatnya revolusioner dan diperlukan suatu kekuatan yang dapat memaksa pemegang kekuasaan negara agar tidak dijalankan secara sewenang-wenang, tetapi justru memihak kepada yang diperintah atau dikuasai.24 Sejarah peradaban manusia telah mencatat peristiwa-peristiwa perlawanan warga negara terhadap pemerintahan monarkhi absolut untuk menuntut kebebasan dan persamaan hak bagi semua warga negara25. Menurut Julius Stahl, unsur-unsur negara hukum (rechtstaat) adalah:26
a. Perlindungan hak-hak asasi manusia; b. Permisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hakhak itu; c. Pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan; dan d. Peradilan administrasi dalam perselisihan. Unsur negara hukum (rechtsstaat) juga dirumuskan oleh Scheltema sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, dapat diuraikan lebih lanjut sebagai berikut:27
a. Adanya kepastian hukum; 1) Asas legalitas; 2) Undang-undang yang mengatur tindakan yang berwenang sedemikian rupa, sehingga warga dapat mengetahui apa yang diharapkan; 3) Undang-undang tidak boleh berlaku surut; 4) Hak asasi dijamin undang-undang; 5) Pengadilan yang bebas dari pengaruh kekuasaan lain. b. Asas persamaan; 1) Tindakan yang berwenang diatur dalam undang-undang dalam arti material; 2) Adanya pemisahan kekuasaan; c. Asas demokrasi; 1) Hak untuk memilih dan dipilih bagi warga negara; 2) Peraturan untuk badan yang berwenang ditetapkan oleh parlemen; 3) Parlemen mengawasi tindakan pemerintah; d. Asas pemerintahan untuk rakyat/yang melayani kepentingan umum; 1) Hak asasi dijamin dengan Undang-Undang Dasar; 2) Pemerintahan dijalankan secara efektif dan efisien. 23
Rofiqul Umam Ahmad, M. Ali Safa'at, Rafiuddin Munis Tamar, Konstitusi dan Ketatanegaraan Indonesia Kontemporer, 2007, The Biography Institute, Jakarta, hlm.111 24 Ibid. 25 Ibid. 26 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik., Jakarta, 1989, hlm 76-82. 27 A. Azhary, Negara Hukum…op.ci, hlm.49.
9
Pemikiran tentang negara hukum, juga berkembang di negaranegara Anglo Saxon dengan istilah rule of law yang dipelopori oleh A. V. Dicey. Menurut A.V Dicey, unsur-unsur rule of law sebagai berikut:28 a. Supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of law), yaitu tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang (absence of arbitraty power), dalam arti bahwa seseorang hanya boleh dihukum kalau melanggar hukum. b. Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (equality before the law). Dalil ini berlaku baik untuk orang biasa maupun untuk pejabat. c. Terjaminnya hak-hak asasi manusia (di negara lain oleh undang-undang dasar) serta keputusan-keputusan pengadilan.
Konsep rechtsstaat bertumpu pada sistem hukum civil law atau modern law, sedangkan konsep rule of law bertumpu atas sistem hukum common law. Karakteristik civil law adalah administratif, sedangkan konsep common law adalah judicial.29 Perbedaan rule of law dengan rechtsstaat terletak pada keberadaan peradilan administratif tersebut. Jika dalam konsep rechtsstaat peradilan administratif merupakan suatu sarana yang sangat penting dan sekaligus menjadi ciri yang menonjol, sebaliknya konsep rule of law tidak menerapkan peradilan administratif karena besarnya kepercayaan masyarakat terhadap peradilan umum. Ciri yang menonjol dari konsep rule of law adalah terletak pada ditegakkannya hukum yang adil dan tepat,
serta adanya kesamaan
kedudukan di hadapan hukum, maka peradilan umum dianggap cukup mengadili semua perkara termasuk perkara administratif. Dalam
perkembangannya
konsepsi
negara
hukum
tersebut
kemudian mengalami penyempurnaan, yang secara umum dapat dilihat diantaranya:30
a. Sistem pemerintahan negara yang didasarkan atas kedaulatan rakyat; b. Bahwa pemerintahan dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum atau peraturan perundang-undangan; c. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara); d. Adanya pembagian kekuasaan dalam negara; e. Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (rechtelijke controle) yang bebas dan mandiri, dalam arti lembaga peradilan 28
Ibid.,hlm. 58. Philipus M.Hadjon, dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1993, hlm. 73. 30 Unsur-unsur dambil dan dipadukan dari Buku Sri Soemantri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung, 1992, hlm 29-30, Buku Abdul Hakim G. Nusantara, Politik Hukum Indonesia, Jakarta:YLBHI, hlm 1998, hlm.12-14, Buku Frans Magnis Suseno, Mencari Sosok Demokrasi, Sebuah Telaah Filosofis, Gramedia, Jakarta, 1997, hlm.58-59. 29
10
tersebut benar-benar tidak memihak dan tidak berada di bawah pengaruh eksekutif; f. Adanya peran nyata dari anggota-anggota masyarakat atau warga negara untuk turut serta mengawasi perbuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan yang dilakukan oleh pemerintah; dan g. Adanya sistem perkonomian yang dapat menjamin pembagian yang merata sumber daya yang diperlukan bagi kemakmuran warga negara.
2. Konsep Pemisahan Kekuasaan Salah satu ciri negara hukum (legal state atau state based on the rule of law atau dalam bahasa Jerman disebut rechsstaat), adalah adanya ciri pembatasan/pemisahan kekuasaan dalam penyelenggaraan kekuasaan negara. Meskipun kedua istilah rechsstaat dan rule of law itu memiliki latar belakang sejarah dan pengertian yang berbeda, tetapi sama-sama mengandung ide pembatasan kekuasaan. Pembatasan itu dilakukan dengan hukum yang kemudian menjadi ide dasar konstitusionalisme modern. Oleh karena itu, konsep negara hukum juga disebut sebagai negara konstitusional atau constitutional state, yaitu negara yang dibatasi oleh konstitusi. Dalam konteks yang sama, gagasan negara demokrasi atau
kedaulatan
rakyat
disebut
pula
dengan
istilah
constitutional
democracy yang dihubungkan dengan pengertian negara demokrasi yang berdasarkan atas hukum.31 John Locke seorang pemikir dari Inggris klasik, mengemukakan bahwa hak politik rakyat mencakup hak atas hidup, kebebasan dan hak memiliki (live, liberty, property) harus diberikan perlindungan dan jaminan oleh negara yang diselenggarakan oleh kekuasaan negara. Kekuasaan negara harus dibatasi untuk menghindari pemusatan kekuasaan negara pada satu orang atau lembaga seperti terjadi pada pemerintahan monarkhi absolute. Menurut John Locke, pembatasan kekuasaan negara dapat dilakukan dengan cara memisahkan kekuasaan negara tidak dalam satu tangan atau lembaga. John Locke kemudian memperkenalkan teori pemisahan kekuasaan, yang membagi kekuasaan negara ke dalam tiga bentuk meliputi kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan federatif.32 Kekuasaan legislatif adalah kekuasaan membuat undangundang yang dilakukan oleh parlemen atas nama rakyat. Kekuasaan eksekutif
adalah
kekuasaan
melaksanakan
undang-undang
dalam
menjalankan pemerintahan yang di dalamnya termasuk kekuasaan
31Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, 2010, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 281. 32A. Ahsin Thohari, Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, 2004, ELSAM, Jakarta, hlm. 44.
11
menegakkan undang-undang dalam bentuk mengadili. Kekuasaan federatif adalah kekuasaan untuk menjaga keamanan negara, menjalin hubungan dengan negara lain, dan sebagainya.33 Menurut Polak dalam M. Mahfud MD dan Ismail Sunny, kekuasaan eksekutif yang dimaksudkan oleh John Locke bukanlah kekuasaan eksekutif dalam arti yang sekarang, karena di dalamnya termasuk kekuasaan mengadili (yudikatif). John Locke mencampurkan kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif dalam satu organ. Pandangan John Locke sangat dipengaruhi oleh sistem pemerintahan Kerajaan Inggris. Kekuasaan
yudikatif
yang
berada
di
dalam
kekuasaan
eksekutif,
dipandang tidak akan mampu mencegah abuse of power atau misbriuk van macht. Pejabat eksekutif yang melakukan pelanggaran terhadap undangundang, tidak akan mudah diajukan dan diadili secara independen, karena badan peradilan sebagai pelaksana kekuasaan yudikatif terikat dalam kekuasaan eksekutif.34 Konsep pemisahan kekuasaan dikemukakan pertama kali oleh Aristoteles dan disempurnakan konsepnya oleh Baron de Montesquieu.35 Konsep pemisahan kekuasaan menjelaskan bahwa suatu pemerintahan memiliki tiga kekuasaan, yaitu kekuasaan formulasi (membuat undangundang), kekuasaan pelaksana undang-undang, dan kekuasaan mengadili sesuai undang-undang.36
Ketiga kekuasaan ini harus diberikan kepada
pihak-pihak yang berbeda, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Berdasarkan
teori
pemisahan
kekuasaan,
prinsip
kemandirian
(independensi) lembaga peradilan (yudikatif) merupakan penyeimbang dari penyelenggara fungsi kekuasaan eksekutif dan yudikatif. Montesquieu
berpandangan
bahwa
pemisahan
diantara
ketiga
kekuasaan negara merupakan sesuatu yang mutlak untuk menghindari terjadinya tirani raja (pemerintah). Montesquieu menekankan pemisahan kekuasaan kehakiman, karena kekuasaan kehakiman yang independen akan menjamin kebebasan individu dan hak asasi manusia. Mengenai keterkaitan antara kebebasan individu dengan pemisahan kekuasaan kehakiman, Montesquieu mengemukakan pendapat: 37 Kebebasan pun tidak ada jika kekuasaan kehakiman tidak dipisahkan dari kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif. Jika kekuasaan 33Romi
Librayanto, Trias Politica dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia, 2008, Pukap-Indonesia, Makassar, hlm. 19. 34M. Mahfud MD, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, 1999, Gama Media, Yogyakarta, hlm. 293. 35 Ahmad Kamil, Filsafat Kebebasan Hakim, Kencana, Jakarta, 2012, hlm. 188. 36 Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern (Rechtsstaat), Refika Aditama, Bandung, 2009, hlm. 104. 37A. Muhammad Asrun, Krisis Peradilan: Mahkamah Agung di Bawah Soeharto, 2004, ELSAM, Jakarta, hlm. 32.
12
kehakiman disatukan dengan kekuasaan legislatif, maka kekuasaan atas kehidupan dan kebebasan warga negara akan dijalankan sewenangwenang karena hakim akan menjadi pembuat hukum. Jika kekuasaan kehakiman disatukan dengan kekuasaan eksekutif maka hakim dapat menjadi penindas. Perbedaan mendasar antara pendapat Montesquieu dengan pendapat John Locke terletak pada eksistensi kekuasaan yudikatif. John Locke menempatkan eksekutif
kekuasaan
sedangkan
yudikatif
Montesquieu
sebagai
bagian
memandang
dari
kekuasaan
kekuasaan
yudikatif
sebagai kekuasaan yang berdiri sendiri. Kekuasaan federatif yang oleh John Locke sebagai kekuasaan sendiri dalam pandangan Montesquieu merupakan bagian dari kekuasaan eksekutif.38 Van Vollenhoven membagi fungsi kekuasaan ke dalam empat fungsi, yang kemudian biasa disebut dengan “catur praja”, yaitu:39
1) Regeling (pengaturan) yang kurang lebih identik dengan fungsi legislatif menurut Montesquieu; 2) Bestuur yang identik dengan fungsi pemerintahan eksekutif; 3) Rechtspraak (peradilan); dan 4) Politie yang menurutnya merupakan fungsi untuk menjaga ketertiban dalam masyarakat (social order) dan perikehidupan bernegara. Teori pemisahan kekuasaan yang pertama kali disampaikan John Locke yang kemudian formulasinya disempurnakan oleh Montesquieu diatas, oleh Imanuel Kant dinamakan dengan Trias Politica. Sejalan dengan perkembangan sistem ketatanegaraan modern, doktrin Trias Politica
tidak
dapat
lagi
diterapkan
kehidupan sosial, ekonomi, dan
politik
secara
absolut.
suatu
negara
Kompleksitas mendorong
negara-negara mengembangkan kekuasaan negara melebihi tiga macam kekuasaan.40 Hans Kelsen berpendapat bahwa Trias Politica atau pemisahan kekuasaan menunjuk pada organisasi politik yang kekuasaan
mendalilkan bahwa
negara dipisahkan dalam ke tiga cabang kekuasaan
berdasarkan fungsi negara yang dijalankan oleh organ yang berbeda. Menurut
Hans
Kelsen,
dalil
pemisahan
kekuasaan
negara
yang
menentukan batas-batas dan memisahkan masing-masing fungsi cabang kekuasaan negara dengan cabang kekuasaan negara yang lainnya, tidak dilahirkan dari fakta dalam praktik ketatanegaraan. Pada kenyataannya, kekuasaan legislatif tidak hanya berwenang membuat undang-undang tetapi juga melakukan kontrol terhadap kekuasaan eksekutif dan memilih
38Benny K Harman, Konfigurasi Politik & Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, 1997, ELSAM, Jakarta, hlm. 48-49. 39Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum…op.cit., hlm. 284. 40 Benny K. Harman, Konfigurasi Politik…,op.cit., hlm. 50.
13
orang-orang untuk mengisi jabatan-jabatan negara. Kekuasaan eksekutif tidak saja menjalankan undang-undang tetapi juga membuat peraturan perundang-undangan melalui freies ermessen (kekuasaan legislatif) dan memberikan
grasi
dan
menyelenggarakan
peradilan
administratif
(kekuasaan yudikatif). Sementara kekuasaan yudikatif juga membuat hukum melalui putusan-putusan pengadilan maupun melalui judicial review.41 Meskipun teori Trias Politica tidak dapat dilaksanakan dalam praktik ketatanegaraan
secara
murni,
namun
gagasan
pemisahan
antar
kekuasaan negara yang ditawarkan John Locke dan Montesquieu menjadi spirit dalam pengembangan konsep kekuasaan negara dengan pola-pola yang berbeda. Berkaitan dengan teori pemisahan kekuasaan atau Trias Politica,
C.F.
Strong
mengemukakan
bahwa
negara
memang
harus
mempunyai tiga cabang kekuasaan negara yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif yang disebut tiga kekuasaan pemerintah dalam arti luas. Ketiga cabang kekuasaan negara tersebut, saling berhubungan dan saling kontrol. Hubungan ketiga cabang kekuasaan negara berbeda-beda antara negara yang satu dengan negara lainnya, sesuai dengan model yang dianut konstitusi masing-masing negara dalam memberikan kewenangan kepada ketiga cabang kekuasaan negara.42 Menurut C.F. Strong, berdasarkan hubungan antar ketiga cabang kekuasaan negara sebagaimana diatur dalam konstitusi masing-masing negara, maka secara umum terdapat dua pola pengorganisasian hubungan kekuasaan negara yaitu pemisahan kekuasaan (separation of power) dan pembagian kekuasaan (distribution of power).43 Istilah separation of power diidentikkan dengan istilah distribution of power atau setidaknya dipakai sebagai penjelasan atas kata separation of power44. Misalnya, O. Hood Phillips dan kawan-kawan menyatakan: 45
The question whether the separation of power (i.s the distribution of various powers of government among different organs), in so far as is praticable, is 41
Hans Kelsen, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, terjemahan Raisul Muttaqien, 2006, Penerbit Nusamedia dan Penerbit Nuansa, Bandung, hlm. 382-400. 42 C. F. Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern, terjemahan SPA Teamwork, 2004, Nusamedia, Jakarta, hlm. 10-11. 43Pembagian kekuasaan negara di atas merupakan pemikiran dengan menggunakan pendekatan horisontal, yaitu pembagian kekuasaan menurut fungsinya. Selain pendekatan horisontal, pemisahan kekuasaan negara dapat juga melalui pendekatan vertikal, yaitu pembagian kekuasaan menurut tingkatnya. Dari pendekatanvertikal akan muncul kekuasaan pemerintah daerah (dalam negara kesatuan) atau pemerintahan negara bagian (dalam negara federal). Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1998, hlm.138. Baca juga antara lain, Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, FH UII Press, Yogyakarta, 2005, hlm. 11. 44Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum…op.cit., hlm. 287. 45Hood Phillips & Jackson, Constitutional and Administrative Law, Eight Edition Paul Jackson & Patricia Leopold International Student Edition Sweet & Maxwell, United Kingdom, London, 2001, hlm. 12.
14
desirable, and (if so) to what extent, is a problem of political theory and must be distinguished from the question which alone concerns the constitutional lawyer, namely, whether and to what extent such a separation actually in any given constitution.
Berdasarkan penjelasan di atas, pemisahan kekuasaan (separation of power) diartikan sebagai distribusi kekuasaan di antara beberapa organ negara.
Dengan demikian konsep pemisahan kekuasaan diidentikkan
dengan pembagian kekuasaan. Penerapan konsep pemisahan kekuasaan (separation of power) di zaman modern sudah saling mengkombinasi antara konsep pemisahan kekuasaan (separation of power) tersebut dengan konsep check and balances, sehingga menjadi konsep distribusi kekuasaan (distribution of powers).46 Checks and balances merupakan suatu teori yang menekankan pembagian kekuasaan dan saling mengawasi tanpa ada satu kekuasaan yang berada di atas kekuasaan lainnya. Sementara itu, teori pembagian kekuasaan yang menekankan pada pembagian fungsi dan bukan pada organ. Menurut Bagir Manan, Indonesia tidak pernah mengenal pemisahan kekuasaan sebagaimana yang dimaksud oleh Monstequieu dalam teori pemisahan kehadiran
kekuasaan, kekuasaan
melainkan lembaga
pembagian
peradilan
kekuasaan,
yang
merdeka
dimana
tidak
lagi
ditentukan oleh stelsel pemisahan atau pembagian kekuasaan, tapi sebagai suatu “conditio sine qua non” bagi terwujudnya negara berdasar atas hukum, terjaminnya kebebasan, serta pengendalian atas jalannya pemerintahan negara.47
3. Independensi Kekuasaan Kehakiman Salah satu prasyarat berdiri tegaknya negara hukum yang demokratis adalah
kemandirian
kekuasaan
kehakiman.
Hal
ini
dikarenakan
kemandirian kekuasaan kehakiman dapat menjamin kebebasan individu dan hak asasi manusia. Oleh karena itu, kekuasaan kehakiman yang merdeka sangat penting di dalam sebuah negara hukum. Menurut
Alexander
Hamilton
sebagaimana
dikutip
oleh
Aidul
Fitriciada A, karena kemandirian kekuasaan kehakiman sangat penting, maka perlu adanya jaminan proteksi terhadap penegakan kemandiriannya. Jaminan proteksi kekuasaan kehakiman itu harus ada karena kekuasaan kehakiman merupakan cabang kekuasaan yang paling lemah, oleh karena
46
Ibid.,hlm. 105. Bagir Manan, Organisasi Peradilan di Indonesia, FH Universitas Airlangga, Surabaya, 1998, hlm. 7. 47
15
itu diperlukan perlindungan melalui konstitusi atau undang-undang dasar.48 Sementara itu, Montesquieu menjelaskan begitu bahayanya jika kekuasaan
kehakiman
tidak
mandiri
atau
merdeka.
Menurut
Montesquieu,49
... Jika kekuasaan kehakiman disatukan dengan kekuasaan legislatif,maka kekuasaan atas kehidupan dan kebebasan warga negara akan dijalankan sewenang-wenang karena hakim akan menjadi pembuat hukum. Jika kekuasaan kehakiman disatukan dengan kekuasaan eksekutif, maka hakim bisa menjadi penindas.
Oleh karena itu, kekuasaan kehakiman sudah seharusnya lepas dari segala macam bentuk pengaruh dan campur tangan kekuasaan lembaga lain. Independensi kekuasaan kehakiman harus terpisah, bebas, dan tidak tunduk dari pengaruh kekuasaan negara yang lain baik kekuasaan eksekutif maupun kekuasaan kekuasaan legislatif.50 Para
ahli
hukum
memiliki
pendapat
yang
berbeda
mengenai
independensi kekuasaan kehakiman. Ahmad Kamil membagi pengertian independensi kekuasaan kehakiman dalam 2 (dua) aspek, yaitu dalam arti sempit dan dalam arti luas.51 Dalam arti sempit diartikan sebagai independensi
institusional/struktural/eksternal/kolektif,
dalam
luas
arti
meliputi
independensi
sedangkan
individual/internal/
fungsional/normatif. Pengertian independensi personal dapat diartikan dari dua sudut, yaitu independensi personal (independensi seorang hakim terdapat pengaruh sesama hakim atau koleganya) maupun independensi substantif (independensi hakim terhadap kekuasaan manapun baik ketika memutuskan suatu perkara ketika menjalankan tugas dan kedudukan sebagai hakim). Jimmly
Asshiddiqie
mengonsepsikan
independensi
kekuasaan
kehakiman dalam 3 (tiga) pengertian, yaitu structural independence, functional
independence,
independence
dan
(independensi
financial
kelembagaan)
independence.52 dapat
dilihat
Structural dari
bagan
organisasi yang terpisah dari organisasi lain. Functional independence 48Aidul
Fitriciada A, Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka Dan Bertanggung Jawab Di Mahkamah Konstitusi: Upaya Menemukan Keseimbangan, dimuat dalam Jurisprudence, Vol. 2, No. 1, Maret, 2005, hlm. 89-118. 49Andi M. Asrun, Krisis Peradilan Mahkamah Agung di Bawah Soeharto, Elsam, Jakarta, 2004, hlm. 32. Aidul Fitriciada A, Kekuasaan Kehakiman...op. cit, hlm.89-118. 51 Ahmad Kamil, Filsafat Kebebasan Hakim, Kencana, Jakarta, 2012, hlm.221. 52 Ahmad Zainal Fanani, Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka dan Masa Depan Peradilan Agama, dimuat dalam http://www.arsip.badilag.net/data/ARTIKEL/KEKUASAAN%20KEHAKIMAN%20YANG%20ME RDEKA%20DAN%20MASA%20DEPAN%20PERADILAN%20AGAMA.pdf, diunduh pada tanggal 25 Januari 2016, Pukul 16.21 WIB.
16
(independensi fungsional) dapat dilihat dari segi jaminan pelaksanaan fungsi-fungsi kekuasaan kehakiman Financial
independence
kemandiriannya menjamin
dalam
dari intervensi
(independensi menentukan
kemandiriannya
dalam
keuangan) sendiri
ekstra yudisial.
dilihat
anggaran
menjalankan
fungsi.
dari
yang
segi dapat
Independensi
kekuasaan kehakiman akan membentuk imparsialitas dalam menghadapi pihak-pihak
yang
bersengketa.
Imparsialitas
akan
memungkinkan
keterfokusan pada fakta yang mengkualifikasinya berdasarkan hukum dan keadilan sebagai pilihan dalam menjatuhkan putusan untuk mengakhiri sengketa. Menurut Harold See, kekuasaan kehakiman yang lepas dari segala pengaruh kekuasaan lembaga lain hanya merupakan salah satu satu perspektif dalam memandang independensi kekuasaan kehakiman, yaitu bentuk
kemerdekaan
Independensi
kelembagaan
kelembagaan
berkaitan
(institutional dengan
aspek
independence). organisatoris,
administrasi, personalia, dan finansial. Perspektif lain dari independensi kekuasaan kehakiman adalah perspektif demokrasi berupa kemerdekaan dalam membuat putusan (decisional independence). Independensi dalam membuat putusan berkaitan dengan kewajiban kekuasaan kehakiman yang dilakukan melalui pengadilan terhadap negara hukum. Kekuasaan kehakiman melaksanakan fungsi untuk menjamin terwujudnya negara hukum yang didalamnya terdapat perlindungan atas kemerdekaan hakim dari pengaruh berbagai kepentingan dalam memutus suatu masalah hukum.53 Sementara itu, Franken ahli hukum Belanda menyatakan bahwa independensi kekuasaan kehakiman dapat dibedakan ke dalam 4 (empat) bentuk, yaitu54: 1. Independensi konstitusional (Constutional onafhankelijkheid); 2. Independensi fungsional (Zakelijke of functionale onafhankelijkheid); 3. Independensi
personal
hakim
(Persoonlijke
of
rechtpositionale
onafhankelijkheid); dan 4. Independensi
praktis
yang
nyata
(Praktische
of
feitlijke
onafhankelijkheid). Dengan demikian independensi yudisial harus termanifestasi baik yang bersifat institusional, fungsional, maupun personal.55 Secara institusional,
53Harold
See, “Comment: Judicial Selection and Decisional Independence,” Law and Contemporary Problems”, Summer Vol. 61,No. 3,Maret, 1998, hlm. 141-142. 54I.A. Saleh. Komisi Yudisial dan Fungsi Pengawasan Hakim, Makalah disampaikan pada Pendidikan dan Pelatihan Calon Hakim Terpadu (PPC-Terpadu) Angkatan VI Peradilan Umum, Agama, dan Tata Usaha Negara Seluruh Indonesia, Pusat Pendidikan dan Pelatihan MA-RI, Bogor, 2011.
17
kemerdekaan kekuasaan kehakiman harus dijauhkan dan terjaga dari segala bentuk campur tangan dan potensi intervensi dari kekuasaan negara lainnya. Secara fungsional, independensi berfungsi melindungi hakim
dari
keberpihakan
tersebut
imparsialitasnya
terjaga
dalam
melaksanakan tugas. Secara personal, hakim dalam menjalankan tugas dan fungsinya melakukan kekuasaan kehakiman harus dicukupi segala kebutuhan
hidupnya
(kesejahteraan)
dan
keamanan
serta
jaminan
perlindungan profesi sehingga terhindar dari godaan intervensi para pihak.
4. Teori Pejabat Negara a. Pengertian Pejabat Negara Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pejabat negara diartikan sebagai orang yang memegang jabatan penting dalam pemerintahan seperti menteri, sekretaris negara, dan lain-lain. Istilah pejabat negara sesungguhnya
lebih
luar
dibandingkan
pejabat
di
lingkungan
pemerintahan yang diidentifikasi sebagai jabatan dalam kekuasaan eksekutif, karena mencakup pejabat pada lingkungan kekuasaan lainnya seperti legislatif, yudisial, dan kekuasaan derivatif lainnya yang dijalankan oleh lembaga-lembaga negara pendukung (auxiliary state bodies/agencies).56 Seorang Pejabat Negara selain menduduki jabatan lembaga negara juga harus melalui pengangkatan dan pemberhentian dari seorang Presiden,
akan
tetapi
tidak
semua
pejabat
yang
diangkat
dan
diberhentikan oleh Presiden adalah pejabat negara. Di Indonesia ada yang disebut dengan pejabat lainnya yang tidak secara eksplisit dinyatakan jabatannya oleh UUD NRI Tahun 1945 maupun undangundang, tetapi diangkat dan diberhentikan oleh Presiden sehingga penanganan administrasinya diselenggarakan oleh Sekretaris Negara. Dalam konteks ini terkadang dipersepsikan oleh masyarakat bahwa mereka adalah pejabat negara, misalnya anggota badan perlindungan konsumen nasional, wakil pemerintah indonesia dalam organisasi internasional, kepala perwakilan, konsuler, dan lain-lain.57
b. Pejabat Negara dalam Konteks Penyelenggara Negara Definisi dan jenis pejabat negara yang diatur dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas 55 Budi Suhariyanto dkk., Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Jabatan Hakim, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan, Balitbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI 2015, Jakarta, hlm. 212. 56 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XII/2014, hlm. 24. 57 Budi Suhariyanto dkk, Naskah Akademik…, op.cit., hlm. 27.
18
Undang-Undang
Nomor
8
Tahun
1974
tentang
Pokok-Pokok
Kepegawaian dan Pasal 1 angka 7 UU Keprotokolan adalah: 1. Pimpinan atau Anggota lembaga negara; Selain Pimpinan dan Anggota dari suatu lembaga negara adalah bukan pejabat negara, misalnya kesekretariatan yang notabene supporting jabatan yang ada di lembaga negara tersebut tidak termasuk pejabat negara. Pada umumnya supporting dari Pimpinan dan Anggota lembaga negara adalah Aparatur Sipil Negara. 2. Lembaga negara “sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945”; “Sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945” dapat diartikan secara institusional dan secara fungsional. Dalam konteks institusional, lembaga tersebut ditegaskan secara eksplisit, misalnya Presiden, hakim agung, hakim konstitusi, dan lain-lain. Secara fungsional meskipun tidak ditegaskan secara eksplisit subjek pemangku kelembagaannya (misalnya hakim agung) namun menjalankan suatu fungsi
kelembagaan
yang
menunjukkan
sebuah
jabatan.
Sebagaimana dinyatakan sebelumnya oleh Hans Kelsen bahwa siapa saja yang menjalankan suatu fungsi yang ditentukan oleh suatu tata hukum (legal order) adalah suatu organ.58 Organ tidak selalu berbentuk organik. 3. Pejabat Negara yang secara tegas ditentukan dalam undang-undang. Terbuka ruang bagi pejabat negara yang tidak disebutkan fungsi dan institusionalnya
oleh
UUD
1945,
namun
undang-undang
menegaskannya sebagai pejabat negara. Misalnya pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dan komisi-komisi lainnya (kecuali Komisi Yudisial yang notabene satu-satunya komisi negara yang diatur dalam UUD 1945). Muncul
persepsi
yang
menyamakan
pejabat
negara
dengan
penyelenggara negara. Pasal 1 ayat (1) UU Penyelenggara Negara mengatur bahwa penyelenggara negara adalah pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Sementara itu lembaga negara sendiri menurut Bagir Manan dapat dikategorikan menjadi tiga jenis, yaitu:59
1. Lembaga Negara yang menjalankan fungsi negara secara langsung atau bertindak untuk dan atas nama negara, seperti 58
Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Russell & Russell, New York, 1961,
hlm.192. 59
Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, FH UII Press, Yogyakarta, 2004, hlm. 34.
19
Lembaga Kepresidenan, DPR, dan Lembaga Kekuasaan Kehakiman. Lembaga-lembaga yang menjalankan fungsi ini disebut alat kelengkapan negara. 2. Lembaga Negara yang menjalankan fungsi administrasi negara dan tidak bertindak untuk dan atas nama negara. Artinya, lembaga ini hanya menjalankan tugas administratif yang tidak bersifat ketatanegaraan. Lembaga yang menjalankan fungsi ini disebut sebagai lembaga administratif. 3. Lembaga Negara penunjang atau badan penunjang yang berfungsi untuk menunjang fungsi alat kelengkapan negara. Lembaga ini disebut auxiliary organ/agency.
Dinamika kehidupan ketatanegaraan di Indonesia memungkinkan untuk dibentuk dan dihapusnya state auxiliary body. Oleh karena itu, relevan jika konteks penyelenggara negara dan eksistensi pejabat negara menyesuaikan dinamika perkembangan berbagai lembaga negara.
c. Jenis Pejabat Negara Menurut
pengaturan
organik
dan
fungsinya,
pejabat
negara
dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu:60
1. Pejabat Negara yang diatur secara eksplisit jabatannya baik secara organik maupun fungsinya pada suatu lembaga negara yang diatur secara langsung oleh UUD 1945; 2. Pejabat Negara yang diatur secara implisit status jabatan pejabat negaranya karena secara organik tidak disebutkan secara tegas namun fungsinya diatur secara langsung oleh UUD 1945 sehingga dalam implementasinya dibutuhkan undang-undang sebagai penjelasannya; 3. Pejabat Negara yang tidak diatur baik secara organ maupun fungsinya dalam UUD 1945 tetapi diatur oleh undang-undang sebagai Pejabat Negara.
Pejabat negara juga dibagi dalam empat jenis menurut lingkup kekuasaan kenegaraan, yaitu pejabat negara yudikatif, pejabat negara legislatif, pejabat negara eksekutif, dan pejabat negara pada state auxiliary bodies.61
d. Perbedaan Pejabat Negara dan Pejabat Negeri Istilah pejabat negara kerap disejajarkan dengan istilah pegawai negeri atau pejabat yang menduduki jabatan negeri. Menurut Jimly Ashiddiqie, pegawai negeri pada pokoknya menduduki jabatan negeri, sementara jabatan negara diduduki oleh pejabat negara.62 Istilah antara
60
Budi Suhariyanto dkk, Naskah Akademik…, op.cit., hlm. 38. Ibid., hlm. 39. 62 Jimmly Asshidiqie, Pokok-Pokok Pikiran Tentang Penyempurnaan Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim Indonesia, dimuat 61
Sistem dalam
20
negeri dan negara menandakan sebuah perbedaan dalam ruang lingkup tugas dan jangkauan wilayah kewenangan serta jabatannya.63 Istilah “negeri” digunakan untuk menyebutkan suatu makna tanah atau tempat atau wilayah kedaerahan, berbeda dengan negara yang melingkupi
sebuah
otoritas
kewilayahan
beberapa
negeri
dan
berkedaulatan, sehingga aspek kewenangan bagi jabatan negara lebih luas daripada jabatan negeri.64 Jabatan negara umumnya berkedudukan pada pusat kenegaraan dan sifat kepusatannya permanen, sementara jabatan negeri berkedudukan di tataran wilayah atau daerah yang mana terhadapnya dapat dilakukan pemindahan atau rotasi baik dalam rangka promosi maupun mutasi. Perbedaan pejabat negara dan pejabat negeri juga tampak pada sifat jabatannya. Menurut Jimly Ashiddiqie, para pejabat negara merupakan political appointee, sementara pejabat negeri merupakan administrative appointee.65 Artinya para pejabat negara diangkat atau dipilih karena pertimbangan yang bersifat politik, sedangkan para pejabat yang negeri dipilih murni karena alasan administratif. Pejabat yang diangkat karena pertimbangan politik harus bersumber dan dalam rangka pelaksanaan kedaulatan rakyat. Pejabat yang diangkat atas pertimbangan demikian disebut sebagai pejabat negara yang dipilih atau elected official. Perbedaan selanjutnya antara pejabat negara dan pejabat negeri adalah periodisasi jabatan. Pejabat negara yang bertanggung jawab kepada rakyat memiliki jangka waktu jabatan yang bersifat temporer sesuai
dengan
periodisasi
yang
ditetapkan
oleh
undang-undang.
Legitimasi kelangsungan jabatan dapat diperpanjang melalui sistem pemilihan umum atau melibatkan institusi lembaga negara lain. Bagi pejabat negeri sifat administrative appointee tercermin dari bentuk kepegawaian yang berjenjang dengan menggunakan sistem kepangkatan dan karier (jabatan struktural dan jabatan fungsional yang hanya diduduki oleh pegawai negeri sipil).66 Jangka waktu jabatannya cukup panjang dari awal rekrutmen hingga purnabakti yang notabene dapat
mencapai
selama
40
(empat
puluh)
tahunan.67
Sistem
pertanggungjawabannya langsung kepada atasan atau pimpinannya. Penilaian terhadap hasil dan prestasi kinerjanya juga dari atasan atau
http://www.jimly.com/makalah/namafile/65/POKOK_PIKIRAN_TENTANG_PENYEMPURNAAN _SISTEM.pdf, diunduh pada 21 Januari 2016, Pukul 11.15 WIB, hlm.3. 63 Budi Suhariyanto dkk, Naskah Akademik…, op.cit., hlm. 41 64 Bone Rampung, Pegawai Negeri : Pejabat Negara, dimuat dalam http://bonerampung.blogspot.co.id/2012/08/pegawai-negeri-pejabat-negara.html, diunduh pada 21 Januari 2016, Pukul 11.30 WIB. 65 Jimmly Asshidiqie, Perihal Undang-Undang, Rajawali Press, Jakarta, 2010, hlm. 373. 66 Budi Suhariyanto dkk, Naskah Akademik…, op.cit., hlm. 43. 67 Ibid.
21
pimpinan langsungnya. Hubungan hukum kepegawaian disebut sebagai suatu openbare dienstbetrekking (hubungan dinas publik) terhadap negara (pemerintah).68 Adapun openbare dienstbrekking yang melekat pada hubungan hukum kepegawaian itu lebih merupakan sub ordinantie antara atasan dengan bawahan.
Perbedaan pejabat negeri dengan pejabat negara juga dapat ditinjau dari aspek kepemerintahan yang berbeda, yaitu kepemerintahan dalam arti sempit dan dalam arti luas. C. F. Strong mengartikan pemerintah dalam arti luas sebagai organisasi negara yang utuh dengan segala alat kelengkapannya merupakan pengertian pemerintahan dalam arti yang luas, sementara pengertian pemerintahan dalam arti sempit hanya mengacu pada satu fungsi yaitu fungsi eksekutif.69 Dalam konteks ini pejabat negeri diartikan sebagai pejabat pemerintahan dalam arti sempit. Dalam konteks pengisian jabatan bagi pejabat negara dapat diisi oleh Pegawai Negeri tanpa kehilangan statusnya sebagai pegawai negeri. Hal ini mengandung arti bahwa begitu tidak lagi menjabat sebagai pejabat negara yang temporer atau permanen, status asal pegawai negerinya dapat diaktifkan dan diemban kembali kepadanya. Dalam konteks ini status organik kepegawaiannya tetap melekat.
e. Pejabat Negara dalam Konteks Pejabat Politik dan Pejabat Publik Pejabat negara juga memiliki lingkup jabatan seperti pejabat politik dan pejabat publik. Dalam perspektif organisasi negara yang demokratis maka penempatan dan kedudukan jabatan didasarkan atas kedaulatan rakyat (politik) serta pelayanan masyarakat (publik).70 Bagir Manan menjelaskan bahwa lingkungan jabatan dalam organisasi negara dapat dibedakan dengan berbagai cara, yaitu:71
1. Dibedakan antara jabatan alat kelengkapan negara (jabatan organ negara, jabatan lembaga negara), dan jabatan penyelenggara administrasi negara; 2. Dibedakan antara jabatan politik dan bukan politik; 3. Dibedakan antara jabatan yang secara langsung bertanggung jawab dan berada dalam kendali atau pengawasan publik dan 68
Muhammad Ikhwan, Mekanisme Hubungan Antara Negara dengan PNS, dimuat dalam http://studihukum.blogspot.co.id/2010/11/mekanisme-hubungan-antara-negaradengan.html, diunduh pada 21 Januari 2015, Pukul 11.59 WIB. 69 C. F. Strong, Modern Political Constitution, Sidgwick and Jackson, London, 1963, 70 Budi Suhariyanto dkk, Naskah Akademik…, op.cit., hlm.48. 71 Ibid.
