BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah Hak Milik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sangat dilindungi dan
dituangkan pada hukum dasar Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memberikan kepastian, jaminan, dan perlindungan terhadap hak-hak milik untuk setiap warga negaranya. Seperti yang dikatakan oleh Adrian Sutedi dalam Bukunya yang berjudul Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, yang menyatakan bahwa Indonesia adalah “Negara Hukum yang memberikan jaminan dan memberikan perlindungan atas hak-hak warga negara, antara lain hak warga negara untuk mendapatkan, mempunyai dan menikmati hak milik.”1 Hak Milik dalam lingkup kali ini adalah Hak Milik atas Tanah. Fungsi tanah bagi kehidupan manusia adalah sebagai
tempat dimana
manusia tinggal, melaksanakan aktivitas sehari-hari, menanam tumbuh-tumbuhan, hingga menjadi tempat peristirahatan terahkir bagi manusia. Seperti pendapat Benhard Limbong dalam bukunya yang berjudul Konflik Pertanahan, tanah bagi kehidupan manusia memiliki arti yang sangat penting, karena sebagian besar dari kehidupannya tergantung pada tanah. Tanah adalah karunia dari Tuhan Yang Maha Esa kepada umat manusia dimuka bumi. Sejak lahir sampai meninggal dunia, manusia membutuhkan tanah untuk tempat tinggal dan sumber kehidupan. Dalam hal ini, tanah mempunyai dimensi ekonomi, sosial, kultural, politik dan 1
Adrian Sutedi,2006,Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Sinar Grafika, Jakarta.hal. 1
1
2 ekologis.2 Tanah sendiri, menurut Achmad Rubaie, mempunyai fungsi ganda sebagai pengikat kesatuan sosial dan benda ekonomi sebagaimana berikut: Tanah mempunyai arti penting dalam kehidupan manusia karena mempunyai fungsi ganda, yaitu sebagai social aset dan capital aset. Sebagai social aset tanah merupakan sarana peningkat kesatuan sosial di kalangan masyarakat Indonesia untuk hidup dan kehidupan, sedangkan sebagai capital aset tanah telah tumbuh sebagai benda ekonomi yang sangat penting sekaligus sebagai bahan perniagaan dan obyek spekulasi. Di satu sisi tanah harus dipergunakan dan dimanfaatkan untuk sebesar-sebesarnya kesejahteraan rakyat, secara lahir, batin, adil, dan merata, sedangkan disisi lain juga harus di jaga kelestariannya.3 Pendapat Achmad Rubaie dikuatkan dengan pendapat Arie Sukanthi Hutagalung yang menjelaskan bahwa : Tanah adalah asset bangsa Indonesia yang merupakan modal dasar pembangunan menuju masyarakat adil dan makmur. Oleh karena itu, pemanfaatannya haruslah didasarkan pada prinsip-prinsip yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Indonesia. Dalam hal ini harus dihindari adanya upaya menjadikan tanah sebagai barang dagangan, objek spekulasi dan hal lain yang bertentangan dengan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.4 Selanjutnya Joseph R. Nolan dan M.J Connolyy mendefinisikan tanah (land) sebagai berikut: …. the material of the earth, whatever may be the ingredients of which it is composed, wether soil, rock, or other substance, and includes free or occupied space for an indefinite distance upwards as well as downwards, subject to limitations upon the use of airspace imposed, and rights in the use of airspace granted, by law.5 2
Benhard Limbong, 2012, Konflik Pertanahan, Margaretha Pustaka, Jakarta,
hal.2 3
Achmad Rubaie,2007, Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, Bayumedia Publishing, Malang, hal.1-2 4 Arie Sukanti Hutagalung dan Markus Gunawan, 2008, Kewenangan Pemerintah di Bidang Pertanahan., RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal.83 5 Joseph R. Nolan dan M.J Connolly, Black’s Law Dictionary. Fifth Edition, St. Paul Mminn: West Publishing Co. 1979, p. 789.
3 Definisi lain terkait dengan pengertian tanah dikemukanan oleh Simpson adalah sebagai berikut : ….. in its original definitions in English law, land is not regarded as comprising merely the surface; it is deemed to include everything which is fixed to it, and also the air which lies above it right up into the sky, and whatever lies below it right down into the center of the earth ; it includes land covered with water and so even the sea-bed is land. 6 Terjemahan: ….. definisi asli dari tanah dalam hukum Inggeris adalah bahwa tanah tidak dipandang hanya terdiri atas permukaan bumi, akan tetapi juga dianggap termasuk segala sesuatu yang melekat padanya, dan juga udara yang terdapat di atasnya sampai ke langit, serta apa saja yang terletak di bawahnya sampai ke pusat bumi; termasuk pula tanah yang diliputi air dan karena itu bahkan dasar laut pun adalah tanah. Dengan pendapat-pendapat yang telah diungkapkan di atas, penulis berkesimpulan, bahwa tanah adalah aset yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pengelolaan dan pemanfaatan akan tanah juga harus diperhatikan sehingga sesuai dengan prinsip yang terkandung dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Prinsip yang dimaksud pada Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, adalah “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Dapat disimpulkan bahwa apa saja yang ada di bumi dan segala yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan Negara dalam hal ini mempergunakannya untuk kesejahteraan rakyat. 6
Herman Soesangobeng: Tanah dan Hak Ulayat, Makalah disampaikan dalam Seminar Pertanahan Balitbang DepKeh.HAM. Jakarta, 4 November 2003.
4 Penjabaran lebih jauh dari hak menguasai tanah oleh Negara, diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria (selanjutnya disingkat UUPA) yang menyatakan bahwa bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Hak menguasai dari Negara memberi wewenang kepada Negara untuk: 1. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa; 2. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dengan bumi, air, dan ruang angkasa; 3. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa Dengan demikian hak menguasai dari Negara itu bukanlah hak untuk memiliki bumi dan lain-lain itu. Namun menurut sistem hukum tanah sekarang, tidak seperti asas domein dari Negara sebagaimana tersimpul dalam Domein Verklaring diatur dalam Agrarisch-Besluit Pasal 1 yang menyatakan bahwa : “semua tanah yang tidak terbukti menjadi hak eigendom orang lain adalah domein Negara (eigendom Negara).”7 Negara dapat memberikan jaminan kepastian hukum atas hak atas tanah kepada setiap Warga Negaranya. Pemberian jaminan kepastian hukum hak atas tanah, memerlukan tersedianya perangkat hukum yang memadai dan jelas yang dilaksanakan secara konsisten sesuai dengan jiwa dan isi ketentuan-ketentuan. 7
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 2000, Hukum Perdata: Hukum Benda, Liberty, Yogyakarta, hal. 9.
5 Hak atas tanah dalam UUPA yang disebutkan dalam Pasal 16 dibedakan menjadi : a. b. c. d. e. f. g. h.
Hak Milik Hak Guna Usaha Hak Guna Bangunan Hak Pakai Hak Sewa Hak Membuka Hutan Hak Memungut Hasil Hutan Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dalam undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam pasal 53.
Hak–hak atas tanah seperti yang telah disebutkan di atas dalam UUPA dikelompokkan sebagai berikut : a. Hak atas tanah yang bersifat tetap, terdiri dari : Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa Tanah Bangunan, dan Hak Pengelolaan. b. Hak atas tanah yang bersifat sementara, terdiri dari : Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang, dan Hak Sewa Tanah Pertanian. Obyek hukum tanah adalah hak-hak penguasaan atas tanah. Hak-hak penguasan tersebut dibagi dua, yaitu sebagai lembaga hukum dan sebagai hubungan konkret. Hak penguasaan tanah merupakan suatu lembaga hukum jika belum dihubungkan dengan tanah dan orang atau badan hukum tertentu sebagai pemegang haknya. Hak atas tanah yang penulis gunakan dalam penulisan ini adalah Hak Milik dan Hak Guna Bangunan. Secara umum pengaturan dan pengertian mengenai Hak Milik dan Hak Guna Bangunan ada dalam UUPA. Hak milik didalam UUPA
6 pengertiannya terdapat dalam Pasal 20, Pasal 20 ayat (1) menyebutkan bahwa “Hak Milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6.” Sedangkan untuk definisi Hak Guna Bangunan terdapat dalam Pasal 35 ayat (1) yang menyebutkan “Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunanbangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun.” Hak Milik dalam suatu bangsa menjadi sangat penting terutama bagi masyarakat yang sedang membangun ke arah perkembangan industri. Tentu saja yang di maksudkan adalah Hak Milik atas tanah. Tanah yang merupakan hal pokok bagi manusia menghadapai beberapa macam masalah antara lain: a. Keterbatasan tanah, baik dalam jumlah maupun kualitas dibanding dengan kebutuhan yang harus dipenuhi; b. Pergeseran pola hubungan antara pemilik tanah dan tanah sebagai akibat perubahan-perubahan yang ditimbulkan oleh proses pembangunan dan perubahan-perubahan sosial pada umumnya; c. Tanah disatu pihak telah tumbuh sebagai benda ekonomi yang sangat penting, pada lain pihak telah tumbuh sebagai bahan perniagaan dan objek spekulasi; d. Tanah disatu pihak harus dipergunakan dan dimanfaatkan untuk sebesarsebesarnya kesejahteraan rakyat lahir, batin, adil dan merata, sementara di lain pihak harus dijaga kelestariannya.8 Permasalahan-permasalahan yang telah dijabarkan di atas sangat relevan dengan keadaan yang ada pada masyarakat saat ini. Kita dapat menghubungkan dengan keadaan pertanahan yang ada di Bali dewasa ini. Mengapa Bali? Penulis memilih Bali, karena daya tarik pariwisatanya yang sangat luar biasa. Pariwisata yang ada di Bali dapat dikatakan sebagai sebuah industri pariwisata yang saling 8
Adrian Sutedi, Loc.cit
7 berhubungan antara tanah, warga asli Bali, wisatawan, warga pendatang, dan investor. Kabupaten Badung khususnya, mempunyai beberapa objek wisata utama jika wisatawan berkunjung ke Bali, seperti pantai Kuta, Jimbaran, kawasan Nusa Dua, Pura Uluwatu, dan masih banyak obyek wisata yang lain, yang membuat para wisatawan tertarik untuk mengunjungi obyek-obyek wisata tersebut. Obyekobyek wisata tersebut berkaitan pula dengan para investor yang akan menanamkan modal yang mereka miliki. Para Investor melihat kebutuhan akan sarana dan prasarana penunjang akomodasi pariwisata yang ada di Kabupaten Badung dapat menjadi salah satu lahan untuk berinvestasi. Ahkir-ahkir ini Kabupaten Badung dapat dikatakan menjadi satu-satunya Kabupaten/Kota di Propinsi Bali, yang pembangunan sarana dan prasarana penunjang pariwisatanya dinilai paling pesat dibandingkan dengan kabupaten/kota lain. Industri pariwisata yang menjadi daya tarik utama Kabupaten Badung, membutuhkan lahan tanah sebagai salah satu penunjangnya. Untuk memenuhi kebutuhan akan tersedianya lahan penunjang sarana dan prasarana pariwisata maka tanah-tanah yang ada di Kabupaten Badung banyak yang disewakan dalam jangka waktu yang sangat panjang, bahkan tak banyak penduduk asli di daerah tersebut menjual tanah-tanah yang dimiliki. Penulis tertarik untuk mengkaji tanah-tanah yang ada di Kabupaten Badung, mengingat kenyataan yang ada di Ibu Kota Negara kita Indonesia, Jakarta. Jakarta adalah tanah tumpah darah dan kelahiran masyarakat betawi. Namun seiring berjalannya waktu, masyarakat Betawi sendiri telah menjadi masyarakat pinggiran di Jakarta. Kenapa dikatakan masyarakat pinggiran? Mereka dikatakan sebagai
8 masyarakat pinggiran dikarenakan tanah-tanah yang dimiliki oleh masyarakat betawi sendiri telah dijual kepada pihak lain. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh tingginya kebutuhan akan lahan yang akan dijadikan sebagai pusat perkantoran, dan hiburan masyarakat, membuat masyarakat asli betawi tidak lagi memiliki tanah yang ada di Jakarta. Tanah yang ada, tidak dapat dijaga kelestariannya dan masyarakat asli telah kehilangan tanah yang menjadi tumpah darahnya. Penulis tentu saja tidak ingin fenomena yang terjadi di Jakarta terulang pada Bali dan khususnya Kabupaten Badung. Kabupaten Badung, seperti yang telah dijelaskan di atas, menjadi tempat strategis untuk mengembangkan sarana dan prasarana potensi pariwisata, tanah yang ada di Kabupaten Badung menjadi hal yang sangat dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan akan sarana dan prasana pariwisata tersebut. Untuk menjaga kelestarian tanah-tanah yang ada di Kabupaten Badung, banyak cara agar tanah-tanah tersebut masih tetap berada dalam kepemilikan penduduk asli, namun pihak lain dapat memanfaatkan tanah-tanah tersebut untuk dijadikan sarana dan prasarana pariwisata. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah, dikenal Pemberian Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik atas tanah. Pemberian Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik diartikan, para penduduk asli Kabupaten Badung yang mempunyai tanah-tanah Hak Milik, dapat bekerja sama dengan pihak lain (investor) melalui suatu perjanjian permulaan pemberian Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik atau sewa-menyewa yang memuat
9 kesepakatan kedua belah pihak bahwa di atas tanah Hak Milik yang diperjanjikan tersebut akan dibebani/diberikan Hak Guna Bangunan. Penulis ingin secara lebih lanjut meneliti mengenai pemberian Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik di Kabupaten Badung. Penelitian ini untuk dapat mengetahui bagaimana kesesuaian antara peraturan yang ada dengan penerapannya yang ada di masyarakat, penulis mendapati adanya ketidaksesuaian penerapan aturan pemberian Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik atas tanah di Kabupaten Badung. Ketidaksesuaian itu dikaitkan dengan lamanya Hak Guna Bangunan diberikan di atas Hak Milik atas tanah. Jangka waktu pemberian Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas tanah sesuai dengan Pasal 29 yang berbunyi : (1) (2)
Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik diberikan untuk jangka waktu paling lama tiga puluh tahun. Atas kesepakatan antara pemegang Hak Guna Bangunan dengan pemegang Hak Milik, Hak Guna Bangunan, atas tanah Hak Milik dapat diperbaharui dengan pemberian Hak Guna Bangunan baru dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah dan hak tersebut wajib didaftarkan. Memperpanjang jangka waktu Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik dilakukan dengan memberikan Hak Guna Bangunan baru dengan perjanjian baru.
Pasal 29 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas tanah sudah mengatur jangka waktu pemberian Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik atas tanah adalah 30 (tigapuluh) tahun, namun penulis mendapati Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik atas tanah diberikan dengan jangka waktu 50 (limapuluh) tahun.
10 Permasalahan mengenai tanah dikemudian hari tentu saja tidak bisa dihindari apabila tidak dipatuhinya peraturan-peraturan yang mengatur mengenai tanah itu sendiri. Maria S.W Sumardjono berpedapat mengenai masalah tanah : Masalah tanah adalah masalah yang sangat menyentuh keadilan karena sifat tanah yang langka dan terbatas, dan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia. Tidak selalu mudah untuk merancang suatu kebijakan pertanahan yang dirasakan adil untuk semua pihak. Suatu kebijakan yang memberikan kelonggaran yang lebih besar kepada sebagian kecil masyarakat dapat dibenarkan apabila diimbangi dengan kebijakan serupa yang ditujukan kepada kelompok lain yang lebih besar. Dengan demikian, selalu ada kebijakan yang berfungsi untuk mengoreksi atau memulihkan keseimbangan tersebut.9 Sehingga dengan landasan pemikiran di atas, untuk mengetahui lebih lanjut mengenai pelaksanaan pemberian Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik di Kabupaten Badung, maka penulis memberikan judul pada penulisan hukum ini adalah : PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMEGANG HAK GUNA BANGUNAN DI ATAS HAK MILIK ATAS TANAH DI KABUPATEN BADUNG Dalam penelitian ini, peneliti telah membandingkan dengan beberapa penelitian sebelumnya yang juga membahas tentang Hak Guna Bangunan. Adapun penelitian yang mirip dengan penelitian ini antara lain: a. Penelitian
dari
Suparmin,
Program
Studi
Magister
Kenotariatan
Universitas Indonesia, Tahun 2008, dengan judul: “Analisis Hukum Terhadap Pasal 54 Peraturan KBPN No. 1 Tahun 2006 Dalam Pembuatan Akta Pemberian Hak Guna Bangunan Atas tanah Hak Milik Oleh Pejabat
9
Maria S.W Sumardjono, 2006, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, hal.19.
