BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Infeksi Menular Seksual (IMS) sampai saat ini masih merupakan masalah
kesehatan masyarakat di seluruh dunia, baik di negara maju (industri) maupun di negara berkembang. IMS merupakan salah satu infeksi saluran reproduksi yang ditularkan melalui hubungan kelamin. Dahulu kelompok penyakit ini dikenal sebagai penyakit kelamin yang hanya terdiri dari 5 jenis penyakit yaitu gonore (kencing nanah), sifilis (raja singa), ulkus mole, limfogranuloma inguinale (bungkul) dan granuloma inguinale. Namun pada akhir abad ke-20 dapat dibuktikan bahwa pada waktu mengadakan hubungan seksual dapat terjadi infeksi oleh lebih dari 20 jenis kuman, sehingga muncul istilah Penyakit Menular Seksual (PMS). Pada tahun 1997 pada Kongres IUVDT (International Union of Venereal Diseases and Treponematosis) di Australia, istilah tersebut diubah menjadi IMS, oleh karena semua penyakit yang termasuk dalam kelompok tersebut merupakan penyakit infeksi (Djajakusumah, 2008). Penyakit Infeksi Menular Seksual ini berdasarkan laporan – laporan yang dikumpulkan oleh WHO (World Health Organization), setiap tahun diseluruh negara terdapat sekitar 250 juta penderita baru yang meliputi penyakit gonore, sifilis, herpes genetalis, HIV/AIDS dan jumlah tersebut menurut hasil analisis WHO cenderung meningkat dari waktu ke waktu (Daili, 2009). Peningkatan kasus IMS dari waktu ke waktu akan menimbulkan permasalahan kesehatan yang sangat serius dan berdampak besar pada masa yang
1 Universitas Sumatera Utara
2
akan datang. Penanggulangan yang efektif sangat diperlukan semenjak dibuktikan bahwa IMS merupakan faktor risiko independen untuk penularan HIV. Kemunculan IMS seperti penyakit gonore, klamidia, sifilis dan chancroid ternyata dapat memperbesar risiko penularan HIV melalui hubungan seksual (The United Nations High Commissioner for Refugee, 2010). Di Indonesia beberapa tahun terakhir ini tampak kecenderungan meningkatnya prevalensi IMS misalnya prevalensi sifilis meningkat sampai 10% pada beberapa kelompok WTS (Wanita Tuna Susila), prevalensi gonore meningkat sampai 30 – 40% pada kelompok WTS dan juga pada penderita IMS yang berobat ke rumah sakit. Selain sifilis dan gonore, infeksi HIV/AIDS saat ini juga menjadi perhatian karena peningkatan angka kejadiannya yang terus bertumbuh dari waktu ke waktu. Jumlah penderita HIV/AIDS dapat digambarkan sebagai fenomena gunung es, yaitu jumlah penderita yang dilaporkan jauh lebih kecil daripada jumlah sebenarnya (Departemen Kesehatan R.I., 2006). Kementerian Kesehatan melaporkan bahwa pertama kali kasus HIV ditemukan di Provinsi Bali pada tahun 1987. Hingga saat ini HIV/AIDS sudah menyebar di 386 kabupaten/kota di seluruh provinsi di Indonesia. Jumlah kumulatif penderita HIV dari tahun 2012 sampai 2014 mengalami kenaikan, pada tahun 2012 sebanyak 21.511 kasus, pada tahun 2013 mengalami kenaikan menjadi 29.037, kemudian pada tahun 2014 menjadi 32.711 kasus dengan 10 kasus terbanyak ada di Provinsi DKI Jakarta (5.851 kasus), diikuti Jawa Timur (4.508 kasus), Jawa Barat (3740 kasus), Papua (3.278 kasus), Jawa Tengah (2867 kasus), Bali (2.129 kasus), Sumatera Utara (1.628 kasus), Kepulauan Riau (973 kasus),