22
yang tidak langsung bertanggung jawab dan tidak langsung berada dalam pengawasan atau kendali publik; dan 4. Dibedakan pula antara jabatan yang secara langsung melakukan pelayanan umum dan tidak secara langsung melakukan pelayanan umum. Menurut Jimly Ashiddiqie jabatan pejabat negara dalam konteks politik adalah karena adanya political appointee yang diangkat atau dipilih karena pertimbangan yang bersifat politik.72 Identifikasi pejabat negara dalam konteks politik kenegaraan secara fungsional dihubungkan dengan sistem keterpilihannya melalui pemilihan umum maupun melalui jalur politis sebagaimana dilakukan oleh anggota DPR dalam fit and proper test calon pejabat negara bersinggungan dengan kategori pejabat politik. Oleh karena itu terdapat persamaan dan perbedaan antara pejabat negara dan pejabat politik. Pengangkatan pejabat negara ada yang berdasarkan politik baik melalui pemilihan umum atau pelibatan institusi politik, namun ada juga yang bersifat karier. Jabatan politik baru dikenal di Indonesia setelah era reformasi karena banyak jabatan itu berasal dari kekuatan partai politik.73 Sementara itu pejabat publik adalah pegawai pemerintah yang memegang jabatan penting sebagai pimpinan yang mengurusi kepentingan orang banyak.74
Konsepsi
demikian
hanya
mengasosiasikan
pegawai
pemerintahan dalam arti eksekutif saja, padahal sebenarnya pejabat negara termasuk sebagai pejabat publik, namun tidak semua pejabat publik adalah pejabat negara.75
B. Praktik Empiris 1. Sejarah hakim Eksistensi hakim dan kedudukannya dalam suatu negara tidak dapat dilepaskan dari eksistensi hukum itu sendiri. Jika hukum itu keberadaannya
bersama
dan
berkembang
dengan
masyarakat
sebagaimana adagium dimana ada hukum disitu ada masyarakat dan sebaliknya dimana ada masyarakat disana ada hukum atau dalam istilahnya ubi socieatas ibi ius, maka dapat dipahami secara esensial bahwa tidak ada suatu masyarakat tanpa hukum. Demikian pula organ yang menggerakan atau merepresentasikan hukum itu secara in concreto
72
Jimly Assshidiqie, Pokok-Pokok Pikiran…loc.cit., hlm. 3. Miftah Thoha, Jabatan Politik dalam Pemerintahan, dimuat dalam Kompas, 16 September 2010. 74 Muhammad Taufik Nasution, Mendefinisikan Pejabat Publik dalam Perspektif Hukum, dimuat dalam http://lekons-lenterakonstitusi.blogspot.co.id/2011/06/pejabat-publik.html, diunduh pada 21 Januari 2016, Pukul 13.46 WIB. 75 Budi Suhariyanto dkk, Naskah Akademik…, op.cit., hlm. 51. 73
23
yaitu seorang hakim yang keberadaannya juga seniscaya hukum itu sendiri. Ansyahrul mengatakan bahwa hakim adalah jabatan yang tertua di dunia, dapat dikatakan bahwa jabatan hakim seumur dengan peradaban manusia. Manusia sebagai makhluk sosial secara naluriah membutuhkan interaksi yang kemudian berkembang menjadi kelompok masyarakat dan akhirnya mewujud menjadi negara. Dalam pergaulan hidup berinteraksi inilah yang memungkinkan munculnya berbagai konflik kepentingan sehingga kemudian kelompok tersebut menyepakati aturan-aturan hidup bersama. Pada tahap ini manusia sudah dapat menciptakan hukum diantara mereka dan untuk menegakkannya perlu pihak yang menengahi yang mereka akui secara bersama, itulah para Hakim.76 Pada awalnya tidak ditentukan seperti apa jabatan Hakim itu, namun secara esensial tugas dari Hakim yaitu menghakimi sudah ada terlebih dahulu dan diakui keberadaannya meskipun tidak secara formal,
misalnya
jika
terdapat
seseorang
atau
suatu
kelompok
bersengketa dengan orang atau kelompok lainnya sudah tentu untuk menghindarkan dari benturan dan menyelesaikan konflik yang ada mereka akan membutuhkan orang lain di luar kelompoknya masingmasing untuk bertindak menengahi dan memberikan putusan secara benar
dan
adil.
Dalam
konteks
ini
eksistensi
Hakim
diakui
keberadaannya secara fungsional. Jika orang tersebut didaulat, putusannya dihormati dan diterima oleh masyarakat secara berkelanjutan serta konsisten menerima, memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan perkara yang dihadapkan kepadanya maka secara definitif kemudian diakui bahwa dia adalah Hakim
dalam
konteks
personal.
Bahkan
dalam
sebuah
sistem
kemasyarakatan yang telah terstruktur, personalitas Hakim berikut kedudukan tugasnya dimasukkan dan diakomodasi secara struktural. Dalam konteks ini terdapat transformasi dari sifat dan fungsi pekerjaan menghakimi menuju sebuah kedudukan atau jabatan sebagai Hakim secara formal. Eksistensi formal jabatan Hakim ini kemudian dikonstruksikan pada sebuah sistem peradilan. Pada tahap ini Hakim mulai menempati puncak sebuah sistem distribusi keadilan yang keberadaannya dapat mengevaluasi subsistem peradilan lainnya. Menurut Ansyahrul, pada awalnya jabatan Hakim bersifat personal. Jabatan Hakim dipegang oleh
76 Ansyahrul, Pemuliaan Peradilan: Dari Dimensi Integritas Hakim, Pengawasan dan Hukum Acara, Mahkamah Agung, Jakarta, 2011, hlm. 1.
24
ketua/kepala/kaum, oleh para raja, oleh para nabi, dan oleh para gubernur.
Semakin
kompleksnya
kehidupan
masyarakat
serta
meningkatnya jumlah penduduk, sistem jabatan Hakim secara personal tidak mungkin untuk dipertahankan lagi, sehingga dikembangkanlah suatu sistem peradilan yang didukung sejumlah Hakim. Dengan berkembangnya sistem peradilan ini, maka posisi Hakim hanyalah sebagai subsistem dari sistem peradilan yang menimbulkan pandangan dan persepsi bahwa sistem lebih penting daripada orangnya.77 Saat Hakim ditempatkan dalam suatu bangunan sistem peradilan, maka sesungguhnya seketika itu pula kedudukan Hakim secara personal (sebagaimana masa awal keberadaannya) perlahan tereduksi atau tidak sekuat dahulu, dengan kata lain sudah mulai ada mekanisme “kontrol” terhadapnya. Sistem akan membatasi kewenangannya sesuai dengan hukum atau peraturan perundang-undangan yang berlaku. Saat hukum sudah diformalkan dalam bentuk sistem peraturan perundangundangan.
Saat
itu
juga
Hakim
tidak
lagi
berkehendak
bebas
selayaknya “hukum yang berjalan” atau dapat dikatakan dirinya tidak lagi dimaknai sebagai “hukum itu sendiri”. Dalam konteks ini mulai dipisahkan antara law in abstracto yang direpresentasi oleh peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh penguasa atau lembaga legislatif dengan law in concreto yang diwenangi oleh Hakim sebagai pelaksana mandat delegasi penguasa. Pada awalnya keterpisahan antara hukum dan Hakim tidak serta merta terpisah pula orang atau pelakunya. Pada masa ini hukum tertulis yang dibuat oleh raja masih diwenangi oleh raja itu pula sebagai penegaknya, sehingga pada diri raja melekat 3 (tiga) kekuasaan yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Seiring dengan perkembangan zaman dan kebutuhan pemerintahan tersebut masyarakat yang perlahan mengurangi dan memisahkan serta mendistribusikan kekuasaan dari raja kepada pejabat-pejabat kerajaan (administratif dan legislatif) serta Hakim
(lembaga
peradilan).
Tradisi
dan
refleksi
atas
konsep
pendelegasian wewenang memutus perkara dari raja kepada Hakim (lembaga peradilan) ini berbeda antarnegara. Sebagaimana zaman Romawi, kekuasaan yang menonjol dari raja adalah membuat peraturan melalui dekrit. Kekuasaan itu kemudian didelegasikan kepada pejabat-pejabat administratif sehingga pejabatpejabat administratif yang membuat pengarahan-pengarahan tertulis bagi Hakim tentang bagaimana memutus suatu sengketa. Sebaliknya di Inggris kekuasaan utama dari raja adalah memutus perkara. Peradilan 77
Ibid.
25
oleh raja kemudian berkembang menjadi suatu sistem peradilan sehingga hakim-hakim peradilan adalah delegasi dari raja, akan tetapi bukan melaksanakan kehendak raja.78 Setelah
Hakim
kemunculan
dan
dibedakan
mapannya
dengan
hukum
raja
(eksekutif),
tertulis
yang
seiring
menyongsong
konfigurasi antara hukum dalam pengertian undang-undang dengan Hakim
sebagai
personal
aktor
yang
menegakkannya,
berdampak
membelah persepsi terhadap kedudukan Hakim. Atas konfigurasi yang demikian kemudian memunculkan sebuah paradigma dan secara sistemik dikonstruksikan dalam sistem penegakan hukumnya. Dalam konteks ini setiap negara kemudian membentuk dan membangun konfigurasi yang berbeda. Bagi sebagian negara yang masih menganut positivisme, memandang dan mendudukkan Hakim hanya sebagai corong undang-undang, tetapi bagi negara lainnya tidak menempatkan Hakim sebagai corong undang-undang tetapi ditempatkan sebagai pencipta hukum yang tidak bergantung pada undang-undang atau hukum tertulis. Selain bentuk konfigurasi dari kedua model sistem hukum negara di atas ada pula negara yang tidak secara ekstrim dan mutlak mengikuti salah
satu
diantara
memadukannya. undangan,
Di
tetapi
kedua
satu
sisi
sistem
tersebut,
membentuk
penegakkannya
tetapi
peraturan
tidak
dengan
perundang-
semata-mata
mutlak
menerapkan undang-undang dengan memberikan Hakim beberapa kewenangan khusus dan dalam batasan tertentu untuk menemukan dan menggali serta membentuk hukum atau nilai yang hidup di dalam masyarakat. Dalam konteks ini produk putusan hakim tersebut dalam kondisi tertentu diakui sebagai salah satu sumber hukum formil. Sebagaimana di negara Indonesia yang pada dasarnya tidak menganut secara utuh dan mutlak dari salah satu dari kedua sistem hukum tersebut.
Indonesia
ditunjukkan
mengakomodasi
dengan
keberadaan
keberadaan
norma
hukum
keduanya. bahwa
Bisa Hakim
didudukan sebagai penegak hukum dan keadilan sehingga Hakim tidak semata penerap undang-undang tetapi juga sebagai penggali hukum dan nilai keadilan dalam masyarakat. Merupakan sebuah konsekuensi logis bahwa hakim selayaknya hukum
yang
terhadapnya
berada berlaku
dan
berkembang
sistem-sistem
dalam dan
masyarakat,
maka
paradigma-paradigma
78 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia Sebuah Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara, Bina Ilmu, Surabaya, 1987, hlm. 7273.
26
kemasyarakatan yang berbeda sesuai dengan refleksi kesadaran bangsa atau masyarakat terhadap hukum itu sendiri.79 Misalnya antara negara yang menganut sistem Common Law dengan Eropa Kontinental berbeda dalam mendudukkan serta memfungsikan Hakim. Hal ini tidak terlepas dari sebuah kesadaran kolektif sebuah bangsa yang sering diasosiasikan sebagai jiwa bangsa atau volksgeits. Refleksi atas kesadaran kesejarahan tidak dapat dilepaskan dengan bangunan paradigma dari konsepsi sistem hukum tersebut pendudukan Hakim didalamnya yang dipilih atau digunakan. Selain konsekuensi dari sisi fungsionalisasi kewenangan atas tugas Hakim yang dihadapkan dengan tradisi hukum tertulis maka perspektif tentang bagaimana mengelola atau manajemen jabatan Hakim dari masing-masing negara juga memiliki perbedaan atau ciri khas. Misalnya ada yang mendudukkan Hakim dalam sebuah jabatan khusus tetapi ada pula yang mengkategorikan sebagai pejabat negara dan/atau pegawai negeri. Ada yang mendudukkan Hakim dalam satu tempat atau wilayah saja mulai dari diangkat sampai pensiun, namun di lain negara ada yang menerapkan sistem rotasi terhadap penugasan Hakim sehingga harus berpindah-pindah dari satu wilayah penugasan ke wilayah penugasan yang lain. Selain itu ada yang membatasi usia kerja atau masa bakti Hakim dan bahkan memberlakukannya secara temporer, sementara di lain negara ada yang mengangkat Hakim dari awal rekruitmen hingga meninggal dunia (diangkat seumur hidup). Meskipun berbeda dalam hal menempatkan atau mendudukan Hakim dalam manajerial jabatannya pada setiap negara, namun dalam konteks memperlakukan Hakim dalam rangka pelaksanaan tugasnya yaitu menerima, memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan perkara yang dihadapkan kepadanya, semua negara mutlak sepakat untuk mendasari dan menjaganya dengan sebuah prinsip independensi yudisial. Sehingga dikatakan bahwa prinsip independensi yudisial diakui keberadaannya secara
universal.
kehakimannya,
Hakim
apapun
dalam
bentuk
melaksanakan
jabatan
yang
kekuasaan disandangkan
terhadapnya, secara fungsional dia harus diposisikan independen atau merdeka dari segala campur tangan aktif maupun pasif dari para pihak atau lembaga ekstra yudisial. Berkenaan dengan pengaturan hakim, terdapat prinsip-prinsip peraturan yang berlaku pada masa kolonial yaitu dalam Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het Beleid der Justitie (Reglement tentang
79
Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Yogyakarta, 1982,
hlm. 295.
27
Organisasi Kehakiman dan Kebijaksanaan Peradilan) yang tertera di dalam S. 23/1847 juncto S. 57/1848 yang pada pokoknya sebagai berikut:80
1. bahwa pengangkatan seorang menjadi hakim dilakukan oleh Gubernur Jenderal setelah lolos memenuhi persyaratan dan seleksi yang dilakukan sebagaimana ditentukan undangundang; 2. bahwa hakim adalah seorang “ambtenaar” (pegawai negeri) yang khusus bertugas untuk melaksanakan peradilan dalam rangka tujuan menegakkan hukum dan undang-undang; 3. bahwa sebagai “ambtenaar” (pegawai negeri) di dalam menjalankan tugasnya berada di bawah pengawasan badan pengadilan tertinggi; 4. bahwa jabatan hakim tidak boleh dirangkap dengan jabatan lain; 5. bahwa hakim dapat diperhentikan atas dasar alasan-alasan yang ditentukan dalam undang-undang; 6. bahwa tidak berlaku asas “hakim diangkat untuk seumur hidup”. Setting
jabatan
sebagai
“ambtenaar”
(pegawai
negeri)
ini
dilangsungkan pasca Indonesia merdeka. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950 misalnya masih menempatkan kedudukan Hakim sebagai Pegawai Negeri yang notabene tidak jauh berbeda dengan apa yang ditetapkan dalam Staatsblad (R.O), yaitu:81
1. bahwa Hakim adalah Pegawai Negeri yang memenuhi persyaratan yang ditentukan undang-undang; 2. bahwa hakim dapat diberhentikan atas dasar yang ditentukan undang-undang; 3. bahwa hakim bertugas untuk menegakkan hukum dan undangundang berdasar pada ketentuan undang-undang; dan 4. bahwa dalam menjalankan tugasnya hakim berada di bawah pengawasan Mahkamah Agung. Dapat dimaklumi bahwa saat masa kemerdekaan tidak terpikirkan atau terkonstruksikan secara serius dan komprehensif mengingat situasinya adalah perjuangan mempertahankan kemerdekaan yang baru diproklamasikan. Secara historis kebijakan negara dalam menempatkan jabatan Hakim dalam statusnya sebagai PNS pada kekuasaan eksekutif di masa orde baru maupun orde lama. Pemerintahan era orde lama menempatkan Hakim sebagai alat revolusi sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi, 80 H.M. Koesnoe, Kedudukan dan Tugas Hakim Menurut Undang-Undang Dasar 1945, Ubhara Press, Surabaya, 1998, hlm. 83. Lihat juga dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-X/2012, hlm.9-10. 81 Ibid.
28
“Hakim sebagai alat revolusi wajib menggali dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dengan mengintegrasikan dari dalam masyarakat guna benar-benar mewujudkan fungsi hukum sebagai pengayoman.” Pada praktik pemerintahan orde lama merupakan hal yang legal dan sah Presiden selaku Pemimpin Besar Revolusi dapat mencampuri urusan pengadilan dan mengintervensi Hakim sebagaimana ditegaskan secara eksplisit oleh Pasal 19 Undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman: “demi kepentingan revolusi, kehormatan negara dan bangsa atau kepentingan masyarakat yang sangat mendesak, Presiden dapat turut atau campur tangan dalam soal-soal pengadilan.” Pada masa ini Undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman menjadi sasaran kritik, dan dituntut untuk diadakan pembaharuan terhadapnya, diantaranya persoalan tentang diragukannya pengadilan yang baik bila para hakimnya berkedudukan sebagai pegawai negeri. Persoalan hakim sebagai pegawai negeri yang berada di dalam suatu birokrasi yang hierarki itu dapat benar-benar melaksanakan fungsinya sebagai penegak hukum dan keadilan yang notabene harus berjiwa merdeka dan dalam keadaan serta kedudukan yang merdeka. Tetapi tidak jelas bagaimana rumusan detail dari konsep tentang hakim yang bukan berkedudukan sebagai pegawai negeri. Dengan demikian pikiran tersebut selanjutnya tampak tetap menjadi pertanyaan.82 Selanjutnya di masa orde baru, sudah tidak diatur secara ekstrim layaknya orde lama yang menjadikan campur tangan secara langsung dari Presiden sebagai hal yang legal dan sah demi agenda revolusi, akan tetapi
kedudukan
Hakim
sebagai
PNS
dan
kebijakan
2
kelembagaan yang mengelola Hakim masih tetap berlaku.
(dua) Pola
pengelolaan hakim pada Mahkamah Agung dan Kementerian Kehakiman atau Kementerian Agama cenderung membuka peluang intervensi. Sebastian Pompe menjelaskan bahwa:
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 berperan krusial dalam memburuknya hubungan antara korps Hakim dengan Pemerintah. Dalam kondisi politik tidak stabil saat itu, para Hakim hanya bisa melindungi di dari campur tangan Pemerintah jika punya kekuasaan seimbang yang mestingya dibangun lewat apa yang disebut hak uji konstitusional (constitutional review). Lebih jauh, dualisme administrasi pengadilan yang dilanjutkan dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 memberi Pemerintah peran dalam administrasi pengadilan yang memuluskan jalan bagi terjadinya campur tangan politik dalam urusan pengadilan.83 82 83
Ibid. hlm 11. Sebastian Pompe, Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung, LeIP, Jakarta, 2012,
hlm.167.
29
Kemudian rezim reformasi menempatkan hakim sebagai pejabat negara sebagai sebuah kebijakan strategis dan fundamental dalam rangka melakukan upaya refilosofi jabatan Hakim Indonesia yang mana telah berhasil mengeluarkan Hakim dari statusnya sebagai PNS. Hal ini sesuai dengan pernyataan Daniel S. Lev bahwa:
Kemandirian badan kehakiman mengandung harapan meningginya prestise dan kemampuan forum kelembagaan mereka dan bahkan akan menyebabkan para Hakim lebih tanggap terhadap kepentingan profesional. Apalagi jika badan ini bekerja sesuai dengan ketentuan formal, atau dengan kata lain jika badan kehakian dapat dibedakan secara tajam dari birokrasi pemerintahan.84 Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselengaranya negara hukum Republik Indonesia (Pasal 24 UUD NRI Tahun 1945 dan Pasal 1 UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman). Hakim di dalam menjalankan tugas dan fungsinya wajib menjaga kemandirian peradilan.
2. Sejarah Kekuasaan Kehakiman di Indonesia Pengertian kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia. Kekuasaan kehakiman yang merdeka tersebut mengandung arti bahwa kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak kekuasaan negara lainnya dan bebas dari paksaan atau rekomendasi yang datang dari pihak ekstra yudisial, kecuali dalam hal-hal
yang
diizinkan
oleh
undang-undang.
Kebebasan
dalam
melaksanakan wewenang yudisial tidaklah mutlak sifatnya, karena tugas Hakim yaitu untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila dengan jalan menafsirkan hukum dan mencari asas yang jadi landasannya, melalui perkara-perkara yang dihadapkan kepadanya, sehingga keputusannya mencerminkan keadilan bangsa dan rakyat Indonesia.85
84 Daniel S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia: Kesinambungan dan Perubahan, LP3ES, Jakarta, 1990, hlm. 398. 85 C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2000, hlm.60.
30
Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diserahkan kepada badan peradilan dan ditetapkan dengan undang-undang, dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Pada hakikatnya segala sesuatu yang berhubungan dengan pelaksanaan tugas badan penegak hukum dan keadilan tersebut baik atau buruknya tergantung pada manusia pelaksananya yaitu Hakim. Maka dalam undang-undang mengenai Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman harus dicantumkan syarat-syarat yang senantiasa harus dipenuhi oleh seorang hakim, yaitu jujur, merdeka, berani mengambil keputusan dan bebas dari pengaruh, baik dari dalam maupun dari luar.86 Ketentuan dalam Pasal 1 ayat 3 UUD NRI Tahun 1945 secara eksplisit mengemukakan bahwa “Indonesia adalah negara hukum.” Apabila negara hukum dikaitkan dengan teori kedaulatan hukum, maka supremasi dari suatu negara tidak terletak pada kekuasaan negara, melainkan
berdasarkan
hukum.
Konsep
kedaulatan
hukum
menempatkan negara harus tunduk di hadapan hukum, kedaulatan negara tunduk dan juga mengabdi pada kedaulatan hukum, karena hukum yang akan mengatur ketertiban masyarakat dan juga akan mengatur hubungan antara masyarakat dengan negara. Pada konteks itu maka segala tindakan penyelenggaraan wewenang yang dimiliki oleh otoritas negara juga harus tunduk di hadapan kedaulatan hukum. Konstitusi
Indonesia
juga
menegaskan
secara
eksplisit
bahwa,
“Kedaulatan berada di tangan rakyat, dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Bilamana kedaulatan hukum tersebut di atas diletakkan dan juga berpijak pada kedaulatan rakyat, maka kedaulatan hukum bukanlah ditujukan semata-mata untuk kepentingan hukum itu sendiri, tetapi harus ditujukan dan berpihak kepada kepentingan masyarakat. Berkenaan dengan hal tersebut, maka penyelenggaraan suatu negara hukum harus ditujukan dan berpihak kepada kepentingan masyarakat.87 Alinea
IV
Pembukaan
UUD
NRI
Tahun
1945
secara
jelas
mengemukakan bahwa, pembentukan pemerintahan negara Indonesia dimaksudkan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
86
Ibid Ahmad Basuki, Pengawasan Terhadap Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Sebagai Upaya Dalam Mewujudkan Akuntabilitas Peradilan Pidana, Volume XVIII No.1 Tahun 2013 edisi Januari, Jurnal Perspektif Fakultas Hukum Universitas Wijaya Kusuma, Surabaya, hlm.57. 87
31
mencerdaskan kehidupan bangsa. Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa kedaulatan hukum berpijak pada aspirasi dan kepentingan masyarakat, hadapan
hukum
tidak
kepentingan
dapat
rakyat.
Hal
bertindak tersebut
sewenang-wenang juga
berarti
di
bahwa,
pembentukan dan penyelenggaraan pemerintahan yang diatur dalam suatu negara hukum tidak dapat mengingkari adanya suatu aspirasi rakyat, melanggar hak-hak dasar warga negaranya, dan/atau bertindak sewenang-wenang sehingga merugikan kepentingan rakyat. Kata kunci alinea IV konstitusi tersebut di atas justru ditujukan untuk tidak hanya sekedar melindungi kepentingan rakyat, tetapi negara hukum dimaksud ditujukan untuk memajukan kesejahteraan rakyat. Dalam konteks demikian, maka berarti pembentukan negara hukum bukan sebagai tujuan akhir, melainkan sebagai instrumen untuk melindungi dan mewujudkan kesejahteraan rakyat. Salah satu komponen penting di dalam negara hukum adalah sebagaimana yang tersirat di dalam Pasal 24 ayat 1 UUD NRI Tahun 1945, yaitu adanya kekuasaan kehakiman yang independen untuk menyelenggarakan peradilan guna mewujudkan kepastian hukum dan keadilan. Berbagai konvensi internasonal, seperti Universal Declaration of Human Rights (Article 10), International Covenant Civil and Political Rights (Article 14), International Bar Association Code of Minimum Standart of Judicial Independent, Beijing Statement of Independent of Judiciary in the Law Asia Region juga menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan salah satu unsur utama dalam negara hukum. Konvensi dimaksud juga mengemukakan secara lebih tegas, bahwa kekuasaan kehakiman yang dimaksud konvensi adalah kekuasaan kehakiman yang independen, tidak memihak dan kompeten.88 Sistem peradilan di Indonesia pada saat ini bukan merupakan hasil transformasi
dari
struktur
sosial
tradisional
Indonesia,
namun
merupakan warisan dari sistem peradilan yang dibangun pemerintah kolonial
Belanda
yang
kemudian
berkembang
setelah
Indonesia
memasuki masa kemerdekaan. Pada masa kolonial, pemerintah Belanda melalui asas kodifikasi dan konkordansi melakukan transplantasi sistem hukum civil law yang berlaku di negara asal mereka kepada sistem yang mereka bangun di Indonesia. Hal tersebut tidak terbatas kepada hukum materiil (substantive law) semata, namun juga hukum formil (procedural law) dan institusi-institusi yang menjadi pelaksana fungsi peradilan.
88
Ibid.,hlm 58.
32
Pengembangan institusi peradilan di Indonesia pada masa itu juga menduplikasi institusi peradilan yang ada di Belanda, walaupun dalam perkembangannya juga memberikan sedikit ruang bagi penyelesaian sengketa antarmasyarakat secara adat. Sistem hukum civil law yang diadopsi di Indonesia mempengaruhi pula status Hakim di Indonesia dan
pola
pembinaan
Hakim.
Pada
masa
tersebut,
Hakim
pada
hoogerechsthof dan raad van justitie adalah pegawai yang sama sekali terpisah dari pemerintahan. Sementara itu, seluruh Ketua landraad di Jawa/Madura dan sebagian besar ketua landraad di luar Jawa/Madura pada dasarnya berstatus sebagai pegawai Departemen Kehakiman (pegawai
pemerintah).
Bahkan
sebagian
besar
magistraatsgerecht,
regentschapsgerecht, dan districtgerecht adalah pegawai pemerintah biasa yang merangkap jabatan Hakim.
a. Pada Zaman Penjajahan Belanda Pada zaman penjajahan Belanda terdapat organisasi kehakiman di daerah-daerah luar Jawa dan Madura yang diatur dalam “Reglemen pengadilan buat daerah-daerah seberang”, dimuat dalam S. 1927 No. 277, yang menggantikan reglemen-reglemen yang terpisah pada masing-masing
daerah,
antara
lain
Reglemen
Sumatera
Barat,
Reglemen Aceh, Reglemen Kalimantan Barat, Reglemen Minahasa, Reglemen Amboina, Reglemen Bali, dan Reglemen Lombok. Dalam Pasal 2 Reglemen 1927 ditetapkan bahwa Bab I, Bab VI, dan Bab VII R.O. berlaku untuk daerah seberang, begitu pula menurut Pasal 101 Reglemen 1927, Bab V R.O. susunan kehakiman atas dasar Reglemen 1927 itu untuk daerah-daerah seberang adalah sebagai berikut:89
1. Untuk bangsa Indonesia: a. Pengadilan sipil: 1) Districtsgerecht atau districtraad (Bangka, Biliton, Menado, Sumatera Barat, Banjarmasin, Ulu Sungai) atau Magistraatsgerecht; 2) Regentschapsgerecht; 3) Landraad; 4) Raad van justitie (di Padang, Medan, Ujung Pandang); dan 5) Hooggerechtshof (di Jakarta). b. Pengadilan kriminil: 1) Districtgerecht atau districtsraad (Bangka, Biliton, Menado, Sumatera Barat, Tapanuli, Banjarmasin, Ulu Sungai); 2) Negorijrechtbank (Amboina, Saparua, Banda); 3) Landgerecht atau Magistraatsgerecht landraad; 4) Raad van justitie (di Padang, Medan, Ujung Pandang); 5) Hooggerechtshof (di Jakarta). 2. Untuk bangsa Eropa: a. Pengadilan sipil: 89
Daniel S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia ..., Op.Cit., hlm. 32-33.
33
1) Residentiegerecht; 2) Raad van justitie (burgerl kamer) di Padang, Medan, Ujung Pandang; 3) Hooggerechtshof (burgerl kamer) di Jakarta. b. Pengadilan kriminil: 1) Landgerecht atau Residentiegerecht atau Negorijrechtbank; 2) Raad van justitie (Straf kamer) politierechter; 3) Hooggerechtshof (Straf kamer). Masing-masing peradilan memiliki tugas antara lain:90 1. Districtsgerecht mengadili semua perkara perdata, dengan orangorang Indonesia asli sebagai Tergugat, yang nilai harganya ada dibawah f20.Terhadap keputusan Districtsgerecht dapat dimintakan Banding kepada Regentschapsgerecht. 2. Regentschapsgerecht mengadili dalam tingkat Pertama dan kemungkinan akan banding ke Landraad: a. Segala tuntutan perkara perdata, dengan orang-orang Indonesia asli, jikalau gugatannya mempunyai nilai harga yang tidak kurang f 20.- dan tidak lebih dari f 50.b. Sebagai pengadilan tingkat kedua yang mengadili perkara banding terhadap keputusan Districtsgerecht. 3. Landraad. Mengadili dalam tingkat pertama, yaitu : a. Segala tuntutan perdata dalam perkara hak seseorang, hak kebendaan, dan hak campuran, yang nilainya lebih dari f 50. dan tergugatnya orang-orang Indonesia yang tidak tunduk kepada Hukum Perdata Barat. b. Segala perkara kejahatan, terkecuali yang termasuk kekeuasaan Landgerecht dan Raad Van Justitie. c. Segala pelanggaran polisi dan peraturan setempat. d. Tuntutan-tuntutan terhadap orang yang dipersamakan hukumnya dengan orang Indonesia, bukan golongan Tionghoa. e. Terhadap keputusan Landraad dapat dimintakan banding kepada Raad Van Justitie. 4. Landgerecht, mengadili dalam tingkat poertama dan terakhir dengan tidak membedakan bangsa apa yang menjadi terdakwa. 5. Residentiegerecht, mengadili perkara-perkara perdata, kecuali yang termasuk kekuasaan Raad Van Justitie. 6. Raad Van Justitie a. mengadili dalam tingkat pertama : 1) Segala tuntutan terhadap orang Eropa dan Tionghoa dalam perkara perdata yang bersifat hak seseorang, hak benda dan hak campuran. 2) Dan segala tuntutan dalam perkara perdata terhadap orang Indonesia sepanjang tuntutan mereka memilih Hukum Perdata Barat. b. Raad Van Justitie, mengadili dalam tingkat terakhir: 1) Segala perselisihan tentang kekuasaan mengadili diantara pengadilan-pengadilan rendahan. 2) Segala keputusan Residentiegerecht, didalam perkara-perkara untuk mana dapat dimintakan 3) Segala tuntutan dalam perkara perdata banding kepada Raad Van Justitie. yang bersifat hak seseorang, hak benda dan hak campuran. 90
Ibid.,hlm.34.
34
7. Hooggerechtshof, merupakan pengadilan tertinggi yang berkedudukan di Jakarta, yang bertugas mengawasi jalannya peradilan di seluruh Indonesia, dan menjaga supaya peradilan itu dijalankan sepatutnya. b. Pada Jaman Penjajahan Jepang. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942 tentang Balatentara Jepang yang dikeluarkan pada tanggal 8 Maret 1942. Dalam Undang-Undang tersebut dinyatakan bahwa untuk sementara segala undang-undang dan peraturan peraturan dari Pemerintah Hindia-Belanda dahulu terus berlaku, asal tidak bertentangan dengan peraturan-peraturan Balatentara Jepang. Mengenai peradilan sipil diatur dengan UndangUndang Nomor 14 Tahun 1942 tentang Peraturan Pengadilan Pemerintah Balatentara Dai-Nippon. Berdasarkan peraturan tersebut didirikan pengadilan-pengadilan sipil, yang akan mengadili perkaraperkara pidana dan perdata. Selain dibentuk pengadilan-pengadilan tersebut, juga dibentuk kejaksaan. Pengadilan-pengadilan yang didirikan itu pada dasarnya adalah lanjutan
dari
pengadilan-pengadilan
yang
sudah
ada,
kecuali
beberapa pengadilan, yang dihapuskan. Kekuasaannya pun tidak berubah. Pengadilan yang dimaksud ialah seperti berikut:91 1. Gun Hooin (pengadilan kawedanan) lanjutan Districtsgerecht dahulu. 2. Ken Hooin (pengadilan kabupaten) lanjutan Regentschapsgerecht dahulu. Kedua pengadilan tersebut diatur dalam R.O., hanya tidak lagi meliputi daerah-daerah yang dimasukkan ke dalam kota. Hal ini ada hubungannya dengan perubahan di dalam administrasi pemerintahan, dimana kekuasaan dan pekerjaan pamong praja dalam kota diserahkan kepada walikota. 3. Keizai Hooin (pengadilan kepolisian) lanjutan dari Landgerecht, dengan kekuasaan yang sama, tapi sekarang meliputi juga wilayah Hakim distrik dan Hakim kabupaten yang dahulu memasuki wilayah kota. 4. Tihoo Hooin (pengadilan negeri) lanjutan dari Landraad, akan tetapi hanya dengan seorang Hakim (tidak lagi merupakan majelis), kecuali di dalam perkara-perkara yang tertentu, apabila Pengadilan Tinggi menentukan harus diadili dengan 3 orang Hakim. Pengadilan ini mengadili segala perkara pidana dan perdata, sepanjang tidak termasuk kekuasaan Hakim distrik, Hakim kabupaten, dan Hakim kepolisian juga perkara-perkara yang dahulu diadili oIeh Raad van Justitie dan residentiegerecht. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1942 dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1942, yang mengatur kembali susunan pengadilan sipil. Selain dari pengadilan-pengadilan
91 Sudikno Mertokusumo, Sejarah Peradilan dan Perundang-Undangannya di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1983, hlm. 14-20.
35
yang sudah disebut di dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1942 terdapat penambahan dua buah pengadilan, yaitu : 1. Kootoo Hooin (Pengadilan Tinggi), lanjutan dari Raad van Justitie dahulu. 2. Saikoo Hooin (Mahkamah Agung), lanjutan dari Hooggerechtshof dahulu. Dengan
Osumu
Seirei
Nomor
21
Tahun
1943
kekuasaan
pengadilan yang disebut tadi diatur lebih lanjut. Kootoo Hooin dan Saikoo Hooin tidak lagi mengadili perkara-perkara di dalam tingkatan pertama. Dengan Osumu Seirei Nomor 2 Tahun 1944, Saikoo Hooin dihapuskan dan segala kekuasaannya diserahkan kepada Kootoo Hooin. Tihoo Hooin atau pengadilan negeri sekarang merupakan pengadilan sehari-hari untuk segala penduduk, kecuali orang-orang Jepang. Dengan peraturan ini, maka Pemerintah Balatentara Jepang menghapuskan dualisme di dalam peradilan, sesuai dengan asas peradilan di Jepang, bahwa hanya ada satu macam peradilan untuk segala golongan penduduk. OIeh karena itu, maka residentiegerecht dahulu dihapuskan dan Kootoo Hooin, yang menggantikan Raad van Justitie dahulu hanya merupakan pengadilan banding. akan tetapi bukan saja atas keputusan-keputusan Tihoo Hooin melainkan atas keputusan dan semua hakim-hakim tingkat pertama. Selain dari itu Kootoo Hooin melakukan pengawasan disiplin terhadap semua pengadilan-pengadilan tingkat pertama, seperti yang dimaksud dalam Pasal 157 R.O. juga berkuasa mengadili perselisihan tentang kekuasaan mengadili (junisdictiegeshillen) tersebut dalam Pasal 127, dan sepanjang mengenai Kootoo Hooin di Jakarta, juga jurisdictiegeschillen, yang tersebut di dalam R.O. Pasal 162. Kootoo Hooin mengadili perkara dengan seorang Hakim, kecuali jika Ketua Pengadilan ini menentukan bahwa di dalam perkara perkara yang tertentu harus diadili dengan tiga orang Hakim. Hukum acara yang digunakan untuk pengadilan pengadilan distrik, kabupaten dan untuk pengadilan negeri: H.I.R., dan untuk Hakim kepolisian: Landgerechtreglement. Dalam pemeriksaan ulangan oleh Kootoo Hooin, mengikuti aturan yang ditetapkan dalam Osamu Sei Hi Nomor 1573 Tahun 1942. Menurut keterangan di dalam Penjelasan dan Undang-Undang Nomor 20
Tahun
1947,
maka
dengan
Osamu
Sei
Hi
tersebut
tadi
dimungkinkan pemeriksaan ulangan atas segala keputusan dan semua pengadilan-pengadilan tingkat pertama, sehingga dengan
36
demikian Hakim kabupaten dan pengadilan negeri tidak melakukan peradilan dalam tingkat kedua.
c. Setelah Indonesia Merdeka. a) Orde Lama. Pada masa orde lama terjadi permasalahan mengenai status jabatan Hakim. Permasalahan tersebut diwarnai oleh pandangan politik rezim yang berkuasa saat itu yang menempatkan Presiden sebagai peran utama. Pada masa orde lama, fungsi kehakiman pada
umumnya,
dan
jabatan
Hakim
pada
khususnya,
termarginalkan dari kekuasaan negara yang didominasi oleh eksekutif. Pengaruh pertentangan yang terjadi di antara para Hakim, jaksa,
dan
polisi,
serta
mengenai
perkembangan
lembaga
peradilan dimasa pasca revolusi dan mengenai kondisi yang akan mempengaruhi hasil akhirnya. Pertentangan dibidang organisasi kehakiman terdiri dari 2 (dua) permasalahan:92 1. Pertentangan antara Hakim dan jaksa menyangkut prestise, apakah para jaksa harus diberi kedudukan dan gaji yang sama dengan Hakim atau tidak; dan 2. Pertentangan mengenai prestise dan status serta pembagian kekuasaan substantif antara pihak kepolisian dan badan penuntut umum. Dalam
sistem
peradilan
Indonesia
saat
itu,
keberadaan
penuntut atau jaksa atau officer van justitie pribumi adalah bagian dari
pamongpraja
(bawahan
asisten
residen).
Pada
zaman
kemerdekaan, penuntut umum mewarisi organisasi officer van justitie, tetapi dengan tanggung jawab jaksa yang terbatas. Setelah kemerdekaan, kebanyakan pegawai mengorganisasi diri untuk memperbaiki posisi mereka, dan penuntut umum ada di barisan depan. Walaupun tidak secara eksplisit, persatuan jaksa berupaya menegakkan prestise, harga diri, dan arti penting penuntut umum yang di masa kolonial tidak mereka punyai. Sebaliknya, Hakim merasa tidak perlu mengorganisasi dirinya, sehingga prestise dan keberadaannya menurun dibanding dengan para pemimpin politik, kurang dihargai, gedung pengadilan kurang terawat, dan kurang mendapatkan fasilitas yang layak (tidak memperoleh perumahan yang pantas dan kekurangan kendaraan untuk memperlancar tugas).