11 Pembuat Akta Tanah”. Rumusan masalah yang terdapat dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana orang perorangan dan perseroan terbatas memperoleh tanah dan bangunan dengan status kepemilikan Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik orang lain dengan konstruksi beralihnya hak secara legal, termasuk dapat dialihkan kembali hak yang diperoleh kepada pihak ketiga, termasuk dengan cara dijaminkan dengan hak tanggungan, tanpa si pemilik tanah kehilangan hak miliknya atas tanah tersebut? 2. Bagaimana pembuatan akta pemberian Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah menurut hukum tanah nasional sejak adanya ketentuan Pasal 54 Peratutan KBPN No. 1 Th 2006? b. Penelitian dari Theresia Febriani Hakim, Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Indonesia, Tahun 2011, dengan judul: “Analisis Kepemilikan Bangunan yang Berdiri Di Atas Tanah Hak Milik Pihak Lain (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 625 K/PDT/2009) ”. Rumusan masalah yang terdapat dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana Perlindungan Hukum bagi pemegang hak atas bangunan yang berdiri diatas tanah milik pihak lain? 2. Upaya apakah yang dapat dilakukan oleh pemilik bangunan agar dapat menggunakan tanah milik pihak lain?
12 Dari uraian penelitian di atas tidak ditemukan kesamaan, sehingga tingkat originalitas penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan. 1.2
Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian dimaksudkan untuk memudahkan
penulis dalm membatasi masalah yang diteliti sehingga sasaran yang hendak dicapai menjadi jelas, searah dan dapat mencapai sasaran yang diharapkan. Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapatlah dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut : a. Apakah yang menjadi hak dan kewajiban bagi pemegang Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik dan pemegang Hak Milik atas tanah yang di atasnya diberikan Hak Guna Bangunan? b. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap pemegang Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik dan pemegang hak Milik atas tanah yang di atasnya diberikan Hak Guna Bangunan? 1.3
Tujuan Penelitian Dalam pelaksanaan suatu kegiatan penelitian pasti terdapat suatu tujuan
yang jelas hendak dicapai. Tujuan Penelitian ini adalah untuk memberi arah dalam melangkah sesuai dengan maksud penelitian. Adapun tujuan yang ingin di capai oleh penulis dalam penelitian ini adalah : 1.3.1 Tujuan Umum Secara umum yang menjadi tujuan dari penelitian ini, bertujuan untuk mengembangkan ilmu hukum terkait dan memperluas wawasan pengetahuan sehingga dapat memahami, khususnya dalam bidang
13 Hukum Administrasi Negara dan Hukum Agraria. Selain hal tersebut di atas supaya penulis mengetahui kesesuaian antara teori yang diperoleh dengan kenyataan yang ada dalam praktek kehidupan bermasyarakat. 1.3.2
Tujuan Khusus Disamping tujuan umum tersebut di atas, penelitian ini secara spesifik diharapkan mampu : a)
Untuk mengetahui, memahami, dan menjelaskan apa yang menjadi hak dan kewajiban bagi pemegang Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik dan pemegang Hak Milik atas tanah yang di atasnya diberikan Hak Guna Bangunan.
b)
Untuk mengetahui dan menganalisis perlindungan hukum terhadap pemegang Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik dan Pemegang Hak Milik atas tanah yang di atasnya diberikan Hak Guna Bangunan.
1.4 Manfaat Penelitian Penulis berharap penelitian ini dapat memberi manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya serta memiliki kegunaan praktis pada khususnya sehingga penelitian ini bermanfaat secara teoritis dan praktis. 1.4.1 Manfaat teoritis Hasil penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan pemikiran dan masukan bagi pengembangan ilmu hukum pada umumnya, serta terkhusus mengenai pemberian Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik atas tanah. Terutama dapat menambah pengetahuan, pengalaman, dan
14 pemahaman terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan Hukum Agraria. 1.4.2
Manfaat Praktis Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis yaitu memberikan sumbangan pemikiran terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam pemberian Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik,
baik
untuk
pengambil
kebijakan/pemerintah,
masyarakat/pemilik tanah, dan kesadaran masayarakat untuk tidak menjual
tanahnya.
Bagi
peneliti
sendiri
disamping
untuk
menyelesaikan studi juga untuk menambah wawasan dibidang Hukum Agraria khususnya mengenai pemberian Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik. 1.5 Landasan Teoritis dan Kerang Berpikir Dalam bagian kerangka teoritik ini dipaparkan teori-teori yang berkaitan dengan permasalahan yang ada, relevansi teori-teori tersebut sebagai pembenaran toritik untuk mengkaji mengenai perlindungan hukum bagi pemegang Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik atas tanah di Kabupaten Badung sehingga jelas bahwa teori yang digunakan bermanfaat untuk melakukan penjelasan-penjelasan ilmiah sesuai dengan fungsi-fungsi teori menurut ilmu hukum, yaitu: 1.5.1 Konsep Hak Atas Tanah Dalam hukum tanah, sebutan tanah dipakai dalam arti yuridis, sebagai suatu pengertian yang telah diberi batasan resmi oleh Undang-Undang Pokok Agraria. Dalam Pasal 4 dinyatakan, bahwa atas dasar hak menguasai dari
15 Negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macammacam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum. Dengan demikian jelaslah apa yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA atau menurut yuridis adalah permukaan bumi. Sedangkan pengertian tanah secara umum adalah : 1. Permukaan bumi atau lapisan bumi yang diatas sekali; 2. Keadaan bumi di suatu tempat; 3. Permukaan bumi yang diberi batas; 4. Bahan-bahan dari bumi, bumi sebagai bahan sesuatu (pasir, cadas, napal, dan sebagainya.) Tanah diberikan kepada dan dipunyai oleh orang dengan hak-hak yang disediakan oleh UUPA, adalah untuk digunakan atau dimanfaatkan. Tanah itu sendiri mempunyai fungsi ganda. Seperti pendapat Achmad Rubaie berikut: “Tanah mempunyai fungsi ganda, yaitu sebagai social asset dan capital asset. Sebagai social asset tanah merupakan sarana pengikat kesatuan sosial di kalangan masyarakat Indonesia untuk hidup dan kehidupan, sedangkan sebagai capital asset tanah merupakan faktor modal dalam pembangunan.”10 Sebagai capital asset tanah telah tumbuh sebagai benda ekonomi yang sangat penting sekaligus sebagai bahan perniagaan dan objek spekulasi. Konsep hakhak atas tanah dalam Hukum Agraria Nasional membagi hak-hak atas tanah menjadi dua bentuk : 10
Achmad Rubaie, Loc.cit
16 1. Hak-Hak atas tanah yang bersifat primer Hak-Hak atas tanah yang bersifat primer yaitu hak-hak atas tanah yang dapat dimiliki atau dikuasai secara langsung oleh seorang atau badan hukum yang mempunyai waktu lama dan dapat dipindahtangankan kepada orang lain atau ahliwarisnya. Dalam UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 tentang peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) terdapat beberapa hak atas tanah yang bersifat primer, yaitu : a. Hak Milik; b. Hak Guna Usaha; c. Hak Guna Bangunan; d. Hak Pakai. 2. Hak-hak atas tanah yang bersifat sekunder Hak-hak atas tanah yang bersifat sekunder yaitu hak-hak atas tanah yang bersifat sementara. Disebut sementara karena hak-hak tersebut dinikmati dalam waktu terbatas, dan hak-hak itu dimiliki oleh orang lain. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 53 UUPA yang mengatur mengenai hak-hak atas tanah yang bersifat sementara, yaitu : a. Hak Gadai; b. Hak Usaha Bagi Hasil; c. Hak Menumpang; d. Hak Menyewa atas tanah Pertanian.11 Konsep hak atas tanah secara umum telah dijelaskan pada pemaparan diatas. Sedangkan, konsep hak atas tanah yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah Hak Milik atas tanah dan Hak Guna Bangunan. Menurut konsep Burgerlijk Wetboek (BW) yang dianut oleh Belanda, “hak perorangan disebut Hak Eigendom sebagai hak penguasaan atas tanah yang tertinggi atau Hak Milik perorangan adalah Hak Milik individu secara perseorangan atas tanah yang asal muasalnya merupakan Hak Buka Pertama.”12 Sebagai hak yang paling sempurna, pemegang hak Eigendom atas tanah dapat berbuat apa saja terhadap tanah tersebut asal tidak bertentangan dengan undang-undang 11
Supriadi, 2008, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 64 Putri Agus Wijayanti, 2001, Tanah dan Sistem Perpajakan Masa Kolonial Inggris, Terawang, Yogyakarta, hal. 25 12
17 atau hak orang lain. Konsep BW diatas dapat dinyatakan bahwa hak seseorang atas tanah adalah hak yang tidak bisa diganggu gugat oleh pemerintah atau pihak manapun karena para pemegang hak atas tanah tersebut sudah memiliki kedudukan yang kuat atas tanahnya. Hak milik perorangan dan hak milik bersama adalah dua variabel dalam perkembangan hak kepemilikan yang menunjukkan hubungan sebab akibat, karena kepentingan bersama dari akibat hubungan sosial para individu. Maria S.W. Sumardjono, mencermati bahwa sebagai hak dasar, hak atas tanah sangat berarti sebagai eksistensi seseorang, kebebasan serta harkat dirinya sebagai manusia. Terpenuhinya hak dasar itu merupakan syarat untuk tumbuh dan berkembangnya hak-hak politik, karena penguasaan terhadap sebidang tanah melambangkan pula nilai kehormatan, kebanggaan dan keberhasilan pribadi, sehingga secara ekonomi, sosial dan budaya, tanah yang dimilikinya menjadi sebuah sumber kehidupan, simbol identitas, hak kehormatan dan martabat pendukungnya.13 1.5.2 Konsep Negara Hukum Dewasa ini konsep Negara Hukum yang dianggap konsep Negara yang paling ideal. Walaupun dalam pelaksanaanya masing-masing Negara menjalankannya dengan presepsi yang berbeda. “Terhadap istilah “rule of law” ini dalam bahasa Indonesia sering juga diterjemahkan sebagai “Supremasi 13
Maria S.W. Sumardjono, 2001, Kebijakan Pertanahan: Antara Regulasi & Implementasi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, hal 59. Hal ini dikatakan juga oleh John Nonggor, dalam “Resolving Conflict in Customary Law and Western Law in Natural Resource Development Papua New Guinea”, Paper for Willington Congress on Legal Pluralisme, 1992, p. 3
18 Hukum” (supremacy of law) atau “pemerintahan berdasarkan atas hukum.”14 Pendapat Sri Soemantri turut menjelaskan bahwa terdapat empat hal yang dijumpai dalam konsep negara hukum yaitu : 1) Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum atau peraturan perundang-undangan; 2) Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi menusia; 3) Adanya pembagian kekuasaaan; 4) Adanya pengawasan dari bahan-bahan peradilan.15 Apa yang telah diutarakan oleh Sri Soemantri di atas sejalan dengan pendapat Aristoteles, dalam buku Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim yang berjudul Hukum Tata Negara Indonesia, yang mengatakan bahwa dalam suatu Negara bukan manusia dalam arti yang sebenarnya, melainkan fikiran yang adil, sedangkan penguasa sebenarnya hanya pemegang hukum dan keseimbangan saja. “Yang paling penting dalam kehidupan bernegara adalah mendidik manusia menjadi warga Negara yang baik, karena dari sikap yang adil akan terjamin kebahagiaan hidup warga negaranya.”16 Selain pendapat Aristoteles di atas, terdapat pula pendapat Munir Fuady yang mengatakan bahwa : Negara hukum adalah suatu sistem kenegaraan yang diatur berdasarkan hukum yang berlaku yang berkeadilan yang tersusun dalam suatu konstitusi, dimana semua orang dalam Negara tersebut, baik yang diperintah maupun yang memerintah, harus tunduk hukum yang sama, sehingga setiap orang yang sama diperlakukan sama dan setiap orang berbeda diperlakukan berbeda dengan dasar pembedaan yang rasional, 14
Munir Fuady, 2009, Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat), PT Refika Aditama, Bandung, hal. 1 15 Sri Soemantri M,1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung, hal. 29-30 16 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1988, Hukum Tata Negara Indonesia, Sinar Bakti, Jakarta, hal. 153
19 tanpa memandang pembedaan warna kulit, ras, gender, agama, daerah, dan kepercayaan, dan kewenangan pemerintah dibatasi berdasarkan suatu prinsip distribusi kekuasaan, sehingga pemerintah tidak bertindak sewenang-wenang dan tidak melanggar hak-hak rakyat, karenanya kepada rakyat diberikan peran sesuai kemampuan dan peranannya secara demokratis.”17 Negara hukum mempunyai salah satu prinsip yang paling penting adalah “perlindungan yang sama (equal protection) atau persamaan dalam hukum (equality before the law).”18 Jadi tidak ada hal yang dapat dijadikan dasar pembeda antara satu dengan yang lainnya. Dari seluruh pendapat para ahli mengenai Negara hukum di atas penulis menyimpulkan, dalam suatu negara hukum yang paling diutamakan adalah persamaan dan perlindungan yang sama di depan hukum, dan untuk mewujudkan hal tersebut, dibutuhkan peraturan hukum yang baik, penegak hukum yang baik, dan pemerintah sebagai pembuat hukum yang baik pula. Jika dikaitkan dengan Negara kita, Indonesia, Indonesia juga merupakan Negara hukum. Hal ini sangat jelas tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) UndangUndang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”, artinya Negara Indonesia adalah Negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtstaat) dan pemerintah berdasarkan sistem konstitusi (hukum dasar), bukan absolutism (kekuasaan yang tidak terbatas). Konsep Negara Hukum Indonesia berbeda dengan konsep Negara-Negara hukum yang ada,
17 18
Munir Fuady, Op.cit, hal. 3 Munir Fuady, Op.cit, hal. 207
20 baik itu rechtstaat yang diperkenalkan oleh Belanda, maupun dengan konsep Negara yang menggunakan the rule of law yang merupakan konsep yang di kenal di negara-negara Anglo-Saxon seperti Inggris dan Amerika Serikat. Dikaitkan dengan permasalahan yang akan dikaji, Konsep Negara hukum dapat dijadikan dasar bahwa segala sesuatu harus dilandaskan pada hukum, sesuai dengan rumusan masalah yang ada bahwa penulis hendak meneliti bagaimanakah perlindungan hukum (penerapannya) yang diberikan dari aturan-aturan hukum yang ada terhadap pemegang Hak Guna Bangunan dan Hak Milik atas tanah yang masing-masing mempunyai kepentingan atas tanah tersebut. 1.5.3 Teori Tujuan Hukum. Teori Tujuan Hukum yang digunakan oleh penulis adalah teori tujuan hukum yang merupakan ajaran Gustav Radbruch.19 Dimana teori tujuan hukum mempunyai 3 hal yang ingin dicapai : 1.5.3.1 Kepastian Hukum Kepastian berasal dari kata pasti, yang artinya tentu; sudah tetap; tidak boleh tidak; suatu hal yang sudah tentu.20 Kepastian hukum memiliki arti
19
http://bolmerhutasoit.wordpress.com/2011/10/07/artikel-politik-hukumtujuan-hukum-menurut-gustav-radburch/, diakses pada tanggal 13 Desember 2012 20 W.J.S. Poerwadarminta, 2006, Kamus Umum Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, Balai Pustaka, hal. 847
21 “perangkat hukum suatu Negara yang mampu menjamin hak dan kewajiban setiap warga Negara.”21 Kepastian
hukum
adalah
dasar
dalam
Negara
hukum
yang
mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatuhan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan Negara. Menurut Pendapat Soehino dalam Bukunya yang berjudul Ilmu Negara, Kepastian Hukum berkaitan dengan supremasi hukum, karena hukumlah yang berdaulat. Dalam bukunya tersebut Soehino juga mengutip pendapat Krabe yang mengatakan, “bahwa hukumlah memiliki kedaulatan tertinggi. Kekuasaan bukan kedudukan atau pangkat dan jabatan seorang pemimpin melaikan keuasaan itu dari hukum, karena hukumlah yang memberikan pengakuan hak maupun wewenang.”22 Kepastian hukum atau rechtszekerheid menurut J.M Otto, yang dikutip Tatiek Sri Djatmiati dikemukakan terdiri dari beberapa unsur sebagai berikut : a. Adanya aturan yang konsisten dan dapat diterapkan yang ditetapkan Negara; b. Aparat pemerintah menetapkan aturan hukum tersebut secara konsisten dan berpegang pada aturan hukum tersebut; c. Rakyat pada dasarnya tunduk pada hukum; d. Hakim yang bebas dan tidak memihak secara konsisten menerapkan hukum tersebut; e. Putusan hakim dilaksanakan secara nyata.23
21
Anton M. Moelino, dkk., 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hal. 1028 22 Soehino,1998, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta, hal.156. 23 Tatiek Sri Djatmiati,2002, Prinsip Izin Usaha Industri di Indonesia, Disertasi, PPS Unair, Surabaya, hal.18
22 Pendapat lainnya mengenai kepastian hukum dapat ditemukan dalam buku M. Yahya Harahap yang berjudul Pembahasan, Permasalahan, dan Penerapan KUHAP, yang menyatakan bahwa kepastian hukum dibutuhkan didalam
masyarakat
demi
terciptanya
ketertiban
dan
keadilan.