Universitas Sumatera Utara
3
Sulawesi Selatan (839 kasus) dan Kalimantan Barat (699 kasus). Sedangkan kasus AIDS yang dilaporkan sejak 1987 sampai tahun 2014 terbanyak di Provinsi Jawa Timur (12.347 kasus), diikuti Papua (11.841 kasus), DKI Jakarta (7.963 kasus), Bali (4.811 kasus), Jawa Barat (4191 kasus), Jawa Tengah (4079 kasus), Kalimantan Barat (2.131 kasus), Sulawesi Selatan (1998 kasus), Papua Barat (1743 kasus), dan Sumatera Utara sebanyak 1573 kasus (Kemenkes RI, 2015). Berdasarkan data di atas, Sumatera Utara termasuk dalam 10 besar dalam kasus HIV sebanyak 1.628 kasus dan kasus AIDS sebanyak 1.573 kasus. Jumlah kasus baru penderita HIV/AIDS berdasarkan Kab/Kota di Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2012 dapat dilihat pada tabel 1.1 berikut ini : Tabel 1.1 Jumlah Kasus Baru Penderita HIV/AIDS Berdasarkan Kab/Kota di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2012 No
Kabupaten/Kota
Jumlah No Kabupaten/Kota Kasus 1 Medan 421 16 Tanjung Balai 2 Deli Serdang 189 17 Toba Samosir 3 Pematang Siantar 100 18 Labuhan Batu Utara 4 Karo 87 19 Samosir 5 Asahan 59 20 Tapanuli Selatan 6 Tapanuli Tengah 32 21 Batubara 7 Labuhan Batu 25 22 Sibolga 8 Tebing Tinggi 25 23 Gunung Sitoli 9 Serdang Bedagai 21 24 Simalungun 10 Tapanuli Utara 17 25 Nias Selatan 11 Mandailing Natal 17 26 Pakpak Bharat 12 Padang Sidempuan 15 27 Padang Lawas 13 Langkat 12 28 Nias 14 Dairi 12 29 Labuhan Batu Sel. 15 Humbang Has. 11 Sumber : Profil Kesehatan Provinsi Sumatera Utara Tahun 2013
Jumlah Kasus 8 8 8 8 7 7 6 4 3 3 3 3 2 1
Universitas Sumatera Utara
4
Berdasarkan data di atas, di Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2012, penderita baru HIV/AIDS tertinggi ada di kota Medan yaitu 421 kasus atau sekitar 37,79% (Profil Kesehatan Provinsi Sumatera Utara Tahun 2013). Menurut Profil Dinas Kesehatan Kota Medan Tahun 2015, sejak tahun 2011, Kota Medan menjalankan kebijakan Kemenkes RI untuk Pengendalian penyakit HIV-AIDS berupa Layanan Komprehensif HIV-IMS Berkesinambungan (LKB). Pengertian LKB adalah upaya penanggulangan HIV-AIDS yang dilakukan meliputi upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif yang mencakup semua bentuk layanan HIV-AIDS dan IMS seperti kegiatan KIE pengetahuan komprehensif, promosi penggunaan kondom, pengendalian faktor risiko, layanan konseling dan tes HIV (KTS dan KTIP), perawatan dukungan dan pengobatan (PDP), pencegahan penularan dari ibu ke anak (PPIA), pengurangan dampak buruk NAPZA melalui kegiatan Perawatan Terapi Rumatan Metadon (PTRM), Layanan Alat Suntik Steril (LASS) dan Perawatan Terapi Rumatan Buprenorfin (PTRB), layanan IMS, pencegahan dan penularan melalui darah donor dan produk darah lainnya. Layanan Komprehensif HIV-IMS Berkesinambungan (LKB) di tingkat kabupaten/kota dikembangkan atas dasar 6 pilar yaitu koordinasi dan kemitraan dengan semua pemangku kepentingan di setiap lini, peran aktif komunitas ODHA dan keluarga, layanan terintegrasi dan terdesentralisasi sesuai kondisi setempat, paket layanan HIV komprehensif yang berkesinambungan, sistem rujukan dan jejaring kerja serta akses layanan terjamin.