92
Daniel. S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia ..., op.cit., hlm. 38
37
Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1948 menciptakan aturan gaji PNS yang susunan peringkat dan perbedaan gajinya sesuai dengan peraturan Hindia Belanda. Ketua Mahkamah Agung dan Jaksa Agung memperoleh pangkat dengan gaji yang sama, tetapi untuk setiap tingkat di bawahnya para Hakim memperoleh satu atau lebih yang peringkatnya di atas jaksa. Pada tahun 1951, para jaksa tidak sependapat dengan aturan tersebut dan setelah melakukan koordinasi dalam lembaga kejaksaan,
mereka
memberi
informasi
kepada
Kementerian
Kehakiman dan Badan Kepegawaian Negeri, bahwa mereka tidak hanya menginginkan gaji yang lebih tinggi, tetapi juga kesamaan gaji dan peringkat dengan Hakim dan peraturan mengenai kepegawaian negeri yang baru yang akan dirancang. Pada tahun 1952 para Hakim di Jawa mulai mengorganisasi diri dan pada bulan Mei tahun 1953 Ikatan Hakim didirikan. Hakim Soerjadi selaku Ketua Pengadilan Semarang pada saat itu, dipilih sebagai Ketua Badan Pelaksana Ikatan Hakim. Ikatan Hakim memiliki kelemahan politis yaitu tidak ikutnya para Hakim Agung didalam Ikatan Hakim serta Hakim agung tidak memberikan dukungan penuh. Hakim pengadilan negeri dan Hakim pengadilan tinggi berinisiatif mengorganisasi diri karena merasa kemerosotan prestise dan penurunan taraf hidup setelah adanya tuntutan dari para jaksa tersebut. Namun demikian, Wirjono Prodjodikoro selaku Ketua Mahkamah Agung dan sejumlah Hakim yang sudah menjabat sebagai Hakim sejak sebelum perang menyatakan bahwa Hakim dilarang bertengkar di depan umum demi menjaga martabatnya.93 Pada tahun 1953 sampai dengan tahun 1956, Hakim dan jaksa memberikan
alasan
mereka
di
depan
Parlemen,
Menteri
Kehakiman, Badan Kepegawaian Negeri, dan dalam batas yang tidak luas di depan khalayak ramai. Perdebatan antara para Hakim dan jaksa dibagi dalam 3 (tiga) pokok:94 1. Beban Kerja Para Hakim mengemukakan bahwa beban kerja para Hakim menangani persoalan pidana maupun perdata, sementara para penuntut hanya berhubungan dengan persoalan pidana. Menurut para Hakim persoalan perdata dari sudut teknik jelas jauh lebih sulit, sementara para Jaksa yang dipimpin oleh Umar Seno Adji (Direktur Penelitian Pidana di Kejaksaan Agung) mengemukakan, bahwa sejak revolusi 93 94
Ibid., 39 Ibid., hlm.41-42.
38
semakin bertambah besar kewajiban para jaksa dan menyebabkan para jaksa sama pentingnya dengan para Hakim karena selain menjalankan fungsi jaksa dan sekaligus sebagai officer van justitie, termasuk kewajiban parquet kolonial Belanda di bidang hukum perdata, misalnya yang berkenan dengan aturan perkawinan dan perwalian berdasar hukum Eropa dan juga mengawasi fungsi polisi, baik yang bersifat represif maupun preventif. 2. Tanggung Jawab Hakim Persoalan tanggung jawab tergantung pada kekurangan yang mencolok dalam hukum acara, kekurangan yang terdapat dalam ketentuan HIR yang menyatakan bahwa para Hakim sendiri harus menulis tuntutan formal dari bahanbahan yang dihimpun oleh penuntut dalam pemeriksaan pendahuluan Jaksa Agung Suprapto, mendorong agar penuntut di pengadilan untuk mencoba menuliskan rancangan tuntutan, untuk membiasakan, tetapi ia yakin bahwa kebanyakan penuntut tidak mempunyai pendidikan yang cukup dalam penyusunan tuduhan. Jika mereka dipaksa untuk melakukannya, maka akan banyak penjahat yang akan bebas sebagai akibat kesalahan dalam prosedur acaranya (para Hakim juga sangat keberatan bila para penjahat memetik keuntungan, dan akhirnya para Hakim cenderung bersikap bekerja sama dengan penuntut). 3. Asas Konstitusional Dalam dengar pendapat pada komisi hukum di parlemen, Lukman Wiriadinata sebagai anggota komisi dan mantan Menteri Kehakiman memihak kepada para Hakim dan mengemukakan bahwa konstitusi memberi tempat istimewa bagi badan kehakiman dalam pemerintahan, sehingga bukan siapa yang bekerja paling berat, tetapi karena berdasarkan konstitusi. Dalam
Pasal
24
ayat
(1)
Undang-Undang
Dasar
1945
dinyatakan bahwa, “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undangundang.” Pasal 24 ayat (2) menyatakan bahwa, “Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan undangundang.” Pasal 25 menyatakan bahwa, “Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diperhentikan sebagai Hakim ditetapkan dengan undang-undang.” Independensi
peradilan
saat
itu
tidak
diakui.
Tidak
mengherankan jika Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 mengenai Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman secara eksplisit menempatkan kedudukan lembaga kekuasaan kehakiman sebagai subordinasi Presiden sebagai pemimpin besar revolusi
dan
Presiden
secara
legal
dapat
mengintervensi
kekuasaan Hakim dalam memutus perkara. Puncak pelemahan kedudukan kehakiman pada masa orde lama terjadi ketika Presiden Soekarno menepatkan Ketua Mahkamah Agung sebagai Menteri Kabinet dengan 3 (tiga) pangkat yaitu sebagai Menteri 39
Penasihat Hukum Presiden, merangkap sebagai Menteri/Ketua Mahkamah
Agung
dan
merangkap
pula
sebagai
Menteri
Kehakiman.
b) Orde Baru Setelah orde lama jatuh dan orde baru berkuasa, dilakukanlah berbagai upaya untuk meninjau kembali UU No. 19 Tahun 1964. Upaya-upaya
tersebut
kemudian
menghasilkan
status
kepegawaian Hakim yang baru sebagaimana diatur secara tidak langsung dalam UU No.14 tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman dan khususnya dalam UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Kepegawaian.
Dalam
UU
No.
8
tahun
1974
ditegaskan bahwa status negara dan status hakim pengadilan di bawah Mahkamah Agung adalah PNS. Meskipun status hakim adalah PNS, sejak awal UU No.14 tahun 1970 menegaskan bahwa hakim adalah jabatan vang berbeda (tidak sepenuhnya sama) dengan
PNS
lainnya.
Ada
beberapa
pengkhususan
dalam
pembinaan SDM hakim. Pasal 32 UU No.14 tahun 1970 tersebut menyatakan secara tegas bahwa “hal-hal yang mengenai pangkat, gaji dan tunjangan Hakim diatur dengan peraturan tersendiri.” Walau telah ada beberapa pengkhususan bagi jabatan hakim sebagaimana diatur dalam UU Peradilan Umum, Tata Usaha Negara, Agama, dan Peradilan Militer namun pengkhususan sebagaimana diamanatkan dalam UU No.14 tahun 1970 tersebut baru direalisasikan mulai tahun 1994. Dalam Pasal 1 Undang-Undang No.14 Tahun 1970 menyatakan bahwa Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Dalam Pasal 2 UndangUndang No. 14 Tahun 1970 menyatakan bahwa, Penyelenggaraan kekuasaan Kehakiman tercantum dalam pasal 1 diserahkan kepada badan-badan Peradilan dan ditetapkan dengan undangundang, dengan tugas pokok menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya.
c) Pasca Reformasi. Sesungguhnya seorang hakim dalam melaksanakan tugasnya sama sekali tidak boleh dibayang-bayangi oleh rasa ketakutan, kekhawatiran maupun kebimbangan lahir maupun batin yang 40
diakibatkan oleh tekanan-tekanan secara psikis maupun fisik dari luar maupun dari dalam. Di Indonesia kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bertanggung jawab seringkali diidentikkan dengan kebebasan
daripada
pembinaan
yang
kekuasaan
dilakukan
dua
eksekutif atap
sebagai
antara
akibat
Departemen
Kehakiman dan Mahkamah Agung yang akhimya dualisme ini diakhiri dengan keluarnya Undang-Undang No. 35 Tahun 1999 dimana yang terpenting menentukan ada pada Pasal 11 dan Pasal 11A Undang-Undang No. 35 Tahun 1999. Undang-undang
No.
35
Tahun
1999
tersebut
memang
bermaksud untuk menghilangkan pengaruh eksekutif terhadap badan
yudikatif.
Sudah
banyak
terjadi
dimana
aparatur
Pemerintah sebagai suatu pihak yang berkepentingan dalam suatu perkara secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi Hakim
Indonesia
melalui
tangan-tangan
dari
Departemen
Kehakiman. Mahkamah
Agung
adalah
lembaga
tinggi
negara
yang
memegang kekuasaan negara di bidang kehakiman yang merdeka dan pengaruh kekuasaan negara yang lain, dengan landasan ideal pertama bertanggungjawab terhadap hati nurani, terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan public accountable. Oleh karena ada prinsip public accountable
disamping bertanggungjawab kepada hati
nurani dan Tuhan Yang Esa, maka hakekat kekuasaan kehakiman yang
merdeka
dan
bertanggungjawab
artinya
juga
bertanggungjawab kepada publik yang tentunya tidak dapat terlepas dari semangat reformasi dan supremasi hukum. Dalam penjelasan UUD 1945 dengan tegas memperingatkan bahwa Negara Republik Indonesia bukan negara kekuasaan tetapi negara hukum. Akan tetapi sebelum reformasi, yaitu di era masa lalu, dalam paradigma lama kekuasaan sangat menonjol sejak itu mulai bergeser dari negara hukum menjadi negara kekuasaan, dan
hukum
ditempatkan
semata-mata
untuk
kepentingan
kekuasaan. Perlu merubah sikap mental lama menjadi sikap mental yang baru, yaitu sikap mental reformasi dengan sikap dasar dan arah yang jelas, seorang Hakim reformis dijajaran Mahkamah Agung harus memiliki sarana untuk menjunjung tinggi kode etik profesi Hakim. Oleh karena itu Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) sudah menghidupkan kembali Dewan Kehormatan Hakim untuk menjaga Kehormatan Hakim. tetapi bukan saja kode etik Hakim yang harus 41
ditegakkan, namun simultan juga dengan kode etik Advokat, kode etik Jaksa dan kode etik Polisi, serta melakukan sistem peradilan yang terpadu. Amanat MPR RI dalam Ketetapan MPR No. VIII/MPR/2000 yaitu untuk menerapkan asas-asas sistem peradilan terpadu (integrated judiciary system). Namun demikian sampai sekarang masih
terdapat
pengkotak-kotakan
wewenang
antara
aparat
penegak hukum dalam proses peradilan, sehingga berakibat proses peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan tidak tercapai,
dan
wewenang
membuka
dalam
peluang
proses
terjadinya
peradilan
yang
penyalahgunaan mengakibatkan
pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia dalam proses peradilan.
3. Masalah-masalah hakim di Indonesia Sebelum pada akhirnya dinyatakan sebagai pejabat negara, jabatan Hakim pada awalnya berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Hal ini dinyatakan dalam Pasal 2 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (UU Pokok-Pokok Kepegawaian). Dalam undang-undang yang saat ini sudah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dengan UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN), dinyatakan bahwa Pegawai Negeri Sipil terdiri dari Pegawai Negeri Sipil Pusat, Pegawai Negeri Sipil Daerah, dan Pegawai Negeri Sipil lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Selanjutnya dalam penjelasan pasal tersebut dijelaskan lebih lanjut bahwa Hakim pada Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan lain-lain adalah Pegawai Negeri Sipil Pusat. Bagi hakim karier (Hakim di Peradilan Tingkat Pertama, Tingkat Banding, dan Hakim Agung) secara keseluruhan berasal dari Pegawai Negeri Sipil. Penggunaan istilah hakim karier dikarenakan bagi Hakim agung di Mahkamah Agung (MA) ada Hakim agung yang nonkarier yang memang dimungkinkan sebagaimana diatur dalam UU No. 14 Tahun 1985
tentang
pengabdiannya
Mahkamah sebagai
Agung.
Hakim
Hakim
Tingkat
karier
Pertama
pasti dimana
memulai secara
keseluruhan direkrut dari PNS sebagaimana diatur dalam Pasal 14 Ayat 1 huruf e UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU Peratun) yang menyatakan “untuk dapat diangkat sebagai hakim, seorang calon harus memenuhi syarat-syarat pegawai negeri”. Begitu pula dalam dinyatakan dalam ketentuan Pasal 11 ayat (3) UU No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas UU Pokok-Pokok Kepegawaian
42
berikut penjelasannya yang menyatakan Hakim merupakan pejabat negara tertentu dari PNS. Status jabatan Hakim mulai berubah pertama kali menjadi “pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman” semenjak keberlakuan UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman) yakni dalam Pasal 19 yang menyatakan bahwa “Hakim dan hakim konstitusi adalah pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang”. Adapun kemudian dalam Pasal 31 juga dinyatakan secara tegas bahwa lingkup Hakim yang merupakan pejabat negara yang melaksanakan kekuasaan kehakiman pun termasuk Hakim pada badan peradilan di bawah MA. Perubahan status jabatan Hakim dari yang semula awalnya adalah PNS juga ditegaskan terakhir dalam UU ASN yakni dalam Pasal 122 yang menyatakan bahwa hakim pada semua badan peradilan adalah pejabat negara, kecuali hakim ad hoc. Pemberian
status
“pejabat
negara”
pada
jabatan
hakim,
dari
sebelumnya sebagai PNS, didasari pemikiran bahwa hakim adalah personil yang menyelenggarakan kekuasaan di bidang yudikatif dan bukan di bidang eksekutif sehingga status yang melekat pada hakim bukan PNS. Status hakim sebagai PNS sangat memungkinkan terjadinya intervensi
atas
kebebasan
hakim
karena
persoalan
struktural,
psikologis, dan watak korps serta birokrasi yang membawa atau menuntut ikatan tertentu.95 Kemandirian hakim dalam negara hukum (rechtstaat) adalah mutlak.96 Hal ini sesuai dengan prinsip “The International Commission of Jurist” yaitu peradilan bebas dan tidak memihak (independence and impartiality of judiciary).97 Pentingnya kemandirian Hakim pun dinyatakan oleh Zainal Arifin Hoesein dalam bukunya Kekuasaan Kehakiman di Indonesia yang mengutip ulasan penting dari Daniel S. Lev yakni:98
“... bahwa para hakim Indonesia dengan beberapa pengecualian, tidak cenderung mempunyai bekal semangat kemandirian fungsional pada waktu mereka merasa bahwa mereka adalah pegawai negeri, pejabat atau ketika mengidap perasaan lain seperti itu, yaitu menjadi bagian dari lapisan birokrasi yang menajdi tempat melekatnya status yang tinggi. Para Hakim Indonesia tidak jauh berbeda dengan hakim pada sistem civil law. Salah satu 95
Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum Menegakkan Konstitusi, (Jakarta: LP3ES, 2006), hal. 103. 96 Ibid. 97 Ibid. 98 Zainal Arifin Hoesein, Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, (Yogyakarta: Imperium, 2013), hal. 119, sebagaimana mengutip pemikiran Daniel S. Lev dalam bukunya berjudul Hukum dan Politik di Indonesia-Kesinambungan dan Perubahan, (Jakarta: LP3ES, 1990) hal 378-379.
43
implikasi peranan pegawai negeri adalah dikaitkan peranan itu secara patrimonial dengan kepemimpinan politik, dimana terhadap kehendak pada pemimpin itulah yang, disamping dasar-dasar lain, telah mengatasi persoalan kemandirian badan kehakiman. Apapun pengaruh sehari-hari tanggung jawab Kementerian Kehakiman, pengaruh tersebut secara simbolis penting sebagi peringatan akan terbatasnya secara konseptual otonomi dan arah kesetiaan badan peradilan. Dalam kaitan ini dapat dilihat implikasi kemandirian badan peradilan terhadap konsep-konsep negara hukum yang terus berkembang, yang versi liberalnya menuntut adanya suasana hukum yang ‘otonom‘ dan menjadi alasa berbijaknya otonomi pengadilan. Pencegahan konsep diatas masih tetap merupakan konsepsi yang lebih kuat yakni konsepsi kesatuan kekuatan politik dan primacy mengenai kepentingan kepemimpinan politik di Indonesia”.
Adapun
status
jabatan
Hakim
sebagai
jabatan
Hakim
pasca
keberlakukan UU ASN masih duplikasi dengan PNS, hal ini dikarenakan sebagaimana diatur dalam Pasal 139 UU ASN dinyatakan bahwa semua peraturan
perundang-undangan
yang
merupakan
peraturan
pelaksanaan dari UU Pokok-Pokok Kepegawaian beserta perubahannya, dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan UU ASN ini. Konsekuensi dari pasal 139 UU ASN tersebut ini adalah masih berlakunya Peraturan Pemerintah No. 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim (PP tentang Keuangan dan Fasilitas Hakim) yang mengatur soal kenaikan gaji dan tunjangan bagi Hakim. Sebagai contoh, dalam Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 11 PP tentang Keuangan dan Fasilitas Hakim tersebut tidaklah sinkron dengan pengaturan yang berlaku saat ini di UU ASN mengenai status jabatan Hakim sebagai pejabat negara, karena strukur gaji dan tunjangan bagi hakim masih sama dengan PNS. Dalam Pasal 3 ayat (2) dinyatakan bahwa ”ketentuan dan besaran gaji pokok Hakim sama dengan ketentuan dan besaran gaji pokok pegawai negeri sipil”, begitu juga dalam Pasal 11 yang menyatakan bahwa “hakim diberikan hak pensiun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pensiun pegawai negeri sipil”. Masih berlakunya PP tentang Keuangan dan Fasilitas Hakim tersebut memunculkan persoalan yakni dualisme status jabatan hakim yakni sebagai PNS dan sebagaimana diatur terakhir dalam UU ASN yakni sebagai PNS. Hal yang sama juga terkait mengenai pensiun karena dalam PP tentang Keuangan dan Fasilitas Hakim, pensiun bagi Hakim yakni baik itu di Peradilan Umum, PTUN, maupun Pengadilan Agama di di berbagai tingkatan masih mengikuti pola pensiun bagi PNS bukan pensiun bagi pejabat negara. Oleh karena itu, sebagaimana amanat Pasal 122 huruf e yang menegasakan status Hakim sebagai pejabat 44
negara, maka perlu kiranya diwujudkan suatu undang-undang khusus yang mengatur mengenai jabatan bagi Hakim karena saat ini beberapa aspek
terkait
jabatan
hakim
seperti
pengangkatan
hakim,
hak
keuangan, jenjang karier/kepangkatan, dan fasilitas masih mengikuti standar aturan bagi PNS. Harus ada jaminan bagi para hakim itu bahwa jabatan mereka dengan tugas-tugas pokoknya yang sangat berat maka mereka harus mendapat jaminan bahwa:99
1. Mereka dilindungi, jangan sampai ketika menjatuhkan putusan yang tidak berkenan kepada salah satu pihak lalu pihak itu mencaci maki dan sebagainya. 2. Lalu ada jaminan juga jangan sampai hakim di beberapa daerah tidak mempunyai rumah, tidak diberikan rumah dinas, jadi hakim tersebut harus menyewa padahal tunjangan perumahan dan sebagainya jaminannya tidak cukup. Di negara lain juga masih ada jabatan hakim yang miskin, tetapi kita tidak boleh membandingkan dengan Negara Kamboja, Negara Vietnam yang hakim itu memperoleh gaji kecil karena hakim tidak boleh terganggu dengan beban hidup yang berlimpah.100 Sudah diberlakukan perbaikan penghasilan hakim yang mana pelaksanaannya untuk hakim Pengadilan Negeri serta hakim Pengadilan Tinggi sudah lebih dahulu memperoleh. Hal ini dahulu dikenal dengan nama remunerasi lalu diganti menjadi tunjangan jabatan. Sejak tanggal 1 Juli 2015 dengan Keputusan Hakim Agung, hal ini juga berlaku bagi hakim agung. Perlu diperhatikan perbaikan gaji hakim, kalau untuk rekrutmen maupun kepegawaian bagi hakim pengaturannya berbeda. Rekrutmen hakim agung harus dilakukan bersama-sama Komisi Yudisial. Kalau hakim tingkat I (Pengadilan Negeri) rekrutmennya dilakukan secara biasa.101 Praktik di luar negeri yaitu Amerika dan Belanda, jabatan hakim agung akan melekat seumur hidup seperti fasilitas-fasilitas, gaji yang cukup tinggi, sehingga pensiun juga mendapat dana pensiun yang cukup tinggi. Hakim di Indonesia ketika sudah selesai praktiknya sebagai hakim maka kembali kepada pensiunnya yang PNS.102 Kalau mengenai hakim agung lebih baik lebih banyak mendengar ke Mahkamah Agung. Hakim Sarpin kalau menurut jenjangnya harusnya sudah menjadi Ketua Pengadilan Negeri Kelas IA tetapi pimpinan Mahkamah Agung melihat kalau Hakim Sarpin diberi kekuasaan sebagai 99
Laporan pengumpulan data dengan Prof. Komariah Emong Sapardjaja di FH Unpad, Bandung, 17 Januari 2016. 100 Ibid. 101 Ibid., hal.9. 102 Ibid., hal.11.
45
Ketua Kelas I tipe A/tipe khusus, Prof. Dr. Komariah E. Sapardjadja, S.H. tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi. Lebih baik jadi hakim anggota, tim tinggi anggota yang tidak punya struktural apa-apa. Hal ini menunjukkan bahwa Mahkamah Agung itu tahu siapa hakim yang baik dan siapa hakim yang tidak baik karena Badan Pengawas Mahkamah Agung bekerja lebih teliti daripada Komisi Yudisial.103 Ada satu hal yang tidak bisa dipungkiri bahwa hakim itu kenaikan strukturalnya dilihat dari putusan-putusannya. Lebih lanjut ada fit & proper test dimana ketika sedang dalam proses fit & proper test itu hakim tersebut
membawa
putusannya
yang
terbaik
dan
harus
dipertanggungjawabkan.104
4. Pengaturan Hakim Militer di Indonesia Lingkungan Peradilan Militer memang berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung, namun Peradilan Militer memiliki kekhususan dari segi manajemen hakimnya. Oleh karena itu, Peradilan Militer telah diatur secara spesifik manajemen hakimnya dalam UU Peradilan Militer. Kekhususan Peradilan Militer antara lain: 1. Kewenangan peradilan pidana bagi prajurit militer bersifat arbiter, yaitu disandarkan pada status pelaku sebagai militer dan ditentukan secara sepihak oleh militer.105 2. Dalam UU Peradilan Militer terdapat jenjang peradilan atas dasar tinggi rendahnya pangkat prajurit yang dijadikan sebagai terdakwa, oditur, hakim, dan panitera. Hal ini tampak ketika:106 a. Pengadilan
Militer
memeriksa
dan
memutus
pada
tingkat
pertama terhadap terdakwa prajurit dengan pangkat kapten ke bawah, maka dengan oditur dan hakim paling rendah berpangkat Kapten. b. Pengadilan Militer Tinggi memeriksa dan memutus pada tingkat pertama terhadap terdakwa prajurit dengan pangkat mayor ke atas, maka dengan oditur dan hakim paling rendah berpangkat Letnan Kolonel. Jadi dalam Peradilan Militer, pengadilan yang akan memeriksa dan memutus tindakan pelanggaran terhadap ketentuan pasal yang sama dibedakan berdasarkan pangkat terdakwanya. 103
Ibid., hlm.9-10. Ibid., hal. 10. 105Naskah Akademik Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer, Indonesian Working Group on Security Sector Reform, Difasilitasi oleh ProPatria Jakarta, 8 sampai dengan 10 September 2002, mohammadrustamaji.staff.hukum.uns.ac.id/.../makalah-diskusi-hukum-p..., diunduh pada tanggal 26 Januari 2016 106 Ibid., 104
46
3. Model administrasi peradilan militer yang eksklusif, baik dalam peradilan pidana militer maupun peradilan tata usaha militer.107 4. Kewenangan Perwira Penyerah Perkara (Papera) pada institusi militer untuk menentukan proses peradilan termasuk untuk menentukan kewenangan peradilan yang menangani masalah pidana umum yang dilakukan oleh militer. 5. Kewenangan
institusi
militer
untuk
mengambil
keputusan
penghukuman yang dilakukan oleh Atasan yang Berhak Menghukum (Ankum) terhadap prajurit yang melakukan tindak pidana tanpa proses peradilan dibatasi pada pelanggaran disiplin militer.108 6. Tidak adanya pembatasan status keprajuritan yang berakibat terhadap perluasan kewenangan mengadili mantan militer.109 7. Hakim Militer diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Ketua
Mahkamah
Agung
berdasarkan
persetujuan
Panglima
TNI. Pengangkatan pertama sebagai hakim pada tingkat pertama oleh Presiden. Permasalahannya Pengangkatan menjadi hakim pada tingkat banding harus mendapat keputusan dari presiden. Demikian juga untuk menjadi Hakim Militer Utama, sehingga sampai 3 (tiga) kali pengajuan Keputusan Presiden (Keppres).110 8. Sistem penggajian Hakim Militer tidak diatur dalam peraturan pemerintah. Gaji hakim militer hingga saat ini masih mengikuti gaji bagi TNI, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2001 tentang Peraturan Gaji Anggota TNI. Sampai saat ini status Hakim Militer masih merupakan anggota TNI sebagaimana diatur dalam UU Peradilan Militer.111 9. Berdasarkan UU Peradilan Militer, sistem kepangkatan Hakim Militer merupakan urusan TNI yang tidak diserahkan kepada Mahkamah Agung sebagaimana hakim pada peradilan umum, tata usaha negara, dan agama. 10. Terdapat dualisme pembinaan hakim militer yaitu dibawah MA dan Panglima TNI. Berkaitan dengan tugas keprajuritan, pembinaan Hakim Militer di bawah Panglima TNI. Sebaliknya berkaitan dengan urusan peradilan, pembinaan hakim militer di bawah MA, termasuk soal sanksi, MA bisa memberikan sanksi jika menyangkut tugas peradilan.112 107
Ibid., Ibid., 109 Ibid., 110 Ibid., 111Gaji Hakim dan Gaji PNS, Posted on 10 April 2012 in, Berita MA, Rekam Media, www.pembaruanperadilan.net › Home › Berita MA, diunduh pada tanggal 26 januari 2016 112 http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol15447/jumlah-hakim-militer-kurang. Diunduh pada tanggal 14 Februari 2016, pukul 10.00 WIB. 108
47
5. Pengaturan Hakim ad hoc di Indonesia Keberadaan Hakim ad hoc dalam sistem peradilan Indonesia dimulai saat hakim ad hoc ditempatkan pada jajaran pengadilan tata usaha negara (PTUN). Secara historis Hakim ad hoc merupakan bentuk partisipasi dari luar peradilan yang berkedudukan sebagai hakim bersama-sama hakim karier untuk tujuan khusus yang sebenarnya sudah pernah dijalankan di Indonesia sebelumnya. Dengan kata lain hakim ad hoc yang secara konseptual keberadaannya untuk tujuan khusus (a special purpose) seperti dalam pengadilan pidana bukan merupakan hal baru dalam sejarah pengadilan di Indonesia. Dalam
masa
pemerintahan
kolonial
pada
pengadilan
negeri
(landraad) telah dikenal hakim ad hoc yang disebut dengan lid landraad. Hakim
tersebut
bukan
merupakan
hakim
karier
tetapi
anggota
masyarakat yang duduk bersama-sama hakim karier untuk mengadili suatu perkara pidana. Selain itu hakim ad hoc juga terdapat dalam peradilan perdamaian desa yang mendasarkan pada hukum masyarakat setempat di beberapa daerah di Indonesia. Konsep awal keberadaan Hakim ad hoc dalam PTUN adalah karena faktor perlunya keahlian dalam majelis Hakim ketika mengadili perkara. Sekitar tahun 1986, Hakim ad hoc pertama kali dimasukkan pada PTUN kemudian diikuti pada lingkungan peradilan umum dalam pengadilanpengadilan khususnya antara lain pengadilan Hak Asasi Manusia (pengadilan
HAM), pengadilan tindak
pidana
korupsi
(pengadilan
tipikor), dan pengadilan perikanan. Pengaturan mengenai hakim ad hoc diatur dalam undang-undang tersendiri. Hakim ad hoc pada pengadilan Hak Asasi Manusia diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Pengadilan HAM), hakim ad hoc pada pengadilan tindak pidana korupsi diatur dalam UndangUndang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (UU Pengadilan Tipikor), dan hakim ad hoc pada pengadilan perikanan diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (UU Perikanan). Dalam UU Pengadilan HAM, UU Pengadilan Tipikor, dan UU Perikanan diatur mengenai pengangkatan, masa jabatan, larangan rangkap jabatan, hak keuangan, dan/atau pemberhentian hakim ad hoc. Adapun kedudukan hakim ad hoc diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN). Berdasarkan UU ASN tersebut, hakim ad hoc tidak berkedudukan sebagai pejabat negara. 48
Kedudukan hakim ad hoc tersebut diperkuat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XII/2014 perihal pengujian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara terhadap UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Berdasarkan
Putusan
Mahkamah
Konstitusi
Nomor
32/PUU-
XII/2014 tersebut, Mahkamah Konstitusi (MK) menguatkan konsep bahwa hakim ad hoc tidak termasuk hakim yang dikategorikan sebagai pejabat negara. MK berpendapat bahwa pengangkatan hakim ad hoc dilakukan melalui serangkaian proses seleksi yang tidak sama dengan proses rekrutmen dan pengangkatan hakim sebagai pejabat negara pada umumnya. Selain itu, tujuan awal dibentuknya hakim ad hoc adalah untuk memperkuat peran dan fungsi kekuasaan kehakiman dalam menegakkan hukum dan keadilan yang sejalan dengan kompleksitas perkara yang ada. Hakim ad hoc merupakan hakim nonkarier yang mempunyai keahlian dan kemampuan untuk mengadili suatu perkara khusus. Hakim ad hoc dapat memberikan dampak positif ketika hakim ad hoc bersama hakim karier menangani sebuah perkara sehingga dalam putusan tersebut MK menilai bahwa Pasal 122 huruf e UU ASN tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Akan tetapi dalam pertimbangan putusan tersebut, MK berpendapat bahwa penentuan hakim ad hoc sebagai pejabat negara merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) yang sewaktu-waktu dapat diubah oleh pembentuk undang-undang. Dengan demikian penentuan kualifikasi pejabat negara yang dikecualikan untuk hakim ad hoc sepenuhnya merupakan kewenangan pembentuk undang-undang.113 Selanjutnya mengenai Hakim ad hoc yang ada di pengadilanpengadilan
khusus
di
lingkungan
peradilan
umum
antara
lain
pengadilan Hak Asasi Manusia (pengadilan HAM), pengadilan tindak pidana korupsi (pengadilan tipikor), dan pengadilan perikanan dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Hakim ad hoc pada Pengadilan HAM Pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum UU Pengadilan HAM diundangkan, diperiksa dan diputus oleh pengadilan HAM ad hoc. Pengadilan HAM ad hoc tersebut dibentuk dengan Keputusan Presiden atas usul DPR RI berdasarkan pada dugaan telah terjadinya pelanggaran HAM berat yang dibatasi pada locus dan tempus delicti yang
terjadi
sebelum
diundangkannya
UU
Pengadilan
HAM.
113 Mahkamah Konstitusi, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUUXII/2014, Pengujian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 20 April 2015, hlm. 111-112.
49
Pengadilan HAM ad hoc tersebut berada di lingkungan peradilan umum. Pada saat ini, praktik pengadilan HAM dari tingkat pertama, banding, dan kasasi telah diatur dalam UU Pengadilan HAM. Pemeriksaan dilakukan oleh majelis hakim yang terdiri dari 5 (lima) orang. Di antara 5 (lima) orang tersebut, sebanyak 2 (dua) orang merupakan hakim karier dan 3 (tiga) orang merupakan hakim ad hoc. Selain itu diatur juga bahwa hakim ad hoc sekurang-kurangnya 12 orang di pengadilan tingkat pertama, 12 orang di pengadilan tinggi, dan 3 (tiga) orang di tingkat kasasi. Hakim ad hoc dalam pengadilan HAM diangkat untuk masa kerja 5 (lima) tahun dan hanya untuk satu kali masa jabatan.114 Majelis hakim pengadilan HAM diketuai oleh hakim karier pengadilan HAM. Hakim ad hoc merupakan hakim yang diangkat dari luar Hakim karier yang memenuhi persyaratan profesional, berdedikasi dan berintegritas tinggi, serta memahami dan menghormati Hak Asasi Manusia. Syarat untuk dapat diangkat menjadi Hakim ad hoc pada pengadilan HAM salah satunya adalah memiliki pengetahuan dan kepedulian di bidang Hak Asasi Manusia. Syarat tersebut adalah syarat yang spesifik untuk menjadi Hakim ad hoc di pengadilan HAM. Artinya syarat ini tidak ada untuk Hakim ad hoc di pengadilan lain. Hakim ad hoc dan hakim karier dalam permusyawaratan untuk mengambil keputusan mempunyai hak suara yang sama. Setiap anggota majelis hakim termasuk Hakim ad hoc dapat tidak setuju dengan suatu putusan. Ketidaksetujuan itu dituangkan secara tertulis dan merupakan bagian putusan yang disebut disenting opinion. Dalam UU Pengadilan HAM, tidak dikenal bentuk concuring opinion yakni setuju
dengan
putusan
tetapi
dengan
alasan
yang
berbeda.
Permusyawaratan (deliberation) dalam mengambil keputusan tidak diatur prosesnya dalam UU Pengadilan HAM. Oleh karena itu mengikuti
ketentuan
Pasal
182
KUHAP.
Sejak
dibentuknya,
pengadilan HAM telah mengadili kasus-kasus yang dikenal umum dengan kasus Tanjung Priok, kasus Timor Timur, dan kasus Abepura.
b. Hakim Ad hoc pada Pengadilan Tipikor Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK), dibentuk pengadilan tipikor yang berada di lingkungan peradilan umum.
114 Pasal 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33 UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
50
Pengadilan tipikor bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh KPK.115 Oleh karena itu ada 2 (dua) pengadilan yang berwenang mengadili tindak pidana korupsi yaitu pengadilan negeri dan pengadilan tipikor. Perbedaannya hanya pada instansi mana yang mengajukan, KPK atau kejaksaan. Hakim ad hoc pada pengadilan tipikor mulai ada pada tahun 2003. Dalam mengadili suatu perkara, jumlah Hakim ad hoc lebih banyak dari Hakim karier dalam pengadilan tipikor. Prinsip ini merupakan prinsip umum untuk pengadilan yang menggunakan model kolaboratif. Dalam pengadilan tipikor, tidak ditentukan secara tegas bahwa majelis Hakim kolaboratif dipimpin oleh hakim karier karena sesungguhnya dalam sistem hukum lain dimungkinkan juga majelis Hakim kolaboratif itu diketuai oleh Hakim ad hoc. Hakim ad hoc diangkat serta diberhentikan oleh Presiden atas usul ketua MA.116 Seleksi Hakim ad hoc, sama dengan hakim karier harus diumumkan terlebih dahulu kepada masyarakat.117 Bahwa berbeda dengan Hakim ad hoc dalam pengadilan HAM, dalam pengadilan tipikor, tidak diatur berapa lama masa jabatan Hakim ad hoc. Akan tetapi hanya diatur bila sudah diangkat harus “melepaskan jabatan struktural dan atau jabatan lainnya selama menjadi Hakim ad hoc.” Peran Hakim ad hoc pada pengadilan tipikor masih dilemahkan dengan aturan yang ada, karena aturan sebelumnya yaitu dalam UU KPK secara tegas menentukan peran dalam Hakim ad hoc dan secara tegas mengatur mengenai komposisi majelis Hakim yang memeriksa perkara tindak pidana korupsi pada pengadilan tipikor. Sebaliknya dalam aturan yang baru, yakni UU Pengadilan Tipikor, tidak menentukan secara tegas mengenai komposisi majelis Hakim karena hal tersebut dikembalikan kepada ketua pengadilan negeri (ketua pengadilan tipikor). Peranan Hakim ad hoc sama dengan Hakim karier, yaitu Hakim karier dan Hakim ad hoc bersama-sama memeriksa, mengadili, dan memutus perkara korupsi. Keberadaan Hakim ad hoc efektif dalam memberantas korupsi karena setiap unsur yang ada, mulai dari aturan, Hakim ad hoc, fasilitas dan birokrasi mendukung sepenuhnya untuk melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi meskipun
115 116 117
Pasal 53 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Pasal 56 ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Pasal 56 ayat (4) UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
51
ada sedikit kelemahan dalam hal pengetahuan Hakim ad hoc mengenai teknis persidangan yang masih kurang.
c. Hakim Ad hoc pada Pengadilan Perikanan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (UU Perikanan), dibentuk pengadilan perikanan yang berada di lingkungan peradilan umum. Sama dengan pengadilan
khusus
pidana
lainnya,
hukum
acara
pengadilan
perikanan bersifat lex specialis karena UU Perikanan juga mengatur hukum acara. Alasan dibentuk pengadilan khusus perikanan yaitu karena adanya penilaian bahwa sebelumnya penyelesaian kasus di bidang perikanan mengalami hambatan sehingga diperlukan metode penegakan hukum yang bersifat spesifik.118 pengadilan perikanan pertama kali dibentuk di lima pengadilan negeri yaitu Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Pengadilan Negeri Medan, Pengadilan Negeri Pontianak, Pengadilan Negeri Bitung, dan Pengadilan Negeri Tual. Juridiksi pengadilan perikanan tersebut sesuai dengan daerah hukum masing-masing pengadilan negeri yang bersangkutan.