“Ketidakpastian hukum akan menimbulkan kekacauan dalam kehidupan masyarakat dan setiap anggota masyarakat akan saling berbuat sesuka hati serta bertindak main hakim sendiri.”24 Sudikno Mertokusumo mengartikan “kepastian hukum, merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu.”25 Menurut Peter Mahmud Marzuki berkaitan dengan pengertian kepastian hukum dikemukakan sebagai berikut : Pertama, adanya aturan yang bersifat umum menbuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenagan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang, melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim antara putusan yang satu dengan putusan hakim yang lain untuk kasus serupa yang telah diputus.26 Sedangkan pengertian kepastian hukum Menurut Gustav Radbruch seperti yang dikutip Theo Huijbers, yang menyatakan bahwa pengertian
24
M. Yahya Harahap, 2006, Pembahasan, Permasalahan, dan Penerapan KUHAP , Sinar Grafika, Jakarta, hal.76 25 Sudikno Mertokusumo, 1999, Mengenal Hukum, Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, hal.145 26 Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal.158
23 hukum dibedakan menjadi tiga aspek yang diperlukan untuk mendapatkan pengertian hukum yang memadai. Aspek-aspek tersebut antara lain: Aspek yang pertama ialah keadilan dalam arti sempit. Keadilan ini berarti kesamaan hak unuk semua orang di depan pengadilan. Aspek yang kedua ialah tujuan keadilan atau finalitas. Aspek ini menentukan isi hukum, sebab isi hukum memang sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Aspek yang ketiga ialah kepastian hukum atau legalitas. Aspek itu menjamin bahwa hukum dapat berfungsi sebagai peraturan yang harus ditaati.27 Jika mengkaitkan teori ini dengan apa yang dikaji oleh penulis maka penulis berpendapat, bahwa teori kepastian hukum membantu penulis untuk lebih menekankan akan kepastian hukum dari pemberian hak guna bangunan di atas tanah hak milik atas tanah di Kabupaten Badung. Teori kepastian hukum dapat diaplikasikan ketika penulis mengkaji masalah perlindungan hukum terhadap pemegang Hak Guna Bangunan dan pemegang Hak Milik atas tanah dimana kedua belah pihak, sama-sama mempunyai kepentingan. Dari kepentingan
tersebut harus dicarikan dasar, kepastian hukum dan
perlindungan hukum bagi hak-hak maupun kewajiban-kewajiban masingmasing pihak. 1.5.3.2 Kemanfaatan Hukum Kemanfaatan hukum juga merupakan salah satu dari tujuan hukum yang di katakan oleh Gustav Radburch. Teori kemanfaatan hukum sendiri, memiliki beberapa pendapat dari para ahli yang menguatkan pendapat Gustav Radbruch tersebut. Salah satu pakar yang mengutarakan mengenai teori
27
Theo Huijbers, 2007, Filsafat Hukum dalam Lintas Sejarah, Kanisus, Cetakan keempat belas, Yogyakarta, hal.163
24 kemanfaatan hukum adalah Jeremi Bentham, dalam buku Soni Keraf dijelaskan bahwa “dasar yang paling objektif dalam menilai baik buruknya kebijakan itu berlaku adalah dengan melihat apakah suatu kebijakan atau tindakan tertentu membawa manfaat atau hasil yang berguna atau, sebaliknya kerugian bagi orang-orang yang terkait.”28 Selain dalam buku Sony Keraf, Lili Rasjidi dan I. B Wyasa Putra juga berpendapat mengenai kemanfaatan hukum, bahwa : Teori kemanfaatan hukum ini merupakan dasar-dasar ekonomi bagi pemikiran hukum, karena menilai apakah berdampak baik atau buruk dari suatu kebijakan yang dibuat. Jika berdampak buruk apakah menimbulkan kerugian dan berdampak tidak adil terhadap kebijakan yang diterapkan. Isi dari hukum itu sendiri adalah ketentuan tentang pengaturan penciptaan kesejahteraan Negara.29 Kemanfaatan hukum dirasakan perlu dalam kehidupan bermasyarakat. Hal itu disebabkan dalam berlakunya hukum yang mengatur suatu masyarakat harus memberikan manfaat kepada masyarakat itu sendiri. Hukum ditegakkan tidak hanya untuk keadilan semata namun juga harus memperhatikan keadilan bagi masyarakat yang tunduk pada aturan hukum tersebut. Indonesia yang memiliki masyarakat yang beragam dari segi latar belakang, baik suku, budaya, agama, ras, dan lain sebagainya, menjadikan hukum ataupun aturan hukum yang ada harus sedemikian rupa sehingga dapat dirasakan manfaatnya bagi keseluruhan masyarakat, tidak hanya dalam kelompok-kelompok tertentu saja. 28
Sonny Keraf, 1998, Etika Bisnis Tuntunan dan Relevansinya, Kanisius, Yogyakarta, hal.93-94 29 Lili Rasjidi dan I.B Wyasa Putra,1993, Hukum sebagai Suatu Sistem, Remaja Rosdakarya, Bandung, hal.79-80
25 Kemanfaatan hukum dalam kajian kali ini, dikaitkan dengan dasar hukum yang berlaku apakah sudah mempunyai manfaat untuk masing-masing pihak, tidak hanya untuk pemegang hak guna bangunan tetapi juga harus dirasakan manfaatnya untuk pemegang hak milik atas tanah. Kemanfaatan hukum seperti yang telah di jelaskan di atas, hendaknya dirasakan oleh semua pihak tanpa memihak pihak-pihak tertentu. Hal ini berkaitan dengan perlindungan hukum yang dirasakan masing-masing pihak dalam pemberian Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik. 1.5.3.3 Keadilan Hukum Pengertian mengenai keadilan hukum dikemukakan oleh beberapa pakar hukum. Salah satunya adalah Maria S.W Sumardjono yang mengatakan, bahwa dalam pengertian keadilan, secara umumn dapat dipahami sebagai keadilan “membagi” atau distributive justice, “yang secara sederhana menyatakan bahwa kepada setiap orang diberikan bagian atau haknya sesuai dengan kemampuan atau jasa dan kebutuhan masing-masing.”30 Namun tidak dapat dilupakan bahwa keadilan itu bukanlah hal yang statis ataupun tetap namun dapat dipandang sebagai suatu proses yang dinamis dan senantiasa bergerak diantara berbagai faktor, termasuk equality atau persamaan hak itu sendiri. Berbicara mengenai teori keadilan maka tidak akan pernah bisa dilepaskan dengan apa yang telah di kemukakan oleh John Rawls. Rawls mengemukakan teori keadilan dalam bukunya yang berjudul “A Theory of 30
Maria S.W Sumardjono, Op.cit, hal.175
26 Justice”. Teori Rawls itu sendiri mempunyai dasar atas dua prinsip yaitu: Equal Right dan juga Economic Equality. Equal Right dikatakan harus diatur dalam tataran leksikal, yaitu different principles bekerja jika prinsip pertama bekerja atau dengan kata lain prinsip perbedaan akan bekerja jika basic right tidak ada yang dicabut (tidak ada pelanggaran HAM) dan meningkatkan ekspektasi mereka yang kurang beruntung. Dalam prinsip Rawls ini ditekankan harus ada pemenuhan hak dasar sehingga prinsip ketidaksetaraan dapat dijalankan dengan kata lain ketidaksetaraan secara ekonomi akan valid jika tidak merampas hak dasar manusia.31 Teori Rawls seperti yang telah dijabarkan diatas maka dapat disimpulkan bahwa memiliki inti sebagai berikut: a) Memaksimalkan kemerdekaan. Pembatasan terhadap kemerdekaan ini hanya untuk kepentingan kemerdekaan itu sendiri, b) Kesetaraan bagi semua orang, baik kesetaraan dalam kehidupan sosial maupun kesetaraan dalam bentuk pemanfaatan kekayaan alam (“social goods”). Pembatasan dalam hal ini hanya dapat dizinkan bila ada kemungkinan keuntungan yang lebih besar. c) Kesetaraan kesempatan untuk kejujuran, dan penghapusan terhadap ketidaksetaraan berdasarkan kelahiran dan kekayaan.32 Hans Kelsen juga mengemukakan pendapatnya dalam Buku Teori Umum tentang Hukum dan Negara, pendapat tersebut menjeaskan bahwa Keadilan, “dalam arti legalitas, adalah suatu kualitas yang berhubungan bukan dengan isi dari suatu tatanan hukum positif, melainkan dengan penerapannya.”33 Keadilan dalam Negara Indonesia menjadi penting karena dalam Pancasila Sila Kelima merumuskan mengebai keadilan, yaitu : “Keadilan 31
http://staff.blog.ui.ac.id/arif51/2008/12/01/teori-keadilan-john-rawls/, Diakses pada tanggal 26 Desember 2012 32 http://ilhamendra.wordpress.com/2010/10/19/teori-keadilan-john-rawlspemahaman-sederhana-buku-a-theory-of-justice/, diakses pada tanggal 26 Desember 2012 33 Hans Kelsen, 2011, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara,terjemahan Raisul Muttaqien, Nusa Media, Bandung, hal.17
27 sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Hal serupa dikatakan oleh Bismar Siregar, dalam buku Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, karangan Darji Darmodiharjo dan Shidarta, yang menyatakan bahwa bila untuk menegakkan keadilan, saya korbankan kepastian hukum, akan saya korbankan hukum itu, karena hukum hanyalah sarana, sedangkan tujuannya adalah keadilan.34 “Menurut Notohamidjojo, Keadilan Sosial menuntut supaya manusia hidup dengan layak dalam masyarakat. Masing-masing harus diberi kesempatan menurut kepatutan kemanusiaan (menselijke waardigheid)”.35 Aristoteles juga berpendapat mengenai keadilan. Bagi Aristoteles sendiri, keadilan adalah kebajikan yang berkaitan dengan hubungan antar manusia. Aristoteles menyatakan : “Justice consists in treating equals equally dan unequals unequally, in proportion to their inequality”.36 Keadilan kemudian dibagi menjadi dua bentuk, keadilan distribusi dan keadilan korektif. “Keadilan distributif dalam peraturan perundang-undangan artinya peraturan yang adil, yaitu peraturan yang di dalamnya terdapat keseimbangan antara
kepentingan-kepentingan
yang
dilindungi,
atau
setiap
orang
memperoleh sebanyak mungkin yang menjadi bagiannya.”37
34
Dardji Darmodihardjo dan Shidarta, 1996, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 154 35 Ibid, hal. 165 36 Agus Yudha Hernoko, 2008, Hukum Perjanjian Asas Proposionalitas Dalam Kontrak Komersial, Laksbang Mediatama, Yogyakarta, hal. 36 37 L.J van Apeldoorn, 2009, Pengantar Ilmu Hukum, terjemahan Oetarid Sadino, Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 11
28 Pendapat mengenai keadilan juga diungkapkan oleh I Nyoman Alit Puspadma dalam disertasinya, mengenai bagaimana seharusnya keadilan itu diberikan berdasarkan kontribusi seseorang terhadap kewajibannya : Demikian pula semestinya diatur, bahwa bagi orang yang telah memberikan kesejahteraan kepada orang banyak, undang-undang seharusnya memberikan hak yang lebih kepadanya, karena dengan telah memberikan kesejahteraan kepada orang banyak, berarti dia telah melakukan kewajibannya, oleh karena itu dia berhak atas hak yang lebih baik.38 Menurut Andre Ata Ujan, dalam membangun teori keadilan ini diharapkan mampu menjamin distribusi yang adil antara hak dan kewajiban dalam suatu masyarakat yang teratur. “Kondisi ini dapat dicapai atau dirumuskan apabila ada kondisi awal yang menjamin berlangsungnya suatu proses yang fair yang disebut “posisi asli”, yaitu yang ditandai oleh prinsip kebebasan, rasionalitas dan kesamaan.39 Keadilan dapat terwujud apabila menegakkan enam prinsip menurut Beauchamp dan Bowie, yaitu diberikan : a) b) c) d) e) f)
38
Kepada setiap orang bagian yang sama; Kepada setiap orang sesuai dengan kebutuhan individualnya; Kepada setiap orang sesuai dengan haknya; Kepada setiap orang sesuai dengan usaha individualnya; Kepada setiap orang sesuai dengan kontribusinya; dan Kepada setiap orang sesuai dengan jasanya (merit)40
I Nyoman Alit Puspadma, 2013, Perpanjangan Hak Guna Bangunan Oleh Perseroan Terbatas Menuju Investasi Yang Berkelanjutan dan Menyejahterakan Rakyat (Kajian Terhadap Kepastian Hukum dan Keadilan), Disertasi, Program PascasarjanaUniversitas Brawijaya, Malang, hal. 65 39 Andre Ata Ujan, 2005, Keadilan dan Demokrasi, telaah Filsafat Politik John Rawls, Kanisius Cetakan Ke 5, Yogyakarta, hal. 25-26 40 L.J van Kan dan J.H Beekhuis, 1990, Pengantar Ilmu Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 95
29 Keadilan menjadi sangat penting untuk dibicarakan dalam kaitannya dengan penulisan hukum ini, hal ini disebabkan bahwa penulis ingin meneliti mengenai hak dan kewajiban dari pemegang hak guna bangunan yang ada di atas tanah hak milik, dan pemegang hak milik yang diatasnya diberikan Hak Guna Bangunan. Keadilan dapat juga kita lihat dalam Pancasila. Menurut I Nyoman Alit Puspadma, adalah sebagai berikut : Sila kelima dari Pancasila telah dengan tegas mengamanatkan keserasian antara hak dan kewajiban yang hidup dalam masyarakat. Hak dan kewajiban akan selalu bergandengan dalam kehidupan masyarakat, oleh karena itu untuk menciptakan keadilan, maka hak dan kewajiban ini harus diberikan secara seimbang.41 Ketiga tujuan hukum yang telah dijelaskan tersebut di atas tidaklah dapat dilaksanakan secara bersamaan. Hal itu karena seringnya terjadi benturan antara satu dengan yang lainnya. Ketiga tujuan hukum dilaksanakan dengan menggunakan “asas prioritas”. Mana yang dirasa lebih dominan untuk dilakukan maka itulah yang diprioritaskan, karena “dalam kenyataanya sering sekali antara kepastian hukum terjadi benturan dengan kemanfaatan, atau antara keadilan dengan kepastian hukum, antara keadilan terjadi benturan dengan kemanfaatan.”42 Namun, dari ketiga tujuan hukum tersebut di atas keadilan harus menempati posisi yang pertama dan utama dari pada kepastian dan kemanfaatan.
41
I Nyoman Alit Puspadma,Op.cit, hal. 68 http://sonny-tobelo.blogspot.com/2010/10/teori-tujuan-hukum-gustavradbruch-dan.html, Diakses Pada Tanggal 26 Desember 2012 42
30 1.5.4 Teori Perlindungan Hukum Philipus M. Hadjon mengemukakan, perlindungan hukum dalam kepustakaan
hukum
berbahasa
Belanda
dikenal
dengan
sebutan
“rechbescherming van de burgers”43. Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa perlindungan hukum berasal dari bahasa Belanda, yakni “rechbescherming” dengan mengandung pengertian bahwa dalam kata perlindungan terdapat suatu usaha untuk memberikan hak-hak pihak yang dilindungi sesuai dengan kewajiban yang dilakukan. Perlindungan hukum merupakan konsep yang universal dari Negara hukum. Perlindungan hukum diberikan apabila terjadi pelanggaran maupun tindakan yang bertentangan dengan hukum yang dilakukan oleh pemerintah, baik
perbuatan
masyarakat
penguasa
yang
melanggar
undang-undang
maupun
yang harus diperhatikannya. Pengertiannya dalam kata
perlindungan hukum terdapat suatu usaha untuk memberikan hak-hak yang dilindungi sesuai dengan kewajiban yang harus dilakukan. Perlindungan Hukum terhadap rakyat terdapat 2 (dua) macam perlindungan hukum yaitu : 1) Perlindungan Hukum Preventif, yaitu kepada rakyat diberi kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapatkan bentuk yang definitive. Perlindungan hukum preventif mencegah terjadinya sengketa.
