BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Masalah Memasuki abad XXI atau milenium ke-III manusia dihadapkan kepada
perubahan dalam struktur ekonomi, struktur kekuasaan serta struktur kebudayaan dunia. Terjadinya proses globalisasi merupakan faktor pendorong terjadinya perubahan-perubahan tersebut. Proses perubahan di dalam era globalisasi inilah yang disebut Alvin Toffler sebagai gelombang ketiga, setelah berlangsung gelombang pertama, yaitu era agrikultur serta gelombang kedua, era industri. Perubahan yang demikian menyebabkan terjadinya pergeseran kekuasaan yang pada mulanya bersumber pada tanah, kemudian bergeser kepada kapital atau modal dan selanjutnya di dalam gelombang ketiga kepada penguasaan terhadap informasi, ilmu pengetahuan dan teknologi (Toffler, 2002: 1-2). Pendapat Alvin Toffler di atas menyatakan bahwa manusia telah mengalami tiga perubahan besar dalam kehidupan di bumi ini, dari tahapan yang pertama, yakni pada saat manusia menerapkan teknologi pertanian yang mengubah kebiasaan hidup berpindah menjadi menetap di suatu tempat, sehingga menjadikan para pemilik lahan sebagai pemegang kekuasaan. Tahapan berikutnya merupakan era industri yang ditandai dengan produksi secara massal dan memunculkan kapitalisme, dalam artian bahwa para pemilik modal adalah pihak yang berkuasa. Pada tahapan ketiga perkembangan peradabannya, manusia telah mengembangkan teknologi komunikasi 1
dan informasi. Dalam era komunikasi dan informasi, manusia menempatkan informasi sebagai salah satu kebutuhan utama dalam hidupnya. Segala kebutuhan dan kepentingan manusia akan terpenuhi dengan cepat apabila menguasai ilmu dan teknologi informasi. Masyarakat berkembang menjadi komunitas cyber, dalam artian bahwa manusia tidak harus bertemu dan bertatap muka untuk saling menjalin komunikasi. Media komunikasi menggunakan peralatan yang memungkinkan orang bisa berkomunikasi dengan siapa saja, kapan saja, dan dimana saja. Mitos yang hidup selama ini tentang peradaban dunia yang mengglobal akan membuat dunia menjadi seragam, yaitu proses globalisasi bisa menghapus identitas dan jati diri bangsa. Kebudayaan lokal dan etnis akan ditelan oleh kekuatan budaya besar atau kekuatan budaya universal. Adapun anggapan atau jalan pikiran yang demikian tidak sepenuhnya benar. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi memang telah membuat batas-batas dan jarak menjadi hilang. Akan tetapi terdapat juga beberapa hal yang justru bersifat paradoks dari fenomena globalisasi. Wiryopranoto (dalam Atmosudiro, 2003: 59) mengemukakan bahwa dialektika kultural dipastikan akan terjadi antara budaya universal yang melanda dengan counterworks yang merupakan budaya lokal yang dipelihara dan disesuaikan dengan perkembangan zaman. Di dalam bidang ekonomi misalnya, Naisbitt (1994) menyebutkan dalam judul bukunya, bahwa semakin besar dan semakin terbuka ekonomi dunia, semakin banyak perusahaan-perusahaan kecil yang akan mendominasi (The bigger the world economy, the more powerful it‟s smallest players). Hal ini disebabkan oleh karena di 2
masa perubahan dari era industri menjadi masyarakat informasi dewasa ini terdapat kecenderungan perubahan dalam keseluruhan aspek kehidupan manusia, baik dalam bidang ekonomi, politik, budaya dan juga kehidupan sosial. Di dalam sistem global yang senantiasa tumbuh dengan segala kompleksitasnya, proporsi peran dan bagianbagian individu meningkat. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin besar ekonomi dunia, para pemain kecil akan menjadi pihak yang kuat. Untuk bertahan hidup, perusahaan besar saat ini melakukan desentralisasi serta restrukturisasi dengan peningkatan efisiensi dan efektivitas kinerja perusahaan. Pemberdayaan tersebut dilakukan dengan pemaksimalan tanggung jawab setiap individu di dalam perusahaan tersebut. Dengan demikian semakin ekonomi dunia menjadi universal, skala komponen pelaku ekonomi menjadi lebih kecil. Naisbitt di dalam bukunya juga mengemukakan pokok-pokok pikiran lain yang paradoks serta mengemukakan pendapat yang fenomenal bahwa semakin manusia dan budayanya menjadi universal, tindakan manusia akan semakin bersifat kesukuan, "think universally, act locally" (Naisbitt, 1994: 24). Sebagai contoh ketika bahasa Inggris menjadi bahasa kedua bagi semua orang, bahasa ibu mereka menjadi lebih penting dan dipertahankan dengan lebih giat. Contoh tersebut menunjukkan bahwa meskipun kekuatan ekonomi dan teknologi yang mengglobal dapat menghilangkan nilai-nilai tradisional, akan tetapi pada kenyataannya justru dapat memperkuat identitas etnis dan budaya bangsa tersebut. Dari pernyataan yang telah dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa proses globalisasi tetap menempatkan
3
masalah lokal ataupun masalah etnis (tribe) sebagai masalah yang penting dan harus dipertimbangkan. Pandangan Naisbitt mengenai "berpikir universal, bertindak lokal" seperti yang dikemukakan di atas dapat digunakan sebagai penyeimbang arus globalisasi yang melanda dunia. Gelombang globalisasi yang didukung oleh pesatnya teknologi informasi menjadikan dunia seperti sebuah perkampungan global (global village), sehingga dipertanyakan letak identitas lokal dari suatu bangsa. Dalam hubungannya dengan hal tersebut kemudian muncul glokalisasi, yakni proses penyesuaian produk global dengan karakter pasar lokal. Sebagaimana dijelaskan oleh Roland Robertson, glokalisasi merupakan upaya untuk menciptakan lokalitas-lokalitas budaya, sehingga pada akhirnya globalisasi tidak berbenturan dengan kebudayaan lokal, dengan cara mengkombinasikan ide lokal dengan format universal (Robertson, 2002: 1-3). Salah satu medium yang digunakan dalam proses glokalisasi adalah bahasa. Bahasa adalah alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Meskipun begitu bahasa bukan satu-satunya alat untuk mengadakan komunikasi. Dua orang atau pihak bisa mengadakan komunikasi dengan mempergunakan cara-cara tertentu yang telah disepakati bersama. Lukisanlukisan, asap api, bunyi gendang atau alat pukul lain dan sebagainya. Akan tetapi bahasa memberikan kemungkinan yang lebih luas dan kompleks daripada yang dapat diperoleh dengan mempergunakan media lain. Bahasa haruslah merupakan bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia dan bukanlah sembarang bunyi, karena bunyibunyi tersebut merupakan simbol atau perlambang yang mewadahi suatu pesan. 4
Bahasa merupakan suatu sistem komunikasi yang menggunakan simbol-simbol vokal (bunyi ujaran) yang bersifat arbitrer (manasuka), yang dapat diperkuat dengan gerakgerik badaniah yang nyata. Ia merupakan simbol karena rangkaian bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia harus diberikan makna tertentu pula (Gorys Keraf, 1997: 1). Di dalam proses glokalisasi bahasa mendekatkan emosi hingga produk universal terasa lokal (Robertson, 2002: 3). Sebagai contoh adalah sebuah tayangan telenovela Amerika Latin yang membuat ibu-ibu Indonesia setia menonton tidak berarti bahwa para ibu itu tertarik dengan budaya Amerika Latin, tetapi karena pada dasarnya telenovela menceritakan konflik keseharian manusia, yang setelah dikemas dengan dubbing bahasa Indonesia menjadi lebih mudah untuk dicerna konsumen Indonesia. Hal tersebut mempercepat sosialisasi produk global di pasar Indonesia, seperti juga yang dilakukan oleh perusahaan makanan cepat saji McDonald dalam mengeluarkan produk-produk dengan nuansa lokal yang kental, seperti produk McSatay, McRendang atau Bubur Ayam McD. Era globalisasi seperti sekarang ini menyebabkan jarak, ruang dan waktu menjadi tidak mutlak sebab dalam hitungan detik berbagai arus informasi bisa diakses dan menyebar ke seantero jagat. Di dalam tatanan dunia baru, yang disebut peradaban universal, perkembangan teknologi informasi telah menciptakan pola komunikasi dan interaksi baru di antara manusia satu dengan yang lain. Akan tetapi, di tengah hiruk pikuk perkembangan teknologi yang membawa berbagai kemudahan komunikasi tersebut, muncul persoalan pokok yang berakar kembali kepada manusia 5