Pengadilan
tersebut
khusus
diadakan
untuk
memeriksa tindak pidana di bidang perikanan.119 Pemeriksaan dalam pengadilan perikanan dibatasi waktunya. Dalam pemeriksaan tingkat pertama yaitu di pengadilan perikanan, putusan sudah harus dijatuhkan dalam tempo 30 hari sejak pelimpahan perkara dan dalam tempo yang sama pada tingkat banding di pengadilan tinggi dan kasasi di Mahkamah Agung, putusan sudah harus diputuskan sejak perkara diterima oleh Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung.120 Sama halnya dengan Hakim ad hoc di pengadilan HAM dan pengadilan tipikor, Hakim ad hoc di pengadilan perikanan juga diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
Pada saat ini terdapat beberapa undang-undang di luar UndangUndang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU MA) yang mengatur mengenai keberadaan Hakim ad hoc, khususnya Hakim ad hoc pada Mahkamah Agung yaitu UU Pengadilan HAM, UU KPK, dan
118
Penjelasan umum UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Pasal 71 ayat (1), (2), (3) UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. 120 Pasal 80 ayat (1), Pasal 82 ayat (1), Pasal 83 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. 119
52
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI). Dalam implementasinya telah direkrut sejumlah Hakim ad hoc untuk masing-masing pengadilan khusus tersebut yang bertugas menjadi anggota majelis Hakim di tingkat kasasi maupun peninjauan kembali. Berdasarkan sejarah tersebut, pengaturan mengenai keberadaan Hakim ad hoc di Mahkamah Agung dalam UU MA sebenarnya merupakan pengulangan dari UU Pengadilan HAM, UU KPK, dan UU PPHI. Dalam ketentuan Pasal 7 ayat 3 UU MA tersebut tidak diatur secara rinci mengenai kriteria, tanggung jawab, dan kewenangan dari Hakim ad hoc di tingkat Mahkamah Agung tetapi didelegasikan pengaturannya dalam undang-undang tersendiri. Selanjutnya jika diperhatikan secara seksama, ketentuan Pasal 7 ayat 3 UU MA tersebut justru membuat rancu apa yang dimaksud dengan Hakim ad hoc pada MA karena dalam Pasal 7 ayat 3 UU MA, rumusan yang dipergunakan adalah Hakim ad hoc, sedangkan dalam penjelasannya dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan Hakim agung ad hoc antara lain Hakim agung ad hoc hak asasi manusia berdasarkan UU Pengadilan HAM dan Hakim agung ad hoc dalam perkara tindak pidana korupsi berdasarkan UU KPK. Sementara dalam masing-masing undang-undang khusus dimaksud istilah yang dipergunakan adalah Hakim ad hoc pada mahkamah agung. Dengan demikian, terdapat 2 (dua) istilah yang berbeda, yaitu Hakim ad hoc pada Mahkamah Agung dan Hakim Agung ad hoc. Permasalahan hukum dapat muncul dari dua penggunaan istilah yang berbeda tersebut. Pertama, jika istilah yang dipergunakan adalah hakim agung ad hoc maka muncul pertanyaan, apakah seleksi hakim agung ad hoc tersebut merupakan kewenangan Komisi Yudisial (KY) mengingat dalam konstitusi dinyatakan bahwa hakim agung diseleksi oleh KY, sedangkan dalam masing-masing UU Pengadilan HAM dan UU KPK secara jelas dinyatakan bahwa proses pemilihan para hakim ad hoc pada mahkamah agung tersebut tidak melibatkan KY. Kedua, mengingat dalam UU MA secara tegas dinyatakan bahwa jumlah hakim agung sebanyak-banyaknya berjumlah 60 orang. Jika istilah yang dipergunakan adalah hakim agung ad hoc, apakah jumlah 60 tersebut termasuk juga jumlah Hakim ad hoc yang ada atau akan ada di Mahkamah Agung. Permasalahan tersebut merupakan implikasi akibat ketidakkonsistenan penggunaan istilah dalam UU MA khususnya terkait dengan Hakim ad hoc.
53
Keberadaan Hakim ad hoc diharapkan dapat menjawab kebutuhan hakim-hakim bersih. Persidangan dengan susunan majelis yang terdiri dari Hakim ad hoc dan Hakim karier telah mengeliminasi permasalahan moral Hakim karier. Akan tetapi, pada kenyataannya, tertangkapnya Hakim ad hoc oleh KPKsemestinya menyadarkan publik bahwa integritas Hakim ad hoc tidak di atas Hakim karier.
121
Ironisnya Hakim ad hoc
tersebut baru 1 (satu) atau 2 (dua) tahun menjadi hakim. Selain itu tidak adanya jenjang karier bagi Hakim ad hoc menjadikan MA dan KY kesulitan untuk memberikan sanksi saat menemukan pelanggaran kode etik ringan yang dilakukan oleh Hakim ad hoc.
6. Pengaturan mengenai Jabatan Hakim di Negara Lain Dalam Naskah Akademik ini akan dipaparkan pengaturan mengenai jabatan hakim di negara lain yang prioritasnya diurutkan terutama adalah perbandingan negara lain yang mengatur mengenai jabatan hakim dalam undang-undang tersendiri dan berikutnya adalah negaranegara yang mengatur mengenai jabatan hakim namun pengaturannya dimasukkan dalam undang-undang dengan judul lain. a. Negara-negara yang mengatur mengenai jabatan hakim dalam undang-undang tersendiri; 1) Kanada Kanada memiliki Undang-Undang tentang Jabatan Hakim secara tersendiri yang disebut dengan Judges Act 1985 yang diamandemen terakhir pada tahun 2015. Secara umum Judges Act merupakan suatu kodifikasi dari berbagai peraturan terkait hakim yang sebelumnya tersebar. Judges Act dibagi menjadi 3 (tiga)
bagian
besar
pengaturan,
pertama,
mengenai
Judges
(Hakim), kedua, mengenai Canadian Judicial Council (Dewan Yudisial Kanada), dan ketiga, mengenai Administration of Federal Judicial Affair (Urusan Administrasi Yudisial Federal). Manajemen hakim secara lengkap dan komprehensil diatur dalam Bagian I mengenai Hakim. Berikut ini penjelasan mengenai manajemen hakim yang diatur dalam Judges Act: a) Pengangkatan Dalam Pasal 3 Judges Act dijelaskan bahwa:
121
Hakim Pengadilan Tipikor Palu Resmi Ditahan KPK, dimuat dalam http://nasional.sindonews.com/read/781947/13/hakim-pengadilan-tipikor-palu-resmiditahan-kpk-1378900345, diunduh pada tanggal 03 Februari 2016, Pukul 13.00 WIB.
54
No person is eligible to be appointed a judge of a superior court in any province unless, in addition to any other requirements prescribed by law, that person (a) is a barrister or advocate of at least ten years standing at the bar of any province; or (b) has, for an aggregate of at least ten years, (i) been a barrister or advocate at the bar of any province, and (ii) after becoming a barrister or advocate at the bar of any province, exercised powers and performed duties and functions of a judicial nature on a fulltime basis in respect of a position held pursuant to a law of Canada or a province. Berdasarkan penjelasan di atas dijelaskan bahwa kecuali ditentukan
lain
oleh
undang-undang,
seseorang
harus
memenuhi persyaratan berikut untuk dapat menjadi hakim pada pengadilan tinggi di suatu provinsi manapun: (a) merupakan pengacara atau advokat pada suatu kantor hukum di suatu provinsi manapun; atau (b) selama 10 (sepuluh) tahun secara terus menerus telah: (i) menjadi pengacara atau advokat pada suatu kantor hukum di suatu provinsi manapun, dan (ii) setelah menjadi pengacara atau advokat pada suatu kantor
hukum
di
suatu
provinsi
manapun,
menjalankan dan melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman
secara
penuh
dan
memiliki
jabatan
berdasakan hukum Kanada atau peraturan daerah.
b)
Pembinaan Dalam Pasal 31 Judges Act
telah diatur mengenai
pembinaan hakim dari suatu tingkat pengadilan ke tingkat pengadilan yang lebih tinggi melalui mekanisme pemilihan. Jika seorang hakim hendak mengajukan diri ke suatu jenjang jabatan hakim , maka ia harus memberitahukan terlebih dahulu kepada Menteri Kehakiman Kanada. Adapun salah satu persyaratan yang harus dipenuhi adalah harus menjabat sebagai kepala pengadilan yang lebih rendah terlebih dahulu selama minimal 5 (lima) tahun berturut-turut.
c)
Pengawasan Bentuk pengawasan bagi hakim yang diatur dalam Judges Act adalah mengenai pengawasan terhadap kelalaian dalam
melaksanakan
kewajiban
(tidak
hadir
dalam 55
persidangan dan tidak membuat laporan hakim), memiliki profesi ganda, dan tambahan remunerasi. Pasal 54 Judges Act mengatur bahwa tidak boleh ada hakim yang dapat meninggalkan kewajibannya dalam periode: (1)
6 (enam) bulan atau kurang, selain dari persetujuan ketua pengadilan atau hakim senior dari pengadilan yang lebih tinggi.
(2)
lebih
dari
6
(enam)
bulan,
kecuali
mendapatkan
persetujuan dari Dewan Gubernur. Kelalaian
hakim
dalam
menghadiri
persidangan
akan
dilaporkan kepada Menteri Kehakiman. Sementara itu, ada kewajiban bagi hakim pada pengadilan yang lebih tinggi untuk membuat laporan hakim. Apabila hakim tersebut tidak membuat laporan hakim dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari, maka hakim di bawahnya dapat melaporkan kelalaian tersebut kepada Menteri Kehakiman Kanada. Berdasarkan Pasal 55 Judges Act, Hakim di Kanada tidak boleh secara langsung maupun tidak langsung, baik untuk dirinya maupun pihak lain, terikat pada profesi lain maupun bisnis di luar kewajiban yudisial, agar hakim secara khusus dapat membaktikan diri pada tugas-tugas yudisial. Sebagaimana dijelaskan dalam kutipan berikut ini:
No judge shall, either directly or indirectly, for himself or herself or others, engage in any occupation or business other than his or her judicial duties, but every judge shall devote himself or herself exclusively to those judicial duties. Pasal 57 ayat (1) Judges Act bagi
hakim
remunerasi.
untuk Pasal
mengatur mengenai larangan
mendapatkan tersebut
tambahan
menjelaskan
tunjangan
bahwa
kecuali
ditentukan lain dalam peraturan, maka tidak boleh seorang hakim menerima gaji, upah, remunerasi dan honor atau biaya lain dari tugas-tugasnya di bidang yudikatif dan eksekutif sebagaimana yang telah ditentukan oleh undangundang. Berikut ini kutipannya:
Except as provided in subsection (3), no judge shall accept any salary, fee, remuneration or other emolument or any expenses or allowances for acting in any capacity described in subsection 56(1) or as administrator or deputy of the Governor General or for performing any 56
duty or service, whether judicial or executive, that the judge may be required to perform for or on behalf of the Government of Canada or the government of a province d)
Perlindungan Hakim dalam menjalankan tugas dan kewenangannya perlu diberikan
perlindungan
dalam
berbagai
aspek.
Bentuk
perlindungan ini dapat berupa standar gaji yang layak, asuransi, fasilitas kesehatan, bahkan tunjangan hidup bagi keluarga jika hakim meninggal dunia. Kesejahteraan yang layak bagi hakim pada akhirnya dapat menjadikan hakim fokus pada pekerjannya, sehingga tidak tergoda pada tawaran dari luar yang dapat menganggu independensi hakim dalam memutus perkara. Judges Act mengatur secara rinci berbagai bentuk perlindungan bagi hakim tersebut, yaitu: (1) Gaji Judges Act
mengatur secara rinci gaji per tahun yang
didapatkan
oleh
masing-masing
hakim
pada
semua
tingkat peradilan di tiap daerah manapun. Berikut ini rangkumannya: Article 9
10
11
12
13
Court Supreme
Court
Judge’s Salaries of
(a) the Chief Justice of Canada, $370,300; and Canada (b) the eight puisne judges, $342,800 each. Federal Courts (a) the Chief Justice of the Federal Court of Appeal, $315,900; (b) the other judges of the Federal Court of Appeal, $288,100 each; (c) the Chief Justice of the Federal Court, $315,900; and (d) the other judges of the Federal Court, $288,100 each. Tax Court of Canada (a) the Chief Justice, $315,900; (b) the Associate Chief Justice, $315,900; and (c) the other judges, $288,100 each. Court of Appeal for (a) the Chief Justice and the Associate Chief Justice of Ontario, $315,900 Ontario and Superior each; Court of Justice (b) the 14 Justices of Appeal, $288,100 each; (c) the Chief Justice and the Associate Chief Justice of the Superior Court of Justice, $315,900 each; and (d) the 192 other judges of the Superior Court of Justice, $288,100 each. Court of Appeal and (a) the Chief Justice of Quebec, $315,900; Superior Court of (b) the 18 puisne judges of the Court of Quebec Appeal, $288,100 each; (c) the Chief Justice, the Senior Associate Chief Justice and the Associate Chief Justice of the Superior Court, $315,900 each; and (d) the 144 puisne judges of the Superior Court, $288,100 each.
57
14
Court of Appeal and Supreme Court of Nova Scotia
15
Court of Appeal and Court of Queen’s Bench of New Brunswick
16
Court
of
Appeal
for
Manitoba and of Her Majesty’s Queen’s
Court Bench
of for
Manitoba
17
Court of Appeal and Supreme
Court
of
British Columbia
18
Court of Appeal and Supreme
Court
of
Prince Edward Island
19
Court of Appeal and Court of Queen’s Bench for Saskatchewan
20
Court of Appeal and Court
of
Queen’s
Bench of Alberta
21
Supreme
Court
Newfoundland Labrador
of and
(a) the Chief Justice of Nova Scotia, $315,900; (b) the seven other judges of the Court of Appeal, $288,100 each; (c) the Chief Justice and the Associate Chief Justice of the Supreme Court, $315,900 each; and (d) the 23 other judges of the Supreme Court, $288,100 each (a) the Chief Justice of New Brunswick, $315,900; (b) the five other judges of the Court of Appeal, $288,100 each; (c) the Chief Justice of the Court of Queen’s Bench, $315,900; and (d) the 21 other judges of the Court of Queen’s Bench, $288,100 each. (a) the Chief Justice of Manitoba, $315,900; (b) the six Judges of Appeal, $288,100 each; (c) the Chief Justice, the Senior Associate Chief Justice and the Associate Chief Justice of the Court of Queen’s Bench, $315,900 each; and (d) the 31 puisne judges of the Court of Queen’s Bench, $288,100 each. (a) the Chief Justice of British Columbia, $315,900; (b) the 12 Justices of Appeal, $288,100 each; (c) the Chief Justice and the Associate Chief Justice of the Supreme Court, $315,900 each; and (d) the 81 other judges of the Supreme Court, $288,100 each. (a) the Chief Justice of Prince Edward Island, $315,900; (b) the two other judges of the Court of Appeal, $288,100 each; (c) the Chief Justice of the Supreme Court, $315,900; and (d) the three other judges of the Supreme Court, $288,100 each. (a) the Chief Justice of Saskatchewan, $315,900; (b) the six Judges of Appeal, $288,100 each; (c) the Chief Justice of the Court of Queen’s Bench, $315,900; and (d) the 29 other judges of the Court of Queen’s Bench, $288,100 each. (a) the Chief Justice of Alberta, $315,900; (b) the 10 Justices of Appeal, $288,100 each; (c) the Chief Justice and the Associate Chief Justice of the Court of Queen’s Bench, $315,900 each; and (d) the 57 other Justices of the Court of Queen’s Bench, $288,100 each. (a) the Chief Justice of Newfoundland and Labrador, $315,900; (b) the five Judges of Appeal, $288,100 each; (c) the Chief Justice of the Trial Division, $315,900; and (d) the 18 other judges of the Trial Division, $288,100 each.
58
22
Supreme
Court
of
Yukon Supreme Court of the Northwest Territories Nunavut
Court
of
Justice
(a) the senior judge, $315,900; and (b) the other judge, $288,100. (a) the senior judge, (b) the two other each. (a) the senior judge, (b) the four other each.
$315,900; and judges, $288,100 $315,900; and judges, $288,100
(2) Asuransi Judges Act dalam Pasal 41.2 (1) mengatur bahwa hakim mendapatkan berbagai jenis asuransi, seperti: -
asuransi kehidupan dasar
-
asuransi kehidupan tambahan
-
asuransi pasca pensiun
-
asuransi bagi tanggungan keluarga
-
asuransi kematian dan cacat tubuh
(3) Tunjangan Transportasi Dalam Pasal 34 Judges Act dijelaskan bahwa hakim pada pengadilan
tinggi
berhak
mendapatkan
tunjangan
transportasi, biaya perjalanan dan biaya yang disertakan dalam perjalanan melaksanakan tugas hakim.
(4) Tunjangan Rapat, Konferensi, dan Seminar Pasal 41 Judges Act
mengatur bahwa hakim dalam
menjalankan tugas yang disetujui oleh ketua pengadilan berhak mendapatkan tunjangan untuk menghadiri rapat, konferensi,
atau
seminar,
berikut
dengan
biaya
transportasi dan biaya yang muncul dari pertemuan tersebut.
(5) Tunjangan Insidental Pasal 27 Judges Act mengatur juga mengenai tunjangan insidental bagi hakim untuk berbagai hal dan tidak mewajibkan hakim tersebut untuk mengembalikannya, yaitu $5,000/tahun bagi hakim tingkat pertama dan tinggi di pengadilan pada setiap provinsi, $12,000/tahun untuk
hakim
agung
pada
$12,000/tahun
untuk
hakim
setiap federal
provinsi, dan
dan hakim
pengadilan pajak.
59
e)
Pemberhentian Pada dasarnya berdasarkan Pasal 8 Judges Act dinyatakan bahwa usia pensiun bagi hakim adalah 70 (tujuh puluh tahun. Hal ini terlihat dalam Pasal 8 ayat (1), (2), dan (3) Judges Act, yaitu:
(1)
(2)
(3)
A judge of the Supreme Court of British Columbia who held the office of a judge of the County Courts of British Columbia on March 1, 1987 and on June 30, 1990 may retire at the age of seventy years. A judge of the Superior Court of Justice in and for the Province of Ontario who held the office of a judge of the District Court of Ontario on March 1, 1987 and on August 31, 1990 may retire at the age of seventy years. A judge of the Superior Court of Justice in and for the Province of Ontario who held the office of a judge of the District Court of Ontario on March 1, 1987 and on August 31, 1990 may retire at the age of seventy years.
Lebih lanjut Judges Act memiliki bab khusus yang mengatur mengenai
ketentuan
khusus
pensiun
bagi
Hakim
Agung.
Pengaturan diatur dalam Pasal 41 yang terdiri dari pengaturan gaji (Pasal 41.1) dan Fasilitas (Pasal 41.2). Gaji yang didapatkan oleh hakim yang pensiun tidak lebih dari 6 (enam) bulan sebelum tanggal pensiunnya adalah meliputi uang pensiun yang sama dengan jumlah gaji selama setahun, tunjangan insidental selama setahun, dan sebagainya. Sementara itu fasilitas yang didapatkan dari hakim yang telah pensiun berdasarkan Pasal 41.2 Judges Act meliputi, asuransi hidup serta berpartisipasi dalam pelayanan publik di bidang kesehatan dan gigi bagi pensiunan. Secara khusus Judges Act mengatur mengenai pensiun dini dalam Pasal 43. Pensiun dini diberikan kepada hakim yang telah berusia 55 (lima puluh lima) tahun dan telah bekerja pada kantor hakim secara terus menerus selama 10 (sepuluh) tahun. Ada perhitungan yang secara khusus diatur dalam Judges Act mengenai % (persentase) yang diterima hakim yang mengajukan pensiun dini. Demikian juga fasilitas bagi hakim yang meninggal dunia saat menjabat mendapatkan tunjangan sebesar 16 (enam belas) bulan gaji terakhir sebagaimana diatur dalam Pasal 46.1. Hakim yang meninggal dunia saat menjabat dan meninggalkan anakanak (anak kandung maupun anak yang telah sah diadopsi) maka 60
anak-anak tersebut tetap mendapatkan tunjangan. Adapun yang dimaksud anak menurut Pasal 47 Judges Act adalah: (a) anak yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, atau (b) anak yang berusia lebih dari 18 (delapan belas) tahun tapi kurang dari 25 (dua puluh lima) tahun serta masih menempuh pendidikan di sekolah atau universitas. Anak-anak tersebut berhak mendapatkan tunjangan pendidikan untuk tetap menempuh pendidikan, meski orangtuanya (hakim) sudah meninggal.
2) Republik Rakyat Cina Ketentuan mengenai jabatan hakim di Republik Rakyat Cina diatur tersendiri dalam sebuah undang-undang yaitu Judges Law of the People’s Republic of China. Judges Law ini diadopsi oleh Standing Committee National People’s Congress
yang ke-8 pada
tanggal 28 Februari 1995 dan berlaku efektif pada tanggal 1 Juli 1995. Judges Law ini kemudian diamandemen pada tanggal 30 Juni 2001 yang berlaku efektif pada tanggal 1 Januari 2002. Judges Law mengatur yang merupakan hakim berdasarkan Article 2 Judges Law yaitu personil peradilan yang melaksanakan kewenangan peradilan negara menurut hukum termasuk ketua, wakil ketua, anggota komite peradilan, hakim kepala dan asosiasi hakim kepala divisi, hakim dan asisten hakim di Supreme People’s Court (Mahkamah Agung Rakyat), People’s Courts (Pengadilan Rakyat) lokal di berbagai tingkatan, dan pengadilan rakyat yang bersifat khusus seperti pengadilan militer. a) Pengangkatan Berkaitan dengan pengangkatan dan pemberhentian hakim
diatur
dalam
Chapter
V
Judges
Law
mengenai
Appointment and Removal. Article 11 Judges Law menyatakan seorang
hakim
penugasannya
diangkat
sesuai
atau
dengan
batas
diberhentikan kewenangan,
dari dan
prosedur pengangkatan atau pemberhentian sebagaimana diatur
dalam
Konstitusi
dan
undang-undang.
Ketua
Mahkamah Agung Rakyat harus dipilih atau diberhentikan oleh Kongres Rakyat Nasional. Wakil ketua, anggota komite peradilan, hakim ketua dan hakim ketua asosiasi divisi, dan hakim diangkat atau diberhentikan oleh Standing Committee pada Kongres Rakyat Nasional atas rekomendasi dari Ketua Mahkamah Agung Rakyat. 61
Article 11 Judges Law tersebut juga mengatur Ketua Pengadilan Rakyat lokal di berbagai tingkatan harus dipilih atau diberhentikan oleh Kongres Rakyat lokal di berbagai tingkatan.
Pengangkatan
atau
pemberhentian
ketua
Pengadilan Rakyat di tingkat menengah diatur di peraturan provinsi atau daerah otonom atau diatur langsung di bawah Pemerintah Pusat harus diputuskan oleh standing commitee pada kongres rakyat provinsi, daerah otonom atau kota langsung di bawah Pemerintah Pusat atas dasar nominasi yang dibuat oleh masing-masing ketua. Wakil ketua, anggota komite peradilan, hakim kepala dan hakim ketua asosiasi divisi dan hakim diangkat atau diberhentikan oleh standing commitee pada kongres rakyat dari provinsi, daerah otonom atau kotamadya langsung di bawah Pemerintah Pusat atas rekomendasi dari ketua Pengadilan Tinggi Rakyat. Ketua Pengadilan Rakyat lokal di berbagai tingkatan di daerah otonom nasional akan dipilih atau diberhentikan oleh kongres rakyat di berbagai tingkat daerah otonom nasional. Wakil presiden, anggota komite peradilan, hakim ketua dan hakim ketua asosiasi divisi dan hakim harus diangkat atau diberhentikan oleh standing commitee pada kongres rakyat sesuai tingkatan atas rekomendasi dari ketua pengadilan. Asisten
hakim
Pengadilan
Rakyat
akan
diangkat
atau
diberhentikan oleh ketua pengadilan dimana asisten tersebut bertugas.
Langkah-langkah
pengangkatan
ketua,
wakil
untuk presiden,
penunjukan anggota
atau komite
peradilan, hakim ketua dan hakim ketua asosiasi divisi dan hakim dari Pengadilan Rakyat khusus seperti pengadilan militer dirumuskan oleh Standing Commitee pada Kongres Rakyat Nasional secara terpisah (Article 11 Judges Law). Berdasarkan Article 12 Judges Law, orang yang akan diangkat sebagai hakim untuk pertama kalinya akan dipilih melalui penilaian yang ketat dan sesuai dengan standar memiliki kemampuan dan integritas politik, dan harus dipilih dari antara mereka yang telah memperoleh kualifikasi melalui ujian
peradilan
yang
diselenggarakan
oleh
negara
dan
memenuhi syarat untuk penugasan. Ketua dan wakil ketua dari Pengadilan Rakyat harus dipilih dari antara para hakim atau di antara orang lain yang terbaik yang memenuhi syarat untuk penugasan tersebut. 62
b) Pembinaan Pelatihan hakim diatur dalam Chapter IX Judges Law mengenai
Training.
Article
24
Judges
Law menyatakan
pelatihan secara teoretis dan profesional bagi para hakim harus dilakukan secara terencana. Prinsip-prinsip untuk mengintegrasikan teori dengan praktek, memberikan ceramah sesuai kebutuhan, dan menekankan hasil praktis harus diterapkan dalam pelatihan hakim. Article 25 Judges Law menyatakan para hakim perguruan tinggi dan universitas negara dan lembaga lainnya untuk pelatihan hakim, sesuai dengan
peraturan
yang
relevan,
bertugas
melakukan
pelatihan hakim. Article 26 Judges Law menyatakan hasil studi dan penilaian atas hakim dibuat selama pelatihan harus diambil sebagai salah satu dasar untuk pengangkatan dan promosi hakim.
c) Pengawasan Chapter XVI Judges Law mengatur mengenai Commission For
Examination
and
Assessment
of
Judges
(Komisi
Pemeriksaan dan Penilaian Hakim). Article 46 Judges Law menyatakan Pengadilan Rakyat harus membentuk komisi untuk pemeriksaan dan penilaian hakim. Fungsi dan tugas dari komisi tersebut untuk pemeriksaan dan penilaian hakim yang untuk memandu pelatihan, pengujian, dan penilaian hakim. Pengaturan secara khusus akan diatur secara terpisah dari Judges Law. Article 47 Judges Law mengatur jumlah orang di komisi pemeriksaan dan penilaian hakim antara lima hingga sembilan orang. Ketua komisi pemeriksaan dan penilaian hakim dijabat oleh ketua pengadilan tersebut.
d) Pemberhentian Article 13 Judges Law mengatur dalam hal seorang hakim yang terbukti berada pada salah satu keadaan berikut, akan dilaporkan sesuai hukum untuk diberhentikan dari penugasannya: (1)
setelah
kehilangan
kewarganegaraan
dari
Republik
Rakyat Cina; (2)
dipindahkan keluar dari persidangan;
(3)
tidak
memiliki
kebutuhan
untuk
mempertahankan
penugasannya setelah ada perubahan penugasan; 63
(4)
dinyatakan tidak kompeten dalam penugasan melalui penilaian;
(5)
tidak mampu melakukan fungsi dan tugas hakim untuk jangka waktu yang panjang karena kesehatan yang buruk;
(6)
pensiun dari penugasan
(7)
mengundurkan diri atau diberhentikan dari penugasan; dan
(8)
didiskualifikasi dari jabatan karena pelanggaran disiplin, hukum atau tindakan kriminal.
3) India India termasuk salah satu negara yang mengatur lebih lanjut mengenai jabatan Hakim dalam suatu undang-undang. Adapun hal-hal yang telah diatur terkait dengan jabatan bagi Hakim di India adalah sebagai berikut: (a) Pengangkatan Hakim Pengangkatan Hakim di India juga dilakukan oleh National Judicial Appointments Commission (NJAC) yang juga diatur
dengan
The
National
Judicial
Appointments
Commission Bill, 2014 dan lahir berdasarkan perubahan ke 99 dari Konstitusi India. NJAC ini sendiri adalah suatu komisi yang diberikan tanggungjawab untuk menempatkan atau memindahkan para Hakim di India. Adapun komisi ini terdiri dari 6 orang yakni Chief Justice of India (Ketua Mahkamah Agung di India), 2 orang hakim senior lainnya di Mahkamah Agung di India, The Union Minister of Law and Justice (Menteri
Hukum
dan
Keadilan),
dan
2
yang
diakui
ketokohannya terkait peradilan di India.
(b) Hak Keuangan Hakim Terkait dengan hak keuangan yang akan diterima oleh Hakim di India telah diatur dalam The High Court and Supreme Court Judges (Salaries and Conditions of Service) Amendment Bill 2008. Pada pengaturan tersebut telah diatur jumlah penghasilan yang akan diterima oleh sejumlah jabatan Hakim
yang
juga
mengalami
kenaikan
dari
jumlah
penghasilan yang diterima sebelumnya yakni sebagai berikut: Chief Justice
Dari Rs. 33.000 menjadi Rs.100.000
of India Judges of
Dari Rs. 30.000 menjadi Rs. 90.000 64
Supreme Court Chief Justice
Dari Rs. 30.000 menjadi Rs. 90.000
of High Court Judges of the
Dari Rs. 26.000 menjadi Rs. 80.000
High Courts
Kenaikan jumlah penghasilan yang diterima oleh sejumlah jabatan Hakim tersebut merupakan suatu bentuk remunerasi yang telah dijamin dalam The Constitution of India (Konstitusi India) seperti misalnya untuk Judges of Supreme Court (Hakim pada Mahkamah Agung) sebagaimana telah diatur dalam Part V The Union, Chapter IV - The Union Judiciary terutama Article 125 Salaries, etc., of Judges, sub-sec. (1) yang menyatakan “There shall be paid to the Judges of the Supreme Court such salaries as may be determined by Parliament by law and, until provision in that behalf is so made, such salaries as are specified in the Second Schedule.” Pengaturan di Konstitusi India tersebut itulah yang kemudian menjadi dasar remunerasi penghasilan bagi jabatan Hakim di India dalam rangka untuk meningkatkan kinerja mereka sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman.
(c)
Perlindungan Hakim Perlindungan bagi jabatan Hakim di India juga diatur dengan The Judges (Protection) Act 1985 yang mana pada 3rd section dinyatakan bahwa terkait additional protection to the judges (tambahan perlindungan bagi Hakim) diatur sebagai berikut:
(1) Notwithstanding anything contained in any other law for the time being in force and subject to the provisions of sub-sec.(2), no Court shall entertain or continue any civil or criminal proceeding against any person who is or was a Judge for any act, thing or word committed, done or spoken by him when, or in the course of, acting or purporting to act in the discharge of his official or judicial duty or function. (2) Nothing in sub-sec.(1) shall debar or affect in any manner the power of the Central Government or the State Government or the Supreme Court of India or any High Court or any other authority under any law for the time being in force to take such action (whether by way of civil, criminal, or departmental 65
proceedings or otherwise) against any person who is or was a Judge. Ketentuan pengaturan tersebut pada ayat (1) mengatur bahwa bagi Hakim di India, pengadilan tidak bisa mengadili segala tindakan dan perkataan yang dilakukan atau dikatakan oleh Hakim tersebut dalam kegiatan segala persidangan yang dilakukannya. Lebih lanjut lagi di ayat (2) dinyatakan bahwa pemerintah pusat atau Mahkamah Agung di India walaupun demikian tidak akan menghalangi atau mempengaruhi bagi siapapun untuk mengambil tindakan hukum bagi Hakim atau mantan Hakim terkait dengan tindakan dan perkataan yang dilakukan atau dikatakan sebagaimana telah dinyatakan sebelumnya di ayat (1).
(d) Pengawasan Hakim Perlindungan bagi jabatan Hakim di India juga diatur dengan The Judges (Inquiry) Act 1968 yang mana dinyatakan bahwa terkait investigation into misbehaviour or incapacity of Judge by Committe (penyelidikan terkait perilaku yang keliru atau ketidakmampuan hakim) dilakukan oleh suatu komite tersendiri. Adapun selanjutnya terkait dengan komite diatur bahwa komite tersebut membuat
prosedurnya
mempunyai kewenangan untuk sendiri
guna
dalam
melakukan
investigasi namun tetap memberikan kesempatan bagi Hakim untuk membela diri. Adapun investigasi yang dilakukan oleh komite ini pada ayat (dapat diusulkan oleh House of the People (DPR) di India tidak kurang 100 orang anggotanya atau Council of States (Dewan Negara Bagian) di India dari tidak kurang 50 orang anggotanya. Pengawasan Hakim yang dilakukan
oleh
Komite
dalam
bentuk
investigasi
ini
mempunyai kewenangan dalam peradilan umum sesuai the Code of Civil Procedure 1908.
b. Negara-negara yang memasukkan pengaturan mengenai jabatan hakim dalam undang-undang dengan nama lain; 1) Belanda Organisasi Undang-Undang
sistem
pengadilan
Organisasi
Yudisial
di
Belanda
diatur
oleh
(Wet op de rechterlijke
organisatie) yang disahkan pada tahun 1827. Lebih lanjut Undang-Undang ini mengalami reformasi besar pada tahun 2002. 66
Pada saat ini, ada sekitar 2.200 (FTE) hakim di Belanda, yang terdiri dari 450 hakim yang menangani kasus kriminal dan sekitar 50% hakim adalah perempuan. Mahkamah Agung Belanda terdiri atas 30 (tiga puluh) orang Hakim
Agung
yang
ditentukan
melalui
penunjukan
oleh
Mahkamah Agung sebagaimana diatur dalam Part 5. Supreme Court Section 72. Selain itu, beberapa ciri khas yang juga ditemukan pada sistem ketatanegaraan Belanda yakni adanya dewan atau badan tertentu dengan tugas dan nama yang disebutkan di dalam konstitusi, antara lain: 1. States General, 2. Council of State, 3. Court of Audit, 4. National Ombudsman, and 5. Permanent Advisory Bodies. serta penunjukan seorang wakil di parlemen sebagai representasi kerajaan (our minister). Pada dasarnya peradilan di Belanda hanya memiliki kewenangan yang terkait dengan fungsi-fungsi yustisial,
terutama
untuk
mengadili
perkara
pada
tingkat
pertama, banding, dan kasasi. Hal ini dapat dilihat dari Konstitusi Kerajaan Belanda sebagai berikut: “CHAPTER 6 The Administration of Justice Article 112 1. The adjudication of disputes involving rights under civil law and debts shall be the responsibility of the judiciary. 2. Responsibility for the adjudication of disputes which do not arise from matters of civil law may be granted by Act of Parliament either to the judiciary or to courts that do not form part of the judiciary. The method of dealing with such cases and the consequences of decisions shall be regulated by Act of Parliament. Article 113 1. The trial of offences shall also be the responsibility of the judiciary. 2. Disciplinary proceedings established by government bodies shall be regulated by Act of Parliament. 3. A sentence entailing deprivation of liberty may be imposed only by the judiciary. 4. Different rules may be established by Act of Parliament for the trial of cases outside the Netherlands and for martial law” Belanda merupakan salah satu negara dengan sistem hukum Eropa kontinental yang cukup tua, berpenduduk sekitar 16,5 juta jiwa, dengan jumlah penduduk seperti itu jumlah keseluruhan hakim yang ada sekitar 2.200 orang, ditambah lagi oleh dukungan 2.025 staf untuk dukungan teknis yudisial, 1.100 staf pada bidang manajemen operasional peradilan, dan 500 staf 67
pada bidang pelatihan. Sementara jumlah perkara yang masuk tiap tahunnya berkisar 1,8 juta kasus yang berasal dari 5 jenis peradilan yakni Sub distrik (Sub-District sector), Perdata (civil law sector),
Pidana
(criminal
law
sector),
Tata
usaha
negara
(administrative law sector), dan banding (appeals).122 Dilihat dari tumpukan pekerjaan seperti itu, peradilan di Belanda tergolong peradilan yang cukup sibuk untuk ukuran negara-negara di sekitar eropa barat. Dalam konteks organisasi, lembaga peradilan secara parsial bergantung kepada pemerintah, yakni Menteri Kehakiman yang memiliki tanggung jawab manajerial atas anggaran dan staf pendukung
pengadilan.
penempatan
hakim,
Dalam
Menteri
bidang
pengangkatan
Kehakiman
juga
dan
memainkan
peranan penting, bahkan turut merekomendasi calon hakim agung kepada parlemen. Oleh karena penghormatan terhadap independensi peradilan, Belanda mengenal sistem kontrol yang terpisah atas pelaksanaan kewenangan Menteri Kehakiman tersebut. Kewenangan Menteri Kehakiman terhadap peradilan diawasi melalui Parlemen.123 Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Agung diangkat oleh Raja/Ratu
dengan
usul
Parlemen
dengan
memperhatikan
pertimbangan Mahkamah Agung atau Hoge Raad. Hoge Raad membawahi 19 pengadilan tingkat pertama dan 7 pengadilan tingkat banding, 5 diantaranya merupakan tingkat banding umum dan 2 lainnya adalah pengadilan tingkat banding khusus yang menangani perkara jaminan sosial, pelayanan publik, serta perdagangan.124 Tindak
pidana
yang
ditangani
oleh
sektor
pidana
pengadilan pada tiga tingkatan. Tingkat contoh pertama adalah pengadilan distrik (rechtbanken). Ada sembilan belas pengadilan tersebut. Setiap pengadilan memiliki sejumlah venue kecamatan, yang disebut sektor kewilayahan. Pengadilan distrik sangat berbeda dalam ukuran, yang terutama tergantung pada jumlah penduduk yurisdiksi. Tingkat kedua adalah pengadilan banding (gerechtshof), yang ada lima. Pengadilan tinggi yang tingkat est adalah Mahkamah Agung (Hoge Raad) di Den Haag. Berbeda 122
Dr. Wim Voermans, Seminar on Comparative Models of Judicial Commission, Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi, Jakarta, 5 Juli 2010. 123Ibid. 124Hoge Raad, The Judiciary System in The Netherlands, dimuat dalam
, diunduh pada tanggal 14 November 2014, Pukul 10.37 WIB.
68
dengan pengadilan lain, Mahkamah Agung tidak berurusan dengan fakta-fakta kasus, tapi ulasannya hanya keabsahan putusan
dari
pengadilan
yang
lebih
rendah
dan
cara
persidangan. Dalam keadaan luar biasa, Mahkamah Agung adalah pengadilan kedua dan terakhir. Anggota DPR, menteri dan wakil menteri yang diadili untuk pelanggaran yang dilakukan dalam melaksanakan fungsi mereka, hanya Mahkamah yang berwenang untuk mengadili kasus-kasus tersebut. (a) Pengangkatan Berdasarkan
Undang-Undang
tentang
Organisasi
Yudisial (Wet op de rechterlijke organisatie) yang disahkan pada tahun 1827 dan mengalami reformasi besar pada tahun 2002, dalam hal rekrutmen dan karier hakim, Belanda memiliki sistem yang otonom. Artinya, rekrutmen hakim dilakukan
oleh
pengadilan
itu
sendiri.
Ketika
sebuah
pengadilan negeri (rechtbanks) membutuhkan tenaga hakim maka calon hakim dapat mengajukan lamaran ke pengadilan tersebut
atau
melalui
komisi
nasional
yang
bertugas
menyeleksi hakim. Namun, di sisi lain jenjang karier hakim di Belanda bersifat individual. Artinya, jenjang karier tersebut ditentukan oleh hakim itu sendiri. Apabila seorang hakim di suatu rechtbank ingin pindah ke rechtbank lainnya atau ingin pindah ke jenjang yang lebih tinggi, misalnya ke gerechtshove atau semacam pengadilan tinggi, maka lamaran cukup diajukan kepada rechtbank atau grechtshove yang dituju. Sifat individual
yang
ada
pada
sistem
karier
di
Belanda
memungkinkan seseorang yang sudah bertugas sebagai hakim di gerechtshove dapat saja mengajukan lamaran untuk kembali menjadi hakim pada rechtbank.125 Cara kedua untuk menjadi hakim atau jaksa penuntut umum yang disebut 'orang luar' juga dengan direkrut melalui layanan. Orang luar profesional hukum seperti pengacara, akademisi, maupun petugas pelayanan sipil harus berusia di atas tiga puluh tahun dengan pengalaman kerja profesional lebih dari enam tahun dengan minat untuk menjadi seorang hakim
atau
jaksa
penuntut
umum.
Mereka
dapat
mengajukan permohonan untuk posisi dalam peradilan atau layanan penuntutan dan diundang untuk wawancara dengan anggota Komite Seleksi Nasional untuk pengadilan. Pada 125
Komisi Hukum Nasional, op. cit., hlm. 60
69
sebagian besar kasus, para kandidat yang lolos seleksi oleh Komite Seleksi Nasional melayani selama kurang lebih satu tahun sebagai wakil hakim atau wakil penuntut untuk memungkinkan kompetensi dan kemampuan mereka dinilai. Setelah tahun itu, dewan kolegial dari pengadilan atau Jaksa Penuntut
Umum
Kepala
merekomendasikan
kepada
Pemerintah janji penuh berupa kandidat. Tidak
semua
hakim
adalah
hakim
profesional.
