BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Sesuai dengan misi pembangunan daerah Provinsi Riau yang tertera dalam
dokumen RPJP Provinsi Riau tahun 2005-2025, “Mewujudkan keseimbangan pembangunan antarwilayah” yaitu dengan mendistribusikan pembangunan pusatpusat
kegiatan,
mengintegrasikan
infrastruktur
transportasi
antarmoda,
mendistribusikan pembangunan prasarana wilayah lainnya, dan pembangunan sumber daya manusia pada wilayah yang masih tertinggal di Provinsi Riau. Adapun tujuan pembangunan jangka panjang Provinsi Riau Tahun 2005-2025 pada hakekatnya adalah untuk mewujudkan Provinsi Riau sebagai pusat perekonomian dan kebudayaan Melayu, dalam lingkungan masyarakat yang sejahtera sebagai landasan pembangunan daerah menuju masyarakat yang adil dan makmur dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Provinsi Riau merupakan salah satu wilayah yang sedang berkembang dalam melakukan pembangunan di setiap daerahnya secara berencana dan bertahap. Dengan luas wilayah 8.915.015,99 ha, yang terdiri dari 12 kabupaten/kota (10 kabupaten dan 2 kota) dan jumlah penduduk sebanyak 6.188.442 jiwa. Setiap daerahnya memiliki perbedaan sumber daya alam serta perbedaan kondisi geografis. Akibat adanya perbedaan sumber daya dan letak geografis antarwilayah di Provinsi Riau ini menyebabkan kemampuan suatu daerah dalam mendorong proses pembangunan memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Proses pembangunan di Provinsi Riau tidak terlepas dari adanya
1
ketimpangan wilayah yang salah satunya terjadi karena kegiatan ekonomi yang belum merata, yang secara makro ketimpangan wilayah di Provinsi Riau terjadi antara daerah di bagian hilir dan bagian hulu Provinsi Riau. Ketimpangan wilayah yang terjadi diberbagai daerah di Provinsi Riau umumnya muncul karena adanya proses pembangunan yang sedang berlangsung. Pembangunan daerah yang dilakukan lebih diutamakan pada daerah-daerah yang memiliki potensi sumber daya yang baik, sedangkan potensi sumber daya yang dimiliki setiap daerah berbeda-beda. Setiap wilayah dalam membangun daerahnya sangat dipengaruhi oleh potensi sumber daya yang dimiliki daerah tersebut. Misalnya sumber daya manusia, sumber daya alam, sumber daya buatan (modal dan infrastruktur), sumber daya sosial yang meliputi ekonomi, budaya, adat istiadat, jumlah dan kepadatan penduduk, letak geografis, sarana dan prasaran yang tersedia serta faktor-faktor lain pembangunan
yang
mengakibatkan
yang mempunyai
tingkat
pertumbuhan
perkembangan ekonomi
dan
kesejahteraan yang dicapai masyarakat di setiap daerah berbeda-beda. Konsentrasi kegiatan ekonomi yang tinggi di suatu daerah tertentu merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya ketimpangan pembangunan antardaerah. Ekonomi daerah dengan konsentrasi kegiatan ekonomi tinggi cenderung tumbuh pesat bila dibandingkan dengan daerah yang tingkat ekonominya rendah yang cenderung mempunyai tingkat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah. Menurut Hirschman (1985 dalam Sjafrizal, 2008: 127) mengemukakan bahwa jika suatu daerah mengalami perkembangan yang membawa pengaruh atau imbas ke daerah lain, maka perbedaan antara kedua daerah tersebut semakin menyempit berarti terjadi imbas
2
balik (trickling down effects), sedangkan jika perbedaan antara kedua daerah tersebut semakin jauh berarti terjadi pengkutuban (polarization effects). Adanya
heterogenitas
dan
beragam
karakteristik
suatu
wilayah
menyebabkan kecenderungan terjadinya ketimpangan antardaerah dan antarsektor ekonomi suatu daerah. Menurut Ardani (1992 dalam Sutarno, 2002: 100), mengemukakan
bahwa
kesenjangan/ketimpangan
antardaerah
merupakan