Universitas Sumatera Utara
5
Berdasarkan wawancara dengan penanggung jawab program LKB bidang PMK Dinas Kesehatan Kota Medan, Layanan Komprehensif HIV-IMS Berkesinambungan (LKB) di Kota Medan mulai berjalan sejak 2012 melalui penunjukan dari Dinas Kesehatan Provinsi kepada puskesmas LKB yaitu Puskesmas Padang Bulan, Puskesmas Bestari, Puskesmas Helvetia, Puskesmas Teladan dan Puskesmas Medan Deli. Kelima puskesmas tersebut ditunjuk berdasarkan kriteria : memberikan layanan kesehatan pada wilayah yang rentan terhadap penularan HIV dan AIDS, dekat dengan hot spot. Kunjungan kasus HIV-IMS pada kelima puskesmas LKB pada tahun 2012 secara rinci dapat dilihat pada tabel 1.2 berikut ini : Tabel 1.2 Jumlah Kunjungan Kasus HIV-IMS di Kota Medan Tahun 2012
Puskesmas L
JUMLAH KASUS BARU HIV Infeksi Menular Seksual (IMS) P L+P L P L+P
Padang 15 41 Bulan Medan Deli 20 90 Helvetia 67 111 Puskesmas 98 374 Teladan Puskesmas 259 104 363 163 608 Bestari Sumber: Profil Dinas Kesehatan Kota Medan Tahun 2013
56 110 178 472 771
Dari data tersebut dapat dilihat bahwa pada tahun 2012 jumlah kunjungan kasus HIV terlengkap ada pada Puskesmas Bestari sebanyak 363 kasus dan jumlah kasus IMS tertinggi sebanyak 771 kunjungan kasus. Puskesmas Bestari adalah sebuah merger dari Klinik Spesialis Bestari dan Puskesmas Petisah yang berdiri pada tanggal 1 Februari tahun 2013 dan termasuk
Universitas Sumatera Utara
6
fasilitas pelayanan kesehatan primer yang menjalankan program Layanan Komprehensif HIV-IMS Berkesinambungan (LKB). Berdasarkan data di Puskesmas Bestari Medan, kunjungan VCT pada tahun 2014 terdapat 1328 kunjungan dengan kasus 18 positif HIV. Data ini tidak terlalu mengejutkan, karena di wilayah kerja Puskesmas Bestari terdapat hot spot dengan intensitas pengunjung cukup tinggi terutama dari kawasan prostitusi liar yang dijelaskan oleh tenaga kesehatan di Puskesmas Bestari yaitu di sekitar Jl.Nibung Raya atau di sekitar Jl.Gajah Mada yang terdapat Penjaja Seks Komersial (PSK), waria dan sebagainya. Untuk data distribusi frekuensi IMS pada bulan Januari hingga bulan Desember 2014 sebanyak 1.196 pasien dengan pasien disarankan melakukan tes HIV sebanyak 836 pasien. Masalah yang kemudian timbul adalah tidak semua pasien IMS di Puskesmas Bestari melakukan VCT, padahal IMS menjadi sangat rentan dalam penularan HIV dikarenakan kulit di area genital pasien IMS yang tidak utuh sehingga virus lebih mudah masuk ke dalam tubuh. Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan petugas Puskesmas Bestari dapat diketahui bahwa Puskesmas Bestari sudah menjalin kerja sama dengan Dinas Kesehatan Kota Medan dan pemerintah daerah selaku penanggung jawab program LKB untuk mengatasi peningkatan kasus HIV-IMS. Selain itu, dalam mendukung
pelaksanaan
program
Layanan
Komprehensif
HIV-IMS
Berkesinambungan (LKB), pihak Puskesmas Bestari juga mendapatkan dukungan dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yaitu Pusat Pengkajian dan Pengembangan Masyarakat Nelayan (P3MN) Medan dengan salah satu
Universitas Sumatera Utara
7
programnya, yaitu Penanggulangan dan Pencegahan HIV/AIDS, juga menjalin kerja sama dengan LSM H2O (Human Health Organization) berupa kegiatan pendampingan pada komunitas risiko tinggi HIV, Orang dengan HIV-AIDS (ODHA)/ Orang Hidup dengan AIDS (OHIDA), Anak terdampak HIV dan Anak Jalanan. Selain itu, Puskesmas Bestari juga menjalin kerja sama dengan LSM Medan Plus melalui pemberdayaan ODHA (Orang Dengan HIV AIDS). Penelitian Utami (2014) tentang aplikasi fungsi manajemen pengelola layanan komprehensif berkesinambungan (LKB) HIV-IMS Puskesmas di Kota Semarang menyatakan fungsi perencanaan yang dilakukan meliputi identifikasi masalah, analisis faktor risiko dan penyusunan rencana kegiatan. Fungsi pengorganisasian untuk pembentukan tim pelaksana dilakukan sejak awal pelatihan diberikan namun masih terdapat beberapa posisi/keahlian yang belum ada, untuk formulasi jejaring kerjasama melibatkan berbagai instansi dengan tugas dan fungsinya masing-masing. Fungsi pelaksanaan kegiatan pelatihan sudah diberikan, namun masih ada beberapa pelatihan yang belum diberikan sesuai dengan yang tercantum dalam buku pedoman pelaksanaan LKB HIV-IMS. Fungsi pengawasan terdiri atas pengawasan internal oleh kepala puskesmas dan eksternal oleh Dinas Kesehatan Kota. Menurut Waluyo, dkk (2011) tentang perilaku perawat terhadap orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di rumah sakit dan puskesmas menyatakan bahwa sikap terhadap ODHA secara signifikan berbeda antara perawat yang memiliki pelatihan HIV dan yang tidak, perawat dengan latar belakang pendidikan yang berbeda, dan perawat yang merasa kompeten atau tidak kompeten untuk merawat