Pengacara, sarjana hukum, dan orang lain yang memiliki gelar sarjana hukum dan yang memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang sistem peradilan kriminal dapat ditunjuk sebagai hakim pengganti. Dalam kapasitas tersebut, mereka berpartisipasi secara lebih atau kurang teratur dalam administrasi peradilan pidana, untuk yang mereka menerima remunerasi kecil. Melalui partisipasi mereka, beban kasus hakim profesional berkurang dan pengadilan juga dapat mengambil manfaat dari keahlian khusus mereka.
(b) Pembinaan Berdasarkan
Undang-Undang
tentang
Organisasi
Yudisial (Wet op de rechterlijke organisatie) yang disahkan pada tahun 1827 dan mengalami reformasi besar pada tahun 2002, prasyarat utama memenuhi syarat untuk mengikuti pelatihan menjadi seorang hakim adalah sarjana hukum yang sangat baik. Calon hakim juga harus lulus ujian psikologis, serta lulus interview antarpandangan dengan Panitia Seleksi Nasional untuk Peradilan yang materinya terdiri dari hukum dan
profesional
analisis/kognitif
non-hukum. satu,
Tes
testing
psikologi
kecerdasan
adalah individu,
sedangkan wawancara dengan anggota seleksi tes komite keterampilan komunikasi, kemampuan untuk membuat dan memotivasi keputusan suara. Prosedur
ini
memakan
waktu
delapan
minggu.
Kandidat yang dipilih diangkat oleh Menteri Kehakiman sebagai trainee dengan satu dari sembilan belas pengadilan. Trainee diwajibkan untuk menjalani enam tahun pelatihan. Pelatihan ini adalah campuran dari teori dan berlatih. Teori ini terdiri dari program yang diberikan oleh akademi hakim, yang disebut pusat studi untuk administrasi peradilan di Zutphen
(Stichting
Studiecentrum
Rechtspleging).
Selama 70
periode pelatihan enam tahun, peserta pelatihan diperlukan untuk menjalani empat tahun di pelatihan layanan baik di dalam administrasi pengadilan dan dalam sebagai wakil dari bidang penuntutan. Pelatihan selama dua tahun eksternal di kantor hukum atau perusahaan atau di kantor polisi. Tujuan utama dari pelatihan eksternal adalah untuk memberikan peserta pelatihan berupa pengalaman kerja di daerah yang berbeda dari profesi hukum. Setelah empat tahun dalam pelayanan pelatihan, trainee memilih baik untuk posting dalam pengadilan atau dalam layanan penuntutan. Pada akhir periode trainee setelah satu tahun, calon yang ditunjuk sebagai wakil jaksa atau wakil hakim diangkat sebagai jaksa atau hakim. Promosi hakim untuk penempatan yang lebih tinggi seperti dari wakil presiden pengadilan atau dari seorang hakim banding terutama didasarkan pada pengalaman kerja dan lesi yang luar biasa dan keterampilan manajerial. Hal yang sama juga berlaku untuk promosi dalam penuntutan layanan. Tidak ada kriteria untuk promosi ditetapkan dalam hukum.
(c) Pengawasan Sebelum
perubahan
Undang-Undang
tentang
Organisasi Yudisial pada tahun 2002, pengaturan mengenai pengadilan
dalam
keadaan
buruk
dikarenakan
kondisi
perumahan yang buruk dan struktur staf ganda. Pengadilan dan organisasi hakim di Belanda tidak bisa mengatasi dengan mengubah keadaan dalam masyarakat misalnya dengan meningkatnya jumlah kasus. Struktur organisasi hakim di Belanda saat itu merupakan organisasi yang resmi dan kaku dengan satu struktur untuk hakim dan staf hukum, satu untuk para direktur dan staf pendukung mereka.
Kurangnya
struktur
untuk
berkomunikasi
di
pengadilan berarti bahwa hakim tidak benar-benar tahu apa yang terjadi dengan staf pendukung baik administrasi dan hukum, dan staf pendukung tidak tahu apa hakim lakukan. Bahkan tidak ada cukup ruang di kantor pengadilan untuk setiap hakim bekerja dengan baik.
71
(d) Perlindungan Dalam konstitusi Belanda ada beberapa hal yang memiliki kemiripan dengan Amerika Serikat terkait jaminan independensi kekuasaan kehakiman. Sama halnya seperti Amerika Serikat, konstitusi Belanda mengatur mengenai larangan untuk memberhentikan hakim dan pengaturan gaji hakim. Dalam hal gaji hakim, article 72 konstitusi Belanda menyatakan bahwa, “a separate act governs the remuneration of members of the judiciary”. Belanda dan Amerika Serikat melakukan pengaturan mengenai gaji hakim melalui sebuah undang-undang. Hal ini memperlihatkan bahwa remunerasi adalah
sebuah
hal
yang
penting
dalam
menunjang
independensi kekuasaan kehakiman. Berbeda dengan di Indonesia, yang hanya menggunakan peraturan pemerintah untuk mengatur gaji hakim. Jaminan konstitusional bagi independensi peradilan di Belanda hanyalah untuk individu anggota lembaga peradilan. Jaminan konstitusional terhadap individu ini sebenarnya tidak bersifat langsung karena dalam memutus perkara hakim tidak bebas dan terikat pada hukum yang berlaku. Jadi, inti independensi peradilan di Belanda adalah hakim hanyalah tunduk pada hukum dalam memutus perkara dan tidak
dapat
dipengaruhi
(secara
fungsional)
dengan
kekuasaan negara lainnya, seperti legislatif dan eksekutif.126
(e) Pemberhentian Hakim diangkat untuk kehidupan sampai mereka pensiun. Hakim di Belanda memiliki batas usia pensiun 70 tahun.
Hal ini diatur dalam Civil Courts Act pada 18
Desember 1957 yang kemudian diamandemen pada tanggal tanggal 17 Oktober 1972.127 Masa hidup dipandang sebagai sarana untuk mendukung kemerdekaan mereka. Penuntut umum tidak memiliki masa hidup tetapi menunjuk untuk waktu yang tidak terbatas. Ketika mereka tidak berfungsi dengan baik mereka dapat diberhentikan. Hakim bebas dan tidak dapat diberhentikan oleh Menteri Keamanan dan Kehakiman.
126 127
Wim Voermans, Komisi Yudisial Di…op.cit., hlm 122. B.J. Van Heyst, The Netherlands, dalam Shimon Shetreet dan J. Deschenes [ed.],
hlm.248.
72
Pada
saat
ini
jaminan
yang
paling
penting
atas
independensi peradilan di Belanda terdapat dalam Pasal 117 Grondwet (Konstitusi) yang menyatakan bahwa anggota lembaga peradilan (hakim) dan Procecure General yang berada di Mahkamah Agung diangkat seumur hidup. Anggota lembaga
peradilan
sementara
dan
tersebut
hanya dapat
diberhentikan
penuh
diberhentikan
oleh
pengadilan
berdasarkan alasan yang ditentukan dalam undang-undang. Independensi tingkatan.
lembaga
Namun,
peradilan sistem
dijamin
Belanda
dalam
tidak
semua
mengenal
pemisahan kekuasaan yang absolut. Oleh karena itu, dalam batas
tertentu
lembaga
peradilan
bergantung
pada
kekuasaan negara lainnya.128
2) Amerika Serikat Dalam Pasal III, bagian 1 konstitusi Amerika Serikat diatur bahwa kongres berwenang membentuk Mahkamah Agung Amerika Serikat dan membentuk pengadilan federal yang lebih rendah. Semua
kekuasaan
lain
yang
tidak
didelegasikan
kepada
pemerintah federal akan tetap dijalankan oleh negara-negara bagian. Konstitusi Amerika Serikat juga mengatur mengenai pembentukan cabang yudisial dari pemerintah federal dan merinci kekuasaan dari pengadilan federal. Pengadilan federal di Amerika Serikat memiliki kekuasaan peradilan yang eksklusif atas kasus-kasus jenis tertentu, misalnya kasus yang menyangkut undang-undang federal, persengketaan antara negara-negara bagian, dan kasus-kasus yang menyangkut pemerintah asing. Di dalam bidang-bidang tertentu lainnya, pengadilan
federal
berbagi
kekuasaan
peradilan
dengan
pengadilan negara bagian. Misalnya, pengadilan federal dan pengadilan negara bagian kedua-duanya boleh memutuskan kasus-kasus yang menyangkut pihak-pihak bersengketa yang bertempat tinggal di negara bagian yang berbeda. Pengadilanpengadilan negara bagian memiliki kekuasaan peradilan eksklusif atas kasus-kasus yang umumnya sangat luas.129 Lembaga yudikatif di Amerika Serikat adalah lembaga hukum yang independen. Ia terdiri dari Mahkamah Agung (MA) 128 Wim Voermans, Komisi Yudisial Di Beberapa Negara, Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan, Jakarta, 2002, hlm. 121. 129 http://www.fjc.gov/public/pdf.nsf/lookup/Indonesian01.pdf/$file/Indonesian01.pdf diakses pada hari Kamis, tanggal 11 November 2016 pukul. 10.56 WIB
73
sebagai lembaga peradilan tertinggi. MA membawahi badan Peradilan Banding tingkat federal dan di tingkat lebih bawah lagi terdapat badan Peradilan tingkat distrik. MA di Amerika Serikat merupakan
satu-satunya
produk
yudikatif
dari
konstitusi.
Keputusan MA tidak dapat ditandingi oleh lembaga peradilan lainnya.
Meskipun
kongres
memiliki
kewenangan
untuk
menentukan jumlah hakim yang akan duduk dalam MA dan kadangkala menentukan kasus apa yang harus diselesaikan, namun
tidak
memiliki
kewenangan
untuk
menjatuhkan
kekuasaan MA. MA menangani kasus yang melibatkan orang penting dari negara lain dan negara bagian Amerika Serikat serta kasus-kasus banding dari pengadilan di bawahnya. Di samping itu MA juga berfungsi untuk menginterpretasikan hukum yang akan disahkan oleh Kongres dan juga Peraturan Pemerintah agar tidak menyimpang dari konsitusi.130 (a) Pengangkatan Para hakim agung dari MA Amerika Serikat hakim-hakim
distrik,
ditunjuk
oleh
Presiden
serta
Amerika
Serikat jika disetujui oleh mayoritas suara dari senat Amerika Serikat. Para hakim agung ini bisa terus mengabdi apabila selama dalam melakukan tugasnya berkelakuan baik dan bisa mengabdi sampai akhir hayatnya. Biasanya orang-orang yang dicalonkan
menjadi
hakim
agung
ini
oleh
presiden
kebanyakan berasal dari partai yang sama dengan presiden. Orang-orang yang ditunjuk biasanya berasal dari profesi pengacara terhormat, guru besar hukum, hakim pengadilan rendah federal atau hakim pengadilan negeri. Metode dalam pemilihan hakim-hakim negeri sangat berbeda antara negara bagian yang satu dengan yang lainnya, bahkan dalam satu negara bagian pun kadang berbeda tergantung jenis pengadilannya. Sistem pemilihan yang lazim digunakan secara umum adalah dengan sistem nominasi dari komisi dan populerisasi. Dalam sistem nominasi dari komisi, hakimhakim ditunjuk oleh gubernur (sebagai kepala eksekutif negara bagian) yang harus menentukan dari beberapa calon yang sudah diajukan oleh komisi independen yang terdiri dari para kumpulan pengacara, legislator, warga biasa, dan kadang-kadang berasal dari kalangan hakim. Sedangkan
130
Kumpulan Laporan Akhir Peserta Program Comparative Analysis of Political System, Jakarta: International Republican Institute, 2001, hlm. 70
74
untuk sistem pemilihan dengan cara populerisasi dipilih dengan siapa yang paling populer. Pemilihan dengan cara ini mungkin mendapatkan dukungan secara sepihak atau bahkan tidak mendapatkan dukungan sama sekali. Sedangkan calon-calon yang dipilih harus memenuhi kualifikasi tertentu seperti pernah menjalani profesi pengacara selama jangka waktu tertentu.131
(b) Pembinaan Cabang-cabang yudikatif dari pemerintah federal dan pemerintah negara bagian terpisah fungsinya dari cabangcabang
legislatif
dan
eksekutif.
Untuk
memastikan
kemandirian jalannya peradilan, cabang-cabang yudikatif dari pemerintah federal dan pemerintah negara bagian mengontrol fungsi administrasi pengadilan. Tugas-tugas di administrasi pengadilan termasuk mengelola anggaran-anggaran belanja pengadilan, menulis peraturan-peraturan sidang pengadilan dan prosedur pengadilan tinggi, memeriksa perkara-perkara disiplin yudikatif, menawarkan program-program pendidikan berlanjut bagi para hakim, dan mengkaji pelaksanaan sidang pengadilan. Di dalam sistem pengadilan federal, Muktamar Yudisial Amerika Serikat, dibentuk dari 27 anggota (Kepala Hakim Amerika Serikat dan 26 hakim-hakim dari setiap wilayah geografis
di
AS),
mengemban
segenap
tanggung
jawab
administrasi dari seluruh pengadilan dan memiliki kekuasaan utama dalam membuat kebijakan yang berhubungan dengan pelaksanaan cabang yudikatif dari pemerintah. Muktamar Yudisial ini dibantu oleh sejumlah besar komite-komite yang dibentuk dari hakim-hakim federal (dan kadang-kadang juga dari hakim-hakim pengadilan negeri serta pengacara- 5 pengacara) dimana mereka mempelajari berbagai sistem pengadilan federal yang berbeda dan membuat rekomendasirekomendasi. Satu tanggung jawab penting dari Muktamar Peradilan adalah untuk merekomendasi perubahan-perubahan di dalam aturan-aturan
prosedur
yang
digunakan
oleh
seluruh
pengadilan-pengadilan federal. Kongres telah meembentuk
131
http://www.uscourts.gov/about-federal-courts/court-role-and-structure/comparingfederal-state-courts diakses pada hari Kamis tanggal 11 Februari pukul 11.03 WIB
75
tiga buah badan-badan administrasi pemerintah di dalam cabang pengadilan. Pertama, kantor administrasi pengadilan Amerika
Serikat
adalah
yang
mengelola
pelaksanaan
pengadilan sehari-hari, termasuk hal-hal yang menyangkut gaji, peralatan, dan persediaan. Dalam kaitannya dengan sistem penggajian hakim dibedakan antara hakim agung, hakim pada pengadilan federal serta hakim pada pengadilan di negara bagian. Adapun besaran gaji hakim berdasarkan lingkungan peradilannya, dalam rentang waktu tahun 2010-2016 adalah sebagai berikut132:
Year
District Judges
Circuit Judges
Associate Justices
Chief Justice
2016
$203,100
$215,400
$249,300
$260,700
2015
$201,100
$213,300
$246,800
$258,100
20141
$199,100
$211,200
$244,400
$255,500
2013
$174,000
$184,500
$213,900
$223,500
2012
$174,000
$184,500
$213,900
$223,500
2011
$174,000
$184,500
$213,900
$223,500
2010
$174,000
$184,500
$213,900
$223,500
Kedua,
pusat
kehakiman
federal
adalah
yang
melaksanakan program-program pendidikan dan pelatihan bagi para hakim dan para karyawan pengadilan, selain juga melakukan
penelitian-penelitian
di
bidang-bidang
pelaksanaan pengadilan dan administrasi. Ketiga, komisi penghukuman Amerika Serikat berfungsi mengembangkan garis-garis besar petunjuk berupa peringatan/nasihat bagi hakim-hakim
federal
dalam
tugasnya
membebankan
hukuman-hukuman pidana. Dalam sebagian besar sistem pengadilan negeri, MA negeri memiliki segenap wewenang 132
http://www.uscourts.gov/judges-judgeships/judicial-compensation Kamis, tanggal 11 Februari 2016 pukul 11.20 WIB
diakses
pada
hari
76
administratif dalam mengawasi sistem pengadilan. Ia dibantu oleh kantor administratif. Kepala hakim MA negeri biasanya menunjuk direktur dari kantor administratif pengadilan negeri untuk membantunya.133
(c) Pemberhentian Faktor
kunci
peradilan
dan
aturan
mengenai
dalam
akuntabilitas
pemberhentian
memastikan adalah
dengan
membentuk
serta
mekanisme
kedisiplinan
hakim
yang
independensi
melakukan
tindakan
yang
melanggar etika dan melanggar undang-undang. Di Amerika Serikat ada dua model hakim
yaitu
dengan
dalam mekanisme pemberhentian melibatkan
peran
parlemen
dan
melibatkan model layanan sipil secara internal. Hakim federal di Amerika Serikat dapat diberhentikan hanya melalui proses impeachment, yang melibatkan penyelidikan yudisial dan kemudian
proses
formal
melakukan impeachment dan
oleh
badan
legislatif
untuk
memutuskan apakah seorang
hakim akan diberhentikan atau tidak. Alasan untuk memberhentikan hakim bervariasi dalam sistem yang berbeda. Biasanya, dasar pemberhentian hakim adalah didasarkan pada perilaku atau kecakapan hakim. Perilaku dapat meliputi kejahatan, pelanggaran serius atau berulang kode etik kehakiman, atau korupsi. Di Amerika, Konstitusi
memungkinkan
impeachment
kepada
hakim
karena pengkhianatan, penyuapan, atau kejahatan berat. Pemberhentian sangat jarang terjadi, sampai saat ini baru terjadi hanya enam kali pemberhentian hakim. Saat ini, ada proses impeachment awal terhadap seorang hakim Louisiana yang diduga telah menerima suap dari pengacara.134
3) Korea Selatan Kekuasaan kehakiman di negara Korea Selatan terdiri dari Mahkamah Agung sebagai kekuasaan kehakiman yang tertinggi, pengadilan
tinggi,
pengadilan
wilayah,
dan
pengadilan
administratif. Kesemua pengadilan tersebut mempunyai tugas untuk
menyelesaikan
perkara-perkara
perdata,
pidana,
133
Ibid,. http://www.fjc.gov/public/pdf.nsf/lookup/Indonesian01.pdf/$file/Indonesian01.pdf diakses pada hari Kamis, tanggal 11 November 2016 pukul. 10.29 WIB 134 Judicial Appointments and Judicial Independence http://www.usip.org/sites/default/files/Judicial-Appointments-EN.pdf diakses pada hari Kamis, tanggal 11 Februari 2016 pukul 11.35
77
administrasi, dan pemilu. Selain itu pengadilan-pengadilan itu juga mempunyai tugas yang berkaitan dengan pengawasan tanah dari
tahap
registrasi
tanah,
kependudukan,
finansial
dan
pengadilan negeri135. Sebagai kekuasaan kehakiman yang tertinggi, Mahkamah Agung
bertugas
pengadilan
di
untuk
bawahnya.
bertugas untuk menangani
mengawasi Sementara
pengadilan itu
tinggi
pengadilan
dan tinggi
perkarta-perkara perdata, pidana,
adminitsraif dari pengadilan tingkat wilayah dan administratif. Khusus untuk Pengadilan administratif, sesuai dengan namanya pengadilan ini memang hanya
diberikan tugas menyelesaikan
perkara-perkara administrasi saja.136 (a) Pengangkatan Hingga tahun 2017 nanti, orang-orang yang ingin menjadi hakim di Korea Selatan harus memenuhi kualifikasi lulus Ujian Nasional Peradilan (National Judicial Examination) dan menyelesaikan program pelatihan selama 2 (dua) tahun di JRTI. Di tahun 2018 sampai dengan 2019, hakim diseleksi dari lulusan sekolah hukum dan mempunyai pengalaman di bidang hukum selama 5 (lima) tahun. Sementara itu di tahun 2020 sampai dengan 2021, hakim akan diseleksi dari lulusan sekolah hukum dan mempunyai pengalaman di bidang hukum selama 7 (tujuh) tahun dan tahun 2022, hakim akan diseleksi dari lulusan sekolah hukum dan mempunyai pengalaman di bidang hukum selama 10 (sepuluh) tahun. Untuk dapat diangkat sebagai hakim, setiap orang harus memenuhi syarat sebagai berikut: - Dari tanggal 1 Januari 2013 sampai dengan 31 Desember 2017, hakim akan dipilih di antara mereka yang telah lulus Ujian Nasional Hakim (National Judicial Examination) dan telah menyelesaikan pelatihan selama dua tahun di JRTI atau yang telah lulus dari sekolah hukum dan lulus Ujian Nasional Hakim. Setiap kandidat harus memiliki setidaknya 3 (tiga) tahun pengalaman di bidang hukum. - Dari 1 Januari 2018 sampai dengan 31 Desember 2019, hakim akan dipilih dari lulusan sekolah hukum dengan 5 (lima) tahun pengalaman di bidang hukum.
135Constitution, dimuat dalam http://www.korea.net/Government/Constitution-andGovernment/Constitution, diunduh pada tanggal 24 November 2014, pukul 14.43 WIB. 136Ibid.
78
- Dari 1 Januari 2020 sampai dengan 31 Desember 2021, hakim akan dipilih dari lulusan sekolah hukum dengan 7 (tujuh) tahun pengalaman di bidang hukum. - Dari 1 Januari 2022 dan seterusnya, hakim diangkat dari lulusan
sekolah
hukum
dengan
10
(sepuluh)
tahun
pengalaman di bidang hukum. Berbicara mengenai pengalaman di bidang hukum, di dalam Undang-Undang Organisasi Pengadilan ditetapkan kualifikasi untuk dapat diangkat sebagai Hakim Agung yaitu berusia minimal 45 tahun dengan 20 (dua puluh) tahun pengalaman di bidang hukum. Di UU itu juga disebutkan ruang lingkup pengalaman di bidang hukum itu, yaitu: (1)
hakim, penuntut umum atau pengacara;
(2)
ahli hukum yang memenuhi syarat dan berpengalaman dalam
bidang
hukum
di
instansi
pemerintah,
pemerintah daerah, perusahaan nasional atau publik, pemerintah, lembaga investasi, atau lembaga hukum lainnya, dan (3)
ahli hukum yang memenuhi syarat dan berpengalaman sebagai asisten Profesor di perguruan tinggi.
Para hakim diangkat oleh Ketua Mahkamah Agung dengan
persetujuan
Dewan
Hakim
Mahkamah
Agung.
Penempatan para hakim ke berbagai pengadilan ditetapkan oleh Ketua
Mahkamah Agung. Komite Personalia Hakim
dibentuk sebagai kelompok penasehat Ketua dalam rangka merencanakan dan mengkoordinasikan masalah personalia.
(b) Pembinaan Sistem pendidikan dan pelatihan Selatan
hakim di Korea
diselenggarakan oleh JRTI. Program pelatihan di
JRTI bersifat teoritis dan praktis, serta berlangsung selama 2 tahun.
Berdasarkan
hasil
diskusi
dengan
Menteri
Administrasi Peradilan Nasional dan JRTI diketahui bahwa kesejahteraan bagi hakim di Korea Selatan sudah cukup baik. Salah satu indikasinya, gaji hakim baru di Korea Selatan berkisar sekitar Rp. 40.000.000.- (empat puluh juta rupiah) setiap bulannya.
79
Secara garis besar kurikulum pelatihan yang dilakukan oleh JRTI pada semester pertama:
tentang studi teoritis,
semester kedua: studi teoritis dan program externship, semester ketiga : program externship, dan semester keempat : studi terpadu. Selain itu JRTI dalam program pelatihannya juga menekankan pada pendidikan etika hukum. Materi ini diberikan
untuk
memastikan
bahwa
peserta
pelatihan
memenuhi tanggung jawab etika dan sosial dalam melakukan praktek hukum dikemudian hari. Berikut gambaran program pendidikan yang ditawarkan oleh JRTI setiap semesternya:
Tabel Kursus Yang Ditawarkan di JRTI Setiap Semester Courses Offered at JRTI According to Each Semester (Number in Brackets refer to Hours of Credits)
Areas of Law
Theoriti cal Approa ch
Semester 2 (Intermedi ate Courses)
General Law
Real Estate Litigation (1), Provisional Remedy Litigation (1), Investigatio n Procedures (1)
Special and Specializ ed Law
1 Elective Course from Specialized Area of Law (1)
1 Elective Course from Specialized Area of Law (1)
Legal English (1
Introductio n to U.S. Law (1)
Foreign Laws and Relative Areas of Law
Practic al Approa ch
Semester 1 (Basic Courses)
On-site Training
Semester 3 (Intensive Courses)
Semester 4 (Externsh ip Courses
Enforcemen t of Civil Lawsuits Judgements (2)
Elective Course from Foreign Laws and Relative Areas Law (1) Lawyering Skills for Civil Cases (3)
Lawyering Skills for Civil Cases (3)
Lawyering Skills for Criminal Cases (2)
Lawyering Skills for
80
Criminal Cases (2)
Practic al Approa ch
On-site Training E x t e r n s h i p
Trial Skills for Civil Cases (5)
Trial Skills for Civil Cases (5)
Trial Skills for Criminal Cases (4)
Trial Skills for Criminal Cases (4)
Prosecuting Skill (4)
Prosecutin g Skill (4)
Judici al Exter nship, Prose cutor’ s Office Exter nship, and Law Office Exter nship
One Possible Externshi p from Courts, Prosecutor ’s Office, or Law Office (3)
Exter nship in Speci alized Areas Legal Ethics and Community Service
Advising Sessions
Courses on Liberal Arts and Others
Two Possible Externshi p from Courts, Prosecutor ’s Office, or Law Office (6)
Externship in Specialized Area According to Major (1) Legal Ethics I (1)
Legal Ethics II (1)
Volunteer Work (1)
Judicial Volunteer Work (1)
Session with Advising Professor (1)
Session with Advising Professor (1)
The Present and Future of Legal Professionals, Forensic Medicine, Forensic Psychology, Professional Conduct and Etiquette, Culture and Art and Others (Non Credit Courses)
Session with Advising Professor (1)
Same as Semester 1 and 2
Pada pelaksanaan pelatihan dan pendidikan tersebut, setiap peserta juga berhak untuk memilih satu mata kuliah diantaranya Reunifikasi Hukum (Reunification Law), Hukum Sipil Amerika Serikat (US Civil Law), Hukum Pidana Amerika Serikat (US Criminal Law), Hukum Inggris (British Law), 81
Hukum Jerman (German Law), Hukum Prancis (French Law), Hukum Uni Eropa (UE Law), Hukum Jepang (Japanese Law), Hukum China (Chinese Law), Hukum dan Kebudayaan Islam (Islamic Law and Culture), Teori Sistem Hukum (Theory on Legal System), Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternative Dispute Resolution),
Wanita dan Hukum (Women and Law),
Teknis Negosiasi (Negotiation Techniques), atau Hukum dan Kebudayaan Rusia (Russian Law and Culture). Berikut adalah yang menggambarkan jenis mata kuliah yang berhak dipilih setiap peserta pelatihan dan pendidikan:
Tabel Courses Offered According to Major No. 1.
2.
Major Civil Law
Corporate Law
-
Semester 1 Family Law Electronic Transaction Law Modern Contracts Communication Law Psychology and law Maritime Law Financial Transaction Law Antitrust Law Corporate Law
-
-
-
3.
Criminal Law
-
Scientific Investigation I Economic Crime Criminal Policy Study on Substitute Measures Psychology and Law
-
4.
Public Law
-
Constitutional Law Administrative Law I Communications Law Psychology and Law
-
5.
Tax Law
-
General Principle of Taxation
-
6.
7.
Intellectual Property Law
Social Law and Economic Law
-
-
Copyright Law
Employment and Payment Antitrust Law Social Security Law
-
-
Semester 2 Bankrupcty Law Cunsumer Law Special Liability
Capital Market and Financial Investment Bankrupcty Law Insurance Law Business Administration Business Accounting Scientific Investigation II Special Investigation Internastional Criminal Law Sophisticated White-collar Crime Health and Environment Crime Public Administration System of Constitutional Justice Administrative Law II Income Tax, Inheritance Tax, Corporation and International Tax Business Accounting Trademark dan Unfair Competition Law Patent Law Labor Union and Litigation Consumer Law Advanced Labor Law
82
8.
-
International Law
-
International Contract Law International Human Rights International Trade Law
-
Environment Law International Litigation and Arbitration International Criminal Law International Trade Law II
-
Ketua Mahkamah Agung memilih peserta pelatihan diantara
mereka yang telah lulus Ujian Nasional Yudisial
(National
Judicial
Examination).
Setelah
menyelesaikan
program pelatihan selama dua tahun di JRTI, mereka jelas dapat menjalankan profesi hukum dan dapat memilih untuk menjadi hakim, pengacara atau jaksa penuntut umum. Namun
demikian,
berdasarkan
unifikasi
kebijakan
profesi hukum di Korea Selatan mulai tahun 2013, hakim harus
dipilih
berpengalaman
dari
mereka
dalam
yang
telah
urusan-urusan
terlibat
hukum
atau
sebagai
seorang jaksa penuntut umum atau seorang pengacara yang mendapat pelatihan tambahan selama 2 tahun di JRTI. Salah seorang
yang
lulus
dari
Ujian
nasional
Yudisial
dan
memperoleh pelatihan di JRTI dapat ditempatkan sebagai petugas pengadilan militer atau advokat publik sebagai bagian dari wajib militernya. Program pelatihan selama dua tahun itu
meliputi
materi teori hukum dan prinsip (meliputi : hukum umum, profesi dan spesifikasi hukum,
hukum asing),
praktek
hukum (meliputi : pembelaan oleh pengacara, proses hukum sipil, proses pidana, penuntutan, praktek profesi), etika bagi praktisi hukum, bidang-bidang yang terkait dengan kegiatan praktek
lapangan,
mempersiapkan
keahlian
peserta
dan
bidang
pelatihan
siap
lainnya dan
guna
mampu
menghadapi berbagai tantangan dan tugas sesuai kebutuhan dan
perkembangan
masyarakat.
Peserta
pelatihan
juga
menerima pelatihan praktek di berbagai kantor pengadilan, kantor kejaksaan, asosiasi pengacara
dan instansi terkait
lainnya. Khusus untuk hakim, mereka juga menerima pelatihan untuk
penguatan
kapasitas
dan
peningkatan
pengetahuannya. Program pelatihan terdiri dari pelatihan yang didasarkan pada pengalaman praktek peradilan dan bidang-bidang hukum, dan pelatihan dalam bentuk seminar83
seminar
tentang
peradilan.
Program
pelatihan
yang
didasarkan pada pengalaman peradilan ini termasuk program yang baru-baru ini
ditetapkan oleh kalangan hakim, yaitu
program yang berkaitan dengan hakim-hakim distrik, dan lain-lain.
(c) Pengawasan Hakim
dikenakan
tindakan
disiplin
dalam
hal
melakukan pelanggaran serius terhadap tugas atau telah lalai dalam
melaksanakan
tugas
yang
diberikan.
Tindakan
disipliner juga dapat diambil terhadap seorang hakim yang mengurangi
dan
jabatannya.
Terhadap
melanggar
menodai
kode
etik
martabat
hakim
yang
dilakukan
pengadilan
perilakunya
penyelidikan,
dan
diduga
dan
bila
berdasarkan penyelidikan itu hakim terbukti melanggar maka ia dijatuhi hukuman disiplin. Setiap usulan penjatuhan sanksi disiplin akan dibahas dan diputuskan oleh anggota Komite Disiplin Hakim dari Mahkamah Agung. Komite ini terdiri dari seorang Ketua dan 6 (enam) anggota serta 3 (tiga) anggota
cadangan.
Ketua
Mahkamah
Agung
menunjuk
anggota komite, termasuk satu ketua, tiga anggota dari kalangan hakim, dan masing-masing di antara pengacara, profesor hukum, dan orang dengan pengetahuan yang mendalam
dan
pembahasan
berpengalaman.
atas
kasus
Komite
tersebut
dapat
memulai
berdasarkan
kuorum
mayoritas dari semua anggota termasuk Ketua. Selanjutnya, Komite memutuskan sebuah resolusi untuk tindakan disiplin yang
disetujui
tersebut
mayoritas
menemukan
anggota
bahwa
komite.
tidak
ada
Jika
Komite
dasar
untuk
menjatuhan tindakan disiplin maka kasus dihentikan. Tiga kategori sanksi atau tindakan disiplin bagi hakim adalah pemberhentian sementara dari jabatan, pengurangan gaji, atau teguran. Jika hakim diberhentikan sementara, ia tidak menjalankan tugas selama minilal 1 (satu) bulan dan paling lama 1 (satu) tahun. Selama periode seperti itu, gaji yang bersangkutan ditunda. Jika hakim dikenakan sanksi pengurangan gaji, jumlah yang dipotong adalah sepertiga dari gaji yang diterima untuk jangka waktu selama tidak kurang dari 1 (satu) bulan dan tidak lebih dari 1 (satu) satu tahun. Dalam hal hakim dikenakan teguran, maka teguran itu 84
merupakan teguran tertulis.
4) Jepang Konstitusi (Undang-Undang Dasar) Jepang yang mulai berlaku pada tahun 1947, didasarkan pada 3 (tiga) prinsip: kedaulatan rakyat, hormat terhadap hak-hak asasi manusia, dan penolakan perang. Konstitusi juga menetapkan kemandirian tiga badan pemerintahan - badan legislatif (Diet atau Parlemen), badan eksekutif (kabinet), dan badan yudikatif (pengadilan). Kekuasaan yudikatif terletak di tangan Mahkamah Agung dan pengadilanpengadilan
yang
lebih
rendah,
seperti
pengadilan
tinggi,
pengadilan distrik, dan pengadilan sumir. Mahkamah Agung terdiri dari Ketua Mahkamah Agung, dan 14 (empat belas) Hakim lainnya, semuanya ditunjuk oleh kabinet. Kebanyakan kasus ditangani oleh pengadilan distrik yang bersangkutan. Juga ada pengadilan sumir, yang menangani kasus seperti pelanggaran lalu-lintas, dan lain-lain.137 Bab VI Konstitusi Jepang mengatur tentang Kehakiman dengan jumlah 7 (tujuh) pasal (Pasal 76 sampai dengan Pasal 82). Seluruh kekuasaan kehakiman berada di Mahkamah Agung dan pengadilan-pengadilan yang lebih rendah sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang. Tidak ada pengadilan luar biasa boleh diadakan, dan tidak juga sesuatu organ atau badan dari eksekutif diberi kekuasaan kehakiman yang final. Semua hakimhakim harus tidak terikat di dalam melaksanakan keyakinan mereka dan harus hanya terikat oleh Undang-Undang Dasar ini dan undang-undang, sehingga lembaga Kehakiman benar-benar netral dan independen. Independensi ini juga termasuk dari pengaruh eksekutif dan atau legislatif, sehingga tidak boleh ada tindakan disipliner terhadap hakim-hakim yang dilakukan oleh sesuatu
organ
eksekutif atau legislatif. Dilain pihak, Menteri-menteri negara, selama masa jabatan mereka, tidak boleh dikenakan tindakan hukum tanpa persetujuan dari Perdana Menteri. Walaupun demikian,
hak
untuk
mengambil
tindakan
tersebut
tidak
dirusakkan karena hal tersebut. Dalam permasalahan pengangkatan Hakim Agung terdapat campur tangan Eksekutif, dimana Hakim Agung (kecuali Hakim
137 Hubungan Internasional, dimuat dalam http://www.id.embjapan.go.jp/expljp_14.html, diunduh pada 23 Januari 2016, Pukul 13.30 WIB.
85
Kepala) harus diangkat oleh Kabinet. Sedangkan Hakim-hakim pada pengadilan-pengadilan yang lebih rendah harus diangkat oleh Kabinet dari suatu daftar orang-orang yang dicalonkan oleh Mahkamah Agung. Kabinet dengan persetujuan Kaisar juga melakukan fungsi dalam hal pemutusan atas amnesti umum, amnesti khusus, pengurangan hukuman, menunda pelaksanaan hukuman, dan pemulihan hak-hak, yang sebenarnya menjadi wilayah lembaga Yudikatif. Adapun hubungan antara kehakiman dengan parlemen dapat kita lihat ketika anggota-anggota dari kedua Houses (Majelis Tinggi dan Rendah) tidak boleh dinyatakan bertanggung jawab diluar House untuk pidato-pidato, perdebatan-perdebatan atau suara yang diberikan di dalam House. Dilain pihak, parlemen harus membentuk suatu pengadilan tindak pidana bagi pejabatpejabat umum diantara anggota-anggota kedua Houses untuk tujuan mengadili mereka oleh para hakim terhadap siapa tindakan-tindakan pemindahan telah diadakan. Serta hal-hal yang berhubungan dengan tindak pidana pejabat-pejabat umum harus diatur dengan undang-undang. Agak mirip dengan di Indonesia, Jepang mengenal 3 (tiga) tingkatan peradilan. Di tingkat pertama, terdapat 438 (empat ratus tiga puluh delapan) Summary Court, 50 (lima puluh) District Court dan 50 (lima puluh) Family Court. Di tingkat banding, ada 8 (delapan) High Court. Di tingkat kasasi, ada 1 (satu) Supreme Court yang terletak di Tokyo. Summary Court untuk menangani perkaraperkara pidana maupun perdata yang tergolong ringan, dengan patokan
ancaman
hukuman
pidana
atau
jumlah
yang
disengketakan hanya sekian Yen. District Court hampir sama dengan Pengadilan Negeri di Indonesia. Sementara Family Court mirip Pengadilan Agama, yaitu untuk menangani sengketasengketa rumah tangga.138 Pengadilan tertinggi pertama di Jepang dengan gaya barat adalah Supreme Court of Judicature (大審院 Dai-shin'in) yang dikelola oleh Menteri Hukum pada tahun 1875. Badan peradilan ini memiliki 120 (seratus dua puluh) orang hakim yang terbagi dalam dua divisi yaitu sipil dan kriminal. Setiap panel majelis selalu
terdiri
dari
5
(lima)
orang
hakim.
Divisi
peradilan
kriminalnya adalah merupakan peradilan tingkat pertama bagi 138 Dari Jepang Hakim PA Wonosaro Mendapat Banyak Oleh-Oleh, dimuat dalam http://www.badilag.net/seputar-ditjen-badilag/seputar-ditjen-badilag/dari-jepang-hakim-pawonosari-mendapat-banyak-oleh-oleh, diunduh pada 22 Januari 2016, pukul 15.00 WIB.