konsekuensi logis pembangunan dan merupakan suatu tahap perubahan dalam pembangunan itu sendiri. Indikasi ketimpangan antardaerah dapat dilihat dari perbedaan tingkat kesejahteraan dan perkembangan ekonomi antardaerah tersebut. Salah satu alat untuk mengukur keberhasilan perekonomian suatu wilayah adalah pertumbuhan ekonomi wilayah itu sendiri. Dalam mengevaluasi kinerja ekonomi suatu daerah indikator penting yang digunakan untuk mengukur capaian pemerintah daerah dalam meningkatkan perekonomian daerah dan masyarakatnya adalah data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), baik atas dasar harga berlaku maupun atas dasar harga konstan dan PDRB per kapita. Menurut Tarigan (2005: 21), PDRB per kapita adalah total PDRB suatu daerah dibagi jumlah penduduk di daerah tersebut untuk tahun yang sama. Semakin tinggi tingkat PDRB per kapita di suatu daerah, maka semakin tinggi tingkat kesejahteraan masyarakatnya dan sebaliknya semakin rendah tingkat PDRB per kapita di suatu daerah maka semakin rendah tingkat kesejahteraan masyarakat daerah tersebut. Dengan menggunakan analisis PDRB per kapita dapat diketahui bagaimana tingkat kesejahteraan masyarakat di suatu daerah terhadap perekonomiannya. Berikut disajikan nilai PDRB per kapita atas dasar harga kontan 2010 Provinsi Riau tahun 2005-2014.
3
Juta Rp
120 100 80 60 40 20 0 2005
2006
2007
2008
2009 2010 2011 2012 Tahun PDRB Per Kapita Provinsi Riau
2013
2014
Sumber : Badan Pusat Statistik Provinsi Riau, 2016 Gambar 1.1 Pertumbuhan PDRB Per Kapita Provinsi Riau Atas Dasar Harga Konstan 2010 Tahun 2005–2014 (Juta Rp)
Pertumbuhan ekonomi di Provinsi Riau pada tahun 2005-2014 terus mengalami fluktuasi. Tahun 2005 pertumbuhan ekonomi Provinsi Riau sebesar Rp68,33 juta dan terus berfluktuasi, hingga pada tahun 2007 turun yaitu sebesar Rp67,61 juta. Peningkatan pertumbuhan ekonomi di Provinsi Riau kembali terjadi pada tahun 2010 yang terus mengalami peningkatan hingga tahun 2014 mencapai nilai sebesar Rp109,83 juta. Dengan rincian daerah kabupaten/kota yang memiliki tingkat pertumbuhan tertinggi pada tahun 2014 adalah Kabupaten Bengkalis dengan rata-rata PDRB per kapita sebesar Rp171,14 juta. Kabupaten/kota yang memiliki nilai PDRB per kapita terendah yaitu berada sangat jauh dari rata-rata Provinsi sebesar Rp73,79 juta terdapat pada Kabupaten Rokan Hulu dengan ratarata PDRB per kapita sebesar Rp34,54 juta. Pertumbuhan ekonomi adalah salah satu bagian dari jenis pembangunan manusia, di mana masyarakat harus memiliki akses untuk memperoleh kesempatan yang adil. Human Developmant Index (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM) adalah pengukuran capaian pembanguan manusia berbasis sejumlah komponen dasar kualitas hidup, yang terdiri dari angka harapan hidup, angka melek huruf, rata-rata lama sekolah dan pengeluaran riil per kapita
4
yang disesuaikan (Badan Pusat Statistik, 2016). IPM dijadikan salah satu indikator untuk mengukur tingkat kemajuan pembangunan antardaerah, terutama untuk mengukur tingkat pembangunan manusianya dengan melihat peringkat IPM pada masing-masing daerah. Peringkat IPM pada suatu daerah dapat dijadikan tolok ukur untuk melihat seberapa jauh perhatian dan komitmen pemerintah daerah terhadap pembangunan manusia di daerah tersebut. Berikut ditampilkan
Indeks
tingkat IPM Provinsi Riau tahun 2005-2014. 71 70 69 68 67 66 65 64
66.45
66.29
2005
2006
67.19
67.60
2007
2008
68.06
68.49
68.90
69.15
2009 2010 2011 2012 Tahun Indeks Pembangunan Manusia
69.91
2013
70.33
2014
Sumber : Badan Pusat Statistik Provinsi Riau, 2016 Gambar 1.2 Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Riau tahun 2005–2014