sebagai subjek inti. Dalam hubungannya dengan manusia lain di dalam dunia yang menyediakan kesempatan tak terbatas seperti sekarang ini, konon dunia manusia dikelola dengan prinsip homo homini lupus, manusia saling menjadi serigala bagi yang lainnya (Hespe dalam Jäger dan Beckman, 2012: 178). Perilaku ingin menang sendiri yang pada akhirnya melahirkan kekerasan dan kekacauan. Seperti yang telah dibicarakan di atas, proses globalisasi tidak hanya membawa angin positif kepada dunia manusia dengan segala kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Kemajuan ilmu pengetahuan juga membawa dampak sampingan,
yaitu terjadinya proses dehumanisasi. David Livington Smith
menyebutkan bahwa manusia menganggap manusia lain tidak setara dengannya, yaitu dengan menganggapnya sebagai subhuman (manusia rendah) “… subhumans, it was believed are beings that lack that special something that makes us human. Because of this deficit, they don‟t command the respect that we, the truly human beings, are obliged to grant one another. They can be enslaved, tortured, or even exterminated – treated in ways in which we could not bring ourselves to treat those whom we regard as members of our own kind. This phenomenon is called dehumanization (… manusia-manusia rendah, terdapat kepercayaan bahwa mereka adalah makhluk yang mempunyai kekurangan, sehingga bukan merupakan manusia. Oleh karena kekurangan tersebut mereka tidak mendapatkan kehormatan seperti kita, manusiamanusia sejati. Mereka bisa diperbudak, disiksa dan bahkan dimusnahkan – diperlakukan tidak seperti kita memperlakukan makhluk sebangsa kita. Fenomena ini disebut dehumanisasi) (Smith, 2011: 2). Dalam proses dehumanisasi manusia 6
memperlakukan manusia lain semena-mena sehingga manusia kehilangan kepekaan kepada nilai-nilai luhur, seperti kebenaran, kebaikan dan kejujuran. Dewasa ini manusia lebih peduli terhadap kekayaan materi daripada nilai-nilai kemanusiaan. Dikarenakan oleh hilangnya nilai etika, moral dan agama, manusia menghalalkan segala cara untuk memuaskan keinginan mereka. Hal itu menjadi gaya hidup akibat proses dehumanisasi. Smith juga mengatakan bahwa dehumanisasi terjadi ketika manusia mulai menganggap manusia lain sebagai sesuatu yang derajatnya di bawah manusia, sebagai contoh sebagai hewan. Pada saat manusia menganggap manusia lain sebagai spesies lain, rasa empati tidak muncul ketika dia mengalami kesusahan, kesedihan ataupun kesakitan. Pada kenyataannya di dunia ini terdapat perbedaan dan keragaman budaya yang pada akhirnya memisahkan dan mengelompokkan manusia ke dalam kelompok sosial yang berbeda-beda, perkembangan biologis dan anatomi tubuh yang beraneka macam serta perbedaan perspektif dalam pengertian dan pemaknaan nilai-nilai kehidupan. Perbedaan-perbedaan perspektif sebagaimana yang dimaksud telah menjadi sumber timbulnya benturan dan konflik-konflik di antara manusia. Di dalam pertikaian antarmanusia, manusia bisa membunuh tanpa merasa salah karena merasa bahwa musuh merupakan spesies lain yang kurang manusiawi (less than human). Dehumanisasi yang ditimbulkan bisa berakibat diskriminasi, penindasan serta pemusnahan etnis oleh suatu kelompok masyarakat terhadap kelompok lain (Smith, 2011: 1-2).
7
Poin penting yang perlu dicatat di sini adalah bahwa proses dehumanisasi terhadap orang lain ini juga mengakibatkan dehumanisasi terhadap diri individu itu sendiri. Hal ini disebabkan pada saat manusia tidak mengakui martabat serta tidak menunjukkan rasa hormat terhadap orang lain, secara tidak langsung dia juga mulai kehilangan kemanusiaan di dalam dirinya sendiri. Sebagai akibatnya, semakin manusia merendahkan harkat dan martabat orang lain, dia juga menjadi semakin kurang manusiawi (less human). Salah satu akibat proses dehumanisasi adalah terjadinya tindak dikriminasi. Diskriminasi dalam berbagai bentuk telah merambah ke berbagai bidang kehidupan manusia dan dianggap sebagai hal yang biasa dan wajar. Praktek-praktek diskriminasi yang merupakan tindakan pembedaan untuk mendapatkan hak dan pelayanan dengan didasarkan atas warna kulit, golongan, suku, etnis, agama, jenis kelamin dan sebagainya, merupakan pelanggaran atas hak asasi manusia dan kebebasan dasar di dalam kehidupan. Diskriminasi perempuan serta kaum minoritas merupakan masalah bukan saja bagi negara miskin yang sedang berkembang, tetapi juga masih sering dijumpai di negara-negara maju. Wacana seputar tragedi kemanusiaan, dalam hal ini jatuhnya martabat manusia yang luhur menjadi diskursus utama dalam bidang kajian humanisme. Tony Davies mengemukakan “Humanity is neither an essence nor an end, but a continuous and precarious process of becoming human, a process that entails the inescapable regocnition that our humanity in on loan from others, to precisely the extent that we acknowledge it in them (kemanusiaan bukanlah awal atau akhir dari 8
sebuah proses, melainkan proses yang berkelanjutan untuk menjadi manusia, sebuah proses menuju kesadaran bahwa kemanusiaan kita diberikan oleh orang lain, sehingga kita juga harus mengakui kemanusiaan orang lain) (Davies, 1997: 132). Humanisme sebagai salah satu aliran atau faham dalam bidang filsafat merupakan kajian yang menjunjung tingi nilai-nilai kemanusiaan serta martabat manusia. Humanisme sebagai gerakan pemikiran selalu mengalami perkembangan dalam usaha untuk mengembalikan kebebasan dan eksistensi manusia dalam memaknai dirinya sendiri, dalam hubungannya dengan manusia lain di dalam komunitas sosial tempat dia berada. Dengan kata lain, humanisme merupakan proses manusia memanusiakan dirinya dan memanusiakan manusia lain, yaitu dengan menghargai manusia secara keseluruhan (Davies, 1997: 125-126). Berangkat dari persoalan-persoalan kemanusiaan serta maraknya peristiwa tragedi kemanusiaan di seluruh dunia, penelitian dalam konteks humanisme sebagai bidang kajian yang secara intens membicarakan persoalan manusia dan kemanusiaan menjadi penting untuk dilakukan. Persoalan kemanusiaan, yakni persoalan humanistik adalah persoalan manusia itu sendiri. Membahas wacana kemanusiaan tentunya akan mempersoalkan dan mempertanyakan inti dari kemanusiaan itu sendiri, yaitu hakikat manusia. Hakikat manusia dalam eksistensinya di dunia membicarakan kaidah manusia dalam hubungannya dengan manusia lainnya, dengan alam dan juga hubungannya dengan sang pencipta. Humanisme adalah aliran pemikiraan yang tidak sepakat dengan segala bentuk tingkah laku manusia yang tidak memanusiakan manusia lainnya, karena pada 9
hakikatnya semua manusia itu sama, seperti dikatakan Kipling “But there is neither East nor West, nor Border, nor Breed, nor Birth, when two strong men stand face to face, though they come from the ends of the earth”(Tidak penting Timur atau Barat, ras ataupun keturunan ketika dua manusia bertatap muka, meskipun mereka berasal dari ujung dunia yang berbeda) (Wadia dalam Unesco, 1953: 186). Dari pernyataan tersebut humanisme percaya bahwa manusia mempunyai nilai-nilai (values) yang dinamis,
yaitu
nilai-nilai
yang
berlaku
di
seluruh
penjuru
dunia
tanpa
mempertimbangkan perbedaan kebangsaan, ras, warna kulit ataupun kepercayaan. Di dalam sejarah pemikiran dunia paham-paham humanisme secara garis besar dapat dibagi dalam tiga periode, yakni sebagai berikut: Humanisme Renaissance, Humanisme Enlightenment (Pencerahan), dan Humanisme Romantik. Dalam pengertian humanisme yang dipengaruhi oleh cita-cita jaman Renaissance masyarakat melepaskan kebudayaan yang semula bersifat kegerejaan, sehingga muncul gagasan humanisme sekuler dan individualisme dan juga kapitalisme (Lucas, 1934:
193-194).