43
Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya, hal.1
31 2) Perlindungan Hukum Represif, bertujuan menyelesaikan sengketa perlindungan hukum preventif sangat besar artinya bagi pemerintah yang didasarkan kebebasan bertindak karena dengan adanya perlindungan hukum preventif, pemerintah terdorong untuk bersifat hati-hati dalam mengambil keputusan yang didasarkan pada diskresi. Dengan pengertian demikian, penanganan perlindungan hukum bagi rakyat oleh peradilan umum di Indonesia termasuk perlindungan hukum represif. Teori perlindungan hukum digunakan sebagai pisau analisis untuk menganalisis perlindungan hukum yang ada didalam pemberian hak guna bangunan diatas tanah hak milik. Perlindungan hukum yang dimaksud untuk memberikan hak-hak pihak yang dilindungi sesuai dengan kewajiban yang dilakukan. Pihak yang dimaksud adalah pemegang hak guna bangunan di atas tanah hak milik, dan pemegang hak milik yang diatasnya diberikan hak guna bangunan. 1.5.5 Teori Hak dan Kewajiban Teori hak dan kewajiban dalam penulisan hukum ini digunakan untuk dijadikan pisau analisis rumusan masalah yang membahas mengenai hak dan kewajiban pemegang hak guna bangunan di atas tanah hak milik, dan pemegang hak milik yang diatasnya diberikan hak guna bangunan. Hak yang dimaksudkan adalah hak hukum. Hans Kelsen berpendapat mengenai hak hukum dan kewajiban hukum sebagai berikut: Jika hak itu adalah hak hukum, hak tersebut mesti merupakan hak atas perbuatan orang lain, atas perbuatan yang menurut hukum merupakan kewajiban dari orang lain itu. Hak hukum mensyaratkan kewajiban
32 hukum orang lain. Kewajiban ini ada dengan sendirinya bila kita berbicara tentang hak atas perbuatan orang lain.44 Suatu hak hanya dapat dikatakan sebagai hak hukum apabila hak tersebut berkaitan dengan kewajiban yang dipikul oleh orang lain. Namun terdapat juga pandangan yang menyatakan bahwa tidak semua hak terjadi harus diikuti oleh suatu kewajiban dan begitu pula sebaliknya. Pandangan ini dikemukakan oleh N.M. Kurkunov bahwa : Every right supposes, necessarly, a corresponding obligation. If the obligation does not exist, there will be only a permission and not a right. But an obligation may sometimes exist without a corresponding right. this happens when the interest which constitutes the subject-matter of the corresponding right arises subsequently to it or is temporarily suspended.45 Pernyataan N.M. Kurkunov tersebut di atas mengandung pengertian bahwa setiap hak harus diikuti suatu kewajiban. Bila tidak ada kewajiban maka, hak itu tidak ada, yang ada hanyalah suatu permohonan saja, suatu kewajiban timbul tidak selalu diikuti dengan perolehan hak.
44
Hans Kelsen, Op.cit, hal.110 Korkunov, N.M., 1922, General Theory of Law, English Translation by W.G Hastings, Dean of the law faculty, University of Nebraska, Second Edition, New Book The Macmillan Company, p. 211 45
33 1.5.6 Kerangka Berpikir Pemberian Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik atas tanah di Kabupaten Badung
Das Sollen Jangka waktu Pemberian HGB diatas HM adalah 30 tahun
Teori Tujuan Hukum (Keadilan hukum) Teori Hak dan Kewajiban
Konsep Hak atas tanah Konsep Negara Hukum Teori Tujuan Hukum (Kepastian hukum & Kemanfaatan hukum) Teori Perlindungan Hukum
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMEGANG HAK GUNA BANGUNAN DI ATAS HAK MILIK ATAS TANAH DI KABUPATEN BADUNG
Peraturan Perundangundangan -
KUH Perdata UUD 1945 UUPA PP No 40 Tahun 1996 PP No 24 Tahun 1997 PMA No 3 tahun 1997
Das Sein Dalam Pelaksanaanya didapati pemberian HGB diatas HM selama 50 tahun
1. Apa yang menjadi hak dan kewajiban bagi pemegang hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik dan Pemegang hak Milik atas tanah yang di atasnya diberikan Hak Guna Bangunan
2. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap pemegang hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik dan Pemegang hak Milik atas tanah yang di atasnya diberikan Hak Guna Bangunan
34
Keterangan : Pemberian Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik atas tanah di Kabupaten Badung didasarkan pada peraturan perundang-undangan diantaranya adalah KUH Perdata,UUD 1945, UUPA, PP No 40 Tahun 1996, PP No 24 Tahun 1997, dan PMA No 3 tahun 1997. Jangka waktu yang diatur adalah 30 tahun. Dalam kenyataannya pemberian Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik ada yang memberikan selama 50 tahun. Perlindungan hukum diberikan apabila hak-dan kewajiban sama-sama terpenuhi dengan baik. Oleh sebab itu sebelum meneliti mengenai perlindungan hukumnya, penulis ingin memaparkan terlebih dahulu hak dan kewajiban dari masing-masing pihak. Setelah hak dan kewajiban dipaparkan kemudian meneliti perlindungan hukum bagi kedua belah pihak, dan faktor lain yang dapat memberikan perlindungan hukum selain pemenuhan hak dan kewajiban. Dalam penulisan hukum ini penulis menitikberatkan pada perlindungan hukum bagi pemegang hak guna bangunan. 1.6 Metode Penelitian Metode adalah proses, prinsip-prinsip dan tata cara memecahkan suatu masalah, sedangkan metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu.46 Penelitian merupakan terjemahan dari bahasa Inggris yaitu “research” yang berasal dari kata “re” (kembali) dan to “search” 46
Bambang Sunggono, 1977, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 44
35 (mencari). Apabila digabung berarti mencari kembali.47 Jadi metode penelitian adalah sebagai suatu aktifitas yang mengandung prosedur tertentu berupa serangkaian cara atau langkah yang disusun secara terarah, sistematis dan teratur48 Van Peursen menerjemahkan pengertian metode secara harfiah, “mulamula metode diartikan sebagai suatu jalan yang harus ditempuh menjadi penyelidikan atau penelitian berlangsung menurut suatu rencana tertentu.”49 Metode penelitian
merupakan hal yang paling penting dalam kegiatan
penelitian, untuk mendapatkan data kemudian menyusun, mengolah, dan menganalisisnya. Dalam penelitian ini digunakan metode penelitian yang digunakan penulis adalah sebagai berikut : 1.6.1
Jenis Penelitian Berdasarkan pada masalah yang diajukan, maka penulis didalam penulisan
hukum ini menggunakan jenis penelitian dalam bentuk penulisan hukum yang bersifat yuridis empiris, yaitu mendekati masalah dari peraturan perundangundangan yang berlaku dan penerapannya dalam kenyataan yang terjadi dalam masyarakat dalam hal ini pada pemberian hak guna bangunan diatas hak milik atas tanah di Kabupaten Badung. Dalam penelitian hukum ini, dilakukan penelitian terhadap penemuan hukum in concreto, yaitu menemukan berhasil tidaknya pelaksaan pemberian 47
Ibid, hal. 27 Bahder Johan Nasution, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, hal. 3 49 Johny Ibrahim, 2006, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Publishing Malang, hal. 26 48
36 hak guna bangunan di atas hak milik di Kabupaten Badung Bali. Serta mengetahui hak dan kewajiban yang dimilik oleh pemegang hak guna bangunan dan hak milik. 1.6.2 Sifat Penelitian Dilihat dari sudut sifatnya menurut Amirudin dan Zainal Asikin, penelitian dibedakan menjadi tiga jenis yaitu : 1. Penelitian yang bersifat eksploratif (penjajakan atau penjelajahan), yang umumnya dilakukan terhadap pengetahuan yang masih baru, belum banyak ditemukan informasi mengenai masalah yang diteliti, atau bahkan belum ada sama sekali, seperti belum adanya teori-teori dan normanorma. Kalaupun ada namun hal itu masih relative sedikit. Oleh karena itu dalam penelitian ini tidak menggunakan hipotesis. 2. Penelitian yang bersifat deskriptif, yang bertujuan untuk menggambarkan secara tepat sifat-sifat individu, keadaan, gejala atau suatu kelompok tertentu, atau untuk menentukan penyebaran suatu gejala, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lainnya dalam masyarakat. Dalam penelitian ini teori-teori, ketentuan peraturan, norma-norma hukum, karya tulis yang dimuat, baik dalam literature maupun jurnal, doktrin serta laporan penelitian terdahulu sudah mulai ada, bahkan jumlahnya cukup memadai. Sehingga dalam penelitian ini hipotesis tidak mutlak harus diperlukan, atau dengan kata lain hipotesis boleh ada boleh juga tidak.
37 3. Penelitian yang bersifat eksplanatif (menerangkan) bertujuan menguji hipotesis-hipotesis tentang ada tidaknya hubungan sebab akibat antara berbagai variabel yang diteliti. Penelitian ini baru dapat dilakukan apabila informasi-informasi tentang masalah yang diteliti sudah cukup banyak, yaitu adanya beberapa teori tertentu dan telah ada berbagai penelitian empiris yang menguji berbagai hipotesis tertentu. Oleh karena itu disini hipotesis mutlak harus ada.50 Berkenaan dengan jenis penelitian di atas, maka penelitian tesis ini bersifat deskriptif, karena ingin menggambarkan kenyataan yang terjadi. Penelitian deskriptif merupakan penelitian yang bertujuan melukiskan tentang sesuatu hal di daerah tertentu pada saat tertentu dan untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lainnya dalam masyarakat.51 1.6.3
Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ditentukan secara purposive yaitu pada Kantor
Notaris/PPAT di Kabupaten Badung. 1.6.4
Jenis dan Sumber Data Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari
2 jenis data yaitu data primer (lapangan) dan data sekunder (kepustakaan). Data primer atau lapangan diperoleh dari Kantor Notaris/PPAT di Kabupaten
50
Amirudin dan Zainal Asikin, 2010, Pengantar Metode Penelitian Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 25 51 Bambang Waluyo, 2008, Penelitian Hukum dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 8
38 Badung
dan data sekunder atau kepustakaan diperoleh dari buku-buku
literatur yang ada kaitannya dengan masalah yang diteliti. a. Jenis data Jenis data yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah Data Primer dan Data Sekunder. 1. Data primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh secara langsung dari penelitian lapangan, melalui wawancara dengan pihak-pihak yang terkait dalam proses pemberian hak guna bangunan diatas tanah hak milik. 2. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan dengan cara studi dokumen terhadap bahan-bahan hukum yang terdiri dari : a) Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer terdiri atas asas dan kaidah hukum. Perwujudan asas dan kaidah hukum ini dapat berupa peraturan dasar maupun peraturan perundang-undangan. Adapun bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria; 3. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah;
39 4. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran tanah; 5. Peraturan Menteri Negara Agraria/kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997; b) Bahan Hukum Sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah buku-buku yang terkait dengan hukum agrarian, metode penelitian hukum, makalah, hasil penelitian, artikel dan karya ilmiah lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini.52 c) Bahan hukum tersier yang digunakan dalam penelitian ini adalah kamus hukum. b. Sumber data Sumber data yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah sumber data primer dan sumber data sekunder. 1. Sumber Data Primer Sumber data primer yang digunakan dalam penelitian ini berasal ari hasil wawancara dengan pihak-pihak yang terkait dalam pemberian hak guna bangunan diatas tanah hak milik di Kabupaten Badung, Notaris/PPAT yang menangani pemberian hak guna bangunan diatas tanah hak milik di Kabupaten Badung.
52
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media, Jakarta, hal. 141
40 2. Sumber Data Sekunder Sumber data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari kepustakaan yang meliputi bahan-bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. 1.6.5 Populasi dan Tehnik Penentuan Sampel Populasi yang diambil dalam penelitian hukum ini adalah Kantor Notaris/PPAT di Kabupaten Badung. Sedangkan sampel yang diteliti dari 3 (tiga) buah populasi tersebut akan diteliti sebanyak 3 (tiga) Kantor Notaris/PPAT
di
Kabupaten
Badung
dengan
menggunakan
tehnik
Nonprobability/Nonrandom Sampling atau sampel tidak acak dengan menggunakan metode purposive sampling. Populasi yang dipilih menjadi sampel telah sebelumnya dipilih dan direncanakan oleh peneliti karena populasi ini bersifat heterogen, dimana setiap populasi tidak semuanya dapat mewakili seluruh unit populasi.53 Peneliti memperoleh informasi dari informan. Informan yaitu seseorang yang memiliki informasi terhadap permasalahan dalam penelitian ini. Adapun informan tersebut diambil dari para pihak yang terlibat didalam pemberian Hak Guna Bangunan diatas tanah Hak Milik (pemegang Hak Guna Bangunan dan pemegang Hak Milik). 1.6.6 Metode dan Teknik Pengumpulan Data a.
Untuk mengumpulkan data lapangan digunakan teknik wawancara. Jenis wawancara yang digunakan adalah wawancara terstruktur, yang telah disusun terlebih dahulu pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan dan
53
Amirudi dan Zainal Asikin, Op.cit, hal. 98
41 semua terwawancara ditanyai dengan pertanyaan yang sama.
Dengan
teknik wawancara akan lebih mudah mendapatkan informasi yang diinginkan, seperti yang dinyatakan oleh William D. Crano dan Marilyn B. Brewer, bahwa : “in surevey research personal contact is achieve higher response rates than the more impersonal question approach.”54 Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara yang mengajukan pernyataan dan terwawancara yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu.55 “Pokok-pokok yang dijadikan dasar pertanyaan diatur secara terstruktur. Keuntungan wawancara terstruktur ialah jarang mengadakan pendalaman pertanyaan yang dapat mengarahkan terwawancara agar sampai berdusta.”56 Hal ini dimaksudkan bahwa dengan menggunakan wawancara terstruktur maka informan atau terwawancara dalam menjawab pertanyaan dengan spontan. b.
Data sekunder diperoleh melalui penelitian kepustakaan, yang dilakukan atas bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan penelitian. Data kepustakaan sebagai data sekunder diperoleh melalui pengkajian serta penguraian bahan hukum primer yang terdiri dari buku-buku,
54
Crano, William D. and Brewer, Marilyn B., 2002, Principles and Methodes of Social Research, Lowrence Erlbaum Associates, Mahwah, New Jersey, hal. 223. 55 Lexy J. Moleong, 2013, Metodologi Penelitian Kualitatif, edisi revisi, PT. Remaja Rosdakarya cetakan ketigapuluh satu, Bandung, hal. 186 56 Ibid, hal. 190
42 literatus, makalah, hasil penelitian, artikel, ataupun karya ilmiah yang berhubungan dengan penelitian ini. 1.6.7
Teknik Analisis Data Setelah data terkumpul, maka langkah penting selanjutnya adalah analisis
data.57 Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis, yakni data yang telah dikumpulkan baik dari penelitian lapangan maupun kepustakaan di analisis dengan pendekatan kualitatif dan disajikan secara deskriptif sesuai dengan hasil penelitian kepustakaan dan analisis lapangan untuk dapat memperoleh kesimpulan yang tepat dan logis sesuai dengan permasalahan yang dikaji.58
57
Bambang Waluyo,Op.cit, hal. 19 Zainuddin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 107 58
43 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG FUNGSI TANAH, HAK MILIK, HAK GUNA BANGUNAN, PERLINDUNGAN HUKUM PEMEGANG HAK GUNA BANGUNAN 2.1
Tinjauan Umum Mengenai Fungsi Tanah Negara kita segala sesuatu yang berkaitan dengan tanah diatur dalam
UUPA. Menurut UUPA semua tanah dalam wilayah Republik Indonesia adalah tanah bersama seluruh rakyat Indonesia yang telah bersatu menjadi bangsa Indonesia. Setiap Warga Negara Indonesia mempunyai hak untuk menguasai dan menggunakan sebagian tanah bersama tersebut guna memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarganya. Hak-hak atas tanah tersebut ada yang bersifat sementara, ada juga hak yang tanpa batas (Hak Milik). “Penggunaan tanah tersebut tidak boleh hanya berpedoman pada kepentingan pribadi semata-mata, melainkan juga harus diingat kepentingan bersama yaitu kepentingan bangsa Indonesia”59 Beberapa
dasawarsa
terakhir
ini,
setelah
pembangunan
nasional
digalakkan oleh pemerintah, terasa benar betapa penting dan sulitnya masalah yang kita hadapi di bidang pertanahan. Bukan hanya jumlah permasalahan yang bertambah, tingkat kerumitan masalahnya pun bertambah. Dari masa ke masa tanah mengalami perkembangan dalam segi pemanfaatannya. Seperti yang dikatakan oleh Endang Suhendar :
59
Boedi Harsono, 2003, Hukum Agrarian Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, isi dan pelaksanaannya,Jilid 1, edisi Revisi. Jakarta, Djambatan, hal. 235-236
43
44 Pada masa pemerintahan Kolonial Belanda yang bersendi ekonomi liberal, memerlukan tanah untuk sumber penghasilannya. Dalam banyak catatan sejarah, banyak dilakukannya eksploitasi oleh pemerintah kolonial terhadap tanah dan tenaga kerja rakyat Indonesia. Dimulai dengan penerapan sistem sewa tanah, cultuurstelsel, hingga diterapkannya Undang-Undang Agraria 1870, rakyat Indonesia telah kehilangan hak atas tanah yang telah lama dikuasai oleh nenek moyangnya. Bahkan pemerintah kolonial memandang tanah sebagai alat pemikat bagi penanaman modal asing. Hal inilah yang mengawali tanah dipandang sebagai komoditas strategis dalam upaya menarik modal asing. 60 Pemerintahan Orde Baru mempunyai kebijakan pertanahan yang lebih ditekankan pada upaya mendorong tingkat pertumbuhan ekonomi. Kebijakan yang dibuat utamakan untuk memberikan kemudahan penyediaan tanag untuk berbagai kepentingan
pembangunan.