Indeks pembangunan manusia Provinsi Riau tahun 2005-2014 terus mengalami peningkatan. Secara nasional, Provinsi Riau menempati peringkat ke tiga dari 33 Provinsi di Indonesia dengan IPM sebesar 70,33 persen pada tahun 2014. Adanya kenaikan IPM Provinsi Riau selama 10 tahun terakhir menunjukkan bahwa pemerintah Provinsi Riau telah memusatkan perhatiannya pada pentingnya sumber daya manusia sebagai kunci utama dalam perekonomian. Modal manusia merupakan faktor penting dan utama dalam pertumbuhan ekonomi, maka dimungkinkan bahwa dengan tingkat pembangunan manusia yang tinggi dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mengurangi ketimpangan antarwilayah. Kemampuan Provinsi Riau untuk meningkatkan IPM-nya juga dipengaruhi oleh
5
faktor-faktor lain seperti ketersediaan kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan menentukan tingkat pertumbuhan ekonomi, kualitas infrastruktur dan kebijakan pemerintah daerah dalam pembangunan daerahnya. Dalam konteks pembangunan daerah, Blakely (1989: 58), mengartikan pembangunan ekonomi daerah sebagai suatu proses, di mana pembangunan daerah bersama seluruh komponen masyarakat mengelola berbagai sumber daya yang dimiliki dan membentuk suatu pola kemitraan dengan sektor swasta untuk menciptakan lapangan pekerjaan baru dan merangsang pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut. Oleh karena itu, diperlukan penanaman modal baik dari dalam negeri (Penanaman Modal Dalam Negeri) maupun dari luar negeri (Penanaman Modal Asing) oleh swasta untuk membangun daerah yang didukung kualitas serta kuantitas tenaga kerja yang turut serta dalam proses produksi. Kemajuan kegiatan perekonomian Provinsi Riau, tidak terlepas dari kegiatan untuk meningkatnya investasi yang merupakan indikator utama dalam upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi masyarakat, dengan menciptakan lapangan kerja, mengurangi kemiskinan, dan memperkecil kesenjangan pendapatan masyarakat. Investasi merupakan kunci utama penentu laju pertumbuhan ekonomi, karena di samping akan mendorong kenaikan output secara signifikan, juga secara otomatis akan meningkatkan permintaan input, sehingga akan meningkatkan kesempatan kerja dan kesejahteraan masyarakat sebagai konsekuensi dari meningkatnya pendapatan yang diterima masyarakat (Badan Koordinasi Penanaman Modal, 2014). Perkembangan realisasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) Provinsi Riau dalam sepuluh tahun terakhir (2005-2014) cenderung mengalami fluktuasi
6
dan cenderung meningkat, di mana realisasi PMDN Provinsi Riau pada tahun 2005 sebesar Rp4.579.533 juta. Tahun 2014 tercatat sebesar Rp7.707.546 juta meningkat dibandingkan dengan tahun 2013 yang hanya sebesar Rp4.874.269 juta. Sementara perkembangan realisasi PMA Provinsi Riau pada tahun 2005 sebesar Rp1.766.461 juta dan pada tahun 2014 mengalami peningkatan sebesar Rp16.857.897 juta bila dibandingkan dengan tahun 2013 yang hanya sebesar Rp15.905.989 juta. 25,000,000 Juta Rp
20,000,000 15,000,000 10,000,000 5,000,000 0 2005
2006
2007
2008
2009 2010 2011 Tahun PMND PMA Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Riau, 2016
2012
2013
2014
Gambar 1.3 Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Penanaman Modal Asing (PMA) Provinsi Riau, 2005-2014 (Juta Rp)
Menurut Myrdal (1957 dalam Atmanti, 2005: 3) menjelaskan bahwa investasi menyebabkan terjadinya ketimpangan wilayah. Oleh karena itu, alokasi investasi di Provinsi Riau perlu diprioritaskan kepada pertumbuhan ekonomi daerah dengan menciptakan kesempatan kerja dan meningkatkan sumber pendapatan bagi masyarakat sehingga akan berdampak pada pengurangan kemiskinan dengan terciptanya lapangan usaha untuk kegiatan ekonomi masyarakat. Tenaga kerja merupakan faktor utama dalam proses produksi barang modal yang berasal dari investasi yang dilakukan, baik oleh pihak swasta maupun dalam negeri. Tenaga kerja termasuk ke dalam angkatan kerja dan bukan angkatan kerja.