86
kejahatan-kejahatan terhadap kerajaan/Raja Jepang dan untuk kejahatan tingkat tinggi terhadap kepentingan umum. Undangundang yang mengatur tentang badan peradilan ini dinyatakan tidak berlaku pada tahun 1947, dan sebagai gantinya dibentuk Peradilan Tertinggi modern berdasarkan Konstitusi Jepang tahun 1946. Persidangan pertama dilakukan pada bulan Mei 1947 di sebuah gedung yang dahulu dikenal sebagai Privy Council yang terletak diperempatan Imperial Palace. Pada bulan September 1947, Peradilan Tertinggi Jepang ini pindah ke Tokyo District Court lalu kemudian ke Supreme Court of Judicature pada bulan Oktober 1949. Pada tahun 1974, Supreme Court pindah ke gedung yang ditempatinya hingga sekarang yang terletak di 4-2 Hayabusa-cho, Chiyoda, Tokyo.139 Berdasarkan Pasal 81 konstitusi dikatakan bahwa "sebagai peradilan
terakhir
dengan
kewenangan
untuk
memutuskan
keabsahan hukum dari setiap hukum, aturan, regulasi, ataupun tindakan resmi". Supreme Court juga bertanggung jawab dalam mengangkat hakim pada peradilan dibawahnya, memutuskan prosedur judisial, meninjau sistem judisial Jepang, termasuk segala
suatu
aktivitas
dari
jaksa
penuntut
umum
dan
menjatuhkan hukuman disiplin terhadap hakim dan perangkat hukum lainnya. Untuk persidangan perkara konstitusional maka majelis yang berwenang adalah majelis besar yang terdiri dari 15 (lima belas) orang hakim. Badan peradilan ini juga memiliki 20 (dua puluh) panitera yang berfungsi sebagaimana fungsi panitera pada
badan
peradilan
tinggi
Amerika.
Hakim
Ketua
yang
mengepalai badan peradilan tertinggi ini dipilih oleh kabinet (Perdana Menteri) dan diangkat oleh Raja. Wakil Ketua diangkat oleh Kabinet. Supreme Court adalah merupakan satu-satunya badan peradilan yang berwenang untuk melakukan peninjauan atas keabsahan hukum, walaupun badan peradilan dibawahnya juga memiliki kewenangan dalam menginterpretasikan konstitusi. Supreme Court hanya melakukan peninjauan judisial apabila terjadi sengketa sungguh-sungguh antara pihak-pihak dan tidak menerima
pengajuan
peninjauan
keabsahan
hukum
yang
diajukan oleh pemerintah. Supreme Court pada umumnya enggan untuk
melaksanakan
kewenangannya
dalam
melakukan
peninjauan judisial yang diberikan kepadanya oleh konstitusi oleh 139Mahkamah Agung Jepang, dimuat dalam https://id.wikipedia.org/wiki/Mahkamah_Agung_Jepang, diunduh pada tanggal 23 Januari 2016 pukul 19.00 WIB.
87
karena keengganannya untuk terlibat di dalam masalah politik yang sensitif.140 Konstitusi Jepang menyatakan:141
Article 76. The whole judicial power is vested in a Supreme Court and in such inferior courts as are established by law. No extraordinary tribunal shall be established, nor shall any organ or agency of the Executive be given final judicial power. All judges shall be independent in the exercise of their conscience and shall be bound only by this Constitution and the laws. Article 77. The Supreme Court is vested with the rule-making power under which it determines the rules of procedure and of practice, and of matters relating to attorneys, the internal discipline of the courts and the administration of judicial affairs. Public procurators shall be subject to the rule-making power of the Supreme Court. The Supreme Court may delegate the power to make rules for inferior courts to such courts. Article 78. Judges shall not be removed except by public impeachment unless judicially declared mentally or physically incompetent to perform official duties. No disciplinary action against judges shall be administered by any executive organ or agency. Article 79. The Supreme Court shall consist of a Chief Judge and such number of judges as may be determined by law; all such judges excepting the Chief Judge shall be appointed by the Cabinet. The appointment of the judges of the Supreme Court shall be reviewed by the people at the first general election of members of the House of Representatives following their appointment, and shall be reviewed again at the first general election of members of the House of Representatives after a lapse of ten (10) years, and in the same manner thereafter. In cases mentioned in the foregoing paragraph, when the majority of the voters favors the dismissal of a judge, he shall be dismissed. Matters pertaining to review shall be prescribed by law. The judges of the Supreme Court shall be retired upon the attainment of the age as fixed by law. All such judges shall receive, at regular stated intervals, adequate compensation which shall not be decreased during their terms of office. Article 80. The judges of the inferior courts shall be appointed by the Cabinet from a list of persons nominated by the Supreme Court. All such judges shall hold office for a term of ten (10) years with privilege of reappointment, provided that they shall be retired upon the attainment of the age as fixed by law. The judges of the inferior courts shall receive, at regular stated intervals, adequate compensation which shall not be decreased during their terms of office.
140 141
Ibid.
The Constitution of Japan, dimuat http://japan.kantei.go.jp/constitution_and_government_of_japan/constitution_e.html. diunduh pada tanggal 23 Januari 2016, Pukul 16.00 WIB.
dalam
88
Hakim di Jepang merupakan hakim yang paling jujur, independen, dan profesional serta berkompeten di dunia saat ini. Sebagian besar merupakan profesional di bidang hukum yang mendapat kepercayaan sangat tinggi dari masyarakat. Sebagian besar hakim memulai karier di pertengahan akhir 20-an (mid to late 20s) setelah lulus dari court-administered Legal Training and Research
Institute
(LTRI)
atas
dasar
pemeriksaan
peradilan
nasional Jepang yang sangat kompetitif (Shiho Shiken). Program 2 (dua) tahun termasuk tugas untuk kedua divisi pidana dan perdata dari pengadilan distrik, kantor jaksa pengadilan distrik, dan firma hukum di samping 2 (dua) periode yang diperpanjang melalui kelas kuliah dan latihan di Institut Tokyo. Rekrutmen hakim
baru
dimulai
di
Institut
oleh
hakim
karier
yang
berpartisipasi dalam program sebagai instruktur atau mentor. Setelah lulus mereka yang tertarik untuk berkarier di bidang peradilan
dapat
mengirimkan
permohonan/melamar
ke
Mahkamah Agung untuk pengangkatan sebagai asisten hakim. Meskipun pengangkatan secara resmi dibuat oleh kabinet dari daftar nominasi yang diajukan oleh Mahkamah Agung, seleksi dilakukan oleh Biro Pusat Kepegawaian Sekretariat Pengadilan (the Central Personnel Bureau of the Court’s Secretariat), dengan mempersiapkan
daftar.
Adapun
hakim
asisten
yang
ditunjuk/diangkat untuk masa jabatan 10 (sepuluh tahun). Setelah berakhirnya 10 (sepuluh) tahun, mereka berhak untuk diangkat sebagai hakim penuh untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun lagi. Pengangkatan/penunjukan kembali (reappointment) dilakukan secara rutin. Sebagian besar terus melayani sampai mereka mencapai usia pension 65 (enam puluh lima) tahun. (pensiun wajib bagi hakim agung dan hakim summary court yaitu pada usia 70 (tujuh puluh) tahun).142 Hakim karier di semua kabupaten (district) Jepang dan pengadilan
tinggi
Jepang
serta
kantor
administrasi
utama
diperlukan untuk pengelolaan seluruh cabang yudisial, termasuk posisi administrasi senior di Sekretariat Jenderal. Selain itu, sekitar 30 (tiga puluh) hakim peneliti (chōsakan) ditunjuk dari jajaran senior dalam karier untuk membantu Mahkamah Agung. Semua hakim karier bertugas untuk pengadilan nasional untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun. Sebagai asisten hakim yang baru 142
The Japanese Judiciary: Maintaining Integrity, Autonomy and the Public Trust. John O. Haley Wiley B, Rutledge Professor of Law Washington University in St. Louis,
hlm 4.
89
diangkat, pada awalnya sebagian melayani di pengadilan keluarga di lingkungan Tokyo atau Osaka. Hampir semua kemudian ditugaskan
ke
Tokyo
atau
Pengadilan
Distrik
Osaka
atau
pengadilan negeri di daerah metropolitan besar lain, seperti Nagoya, Fukuoka atau Sapporo. Sebagai hakim biasa bertugas 3 (tiga) tahun di berbagai pengadilan yang pada awalnya di seluruh negeri tetapi kemudian dalam suatu wilayah tertentu, seperti wilayah Kanto sekitar Tokyo atau Kansai dan Jepang Barat. Seorang hakim karier biasanya akan melayani 2 (dua) atau 3 (tiga) kali pada pengadilan distrik utama, 1 (satu) atau lebih di pengadilan keluarga, mungkin pengadilan cabang pedesaan (rural branch
court),
serta
pengadilan
tinggi.
Banyak
juga
akan
menghabiskan waktu di Tokyo di Mahkamah Agung, dengan tugas administrasi atau penelitian, kembali sebagai hakim senior di pengadilan keluarga atau kabupaten atau keduanya sebagai ketua majelis hakim untuk pengadilan. Posisi Chokan (hakim ketua atau presiden) dari pengadilan tinggi adalah pos tertinggi hakim karier dapat terus dipegang selama karier peradilan biasa (regular judicial career).143 Hakim di Jepang diseleksi oleh Kementerian Kehakiman Jepang,
bersama
dengan
jaksa
dan
advokat.
Peminatnya
merupakan lulusan Law School atau setara dengan S2. Dalam praktiknya, antara hakim, jaksa dan avokat dalam menjalankan aktivitasnya
jarang
terjadi
benturan-benturan
dalam
melaksanakan dan menegakkan hukum di Jepang. Advokat, hakim dan jaksa seolah menyatu dalam visi dan misi serta memiliki persepsi yang sama tentang penerapan dan penegakan hukum. Pengadilan di Jepang memiliki wibawa yang sangat tinggi dan semua pegawai pengadilan senantiasa mengingatkan kepada siapa pun agar dilarang untuk mengambil gambar, baik foto maupun video.
144
Hakim di Jepang tidak memiliki kode etik dan
pedoman perilaku hakim seperti di Indonesia, namun hukum telah menjadi darah daging dan ruhnya sehingga semua hakim belum ada yang melakukan penyimpangan baik hukum maupun etika.145
143
Ibid.,hlm. 5. Tak Ada Kode Etik Hakim di Jepang tapi Nol Pelanggaran, Bagaimana di RI? dimuat dalam http://news.detik.com/berita/2888158/tak-ada-kode-etik-hakim-di-jepang-tapi-nolpelanggaran-bagaimana-di-ri, diunduh pada 22 Januari 2016, Pukul 17.00 WIB. 145 Ibid. 144
90
BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT
A. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) Menurut UUD NRI Tahun 1945, kekuasaaan kehakiman sebagai penyelenggara negara merupakan salah satu badan penyelenggara negara yang
terdiri
dari
kekuasaan
kehakiman
tertinggi
dan
kekuasaan
kehakiman tingkatan lebih rendah. Kekuasaan kehakiman yang dijalankan oleh Mahkamah Agung bersama- sama dengan peradilan dibawahnya adalah kekuasaaan untuk memeriksa, mengadili serta memberikan putusan atas perkara- perkara yang diserahkan kepadanya untuk menegakkan hukum dan pengadilan sesuai dengan perundang- undangan. Di dalam Pasal 24 UUD NRI Tahun 1945: Ayat (1) “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan” Ayat (2) “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan
peradilan
agama,
lingkungan
peradilan
militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi” Ayat (3) “Badan-
badan
lain
yang
fungsinya
berkaitan
dengan
kekuasaan
kehakiman diatur dalam undang- undang.”
Pasal 24 A UUD NRI Tahun 1945: Ayat (1) “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang- undangan dibawah undang- undang terhadap undang- undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang- undang”
B. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan kehakiman Salah satu ketentuan yang berkaitan dengan jabatan hakim dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman 91
(UU Kekuasaan Kehakiman) yaitu status hakim sebagai pejabat negara. Status
tersebut
diatur
dalam
ketentuan
Pasal
19
UU
Kekuasaan
Kehakiman “Hakim dan hakim konstitusi adalah pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang.” Adanya frasa “yang melakukan kekuasaan kehakiman” setelah frasa “pejabat negara” dalam rumusan pasal tersebut menunjukkan bahwa hakim bukan pejabat negara pada umumnya tetapi pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman. Status hakim dalam UU Kekuasaan Kehakiman berbeda dengan status hakim dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) meskipun kedua undang-undang tersebut sama-sama memberikan status pejabat negara kepada hakim. Dalam UU Kekuasaan Kehakiman status pejabat negara hakim memiliki kekhususan tertentu yaitu pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman, sedangkan dalam UU ASN, status pejabat negara hakim disamakan dengan status pejabat negara pada umumnya. Pemberian status pejabat negara kepada hakim oleh UU Kekuasaan kehakiman berimplikasi pada pengaturan mengenai hak hakim untuk memperoleh jaminan keamanan dan kesejahteraan dalam menjalankan tugasnya. Hal ini telah diatur dalam ketentuan Pasal 48 UU Kekuasaan Kehakiman “Negara memberikan jaminan keamanan dan kesejahteraan hakim dan hakim konstitusi dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab penyelenggaraan kekuasaan kehakiman.” Jaminan keamanan hakim dan hakim konstitusi dilakukan oleh aparat Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dengan adanya jaminan keamanan tersebut diharapkan hakim dan hakim konstitusi mampu memeriksa, mengadili, dan memutus perkara secara benar dan adil tanpa tekanan atau intervensi dari pihak manapun. Adapun yang dimaksud dengan jaminan keamanan dalam penjelasan Pasal 48 UU Kekuasaan Kehakiman yaitu “... hakim dan hakim konstitusi diberikan penjagaan keamanan dalam menghadiri dan memimpin persidangan.” Selain jaminan keamanan, hakim dan hakim konstitusi juga berhak memperoleh
jaminan kesejahteraan.
Jaminan kesejahteraan tersebut meliputi gaji pokok, tunjangan, biaya dinas, pensiun, dan hak-hak lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
C. Undang-Undang
Nomor
2
Tahun
1986
tentang
Peradilan
Umum
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum 92
Ketentuan yang berkaitan dengan jabatan hakim dalam UndangUndang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UndangUndang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (UU Peradilan Umum) yaitu implikasi status hakim sebagai pejabat negara yang melakukan
kekuasaan
kehakiman
terhadap
kedudukan
protokoler,
jaminan kesejahteraan dan keamanan, serta pengangkatan, pembinaan, pengawasan, dan pemberhentian hakim pada pengadilan negeri dan hakim pada pengadilan tinggi. Kedudukan protokoler hakim pada pengadilan negeri dan hakim pada pengadilan tinggi diatur dalam ketentuan Pasal 25 ayat (1) UU Peradilan Umum sebagai berikut: “Kedudukan protokol hakim pengadilan diatur dengan peraturan perundang-undangan.” Berdasarkan ketentuan tersebut maka UU Peradilan Umum telah mendelegasikan kewenangan mengatur mengenai kedudukan protokol hakim pengadilan kepada peraturan perundang-undangan lainnya meskipun tidak menyebut dengan tegas jenis peraturan perundang-undangannya. Adapun peraturan perundangundangan yang mengatur mengenai kedudukan protokol hakim yaitu Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2010 tentang Keprotokolan. Jaminan kesejahteraan hakim pada pengadilan negeri dan hakim pada pengadilan tinggi diatur dalam ketentuan Pasal 25 ayat (2) sampai dengan ayat (6), kecuali ayat (5) UU Peradilan Umum. Jaminan kesejahteraan tersebut meliputi: a. gaji pokok; b. tunjangan
yang
berupa
tunjangan
jabatan
dan
tunjangan
lain
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan; c. biaya dinas; d. pensiun; dan e. hak-hak lainnya yang berupa rumah jabatan milik negara, jaminan kesehatan, dan sarana transportasi milik negara. Kemudian ketentuan lebih lanjut mengenai gaji pokok, tunjangan, dan hak-hak lainnya tersebut oleh Pasal 25 ayat (6) UU Peradilan Umum didelegasikan kewenangan pengaturannya kepada peraturan perundangundangan lainnya meskipun tidak menyebut dengan tegas jenis peraturan perundang-undangannya. Jaminan keamanan hakim pada pengadilan negeri dan hakim pada pengadilan tinggi antara lain diatur dalam ketentuan Pasal 13F dan Pasal 25 ayat (5) UU Peradilan Umum. Jaminan keamanan bagi hakim pada pengadilan negeri dan hakim pada pengadilan tinggi dilakukan oleh aparat kepolisian negara Republik Indonesia. Hal ini ditegaskan dalam ketentuan Pasal 25 ayat (5) UU Peradilan Umum “Hakim pengadilan diberikan 93
jaminan keamanan dalam melaksanakan tugasnya.” Kemudian dalam penjelasannya dinyatakan:
Yang dimaksud dengan “jaminan keamanan dalam melaksanakan tugasnya” adalah hakim diberikan penjagaan keamanan dalam menghadiri dan memimpin persidangan. Hakim harus diberikan perlindungan keamanan oleh aparat terkait yakni aparat kepolisian agar hakim mampu memeriksa, mengadili, dan memutus perkara secara baik dan benar tanpa adanya tekanan atau intervensi dari pihak manapun. Pengangkatan pengadilan tinggi
hakim
pada
pengadilan
negeri
dan
hakim
pada
antara lain diatur dalam ketentuan Pasal 14 ayat (1),
Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3), Pasal 15 ayat (1), dan Pasal 16 ayat (1) UU Peradilan Umum. Ketentuan Pasal 14 ayat (1) dan Pasal 15 ayat (1) UU Peradilan Umum mengatur mengenai persyaratan untuk dapat diangkat menjadi hakim pada pengadilan negeri dan hakim pada pengadilan tinggi. Persyaratan tersebut berbeda dengan persyaratan yang diatur dalam ketentuan Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum yang mensyaratkan hakim harus dari pegawai negeri. Ketentuan Pasal 14 ayat (1) UU Peradilan Umum justru mengatur:
(1) Untuk dapat diangkat sebagai hakim pengadilan, seseorang harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. warga negara Indonesia; b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; c. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; d. sarjana hukum; e. lulus pendidikan hakim; f. mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan kewajiban; g. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela; h. berusia paling rendah 25 (dua puluh lima) tahun dan paling tinggi 40 (empat puluh) tahun; dan i.tidak pernah dijatuhi pidana penjara karena melakukan kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Kemudian ketentuan Pasal 15 ayat (1) UU Peradilan Umum mengatur:
(1) Untuk dapat diangkat menjadi hakim pengadilan tinggi, seorang hakim harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf f, huruf g, dan huruf i; b. berumur paling rendah 40 (empat puluh) tahun; c. berpengalaman paling singkat 5 (lima) tahun sebagai ketua, wakil ketua pengadilan negeri, atau 15 (lima belas) tahun sebagai hakim pengadilan negeri; 94
d. lulus eksaminasi yang dilakukan oleh Mahkamah Agung; dan e. tidak pernah dijatuhi sanksi pemberhentian sementara akibat melakukan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
Adapun ketentuan Pasal 14A ayat (2) UU Peradilan Umum mengatur “Proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan negeri dilakukan bersama oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial” dan ayat (3) mengatur agar “ketentuan lebih lanjut mengenai proses seleksi diatur bersama oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.” Ketentuan tersebut pernah dimohonkan uji materi (judicial review) kepada Mahkamah Konstitusi. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015 perihal perkara pengujian Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3) UU Peradilan Umum sepanjang kata “bersama” serta frasa “dan Komisi Yudisial” bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Putusan tersebut juga menyatakan Pasal 14A ayat (2) UU Peradilan Umum selengkapnya berbunyi “Proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan negeri dilakukan oleh Mahkamah Agung” dan Pasal 14A ayat (3) UU Peradilan Umum selengkapnya berbunyi “Ketentuan lebih lanjut mengenai proses seleksi diatur oleh Mahkamah Agung.” Selanjutnya ketentuan Pasal 16 ayat (1) UU Peradilan Umum mengatur baik hakim pada pengadilan negeri maupun hakim pada pengadilan tinggi diangkat oleh Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung. Pembinaan hakim pada pengadilan negeri dan hakim pada pengadilan tinggi diatur dalam ketentuan Pasal 13F UU Peradilan Umum. Pembinaan yang diatur dalam ketentuan ini yaitu mutasi. Mutasi meliputi promosi dan demosi. Mutasi hakim pada pengadilan negeri dan hakim pada pengadilan tinggi dilakukan oleh Mahkamah Agung. Dalam mutasi tersebut
juga
dilibatkan
peran
Komisi
Yudisial
meskipun
sebatas
rekomendasi. Hal ini diatur dalam ketentuan Pasal 13F UU Peradilan Umum sebagai berikut:
Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, Komisi Yudisial dapat menganalisis 95
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagai dasar rekomendasi untuk melakukan mutasi hakim. Pengawasan hakim pada pengadilan negeri dan hakim pada pengadilan tinggi antara lain diatur dalam ketentuan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, Pasal 13A dan Pasal 13C UU Peradilan Umum. Ketentuan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum pada pokoknya menyatakan bahwa pengawasan umum terhadap hakim dilakukan oleh Ketua Mahkamah Agung dan pengawasan tersebut tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara. Selanjutnya berdasarkan ketentuan Pasal 13A UU Peradilan Umum, pengawasan internal atas tingkah laku hakim dilakukan oleh Mahkamah Agung, sedangkan pengawasan eksternal atas perilaku hakim dilakukan oleh Komisi Yudisial. Dalam melakukan pengawasan tersebut, Komisi Yudisial berkoordinasi dengan Mahkamah Agung dan dalam hal terdapat perbedaan hasil pengawasan internal yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dengan hasil pengawasan eksternal yang dilakukan oleh Komisi Yudisial, dilakukan pemeriksaan bersama oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Hal ini diatur dalam Ketentuan Pasal 13C UU Peradilan Umum. Pemberhentian hakim pada pengadilan negeri dan hakim pada pengadilan tinggi diatur dalam ketentuan Pasal 16 ayat (1a) dan ayat (1b), Pasal 19, dan Pasal 20 UU Peradilan Umum. Hakim pada pengadilan negeri dan hakim pada pengadilan tinggi diberhentikan oleh Presiden atas usul Ketua
Mahkamah
Agung
dan/atau
Komisi
Yudisial
melalui
Ketua
Mahkamah Agung. Akan tetapi usul pemberhentian oleh Komisi Yudisial tersebut hanya dapat dilakukan jika hakim yang bersangkutan melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim. Hal ini diatur dalam ketentuan Pasal 16 ayat (1a) dan ayat (1b) UU Peradilan Umum. Pemberhentian hakim dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu pemberhentian dengan hormat dan pemberhentian tidak dengan hormat. Pemberhentian dengan hormat diatur dalam ketentuan Pasal 19 UU Peradilan Umum sebagai berikut:
(1) Ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena: a. atas permintaan sendiri secara tertulis; b. sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus; c. telah berumur 65 (enam puluh lima) tahun bagi ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan negeri, dan 67 (enam puluh tujuh) tahun bagi ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan tinggi; atau d. ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugasnya. 96
(2) Ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan yang meninggal dunia dengan sendirinya diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden. Pemberhentian tidak dengan hormat diatur dalam ketentuan Pasal 20 ayat (1) sampai dengan ayat (5) UU Peradilan Umum sebagai berikut: (1) Ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya dengan alasan: a. dipidana penjara karena melakukan kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; b. melakukan perbuatan tercela; c. melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya terus-menerus selama 3 (tiga) bulan; d. melanggar sumpah atau janji jabatan; e. melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18; dan/atau f. melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. (2) Usul pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diajukan oleh Ketua Mahkamah Agung kepada Presiden. (3) Usul pemberhentian dengan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diajukan oleh Mahkamah Agung dan/atau Komisi Yudisial. (4) Usul pemberhentian dengan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, dan huruf e diajukan oleh Mahkamah Agung. (5) Usul pemberhentian dengan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f diajukan oleh Komisi Yudisial.
Sebelum Mahkamah Agung dan/atau Komisi Yudisial mengajukan usul pemberhentian karena melakukan perbuatan tercela, melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya terus-menerus selama 3 (tiga) bulan, melanggar sumpah atau janji jabatan, melanggar larangan rangkap jabatan, dan/atau melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, hakim pada pengadilan negeri dan hakim pada pengadilan tinggi diberikan kesempatan untuk membela diri di hadapan Majelis Kehormatan Hakim. Pengaturan mengenai Majelis Kehormatan Hakim disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal ini diatur dalam ketentuan Pasal 20 ayat (6) dan ayat (7) UU Peradilan Umum.
D. Undang-Undang
Nomor
7
Tahun
1989
tentang
Peradilan
Agama
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Peradilan Agama telah meletakkan dasar kebijakan bahwa segala urusan mengenai peradilan agama, pengawasan tertinggi baik menyangkut teknis yudisial maupun nonyudisial yaitu urusan organisasi, administrasi, dan finansial berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung, sedangkan 97
untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, pengawasan eksternal dilakukan oleh Komisi Yudisial. Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dimaksudkan untuk memperkuat prinsip dasar dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, yaitu agar prinsip kemandirian peradilan dan prinsip kebebasan hakim dapat berjalan pararel dengan prinsip integritas dan akuntabilitas hakim. Perubahan penting lainnya atas Undang-Undang
Nomor
7
Tahun
1989
tentang
Peradilan
Agama
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama antara lain sebagai berikut: a. penguatan
pengawasan
hakim,
baik
pengawasan
internal
oleh
Mahkamah Agung maupun pengawasan eksternal atas perilaku hakim yang dilakukan oleh Komisi Yudisial dalam menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim; b. memperketat persyaratan pengangkatan hakim, baik hakim pada pengadilan agama maupun hakim pada pengadilan tinggi agama, antara lain melalui proses seleksi hakim yang dilakukan secara transparan, akuntabel, dan partisipatif serta harus melalui proses atau lulus pendidikan hakim; c. pengaturan mengenai pengadilan khusus dan hakim ad hoc; d. pengaturan mekanisme dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian hakim; e. keamanan dan kesejahteraan hakim; f. transparansi putusan dan limitasi pemberian salinan putusan; g. transparansi
biaya
perkara
serta
pemeriksaan
pengelolaan
dan
pertanggungjawaban biaya perkara; h. bantuan hukum; dan i. Majelis Kehormatan Hakim dan kewajiban hakim untuk menaati Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Perubahan secara umum atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama pada dasarnya untuk mewujudkan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan peradilan yang bersih serta berwibawa, yang dilakukan melalui penataan sistem peradilan yang terpadu (integrated justice system), terlebih peradilan agama secara konstitusional merupakan badan peradilan di bawah Mahkamah Agung.
E. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang98
Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu undang-undang yang mengatur lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung. Perubahan kedua yang dilakukan atas UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara meletakkan dasar kebijakan bahwa segala urusan mengenai Peradilan Tata Usaha Negara, baik menyangkut teknis yudisial maupun nonyudisial yaitu urusan organisasi, administrasi, dan finansial di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Perubahan penting lainnya atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara antara lain sebagai berikut: a. penguatan
pengawasan
hakim,
baik
pengawasan
internal
oleh
Mahkamah Agung maupun pengawasan eksternal atas perilaku hakim yang dilakukan oleh Komisi Yudisial dalam menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim; b. memperketat persyaratan pengangkatan hakim, baik hakim pada Pengadilan Tata Usaha Negara maupun hakim pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara antara lain melalui proses seleksi hakim yang dilakukan secara transparan, akuntabel, dan partisipatif serta harus melalui proses atau lulus pendidikan hakim; c. pengaturan mengenai pengadilan khusus dan hakim ad hoc; d. pengaturan mekanisme dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian hakim; e. kesejahteraan hakim; f. transparansi putusan dan limitasi pemberian salinan putusan; g. transparansi
biaya
perkara
serta
pemeriksaan
pengelolaan
dan
pertanggungjawaban biaya perkara; h. bantuan hukum; dan i. Majelis Kehormatan Hakim dan kewajiban hakim untuk menaati Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Perubahan secara umum atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara pada dasarnya untuk mewujudkan penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman yang merdeka dan peradilan yang bersih serta berwibawa, yang dilakukan melalui penataan sistem peradilan yang terpadu (integrated justice system), 99
terlebih pengadilan tata usaha negara secara konstitusional merupakan salah satu badan peradilan di bawah Mahkamah Agung yang mempunyai kewenangan dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tata usaha negara.
F. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara Ketentuan yang berkaitan dengan jabatan hakim dalam UndangUndang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) yaitu status hakim sebagai pejabat negara dan perbedaan status antara hakim karier dengan hakim ad hoc. Berdasarkan ketentuan Pasal 122 huruf e UU ASN, hakim agung pada Mahkamah Agung dan hakim pada semua badan peradilan kecuali hakim ad hoc merupakan pejabat negara. Pengecualian hakim ad hoc sebagai pejabat negara sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 122 huruf e UU ASN pernah dimohonkan uji konstitusionalitas (constitutional review/judicial review) kepada Mahkamah Konstitusi. Akan tetapi melalui Putusan Nomor 32/PUU-XII/2014 perihal pengujian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Mahkamah Konstitusi menolak permohonan tersebut. Dalam pertimbangan hukum Nomor [3.19], Mahkamah berpendapat:
… Penentuan kualifikasi hakim in casu hakim ad hoc apakah sebagai pejabat negara atau bukan merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) yang sewaktu-waktu dapat diubah oleh pembentuk undang-undang sesuai dengan tuntutan kebutuhan dan perkembangan yang ada sesuai dengan jenis dan spesifikasi serta kualifikasi jabatan tersebut. Dengan demikian penentuan kualifikasi pejabat negara yang dikecualikan untuk hakim ad hoc sepenuhnya merupakan kewenangan pembentuk undang-undang. Hakim ad hoc dapat diangkat pada pengadilan khusus. Hakim ad hoc bertugas memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang membutuhkan keahlian dan pengalaman di bidang tertentu. Pada saat ini terdapat pengaturan mengenai hakim ad hoc dalam berbagai undang-undang antara lain: a. hakim ad hoc pada pengadilan niaga yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang; b. hakim ad hoc pada pengadilan Hak Asasi Manusia yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia;
100
c. hakim ad hoc pada pengadilan tindak pidana korupsi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi; d. hakim ad hoc pada pengadilan hubungan industrial yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial; e. hakim ad hoc pada pengadilan perikanan yang diatur dalam UndangUndang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah
dengan
Undang-Undang
Nomor
45
Tahun
2009
tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan; f. hakim ad hoc pada pengadilan pajak yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak; g. hakim ad hoc pada Mahkamah Syar’iyah yang diatur dalam
Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh; dan h. hakim ad hoc pada Mahkamah Agung yang diatur dalam UndangUndang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan undang-undang terkait lainnya.
G. Undang- Undang No. 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial Di dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011, Komisi Yudisial mempunyai wewenang:
a. mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan; b. menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim; c. menetapkan Kode Etik dan/ atau Pedoman Perilaku hakim bersama- sama dengan Mahkamah Agung; d. menjaga dan menegakkan pelaksanaan Kode Etik dan/ atau Pedoman perilaku Hakim.
Komisi Yudisial mempunyai fungsi yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, tetapi bukan sebagai pelaku kekuasaan kehakiman. Komisi Yudisial mempunyai tugas utama mengusulkan pengangkatan hakim agung dan juga wewenang lainnya yaitu menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim. Hal ini terwujud dalam undang- undang agar independensi hakim dapat terjaga. Walaupun mempunyai tugas dan wewenang tersebut, KY tidak dapat melakukan 101
intervensi terhadap hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara di pengadilan. Pasal 20 ayat (2) berbunyi: “Selain tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Yudisial juga
mempunyai
tugas
mengupayakan
peningkatan
kapasitas
dan
kesejahteraan hakim” Dalam
peningkatan
kapasitas
hakim,
hal
tersebut
merupakan
tanggung jawab Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Diperlukan penyusunan kurikulum bersama antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial agar program tersebut lebih sistematis dan keselarasan antara dua lembaga tersebut dalam meningkatkan kapasitas hakim.
H. Undang- Undang Nomor 9 Tahun 2010 tentang Keprotokolan Ketentuan yang berkaitan dengan jabatan hakim dalam UndangUndang Nomor 9 Tahun 2010 tentang Keprotokolan (UU Keprotokolan) yaitu kedudukan protokoler hakim. Status hakim sebagai pejabat negara sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 19 UU Kekuasaan kehakiman dan Pasal 122 huruf e UU ASN berimplikasi terhadap adanya hak keprotokolan bagi hakim baik hakim pada Mahkamah Agung maupun hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut. Ketentuan Pasal 1 angka 1 UU Keprotokolan memberikan batasan pengertian mengenai keprotokolan sebagai berikut:
Keprotokolan adalah serangkaian kegiatan yang berkaitan dengan aturan dalam acara kenegaraan atau acara resmi yang meliputi tata tempat, tata upacara, dan tata penghormatan sebagai bentuk penghormatan kepada seseorang sesuai dengan jabatan dan/atau kedudukannya dalam negara, pemerintahan, atau masyarakat. Selanjutnya ketentuan Pasal 1 angka 4 UU Keprotokolan memberikan batasan pengertian mengenai tata tempat yaitu “Tata Tempat adalah pengaturan tempat bagi Pejabat Negara, Pejabat Pemerintahan, perwakilan negara asing dan/atau organisasi internasional, serta Tokoh Masyarakat Tertentu dalam Acara Kenegaraan atau Acara Resmi.” Berkaitan dengan hal tersebut maka seluruh hakim pada Mahkamah Agung maupun hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan
peradilan
agama,
lingkungan
peradilan
militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut berhak untuk 102
mendapatkan tempat dalam acara kenegaraan atau acara resmi dan hak tersebut harus diatur dalam UU Keprotokolan ini. Akan tetapi, hak belum semua hak tersebut diatur dalam UU Keprotokolan ini. Hakim yang mendapatkan tempat dalam acara kenegaraan yang telah diatur dalam UU Keprotokolan hanya hakim pada Mahkamah Agung. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam ketentuan Pasal 9 ayat (1) huruf q UU Keprotokolan sebagai berikut:
(1) Tata Tempat dalam Acara Kenegaraan dan Acara Resmi di Ibukota Negara Republik Indonesia ditentukan dengan urutan: q. anggota Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, Ketua Muda dan Hakim Agung Mahkamah Agung Republik Indonesia, Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, dan anggota Komisi Yudisial Republik Indonesia; Adapun hakim pada badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut
belum
mendapatkan
tempat
dalam
acara
resmi
karena
berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf g dan Pasal 11 ayat (1) huruf f UU Keprotokolan, yang mendapatkan tempat dalam acara resmi di provinsi atau di kabupaten/kota hanya ketua pengadilan tinggi semua badan peradilan dan ketua pengadilan semua badan peradilan di kabupaten/kota.
103
BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS
A. Landasan Filosofis Undang-Undang
Dasar
Negara
Republik
Indonesia
Tahun
1945
menegaskan bahwa Indonesia adalah Negara hukum (rechtsstaat). Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu landasan penting Negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang
merdeka,
bebas
dari
pengaruh
kekuasaan
lainnya
untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Landasan tersebut menghendaki kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak manapun dan dalam bentuk apapun, sehingga dalam
menjalankan
tugas
dan
kewajibannya
terdapat
jaminan
ketidakberpihakan kekuasaan kehakiman kecuali terhadap hukum dan keadilan.146 Kekuasaan kehakiman diatur di dalam BAB IX Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Di dalam bagian tersebut diatur mengenai Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, dan Mahkamah Konstitusi. Kekuasaan Kehakiman dalam Pasal 24 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan
peradilan
guna
menegakkan
hukum
dan
keadilan. Pengadilan, sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, adalah salah satu unsur penting dalam sebuah negara yang berdasarkan hukum (rechtsstaat).
Hanya
pengadilan
yang
memenuhi
kriteria
mandiri
(independen), netral (tidak berpihak), dan kompeten yang dapat menjamin pemenuhan hak asasi manusia. Oleh karena itu, posisi hakim sebagai aktor utama lembaga peradilan menjadi amat vital, terlebih lagi mengingat segala kewenangan yang dimilikinya. Melalui putusannya, hakim dapat mengubah, mengalihkan, atau bahkan mencabut hak dan kebebasan warga negara, dan semua itu dilakukan dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan. Besarnya kewenangan dan tingginya tanggung jawab hakim ditunjukkan melalui putusan pengadilan yang selalu diucapkan dengan irah-irah "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". Hal ini menegaskan
bahwa
kewajiban
menegakkan
keadilan
tidak
hanya
146 Sunarto, Pelaksanaan Fungsi Pengawasan terhadap Hakim dihubungkan dengan Independensi Kekuasaan Kehakiman, Laporan Penelitian, Puslitbang Kumdil Mahkamah Agung, Jakarta, 2013, hlm.1.
104
dipertanggungjawabkan kepada sesama manusia, tetapi juga kepada Tuhan Yang Maha Esa.147 Kemerdekaan
yang
diberikan
kepada
penyelenggara
kekuasaan
kehakiman adalah dalam rangka penegakan hukum dan keadilan. Oleh karena itu, jaminan independensi ditujukan agar kekuasaan kehakiman dapat merdeka, baik secara institusi maupun individu. Independensi kekuasaan
kehakiman
meliputi
beberapa
hal
yaitu
independensi
institusional, fungsional, dan personal. Independensi institusional telah memiliki dasar yang kuat dengan diberlakukannya sistem satu atap sehingga intervensi ekstra yudisial terhadap lembaga peradilan secara konstitutif telah tertutup. Pembaharuan dan independensi institusional ini ditegaskan secara normatif bahwa “organisasi, administrasi, dan finansial Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya berada di bawah kekuasaan kehakiman”.148 Selain
independensi
institusional,
kekuasaan
kehakiman
dalam
konteks pelaksanaan fungsinya (independen fungsional) dijamin oleh konstitusi. Konstitusi memberikan jaminan dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman
sehingga
menegakan
hukum
terselenggara dan
peradilan
keadilan.149
yang
Dalam
berguna
konteks
ini,
untuk hakim
ditempatkan sebagai penegak hukum dan keadilan, independensinya terkandung didalam fungsi penegakan hukum dan keadilan tersebut. Bukan hanya menegakan hukum dalam arti undang-undang saja atau dengan kata lain sebagai corong undang-undang, namun juga dalam rangka menegakan keadilan. Bahkan diwajibkan pula kepadanya untuk menggali
dan
menemukan
hukum
yang
berkembang
di
dalam
masyarakat.150 Sebagaimana disampaikan oleh Bagir Manan bahwa peranan hakim sangatlah penting dalam penegakan hukum dan keadilan, yaitu:151 Pertama, melalui putusan hakim, ketentuan undang-undang yang abstrak menjadi suatu kenyataan. Kedua, hakim bukan hanya menyatakan (menetapkan) hukum bagi yang berperkara, namun juga menciptakan hukum yang belaku umum. Ketiga, hakim menjamin aktualisasi hukum, termasuk mengarahkan perkembangan hukum. Atas identifikasi tugas 147
Iskandar Kamil, Kode Etik Profesi Hakim dalam Pedoman Perilaku Hakim (Code of Conduct), Kode Etik Hakim dan Makalah Berkaitan, Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2006. Hlm.7.
Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. 149 Pasal 24 ayat (1) UUD NRI 1945. 148
150
Boy Nurdin, Kedudukan Hakim Dalam Penegakan Hukum di Indonesia, Alumni, Bandung, 2012, hlm.12 151 Bagir Manan, Penafsiran Sebagai Bentuk Penemuan Hukum, dalam Idris, dkk. (Ed), Penemuan Hukum Nasional dan Internasional (dalam rangka Purna Bakti Prof. Dr. Yudha Bhakti, SH.,MH), Fikahati Aneska, Bandung, 2012, hlm. 84.
