BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Nyamuk merupakan serangga yang penting dalam ilmu kedokteran karena lebih dari 17% penyakit infeksi ditularkan melalui gigitannya dan lebih dari 1 juta orang meninggal di seluruh dunia setiap tahun akibat penyakit yang ditularkannya. Beberapa nyamuk seperti nyamuk genus Aedes menjadi vektor penyakit demam berdarah dengue (DBD), yellow fever, chikungunya dan lain lain. Nyamuk genus Culex merupakan vektor penyakit Japanese encephalitis, West nile virus, filariasis serta nyamuk dari genus Anopheles Sp yang dikenal menjadi vektor dari penyakit malaria. (WHO, 2014) Malaria merupakan salah satu penyakit tular vektor yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat dunia terutama di negara negara berkembang.Penyakit ini mempengaruhi tingginya angka kematian terutama pada bayi, balita dan ibu hamil. Setiap tahun diperkirakan 3,3 milyar orang memiliki resiko terinfeksi malaria di 97 negara dan saat ini diperkirakan ada 198 juta kasus di dunia,diperkirakan kematian akibat penyakit malaria berkisar antara 367.000 sampai 755.000 orang dan kematian pada Balita akibat malaria merupakan kasus terbanyak di Sub Sahara Afrika (WHO , 2015). Indonesia merupakan salah satu negara di kawasan Asia yang masih berisiko terhadap penularan malaria karena sampai dengan tahun 2014 saja, populasi yang memilki risiko tertular malaria di Indonesia diperkirakan lebih dari 250 juta kasus dengan jumlah yang positif berdasarkan konfirmasi laboratorium sebanyak 252.027 orang atau angka Annnual Parasite Incidence (API) 1‰. Jumlah ini sebenarnya jauh
2
menurun dibanding dengan tahun 2007, kasus yang ditemukan sebanyak 1.774.845. Jumlah kasus malaria sebesar ini berdasarkan teori ekonomi kesehatan, dapat menimbulkan kerugian ekonomi
sekitar 3 triliun rupiah lebih sehingga dapat
memberikan pengaruh terhadap pendapatan daerah.(Kementerian Kesehatan RI, 2014) Wilayah Indonesia yang masih masuk kategori endemis malaria di kawasan luar Jawa-Bali adalah Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dengan API sebesar 5,09‰ pada tahun 2007 (GF Malaria NTB, 2013), namun ada kecenderungan menurun setiap tahun di semua wilayah kabupaten secara keseluruhan sampai mendekati target MDGs sebesar <1‰. (Kemenkes RI, 2014). Salah satu kabupaten dari 10 kabupaten dan kota di Provinsi NTB yang masih dinyatakan memiliki beban malaria adalah Lombok Timur (Lotim), Kabupaten Lombok Timur terletak diujung Timur pulau Lombok dan merupakan kabupaten dengan penduduk paling padat di NTB, hampir sepertiga penduduk provinsi NTB menetap di daerah ini sehingga sangat mempengaruhi tingkat keberhasilan program pembangunan kesehatan di NTB. Kejadian malaria di Kabupaten Lotim sebelum tahun 2007 masih tergolong tinggi dengan API lebih dari 5‰ namun terindikasi menurun setiap tahunnya. (Dikes Lotim, 2013).