7
Angkatan kerja adalah penduduk usia kerja (berumur 15 tahun atau lebih) yang selama seminggu sebelum pencacahan bekerja atau punya pekerjaan tetapi sementara tidak bekerja tetapi sedang mencari pekerjaan, sedangkan bukan angkatan kerja adalah penduduk yang selama seminggu yang lalu hanya bersekolah (pelajar dan mahasiswa), mengurus rumah tangga, dan tidak melakukan kegiatan yang dapat dikategorikan sebagai pekerja, sementara tidak bekerja atau mencari pekerjaan (Disnakertrans, 2012). Kondisi pertumbuhan angkatan kerja di Provinsi Riau menunjukkan keadaan yang berfluktuasi dan cenderung terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2006 jumlah angkatan kerja di Provinsi Riau tercatat sebesar 1.975.664 jiwa dan jumlah angaktan kerja di Provinsi Riau terus mengalami peningkatan pada tahun 2014 yaitu sebesar 2.695.247 jiwa. Perkembangan penduduk Provinsi Riau yang termasuk bukan angkatan kerja cenderung berfluktuasi dan mengalami penurunan. Pada tahun 2006 jumlah bukan angkatan kerja di Provinsi Riau yaitu sebesar 202.387 jiwa dan terus mengalami penurunan pada tahun 2014 jumlah
Jiwa
bukan angkatan kerja Provinsi Riau yaitu sebesar 176.672 jiwa. 3000000 2500000 2000000 1500000 1000000 500000 0 2006
2007
2008
2009
Angkatan Kerja
2010 Tahun
2011
2012
2013
2014
Bukan Angkatan Kerja
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Riau, 2016 Gambar 1.4 Penduduk Berumur 15 Tahun Ke Atas Yang Termasuk Angkatan Kerja dan Pengangguran Terbuka Provinsi Riau Tahun 2006-2014 (Jiwa)
8
Meningkatnya jumlah angkatan kerja di Provinsi Riau, mengindikasikan terjadinya peningkatan kegiatan ekonomi dan naik tingkat kemakmuran yang menyebabkan ketimpangan wilayah di Provinsi Riau akan mengalami penurunan. Dengan dibukanya lapangan kerja baru, maka akan menyerap tenaga kerja sehingga meningkatkan pendapatan masyarakat yang pada akhirnya akan meningkatkan daya beli masyarakat sehingga permintaan akan barang dan jasa yang lebih besar yang mendorong produsen untuk memproduksi lebih banyak lagi barang dan jasa. Hal ini akan menciptakan kondisi kegiatan ekonomi akan berjalan dengan baik dan ketimpangan ekonomi akan mengalami penurunan. Kinerja perekonomian daerah Provinsi Riau yang cukup baik telah mampu menciptakan lapangan kerja yang baik pula sehingga tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Provinsi Riau cenderung turun, namun lebih banyak pekerja yang bekerja di sektor informal. Pekerja dalam kondisi demikian diklasifikasikan sebagai setengah pengangguran, para pekerja dengan kelompok informal tersebut sangat rentan untuk masuk dalam lingkaran kemiskinan karena sifat pekerjaan yang tidak pasti dan umumnya mendapatkan upah yang sangat rendah (Badan Pusat Statistik, 2016). Kemiskinan yang mencolok masih banyak ditemukan di negara-negara berkembang, meskipun telah terjadi perbaikan-perbaikan yang signifikan selama lebih dari separuh abad terakhir (Todaro dan Smith, 2006: 231). Provinsi Riau sebagai salah satu wilayah di Indonesia yang merupakan bagian dari negara sedang berkembang sehingga Provinsi Riau tidak terlepas dari masalah ketidakmerataan distribusi pendapatan dan kemiskinan.