Berbeda dengan pemikiran
humanisme
Renaissance
yang
menitikberatkan pada palepasan diri dari doktrin gereja, humanisme Enlightenment memberi kedudukan tinggi kepada akal pikiran manusia (Lucas, 1934: 194). Menurut pandangan zaman Enlightenment, dengan penyebarluasan ilmu pengetahuan maka harkat dan martabat manusia akan semakin meningkat. Humanisme Enlightenment memberi perhatian pada pengertian umum manusia, yaitu berhubungan dengan harkat dan martabatnya serta hak-hak dan kebebasannya. Dalam pandangan humanisme Romantik berkembang anggapan bahwa untuk menjadi manusia, manusia harus 10
menjadi lebih dari manusia. Dia harus menjadi Übermensch (manusia unggul, kuat dan perkasa menahan derita), menjadi Tuhan itu sendiri dengan segala kebebasannya. Ide ini dilanjutkan oleh kaum eksistensialis yang mengagungkan kebebasan. Manusia dipandang sebagai unikum (makhluk serba unik) yang memiliki pengalaman-pengalaman unik. Paul dalam bukunya menyebutnya sebagai era munculnya humanisme liberal (Paul, 2006: 73).
Penelitian ini menitikberatkan nilai-nilai kemanusiaan dalam ruang lingkup pandangan jaman pencerahan (Enlightenment), dengan pertimbangan bahwa humanisme Rennaissance mengusung humanisme sekuler dan humanisme Romantik mengarah kebada humanisme liberal, sedangkan masalah yang diteliti berhubungan dengan pengertian umum manusia, yang berhubungan dengan harkat dan martabat manusia serta hak-hak dan kebebasannya. Hal tersebut merupakan inti dari pandangan
humanisme
Enlightement
yang
menjunjung
tinggi
persamaan,
kebersamaan, keadilan dan kebebasan manusia. Nilai-nilai humanisme manusia dalam menghargai eksistensinya sebagai manusia serta hubungannya dengan manusia lain, dengan alam dan juga dengan penciptanya telah dipertanyakan seiring kemajuan zaman. Wacana humanistik salah satunya dapat ditelusuri dan digali dari hasil karya pemikiran manusia yakni karya sastra. Karya sastra sebagai salah satu bentuk hasil akal budi dan pikiran manusia yang bermedium bahasa dan merupakan karya imajinasi mempunyai fungsi komunikatif dalam masyarakat. Hal ini berarti bahwa karya sastra menjadi alat komunikasi untuk menyampaikan pesan dari pengarang kepada pembaca. Seperti 11
yang dikemukakan oleh Wellek & Warren, hubungan sastra dengan masyarakat pendukung nilai-nilai kebudayaan tidak dapat dipisahkan, karena sastra menyajikan kehidupan dan sebagian besar terdiri atas kenyataan sosial (masyarakat), walaupun karya sastra meniru alam dan dunia subjektif manusia (Wellek dan Warren, 1990: 109). Ketidakpuasan pada realitas yang terjadi di masyarakat memicu para sastrawan untuk menuangkannya ke dalam karya sastra yang di dalamnya berisi gambaran dunia ideal yang merupakan pesan yang ingin disampaikannya kepada pembaca. Nilai-nilai humanisme sebagai salah satu karakteristik manusia bersifat universal. Pengarang di seluruh dunia memiliki pandangan yang rata-rata sama akan dunia ideal. Di dalam dunia ideal yang diharapkan tersebut sikap saling menghargai, toleransi dan hormat-menghormati antarsesama merupakan hal yang ditekankan di dalam kehidupan manusia.
1.2.
Masalah Masalah yang diteliti di dalam penelitian ini merupakan nilai-nilai humanisme
Enlightenment yang terungkap dalam karya sastra, yaitu di dalam novel UFaE! yang digunakan sebagai sampel yang mewakili karya sastra Jerman yang mengandung nilai-nilai kemanusiaan yang berkenaan dengan cara pandang manusia dalam memaknai eksistensi dirinya dan hubungannya dengan manusia lain, dengan alam, sang pencipta. 12
1.3.
Rumusan Masalah Di dalam latar belakang dan deskripsi masalah telah dikemukakan bahwa nilai
humanisme yang berkaitan dengan esensi dan eksistensi manusia serta hubungannya dengan manusia lain di dalam kehidupan di dunia diekspresikan di dalam novel UFaE!. Hal itu menyebabkan setiap unsur yang membangun novel tersebut menjadi bermakna dalam membentuk suatu keutuhan berdasarkan ruang lingkup pandangan humanisme universal. Nilai humanisme sebagai wacana kritik terhadap tata dunia yang penuh dengan dehumanisasi, yaitu penjajahan, pelanggaran hak asasi manusia dan diskriminasi di dalam novel UFaE! disampaikan dalam bentuk-bentuk tanda yang di dalamnya menyiratkan makna yang mempunyai relasi dengan dunia nyata. Dengan adanya tanda-tanda tersebut, novel UFaE! memenuhi fungsi estetik (puitik) dan fungsi komunikatif. Fungsi komunikatif menekankan bahwa keseluruhan novel UFaE! haruslah dilihat sebagai message “pesan” yang ingin disampaikan oleh pengarang dan bukan hanya merupakan content (isi) dari sebuah form (bentuk). Dalam memenuhi fungsi estetis karya seni mengandung tiga komponen, yaitu: benda seni (artefak), objek estetik serta referensi atas petanda (referential aspect of the sign) (Mukařovský dalam Holub, 1984: 31-32). Kedua fungsi tersebut menekankan bahwa keseluruhan novel UFaE! haruslah dilihat sebagai wadah dalam menyampaikan pesan humanisme yang ingin disampaikan oleh Karl May.
13
Dari paparan di atas, masalah yang akan dikaji di dalam penelitian ini yakni nilai-nilai humanisme yang terdapat di dalam UFaE! dapat dirumuskan sebagai berikut: 1.3.1. Konsep humanisme sebagai gerakan dan aliran pemikiran. 1.3.2. Humanisme Enlightenmet di dalam karya sastra dunia. 1.3.3. Ekspresi humanisme Enlightenment dalam novel UFaE! yang dikaji melalui tanda-tanda semiotika dalam struktur teksnya.
1.4.
Objek Penelitian 1.4.1. Objek Formal Objek
formal
penelitian
ini
adalah
nilai-nilai
humanisme
Enlightenment di dalam karya sastra.
1.4.2. Objek Material Objek material dalam penelitian ini adalah novel-novel Jerman yang mengemukakan nilai-nilai humanisme Enlightenment, antara lain Der Schimmelreiter karya Theodore Storm, Don Carlos karya Friedrich Schiller, Effi Briest karya Theodore Fontane, Nathan der Weise, Emilia Galloti dan Miss Sara Sampson karya Gotthold Ephraim Lessing, Iphigenie auf Tauris dan Der Leiden des jungen Werthers karya Johann Wolfgang von Goethe, Kinder und Hausmärchen karya Jakob & Wilhelm Grimm dan lain 14
sebagainya. Karya-karya tersebut merupakan populasi dari penelitian ini, sedangkan sebagai sampel adalah novel Und Friede auf Erden! karya Karl May cetakan VS Verlagshaus Stuttgart GmbH (1996). Novel UFaE! yang dipilih ini merupakan sampel yang mewakili populasi karya sastra Jerman yang merepresentasikan nilai-nilai humanisme Enlightenment. Teknik pemilihan sampel dilakukan secara purposive sesuai dengan representasi masalah seperti yang dijelaskan sebelumnya.