105
hakim sebagai penegak hukum dan keadilan yang independen tersebut, maka keberadaan, kedudukan dan fungsinya berbeda dengan penegak hukum lain yang sebatas sebagai penegak hukum atau penerap undangundang. Hakim memiliki spesifikasi yang berbeda dalam hal pemberi keadilan, karena hakim dilarang menolak perkara meskipun hukumnya tidak ada atau tidak jelas sehingga kepadanya diberikan kewenangan untuk melakukan pembentukan hukum.152 Independensi
fungsional
sebagaimana
telah
dipaparkan
diatas
merupakan suatu bentuk independensi yang harus diwujudkan dalam konteks pelaksanaan kekuasaan kehakiman oleh hakim Mahkamah Agung dan badan peradilan dibawahnya. Independensi fungsional tersebut merupakan senjata agar hakim dapat bersikap netral atau tidak memihak dalam memberikan keadilan. Implikasi dari fungsionalisasi kekuasaan kehakiman yang independen tersebut membawa konsekuensi logis bahwa kedudukan
personal
hakim
yang
juga
perlu
didudukkan
secara
terepresentasi
dalam
independen. Independensi
personal
ini
salah
satunya
konstruksi jaminan profesi atau manajerial jabatannya. Harus ditutup segala peluang terjadinya intervensi, baik dari segi substansi, struktur dan kultur jabatan hakim yang dapat mempengaruhi independensi personal hakim sehingga bermuara pada terganggunya independensi fungsional hakim. Kesalahan dalam menempatkan dan mendudukkan jabatan hakim dan manajerialnya akan berdampak sangat mendalam bagi kelangsungan kekuasaan kehakiman. Saat ini terjadi dualisme pengaturan mengenai kedudukan dan manajerial jabatan hakim. Disatu sisi secara definitif dapat dikatakan bahwa hakim adalah pejabat Negara, namun disisi lain penerapan manajerial pegawai negeri sipil (PNS) masih diterapkan kepada hakim. Sangatlah
tidak
tepat
dan
menyalahi
ruh
kehakiman
jika
hakim
ditempatkan sebagai PNS yang notabene masuk dalam lingkup kekuasaan eksekutif. Penempatan hakim sebagai PNS (ambtenaar) adalah produk rezim kolonial yang sengaja menempatkan hakim dibawah eksekutif agar tunduk kepada eksekutif sehingga mudah untuk diintervensi. Berdasarkan pemaparan diatas, dalam kaitannya dengan pembentukan undang-undang ini, maka landasan filosofis pembentukan undang-undang ini adalah atas dasar cita dan tujuan
Negara Indonesia untuk
152
Seorang hakim dianggap tahu akan hukumnya sehingga ia tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili suatu peristiwa yang diajukan kepadanya. Hal ini diatur dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
106
mewujudkan
kemanusiaan
yang
adil
dan
beradab.
Dalam
rangka
mewujudkan cita dan tujuan tersebut, maka independensi kekuasaan kehakiman yang meliputi independensi intitusional, fungsional dan personal
hakim
sebagai
pelaksana
kekuasaan
kehakiman
dalam
menegakan hukum dan keadilan sebagaimana termaktub dalam Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) UUD NRI 1945 harus dapat terealisasi.
B. Landasan Sosiologis Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan kebutuhan
bahwa
masyarakat
peraturan dalam
yang
berbagai
dibentuk aspek.
untuk
memenuhi
Landasan
sosiologis
sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara. Oleh karena itu berikut akan dipaparkan fakta empiris dalam pelaksanaan
jabatan
Hakim
dan
kedudukannya
yang
mengalami
perubahan sebagai pejabat negara yang dapat dijadikan landasan sosiologis dalam penyusunan Draf dan NA tentang Rancangan Undang-Undang tentang Jabatan Hakim. Dengan kedudukan jabatan hakim yang masih terjadi dualisme mengakibatkan realisasi fungsi pelaksanaan kekuasaan kehakiman kurang optimal khususnya terkait kualitas pelayanan peradilan kepada masyarakat. Keadaan saat ini pelayanan keadilan yang optimal oleh hakim belum bisa dilaksanakan dikarenakan perlindungan dan kemananan terhadap hakim masih minim sehingga berakibat fokus konsentrasi hakim untuk menghasilkan putusan yang baik terganggu. Prosedur pengamanan terhadap hakim harus diberlakukan merata untuk semua perkara, tidak hanya untuk perkara tertentu oleh karena justru pada perkara yang tidak urgen pengamanan justru terjadi tindak pidana dan kekerasan yang tidak diharapkan,
contohnya
pembunuhan
hakim
dan
penggugat
saat
persidangan perkara perceraian di Pengadilan Agama Sidoarjo. Jika Hakim sudah merasa tidak aman dan keamanannya tiada terjaminkan maka sudah tentu fokus konsentrasinya untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara akan terganggu sehingga dapat dipastikan putusan keadilannya tidaklah seoptimal dan berkualitas maksimal selayak jika dirinya dalam kondisi tidak terancam maka masyarakat tidak akan mendapatkan kualitas putusan keadilan yang terbaik. Oleh karena itu, kebutuhan akan keamanan Hakim dan jaminan perlindungan dari intimidasi terhadapnya merupakan kepentingan masyarakat juga. Minimnya kesejahteraan yang difasilitasi negara terhadap Hakim selayaknya pejabat negara masih jauh dari harapan. Meskipun gaji hakim sudah dinaikkan tetapi fasilitas penunjang lainnya seperti rumah dan 107
kendaraan dinas serta jaminan kesehatan masih minim, bahkan banyak diantara hakim harus sewa rumah dan naik kendaraan umum, hanya pimpinan pengadilan yang difasilitasi. Oleh karena sebagian besar rumah dinas hakim masih memprihatinkan maka sewa rumah dilakukan oleh para hakim dengan menggunakan gaji bulanan mereka untuk membiayai sewa rumah tersebut. Dengan menyewa rumah dan menumpang kendaraan umum kurang sesuai dengan marwah hakim sebagai pejabat negara. Terlebih dengan tugas yudisial hakim maka dengan menggunakan rumah sewaan dan kendaraan umum berpotensi untuk membuka peluang bagi Hakim untuk dijadikan sasaran dan diintimidasi oleh pihak-pihak yang berkepentingan dan merasa tidak puas dengan putusan Hakim. Jika Hakim dengan mudah dijadikan
sasaran
dan
maka
selain
pengadilan
diintimidasi Hakim
itu
serta
diintervensi
sendiri
yang
saat
menjadi
di
luar
korban,
masyarakat pun secara qonditio sine quanon merugi akibat minimnya fasilitasi yang melindungi Hakim agar tidak mudah diintimidasi dan diintervensi. Jika dihubungkan dengan mutasi rutin yang akan menguras biaya dan konsentrasi pada kinerja karena harus juga memikirkan pemindahan tugas istri/suami serta sekolah anak-anak. Memang merupakan risiko seorang Hakim yang melaksanakan kebijakan rotasi dari satu tempat tugas atau wilayah ke tempat tugas atau wilayah lainnya, namun jika kebijakan rotasi ini didukung dengan fasilitasi yang memadai misalnya dengan kemudahan proses dan akomodasi kepindahan yang sesuai dan layak maka fokus kerja dan terjaganya kualitas hidup keluarga akan sinergis. Sebagai manusia sosial yang memiliki keluarga maka aspek mutasi yang memperhatikan harmoni dan kualitas hidup keluarga menjadi dukungan tersendiri bagi Hakim dalam bekerja. Terdapat korelasi antara terganggunya kualitas dan aksesibilitas serta keharmonisan keluarga terhadap kualitas dan profesionalitas kinerja Hakim. Selanjutnya jika fokus dan kualitas kinerja Hakim tidak terganggu maka pelayanan keadilan kepada masyarakat akan semakin optimal dan berkualitas. Berdasarkan beberapa penjelasan yang korelatif di atas maka dapat ditarik benang merah bahwa kedudukan dan jabatan Hakim sebagai Pejabat Negara Pelaku Kekuasaan Kehakiman dan realisasi hak serta fasilitasi terhadapnya, bukanlah untuk kepentingan Hakim dan pengadilan semata. Akan tetapi juga menjadi kebutuhan dari terselenggaranya negara hukum Indonesia. Karena jika terealisasi hak dan fasilitasi jabatan Hakim yangs sesuai dengan kedudukannya sebagai Pejabat Negara terpenuhi maka akan berfungsi memperkokoh independensinya sehingga distribusi 108
keadilan yang diselenggarakan oleh Hakim a quo pengadilan semakin berkualitas dan berwibawa. Selain itu secara faktual, profesi Hakim yang mulia tidaklah sebanding dengan kemuliaannya secara sosial. Hakim seakan hanya dimuliakan saat di persidangan, tetapi di luar pengadilan status sosialnya tidak ada beda dengan pegawai negeri sipil (PNS). Secara protokoler juga tidak setara dengan pejabat negara lainnya. Meski secara de jure Hakim berhak mendapatkan keprotokoleran, tetapi secara de facto hanya berlaku untuk pimpinan pengadilan. Previlege Hakim tidak setaraf dengan pejabat negara pada umumnya baik dari fasilitas, kesejahteraan, dan keamanannya. Ahmad Ruslan berpendapat bahwa kenyataan sehari-hari Hakim Mahkamah Agung yang disebut Hakim Agung dan Hakim Mahkamah Konstitusi yang disebut Hakim Konstitusi dari segi pengaturannya dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945) diatur secara tegas baik nama maupun tugas dan wewenangnya sehingga hirarki kedudukan kedua lembaga negara tersebut adalah setara, namun penghormatan kepada pejabat kedua lembaga tersebut berbeda. Hakim Konstitusi dalam hal protokoler antara lain dalam hal pengawalan oleh anggota Kepolisian Republik Indonesia (Polri) sangat ketat bahkan termasuk pengawalan bagi keluarganya. Berbeda dengan Hakim Agung secara empiris terlihat kurang ketat dalam pengamanannya dan tentu lebih tidak ketat bagi hakim-hakim yang berada di bawah Hakim Agung seperti Hakim Tinggi pada Pengadilan Tinggi maupun Hakim pada Pengadilan Negeri, demikian pula Hakim pada lingkungan Peradilan Militer, Pengadilan Agama, dan Pengadilan Tata Usaha Negara.153 Ahmad Ruslan menjelaskan bahwa fakta tersebut menimbulkan permasalahan yaitu timbulnya persepsi beragam yaitu apakah Hakim Agung dan Hakim yang berada di bawahnya merupakan pejabat negara atau bukan. Hal ini dilihat dari perlakuan atau penghormatan atau pengamanan kepada Hakim Agung dan Hakim yang berada di bawahnya. Hakim dalam menjalankan fungsinya berkaitan dengan kegiatan mengadili maka dia menghadapi hubungan antara seseorang dalam suatu perkara dengan orang lain, antara seseorang atau badan hukum dengan seseorang atau badan hukum lainnya, antara seseorang dengan lembaga negara, dan antarlembaga negara. Dalam hubungan tersebut dapat terjadi adanya pihak-pihak yang timbul kemarahannya terkait dengan keputusan hakim yang tidak diterima baik oleh pihak-pihak yang terlibat dalam suatu 153 Ahmad Ruslan, Kedudukan Hakim Sebagai Pejabat Negara, Makalah yang disampaikan dalam Focus Group Discussion Penelitian Lapangan tentang Kedudukan Hakim sebagai Pejabat Negara yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung pada tanggal 20 Oktober 2015 di Pengadilan Tinggi Makassar, hlm.1-2.
109
perkara yang ditangani yang dapat melakukan tindakan yang mengancam keselamatan jiwa dan fisik terhadap Hakim yang bersangkutan yang seharusnya dilindungi oleh aparat negara.154 Kasus
pembunuhan
terhadap
Ahmad
Taufik,
Hakim
anggota
Pengadilan Agama Sidoarjo pada tanggal 21 September 2005 juga Nyonya Eka Suhartini (mantan isteri pelaku pembunuhan yaitu Kolonel Irfan) memberikan kenyataan getir atas minimnya keamanan terhadap Hakim dalam melaksanakan tugasnya sehingga kejahatan berat berupa contempt of court terjadi. Saksi Muhyidin mengungkapkan, bahwa sejak sidang pertama hingga sidang ke-16 dalam perebutan harta gono gini di Pengadilan Agama Sidoarjo, Kolonel (Laut) Mohammad Irfan Jumroni yang juga Guru Militer Utama di Kodikal itu telah menunjukkan sikap tidak sopan dan suka marah-marah. Bahkan ia sering menuding-nuding ke arah majelis hakim selama persidangan berlangsung.155 Oleh karena tidak puas atas putusan hakim mengenai kepemilikan rumah di Sidoarjo, Irfan menjadi kalap dan membunuh mantan isterinya dan hakim Ahmad Taufik.156 Saat itu kecaman terhadap minimnya pengamanan di ruang sidang dilontarkan sejumlah pengamat peradilan.157 Asrofin mengakui bahwa selama ini pengamanan di pengadilan agama minim karena hanya dijaga oleh tiga orang anggota keamanan internal. Tak heran ketika Irfan membawa sangkur ke ruang sidang lolos dari pengamatan petugas keamanan.158 Pada dasarnya sebagai salah satu kejahatan, contempt of court juga memiliki
faktor
penyebab
terjadinya
atau
kausalitas
sebagaimana
kejahatan pada umumnya. Secara asas, contempt of court merupakan sebuah kejahatan yang tidak dikehendaki oleh masyarakat dan dianggap sebagai suatu perbuatan menyimpang karena merongrong wibawa dan martabat serta kehormatan peradilan. Akan tetapi secara normatif tidak sepenuhnya contempt of court merupakan kebijakan kriminalisasi di Indonesia secara spesifik dan komprehensif, masih sebagian yang telah dikategorisasi dalam rumusan tindak pidana, akibatnya penanggulangan dan pencegahan terhadapnya tidak dapat dilakukan secara optimal. 154
Ibid. Keterangan Kolonel Pembunuh Jadi Tertawaan Sidang, dimuat dalam http://www.antaranews.com/berita/26987/keterangan-kolonel-pembunuh-jadi-tertawaansidang diunduh pada 31 Januari 2016, Pukul 22.08 WIB. 156 Kolonel Pembunuh Hakim Agama Diadili, dimuat dalam http://nasional.tempo.co/read/news/2006/01/16/05872391/kolonel-pembunuh-hakimagama-diadili, diunduh pada 31 Januari 2016, Pukul 22.14 WIB. 157 Pembunuhan Kembali Terjadi di Pengadilan, dimuat dalam http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol20336/pembunuhan-kembali-terjadi-dipengadilan, diunduh pada 31 Januari 2016, Pukul 22.15 WIB. 158 Jenazah Hakim Agama Korban Penusukan Kolonel AL Dimakamkan, dimuat dalam http://tempo.co.id/hg/nusa/jawamadura/2005/09/22/brk,20050922-66939,id.html, diunduh pada tanggal 31 Januari 2016, Pukul 23.21 WIB. 155
110
Berdasarkan realitas kasus tersebut tercermin gambaran jelas bahwa penegakan hukum terhadap kasus contempt of court masih belum optimal, terbukti dengan berulangnya perbuatan tersebut dilakukan. Dalam konteks ini, teori kriminologi klasik telah menegaskan bahwa seseorang yang melakukan
kejahatan
atau
perbuatan
melanggar
hukum
telah
memperhitungkan kesenangan dan rasa sakit yang akan diperolehnya, artinya para pelaku sebelum melakukan dan mengulangi perbuatan contempt of court pasti akan memperhitungkan kehendak bebasnya untuk mengekspresikan kekesalannya dengan melawan hukum, menghina aparat hukum yang didukung dengan pertimbangan bahwa rasa sakit akibat proses penegakan hukum tidak akan menjerakan. Pemikiran demikian mewujud dalam perilaku nyata pengulangan contempt of court. Jika tidak dilakukan penanggulangan dan pencegahan maka bukan tidak mungkin perilaku pelaku yang berulang melakukan contempt of court ditiru dan diikuti oleh calon pelaku atau warga masyarakat pencari keadilan lainnya sehingga secara langsung maupun tidak langsung kewibawaan dan kehormatan pengadilan akan merosot dan dengan mudah dihina atau dilecehkan. Berkurangnya minat sarjana hukum dari universitas yang dianggap kualitas pendidikannya baik seperti Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada untuk menjadi Hakim menimbulkan keprihatinan dan kecemasan akan nasib peradilan di negara Indonesia kelak. Beranjak dari keprihatinan tersebut, Tim Riset Divisi Penelitian dan Pengembangan BPPM Mahkamah menulis suatu riset yang menunjukkan kurangnya minat mahasiswa ilmu hukum yang ingin menjadi hakim dengan mengumpulkan data dari berbagai sumber. Sumber tersebut antara lain adalah Badan Peradilan Umum (Badilum), Law Career and Development Center (LCDC) Fakultas Hukum UGM serta hasil jajak pendapat dari 100 mahasiswa Fakultas Hukum UGM. Berdasarkan 100 lembar kuesioner yang dibagikan hanya 24% responden yang manyatakan ingin menjadi hakim, sementara sisanya sebanyak 76% tidak berminat.159 Hal ini disebabkan berbagai faktor penilaian diantaranya terkait minimnya penghasilan dan kesejahteraan, rentannya risiko dan tantangan, serta pola hidup yang berpindah-pindah akibat mutasi hingga jauh di pelosok negeri hingga memicu kekhawatiran atas turunnya kualitas hidup 159
Hal serupa juga pernah mengemuka dalam sambutan Wakil Dekan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Jogjakarta dalam acara seminar nasional tentang Urgensi RUU tentang Jabatan Hakim yang diselenggarakan oleh Lembaga Kajian dan Advokasi Untuk Independensi Peradilan (LeIP), Forum Diskusi Hakim Indonesia (FDHI), dan Keluarga Mahasiswa Hukum Litigasi (KMHLi) pada Hari Sabtu tanggal 14 Maret 2015 di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Jogjakarta, menyebutkan bahwa menurut pengamatannya tidak sampai 10% (sepuluh persen Mahasiswa FH UGM yang berminat menjadi seorang hakim).
111
yaitu
kebahagiaan
dalam
berkeluarga.
Paradigma
mahasiswa
ini
merupakan bagian dari paradigma sosial terhadap profesi Hakim. Menurut Albertina, semacam ada stigma di masyarakat bahwa menjadi Hakim akan menghadapi tantangan dan tekanan dan ancaman dari para pihak atau masyarakat. Belum lagi adanya penghinaan terhadap pengadilan dan keberadaan mafia peradilan. Apalagi hidupnya jauh dari keluarga dan bertugas di daerah terpencil.160 Seharusnya realisasi hak dan fasilitasi Hakim sebagai pejabat negara pada praktiknya dapat meningkatkan derajat dan kesejahteraan keluarga serta kebanggaan masyarakat, sehingga tersosialisasikan bahwa profesi Hakim membawa kemuliaan. Oleh karenanya semakin banyak yang tertarik dan mengikuti seleksi untuk menjadi Hakim, baik yang berasal dari lulusan fakultas
hukum
(fresh
graduate)
yang
merupakan
unggulan
atau
profesional yang berpretasi sehingga yang menjadi Hakim adalah orangorang yang berprestasi, kompeten, dan berintegritas. Oleh karenanya pernah muncul usulan untuk merekrut Hakim dari 10 (sepuluh) besar lulusan perguruan tinggi unggulan tanpa mengikuti ujian tertulis. Rancangan Undang-Undang tentang Jabatan Hakim (RUU Jabatan Hakim) diharapkan menjadi pelopor untuk memuliakan profesi Hakim dan menjadi sarana pembaruan masyarakat. Sebagaimana konsep law as a tool of social engineering, perubahan paradigma masyarakat tentang kemuliaan Hakim
dapat
diharapkan
terwujud
dengan
semakin
jelas
dan
komprehensifnya pengaturan tentang kedudukan Hakim sebagai pejabat negara pelaku kekuasaan kehakiman beserta implementasinya. Dengan berbagai jaminan independensi dan fasilitasi jabatan yang terurai dalam RUU Jabatan Hakim diharapkan Hakim tidak menjadi arogan dan eksklusif sehingga antikritik dari publik terkait pelayanan keadilan. Oleh karenanya dibutuhkan mekanisme pendidikan dan pelatihan serta pembinaan etika yang dilakukan secara simultan dan berjenjang oleh Mahkamah Agung agar lebih komprehensif dan transparan. Agar bersifat aktual maka Mahkamah Agung dapat membuka kerja sama dengan lembaga negara lain atau
organisasi
profesional
yang
independen
untuk
merumuskan,
mengawal, dan mengevaluasinya sehingga Hakim yang dikelola manajerial jabatannya oleh Mahkamah Agung menjadi Hakim yang adil, berwibawa, berintegritas, profesional, dan berparadigma pelayanan prima terhadap masyarakat pencari keadilan.
C. Landasan Yuridis
160 Albertina, Realita, Tantangan, dan Harapan Hakim Indonesia, Sarasehan Interaktif, Yogyakarta, 13 Desember 2014.
112
Pengaturan mengenai pelaksanaan kekuasaan kehakiman telah diatur dibeberapa peraturan sejak masa kolonial. Pada masa kolonial diatur Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het Beleid der Justities (Reglement tentang organisasi Kehakiman dan Kebijaksanaan Peradilan) dalam Staatsblad 23/1847 jo. Staatsblad 57/1848 yang pada intinya mengatur bahwa hakim adalah seorang ambtenaar (pegawai negeri) yang khusus bertugas untuk melaksanakan peradilan dalam rangka tujuan menegakan hukum dan undang-undang.161 Kemudian pasca kemerdekaan, dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950 tentang Susunan, Kekuasaan dan Jalan Pengadilan Mahkamah Agung Indonesia yang pada pokoknya juga mengatur hal yang sama seperti yang diatur dalam Staatsblad (R.O) bahwa hakim adalah pegawai negeri yang memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh undangundang. Setelah munculnya undang-undang tersebut, pada tahun 1964 ketika berlakunya sistem demokrasi terpimpin dikeluarkanlah UndangUndang Nomor 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Undang-Undang No. 19 Tahun 1964). Pada praktik pemerintahan orde lama ini, menjadi hal yang legal dan sah
bagi
Presiden
selaku
pemimpin
besar
revolusi
untuk
dapat
mencampuri urusan pengadilan dan mengintervensi hakim. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 19 Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 bahwa “demi
kepentingan
revolusi,
kehormatan
Negara
dan
bangsa
atau
kepentingan masyarakat yang sangat mendesak, Presiden dapat turut atau campur tangan dalam soal-soal pengadilan”. Berdasarkan pasal tersebut intervensi Presiden sangatlah kuat sehingga kemandirian hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang seharusnya merdeka terpasung oleh kewenangan eksekutif. Selanjutnya di masa orde baru, sudah tidak diatur lagi secara ekstrim layaknya orde lama yang melegalkan Presiden untuk turut campur dalam urusan pengadilan demi agenda revolusi. Pada masa orde baru ini dikeluarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang KetentuanKetentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang pada pokoknya membagi kewenangan pengelolaan lembaga peradilan kepada dua lembaga. Dalam hal organisatoris lembaga peradilan menjadi kewenangan Mahkamah Agung dan untuk kewenangan finansial berada dibawah kewenangan Departemen Kehakiman. Dualisme administrasi pengadilan yang diatur dalam
undang-undang
tersebut
memberi
peran
pemerintah
dalam
161 H.M Koesnoe, Kedudukan Dan Tugas Hakim Menurut Undang-Undang Dasar 1945, Ubhara Press, Surabaya, 1998, hlm. 83.
113
administrasi pengadilan yang memuluskan jalan bagi terjadinya intervensi eksekutif terhadap lembaga peradilan. Intervensi eksekutif terhadap lembaga peradilan yang begitu dominan sejak zaman kolonial, orde lama dan orde baru pun akhirnya terkikis oleh gerakan reformasi rakyat Indonesia yang menginginkan perubahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Reformasi Tahun 1998 telah membawa perubahan yang fundamental dalam sistem ketatanegaraan kita. Salah satunya adalah reformasi dibidang hukum sebagaimana diamanatkan melalui TAP MPR Nomor X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan Dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional Sebagai Haluan Negara. Munculnya TAP MPR tersebut merupakan
titik
balik
perubahan
paradigma
dalam
pelaksanaan
kekuasaan kehakiman oleh lembaga peradilan di Indonesia. Dalam salah satu poin dalam TAP MPR tersebut ditegaskan bahwa pembinaan lembaga peradilan oleh eksekutif merupakan peluang bagi penguasa
melakukan
intervensi
ke
dalam
proses
peradilan
serta
berkembangnya kolusi dan praktek-praktek negatif pada proses peradilan. Penegakan hukum belum memberi rasa keadilan dan kepastian hukum pada kasus-kasus yang menghadapkan pemerintah atau pihak yang kuat dengan rakyat, sehingga menempatkan rakyat pada posisi yang lemah. Atas dasar permasalahan tersebut maka TAP MPR Nomor X/MPR/1998 mengamanatkan bahwa dalam rangka pelaksanaan reformasi di bidang hukum maka pemisahan yang tegas antara fungsi yudikatif dan eksekutif perlu dilakukan.162 Pelaksanaan
dari
substansi
TAP
MPR
Nomor
X/MPR/1998
diejawantahkan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang PokokPokok Kekuasaan Kehakiman (UU No. 35 Tahun 1999), yang di dalamnya mengatur
mengenai
penyatuan
atap
lembaga
peradilan.
Dengan
munculnya undang-undang tersebut maka badan peradilan dibawah Mahkamah Agung secara organisatoris, administratif, dan finansial berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Sistem penyatu atap lembaga peradilan yang diejawantahkan melalui UU No. 35 Tahun 1999 ini juga masih menimbulkan persoalan terkait manajerial hakim yang masih tunduk pada ketentuan pegawai negeri sipil seperti dalam hal rekrutmen hakim. Hal ini juga dapat dikatakan bahwa kekuasaan kehakiman belum merdeka sepenuhnya.
162 BAB II huruf c poin 2 TAP MPR No. X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan Dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional Sebagai Haluan Negara.
114
Reformasi peradilan juga telah menghasilkan perubahan status hakim yang semula hakim berstatus sebagai PNS, sekarang hakim bukan lagi sebagai PNS melainkan hakim dianggap sebagai pejabat negara. Penjelasan terkait status hakim sebenarnya sudah dijawab melalui Pasal 1 angka 1 UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, secara eksplisit menyatakan sebagai berikut, “Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Selanjutnya, dalam Pasal 2 UU tersebut dijelaskan bahwa salah satu yang termasuk penyelenggara negara, yaitu Hakim. Selain itu,
dalam Pasal 1 angka 4 UU No. 43 Tahun 1999 tentang
Perubahan UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, juga disebutkan yaitu, “Pejabat Negara adalah pimpinan dan anggota lembaga tertinggi/tinggi negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Pejabat Negara lainnya yang ditentukan oleh Undangundang.” Selanjutnya yang termasuk pejabat negara dijelaskan dalam Pasal 11 ayat (1) UU Aquo,
bahwa Pejabat Negara yaitu salah satunya
terdiri atas, “Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Agung pada Mahkamah Agung, serta Ketua, Wakil Ketua dan Hakim pada semua Badan Peradilan” Penjelasan lain juga tercantum dalam Pasal 19 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyebutkan, “Hakim dan Hakim Konstitusi adalah pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang.” Terakhir, status hakim ini juga diperjelas melalui Pasal 122 e UU No. 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN), menyatakan bahwa Pejabat Negara, yaitu, “Ketua, wakil ketua, ketua muda dan hakim agung pada Mahkamah Agung serta ketua, wakil ketua, dan hakim pada semua badan peradilan kecuali hakim ad hoc.” Dari paparan diatas dapat dikatakan bahwa pegaturan mengenai hakim sebagai pejabat Negara masih tersebar dibeberapa peraturan perundangundangan, sehingga belum ada undang-undang yang mengatur khusus sebagai pedoman pengaturan mengenai hakim sebagai pejabat Negara. Selain itu, yang perlu menjadi catatan adalah bahwa Undang-Undang ASN mengeluarkan hakim ad hoc dari pengertian hakim yang dikategorikan sebagai pejabat negara. Hal ini tentu akan menjadi potensi masalah di kemudian
hari
mengingat
terjadi
ketidakharmonisan
pengaturan
pengertian hakim ad hoc dalam UU No. 48 Tahun 2009 dan UU ASN. 115
Pemberian status pejabat negara pada hakim saat itu itu (tahun 1999) didasari pemikiran bahwa hakim adalah personil yang menyelenggarakan kekuasaan di bidang yudikatif (bukan eksekutif) sehingga status yang melekat pada hakim bukanlah PNS. Salah satu konsekuensi logis dari penetapan status tersebut adalah proses rekrutmen dan pengangkatan hakim tidak lagi mengikuti pola rekrutmen bagi PNS. Dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum, Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara telah diatur mengenai proses seleksi hakim pada masing-masing lingkungan peradilan tersebut bahwa proses seleksi dilakukan bersama oleh Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung, yang selanjutnya diatur bersama oleh Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung. Akan tetapi dalam perjalanannya, pengaturan tersebut tidak berjalan karena dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUUXIII/2015 yang amar putusannya pada intinya mencabut kewenangan keterlibatan Komisi Yudisial dalam proses rekrutmen hakim. Dengan dibatalkannya kewenangan Komisi Yudisial dalam proses rekrutmen hakim, maka rekrutmen hakim sepenuhnya dilakukan oleh Mahkamah Agung. Namun, saat ini pelaksanakan rekrutmen masih dilakukan melalui sistem CPNS, karena Mahkamah Agung beranggapan pertama, bahwa didalam tiga paket undang-undang di bidang peradilan diatas tidak dikenal istilah calon hakim. Beleid itu hanya menyebutkan proses pengangkatan hakim dilakukan oleh MA dan KY setelah memenuhi syarat-syarat menjadi hakim. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa rekrutmen calon hakim yang tunduk pada rezim pegawai negeri sipil tidak berbenturan dengan konteks hakim adalah pejabat Negara, karena hakim dianggap sebagai pejabat Negara ketika sudah diangkat, dan bukan ketika menjadi calon hakim. Kedua, rekrutmen hakim juga dapat dilakukan dengan sistem CPNS, karena dalam UU ASN menyebut aparat sipil negara bisa menjadi pejabat.163 Dua argumentasi tersebut, merupakan bentuk kekosongan hukum (rechtvacum), karena tidak ada pengaturan yang tegas mengenai proses rekrutmen hakim apakah harus tunduk pada rezim CPNS ataukah pada Mahkamah Agung. Permasalahan yuridis lain yang juga muncul adalah ketidaksinkronan aturan antara Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim (PP tentang Keuangan dan Fasilitas Hakim) dengan UU ASN. Dalam UU ASN hakim adalah pejabat Negara, maka 163 MA Sepakat Rekrutmen Cakim Pakai Sistem CPNS, dimuat dalam http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54d4971fb36f7/ma-sepakat-rekrutmen-cakimpakai-sistem-cpns, diunduh pada 31 Januari 2016, Pukul 17.59 WIB.
116
tunjangan jabatan dan hak fasilitas tidak dapat disamakan dengan pgawai negeri sipil. Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 11 PP tentang Keuangan dan Fasilitas Hakim tersebut tidaklah sinkron dengan pengaturan yang berlaku saat ini di UU ASN mengenai status jabatan Hakim sebagai pejabat negara, karena strukur gaji dan tunjangan bagi hakim masih sama dengan PNS. Dalam Pasal 3 ayat (2) dinyatakan bahwa ”ketentuan dan besaran gaji pokok Hakim sama dengan ketentuan dan besaran gaji pokok pegawai negeri sipil”, begitu juga dalam Pasal 11 yang menyatakan bahwa “hakim diberikan hak pensiun sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan di bidang pensiun pegawai negeri sipil”. Berdasarkan beberapa pemaparan diatas, dalam kaitannya dengan pembentukan undang-undang ini, maka landasan yuridis pembentukan undang-undang ini adalah atas dasar terjadinya kekosongan hukum terkait pengaturan rekrutmen hakim, ketidakharmonisan pengaturan mengenai
pejabat
ketidaksinkronan
Negara aturan
dalam
antara
beberapa
undang-undang
undang-undang
dengan
serta
peraturan
pelaksana terkait pengaturan mengenai tunjangan dan fasilitas hak untuk para hakim. Sehingga perlu dibuat undang-undang yang secara khusus lebih komprehensif, tegas dan jelas terkait dengan pengaturan status, kedudukan dan manajerial hakim.
117
BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN RUU JABATAN HAKIM
A. Jangkauan Jangkauan dari RUU tentang Jabatan Hakim ini mengatur Hakim selaku
merupakan
kehakiman
yang
pejabat perlu
negara menjaga
sebagai
pelaksana
integritas,
kekuasaan
kemandirian,
dan
profesionalitasnya serta menjamin keamanan dan kesejahteraannya dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap hukum dan keadilan. Hakim
tersebut
mendapatkan
kewenangannya
secara
atributif
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945,
dari yang
berarti bahwa jangkauan pengaturan hakim sebagai pejabat negara adalah dengan kekhususan tersendiri. Kekhususan ini merupakan keistimewaan yang diberikan oleh Undang-undang, dalam arti akan berbeda dengan konsep
pejabat
negara
eksekutif
atau
legislatif,
yang
semata-mata
diberikan kepada hakim sebagai jaminan independensi hakim. Indepedensi Hakim sebagai pejabat negara sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman ini dijamin oleh negara melalui Pasal 122 huruf e UU ASN yang menyatakan bahwa Pejabat Negara yaitu “Ketua, wakil ketua, ketua muda dan hakim agung pada Mahkamah Agung serta ketua, wakil ketua, dan hakim pada semua badan peradilan kecuali hakim ad hoc”. Selain Hakim ad hoc yang dikecualikan pengaturannya dalam RUU tentang Jabatan Hakim ini, Hakim militer pun ikut dikecualikan hal ini dikarenakan kekhususan dari karakteristik Hakim militer yang berbeda dibandingkan jabatan Hakim lainnya pada badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung.
B. Arah Pengaturan Arah pengaturan dari RUU tentang Jabatan Hakim ini dibentuk untuk menjaga
independensi,
meningkatkan
profesionalisme
hakim,
dan
kehormatan hakim, dengan cara pengaturan tersendiri mengenai jabatan Hakim. Pada saat ini pengaturan mengenai jabatan Hakim masih tidak harmonis, masih tersebar, dan masih bersifat parsial dalam berbagai peraturan perundang-undangan seperti misalnya Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (UU Perubahan Kedua UU Peradilan Umum), Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (UU Perubahan Kedua UU Peradilan Agama), dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 118
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU Perubahan Kedua UU PTUN). Tersebarnya sejumlah pengaturan terkait dengan jabatan Hakim ini merupakan suatu kekosongan hukum, sehingga perlu disusun ketentuan yang mengatur mengenai jabatan hakim dalam suatu undangundang. Akan tetapi, tidak kesemua jabatan Hakim diintegralkan dalam suatu undang-undang, hal ini dikarenakan seperti misalnya Hakim ad hoc telah memiliki pengaturannya sendiri dalam sejumlah undang-undang begitu juga Hakim militer yang diatur rinci dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2007 tentang Peradilan Militer.
C. Ruang Lingkup Ruang lingkup dari RUU tentang Jabatan Hakim ini mengatur khusus mengenai Hakim agung pada Mahkamah Agung, Hakim pada lingkungan peradilan umum, Hakim pada lingkungan peradilan agama, dan Hakim pada lingkungan peradilan tata usaha negara. Hakim yang diatur tersebut adalah Hakim Mahkamah Agung dan Hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya, namun terkecuali Hakim ad hoc dan Hakim militer. Hakim militer dalam RUU tentang Jabatan Hakim ini pengaturannya dikembalikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang masih berlaku saat ini yakni UU Peradilan Militer. Sedangkan Hakim ad hoc tidak termasuk lingkup pengaturan dalam RUU tentang Jabatan Hakim ini karena kedudukannya yang bukanlah merupakan pejabat negara. Adapun ruang lingkup Hakim sebagai pejabat negara ini akan diatur sebagai jabatan yang spesifik dan berbeda dengan pejabat negara pada umumnya. Asumsi Pejabat Negara dengan pemilihan langsung, jabatan periodik, dan politis, dan asumsi lainnya perlu diluruskan bahwa, tidak ada peraturan khusus dan tipikal yang sama dalam teori pejabat negara. Pejabat negara yang merupakan status dari jabatan Hakim dalam RUU tentang Jabatan Hakim ini lebih dikaitkan dengan hak dan kewajibannya yang mengikat dirinya agar lepas dari kekuasaan eksekutif setelah sebelumnya berstatus sebagai PNS.
D. Materi Muatan 1. Ketentuan umum Berdasarkan Lampiran II Nomor 98 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU
119
P3), Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan, dinyatakan bahwa ketentuan Umum berisi:
a. batasan pengertian atau definisi; b. singkatan atau akronim yang dituangkan dalam batasan pengertian atau definisi; dan/atau; c. hal-hal lain yang bersifat umum yang berlaku bagi beberapa pasal atau pasal berikutnya, antara lain ketentuan yang mencerminkan asas, maksud, dan tujuan tanpa dirumuskan tersendiri dalam pasal atau bab. Dalam Rancangan Undang-Undang tentang Jabatan Hakim ini perlu diatur mengenai ketentuan umum yang menguraikan batasan definisi atau pengertian berkenaan dengan Hakim, Hakim ad hoc, jabatan Hakim, pejabat negara, Mahkamah Agung, dan Komisi Yudisial. Ruang lingkup Rancangan Undang-Undang tentang Jabatan Hakim secara spesifik akan mengatur mengenai sistem manajemen jabatan bagi Hakim Mahkamah Agung dan Hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya. Adapun Hakim yang akan diatur dalam rancangan undang-undang ini adalah Hakim pertama, Hakim Tinggi dan Hakim Agung. Hakim ad hoc tidak termasuk dalam kategori pejabat negara, bagi Hakim ad hoc pengaturannya disesuaikan dengan undang-undang tentang pengadilan khusus yang menjadi wadah keberadaannya, misalnya: a. hakim ad hoc pada pengadilan niaga yang diatur dalam UndangUndang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang; b. hakim ad hoc pada pengadilan Hak Asasi Manusia yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia; c. hakim ad hoc pada pengadilan tindak pidana korupsi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi; d. hakim ad hoc pada pengadilan hubungan industrial yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial; e. hakim ad hoc pada pengadilan perikanan yang diatur dalam UndangUndang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan; 120
f.
hakim ad hoc pada pengadilan pajak yang diatur dalam UndangUndang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak;
g. hakim ad hoc pada Mahkamah Syar’iyah yang diatur dalam UndangUndang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh; dan h. hakim ad hoc pada Mahkamah Agung yang diatur dalam UndangUndang
Nomor
14
Tahun
1985
tentang
Mahkamah
Agung
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UndangUndang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Sementara itu, ketentuan lebih spesifik mengenai Hakim Agung tidak diatur sangat rinci dalam Rancangan Undang-Undang tentang Jabatan Hakim karena telah diatur secara komprehensif dalam Undang-Undang Mahkamah Agung. Demikian juga dengan Hakim Konstitusi yang sama sekali tidak diatur dalam Rancangan Undang-Undang Jabatan Hakim, karena bukan Hakim yang berada di bawah puncak kekuasaan Kehakiman Mahkamah Agung dan Hakim konstitusi telah memiliki pengaturan tersendiri pada Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Sistem manajemen meliputi pengangkatan Hakim, pengangkatan, pembinaan, pengawasan, perlindungan, dan pemberhentian. Manajemen Hakim dalam Rancangan Undang-Undang Jabatan Hakim ini perlu diatur, karena selama ini Hakim yang merupakan pejabat negara pada lingkungan yudikatif masih tunduk pada pola manajemen lingkungan eksekutif (Undang-Undang tentang Aparatur Sipil Negara). Secara teknis yuridis, beberapa definisi dalam ketentuan umum mengacu pada undang-undang yang berlaku sebagaimana tercantum dalam UU P3 bahwa “apabila rumusan definisi dari suatu Peraturan Perundang-undangan dirumuskan kembali dalam Peraturan Perundangundangan yang akan dibentuk, rumusan definisi tersebut harus sama dengan rumusan definisi dalam Peraturan Perundang-undangan yang telah berlaku tersebut”. Adapun ketentuan umum dalam Rancangan Undang-Undang tentang Jabatan Hakim sebagai berikut: 1. Hakim adalah hakim Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan. 2. Jabatan
Hakim
adalah
kedudukan
Hakim
sebagai
pelaksana
kekuasaan kehakiman dalam memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara.