9
Ribu Jiwa
700 600 500 400 300 200 100 0
12.51
11.85
11.20
10.79
9.45
10.01 8.17
2005
2006
2007
2008
Jumlah Penduduk Miskin (Ribu Jiwa)
2009 Tahun
2010
2011
8.05
2012
8.42
2013
Persentasi Penduduk Miskin(%)
Sumber : BPS Provinsi Riau, 2014 Gambar 1.5 Kondisi Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Di Provinsi Riau tahun 2005-2013
Tingkat kemiskinan di Provinsi Riau periode tahun 2005-2014 terus berfluktuasi, pada tahun 2005-2007 jumlah penduduk miskin di Provinsi Riau mengalami penurunan masing-masing sebesar 600.400 jiwa (12.51 persen), 564.900 jiwa (11.85 persen), dan 574.500 jiwa (11,20 persen), kemudian pada tahun 2008 mengalami peningkatan yaitu sebesar 584.670 jiwa (10,79 persen), pada tahun 2009 jumlah penduduk miskin Provinsi Riau turun yaitu sekitar 532.260 jiwa (9,45 persen), tahun 2010 jumlah penduduk miskin di Provinsi Riau kembali naik yaitu sebesar 558.000 jiwa (10.01 persen), walaupun pada tahun 2011 jumlah penduduk miskin di Provinsi Riau sempat turun sebesar 412.500 jiwa (8,17 persen), namun pertumbuhan jumlah penduduk miskin di Provinsi Riau pada tahun berikutnya yaitu tahun 2012-2013 mengalami peningkatan yang masing-masing sebesar 476.500 jiwa (8.05 persen) dan 511.500 jiwa (8.42 persen). Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan jumlah penduduk miskin masih terus bertambah seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang terjadi di Provinsi Riau yang menyebabkan tingkat ketimpangan semakin tinggi.
10
1.2
Keaslian Penelitian Penelitian mengenai ketimpangan wilayah antardaerah di berbagai
Provinsi di Indonesia dan luar negeri pada umumnya telah banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Penelitian ini mengacu pada penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Bonet, Faiz, Sugianto, Harimurti, Putra, Angelia, Hidayat dan lain-lain. Adapun berbagai sumber penelitian tersebut dapat diuraikan secara singkat sebagai berikut. Sutarno (2002) melakukan penelitian mengenai pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan antarkecamatan di Kabupaten Banyumas periode tahun 1993-2000 dengan menggunakan alat analisis Indeks Williamson, Indeks Entropi Theil dan Typologi Klassen. Berdasarkan analisis penelitian diperoleh hasil pada periode pengamatan 1993-2000 terjadi kecenderungan peningakatan ketimpangan, baik dianalisis Indeks Williamson maupun Indeks Entropi Theil. Hubungan Kuznet mengenai ketimpangan yang berbentuk U terbalik berlaku di Kabupaten Banyumas, ini terbukti dari hasil analisis trend dan korelasi Pearson. Aris (2005), melakukan penelitian mengenai kesenjangan ekonomi antardaerah kecamatan di Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah periode 1993-2003 dengan menggunakan alat analisis Indeks Williamson, Indeks Entropi Theil, Korelas, Regresi, dan Tipologi Klassen. Dari hasil analisis rata-rata ketimpangan antardaerah kecamatan di Kabupaten Kebumen cenderung meningkat. Dari hasil regresi diperoleh hanya variabel jarak dari pusar pertumbuhan yang memberikan pengaruh signifikan terhadap PDRB per kapita, untuk variabel luas wilayah dan rasio output pertanian terhadap PDRB total tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap PDRB per kapita.