Kebijakan
pertanahan
orde
baru
tersebut
dikelompokkan kembali menjadi tiga periode. Ketiga periode itu adalah: 1. periode 1967- 1973. Periode ini dapat dikatakan sebagai periode eksploitasi sumber daya alam. Dikatakan demikian, karena pada periode ini pelaksanaan UUPA dibekukan. 2. periode 1973 - 1983. Periode ini disebut periode peningkatan produktivitas tanpa penataan struktur. Dikatakan demikian karena pada periode ini upaya mengejar tingkat produksi pangan melalui kebijakan revolusi hijau mendapatkan prioritas tinggi. Akan tetapi, tidak disertai pelaksanaan UUPA, sehingga terjadilah akumulasi penguasaan tanah pertanian di pedesaan. 3. periode 1983 - 1990-an. Periode ini dikatakan sebagai periode deregulasi, karena pada periode ini dilakukan deregulasi terhadap berbagai peraturan pertanahan yang dianggap dapat menghambat perolehan tanah untuk kepentingan investasi.61 Pandangan tanah sebagai komoditas strategis ditujukan untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Pandangan ini menarik untuk diamati karena hal ini merupakan perubahan pandangan terhadap masalah pertanahan itu 60
Endang Suhendar,1996, Menjadikan Tanah sebagai Komoditas. Jurnal Analisis Sosial. Vol 3/Juli., hal.2 61 Ibid, hal.6-7
45 sendiri. Secara umum UUPA sangat tidak setuju apabila tanah dipandang sebagai barang dagangan yang ditujukan untuk mencari keuntungan. Memperlakukan tanah sebagai barang dagangan berarti memperbolehkan siapa saja yang mempunyai uang dapat membelinya kapan saja dan di mana saja. Demikian pula bila memandang tanah sebagai komoditas strategis, berarti kita menyetujui adanya pasar tanah yang didalamnya terkandung pengertian tarik menarik kekuatan suplay dan demand. Pola ini pada gilirannya akan menciptakan suatu keadaan di mana pihak yang secara ekonomis kuat akan dapat menguasai tanah, yang pada akhirnya akan menciptakan terjadinya kepincangan struktur penguasaan tanah. Apabila
menganggap
tanah
sebagai
komoditas,
maka
sangat
memungkinkan terjadinya monopoli. Kristen A. Carpenter; Sonia K. Katyal; Angela R. Riley dalam tulisannya juga turut menjelaskan: Classic property theory, which rests on a monopolistic conception of the owner, focuses primarily on the liberal, autonomous individual. We believe that many critics of cultural property rely in part on this narrow understanding of property law--as fundamentally defined by ownership, with its rights of alienability and exclusion and its norms of commodification and commensurability. This conception leads to a potential overdetermination of the rights of the owner over all other actors, overlooking the emergent nature of other interests along the dual trajectories of static and dynamic rights. As a result, some critics discount the possibility that cultural property is a dynamic expression of human relationships--or that in some settings, property law can be both essential to, and as flexible as, culture itself.62
62
Kristen A. Carpenter; Sonia K. Katyal; Angela R. Riley. 2009. In Defense Of Property. Yale Law Journal. 118 Yale L.J. 1022 .(April, 2009), p. 36
46 Memperlakukan tanah sebagai komoditas strategis jelas bertentangan dengan UUPA. UUPA sendiri memang lahir dari suatu kerangka pemikiran sosialis-nasionalis Indonesia, sehingga dasar-dasar kebijakan pertanahanpun lebih
menitikberatkan
kepada
upaya
mengejar
kemakmuran
bersama
berdasarkan keadilan sosial. UUPA lebih menekankan kepada terciptanya suatu struktur agraria yang adil. Apabila kita menganggap tanah sebagai komoditas, selain bertentangan dengan UUPA maka hal tersebut juga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) serta amanat pendiri bangsa yang menyatakan bahwa monopoli di sektor agraria itu dilarang. Pengaturan tanah dalam era reformasi dimulai dengan diterbitkannya TAP MPR RI Nomor IX/MPR-RI/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Menurut Pasal 2 pada TAP MPR tersebut menjelaskan bahwa : Pembaruan Agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan sumber daya agrarian dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. Presiden Susilo Bambang Yudoyono pun pernah menyampikan pidato pada tanggal 31 Januari 2007 tentang reforma agraria yang akan dilaksanakan secara bertahap dan menyediakan tanah bagi rakyat miskin. Namun pada kenyataannya, peraturan perundang-undangan yang muncul pada masa reformasi masih lebih menguntungkan untuk “menfasilitasi pemodal, tanpa memberikan privilege kepada masyarakat luas. … pada era reformasi justru terbit UU Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi, UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air,
47 ... Berbagai kebijakan ini lahir untuk memudahkan para investor menanamkan modalnya di Indonesia.”
63
Peraturan perundang-undangan yang lahir tersebut
mencerminkan tanah masih dianggap sebagai salah satu faktor pendukung perekonomian. Hal ini mencerminkan fungsi tanah sebagai capital asset. Dewasa ini permasalahan tanah semakin kompleks. Tanah adalah alat produksi, jadi siapa yang menguasai tanah, termasuk yang terletak di daerah strategis, memiliki kemungkinan untuk memperoleh laba melimpah, sehingga tak bisa dihindari bahwa tanah tersebut di inginkan oleh orang bahkan kelompok tertentu. Hal tersebut pula yang menjadi salah satu latar belakang tanah dijadikan sebagai komoditi. Fungsi tanah berubah sesuai dengan sistem sosial, politik, dan ekonomi yang ada. Dalam sejarah fungsi tanah menurut ketiga sistem tersebut, diketahui fungsi tanah dalam sistem Kapitalis, Feodalisme, dan Sosialisme. Sistem Feodalisme tanah dimiliki secara pribadi namun tingkat eksplosif tidak terlalu tinggi. Hal ini dilatarbelakangi oleh perilaku masyarakat yang belum didorong kearah komsutivisme yang tinggi, terutama sebelum tumbuhnya kapitalisme. Tanah pada sistem feodalisme dijelaskan seperti di bawah ini : Tanah pada sistem Feodalisme dimiliki secara pribadi (oleh raja dan bangsawan), tapi eksploitfsi tidak terlalu tinggi. Hal ini terjadi karena masyarakat belum didorong kearah komsutivisme yang tinggi, terutama sebelum tumbuhnya kapitalisme ketika sistem feodal masih relatif murni. Tanah lebih merupakan alat untuk meningkatkan status sosial serta legitimasi kekuasaaan ketimbang alat pencetak laba. Keuntungan hasil tanah dimanfaatkan baik secara pribadi (untuk konsumsi petani dan bangsawan), juga untuk tujuan kolektif. Dalam sistem Kapitalis, tanah 63
http://www.gresnews.com/berita/tips/8121-tips-hukum-tanah-nasional-erareformasi/, diakses tanggal 22 Pebruari 2014
48 dimiliki secara pribadi (oleh pemodal) yang melakukan eksploitasi tinggi demi meraih keuntungan pribadi. Oleh karena itu, tanah senantiasa menjadi rebutan yang kadang-kandang memakai cara-cara kekerasan.64 Beranjak dari sistem feodalisme, kita mulai menganalisis tanah dalam sistem kapitalis, dapat dijelaskan sebagai berikut : Sistem Kapitalis semua barang akan menjadi alat produksi yang bisa menghasilkan laba. Begitupula halnya dengan tanah. Tanah menjadi komoditas. Tanah yang tidak produktif akan dialihkan fungsinya menjadi alat produksi yang menghasilkan nilai tanah. Tanah yang ada beralih ke tangan para pemodal yang akan memanfaatkan tanah untuk kepentingannya. Tanah bukan lagi alat prodiksi untuk konsumsipenggarapnya melainkan alat produksi untuk mencari laba sebesar-besarnya bagi pemiliknya. Tidak mengherankan bahwa dalam masa itu terjadi eksploitasi besar-besaran baik pada tanahnya sendiri maupun pada orang-orang yang menggarapnya (buruh). Inilah fungsi tanah dalam sistem kapitalisme adalah menghasilkan laba sebanyakbanyaknya.65 Berkembang dari sistem kapitalis menjadi sistem Sosialisme. Sosialisme itu sendiri adalah sebuah sistem yang berbeda dengan kapitalisme. Dalam sosialisme bertujuan untuk menciptakan sebuah masyarakat kebersamaan, saling menolong, bertujuan untuk kesejahteraan bersama. Sosialisme menjujung tinggi nilai-nilai kekeluargaan. Tanah yang ada dalam sistem sosialisme tidak lagi dimilik secara pribadi, tetapi secara kolektif. Tanah digunakan secara bersama dan dinikmati bersama. “Tanah merupakan alat produksi, tapi semua yang dihasilkan oleh tanah menjadi milik bersama yang akan dibagi secara adil
64
Arief Budiman. 1996.Fungsi Tanah Dalam Kapitalisme. Jurnal Analisis Sosial. Vol 3/Juli. hal 5 65 Ibid. hal 3
49 dengan demikian eksploitasi tanah bahkan manusia sudah tidak terjadi. Ketiga sistem tersebut tentu saja berbeda dengan apa yang terjadi di Indonesia.”66 Sistem Kapitalis juga dikenal di Indonesia, namun sistem kapitalis yang ada tidak secara keseluruhan diterapkan, seperti penjelasan di bawah ini : Sistem kapitalisme yang ada di Indonesia di sebut sebagai sistem kapitalisme semu. Kapitalisme semu ditandai dengan campur tangan pemerintah yang kuat. Perubahan sistem sosial, politik, dan ekonimi yang dialami Indonesia dari pemerintahan orde lama ke orde baru jauh berbeda. Jika dikaitkan dengan kasus pertanahan, maka dapat disimpulkan bahwa upaya pemilikan tanah oleh para pemodal tidak dilakukan melalui mekanisme pasar, tetapi dengan menggunakan kekuasaan pemerintah untuk merebut tanah-tanah tersebut. Keuasaaan pemerintah ini sering terwujud dalam proses perampasan yang melibatkan aparat negara. Seperti yang telah diuraikan di atas bahwa dalam pemerintahan orde baru, kebijakan pertanahan diarahkan pada kebijakan pertanahan untuk pertumbuhan ekonomi.67 Berbanding terbalik dengan pemerintahan orde lama yang lebih mengutamakan tanah untuk rakyat. Hal itu teruang dalam UUPA, yang didalamnya menyatakan secara jelas melarang perluasan tanah secara pribadi dalam jumlah luas. “Tanah lebih diprioritaskan untuk menunjang kehidupan rakyat.68 2.2 Tinjauan Umum Mengenai Hak Milik 2.2.1 Pengertian Hak Milik Hak milik diatur dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 27 UUPA. Dalam Pasal 20 menyatakan bahwa hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan mengingat ketentuan 66
Ibid. hal. 4 Ibid. hal. 7 68 Ibid. hal. 8 67
50 dalam Pasal 6. Kata “turun-temurun” dapat diartikan bahwa tanah tersebut dapat diteruskan pada ahli waris, sedangkan untuk kata “terkuat dan terpenuh” itu bermaksud untuk membedakan dengan hak-hak lainnya. Terkuat dapat diartikan sebagai hak memiliki dan atau menguasai atas tanah tersebut dengan jangka waktu yang tak terbatas dengan dilandasi adanya pendaftaran tanah. Terpenuh sama halnya dengan hak yang paling luas dan dapat menjadi induk dari hak lain. Selain itu Hak Milik juga mempunyai fungsi sosial. Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Pendapat mengenai Hak Milik banyak diutarakan oleh beberapa pakar. Penulis merangkum beberapa pendapat mengenai hak milik antara lain : a.
Kartini Mukjadi dan Gunawan Widjaya Hak milik merupakan hak yang paling kuat atas tanah, yang memberikan kewenangan kepada pemegangnya untuk memberikan kembali suatu hak lain di atas bidang tanah hak milik yang dimilikinya tersebut (dapat berupa hak guna bangunan atau hak pakai, dengan pengecualian hak guna usaha), yang hampir sama dengan kewenangan negara (sebagai penguasa) untuk memberikan hak atas tanah kepada warganya. Hak ini meskipun tidak mutlak sama, tetapi dapat dikatakan mirip dengan eigendom atas tanah menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang (paling) luas pada pemegangnya, dengan ketentuan harus memperhatikan ketentuan UUPA.69
b.
Adrian Sutedi : Hak Milik bisa merupakan induk dari hak-hak lainnya. Artinya seseorang pemilik tanah bisa memberikan tanah kepada pihak lain dengan hak-hak yang kurang dari hak milik: menyewakan, membagihasilkan, menggadaikan, meyerahkan tanah itu kepada orang lain dengan hak guna bangunan atau hak pakai. Hak milik tidak berinduk kepada hak atas tanah lain.70
69
Kartini Mukjadi dan Gunawan Widjaya, 2004, Hak-Hak Atas Tanah. Kencana, Jakarta, hal. 30 70 Adrian Sutedi, Op.cit, hal. 61
51 c. Erna Sri Wibawanti dan R. Murjiyanto : Meskipun Hak Milik adalah hak yang tertinggi dan terkuat, akan tetapi hak milik bukanlah hak yang mutlak dalam arti tidak dapat diganggu gugat, hak milik dibatasi dengan adanya fungsi sosial, dalam arti bahwa diatas hak milik tersebut juga melekat kepentingan sosial, kepentingan umum. 71 d. Badriyah Harun : Hak Milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat bahwa tanah memiliki fungsi sosial. Pemberian sifat ini tidak berarti, bahwa hak itu merupakan hak yang “mutlak, tak terbatas dan tidak dapat diganggu gugat” sebagai hak eigendom/hak milik menurut pengertiannya yang asli dulu. Sifat yang demikian terang bertantangan dengan sifat hukum adat dan fungsi sosial dari tiap-tiap hak. 72 Selain hak milik yang dikenal di Indonesia, di belanda dikenal juga istilah hak milik atas tanah (Eigendom). “Hak Kebendaan atas tanah yang paling penting di Belanda adalah hak milik. Setiap bagian tanah di Belanda dimiliki oleh seseorang.”73 Sama seperti di Indonesia hak milik merupakan hak yang paling penting, yang dapat dimiliki oleh seseorang. Seseorang dalam hal ini dijelaskan bahwa tidak hanya satu orang saja, tapi dapat dimiliki oleh beberapa orang secara sekaligus atas suatu tanah secara bersama-sama, sebuah perusahaan atau badan hukum, bahkan pemerintah dapat memilikinya. “Hak dari seorang pemilik,
kepemilikan
(“ownership”,
“eigendom”):
hak
yang
paling
komprehensif atas sebuah barang yang tidak bergerak”74
71
Erna Sri Wibawanti dan R. Murjiyanto, 2013, Hak Atas Tanah dan Peralihannya, Liberti, Yogyakarta, hal. 49 72 Badriah Harun, 2013, Solusi Sengketa Tanah dn Bangunan, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, hal.16 73 Arie S Hutagalung dkk, 2012, Hukum Pertanahan di Belanda dan Indonesia, Pustaka Larasan, Denpasar, hal.11 74 Ibid, hal. 9
52 2.2.2 Sifat dan Ciri-ciri Hak Milik Sifat hak milik ialah turun temurun, terkuat, dan terpenuh. Turun temurun berarti hak milik adalah tidak hanya berlangsung selama hidupnya orang yang memiliki hak tersebut, namun dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya jika pemegangnya meninggal dunia. Terkuat menunjukkan jangka waktu Hak Milik tidak terbatas dan merupakan hak yang terdaftar sehingga mudah dipertahankan terhadap pihak lain. Terpenuh dimaksudkan bahwa hak milik dapat dibebani dengan jenis hak atas tanah yang lain serta dapat juga dibebani hak tanggungan dan penggunaannya relatif lebih luas dari hak atas tanah yang lain. Hak Milik memberikan wewenang kepada pemegangnya yang paling kuat dibanding hak yang lain. Hak Milik merupakan induk dari hak lainnya, tidak berinduk kepada hak atas tanah lain karena Hak Milik adalah hak yang paling penuh. Penggunaannya juga tak terbatas untuk keperluan tertentu saja, berbeda dengan hak atas tanah lainnya. Selain dari turun-temurun, terkuat, dan terpenuh, ada sifat lain dari tanah Hak Milik yaitu mempunyai fungsi sosial. “Fungsi sosial berarti, bahwa hak atas tanah apa pun yang ada pada seseorang tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat.”75 Hal tersebut sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Erna Sri Wibawanti dan R. Murjiyanto, bahwa “pemegang Hak Milik tidak boleh menggunakan atau 75
Badriah Harun, Op.cit, hal. 17
53 tidak menggunakan tanahnya yang mengakibatkan kerugian kepentingan orang lain. Pemegang Hak Milik tidak boleh menelantarkan tanahnya, harus memanfaatkan tanahnya sesuai dengan fungsi tanahnya.”76 “Berhubung dengan fungsi sosialnya, maka adalah suatu hak yang sewajarnya bahwa tanah itu harus dipelihara
baik-baik,
agar
bertambah
kesuburannya
serta
dicegah
kerusakannya.”77 Selain membahas mengenai sifat dari pada Hak Milik, maka penulis juga akan membahas mengenai cirri-ciri dari hak milik. Hak Milik memiliki ciri-ciri antara lain : 1) Dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan. Selain Hak Milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan juga dapat dijadikan jaminan utang dengan pembebanan Hak Tangunggan. 2) Dapat digadaikan. Berbeda dengan Hak Tanggungan, gadai bukan hak jaminan. Hak milik dapat dijadikan utang tetapi tanahnya diserahkan pada kekuasaan pemegang gadai. Pemegang gadai berwenang mengusahakan tanah tersebut dan mangambil hasilnya. Pemegang gadai juga dapat menyewakan atau membagihasilkan tanah tersebut kepada orang lain, Hak gadai bukan hak jaminan tetapi hak atas tanah. 3) Dapat dialihkan kepada orang lain. Peralihan hak milik dapat dilakukan dengan jual beli, tukar menukar, hibah, wasiat, dan lain-lain.