121
3. Pejabat Negara adalah pejabat yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 4. Mahkamah Agung adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana
dimaksud
dalam
Undang-Undang
Dasar
Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. 5. Komisi Yudisial adalah lembaga negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Asas dan Tujuan Beberapa asas tentang pelaksanaan tugas hakim sangat berkaitan dengan kedudukan atau jabatan hakim. Pengaturan mengenai asas dalam jabatan hakim dalam Rancangan Undang-Undang tentang Jabatan Hakim mencerminkan keseluruhan penyelenggaraan jabatan hakim yang dilakukan berdasarkan asas: a. Mandiri adalah bahwa manajemen Hakim dalam menjalankan tugasnya harus bebas dari pengaruh pihak lain dan/atau lembaga yang menaunginya. b. Keadilan adalah bahwa manajemen Hakim harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara. c. Pengayoman adalah bahwa manajemen Hakim harus berfungsi untuk memberikan perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia, harkat, dan martabat setiap warga negara secara proporsional demi terciptanya ketenteraman dan keadilan dalam masyarakat. d. Imparsial adalah bahwa manajemen Hakim harus berpegang pada kebenaran, tidak memihak, dan memperlakukan para pihak sama kedudukannya di hadapan hukum. e. Profesional adalah bahwa manajemen Hakim harus mengutamakan keahlian yang berdasarkan peraturan perundang-undangan, kode etik, dan pedoman perilaku Hakim. f.
Keterbukaan adalah bahwa manajemen Hakim harus dilakukan secara terbuka, responsif, dan memudahkan akses informasi bagi masyarakat.
g. Akuntabilitas
adalah
dipertanggungjawabkan
bahwa secara
manajemen etik,
Hakim
hukum,
harus
dan
dapat
peraturan
perundang-undangan.
122
h. Kesejahteraan adalah bahwa Hakim dalam menjalankan tugas dan fungsinya secara optimal harus didukung dengan jaminan kualitas hidup yang baik. i.
Ketertiban dan kepastian hukum adalah bahwa Hakim dalam menjalankan
tugas
dan
fungsinya
harus
dapat
mewujudkan
ketertiban masyarakat melalui jaminan kepastian hukum. Kesembilan asas ini harus diinternalisasikan kepada sistem manajemen jabatan hakim. Kesembilan asas tersebut diperlukan guna mewujudkan independensi kekuasan kehakiman. Adapun
penyelenggaraan
Jabatan
Hakim
bertujuan
untuk
mewujudkan kemandirian Hakim dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya;
menjaga
kehormatan
dan
keluhuran
martabat
Hakim;
meningkatkan integritas, profesionalitas, dan akuntabilitas Hakim dalam menegakkan hukum dan keadilan; memberikan perlindungan Hakim; dan meningkatkan kesejahteraan Hakim.
3. Ruang Lingkup Ruang lingkup Jabatan Hakim yang diatur dalam Undang-Undang ini meliputi: a. Hakim agung pada Mahkamah Agung; b. Hakim pada lingkungan peradilan umum; c. Hakim pada lingkungan peradilan agama; dan d. Hakim pada lingkungan peradilan tata usaha negara; Ketentuan mengenai hakim pada lingkungan peradilan militer diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
4. Penyelenggaraan Jabatan Hakim Penyelenggaraan
Jabatan
Hakim
bertujuan
untuk
mewujudkan
kemandirian Hakim dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya, menjaga kehormatan dan keluhuran martabat Hakim, meningkatkan integritas, profesionalitas, dan akuntabilitas Hakim dalam menegakkan hukum dan keadilan, memberikan perlindungan Hakim; dan meningkatkan kesejahteraan Hakim.
5. Kedudukan Penyebutan substantif
Hakim
berdasarkan
dan
Hakim
konstitusi
Undang-Undang
48
dibedakan
Tahun
2009
secara tentang
Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman). Hakim konstitusi dibedakan karena memiliki
kedudukan yang khusus. Hakim dibagi
123
dalam 3 (tiga) jenis yaitu Hakim Mahkamah Agung, Hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya, dan Hakim ad hoc. Berdasarkan Pasal 19 dan Pasal 31 UU Kekuasaan Kehakiman ditegaskan bahwa Hakim pada Mahkamah Agung dan Hakim pengadilan di bawah Mahkamah Agung berkedudukan sebagai pejabat negara yang melaksanakan
kekuasaan
kehakiman.
Kemudian
dalam
Pasal
6
Undang-Undang 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU MA) ditegaskan pula bahwa Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota Mahkamah Agung adalah pejabat negara yang melaksanakan tugas Kekuasaan Kehakiman. Atas dasar pengaturan kedua undangundang tersebut, seyogyanya harus ada pengaturan dalam suatu undang-undang yang secara khusus mengatur mengenai kedudukan hakim sebagai pejabat negara pelaksana kekuasaan kahakiman. Hakim ad hoc dalam hal ini tidak berkedudukan sebagai Pejabat Negara. Hakim bukan sebagai pejabat negara dikuatkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusannya Nomor 32/PUU-XII/2014 yang telah memutus menolak pengujian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Putusan tersebut menguatkan status hakim ad hoc adalah bukan pejabat negara. Dalam pertimbangan putusan Nomor 32/PUU-XII/2014 tersebut, Mahkamah menyatakan dibentuknya hakim ad hoc pada dasarnya karena adanya faktor kebutuhan akan keahlian dan efektivitas pemeriksaan perkara di Pengadilan yang bersifat khusus. Pengangkatan hakim ad hoc dilakukan melalui serangkaian proses seleksi yang tidak sama dengan proses rekruitmen dan pengangkatan hakim sebagai pejabat Negara. Adanya pengecualian hakim ad hoc sebagai pejabat negara, sebagaimana diatur di dalam ketentuan Pasal 122 huruf e UU ASN, menurut Mahkamah, tidak bertentangan dengan konstitusi. Sebab, sifat, pola rekruitmen, tidak adanya pembatasan usia berakhir masa tugasnya bagi hakim ad hoc berbeda dengan hakim karier. Selain itu, hakim ad hoc memiliki ruang lingkup tugas dan kewenangan
yang bersifat terbatas dan
sementara. Penentuan kualifikasi hakim in casu hakim ad hoc apakah sebagai pejabat negara atau bukan, merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy), yang sewaktu-waktu dapat diubah oleh pembentuk Undang-Undang. Hakim ad hoc dapat diangkat pada pengadilan khusus untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang membutuhkan keahlian dan pengalaman di bidang tertentu dalam jangka waktu tertentu. Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian hakim ad hoc tersebut diatur dalam undang-undang. 124
Jabatan Hakim terdiri atas Hakim pertama, Hakim tinggi; dan Hakim Agung. Hakim pertama dan Hakim tinggi merupakan Hakim pada lingkungan peradilan umum, peradilan agama, dan peradilan tata usaha negara. Hakim pertama bertempat kedudukan di pengadilan tingkat pertama. Hakim tinggi bertempat kedudukan di pengadilan tinggi. Kemudian Hakim Agung bertempat kedudukan di Mahkamah Agung.
6. Tugas dan Wewenang Hakim merupakan pejabat negara yang melaksanakan kekuasaan kehakiman
perlu
menjaga
integritas,
kemandirian,
dan
profesionalitasnya serta dijamin keamanan dan kesejahteraannya dalam rangka
memenuhi
kebutuhan
masyarakat
terhadap
hukum
dan
keadilan. Hakim memiliki tugas dan wewenang yaitu memeriksa, mengadili,
memutus,
dan
menyelesaikan
perkara
sesuai
dengan
tingkatan dan lingkungan badan peradilan. Tugas dan wewenang Hakim tersebut dilaksanakan secara sederhana, cepat, dan biaya ringan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Hakim wajib mematuhi kode etik dan pedoman perilaku Hakim dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Hal tersebut diatur dalam Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Kode etik sebagai salah satu prinsip profesi
Hakim dibutuhkan untuk menjaga keluhuran martabat dan kehormatan Hakim. Perilaku Hakim adalah sikap, ucapan, dan/atau perbuatan yang dilakukan oleh seorang Hakim dalam kapasitas pribadinya yang dapat dilakukan kapan saja termasuk perbuatan yang dilakukan pada waktu melaksanakan tugas profesi. Kode etik dan pedoman perilaku hakim yang diatur dalam Pasal 4 Peraturan Bersama Mahkamah Agung dan Komisi
Yudisial
Nomor
02/PB/MA/IX/2012-02/PB/P.KY/09/2012
meliputi: a. berperilaku adil; b. berperilaku jujur; c. berperilaku arif dan bijaksana; d. bersikap mandiri; e. berintegritas tinggi; f.
bertanggung jawab;
g. menjunjung tinggi harga diri; h. berdisiplin tinggi; i.
berperilaku rendah hati; dan
j.
bersikap profesional. 125
Ketentuan lebih lanjut mengenai kode etik dan pedoman perilaku Hakim diatur oleh Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung.
7. Hak dan kewajiban Hak dan kewajiban Hakim selama ini mengikuti pengaturan selayaknya hak dan kewajiban umumnya berlaku pada pegawai negeri sipil (PNS). Selama ini status Hakim pada awalnya adalah sebagai PNS sebelum kemudian berubah menjadi pejabat negara. Jabatan Hakim pada awalnya berstatus sebagai PNS. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian
(UU
Pokok-Pokok
Kepegawaian).
UU
Pokok-Pokok
Kepegawaian saat ini sudah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN). Hakim sebagai pejabat negara selayaknya memiliki hak atas keuangan, cuti, dan fasilitas. Hak keuangan meliputi gaji pokok, tunjangan jabatan, penghasilan pensiun, dan tunjangan lain. Sedangkan hak cuti meliputi cuti tahunan dan cuti khusus. Adapun untuk fasilitas terdiri atas rumah jabatan milik negara, sarana transportasi milik negara,
jaminan
kesehatan,
kedudukan
protokol
sesuai
dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan, dan jaminan keamanan dalam melaksanakan tugasnya. Ketentuan lebih lanjut mengenai hak keuangan, hak cuti, dan fasilitas diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pengaturan mengenai hak bagi Hakim ini juga diperlukan karena walaupun UU ASN telah menegaskan bahwa Hakim merupakan pejabat negara, namun dinyatakan
sebagaimana diatur dalam Pasal 139 UU ASN
bahwa
semua
peraturan
perundang-undangan
yang
merupakan peraturan pelaksanaan dari UU Pokok-Pokok Kepegawaian beserta perubahannya, dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan UU ASN. Konsekuensi dari Pasal 139 UU ASN tersebut adalah masih berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim Yang Berada di Bawah Mahkamah Agung (PP tentang Keuangan dan Fasilitas Hakim) yang mengatur mengenai mekanisme penggajian bagi
Hakim
kecuali
Hakim
dalam
lingkungan
peradilan
militer
dibandingkan dengan penggajian PNS, sebagai contoh, dalam Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 11 PP tentang Keuangan dan Fasilitas Hakim tersebut tidaklah sinkron dengan pengaturan yang berlaku saat ini di UU ASN mengenai status jabatan Hakim sebagai pejabat negara. Hal ini
126
dikarenakan struktur gaji dan tunjangan bagi hakim masih sama dengan PNS. Dalam Pasal 3 ayat (2) dinyatakan bahwa ”ketentuan dan besaran gaji pokok Hakim sama dengan ketentuan dan besaran gaji pokok pegawai negeri sipil”,
begitu juga dalam Pasal 11 yang menyatakan
bahwa “hakim diberikan hak pensiun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pensiun pegawai negeri sipil”. Oleh karena itu hak bagi Hakim perlu dirumuskan secara tersendiri dalam undang-undang yang mengatur khusus mengenai jabatan hakim. Hal ini agar tidak menimbulkan ketidakpastian hukum yaitu dualime status bagi Hakim karena selain hak dan kewajiban, beberapa aspek lain pun seperti pengangkatan hakim dan jenjang karier/kepangkatan masih mengikuti standar aturan bagi PNS. Hakim sebagai pejabat negara selayaknya berkewajiban untuk setia pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, memegang teguh sumpah atau janji, menegakkan hukum dan keadilan, melindungi hak asasi manusia, mematuhi etika profesi Hakim, bersedia diperiksa, melaporkan, dan mengumumkan kekayaannya sebelum, selama, dan setelah menjabat, dan tidak melakukan perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Kewajiban bagi Hakim perlu disesuaikan pula dengan perubahan status jabatan Hakim dari PNS menjadi pejabat negara. Kewajiban-kewajiban yang perlu diatur dalam hal ini didasari pemikiran
bahwa
hakim
adalah
personil
yang
menyelenggarakan
kekuasaan di bidang yudikatif dan bukan di bidang eksekutif sehingga status yang melekat pada Hakim bukan PNS. Status hakim sebagai PNS sangat memungkinkan terjadinya intervensi atas kebebasan hakim karena persoalan struktural, psikologis, dan watak korps serta birokrasi yang membawa atau menuntut ikatan tertentu.164 Kemandirian hakim dalam negara hukum (rechtstaat) adalah mutlak.165 Hal ini sesuai dengan prinsip “The International Commission of Jurist” yaitu peradilan bebas dan tidak memihak (independence and impartiality of judiciary).166 Oleh karena itu, kewajiban bagi Hakim perlu dirumuskan secara tersendiri dalam undang-undang yang mengatur khusus mengenai jabatan
hakim.
Hal
ini
bertujuan
agar
tidak
menimbulkan
ketidakpastian hukum antara dualime status bagi Hakim yakni apakah
164 Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum Menegakkan Konstitusi, (Jakarta: LP3ES, 2006), hlm. 103. 165 Ibid. 166 Ibid.
127
mengikuti pengaturan umumnya bagi PNS atau selayaknya bagi pejabat negara.
8. Manajemen Manajemen Hakim meliputi pengangkatan, pembinaan, pengawasan, perlindungan, dan pemberhentian. a. Pengangkatan Pengangkatan Hakim terdiri atas pengangkatan Hakim Pertama, Hakim Tinggi, dan Hakim Agung. 1) Pengangkatan Hakim pertama dan Hakim Tinggi a) Pengangkatan Hakim Pertama Pengangkatan Hakim pertama dilakukan melalui: (1) Formasi dan alokasi kebutuhan Formasi dan alokasi kebutuhan pengangkatan Hakim pertama ditetapkan oleh Mahkamah Agung. Penetapan formasi
dan
alokasi
kebutuhan
berdasarkan
analisis
jabatan dan beban kerja. Penetapan formasi dan alokasi kebutuhan disusun untuk jangka waktu 5 (lima) tahun yang diperinci setiap 1 (satu) tahun anggaran berdasarkan prioritas kebutuhan.
(2) Seleksi peserta pendidikan Seleksi peserta pendidikan calon Hakim pertama dilaksanakan
oleh
Mahkamah
Agung.
Berdasarkan
Putusan MK Nomor 43/PUU-XIII/2015 Pengujian Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, Pasal 13A ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dan Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara terhadap UUD NRI Tahun 1945. Dibacakan pada tanggal 7 Oktober
2015,
seluruhnya
dengan
permohonan
amar
putusan
pengujian
UU
mengabulkan tersebut
yang
membatalkan frasa “Bersama Komisi Yudisial”. Seleksi
peserta
pendidikan
calon
Hakim
pertama
dilaksanakan secara objektif, transparan, partisipatif, dan 128
akuntabel.
Seleksi peserta pendidikan calon Hakim
pertama dilakukan melalui verifikasi administrasi dan uji kelayakan. Verifikasi administrasi mencakup penilaian terhadap
kelengkapan
dan
keabsahan
persyaratan
administrasi. Uji kelayakan dilakukan dengan tahapan seleksi
kualitas,
seleksi
kepribadian,
pemeriksaan
kesehatan, dan wawancara. Seleksi peserta pendidikan calon Hakim pertama dilaksanakan paling lama 6 (enam) bulan. Untuk dapat menjadi peserta pendidikan calon Hakim pertama harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. warga negara Indonesia; b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; c. setia
kepada
Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945; d. sarjana
hukum
untuk
Hakim
pada
lingkungan
peradilan umum, lingkungan tata usaha negara, dan lingkungan peradilan militer, serta sarjana syariah atau sarjana hukum Islam untuk Hakim pada lingkungan peradilan agama; e. sehat secara rohani dan jasmani; f.
memiliki integritas dan kepribadian tidak tercela;
g. berusia paling rendah 26 (dua puluh enam) tahun dan paling tinggi 35 (tiga puluh lima) tahun pada saat mendaftar; h. memiliki pengalaman berpraktik di bidang hukum paling singkat 3 (tiga) tahun; i.
tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; dan
j.
tidak
pernah
melakukan
dipidana
tindak
penjara
pidana
karena
kejahatan
bersalah
berdasarkan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Ketentuan lebih lanjut mengenai seleksi peserta pendidikan calon Hakim pertama diatur dengan Peraturan Mahkamah Agung.
(3) Pendidikan
129
Pendidikan calon Hakim pertama diselenggarakan oleh Mahkamah Agung bekerja sama dengan perguruan tinggi. Pendidikan calon Hakim pertama merupakan pendidikan profesi.
Ketentuan lebih lanjut mengenai
pendidikan calon Hakim pertama diatur bersama oleh Mahkamah Agung dan Pemerintah.
(4) Pengangkatan. a) Pengangkatan Hakim pertama Hakim pertama diangkat oleh Presiden atas usul Ketua
Mahkamah
Agung. Pengangkatan
Hakim
pertama dilakukan terhadap peserta pendidikan calon Hakim pertama yang memenuhi persyaratan: a. lulus pendidikan calon Hakim pertama; b.
sehat jasmani dan rohani; dan
c.
memiliki integritas, kejujuran, dan kepribadian yang tidak tercela berdasarkan rekam jejak peserta pendidikan calon Hakim pertama oleh Mahkamah Agung. Pengangkatan sistem pendukung peradilan dan
Hakim pertama dilaksanakan secara mandiri dalam sistem aparatur yudikatif. Sistem aparatur yudikatif diselenggarakan
untuk
meningkatkan
profesionalitas dan kualitas dalam menjalankan tugas kehakiman dan fungsi pelayanan publik di lingkungan
badan
peradilan.
Tata
kelola
dan
penyelenggaraan sistem aparatur yudikatif diatur dan
dilaksanakan
sesuai
dengan
ketentuan
peraturan perundang-undangan. Pengadilan tingkat pertama dipimpin oleh ketua dan wakil ketua. Untuk dapat ditetapkan menjadi ketua atau wakil ketua pengadilan tingkat pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di lingkungan pengadilan negeri, pengadilan tata usaha negara, atau
pengadilan
agama,
hakim
harus
berpengalaman paling singkat 7 (tujuh) tahun sebagai hakim. Sebelum memangku jabatannya, Hakim pertama diambil sumpah atau janji menurut agamanya yang
130
dilakukan oleh Presiden dan berbunyi sebagai berikut: "Saya
bersumpah/berjanji
dengan
sungguh-
sungguh bahwa saya, untuk memangku jabatan saya
ini, langsung atau tidak langsung, dengan
menggunakan nama atau cara apa pun juga, tidak memberikan
atau
menjanjikan
barang
sesuatu
kepada siapa pun juga." "Saya
bersumpah/berjanji
bahwa
saya,
untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan
menerima
langsung atau tidak langsung dari siapa pun juga suatu janji atau pemberian." "Saya setia
bersumpah/berjanji kepada
dan
bahwa
saya
akan
akan mempertahankan serta
mengamalkan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, dasar dan ideologi negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan segala undang-undang yang berlaku bagi Negara Republik Indonesia." "Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan saya ini dengan jujur, saksama, dan tidak membeda-bedakan orang dalam melaksanakan kewajiban saya dan akan berlaku sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang Hakim yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan."
b) Pengangkatan Hakim Tinggi Seleksi
Hakim
tinggi
dilaksanakan
oleh
Mahkamah Agung berdasarkan formasi dan alokasi kebutuhan di lingkungan pengadilan tinggi. Seleksi Hakim tinggi melalui penawaran terbuka. Hakim tinggi ditetapkan oleh Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung.Untuk dapat ditetapkan menjadi Hakim tinggi harus memenuhi persyaratan: a. berpengalaman paling singkat 5 (lima) tahun sebagai ketua/wakil ketua pengadilan tingkat pertama, atau paling singkat 15 (lima belas)
131
tahun
sebagai
hakim
pengadilan
tingkat
pertama; dan b.
lulus uji kompetensi dan kelayakan yang diselenggarakan oleh Mahkamah Agung.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengangkatan Hakim tinggi diatur dengan Peraturan Mahkamah Agung. Pengadilan tinggi dipimpin oleh ketua dan wakil ketua. Untuk dapat ditetapkan menjadi ketua pengadilan
tinggi
harus
berpengalaman
paling
singkat 5 (lima) tahun sebagai hakim pengadilan tinggi atau 3 (tiga) tahun bagi hakim pengadilan tinggi yang pernah menjabat ketua pengadilan tingkat pertama. Untuk dapat ditetapkan menjadi wakil ketua pengadilan tinggi harus berpengalaman paling singkat 4 (empat) tahun sebagai hakim pengadilan tinggi atau 2 (dua) tahun bagi hakim pengadilan tinggi yang pernah menjabat ketua pengadilan tingkat pertama.
c) Pengangkatan Hakim Agung Calon Hakim agung berasal dari Hakim karier atau
nonkarier.
menjadi
calon
Hakim Hakim
karier agung
dapat jika
diangkat memenuhi
persyaratan sebagai berikut: a.
warga negara Indonesia;
b.
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c.
memiliki
integritas
dan
kepribadian
tidak
tercela, adil, dan profesional; d.
berijazah magister di bidang hukum dengan dasar sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang hukum;
e.
berusia paling rendah 45 (empat puluh lima) tahun dan paling tinggi 60 (enam puluh) tahun;
f.
mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan kewajiban;
g.
berpengalaman paling singkat 20 (dua puluh) tahun menjadi hakim; dan
132
h.
tidak pernah dijatuhi sanksi pemberhentian sementara akibat melakukan pelanggaran kode etik dan/atau pedoman perilaku hakim. Hakim nonkarier dapat diangkat menjadi calon
Hakim agung jika memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. warga negara Indonesia; b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; c. memiliki
integritas
dan
kepribadian
tidak
tercela, adil, dan profesional; d. berusia paling rendah 45 (empat puluh lima) tahun; e. mampu
secara
rohani
dan
jasmani
untuk
menjalankan tugas dan kewajiban; f.
berpengalaman dalam profesi hukum dan/atau akademisi hukum paling singkat 20 (dua puluh) tahun;
g. berijazah doktor dan magister di bidang hukum dengan dasar sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang hukum; dan h. tidak pernah dipidana penjara karena bersalah melakukan
tindak
pidana
kejahatan
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Ketentuan mengenai calon Hakim agung, tata cara pengajuan, pemilihan, dan pengangkatan dilaksanakan sesuai
dengan
ketentuan
peraturan
perundang-
undangan. Hakim agung memegang jabatan selama 5 (lima) tahun dan dapat ditetapkan kembali dalam jabatan yang sama setiap 5 (lima) tahun berikutnya setelah melalui evaluasi yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Mahkamah Agung dipimpin oleh ketua dan wakil ketua. Ketua dan wakil ketua Mahkamah Agung dipilih dari dan oleh hakim agung. Pada Mahkamah Agung dibentuk kamar perdata, kamar pidana, kamar agama, kamar militer, dan kamar 133
tata usaha negara.
Setiap hakim agung kecuali ketua
dan wakil ketua Mahkamah Agung harus menjadi hakim pada salah satu kamar. Setiap kamar dipimpin oleh ketua muda Mahkamah Agung. Ketua muda Mahkamah Agung dipilih oleh hakim agung pada setiap kamar secara
demokratis.
Ketua
muda
Mahkamah
Agung
ditetapkan oleh Presiden atas usul ketua Mahkamah Agung.
b. Pembinaan Pembinaan Hakim disesuaikan dengan jenjang Jabatan Hakim adanya larangan terhadap rangkap jabatan. Pembinaan Hakim meliputi Hakim pertama, Hakim tinggi dan
dan Hakim agung.
Hakim dilarang merangkap jabatan menjadi pelaksana putusan pengadilan, wali, pengampu, dan pejabat yang berkaitan dengan suatu perkara yang akan atau sedang diperiksa olehnya, penasihat hukum, dan pengusaha. 1) Pembinaan Hakim pertama Pembinaan Hakim pertama meliputi penempatan, peningkatan kapasitas, penilaian kinerja, promosi, dan mutasi. Penempatan Hakim pertama dilakukan berdasarkan lingkungan peradilan pilihan peserta pendidikan Hakim. Penempatan Hakim pertama dilakukan oleh Mahkamah Agung. Penempatan Hakim pertama mempertimbangkan
prestasi
hasil
pendidikan
Hakim,
pengembangan wawasan kebangsaan Hakim, dan pilihan wilayah penempatan tugas Hakim. Peningkatan kapasitas Hakim pertama dilakukan melalui pelatihan
Hakim.
Peningkatan
kapasitas
Hakim
pertama
dilaksanakan untuk meningkatkan kemampuan teknis peradilan dan kepribadian Hakim. Pelatihan kemampuan teknis peradilan diselenggarakan oleh Mahkamah Agung. Pelatihan kepribadian Hakim
diselenggarakan
oleh
Komisi
Yudisial.
Pelatihan
kemampuan teknis peradilan dan kepribadian dilaksanakan secara berjenjang dan berkelanjutan. Penilaian kinerja Hakim pertama meliputi penilaian terhadap teknis peradilan dan administrasi peradilan. Penilaian kinerja terhadap teknis peradilan meliputi: a. kemampuan teknis dalam menangani perkara; b. penyusunan berita acara persidangan; c. pembuatan dan pengisian daftar kegiatan persidangan; 134
d. tenggang waktu penyelesaian perkara; e. penyelesaian minutasi; dan f. kualitas putusan. Penilaian kinerja terhadap administrasi peradilan meliputi tertib: a. prosedur penerimaan perkara; b. register perkara; c. keuangan perkara; d. pemeriksaan buku keuangan perkara; e. kearsipan perkara; dan f. pembuatan laporan perkara. Penilaian kinerja terhadap teknis peradilan dan administrasi peradilan dilakukan oleh Mahkamah Agung. Promosi Hakim pertama dilakukan dari penempatan semula menjadi: a. Hakim pertama dengan kelas pengadilan yang lebih tinggi; dan/atau b. pimpinan pengadilan. Promosi menjadi Hakim pertama dengan kelas pengadilan lebih tinggi mempertimbangkan kompetensi, hasil penilaian kinerja, dan
kepribadian.
Promosi
menjadi
pimpinan
pengadilan
dilaksanakan dengan ketentuan menjadi: a. wakil ketua pengadilan; atau b. ketua pengadilan. Promosi menjadi wakil ketua pengadilan mempertimbangkan kompetensi, hasil penilaian kinerja, kepribadian, dan pengalaman kerja. Promosi menjadi ketua pengadilan mempertimbangkan kompetensi, hasil penilaian kinerja, kepribadian, pengalaman kerja, dan pernah menjadi wakil ketua pengadilan. Promosi Hakim pertama dilakukan oleh tim promosi yang dibentuk Mahkamah Agung. Ketentuan lebih lanjut mengenai promosi Hakim pertama diatur dengan Peraturan Mahkamah Agung. Mutasi
Hakim
pertama
bertujuan
untuk
meningkatkan
pengetahuan, mematangkan pribadi, menambah pengalaman, dan mengisi kekurangan Hakim di suatu daerah. Mutasi Hakim pertama dilaksanakan dengan pola regional dan nasional. Mutasi Hakim pertama dilakukan oleh tim
mutasi yang dibentuk
Mahkamah Agung. Ketentuan mengenai tata cara mutasi Hakim pertama diatur dengan Peraturan Mahkamah Agung. 2) Pembinaan Hakim Tinggi
135
Pembinaan Hakim tinggi meliputi penempatan, peningkatan kapasitas, penilaian kinerja, promosi, dan mutasi. Pembinaan Hakim tinggi dilakukan oleh Mahkamah Agung. Penempatan Hakim tinggi berada dalam lingkungan peradilan sebagaimana Hakim tingkat pertama. Penempatan Hakim tinggi dilakukan oleh Mahkamah Agung. Penempatan Hakim tinggi mempertimbangkan prestasi hasil pendidikan Hakim dan pengembangan wawasan kebangsaan Hakim. Peningkatan
kapasitas
Hakim
tinggi
dilakukan
melalui
pendidikan dan pelatihan, serta sertifikasi keahlian Hakim tinggi. Peningkatan kapasitas Hakim tinggi dilaksanakan bertujuan untuk
meningkatkan
kemampuan
teknis
peradilan
dan
kepribadian Hakim. Pelatihan kemampuan teknis peradilan diselenggarakan oleh Mahkamah Agung. Pelatihan kemampuan teknis peradilan dan kepribadian dilaksanakan secara berjenjang dan berkelanjutan. Penilaian kinerja Hakim tinggi meliputi penilaian terhadap teknis peradilan dan administrasi peradilan. Penilaian kinerja terhadap teknis peradilan meliputi: a. kemampuan teknis dalam menangani perkara; b. penyusunan berita acara persidangan; c. pembuatan dan pengisian daftar kegiatan persidangan; d. tenggang waktu penyelesaian perkara; e. penyelesaian minutasi; dan f.
kualitas putusan.
Penilaian kinerja terhadap administrasi peradilan sebagaimana meliputi tertib: a. prosedur penerimaan perkara; b. register perkara; c. keuangan perkara; d. pemeriksaan buku keuangan perkara; e. kearsipan perkara; dan f. pembuatan laporan perkara. Penilaian kinerja terhadap teknis peradilan dan administrasi peradilan dilakukan oleh Mahkamah Agung. Promosi Hakim tinggi diberikan dengan hak yang sama kepada Hakim tinggi yang memenuhi persyaratan. Promosi dilakukan bagi Hakim tinggi menjadi pimpinan pengadilan. Promosi menjadi pimpinan pengadilan berdasarkan perbandingan objektif antara kompetensi, kualifikasi, prestasi atas penilaian 136
kinerja,
dan
kepemimpinan
dengan
mempertimbangkan
kepribadian. Setiap Hakim tinggi yang dipromosikan menjadi pimpinan pengadilan sudah menjabat sebagai Hakim tinggi paling singkat 4 (empat) tahun dan sudah dimutasi secara nasional. Mutasi Hakim tinggi dilakukan dengan sistem terbuka. Mutasi Hakim tinggi merupakan mutasi nasional. Mutasi nasional Hakim tinggi merupakan mutasi antarwilayah pengadilan tinggi. Mutasi Hakim tinggi dilakukan paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak diangkat menjadi Hakim tinggi atau paling lama 4 (empat) tahun terhitung sejak mutasi nasional sebagai Hakim tinggi dilakukan. 3) Pembinaan Hakim Agung Pembinaan Hakim Agung meliputi peningkatan kapasitas dan penilaian kinerja. Pembinaan Hakim Agung dilakukan oleh Ketua Mahkamah Agung.
c. Pengawasan Pengawasan Hakim meliputi pengawasan terhadap teknis yudisial, penilaian
kinerja,
dan
pengawasan
terhadap
perilaku
Hakim.
Pengawasan teknis yudisial dilakukan melalui hukum acara oleh pengadilan yang lebih tinggi. Penilaian kinerja dilakukan oleh Mahkamah Agung. Pengawasan terhadap perilaku Hakim dilakukan oleh
Komisi
Yudisial.
Pengawasan
terhadap
perilaku
Hakim
berdasarkan pada kode etik dan pedoman perilaku Hakim.
d. Perlindungan Perlindungan terhadap Hakim meliputi keamanan Hakim dan keluhuran
dan
melaksanakan
martabat
tugas
dan
Hakim.
Keamanan
wewenangnya
dijamin
Hakim oleh
dalam negara.
Jaminan keamanan dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia. Perlindungan terhadap keluhuran dan martabat Hakim dilakukan oleh Komisi Yudisial. Perlindungan keamanan Hakim dan perlindungan terhadap keluhuran dan martabat Hakim dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
e. Pemberhentian Hakim Pemberhentian Hakim terdiri atas dengan hormat dan tidak dengan hormat. Pemberhentian hakim dengan hormat karena: 1)
meninggal dunia;
2)
atas permintaan sendiri secara tertulis;
137
3)
telah berusia 60 (enam puluh) tahun bagi Hakim pertama, berusia 63 (enam puluh tiga) tahun
bagi
Hakim tinggi, dan
berusia 65 (enam puluh lima) tahun bagi Hakim agung; 4)
sakit jasmani atau rohani secara terus menerus selama 3 (tiga) bulan berturut-turut yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter; atau
5)
tidak cakap dalam menjalankan tugasnya.
Pemberhentian hakim tidak dengan hormat karena: 1)
dipidana
karena
berdasarkan
bersalah
putusan
melakukan
pengadilan
yang
tindak telah
pidana
memperoleh
kekuatan hukum tetap; 2)
melakukan perbuatan tercela;
3)
melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya terus-menerus selama 3 (tiga) bulan;
4)
melanggar sumpah atau janji jabatan;
5)
melakukan rangkap jabatan; atau
6)
melanggar kode etik dan pedoman perilaku Hakim.
Hakim yang diberhentikan secara hormat dan secara tidak dengan hormat ditetapkan oleh Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung. Hakim yang diberhentikan secara tidak dengan hormat ditetapkan oleh Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung dan/atau ketua Komisi Yudisial. Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberhentian Hakim diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung
138
BAB VI PENUTUP
A. Simpulan Berdasarkan
uraian
pada
bab
sebelumnya,
diperoleh
beberapa
simpulan sebagai berikut: 1. Jabatan Hakim dalam penyelenggaraan pemerintahan negara pada saat ini belum diatur dalam satu undang-undang. Pengaturan mengenai jabatan Hakim masih tersebar di berbagai peraturan perundangundangan sehingga pengaturan mengenai jabatan Hakim dalam penyelenggaraan pemerintahan negara terjadi tumpang tindih, bersifat parsial, dan tidak harmonis serta masih terdapat kekosongan hukum antara pengaturan yang satu dengan pengaturan yang lainnya. 2. Pengaturan Jabatan Hakim dalam peraturan perundang-undangan pada saat ini tidak sesuai dengan politik hukum dan perkembangan zaman antara lain dengan adanya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XII/2014 perihal pengujian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa Hakim pada Mahkamah Agung dan Hakim pada badan peradilan di bawahnya merupakan pejabat negara kecuali Hakim ad hoc. 3. Landasan
filosofis,
landasan
sosiologis,
dan
landasan
yuridis
pembentukan Undang-Undang tentang Jabatan Hakim: a. landasan filosofis, untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah
kesejahteraan
darah
umum
Indonesia
sebagaimana
dan
untuk
termaktub
memajukan
dalam
alinea
keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, diperlukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk tegaknya hukum dan keadilan; b. landasan sosiologis,
Hakim
merupakan
pejabat
negara
yang
melaksanakan kekuasaan kehakiman perlu menjaga integritas, kemandirian, dan profesionalitasnya serta dijamin keamanan dan kesejahteraannya dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap hukum dan keadilan; c. landasan yuridis, pengaturan mengenai jabatan Hakim tidak harmonis, masih tersebar, dan bersifat parsial dalam berbagai peraturan perundang-undangan, serta masih terdapat kekosongan
139
hukum,
sehingga
perlu
disusun
ketentuan
yang
mengatur
mengenai jabatan hakim dalam suatu undang-undang. 4. Jangkauan, arah pengaturan, dan ruang lingkup materi muatan Undang-Undang tentang Jabatan Hakim: a. Jangkauan, arah pengaturan pengaturan mengenai jabatan hakim Jangkauan dari Undang-Undang tentang Jabatan Hakim adalah mengatur mengenai Hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, dan peradilan tata usaha negara. Hakim ad hoc dan hakim militer dikecualikan pengaturannya dalam RUU tentang Jabatan Hakim. Arah pengaturan dari Undang-Undang tentang Jabatan Hakim yaitu
dalam
rangka
menjaga
independensi,
meningkatkan
profesionalisme, dan menjaga kehormatan Hakim, dengan cara memberikan dasar hukum bagi Hakim sebagai pejabat negara yang melaksanakan
kekuasaan
kehakiman
sehingga
perlu
adanya
pengaturan tersendiri yang bersifat lex specialis.
b. Materi muatan Undang-Undang tentang Jabatan Hakim Materi muatan Undang-Undang tentang Jabatan Hakim terdiri atas 7 bab dan 57 pasal. Sistematika Undang-Undang tentang Jabatan Hakim meliputi: 1) Bab I tentang Ketentuan Umum, terdiri atas definisi dan batasan pengertian mengenai Hakim, Jabatan Hakim, Pejabat Negara, Mahkamah Agung, dan Komisi Yudisial; 2) Bab II tentang Asas, Ruang Lingkup, dan Tujuan, terdiri atas asas-asas yang berlaku sebagai dasar bagi penyelenggaraan jabatan Hakim, ruang lingkup Jabatan Hakim, dan tujuan dibentuknya Undang-Undang tentang Jabatan Hakim; 3) Bab III tentang Kedudukan, terdiri atas kedudukan Hakim sebagai pejabat negara, dan jenis jabatan Hakim berserta tempat kedudukannya; 4) Bab IV tentang Tugas dan Wewenang, terdiri atas tugas dan wewenang Hakim, serta kode etik dan pedoman perilaku; 5) Bab V tentang Hak dan Kewajiban, terdiri atas hak dan kewajiban Hakim; 6) Bab VI tentang Manajemen Hakim, terdiri atas Manajemen Hakim yang meliputi pengangkatan, pembinaan, pengawasan, perlindungan, dan pemberhentian; dan
140
7) Bab VII tentang Ketentuan Penutup, antara lain jangka waktu pembentukan peraturan pelaksana dan waktu mulai berlaku Undang-Undang tentang Jabatan Hakim.
B. Saran Atas beberapa simpulan di atas dapat disampaikan saran bahwa perlu adanya undang-undang tersendiri yang bersifat khusus yang mengatur mengenai jabatan Hakim sebagai pejabat negara yang independen dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman.
141