11
Bonet (2006), melakukan penelitian mengenai desentralisasi fiskal dan ketimpangan pendapatan regional: studi kasus Colombia. Menggunakan alat analisis regresi linier berganda, dengan variabel dependen yaitu indeks ketimpangan wilayah (Indeks Jaime Bonet) dan variabel independen yaitu desentralisasi fiskal, investasi dan aglomerasi. Dari analisis penelitian diperoleh hasil bahwa proses desentralisasi fiskal meningkatkan ketimpangan pendapatan regional selama masa analisis. Variabel keterbukaan perdagangan dan aglomerasi produksi berhubungan positif dan signifikan terhadap ketimpangan pendapatan regional. Hartono (2008), melakukan penelitian mengenai analisis ketimpangan pembangunan ekonomi di Provinsi Jawa Tengah. Menggunakan alat analisis regresi linier berganda dengan variabel dependen yaitu indeks ketimpanan wilayah (Indeks Williamson) dan variabel independen yaitu investasi swasta per kapita, ratio angkatan kerja, alokasi dana pembangunan per kapita. Dari analisis penelitian diperoleh hasil ketimpangan pembangunan ekonomi di Provinsi Jawa Tengah dalam kurun waktu 1981 sampai dengan 2005 cenderung relatif meningkat. Berdasarkan hasil regresi diketahui bahwa ketiga variabel independen yaitu investasi swasta per kapita, ratio angkatan kerja, dan alokasi dana pembangunan perkapita secara bersama-sama berpengaruh terhadap ketimpangan pembangunan ekonomi di Provinsi Jawa Tengah. Faiz
(2009),
melakukan
penelitian
mengenai
analisis
pengaruh
pertumbuhan ekonomi, aglomerasi, tingkat pengangguran, dan panjang jalan terhadap ketimpangan antarwilayah menurut tipologi Klassen pada 25 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat tahun 2004-2008. Menggunakan alat
12
analisis regresi linier berganda dengan variabel dependen yaitu indeks ketimpangan wilayah (Indeks Jaime Bonet) dan variabel independen yaitu pertumbuhan ekonomi, aglomerasi, tingkat pengangguran dan panjang jalan. Dari analisis penelitian diperoleh hasil bahwa pertumbuhan ekonomi yang mengalami peningkatan di Provinsi Jawa Barat diikuti dengan adanya ketimpangan antarwilayah. Dari hasil regresi diperoleh bahwa pada periode tahun 2004-2008, pertumbuhan ekonomi, aglomerasi, tingkat pengangguran berpengaruh positif signifikan terhadap ketimpangan wilayah, tetapi panjang jalan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap ketimpangan wilayah. Angelia (2010), melakukan penelitian mengenai analisis ketimpangan pembangunan wilayah di Provinsi DKI Jakarta periode tahun 1995-2008 mengunakan alat analisis regresi linier berganda dengan variabel dependen yaitu indeks ketimpangan wilayah (Indeks Jaime Bonet) dan variabel independen yaitu PDRB per kapita, aglomerasi, investasi, dan desentralisasi fiskal. Berdasarkan hasil analisis diperoleh hasil yaitu tingkat ketimpangan wilayah di Provinsi DKI Jakarta yang diukur menggunakan Indeks Jaime Bonet selama periode penelitian tahun 1995-2008 cenderung mengalami peningkatan. Tahun 1998-2000 ketimpangan wilayah Provinsi ini turun akibat krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia. Tetapi pada tahun selanjutnya ketimpangan kembali melebar. Berdasarkan hasil regresi diperoleh bahwa variabel PDRB per kapita dan aglomerasi
berpengaruh
positif
dan
signifikan
terhadap
ketimpangan
pembangunan wilayah, investasi berpengaruh negatif dan signifikan terhadap ketimpangan pembangunan wilayah sedangkan desentralisasi fiskal berpengaruh
13
negatif dan tidak signifikan terhadap pembangunan wilayah di Provinsi DKI Jakarta. Harimurti (2012), melakukan penelitian mengenai disparitas dan konvergensi
Produk
Domestik
Regional
Bruto
(PDRB)
per
kapita
antarkabupaten/kota di Provinsi Kalimantan selatan periode tahun 1993-2011. Menggunakan alat analisis Indeks Williamson, Indeks Entropi Theil, Indeks Jaime Bonet, sigma konvergensi, beta konvergen, dan estimasi hubungan antar indeks ketimpangan dengan logaritma produk domestik per kapita dalam bentuk persamaan linier kuadratik serta kubik. Dari analisis penelitian diperoleh hasil berdasarkan Indeks Williamson, Indeks Entropi Theil dan Indeks Jaime Bonet dapat diketahui telah terjadi tren penurunan disparitas PDRB per kapita di kabupaten/kota pada tahun 1993-1997, kemudian mengalami kenaikan pada tahun 1997-2009 dan kembali mengalami penurunan pada tahun 2009-2011 di Provinsi Kalimantan Selatan. Putra (2012), melakukan penelitian mengenai analisis ketimpangan distribusi pendapatan antarkecamatan di Kabupaten Bekasi periode tahun 20032011. Menggunakan alat analisis tipologi Klassen, Indeks Entropi theil, dan Indeks Jaime Bonet. Dari analisis penelitian diperoleh hasil berdasarkan analisis ketimpangan daerah antara tahun 2003-2011 menunjukkan adanya ketimpangan yang cenderung menurun antarkecamatan di Kabupaten Bekasi. Hal ini disebabkan oleh tingkat pertumbuhan PDRB per kapita yang tinggi sebanding dengan tingkat pemerataan ekonomi setiap daerah. Ramly (2012), melakukan penelitian mengenai determinan ketimpangan regional di Indonesia periode tahun 2000-2008 dengan menggunakan alat analisis