76 77
Erna Sri Wibawanti dan R. Murjiyanto, Op.cit, hal. 49 Badriah Harun, Op.cit, hal. 18
54 4) Dapat dilepaskan dengan sukarela. Pelepasan hak tersebut ditujukan kepada pemerintah. 5) Dapat diwakafkan, karena jangka waktunya tidak terbatas. Pemilikan mempunyai sosok yang lebih jelas dan pasti. Menurut Fitgerald, ciri hak-hak dalam pemilikan, yakni: 1) Pemilik mempunyai hak memiliki barangnya. Ia mungkin tidak memegang atau menguasai barang tersebut, oleh karena barang tersebut mungkin telah direbut daripadanya oleh orang lain. Sekalipun demikian, hak atas barang itu tetap ada pada pemegang hak semula; 2) Pemilik biasanya mempunyai hak untuk menggunakan dan menikmati barang yang dimilikinya, yang pada dasarnya merupakan kemerdekaan bagi pemilik untuk berbuat terhadap barangnya; 3) Pemilik mempunyai hak untuk menghabiskan, merusak atau mengalihkan barangnya. Pada orang yang menguasai suatu barang, hak untuk mengalihkan itu tidak ada padanya karena adanya asas memo dat quod non habet, oleh karena si penguasa tidak mempunyai hak dan karenanya juga tidak dapat melakukan pengalihan hak kepada orang lain; 4) Pemilikan tidak mempunyai ciri yang tidak mengenal pembatasan jangka waktu. Ciri ini sekali lagi membedakan dari penguasaan, oleh karena yang disebut terakhir terbuka untuk penentuan lebih lanjut di kemudian hari, sedang pada pemilikan secara teoritis berlaku untuk selamanya; 5) Pemilikan mempunyai ciri yang bersifat sisa. Seorang pemilik tanah dapat menyewakan tanahnya kepada A, memberikan hak untuk melintasi tanahnya kepada B, dan kepada C memberikan hak yang lain lagi, sedang ia tetap memiliki hak atas tanah itu yang terdiri dari sisanya sesudah hak-haknya itu ia berikan kepada mereka itu. Dibandingkan dengan pemegang hak untuk melintasi tanah itu, maka hak dari pemilik bersifat tidak terbatas. Disini akan dinyatakan, bahwa hak yang pertama bersifat menumpang pada hak pemilik yang asli dan keadaan ini disebut sebagai ius in re aliena. 78 2.2.3 Subyek Hak Milik Hak milik hanya dapat dimiliki oleh Warga Negara Indonesia (WNI) tunggal saja, dan tidak dapat dimiliki oleh Warga Negara asing dan badan hukum, baik yang didirikan di Indonesia maupun yang didirikan di luar negeri.
78
Satjipto Rahardjo, 1982, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, hal. 106-107
55 Pada dasarnya badan-badan hukum tidak dapat memiliki hak milik atas tanah. Namun diadakanlah escape clause yang memungkinkan badan-badan hukum tertentu mempunyai Hak Milik. “Escape clause adalah setiap klausa, atau ketentuan dalam kontrak yang memungkinkan pihak dalam kontrak bahwa untuk menghindari keharusan untuk melakukan kontrak.”79 Pengecualian badanbadan hukum tertentu yang dapat memiliki Hak Milik atas tanah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963. Badan-badan hukum yang ditunjuk dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 terdiri dari : 1) Bank-bank yang didirikan oleh Negara (selanjutnya disebut bank Negara). 2) Perkumpulan-perkumpulan koperasi pertanian yang didirikan berdasarkan atas Undang-undang Nomor 79 Tahun 1958. 3) Badan-badan keagamaan, yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria setelah mendengar Menteri Agama. 4) Badan-badan sosial yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria setelah mendengar Menteri Kesejahteraan Sosial. Dengan ketentuan demikian, berarti setiap orang tidak dapat begitu saja melakukan pengalihan Hak Milik atas tanah. Ini berarti UUPA memberikan pembatasan peralihan hak milik atas tanah. “Hak Milik yang diberikan kepada badan-badan hukum tersebut hanya yang sudah dipunyai sebelum berlakunya
79
Ibid, hal. 20
56 UUPA, sedangkan sesudah berlakunya UUPA diberikan Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai.”80 Orang asing sesuai ketentuan Pasal 21 ayat (3) dapat memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan. Demikian pula WNI yang mempunyai Hak Milik kemudian kehilangan kewarganegaraannya, wajib melepaskan hak tersebut dalam jangka waktu satu tahun sejak hilangnya kewarganegaraannya tersebut. Jika telah lewat satu tahun, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada Negara. “Begitupula dengan pemilik kewarganegaraan ganda. Dalam UUPA diatur hal demikian bahwa selama seseorang disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing maka ia tidak dapat mempunyai tanah dengan Hak Milik.”81 Sesuai dengan Pasal 49 ayat (1) UUPA, yaitu badan-badan hukum yang bergerak dalam bidang sosial dan keagamaan dapat mempunyai Hak Milik atas tanah, sepanjang penggunaan berhubungan dengan usaha sosial dan keagamaan adalah sebagai berikut: 1) Kegiatan-kegiatan yang langsung berhubungan dengan keagamaan adalah: a) Penggunaan dan peruntukan langsung sebagai tempat ibadah Peribadatan (misalnya Masjid, Gereja, Pura, Vihara, dan lain-lain); b) Penggunaan dan peruntukannya benar-benar/langsung untuk syi’ar agama (misalnya Pondok pesantren, dan lain-lain)
80 81
Adrian Sutedi, Op.cit, hal. 63 Badriah Harun, Op.cit, hal. 21
57 2) Hal-hal yang berhubungan dengan sosial adalah penggunaan dan peruntukan benar-benar bukan kegiatan mencari keuntungan, namun semata-mata untuk kegiatan sosial (nonprofitoriented) misalnya, Yayasan yatim piatu, Panti Jompo, dan lain-lain. Badan-badan hukum Keagamaan dan Sosial ini untuk mengajukan hak milik harus memenuhi persyaratan: 1) Akta pendirian/Anggaran Rumah Tangga terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat. 2) Pendaftaran dan rekomendasi dari Departemen Agama Republik Indonesia, untuk badan-badan keagamaan. 3) Pendaftaran dan Rekomendasi dari Departemen Sosial Republik Indonesia, untuk badan-badan Sosial. Selain dengan apa yang telah disebutkan di atas tidak ada pihak lain yang dapat menjadi pemegang Hak Milik atas tanah Indonesia. Setiap peralihan atas hak tanah harus dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlangsung. UUPA telah memberikan pembatasan mengenai peralihan hak hendaknya harus dialihkan pada seseorang yang merupakan Warga Negara Indonesia tunggal atau badan-badan hukum tertentu yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 tersebut. 2.2.4 Terjadinya Hak Milik Dalam konsep hukum, hubungan antara orang dengan benda merupakan hubungan yang disebut “hak”. Makna dari hak adalah hak kepemegangan atas
58 suatu benda disebut hak milik atas benda atau dikenal sebagai Property Right.82 Pada Masa sebelum berlakunya UUPA tanah-tanah Indonesia masih berupa tanah-tanah ulayat. Dalam memperoleh hak milik atas tanah para anggota masyarakat sebagai individu diperbolehkan untuk menghaki sebagian tanah ulayat tersebut. Kelompok masyarakat adat ini merupakan kesatuan yang mempunyai wilayah tertentu, mempunyai kesatuan hukum, mempunyai penguasa, dan memiliki kekayaan tersendiri.83 Sementara itu, menurut Aslan Noor, teori kepemegangan ataupun pengalihan kepemegangan secara perdata atas tanah dikenal empat teori, yaitu : 1) Hukum Kodrat, menyatakan di mana penguasaan benda-benda yang ada di dunia termasuk tanah merupakan hak kodrati yang timbul dari kepribadian manusia. 2) Occupation theory, di mana orang yang pertama kali membuka tanah, menjadi pemegangnya dan dapat diwariskan. 3) Contract theory, di mana ada persetujuan diam-diam atau terang-terangan untuk pengalihan tanah. 4) Creation theory, menyatakan bahwa hak milik privat atas tanah diperoleh karena hasil kerja dengan cara membuka dan mengusahakan tanah. 84 Menurut ketentuan Pasal 22 UUPA, dapat diketahui ada tiga hal yang menjadi dasar lahirnya hak milik atas tanah, yaitu : 1) Menurut Hukum Adat. Terjadinya hak milik menurut hukum adat yaitu lazimnya bersumber pada pembukaan hutan yang merupakan bagian dari tanah ulayat suatu masyarakat hukum adat. Hal tersebut diatur dengan Peraturan Pemerintah. Sehubungan dengan ketentuan ini perlu diketahui bahwa hingga saat ini Peraturan Pemerintah yang dimaksud belum pernah diterbitkan sama sekali.
82
Muchtar Wahid. 2008.Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah, Republika.Jakarta.hal.43 83 Ibid.hal.58 84 Aslan Noor. 2006. Konsep Hak Milik Atas Tanah bagi bangsa Indonesia ditinjau dari Ajaran Hak Asasi Manusia. Mondar Maju.Bandung.hal.28-29
59 Sesuai dengan salah satu prinsip dasar dalam UUPA, bahwa UUPA adalah perangkat hukum yang berdasarkan atas hukum adat, walaupun kedudukan, pegertian, dan ruang lingkup dari hukum adat, yang dimaksudkan di sini adalah berbeda dengan kedudukan, pengertian, dan ruang lingkup hukum adat tradisional yang kita kenal sebelumnya.85 Dalam UUPA sendiri menjadi wajar “bilamana UUPA juga memberikan kemungkinan terjadinya Hak Milik menurut ketentuanketentuan yang dahulunya dikenal dalam hukum adat yang berlaku dalam masyarakat Indonesia.”86 Karena hukum adat itu sendiri masih sangat lekat dengan kehidupan bermasyarakat Negara kita ini. JW.Muliawan berpendapat, pemegangan dan pemanfaatan tanah harus memperhatikan keselarasan dengan memposisikan manusia dan masyarakatnya dalam posisi yang selaras, serasi dan seimbang, seiring dengan perkembangan kehidupan maka penggunaan tanah tidak hanya digunakan untuk kebutuhan bersama namun juga anggota masyarakat diperbolehkan untuk menguasai tanah-tanah adat tersebut, untuk digunakan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, adapun lahirnya hak individu yang merupakan awal dari kepemegangan atas tanah menurut konsep hukum adat antara lain meliputi unsur-unsur : a) Penguasaan secara Individu dan turun temurun b) penguasaan itu digunakan untuk memelihara kebutuhan hidupnya c) pemanfaatan tanah dengan tetap memelihara keselarasan kepentingan individu dan masyarakat d) memperoleh pengakuan oleh tetangga berbatasan dan masyarakat lainnya e) penguasa adat mempunyai kewenangan mengatur peruntukan dan penggunaan tanah f) ada hubungan yang bersifat magis-religius antara manusia dan tanah 87
85
Abdurrahman. 1984. Kedudukan Hukum Adat dalam Perundang-Undangan Agraria Indonesia,Akademia Pressindo, Jakarta, Hal. 107-109 86 Soedjono dan H.Abdurrahman. 2008. Prosedur Pendaftaran Tanah tentang Hak Milik, Hak Sewa Guna dan Hak Guna Bangunan, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 9 87 JW Muliawan.2009.Pemberian Hak Milik untuk Rumah Tinggal Kajian Normatif untuk keadilan bagi masyarakat, Cerdas Pustaka, Jakarta, hal. 56
60 2) Menurut ketentuan Undang-undang Terjadinya atas dasar ketentuan konversi menurut UUPA. Terhadap ketentuan ini, hingga saat ini juga belum pernah diterbitkan Undang-undang tentang Hak Milik sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 50 ayat (1) UUPA. Menurut ketentuan tersebut, beberapa hak atas tanah yang ada sebelum diundangkannya UUPA dan sejak mulai berlakunnya UUPA, hak-hak dimaksud dapat dikonversi menjadi Hak Milik apabila yang mempunyai hak itu memenuhi syarat untuk mempunyai Hak Milik menurut UUPA, Soedjono dan H. Abdurrahman berpendapat berdasarkan ketentuan Konversi tersebut ada beberapa hak yang setelah berlakunya UUPA dikonversi menjadi Hak Milik yaitu : a) Hak eigendom atas tanah yang ada, setelah berlakunya UUPA sejak 24 September 1960 dikonversi menjadi Hak Milik, bila mana telah memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditentukan b) Hak agrarisch eigendom, milik, yasan, andarbeni, hak atas druwe desa, pesini, grand sultan, landerijen bezitrecht, altijddurende erfpach, hak usaha atas bekas tanah partikelir, sejak berlakunya UUPA dikonversi menjadi Hak Milik sepanjang pemegang haknya memenuhi syarat yang ditentukan c) Hak gogolan, pekulen, atau sanggan yang bersifat tetap mulai berlakunya UUPA dikonversi menjadi Hak Milik. Hak usaha atas bekas tanah Partikelir dan lain-lain.88 3) Menurut Penetapan Pemerintah Terjadinya Hak Milik karena penetapan pemerintah dimulai dari mengajukan permohonan kepada
Badan Pertanahan Nasional
yang
mengeluarkan surat keputusan pemberian Hak Milik kepada pemohon. Setelah itu pemohon berkewajiban untuk mendaftarkan haknya kepada 88
Soedjono dan H.Abdurrahman. Op.cit. hal 19
61 kepala kantor pertanahan Kabupaten/Kota setempat untuk dicatat dalam buku tanah dan diterbitkan sertifikat Hak Milik atas tanah, pendaftaran surat keputusan pemberian hak menandai telah lahirnya Hak Milik atas tanah. Pejabat Badan Pertanahan Nasional yang berwenang menerbitkan surat keputusan pemberian hak diatur dalam Pasal 3 dan Pasal 7 Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Tanah Pengelolaan. Prosedur dan persyaratan terjadinya hak milik atas tanah melalui pemberian hak diatur dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 16 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional tersebut diatas. Soedjono dan H.Abdurrahman berpendapat mengenai terjadinya Hak Milik menurut penetapan pemerintah adalah sebagai berikut : Dalam hal pemegangan tanah berdasarkan penetapan ini perlu dicermati mengenai bentuk pengaturannya, dan tanggung jawab instansi pemerintah yang memberi hak atas tanah tersebut yang dalam penetapannya kemudian ternyata terdapat “cacat hukum” mengingat penetapan yang dikeluarkan telah menimbulkan suatu hak dan mungkin pula hak yang bersangkutan telah pula didaftarkan.89 2.2.5 Peralihan, Pembebanan, dan Hapusnya Hak Milik Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Ditinjau dari sudut kepemegangannya, peralihan Hak Milik atas tanah disebabkan suatu perbuatan hukum yang sengaja dilakukan untuk memindahkan Hak Milik, dan peristiwa hukum khususnya kematian. Ditinjau dari sudut orang yang
89
Soedjono dan H.Abdurrahman, Op.cit, hal.16
62 memperoleh atau yang menerima, peralihan Hak Milik terjadi karena dilakukan satu perbuatan hukum tertentu, misalnya jual beli, tukar menukar, hibah. Selain itu perolehan Hak Milik bisa karena pewarisan. Perolehan Hak Milik atas tanah dapat dilaksanakan dengan dua cara, yaitu; 1) Originair (asli), yaitu tanah yang diperoleh dari pemerintah yang semula masih berstatus tanah Negara atau Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai yang kemudian dimohonkan untuk diubah statusnya menjadi Hak Milik; dan 2) Derivatif, yaitu Hak Milik sudah ada sebelumnya dan hanya beralih kepada pihak lain. Pembebanan Hak Milik dapat di lihat dalam ketentuan Pasal 25 UUPA dapat diketahui bahwa terhadap tanah yang berstatus Hak Milik dapat dijaminkan dengan membebani Hak Tanggungan. Hak atas tanah lain yang dapat membebani Hak Milik adalah Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa, Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, dan Hak Menumpang. Pemberian Hak Tanggungan akan suatu hak atas tanah memiliki syaratsyarat. Syarat sah terjadinya Hak Tanggungan harus memenuhi tiga unsur yang bersifat kumulatif, yaitu : 1) Adanya perjanjian utangpiutang sebagai perjanjian pokoknya. 2) Adanya akta pemberian hak tanggungan sebagai perjanjian ikutan (tambahan)
63 3) Adanya pendaftaran akta pemberian hak tanggungan.90 Mengenai
Hak
Tanggungan
Manuel
Fernando
Exposto
juga
menjelaskan di Negara Timor Leste para pemegang Hak Milik atas tanah dapat membebani Hak tanggungan : The legal ownership and control of land rights by individuals and private organizations guarantees legal certainty re ownership and control of land rights. From a financial perspective, land right titles are important to individuals and private organizations because they can be used as security to obtain credit through a bank. One of the provisions required by banking institutions for credit applications is the use of land as security by producing a land title.91 Sedangkan mengenai hapusnya Hak Milik diatur dalam Pasal 27 UUPA, hak milik hapus apabila : 1) Tanahnya jatuh kepada Negara. Hal tersebut terjadi karena pencabutan hak berdasarkan Pasal 18, penyerahan dengan sukarela oleh pemegangnya, ditelantarkan, dan karena ketentuan Pasal 21 ayat (3) dan 26 ayat (2). 2) Tanahnya musnah. Dalam buku “Hukum Agraria Kajian Komprehensif”, Urip Santoso berpendapat, Pasal 27 UUPA menetapkan bahwa faktor-faktor penyebab hapusnya Hak Milik atas tanah dan berakibat tanahnya jatuh kepada Negara yaitu : 1) Karena pencabutan hak berdasarkan Pasal 18; 2) Karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya; 90