1.5.
Tujuan Penelitian Penelitian ini mempunyai dua tujuan, yaitu tujuan teoretis dan tujuan praktis: 1.5.1. Tujuan Teoretis 1.5.1.1. Mengakumulasi ilmu dalam pengembangan ilmu sastra, penelitian sastra dalam kajian struktualisme dinamik yang menempatkan karya sastra sebagai fakta semiotik. 1.5.1.2. Mengakumulasi ilmu dalam penelitian dengan kajian humanistik. 1.5.1.3. Melihat novel UFaE! sebagai fakta semiotik yang berperan untuk memenuhi fungsi estetik dan fungsi komunikatif karya sastra. 1.5.1.4. Mendeskripsikan nilai humanisme Enlightenment yang terkandung di dalam karya sastra. 15
1.5.2. Tujuan Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan dorongan terhadap upaya sosialisasi nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra dalam hal ini meningkatkan
awareness
(kesadaran)
masyarakat
terhadap
nilai-nilai
humanisme yang seringkali dianggap sudah „basi‟, kadaluwarsa ataupun ketinggalan jaman (Sugiharto, 2008: xv). Nilai-nilai luhur humanisme yang menjadikan manusia menjadi manusiawi terungkap di dalam karya sastra. Dengan penelitian ini diharapkan apresiasi masyarakat Indonesia terhadap karya-karya sastra dan kajian-kajian terhadapnya, khususnya dengan metode strukturalisme dinamik dapat lebih meningkat. Selain untuk menekankan fungsi sastra dalam membantu pemahaman studi kemanusiaan dan kebudayaan, penelitian ini diharapkan dapat membuka peluang bagi disiplin-disiplin humaniora dan ilmu sosial lain sekaligus ilmu eksakta untuk dapat mengapresiasi dan mengeksplorasi karya-karya sastra sebagai pembanding dalam studi-studi pada semua disiplin tersebut. Penelitian ini diharapkan bisa mengakumulasi ilmu yang bisa dimanfaatkan tidak hanya bagi masyarakat dan akademisi di Indonesia, namun juga di tataran dunia, sebagai wacana humaniora khususnya mengenai nilai kemanusiaan yang bersifat universal. Penelitian ini juga diharapkan dapat mendorong pembaca untuk melakukan telaah karya sastra asing untuk tujuan perluasan cakrawala budaya dan pengetahuan. Diharapkan penelitian ini dapat memberikan sumbangan 16
terhadap perluasan visi mahasiswa, dosen, peneliti dan masyarakat umum di Indonesia tentang posisi novel Und Friede auf Erden! dalam khasanah sastra Jerman dan sastra dunia serta kaitannya dengan studi sastra di Indonesia.
1.6.
Tinjauan Pustaka Usaha mencari dan menelusuri berbagai sumber informasi mengenai
penelitian dengan tema humanisme Enlightenemnt dalam karya Karl May dengan kajian strukturalisme dinamik telah dilakukan. Penelitian dengan tema humanisme ataupun terhadap karya-karya karl May memang telah dilakukan. Akan tetapi penelitian-penelitian tersebut dilakukan dengan pendekatan yang berbeda-beda. Di antaranya adalah sebagai berikut: Pertama, penelitian berupa skripsi yang berjudul Pendidikan Nilai Humanistik Tokoh Sejjid Omar dalam Roman “Und Friede auf Erden!” Karya Karl May (Analisis Struktural) yang ditulis oleh Komang Shanty Muni Parwati (2005). Penelitian ini menghasilkan temuan bahwa: (1) Tokoh Sejjid Omar mengungkapkan tema humanistik melalui pengalaman yang didapatkannya selama perjalanan, yang diungkapkan dari hasil analisis struktural cerita (alur) dan latar cerita; (2) Pendidikan humanistik yang dialami Sejjid Omar mempunyai kajian tema yang berlawanan, yaitu a) keburukan & keindahan, b) kebencian & keadilan, c) ketidakpedulian & tanggungjawab, d) kesewenang-wenangan & keadilan, e) kegelisahan & ketentraman, f) penderitaan & kebahagiaan serta g) keberhasilan & harapan; (3) Nilai-nilai 17
pendidikan humanistik yang diperoleh tokoh Sejjid Omar adalah: keindahan, kasih sayang, keadilan, tanggungjawab, kebahagiaan dan ketentraman. Perbedaan penelitian yang dilakukan oleh Parwati dengan penelitian yang akan dilakukan adalah selain pada metode analisis yang digunakan, juga pada objek material, di mana Parwati hanya meneliti satu tokoh di dalam novel, yakni tokoh Sejjid Omar. Kedua, penelitian berupa skripsi yang berjudul Nilai-Nilai Kemanusiaan dalam Roman “Winnetou I” Karya Karl May yang ditulis oleh Uswatun Fadliah (2005). Dari penelitian tersebut ditemukan fenomena-fenomena sebagai berikut: (1) Nilai-nilai kemanusiaan yang terdapat dalam roman Winnetou I yaitu cinta kasih sesama manusia dan persaudaraan, keserasian dan kehalusan, penderitaan dan kekalutan mental, kejujuran dan kebenaran, pemulihan nama baik, cita-cita, kebijakan, etika, tanggungjawab, pengorbanan, pengabdian, kepercayaan dan harapan; (2) Bentuk penyampaian nilai kemanusiaan yang digunakan adalah bentuk penyampaian langsung dan tidak langsung. Kalimat-kalimat dalam roman dibuat sedemikian rupa agar pesan dan amanat yang ingin disampaikan dapat diketahui secara langsung oleh pembaca; (3) Nilai-nilai kemanusiaan yang ada dalam roman Winnetou I bersifat universal dan relevan dengan jaman sekarang. Ketiga, penelitian dengan objek formal nilai humanisme dilakukan dalam tesis dengan judul “Hamlet” dan “Pararaton” serta Nilai Kemanusiaannya yang ditulis oleh Nuri Fainuddin (2006). Dalam menganalisis kedua karya sastra digunakan teori komparatif yang dikemukakan oleh Claudio Guillen. Hasil temuan merupakan kemiripan-kemiripan serta perbedaan-perbedaan yang ditemui di dalam kedua karya 18
sastra. Kemiripan dan perbedaan antara kedua karya sastra terletak pada agama, kebudayaan, adat istiadat dan percintaan. Nilai-nilai kemanusiaan yang ditemukan berupa kehidupan yang lebih sempurna, kepatuhan, memegang teguh amanah, kebajikan sesama, hukum karma, bertaubat dan penyesalan. Dalam analisis untuk mengetahui nilai kemanusiaan di dalam kedua karya sastra yang dibandingkan, Fainuddin tidak menggunakan teori strukturalisme dinamik. Hal ini berarti bahwa selain karya sastra yang dianalisis berbeda, teori yang digunakan Nuri Fainuddin dalam tesisnya juga berbeda dengan penelitian ini. Keempat, penelitian lain yang mengungkapkan nilai-nilai kemanusiaan, dalam hal ini ajaran moral, adalah tesis dengan judul Ajaran Moral dalam Kumpulan Cerpen “Gergasi” Karya Danarto. Analisis Strukturalisme Semiotik yang disusun oleh Susniawan (2002). Penelitian ini memberikan hasil bahwa ajaran moral merupakan ide sentral/ tema di dalam karya sastra yang diteliti. Ajaran moral tersebut berupa seruan untuk mengendalikan hawa nafsu, mengurangi nafsu amarah, mengurangi ketamakan/ kerakusan atas kekuasaan, kepedulian penguasa terhadap orang lain/ rakyat kecil, memerangi superioritas diri terhadap orang lain, kesewenang-wenangan serta memerangi kesombongan dan keserakahan penguasa terhadap harta dan kuasa. Di dalam penelitian ini, ajaran moral di dalam karya sastra diteliti dari telaah semiotik yang difokuskan pada pembacaan heuristik dan hermeneutik. Hal ini tentu saja berbeda dengan metode analisis yang akan dilakukan di dalam penelitian ini.