3
Gambar1: Grafik Kasus Malaria di 12 Puskesmas Endemis Malaria Lotim Sumber : Diolah dari Laporan Malaria Dikes Kabupaten Lombok Timur tahun 2014 Berdasarkan grafik yang ditunjukkan pada Gambar 1, kasus malaria positif yang tercatat sejak tahun 2010 di beberapa wilayah kerja Puskesmas endemis malaria di Lombok Timur bervariasi dimana Puskesmas Belanting memiliki kasus tertinggi dengan API mencapai 7,2‰ pada tahun 2010 dan sedikit meningkat di tahun 2011 dimana API mencapai 7,3‰. Gambar ini juga memperlihatkan tren penurunan kasus malaria pada hampir seluruh wilayah puskesmas endemis malaria di Lotim sampai API dibawah 1‰ pada tahun 2013 kecuali wilayah kerja Puskesmas Belanting yang memiliki API diatas 4‰. (Dikes Lotim, 2014) Upaya pengendalian untuk menekan angka kesakitan dan kematian terus diupayakan pemerintah baik melibatkan pemerintah Pusat, Propinsi maupun
4
Pemerintah Kabupaten Lotim melalui penemuan dini kasus malaria, pengobatan massal serta pembagian kelambu berinsektisida. Upaya ini cukup berhasil di wilayah kerja puskesmas endemis malaria lainnya di kabupaten Lombok Timur,
namun
wilayah kerja Puskesmas Belanting dimana sejak tahun 2010 sampai tahun 2013 masih memiliki API di atas 4 ‰ sementara 11 Puskesmas lainnya yang juga tergolong endemis malaria sudah mencapai API dibawah 1 permil.(Dikes Lotim, 2013). Wilayah Kerja Puskesmas Belanting membina empat (4) desa yang memiliki topografi wilayah berupa pantai dan pegunungan. Semua desa memiliki kasus malaria namun jumlah penderitanya bervariasi . Salah satu wilayah desa yang masih tinggi angka kejadian malarianya adalah Obel-obel dengan API mencapai 17,6‰ (PKM Belanting, 2014). Berbagai upaya untuk mengelimanasi malaria di wilayah kerja Puskesmas ini telah dilakukan sebagaimana yang dilakukan puskesmas lainnya di Lotim seperti melakukan penemuan dini malaria, pengobatan intensif penderita yang positif terinfeksi malaria dan juga telah mendistribusikan kelambu berinsektisida sebanyak lebih dari lebih dari 8.000 buah (60%) dari jumlah penduduk yang ada dan pembagian ini diutamakan pada keluarga yang memiliki bayi-balita serta ibu hamil (Dikes Lotim, 2014). Namun usaha usaha ini belum memberikan
hasil sesuai
harapan Milineum Development Goals (MDGs) yakni API dibawah 1 permil (Kemenkes RI, 2014). Angka kejadian malaria yang masih juga tinggi di wilayah kerja Puskesmas Belanting diduga akibat belum terintegrasinya upaya pengendalian yang dilakukan
5
selama ini oleh pemangku kebijakan. Perencanaan pembangunan di wilayah ini belum memperhatikan dampak lingkungan sekitar sehingga beberapa kawasan pantai beralih fungsi yang mana dulunya sebagaian lahan yang berupa hutan mangrove beralih fungsi menjadi kolam ikan atau tambak udang dan pemukiman. Pengalihan fungsi lahan ini berdampak pada peningkatan kepadatan nyamuk yang menyukai tempat tempat yang terpapar langsung sinar matahari dan memiliki perairan payau seperti An.sundaicus dan An. subpictus. Peningkatan jumlah nyamuk jenis ini dapat meningkatkan penularan kasus malaria sebagaimana yang pernah terjadi di Batavia tahun 1919 dan perluasan Teluk Betung pada tahun 1915(Sudomo, 1994). Dalam penelitian Mading et al (2014) di kawasan pantai Kuta dan Bilelando Lombok Tengah, kepadatan jentik nyamuk Anopheles Sp tertinggi pada kolam/tambak udang dan laguna laguna sekitar pantai yang terkena sinar matahari langsung. Wilayah kerja Puskesmas Belanting merupakan tempat yang ideal bagi nyamuk karena daerah ini memiliki perpaduan antara daerah dataran rendah dan pantai serta pegunungan yang merupakan tempat nyaman untuk perkembangbiakan nyamuk. Persawahan dekat pantai, muara sungai, kolam ikan atau tambak udang yang tidak terurus
serta
tumbuhan
perkembangbiakan nyamuk
di
areal
perkebunan
sangat
berpengaruh
dalam
seperti tempat untuk meletakkan telur, tempat
berlindung dan mencari makan.(Munif, 2009, Mardihusodo et al, 1979). Kondisi ini sangat berbeda dengan puskesmas wilayah pantai lainnya di Lotim seperti Puskesmas Jerowaru dan Puskesmas Lepak yang wilayah kerjanya juga memiliki tambak udang yang cukup luas namun tidak memiliki perkebunan atau hutan rakyat yang luas.