14
regresi linier berganda terdiri dari variabel dependen yaitu indeks ketimpangan wilayah dan variabel independen yaitu penanaman modal dalam negeri, penanaman modal asing, tingkat pendidikan, belanja barang, belanja modal, ekspor, dan produk domestik regional bruto (PDRB). Dari analisis penelitian diperoleh hasil belanja modal dan pertumbuhan ekonomi berpengaruh positif signifikan terhadap ketimpangan, sedangkan PMDN, PMA, tingkat pendidikan dan belanja barang berpengaruh negatif terhadap ketimpangan tetapi tidak signifikan, dan ekspor berpengaruh positif tetapi tidak signifikan. Sugianto (2013), melakukan penelitian mengenai pengaruh pertumbuhan ekonomi, distribusi sektor industri dan pertanian serta tingkat jumlah orang yang bekerja terhadap ketimpangan wilayah antarkabupaten/kota di Jawa Barat periode tahun 2002-2010. Menggunakan alat analisis regresi linier berganda dengan variabel dependen adalah indeks ketimpangan wilayah (Indeks Jaime Bonet) dan variabel independen yaitu pertumbuhan ekonomi, distribusi sektor pertanian, distribusi sektor industri, dan tingkat jumlah orang yang bekerja. Dari analisis penelitian
diperoleh
hasil
ketimpangan
pembangunan
ekonomi
antarkabupaten/kota di Jawa Tengah selama periode penelitian tahun 2002-2010 mengalami peningkatan. Untuk hasil regresi, variabel distribusi sektor pertanian, dan distribusi sektor industri berpengaruh positif dan signifikan terhadap ketimpangan wilayah di Jawa Tengah. Untuk pertumbuhan ekonomi dan tingkat jumlah orang yang bekerja tidak signifikan terhadap ketimpangan wilayah di Jawa Tengah. Hidayat (2014), melakukan penelitian mengenai analisis ketimpangan pembangunan antarwilayah di Provinsi Riau dengan menggunakan pendekatan
15
Indeks Entropi Theil. Dari hasil analisis diperoleh hasil dengan menggunakan Indeks Theil menunjukkan adanya ketimpangan pembangunan antarwilayah di Provinsi Riau selama tahun 2003-2012 terjadi pada berbagai tingkatan. Sumber ketimpangan pembangunan (within and between) berasal dari ketimpangan antarwilayah pembangunan (between) dengan persentase sebesar 50-70 persen dari total ketimpangan pembangunan. Hasil analisis regresi berganda ditemukan bahwa IPM berpengaruh menurunkan secara signifikan terhadap ketimpangan pembangunan, sedangkan spesialisasi daerah dan rasio belanja infrastruktur berpengaruh positif secara signifikan terhadap pembangunan regional ekonomi antarkabupaten/kota di Provinsi Riau. Astuti (2015) melakukan penelitian mengenai analisis determinan ketimpangan distribusi pendapatan di Daerah Istimewa Yogyakarta periode tahun 2005-2013. Menggunakan alat analisis regresi linier berganda dengan variabel dependen yaitu indeks ketimpangan wilayah (Indeks Gini) dan variabel independen yaitu kontribusi sektor pertanian dan sektor pertambangan (SDA), IPM, PDRB per kapita, populasi penduduk. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel SDA tidak berpengaruh signifikan terhadap ketimpangan distribusi pendapatan di DIY, indeks pembangunan manusia berpengaruh positif dan signifikan terhadap ketimpangan distribusi pendapatan di DIY, PDRB per kapita dan jumlah penduduk berpengaruh negatif dan signifikan terhadap ketimpangan distribusi pendapatan di DIY. Penelitian ini menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi ketimpangan wilayah di Provinsi Riau. Dengan alat analisis yang digunakan untuk mengukur indeks ketimpangan wilayah menggunakan Indeks Jaime Bonet. Untuk
16
menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi ketimpangan wilayah digunakan alat analisis regresi linier berganda dengan menggunakan aplikasi STATA 12. Secara khusus yang membedakan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah lokasi dan waktu penelitian yaitu Provinsi Riau dengan waktu penelitian tahun 2005-2013. Persamaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah variabel dependen yang digunakan sebagai tolok ukur ketimpangan wilayah adalah menggunakan indeks ketimpangan wilayah (Indeks Jaime Bonet) dan variabelvariabel independen yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pertumbuhan ekonomi, investasi swasta, angkatan kerja, tingkat kemiskinan, pertumbuhan jumlah penduduk, dan distribusi PDRB (share PDRB).