19
Kelima, tesis dengan judul “An-Nabiyyu (Sang Nabi)” karya Jubrân Khalîl Jubrân dalam Kajian Strukturalisme Semiotik yang ditulis oleh Mahmudah (2004) menghasilkan temuan bahwa matriks novel An-Nabiyyu adalah ajaran moral yang humanis, etis dan religius. Melalui analisis semiotik ditemukan pokok-pokok pikiran yang berhubungan dengan ketuhanan, interaksi antar sesama manusia, interaksi antara manusia dengan alam, interaksi manusia dalam keluarga, sikap pribadi manusia serta kepercayaan terhadap reinkarnasi. Perbedaan penelitian yang telah dilakukan oleh Mahmudah dengan penelitian yang akan dilakukan terdapat pada objek penelitian serta metode yang dipergunakan. Keenam, penelitian lain yang meneliti nilai humanisme adalah tesis dengan judul Religiusitas dalam Karya Sastra Jawa. Kajian Strukturalisme Semiotik. Antologi Puisi Jawa Modern yang ditulis oleh Ismail (2008). Kajian Strukturalisme dan Semiotik di dalam penelitian ini bertujuan untuk memahami, mendeskripsikan dan menginterpretasikan unsur-unsur religiusitas yang terdapat dalam antologi puisi Jawa modern. Hasil yang diperoleh adalah bahwa sajak-sajak puisi Jawa modern memiliki struktur yang bermakna, yang di dalamnya terdapat tanda-tanda/ lambanglambang sebagai pencerminan makna keberagaman manusia Jawa. Karya sastra Jawa perlu untuk dipelajari karena di dalamnya terdapat nilai-nilai luhur serta wacana yang berisi makna mulia, yang dapat dijadikan sebagai teladan dan wawasan pengetahuan untuk membina kearifan dalam segala aspek kehidupan. Perbedaan penelitian yang dilakukan oleh Ismail ini dengan penelitian yang akan dilakukan selain terletak pada objek material kajiannya, terdapat pula perbedaan dalam metode analisis yang 20
digunakan, yaitu dalam penelitiannya Ismail tidak menggunakan teori dan metode strukturalisme dinamik.
1.7.
Landasan Teori Tujuan penelitian ini sebagaimana dikemukakan sebelumnya adalah
mengungkapkan nilai-nilai humanisme universal di dalam novel UFaE!. Pada dasarnya karya sastra merupakan implementasi nilai-nilai masyarakat, yang tidak pernah terlepas dari konteks sosial-budaya dan kehidupan. Sastra merupakan fenomena budaya di dalam masyarakat. Untuk keperluan penelitian humanisme di dalam karya sastra, berikut dikemukakan teori Bronislaw Malinowsky mengenai analisis fenomena budaya yang dilihat dari sistem simbol yang menyertai. Analysis of culture, such phenomena as language, oral or written tradition, the feature of some dominant dogmatic concept and the way in which subtle moral rules are incorporated into human behaviour. Everyone knows that all this is based primarily on verbal instruction or linguistic texts, that is, on the whole realm of symbolism. (Analisis budaya, seperti fenomena budaya, tradisi lisan atau tertulis, keberadaan konsep dogmatis serta penerapan peraturan-peraturan moral diterapkan pada perilaku manusia. Setiap orang mengetahui bahwa kesemua hal tersebut terutama berdasarkan instruksi verbal atau teks linguistik dalam realitas sistem simbol) (Malinowski, 1944, 132).
21
Berdasarkan teori Malinowski tersebut bisa disimpulkan bahwa sebagai produk budaya, novel UFaE! mengemukakan nilai-nilai humanisme dalam seperangkat tanda-tanda dalam sistem semiotik. Semiotik dapat diberi batasan sebagai kajian umum tentang sistem tanda serta makna yang menyertainya. Ilmu bahasa merupakan salah satu sistem semiotik, disamping unsur-unsur budaya lain seperti seni, pakaian, kekerabatan dan sebagainya, sebagai seperangkat sistem makna yang semuanya saling berhubungan. Di dalam kajian ilmu tanda peranan konteks situasi dan konteks budaya sangatlah penting untuk dapat memahami teks dengan sebaik-baiknya. Setiap kalimat merupakan gambaran dari fenomena gabungan dalam dunia nyata, sehingga terdapat hubungan antara teks dan konteks situasinya. Hal ini senada dengan pendapat Mukařovský yang mengatakan bahwa karya sastra tidak dapat dipahami dan diteliti lepas dari konteks sosialnya, karena kode sastra berkaitan dengan kode-kode lain dan fungsi estetik juga tidak lepas dari fungsi sosial lain (Teeuw, 1984: 186). Seringkali karya sastra lahir akibat ketidakpuasan pengarang akan apa yang dilihatnya di dalam dunia nyata. Hal tersebut menjadikan pengarang berpura-pura atau berdusta di dalam dunia karangannya. Seperti yang dikemukakan Umberto Eco, bahwa semiotika pada prinsipnya: “merupakan disiplin ilmu yang memepelajari segala sesuatu yang dapat digunakan untuk berdusta” (Eco, 1976: 7). Karya sastra merupakan suatu sarana dusta seperti yang dikemukakan oleh Eco dan semiotika merupakan teori dusta. Akan tetapi makna lie (dusta) yang dikemukakan oleh Eco seperti yang terlihat di atas merupakan bahasa hiperbolis yang 22
menerangkan bahwa semiotika merupakan ilmu yang digunakan untuk mempelajari tanda-tanda yang berisikan makna di dalam realitas. Di dalam terminologi semiotika terdapat perbedaan yang substansial antara tanda dan referensinya di dalam kehidupan nyata. Di dalam sebuah tanda terdapat konsep isi, bentuk dan makna yang seringkali
tidak
sesuai
dengan
realitas
yang
dibicarakan.