Urip Santoso, 2012, Hukum Agraria: Kajian Komprehensif, Jakarta, Prenada Media Group, hal.100 91 Manuel Fernando Exposto. 2004. “Constitutional Affairs, Rights, Guarantees And Liberties”. Workshop Report “Civil Society Research For Policy Development” Analysis Of The Issue: Land Rights of A Universidade de São Francisco é um parceiro do Programa de Acesso a Justiça em Timor-Leste da Fundação da Ásia. (Feb 2004). p.13
64 3) Karena ditelantarkan; 4) Karena subjek haknya tidak memenuhi syarat sebagai subyek Hak Milik atas tanah; 5) Karena peralihan hak yang mengakibatkan tanahnya berpindah kepada pihak lain tidak memenuhi syarat sebagai subjek hak milik atas tanah 6) Hak Milik atas tanah juga dapat hapus karena tanahnya musnah, misalnya karena adanya bencana alam.92 2.3 Tinjauan Umum Mengenai Hak Guna Bangunan 2.3.1 Pengertian Hak Guna Bangunan Pengaturan Hak Guna Bangunan dalam UUPA adalah dalam Pasal 35 sampai 40. Pasal 35 ayat (1) menyatakan bahwa Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun. Selain itu Hak Guna Bangunan juga diatur dalam Pasal 19 sampai 38 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas tanah. Hak Guna Bangunan merupakan hak atas tanah yang khusus diperuntukan guna mendirikan bangunan di atasnya, tidak bisa difungsikan untuk kepentingan yang lain. Pengertian lain mengenai Hak Guna Bangunan ditulis juga dalam buku Hukum Pertanahan di Belanda dan Indonesia : “Sebuah Hak Guna Bangunan (“superficies”,“opstal”) memberikan hak untuk memperoleh kepemilikan atas bangunan atau konstruksi yang terpisah dari kepemilikan atas sebuah tanah.”93 Pendapat Erna Sri Wibawanti dan R. Murjiyanto mengenai Hak Guna Bangunan: “Hak Guna Bangunan dalam UUPA adalah hak atas tanah yang diberikan kepada 92 93
Urip Santoso, Loc.cit Arie S. Hutagalung, Op.cit, hal.15
65 seseorang untuk mendirikan dan mempunyai bangunan di atas tanah tersebut. jadi bukan hak untuk menggunakan bangunan milik orang lain” 94 Erna Sri Wibawanti dan R. Murjiyanto menambahkan bahwa Hak Guna Bangunan berbeda dengan Hak Menggunakan Bangunan. Perbedaan ini terlihat dari hak yang didapatkan. Apabila seseorang diberi ijin untuk menggunakan bangunan orang lain yang sudah berdiri di atas suatu bidang tanah maka dia memperoleh Hak menggunakan bangunan, sedangkan apabila seseorang memperoleh suatu hak atas tanah yang penggunaanya untuk mendirikan dan mempunyai bangunan, maka dia memperoleh suatu Hak Atas Tanah.95 2.3.2 Sifat dan Ciri-ciri Hak Guna Bangunan Sifat-sifat yang dimiliki oleh hak guna bangunan sebagai berikut: 1)
Jangka waktunya terbatas, maksimal 30 tahun bisa diperpanjang maksimal 20 tahun. Apabila jangka waktu termasuk perpanjangan sudah habis dan yang bersangkutan masih menghendaki tanah tersebut, maka harus mengajukan permohonan baru.
2)
Hak Guna Bangunan dapat dibebani dengan hak tanggungan, tetapi tidak bisa dibebani dengan hak atas tanah yang lain.
Adapun yang menjadi ciri-ciri yang hak guna bangunan antara lain: 1) Hak Guna Bangunan tergolong hak yang kuat, tidak mudah hapus dan mudah dipertahankan dari pihak lain, sehingga Hak Guna Bangunan harus didaftarkan. 2) Jangka waktunya terbatas, suatu saat pasti berakhir.
94 95
Erna Sri Wibawanti dan R. Murjiyanto, Op.cit, hal.73-74 Loc.cit, hal.74
66 3) Dapat dijadikan jaminan utang dengan Hak Tanggungan. 4) Dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain dengan jual beli, tukar menukar, hibah, dan pewarisan. 5) Dapat dilepaskan hingga menjadi tanah Negara. 6) Hanya dapat diberikan untuk keperluan pembangunan bangunanbangunan. Erna Sri Wibawanti dan R. Murjiyanto menambahkan ciri-ciri dari hak guna bangunan adalah : 1) Peruntukannya hanya untuk bangunan (mendirikan dan mempunyai bangunan) …HGB tidak akan diberikan kepada perusahaan yang bergerak dibidang pertanian, termasuk perkebunan maupun peternakan. 2) Diatas tanah yang bukan miliknya HGB adalah hak atas tanah yang dapat diperoleh diatas tanah yang bukan miliknya. Di atas tanah yang bukan miliknya ini maksudnya bahwa HGB dapat diberikan di atas tanah Negara, bisa juga di atas tanah Hak Pengelolaan, bisa juga di atas tanah Hak Milik orang lain.96 2.3.3
Subyek Hak Guna Bangunan Menurut Pasal 36 ayat (1) UUPA, yang dapat memegang Hak Guna
Bangunan ialah : a) Warga Negara Indonesia Hanya WNI saja yang dapat memiliki Hak Guna Bangunan. Orang asing tidak dapat mempunyai Hak Guna Bangunan. b) Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
96
Loc.cit, hal.73-74
67 Badan hukum yang mempunyai Hak Guna Bangunan hanya badanbadan yang sama seperti ketentuan tentang badan hukum yang menjadi subyek hukum Hak Milik. Badan hukum yang dimaksud harus memenuhi kedua unsur, yaitu yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Dapat diartikan jika harus memenuhi kedua unsur yang telah disebutkan, tidak bisa hanya memenuhi salah satunya saja. Sebagai contoh apabila ada suatu badan hukum yang berkedudukan di Indonesia tapi tidak didirikan menurut hukum Indonesia maka tentu saja badan hukum tersebut tidak dapat memiliki Hak Guna Bangunan. Terhadap apa yang dicontohkan, dalam teori-teori yang berkembang dalam hukum perdata internasional, kedudukan suatu badan hukum telah berkembang sedemikian rupa, sehingga pada taraf tertentu mereka juga dianggap memiliki “persona standi in judicio” pada suatu Negara di mana mereka melakukan kegiatan operasionalnya, dan tidak harus di mana kantor pusatnya berkedudukan. Dalam konteks inilah, maka kedua syarat didirikan menurut ketentuan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia menjadi keharusan kumulatif.97 Dalam Pasal 36 ayat (2), orang atau badan hukum yang mempunyai Hak Guna Bangunan dan tidak lagi memenuhi syarat-syarat dalam jangka waktu satu tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu pada pihak lain yang memenuhi syarat. Hal ini berlaku juga terhadap pihak yang memperoleh hak guna bangunan yang tidak memenuhi syarat. Jika hak guna bangunan tersebut tidak dilepaskan atau dialihkan dalam waktu satu tahun, maka hak itu hapus karena hukum, dengan ketentuan hak-hak pihak 97
Kartini Mukjadi dan Gunawan Widjaya, Op.cit, hal.192
68 lain akan diindahkan. Hal mengenai subyek Hak Guna Bangunan juga diatur dalam Pasal 19 dan Pasal 20 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas tanah. 2.3.4 Tanah yang dapat diberikan dengan Hak Guna Bangunan Sesuai apa yang di cantumkan pada Pasal 21 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas tanah maka tanah yang dapat diberikan dengan Hak Guna Bangunan adalah: 1)
Tanah Negara;
2)
Tanah Hak Pengelolaan;
3)
Tanah Hak Milik.
2.3.5 Terjadinya dan Jangka Waktu Hak Guna Bangunan Menurut Pasal 37 UUPA, hak guna bangunan dapat terjadi mengenai beberapa tanah antara lain : 1)
Mengenai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, karena penetapan pemerintah.
2)
Mengenai tanah milik, karena perjanjian yang berbentuk otentik antara pemiiik tanah yang bersangkutan dengan pihak yang akan memperoleh Hak Guna Bangunan.
Hak Guna Bangunan atas tanah Negara terjadi dengan keputusan pemberian hak yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional berdasarkan Pasal 4. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna
69 Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas tanah, terjadinya Hak Guna Bangunan diatur dalam Pasal 22-24. Untuk mengetahui lebih lanjut maka dijelaskan sebagai berikut: (1)
Hak Guna Bangunan atas tanah Negara. Sesuai Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas tanah, maka pemberian Hak Guna Bangunan diatas tanah Negara didasarkan pada keputusan pemberian hak yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional berdasarkan, Pasal 4, Pasal 9, dan Pasal 14 Permen Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1999, yang diubah oleh Pasal 4, Pasal 8, dan Pasal 11 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011. Proses terjadinya Hak Guna Bangunan ini diatur dalam Pasal 32 sampai dengan Pasal 48 Permen Agraria/Kepala BPN No 9 Tahun 1999.
(2)
Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan Pasal 22 ayat (2) menyatakan bahwa pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk berdasarkan usul pemegang Hak Pengelolaan. Keputusan yang dimaksud sesuai dengan peraturan
yang diterbitkan oleh
Badan
Pertanahan Nasional
berdasarkan, Pasal 4 Permen Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1999, yang diubah oleh Pasal 4 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011, sedangkan
70 prosedurnya diatur dalam Permen Agraria/Kepala BPN No 9 Tahun 1999. Hak Guna Bangunan ini terjadi sejak keputusan pemberian tersebut didaftarkan kepada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat untuk dicatat dalam buku Tanah dan diterbitkan sertipikat sebagai tanda bukti haknya. (3)
Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik Hak Guna Bangunan ini terjadi dengan pemberian oleh Pemegang Hak Milik dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), dan wajib didaftarkan kepada Kantor Pertanahan, serta mengikat pihak ketiga sejak didaftarkannya akta tersebut. Pada Pasal 24 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas tanah mengatakan bahwa ketentuan mengenai tata cara pemberian dan pendaftaran Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden sedangkan keputusan presiden yang dimaksud sampai dengan saat ini belum ada. Bentuk akta PPAT ini dimuat dalam lampiran Permen Agraria/Kepala BPN No 3 Tahun 1997. Secara umum pada pengertian Hak Guna Bangunan berdasarkan Pasal
35 UUPA telah di sebutkan bahwa Hak Guna Bangunan diberikan paling lama 30 (tigapuluh) tahun atas tanah yang bukan menjadi miliknya sendiri. Jangka Waktu Hak Guna Bangunan juga diatur dalam Pasal 26 sampai Pasal 29 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha,
71 Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas tanah. Jangka waktu Hak Guna Bangunan berbeda sesuai dengan asal tanahnya, yaitu: (1)
Hak Guna Bangunan atas tanah Negara Hak Guna Bangunan atas tanah Negara memiliki jangka waktu pertama kali paling lama 30 (tigapuluh) tahun, dapat diperpanjang selama 20 (duapuluh) tahun, dan dapat diperbaharui untuk jangka waktu paling lama 30 (tigapuluh) tahun. Permohonan perpanjangan jangka waktu paling lambat diajukan dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sebelum berahkirnya jangka waktu Hak Guna Bangunan tersebut atau perpanjangannya. Perpanjangan Jangka Waktu atau pembaharuan Hak Guna Bangunan dicatat dalam Buku Tanah pada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota Setempat. Pemegang Hak Guna Bangunan atas tanah Negara dapat memohonkan perpanjangan apabila memenuhi syarat : (a) Tanahnya masih digunakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat, dan tujuan pemberian hak tersebut; (b) Syarat-syarat pemberian hak tersbeut dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak; (c) Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak; (d) Tanah terseut masih sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang bersangkutan.
72 (2)
Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan Hak Guna Bangunan atas tanah hak pengelolaan berjangka waktu untuk pertama kali paling lama 30 (tigapuluh) tahun, dapat diperpanjang 20 (duapuluh) tahun, dan dapat pula diperbaharui selama 30 (tigapuluh) tahun.
(3)
Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik Hak Guna Bangunan ini berjangka waktu paling lama 30 (tigapuluh) tahun tidak ada perpanjangan jangka waktu, namun atas kesepakatan antara pemilik tanah dengan pemegang Hak Guna Bangunan dapat diperbaharui dengan pemberian Hak Guna Bangunan baru dengan akta yang dibuat oleh PPAT dan wajib didaftarkan pada Kantor pertanahan setempat. “untuk HGB di atas Hak Milik, tidak dapat diperpanjang akan tetapi dapat diperbaharui dengan dibuatkan akta PPAT yang baru dan didaftarkan.”98
2.3.6 Peralihan dan Hapusnya Hak Guna Bangunan Hak Guna Bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Beralih atau dialihkan artinya bahwa hak guna bangunan itu dapat berpindah, berganti, atau dipindahkan kepada pihak lain. Peralihan tersebut dapat terjadi karena: 1)
Jual beli;
2)
Tukar menukar;
3)
Penyertaan dalam modal;
98
Erna Sri Wibawanti dan R. Murjiyanto,Op.cit, hal. 77
73 4)
Hibah; dan
5)
Pewarisan.
Peralihan tersebut diatas harus dibuktikan dengan akta PPAT. Diatur dalam Pasal 34 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas tanah jo. Pasal 37 sampai dengan Pasal 40 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah jo. Pasal 97 sampai dengan Pasal 106 Permen Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997. Selain dengan cara-cara yang ada diatas Hak Guna Bangunan juga dapat dialihkan dengan cara lelang, dibuktikan dengan Berita Acara Lelang yang dibuat oleh pejabat dari Kantor Lelang, diatur dalam Pasal 34 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 jo. Pasal 41 Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 jo. Pasal 107 sampai dengan Pasal 110 Permen Agraria/Kepala BPN No 3 Tahun 1997. Dalam peralihan Hak Guna Bangunan ini ada ketentuan khusus, yaitu peralihan Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan harus dengan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari pemegang Hak Pengeloaan. Demikian pula dengan peralihan Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik harus dengan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari pemilik tanah yang bersangkutan. Hapusnya hak guna bangunan diatur dalam Pasal 40 UUPA dan dipertegas dalam Pasal 35 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha. Hak Guna Bangunan, dan Hak Pengelolaan. Bahwa hapusnya Hak Guna Bangunan karena :
74 (1) Berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian atau perpanjangannya atau dalam perjanjian pemberiannya. (2) Dibatalkannya oleh pejabat yang berwenang, pemegang hak pengelolan atau pemegang Hak Milik sebelum jangka waktunya berakhir karena : 1) Tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak; atau 2) Tidak dipenuhinya syarat-syarat atau kewajiban yang tertuang dalam perjanjian pemberian Hak Guna Bangunan dan pemegang Hak Milik atau perjanjian penggunaan tanah pengelolaan; atau 3) Putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. (3) Dilepaskan secara sukarela oleh pemegang hak sebelum jangka waktu berakhir. (4) Dicabut berdasarkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961. (5) Ditelantarkan. (6) Tanahnya musnah. (7) Ketentuan Pasal 20 ayat (2). 2.4 Tinjauan Umum Mengenai Perlindungan Hukum bagi Pemegang Hak Guna Bagunan di atas Hak milik Seperti yang telah di jelaskan diatas mengenai pendapat Philipus M. Hadjon yang mengemukakan dalam perlindungan hukum terdapat suatu usaha untuk memberikan hak-hak pihak yang dilindungi sesuai dengan kewajiban yang dilakukan. Pemberian perlindungan disesuaikan dengan kewajiban yang dilakukan masing-masing pihak. Perlindungan hukum dapat dikatakan juga sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum, yaitu konsep dimana hukum dapat memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan, dan kedamaian. Beberapa unsur kata Perlindungan:99 1. Melindungi: menutupi supaya tidak terlihat/tampak, menjaga, memelihara, merawat, menyelamatkan. 2. Perlindungan; proses, cara, perbuatan tempat berlindung, hal (perbuatan) memperlindungi (menjadikan atau menyebabkan berlindung ). 3. Pelindung: orang yang melindungi, alat untuk melindungi. 99
http//www.artikata.com/artiperlindungan.html, diakses pada tanggal 17 November 2013
75 4. 5. 6. 7.