6
Untuk diketahui tambak udang di wilayah Jerowaru seluas 1.815 hektar dan perkebunan 652 hektar sementara lepak memiliki tambak seluas 122 hektar, bandingkan dengan Belanting (Sambelia) yang memiliki wilayah tambak seluas 172 hektar dan perkebunan/hutan rakyat seluas 5.987 hektar. (BPS Lotim, 2012) Sering terulang Kejadian Luar Biasa (KLB) malaria di Indonesia menurut Kementerian Kesehatan (2014) diantaranya disebabkan oleh adanya perubahan lingkungan yang mengakibatkan meluasnya tempat perkembangbiakan nyamuk penular malaria serta terjadinya perubahan iklim. Perubahan lingkungan dan perubahan iklim ini dapat mempengaruhi perubahan dan perbedaan perilaku nyamuk vektor malaria (waktu aktif, lokasi menggigit, tempat istirahat, tempat berkembang biak) di suatu wilayah meskipun secara morfologi spesiesnya sama dengan spesies nyamuk ditempat lain (WHO, 2013). Kendala lainnya adalah tidak diterapkannya metode pengendalian vektor malaria yang efektif akibat belum adanya pemetaan sebaran
vektor
dan
belum
teridentifikasinya
vektor
di
daerah
endemis
malaria.(Kementerian Kesehatan R.I. , 2011) Jumlah Anopheles Sp yang terkonfirmasi sebagai vektor malaria di Indonesia Sampai dengan tahun 2014 menurut Kemenkes RI (2014) adalah 26 spesies dari 80 spesies Anopheles Sp yang ditemukan. Sementara di Lombok Timur, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kazwaeni (2006) di Kecamatan Sambelia didapatkan spesies Anopheles Sp yang menjadi vektor malaria adalahAn. sundaicus, An. subpictus, An. barbirostris, An. minimus dan An. anullaris. Masing masing spesies ini memiliki perilaku yang berbeda beda baik dalam memilih tempat perkembang biakan,
7
tempat istirahat maupun tempat dan waktu keluar mencari makan. Dalam perilaku memilih tempat perkembang biakan, An. aconits, An. Annularis, An. barbirostris biasanya di daerah persawahan sementara An. sundaicus, An. subpictus, An. minimus sering dijumpai pada perairan dekat pantai (Mardihusodo,1978; Kemenkes R.I., 2011). Perilaku mencari makan (menggigigit) dan resting dari masing masing spesies nyamuk juga berlainan, sebagian dari nyamuk tersebut menyukai darah binatang (zoophilic) dan sebagian lagi menyukai darah manusia (anthropophilic), sebagian nyamuk menggigit dan istirahat diluar rumah (Exophagic) dan sebagian lagi menyukai menggigit dan istirahat di dalam rumah atau Endophagic.(Sembel, 2011) Keberadaan suatu penyakit secara umum termasuk malaria merupakan kejadian berbasis wilayah yang dipengaruhi oleh interaksi antara host, agen dan lingkungan sehingga pengendalian atas penyakit tersebut memerlukan pendekatan yang bersifat spesifik lokal, disesuaikan dengan daerah tersebut (Achmadi, 2009). Oleh karenanya pemetaan atas distribusi vektor dan kasus malaria serta determinan lingkungan yang mempengaruhinya perlu dilakukan untuk memudahkan analisa sehingga memberikan kemudahan dalam mengambil kebijakan terkait metode pengendalian penyakit malaria yang lebih efektif dan efisien. Pesatnya perkembangan teknologi informasi saat ini seperti Sistem Informasi Geografis (SIG) perlu dimanfaatkan untuk membantu menjelaskan suatu keadaan dari suatu wilayah. Gunawardana (1996) dalam Susana (2011) saat penelitiaannya di Sri Lanka tahun 1996 memanfaatkan SIG untuk memetakan wilayah kemudian menganalisa kasus berdasarkan ketinggian tempat, kondisi rumah, jarak rumah dari
8
sumber perkembangbiakan nyamuk, serta melakukan monitoring perkembangan kasus menurut wilayah. Keunggulan dari sistem informasi ini ialah memiliki kemampuan mengelola data yang besar mulai dari pengumpulan data, menyimpan, menampilkan, mengolah serta mengelola berbagai data tabular dan spasial. Salah satu bentuk informasi yang dihasilkan adalah peta tematik yang mudah diamati dan dianalisa sehingga dimanfaatkan pemangku kebijakan dalam menentukan langkah strategis selanjutnya. (Susana, 2011; Sunaryo,2010) B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yakni : 1. Bagaimana distribusi kasus malaria di wilayah kerja Puskesmas Belanting ? 2. Bagaimana distribusi vektor malaria di wilayah kerja Puskesmas Belanting? 3. Bagaimana
distribusi
tempat
perkembangbiakan vektor malaria
beserta
karakteristiknya di wilayah kerja Puskesmas Belanting?. 4. Bagaimana hubungan antara distribusi vektor, distribusi kasus malaria dan distribusi tempat perkembangbiakan vektor malaria di wilayah kerja Puskesmas Belanting? 5. Apakah ada hubungan antara jarak tempat tinggal antara kasus malaria yang satu dengan kasus malaria lainya di wilayah kerja Puskesmas Belanting?