Hal
tersebut
mengindikasikan bahwa karya sastra sebagai sebuah sistem tanda berisikan tandatanda yang seringkali mempunyai makna yang berbeda dengan realitas yang ada di dalam kenyataan. Konsep „semiotik‟ mulanya berasal dari konsep tanda, yang mempunyai hubungan dengan istilah semainon (penanda) dan semainomenon (petanda) yang digunakan dalam ilmu bahasa Yunani kuno oleh para pakar filsafat Stoik. Orangorang Stoik merupakan orang pertama yang mengembangkan teori tentang tanda pada abad ketiga dan kedua sebelum Masehi. Pengertian mereka tentang tanda kebahasaan dikembangkan dua ribu tahun kemudian dalam penelitian Ferdinand de Saussure (Halliday, 1994: 3-4). Ferdinand de Saussure dalam Course in General Linguistics menghubungkan peran tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial. Menurutnya semiotika merupakan ilmu yang mempelajari struktur, jenis, tipologi serta relasi-relasi tanda dalam penggunaannya di dalam masyarakat (Saussure, 1977: 20). Saussure berpendapat bahwa sistem tanda mempunyai beberapa prinsip, yakni relasi struktural yang menitikberatkan pada relasi secara total keseluruhan unsur dalam sebuah sistem. Prinsip yang kedua merupakan prinsip kesatuan (unity), yang menekankan bahwa 23
tanda merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara penanda yang bersifat konkrit dan bidang petanda yang merupakan makna, ide atau gagasan di baliknya. Prinsip Saussure mengenai tanda yang ketiga adalah prinsip konvensional, bahwa sistem tanda sangat bergantung kepada konvensi bahasa di antara komunitas pengguna. Prinsip yang keempat yaitu prinsip sinkronik, yang menganggap kajian tanda sebagai sebuah sistem yang tetap di dalam konteks waktu yang konstan, stabil dan tidak berubah. Kelima prinsip representasi, yang meyakini bahwa tanda selalu merupakan representasi suatu realitas. Keenam prinsip kontinuitas, yang melihat bahwa penggunaan tanda secara sosial bersifat continuum (berkelanjutan), sehingga penggunaannya selalu mengacu pada sebuah sistem yang tidak pernah berubah. Dengan demikian, Saussure menganggap bahwa pada dasarnya individu tidak bisa memilih tanda sendiri, karena hal tersebut merupakan produk yang diwariskan dari generasi sebelumnya. Konsep semiotika yang dikembangkan oleh Saussure seperti yang telah dikemukakan di atas mempunyai kelemahan yang prinsipil, bahwa penggunaan tanda mengabaikan dinamika, perubahan serta transformasi sosial di dalam masyarakat. Hal tersebut memicu munculnya pemikiran strukturalisme dinamik yang dikembangkan oleh Jan Mukařovský. Mukařovský sebagai salah satu ilmuwan sastra yang tergabung dalam lingkaran linguistik Praha mengemukakan pendapatnya yang paling fenomenal mengenai fungsi estetik (aesthetic function). Hal tersebut bisa diartikan bahwa satu objek yang sama bisa mengekspresikan beberapa fungsi sekaligus; sebagai contoh „gereja‟ bisa diartikan sebagai tempat ibadah, bisa pula sebagai karya seni; batu bisa 24
berarti pengganjal pintu, material bangunan dan peluru, tetapi sekaligus juga bisa diartikan sebagai objek artistik. Kesemua fungsi yang diekspresikan suatu objek tergantung dari konteks sosial, ekonomi, politik, budaya dan estetiknya (Selden, 1985: 20). Hal tersebut di atas juga terlihat dalam produk-produk sastra, yaitu terdapat keragaman fungsi dalam satu objek yang sama. Sebagai contoh sebuah surat, biografi, naskah pidato ataupun propaganda politik mempunyai nilai estetik dan fungsi yang berbeda di dalam masyarakat yang berbeda serta pada masa yang berbeda pula. Sebagai salah satu strukturalis Ceko yang terkenal dengan gagasangagasannya mengenai masalah estetika, Mukařovský berpendapat bahwa literary language (bahasa sastra) menggunakan bahasa puitis yang berbeda dengan bahasa yang digunakan secara umum. Thus poetic language appears as a part of a linguistic system, as an enduring structure having its own regular development of human expression through language in general (bahasa puitis muncul sebagai bagian dari sitem linguistik, sebagai sebuah struktur yang memiliki perkembangan sendiri atas ekspresi manusia melalui bahasa secara umum) (Mukařovský, 1977: 1). Bahasa satra menggunakan bahasa puitik yang mempunyai aspek semiotik. (What is literary language? It is a material like metal and stone in sculpture, like pigment in painting. But in contrast to the materials of sculpture and painting, language has a semiotic character) (Apakah bahasa sastra itu? Itu adalah materi seperti logam dan batu pada sebuah patung, seperti pewarna dalam lukisan. Akan tetapi tidak seperti materi patung dan lukisan, bahasa mempunyai karakteristik semiotik/ tanda) (Mukařovský, 1976: 25
12). Menurut pendapat Mukařovský di atas, bahasa sastra merupakan sebuah medium atau alat, sebagaimana patung yang bermedium logam atau lukisan yang menggunakan warna. Akan tetapi bahasa sastra mempunyai karakteristik yang menonjol, yakni mengandung tanda-tanda. Selanjutnya pemikiran mengenai tanda semiotik dalam karya sastra dikemukakan pada Kongres Filsafat Internasional ke-8 di Praha pada tahun 1934, Mukařovský mengemukakan konsepnya mengenai seni sebagai “fakta semiotik” (art as a semiotic fact). “… literary work functions not only as a work of art but also and simultaneously as parole expressing a state of mind, thought, emotion and so forth. There are arts in which this communicative function is very apparent, such as literature” (Fungsi dari
karya sastra bukan hanya sebagai karya seni, tetapi juga secara simultan sebagai parole untuk mengekspresikan pikiran, gagasan, emosi dan sebagainya. Ada beberapa seni yang di dalamnya fungsi komunikatif tersebut sangat terlihat, seperti dalam sastra). Mukařovský menambahkan bahwa, “The arts have a second semiotic function” (seni mempunyai fungsi semiotik tingkat dua) (Mukařovský, 1977: 82, 8485). Hal ini sependapat dengan konsep Jurij Mikhalovich Lotman mengenai dua peranan
bahasa,
yakni
bahasa
sebagai
sistem
model
pertama
(primares
modellbildende System), sekaligus sebagai sistem model kedua (sekundäres modellbildende System). Lotman menyebutkan bahwa sastra termasuk dalam sekundäres modellbildende System yang merupakan bahasa khas, bukan merupakan bahasa umum dan bahasa formal seperti dalam ilmu linguisik. Dengan demikian, melalui sudut pandang semiotika Lotmann menggambarkan realita dengan 26
menggunakan kode berbeda-beda. “Seorang detektif dari departemen penyelidikan kriminal dan seorang pengagum wanita yang berjalan di jalan yang sama dan pada waktu yang sama melihat realita yang sama sekali berlainan (Lotman dalam Fokemma, 1998: 25). Dengan mempertimbangkan bahwa sastra mempunyai realita yang berbeda dengan linguistik yang menggunakan bahasa formal, Mukařovský mengemukakan konsepnya mengenai fakta semiotik yang dikandung di dalam karya seni. Mukařovský menjabarkan bahwa bila seni dianggap sebagai tanda, maka terdapat dua aspek yang terkandung di dalamnya, yakni aspek simbol eksternal atau penanda (signifiant) dan aspek makna yang diwakili atau petanda (signifie) (Mukařovský, 1977: 83). Dalam hal ini Mukařovský mengadopsi konsep diadik yang dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure, yang mengantarkannya pada pendapat bahwa karya seni bukan hanya penanda, atau yang disebut Mukařovský sebagai artefact (karya seni sebagai tanda), tetapi juga sebagai obyek estetik, yang pemahamannya dikonkretkan oleh pembaca. Hal tersebut jika dikaitkan dengan sistem triadic dalam semiotika Charles Sanders Peirce yang menganggap tiap simbol mengandung tiga unsur, bisa diartikan dalam konsep estetik Mukařovský objek estetik sebagai representamen, artefak sebagai object dan collective consiousness sebagai ground, seperti terlihat dalam bagan berikut:
27
ARTEFAK
OBYEK ESTETIK
CLASS CONCIOUSNESS