Universitas Sumatera Utara
8
ODHA. Peningkatan pengetahuan HIV diperlukan perawat untuk menurunkan stigma pasien ODHA. Menurut laporan penelitian operasional PKMK FK UGM (2015) tentang prosedur pengobatan pada Layanan Komprehensif HIV-AIDS Berkesinambungan (LKB) di Kota Yogyakarta dan Kota Semarang menyatakan bahwa permasalahan utama dalam implementasi strategi LKB di Kota Semarang dan Yogyakarta adalah permasalahan pelibatan pemangku kepentingan yang belum optimal dan kepemilikan program yang masih terbatas. Permasalahan ini muncul karena prosedur pengobatan LKB dalam implementasinya membutuhkan komitmen dan keterlibatan yang jelas dari simpul-simpul jaringan LKB agar strategi ini bisa berjalan dengan optimal. Pada sisi yang lain implementasi strategi menuntut rasa kepemilikan yang tinggi terhadap program karena tanggung jawab untuk pembangunan kesehatan (termasuk penanggulangan AIDS) berada di tingkat daerah. Akibat dua permasalahan dasar ini maka implementasi strategi LKB belum bisa menunjukkan hasil seperti yang diharapkan khususnya untuk meningkatkan cakupan, aksesibilitas dan kualitas layanan di kedua kota tersebut. Mengacu pada latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis ingin melakukan penelitian untuk menganalisis pelaksanaan program Layanan Komprehensif HIV-IMS Berkesinambungan (LKB) di Puskesmas Bestari Medan Tahun 2016.
Universitas Sumatera Utara
9
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang dipaparkan di atas,
maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah “Bagaimana pelaksanaan program Layanan Komprehensif HIV-IMS Berkesinambungan (LKB) di Puskesmas Bestari Medan Tahun 2016 berdasarkan komponen 1) Input (meliputi : tenaga kesehatan dan sarana/prasarana), 2) Proses (meliputi 6 pilar : a) Koordinasi dan kemitraan dengan semua pemangku kepentingan di setiap lini, b) Peran aktif komunitas ODHA, c) Layanan terintegrasi dan terdesentralisasi sesuai kondisi setempat, d) Paket layanan HIV komprehensif yang berkesinambungan, e) Sistem rujukan dan jejaring kerja, f) Akses layanan terjamin) 3) Output (Terjalinnya tatanan jejaring layanan HIV/IMS hingga ke tingkat puskesmas dalam peningkatan cakupan dan kualitas layanan)” 1.3
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pelaksanaan program
program Layanan Komprehensif HIV-IMS Berkesinambungan (LKB) di Puskesmas Bestari Medan Tahun 2016 berdasarkan komponen 1) Input (meliputi : tenaga kesehatan dan sarana/prasarana), 2) Proses (meliputi 6 pilar : a) Koordinasi dan kemitraan dengan semua pemangku kepentingan di setiap lini, b) Peran aktif komunitas ODHA, c) Layanan terintegrasi dan terdesentralisasi sesuai kondisi setempat, d) Paket layanan HIV komprehensif yang berkesinambungan, e) Sistem rujukan dan jejaring kerja, f) Akses layanan terjamin) 3) Output (Terjalinnya tatanan jejaring layanan HIV/IMS hingga ke tingkat puskesmas dalam peningkatan cakupan dan kualitas layanan).
Universitas Sumatera Utara
10
1.4
Manfaat Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian maka disusun manfaat penelitian sebagai
berikut : 1. Sebagai bahan masukan dan informasi bagi Dinas Kesehatan Kota Medan mengenai pelaksanaan program Layanan Komprehensif HIV-IMS Berkesinambungan (LKB), sehingga dapat meningkatkan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan program LKB. 2. Sebagai bahan masukan bagi Puskesmas Bestari Medan mengenai pelaksanaan program LKB. 3. Sebagai bahan informasi dan pengembangan bagi penelitian sejenis dan berkelanjutan.
Universitas Sumatera Utara