9
6. Apakah ada hubungan antara jarak tempat perkembangbiakan nyamuk dengan kasus malaria di wilayah kerja Puskesmas Belanting? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Penelitian ini bertujuan untuk memetakan kasus, vektor dan tempat perkembangbiakan vektor malaria serta menganalisa secara spasial hubungan distribusi vektor , distribusi kasus dan lingkungan tempat perkembangbiakan vektor malaria di wilayah kerja Puskesmas Belanting kecamatan Sambelia Kabupaten Lombok Timur NTB. 2. Tujuan khusus a. Memetakan distribusi kasus malaria di wilayah kerja Puskesmas Belanting b. Memetakan distribusi vektor malaria di wilayah kerja Puskesmas Belanting c. Memetakan tempat perkembangbiakan vektor malaria di wilayah kerja Puskesmas Belanting d. Melihat hubungan antara distribusi vektor dan distribusi kasus malariadi wilayah kerja Puskesmas Belanting e. Melihat pola sebaran kasus dan vektor malaria di wilayah kerja Puskesmas Belanting f. Melihat hubungan antara tempat tinggal kasus malaria di wilayah kerja Puskesmas Belanting.
10
g. Melihat hubungan antara jarak tempat perkembangbiakan nyamuk dengan kasus malaria di wilayah kerja Puskesmas Belanting. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih yang besar dalam upaya pengendalian penyakit malaria, khususnya pada Puskesmas lokasi penelitian dan pemerintah Kabupaten Lombok Timur melalui Dinas Kesehatan karena hasil penelitian memberikan informasi yang penting diantaranya adalah : 1. Peta tematik distribusi kasus malaria serta buffer zone kasus per kasus pada masing masing desa se wilayah kerja Puskesmas Belanting. 2. Peta tematik yang berhungan dengan distribusi vektor pada masing masing desa se wilayah kerja Puskesmas Belanting. 3. Peta distribusi tempat perkembangbiakan vektor malaria, buffer zone serta karakteristik habitat pada masing masing desa se wilayah kerja Puskesmas Belanting. Semua data ini dapat digunakan dan dimanfaatkan oleh pemangku kebijakan untuk mengambil langkah langkah strategis dalam upaya mengendalikan penyakit malaria di wilayahnya. E. Keaslian penelitian
Penelitian tentang analisis spasial terkait distribusi kasus, vektor dan tempat perkembangbiakan vektor malaria di Kabupaten Lombok Timur Propinsi Nusa
11
Tenggara Barat belum pernah dilakukan sebelumnya namun beberapa penelitian sejenis pernah dilakukan di tempat yang berbeda seperti : No
Judul Penelitian
1.
Analisis Spasial Pada Kejadian Luar Biasa (KLB) Malaria di Desa Panusupan Kecamatan Rembangdan Desa Sidereja Kecamatan Kaligondang Kabupaten Purbalingga (Penulis : Widiarti, Bambang Heriyanto, Umi Widyastuti) Studi Bio-Epidemiologidan Analisis SpasialKasus Malaria Daerah Lintas Batas Indonesia – Malaysia (Pulau Sebatik) Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur. (Penulis : Damar Tri Boewono, Widiarti, Ristiyanto dan Umi Widyastuti)
2.
Persamaan
Perbedaan
- Metode dan - Tidak meneliti rancangan determinan penelitian lingkungan - Pemetaan - Lokasi penelitian sebaran kasus dan vektor
- Metode dan - Tidak meneliti rancangan determinan penelitian lingkungan - Pemetaaan - Pengambilan sebaran kasus an sampel darah vektor - Melakukan uji kerentanan terhadap insektisida - Lokasi penelitian