Konsep artefak bagi Mukařovský adalah sebagai berikut: The artifact is the materially given symbol of meaning, the aesthetic object is the meaning correlate of the artifact in the collective conciousness of the readers. The artifact, unchanging in its structure, is ofcourse the source of the meaning which the reader must constitute the point of departure for all concretizations of the work by its recipients and yet the work in its totality cannot be reduced to the artifact. Since it is concretized against the background of fluctuating systems of aesthetic norms, the structure of the aesthetic objects is continually shifting as well. (Artefak secara material adalah simbol makna tertentu, obyek estetik merupakan hubungan artefak dan maknanya, di dalam kesadaran kolektif pembaca. Artefak, yang tidak berubah dalam strukturnya, merupakan sumber makna yang ditentukan pembaca, yang merupakan titik tolak bagi semua konkretisasi oleh penerimanya; karya seni dalam totalitasnya tidak bisa direduksi menjadi artefak. Disebabkan oleh latar belakang sistem norma estetis yang berbeda-beda, struktur obyek estetis juga selalu berubah) (Mukařovský dalam Fokemma, 1977: 143). Karya seni sebagai artefact selalu sama, sedangkan obyek estetik selalu berubah, oleh karena perbedaan latar sosial budaya masing-masing pembaca. Artefact diterima pembaca dan ditafsirkan menurut pengetahuan dan pengalamannya sendiri yang berkaitan dengan konvensi literer di dalam karya sastra serta konvensi-konvensi yang dikenalnya. Dengan demikian, pembaca mengkonkretkan artefact untuk dijadikan obyek estetik. Mukařovský mengatakan bahwa “eine Erscheinung, die zur einer bestimmten Zeit oder in einem bestimmten Land eine priviligierte Trägerin 28
einer ästhetischen Funktion war, kann zu einer anderen Zeit oder in einem anderen Land für diese Funktion ungeeignet sein” (fungsi estetik yang dimiliki sebuah fenomena pada suatu waktu atau pada suatu tempat, bisa saja tidak sesuai untuk waktu dan tempat yang berbeda) (Mukařovský dalam Fokemma, 1977: 184). Mukařovský menempatkan seni sebagai faktor semiotik yang bersifat komunikatif, serta pemaknaannya selalu dalam kerangka konteks sosial dan budaya. Periode strukturalisme Mukařovský berlangsung kurang lebih selama 20 tahun (1928 – 1948) dengan tiga tahapan perkembangan teori estetik. Sebagaimana yang dianut oleh para pelopor strukturalis Ceko yang melanjutkan perkembangan ilmu tradisi formalisme Rusia, pada tahap awal pemikiran Mukařovský berkembang pemikiran bahwa karya seni ditandai oleh keutuhannya, sedemikian rupa sehingga tidak bisa dibagi menjadi bagian-bagian. Meskipun begitu masih dimungkinkan untuk menganalisis struktur artistik karya seni melalui faktor-faktornya dengan pendekatan struktural. Pada tahap kedua perkembangan teori estetiknya, Mukařovský mulai menganggap bahwa pendekatan struktural objektif tidak cukup untuk menganalisis karya sastra. Pada tahap ini Mukařovský mulai memberikan penjelasan mengenai kesadaran
sosial,
karena
norma-norma
yang
berlaku
di
masyarakat
diimplementasikan di dalam karya sastra. Dalam hal ini Mukařovský mendefinisi ulang konsep struktur. Ia berpendapat bahwa keseluruhan struktur disusun oleh seluruh bagian-bagiannya, begitu pula sebaliknya, masing-masing bagian mempunyai arti di dalam suatu kesatuan yang terstruktur. Ciri khas struktur mempunyai sifat 29
dinamis dan energik, yang disebabkan oleh kenyataan bahwa masing-masing unsur memiliki fungsi khas yang berhubungan dengan unsur yang lain, saling berkaitan dan tunduk pada proses perubahan. Akibatnya, struktur sebagai kesatuan berada dalam pergerakan yang selalu permanen (Fokkema, 1998: 45). Pada tahap ketiga perkembangan teori estetiknya, Mukařovský melengkapi konsep strukturalismenya. “Struktur” yang pada tahun 1940 masih merupakan entitas konseptual lambat laun dipandang sebagai fenomena obyektif yang berasal dari dunia nyata. Mukařovský mengembangkan teorinya dengan pendapat bahwa subjek penerima bukanlah individu pasif, melainkan berperan aktif dengan berinteraksi dengan struktur di dalam karya satra dalam pembentukan makna (Mukařovský, 1977: xi-xii). Mukařovský memandang sastra sebagai bagian dari seni yang mempunyai relasi dengan kenyataan di dunia nyata. Dikarenakan oleh perubahan latar belakang sosial dan kultural masing-masing individu dalam memaknai karya seni (artefak), maka interpretasi dan evaluasi terhadap karya seni juga berubah-ubah. Pluralitas interpretasi hendaknya dianggap sebagai aset karya seni. Sehubungan dengan interpretasi, Mukařovský mendefinisikan karya seni sebagai tanda otonom, yang dimengerti oleh anggota-anggota di dalam suatu kelompok. Oleh karena itu karya seni tidak perlu mengacu pada realitas yang ada. Karya seni harus mempunyai makna yang dimengerti oleh pengirim maupun penerima, tetapi tidak harus menunjuk kepada situasi ataupun obyek nyata serta dimungkinkan memiliki makna yang tidak langsung atau metaforis.
Terlepas dari fungsi otonom karya seni, Mukařovský 30
berpendapat bahwa karya sastra mempunyai fungsi komunikatif serta fungsi estetik. Sebagai tanda komunikatif, karya sastra terdiri atas kata-kata yang mengungkapkan pikiran dan perasaan serta mendiskripsikan situasi. Selanjutnya terjadilah dialektika diantara fungsi otonom dan fungsi komunikatifnya, karena karya sastra digunakan di antara anggota-anggota suatu kelompok, sehingga tanda-tanda tidak harus mengacu pada kehidupan nyata yang sebenarnya dan mementingkan aspek pemahaman antara pengirim dan penerima pesan. Sedangkan sebagai tanda estetik, karya seni merupakan rangkaian tanda-tanda yang pemaknaan obyek estetiknya tergantung pada konsepsi dan fenomena sosial yang meyertainya, sehingga pemaknaannya tergantung pada subjek/ pembaca (Mukařovský, 1977: 84-87). Hal tersebut bisa dilihat di dalam bagan berikut: KARYA SASTRA
FUNGSI OTONOM
tidak harus mengacu realitas
FUNGSI KOMUNIKATIF medium ekspresi, pikiran, gagasan
FUNGSI ESTETIK
rangkaian tanda pembawa makna
Di dalam karya seni, aspek estetik merupakan aspek yang dominan. Fungsi estetik mempunyai sifat dinamis yang berbeda-beda dalam kondisi dan latar belakang sosial, budaya serta memory storage tiap-tiap penerima. Nilai estetik juga bukan konsep yang statis, karena nilai estetik berkembang berdasarkan tradisi artistik yang 31
berhubungan dengan konteks sosio-kultural yang selalu berubah. Hal ini merupakan prinsip dinamik, di mana persepsi atau meaning (pembentukan makna) pada prinsipnya tidak mempunyai makna yang langgeng dan mantap. Mukařovský menegaskan bahwa setiap obyek atau tindakan bisa memperoleh fungsi estetik (Mukařovský, 1935: 28). “Nearly every object and nearly every action can in principle be granted an aesthetic function. The aesthetic function is actualized in a certain social context. Given the dynamics of the social situation this implies that the presence and intensity of the aesthetic function are dynamic” (Hampir setiap objek dan hampir setiap tindakan pada prinsipnya bisa mempunyai fungsi estetik. Fungsi estetik diwujudkan di dalam konteks sosial tertentu. Dikarenakan oleh situasi sosial yang selalu dinamis maka keberadaan dan intensitas fungsi estetik juga dinamis atau selalu berubah) (Mukařovský dalam Segers, 1978: 37). Mukarovsky menambahkan “The aesthetic function can become a factor of social differentiation in those cases where a certain object or action has an aesthetic function for one sosial class but not for another.” (Fungsi estetik bisa menjadi pembeda sosial, yakni pada beberapa kasus sebuah objek atau tindakan mempunyai fungsi estetik pada suatu kelas sosial, namun tidak mempunyai fungsi estetik pada kelas sosial yang lain) (Mukařovský dalam Segers, 1978: 37). Dari beberapa pernyataan dari Mukařovský di atas, dapat dikembangkan bahwa fungsi estetik karya sastra berhubungan erat dengan situasi sosial, budaya dan periode waktu, karena fungsi estetik memiliki hubungan dialektika dengan konteks dan struktur sosial. Fungsi estetik merupakan serangkaian situasi yang ditata 32