1.3
Rumusan Masalah PDRB per kapita antarkabupaten/kota di Provinsi Riau masih memiliki
perbedaan jarak nilai PDRB per kapita yang cukup jauh antarwilayahnya. Hal ini menunjukkan adanya sebaran pendapatan yang tidak merata di Provinsi Riau. Kondisi nilai PDRB per kapita tertinggi antarkabupaten/kota di Provinsi Riau berada hanya pada 3 kabupaten/kota di Provinsi Riau yaitu pada Kabupaten Bengkalis, Kabupaten Siak dan Kabupaten Rokan Hilir dengan rata-rata nilai PDRB per kapita Provinsi Riau diatas Rp17,46 juta. Berbanding jauh dengan 9 kabupaten/kota di Provinsi Riau lainnya yang memiliki nilai PDRB per kapita dibawah rata-rata nilai PDRB per kapita Provinsi Riau. Oleh karena itu, analisis terkait faktor-faktor yang memengaruhi ketimpangan wilayah di Provinsi Riau perlu dilakukan.
17
1.4 1.
Pertanyaan Penelitian Bagaimana perkembangan tingkat ketimpangan wilayah yang terjadi di Provinsi Riau ?
2.
Apakah faktor-faktor yang memengaruhi tingkat ketimpangan wilayah di Provinsi Riau ?
1.5
Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah dikemukakan,
maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut. 1.
Menganalisis seberapa besar tingkat ketimpangan wilayah di Provinsi Riau tahun 2005-2013.
2.
Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi tingkat ketimpangan wilayah di Provinsi Riau dalam kurun waktu tahun 2005-2013.
1.6 1.
Manfaat Penelitian Dengan penelitian ini diharapkan mampu menambah wawasan bagi penelitian sejenis terutama mengenai perkembangan ketimpangan wilayah dan faktorfaktor yang memengaruhi ketimpangan wilayah di Provinsi Riau serta sebagai bahan informasi bagi analisis sejenis mengenai ketimpangan wilayah.
2.
Dengan penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi bagi pemerintah daerah mengenai kondisi ketimpangan wilayah di Provinsi Riau serta sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah provinsi dan daerah untuk menentukan kebijakan terkait dengan upaya mengurangi ketimpangan wilayah.
18
1.7
Sistematika Penulisan Penelitian ini disajikan dalam lima bab. Bab I Pendahuluan terdiri dari sub
bab yang menjelaskan latar belakang, keaslian penelitan, rumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematikan penulisan. Bab II Kajian Pustaka, menjelaskan teori yang menjadi acuan dalam penelitian, kajian terjadap penelitian terdahulu, formulasi hipotesis, dan model penelitan. Bab III Metode Penelitian, menjelaskan desain penelitian, metode pengumpulan data, definisi operasional, instrument penelitian dan metoda analisis data. Bab IV Analisis, menjelaskan deskripsi data yang diperoleh, uji hipotesis, dan pembahasan. Bab V Kesimpulan dan saran, memuat kesimpulan dengan rumusan dan pertanyaan penelitian, implikasi, keterbatasan penelitian dan saran.
19