sedemikian rupa dan digambarkan untuk menceritakan fakta di dalam karya sastra. Fungsi estetik merupakan kekuatan yang menciptakan nilai estetik. Nilai estetik bukanlah konsep yang statis, tetapi merupakan proses yang berkembang berdasarkan tradisi artistik aktual dan berhubungan dengan konteks sosial serta kultural yang selalu berubah. Dinamisme konsep fungsi dan nilai estetik didasarkan pada konsep obyek estetik yang sudah diinterpretasikan. Pandangan Mukařovský mengemukakan bahwa obyek estetik tidak sama, tetapi ditentukan oleh masing-masing generasi atau kelompok penerimanya. Oleh karena itu terdapat kompleksitas dan multiplisitas keanekaragaman interpretasi artefak. Mukařovský memandang hal tersebut sebagai aset potensial estetika. Dia menganggap bahwa nilai estetik artefak akan menjadi lebih tinggi dan lebih bisa bertahan jika karya tersebut tidak member batasan sistem nilai pada periode atau milleu (lingkungan sosial) tertentu (Mukařovský 1935: 93). Fungsi estetik karya sastra dianalisis dengan menemukan fitur-fitur yang menyebabkan daya estetis kaya sastra. Tujuan tersebut mengimplikasi beberapa hal, di antaranya menekankan hubungan antar unsur yang bersangkut paut dengan nilai estetis karya sastra. Nilai estetika sebuah karya sastra dilihat dari seluruh komponen yang menyusun karya sastra tersebut. Dalam hal ini tidak bisa dipisahkan antara bentuk (form) dan isi (content) dari sebuah unsur karya sastra karena keduanya samasama berfungsi sebagai pembawa makna yang saling terikat. Mukarovsky mengatakan “Thus, the literary description of a certain character in a novel may represent the ethical value „good‟ or „bad‟, but will be incorporated into the total 33
structure of the text” (Deskripsi sebuah karakter dalam novel bisa mendapatkan predikat „baik‟ atau „buruk‟ menurut nilai moral yang berlaku, bagaimanapun tetap menjadi bagian dalam struktur keseluruhan teks) (Mukařovský dalam Segers, 1978: 39). Analisis yang hanya terfokus pada objek estetik tidaklah cukup, karena pada dasarnya karya sastra merupakan tanda-tanda di dalam proses komunikasi. Oleh karena itu, fitur-fitur yang menyebabkan daya estetis ditempatkan sebagai tanda yang menyiratkan makna-makna bagi pembaca. Dengan analisis ini diasumsikan bahwa objek-objek estetis dalam UFaE! digunakan untuk memenuhi fungsi praktisnya dalam komunikasi. Hal ini sesuai dengan teori Jurij Lotman mengenai bahasa yang merupakan berbagai macam sistem yang digunakan sebagai alat komunikasi yang menggunakan tanda (“jedes geordnete System, das als Kommunikationsmittel deint und Zeichen verwendet”) Lotman menyebutkan beberapa bentuk komunikasi hanya bisa dimengerti dengan bahasa khusus, seperti kimia, aljabar dan juga seni yang mempunyai bahasa tersendiri (Lotman dalam Segers, 1978: 22). Berkenaan dengan hal di atas, Mukařovský mengatakan bahwa karya sastra sebagai bagian dari seni menggunakan bahasa linguistik yang dipengaruhi oleh fakta sosial. Pada masa novel UFaE! ditulis, dunia sedang menghadapi gelombang kolonialisme besar-besaran yang dilakukan oleh bangsa Eropa dan Amerika. Di dalam novel UFaE!, terdapat pesan-pesan kedamaian dan ketidaksetujuan kepada imperialisme. Hal itu bisa diteliti dengan pendekatan strukturalisme dinamik untuk menganalisis fungsi dan nilai
34
estetik (aesthetic function and value) di dalam teks sebagai wadah fungsi penyampaian pesan-pesan humanisme tersebut. Di dalam pendekatan strukturalisme dinamik ini pengarang dipandang bukan sebagai satu unsur penting yang menentukan penyampaian fungsi puitik dan komunikatif karya sastra. Hal ini seperti diibaratkan oleh Mukařovský sebagai berikut: “The narrative of the guslars, similar in this respect to the narratives of Homer, the prophets and the rabbis, to the Epistles of Baruch, St.Peter and St.Paul… are a juxtaposition of relatively few clichés. The development of each of these clichés happens automatically according to fixed rules. Only their order can vary. A good guslar is one who plays with his clichés as we play with cards, who arranges them in different ways according to the effect which he wishes to produce from them. Thus individuality in such poetic configuration is obviously relegated to a secondary position and what is left to it is merely an influence on the arrangement of a priori given formulae”. (Cerita dari seorang pencerita yang bermain musik hampir sama dengan cerita Homer, cerita nabi-nabi dan para wali, sampai ayat-ayat dalam surat Baruch, St.Peter dan St.Paul… semuanya hanya kumpulan beberapa klise. Perkembangan dari masing-masing klise terjadi menurut ketentuan yang berlaku. Hanya urutannya yang bisa bervariasi. Pencerita yang baik adalah yang bisa bermain dengan hal-hal klise seperti kita bermain kartu, dalam hal ini kartu-kartu ditata sedemikian rupa untuk menghasilkan efek tertentu. Dengan demikian individualitas pencerita dalam konfigurasi puitis seperti itu pastinya mendapatkan posisi kedua dan yang tersisa hanyalah pengaruh dari pengaturannya yang sebelumnya) (Mukařovský, 1977:3). Dari pendapat Mukařovský di atas bisa dilihat pandangannya mengenai pengarang di dalam pendekatan strukturalisme dinamik. Cerita dari seorang tukang cerita biasa bisa menimbulkan pengaruh bagi masyarakat seperti halnya narasi-narasi besar seperti Homer, cerita nabi-nabi ataupun cerita-cerita dalam kitab suci. Pada dasarnya sebuah cerita merupakan kumpulan cerita-cerita yang dikembangkan. Sang tukang cerita hanya bisa menata urutan-urutannya, namun terdapat ketentuan dalam 35
pengembangan cerita-cerita tersebut, yakni tukang cerita harus menatanya sebisa mungkin agar cerita bisa mempengaruhi masyarakat yang membaca. Oleh karena itu subyektivitas pencerita atau pengarang bukanlah hal yang penting, karena dalam proses kepengarangannya terdapat aturan-aturan yang membatasinya.
1.8.
Metode Penelitian Pelaksanaan kerja penelitian dengan pendekatan strukturalisme dinamik
menggabungkan dialektika antara struktural dan semiotik. Berdasarkan landasan teori yang dipaparkan di dalam bab sebelumnya, metode semiotika pada dasarnya bersifat kualitatif-interpretatif (interpretation), yaitu sebuah metode yang memfokuskan diri pada tanda dan teks sebagai objek kajian, serta dilakukan penafsiran dan interpretasi terhadap tanda-tanda di dalam teks tersebut (Piliang, 2003: 270). Metode kualitatif dalam penelitian ini dilakukan dengan penelusuran pustaka untuk menjawab masalah penelitian yang telah disebutkan. Teknik yang dipakai dalam penelitian ini adalah dengan pengumpulan data dalam metode kepustakaan, yaitu dari novel karangan Karl May yang berjudul Und Friede auf Erden! sebagai objek penelitian. Pengumpulan data dilakukan untuk memudahkan langkah penelitian selanjutnya. Pengumpulan data dilakukan dengan mencari pesan-pesan humanisme dalam tanda-tanda semiotik yang tersusun dalam struktur pembangun teks karya sastra tersebut. Di samping itu terdapat pula data penunjang, seperti buku-buku sastra lain yang relevan, penelitian yang telah 36
dilakukan terkait tema yang diteliti dan juga buku-buku penyedia informasi mengenai bahasan humanisme dan juga teori strukturalisme dinamik. Tahap berikutnya merupakan pengolahan data, setelah terkumpul, penulis melakukan proses pengolahan data sengan cara analisis terhadap tanda-tanda semiotik dalam peristiwa-peristiwa, kejadian-kejadian, tokoh, alur, latar dan juga gaya bahasa yang dikemas sebagai wadah penyampaian pesan (message). Tahap berikutnya merupakan tahap penyimpulan dan penulisan laporan. Tahapan-tahapan di atas bisa disimpulkan dalam butir-butir langkah dalam metode penelitian sebagai berikut: 1. Menentukan objek formal, yaitu nilai humanisme Enlightenment. 2. Memilih objek material, yaitu novel Und Friede auf Erden! karya Karl May. 3. Mengumpulkan data berupa tanda-tanda dalam struktur teks novel UFaE! dengan pembacaan yang cermat. 4. Mengumpulkan sumber-sumber pustaka yang menyediakan informasi terkait dengan bahasan masalah penelitian. 5. Melakukan analisis data terhadap makna tanda-tanda semiotik dalam unsur pembangun novel UFaE! untuk menjawab masalahan penelitian. 6. Menyusun kesimpulan hasil analisis yang telah dilakukan. 7. Menyusun laporan penelitian.
37
1.9.
Sistematika Penyajian Penelitian ini terdiri atas empat bab dengan sistematika sebagai berikut: Bab I
merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang, masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab II berisi konsep humanisme, humanisme Enlightenment dan nilai humanisme Enlightenment dalam karya sastra. Bab III berisi nilai humanisme Enlightenment dalam novel UFaE! dengan analisis strukturalisme dinamik serta bab IV yang merupakan kesimpulan atas penelitian yang telah dilakukan.
38