Terlindung: tertutup oleh sesuatu hingga tidak kelihatan. Lindungan : yang dilindungi, Memperlindungi: menjadikan atau menyebabkan berlindung. Melindungkan: membuat diri terlindungi
Berbicara mengenai perlindungan hukum dan dikaitkan dengan pemberian Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik atas tanah maka perlindungan hukum akan diberikan kepada masing-masing pihak dalam hal ini pemegang Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik atas tanah dan pemegang hak milik atas tanah tersebut. Hak bagi pemegang Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik adalah dapat menikmati secara maksimal tanah dan bangunan yang didirikannya dengan jaminan dari pemegang Hak Milik. Pemegang Hak Guna Bangunan pun mempunyai kewajiban yang harus dilaksanakan terhadap pemegang Hak Milik. Oleh dari itu setelah kewajibankewajiban yang harus dipenuhi pemegang Hak Guna Bangunan dilaksanakan maka baru timbulah perlindungan hukum yang menjamin terpenuhinya hakhak dari pemegang Hak Guna Bangunan.
76 BAB III HAK DAN KEWAJIBAN BAGI PEMEGANG HAK GUNA BANGUNAN DI ATAS TANAH HAK MILIK DAN PEMEGANG HAK MILIK ATAS TANAH YANG DI ATASNYA DIBERIKAN HAK GUNA BANGUNAN 3.1 Pemberian Hak Guna Bangunan diatas Hak Milik Atas Tanah di Kabupaten Badung Pemberian jaminan kepastian hukum hak atas tanah, memerlukan tersedianya perangkat hukum yang memadai dan jelas yang dilaksanakan secara konsisten sesuai dengan jiwa dan isi ketentuan-ketentuannya. Ketentuan perundang-undangan yang mengatur pelaksanaan pemberian Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik antara lain Pasal 24 ayat (4) dan Pasal 44 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996, Pasal 44 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, Pasal 120 ayat (1), (2), (3) Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997. “Pada kenyataanya pasal-pasal dalam Peraturan-peraturan tersebut di atas tidak ada ketentuan yang mengatur mengenai tata cara pemberian dan pendaftaran Hak Guna Bangunan atas Hak Milik yang seharusnya diatur dengan keputusan presiden, sampai saat ini belum ada”100
100
A.A Raka Yadnya, 2003, “Pembebanan Hak Guna Bangunan Atau Hak Pakai Di atas Hak Milik”, Makalah KAKANWIL BPN Propinsi Bali dalam KONFERDA Ikatan Notaris Indonesia (INI) Daerah Bali-Nusa Tenggara Timur. 76
77 Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pemberian Hak Guna Bangunan, khususnya pemberian Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik antara lain: 1) Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokokpokok Agraria; 3) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah 4) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah 5) Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan
Peraturan Pemerintah 24
Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Bertitik tolak dari semua peraturan perundang-undangan yang mengatur Pemberian Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik, ketentuan mengenai tata cara pemberian dan pendaftaran Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden, hal tersebut seperti apa yang diamanatkan oleh Pasal 24 ayat (4), dan Pasal 44 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996. Sedangkan pasal-pasal dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 maupun dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tidak ada ketentuan yang mengatur mengenai tata cara pemberian dan pendaftaran hak
78 guna bangunan di atas tanah hak milik, yang semestinya diatur dalam Keputusan Presiden. Untuk lebih memperjelas peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pemberian Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik, maka akan diuraikan sebagai berikut: 1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menjadi peraturan yang paling mendasar dalam pemberian Hak Guna Bangunan diatas Hak Milik atas tanah. Pasal 33 ayat (3) menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ketentuan yang terdapat dalam pasal tersebut menunjukkan posisi negara selaku pemgelola sumber daya alam di wilayah Indonesia. Dalam hal ini Negara bertindak sebagai organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat yang diberi wewenang mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, pengunaan, persediaan dan pemeliharaan tanah, bukan bertindak sebagai pemegang tanah. Pasal ini menjadi landasan konstitusional dalam peningkatan hak karena merupakan dasar kebijakan pemerintah dalam bidang pertanahan yang bertujuan untuk kemakmuran rakyat. 2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Pasal-pasal yang ada dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria menjadi dasar hukum dalam
79 pemberian Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik . Pasal-pasal tersebut antara lain: 1.
Pasal 1 ayat (1), (2), dan (3) UUPA Pasal 1 ayat (1), (2), dan (3) menyatakan: a) Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia. b) Seluruh bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air, dan ruang angkasa bangsa Indonesia yang merupakan kekayaan Nasional. c) Hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air, serta ruang angkasa termaksud dalam ayat (2) pasal ini adalah hubungan yang bersifat abadi. Pasal-pasal tersebut diatas menyatakan bahwa seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia, dan bahwa seluruh bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya merupakan kekayaan nasional. Hal ini berarti bumi, air, dan ruang angkasa di wilayah Republik Indonesia menjadi Hak Bangsa Indonesia, tidak semata-mata menjadi hak dari para pemegangnya saja. Hubungan anatara bangsa dan bumi, air, serta ruang angkasa Indonesia tersebut adalah bersifat abadi. Jelas dapat dikatakan bahwa selama bumi, air, serta ruang angkasa Indonesia itu masih ada, maka dalam keadaan yang bagaimanapun tidak ada sesuatu kekuasaan yang akan dapat memutus atau meniadakan hubungan tersebut. Kaitannya dengan pemberian Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik adalah tanah merupakan bagian dari bumi yang merupakan
80 dari kekayaan nasional. Tanah tidak semata-mata menjadi hak dari para pemegangnya saja, sehingga pemegang dapat mendayagunakan tanah yang dimiliki untuk disewa atau di nikmati oleh orang lain, dan dari sewa yang dilakukan dapat dimohonkannya pemberian Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik yang ia miliki. 2. Pasal 2 ayat (2) UUPA Hak menguasai negara memberi wewenang untuk : a) Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan pengunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa b) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa c) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dan perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa. Adanya hak menguasai dari Negara akan menjelaskan kewenangan Negara untuk mengatur dan mengendalikan fungsi bumi, air, dan ruang angkasa dengan mengeluarkan
berbagai
kebijakan. Terkait
hak
menguasai negara ini, maka negara berhak untuk ikut campur tangan dalam berbagai hal yang menyangkut bidang pertanahan dengan tujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Kekuasaan Negara memberi kekuasaan kepada yang mempunyai untuk mengunakan haknya, sampai disitulah batas kekuasaan Negara tersebut. Kekuasaan Negara atas tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak oleh seseorang atau pihak lain adalah lebih luas. Negara dapat memberikan tanah yang demikian kepada seseorang atau badan hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan keperluannya. Dalam pelaksanaan peningkatan hak, maka
81 pemegang hak juga tidak dapat terlepas dari hak menguasai dari negara karena dalam hal ini, pemerintah tetap akan ikut campur mengenai peruntukan hak atas tanah tersebut. 3. Pasal 4 ayat (1) dan (2) UUPA Pasal 4 ayat (1) dan (2) menyakatan sebagai berikut: (1) Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum. (2) Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini memberikan wewenang untuk menggunakan tanah yang bnersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada di atasnya sekedar diperlukan untuk keputusan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut Undang-Undang ini dan peraturan yang lebih tinggi. Pasal ini menegaskan bahwa dalam hukum agraria dikenal pula hak yang dapat dimiliki seseorang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum atas bagian dari bumi Indonesia. Hal ini menunjukan bahwa hanya permukaan bumi saja yang disebut tanah, yang dapat dihaki oleh seseorang serta badan hukum, tidak termasuk kekayaan alam yang terdapat ditubuh bumi. Hak-hak atas tanah dalam pasal ini memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi air serta ruang yang ada di atasnya sekedar untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu. Kaitanya dengan pemberian
82 Hak Guna Bangunan adalah bahwa pemegang Hak Guna Bangunan nantinya dapat memanfaatkan tanah yang disewanya secara baik. 4. Pasal 6 UUPA Pasal 6 menyatakan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Dalam pasal tersebut dimuat suatu pernyataan penting mengenai hak-hak atas tanah yang merumuskan secara singkat sifat kebersamaan atau kemasyarakatan hak-hak atas tanah. Tidak hanya hak milik, tapi semua hak atas tanah memiliki fungsi sosial. Hal ini berarti hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang tidak dibenarkan bahwa tanahnya itu akan dipergunakan semata-mata untuk kepentingan pribadinya. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaan dan sifat daripada haknya, sehingga bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat dan Negara. Dalam hal ini tidak berarti kepentingan perseorangan tersedesak oleh kepentingan masyarakat. Kepentingan perseorangan dan kepentingan masyarakat harus saling mengimbangi untuk mencapai tujuan pokok yaitu kemakmuran, keadilan, dan kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya. Fungsi sosial hak-hak atas tanah mewajibkan pada yang mempunyai hak untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan sesuai keadaannya. Dalam hal ini keadaan tanah, sifat, dahn tujuan pemberian haknya. Sudah sewajarnya apabila tanah harus dipelihara baik-baik, agar bertambah kesuburannya serta dicegah kerusakannya. Kewajiban memelihara tanah ini tidak hanya dibebankan pada pemegang atau pemegang hak yang bersangkutan, melainkan menjadi beban setiap orang, badan hukum atau
83 instasi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah tersebut. Jika kewajiban tersebut sengaja diabaikan maka akan mengakibatkan hapusnya atau batalnya hak yang bersangkutan. 5. Pasal 16 ayat (1) UUPA Pasal 16 ayat (1) ditentukan macam-macam hak atas tanah antara lain : (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)
Hak Milik Hak Guna Usaha Hak Guna Bangunan Hak Pakai Hak Sewa Hak membuka hutan Hak memungut hasil hutan Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas akan ditetapkan dengan Undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara yang disebut dalam Pasal 53.
6. Pasal 37 UUPA. Kita dapat mengetahui bahwa Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan di atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu 30 tahun atau dapat disimpulkan bahwa pemegang Hak Guna Bangunan bukanlah pemegang Hak Milik dari tanah di mana bangunan itu berdiri. UUPA mengatur mengenai hal tersebut dalam Pasal 37 yang menyatakan bahwa: Mengenai tejadinya Hak Guna Bangunan dapat dijelaskan sebagai berikut : (1) Mengenai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara: karena penetapan pemerintah; (2) Mengenai tanah milik: karena perjanjian yang berbentuk autentik antara pemilik tanah yang bersangkutan dengan pihak yang akan
84 memperoleh Hak Guna menimbulkan hak tersebut.
Bangunan
itu,
yang
bermaksud
3) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah Ketentuan Pasal 21 pada Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang pemberian Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai menentukan bahwa : Mengenai tanah yang dapat diberikan dengan Hak Guna Bangunan adalah: 1. Tanah Negara; 2. Tanah Hak Pengelolaan; 3. Tanah Hak Milik. Pada Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang pemberian Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai, mengatur pemberian Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik pada Pasal 24 dan Pasal 29. Pasal 24 menyatakan bahwa : a) Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik terjadi dengan pemberian oleh pemegang Hak Milik dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah. b) Pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib didaftarkan pada kantor pertanahan. c) Hak guna bangunan atas tanah Hak Milik mengikat pihak ketiga sejak didaftarkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2). d) Ketentuan mengenai tata cara pemberian dan pendaftaran Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik diatur lebih lanjut dengan keputusan presiden. Dari ketentuan di atas dapat diartikan bahwa pemberian Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik terjadi pada saat dibuatnya akta pemberian Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik oleh PPAT.
85 Pendaftaran yang dilakukan di kantor pertanahan adalah hanya untuk mengikat pihak ketiga, dan menjadi sahnya pemberian tersebut. Jangka waktu yang diberikan untuk pemberian Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik sama seperti pemberian Hak Guna Bangunan biasa yaitu 30 (tiga puluh) Tahun. Hal ini diatur dalam Pasal 29 berikut : a) Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik diberikan untuk jangka waktu paling lama tiga puluh tahun. b) Atas kesepakatan antara pemegang Hak Guna Bangunan dengan pemegang Hak Milik dapat diperbaharui dengan pemberian Hak Guna Bangunan baru dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah dan hak tersebut wajib didaftarkan. Peraturan Perundang-undangan ini sebetulnya mengamanatkan bahwa untuk tata cara pemberian dan pendaftaran pemberian Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden. Namun sampai saat aturan tersebut belum juga ada sehingga dalam pelaksanaanya kita sering menemui permasalahan. Mengenai hapusnya Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik, tercantum dalam Pasal 35 ayat (1) dan Pasal 36 ayat (3). Pasal 35 ayat (1) menyatakan: a) Berahkirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian atau perpanjangan atau dalam perjanjian pemberiannya. b) Dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang Hak Milik sebelum Jangka waktunya berahkir, karena: (1) Tidak terpenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak dan/atau dilanggarnya ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32; atau (2) Tidak dipenuhinya syarat-syarat dan kewajiban-kewajiban yang tertuang dalam perjanjian pemberian Hak Guna Bangunan antara pemegang Hak Guna Bangunan dan pemegang Hak Milik atau perjanjian penggunaan tanah Hak Pengelolaan; atau
86
c) d) e) f) g)
(3) Putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap; Dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangka waktu berahkir; Dicabut berdasarkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961; Ditelantarkan; Tanahnya musnah; Ketentuan Pasal 20 ayat (2). Sedangkan Pasal 36 ayat (3) menyatakan bahwa jika Hak Guna
Bangunan di atas tanah Hak Milik hapus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, tanah yang diberi Hak Guna Bangunan tersebut menjadi kembali ke dalam penguasaan pemegang Hak Milik. Pasal 38 menambahkan bahwa apabila telah hapus seperi yang dicantumkan pada Pasal 35 maka bekas pemegang Hak Guna Bangunan wajib menyerahkan tanahnya kepada pemegang Hak Milik dan memenuhi ketentuan yang sudah disepakati dalam perjanjian pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik. 4) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Pemberian Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik dalam Peraturan Perundang-undangan ini diatur ada Pasal 44 ayat (1). Pada Pasal 44 ayat (1) menyatakan bahwa : Pembebanan Hak Tanggungan pada hak atas tanah atau Hak Milik atas satuan rumah susun, pembebanan Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan Hak Sewa untuk bangunan atas Hak Milik, dan pembebanan lain pada hak atas tanah atau Hak Milik atas satuan rumah susun yang ditentukan dengan peraturan perundangundangan, dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan Peraturan perundang-undangan yang berlaku.
87 Pasal tersebut sudah cukup jelas menyatakan bahwa pemberian Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik dapat dilaksanakan jika sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan dapat didaftarkan asalkan disertai bukti akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang. 5) Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Pasal yang mengatur mengenai pemberian Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik adalah Pasal 120 ayat (1), ayat (2), ayat (3). Pasal 120 menyatakan : (1) Pembebanan Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai atas Hak Milik harus didaftarkan ke kantor pertanahan setempat oleh pemegang hak milik atau penerima Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai, dengan melampirkan: (a) Surat permohonan pendaftaran Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai atas Hak Milik; (b) Sertifikat Hak Milik yang dibebani dengan Hak Guna Bagunan atau Hak Pakai; (c) Akta PPAT bersangkutan; (d) Identitas penerima Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai; (e) Surat kuasa tertulis dari pemohon, apabila permohonan tersebut diajukan oleh orang lain; (f) Bukti pelunasan pembayaran bea perolehan hak atas tanah dan bangunan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997, dalam bea tersebut terutang; (g) Bukti pelunasan pembayaran PPh sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 dan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1996, dalam hal pajak tersebut terutang. (2) Pendaftaran pembebanan hak dimaksud dicatat dalam buku tanah hak atas tanah pada kolom yang telah disediakan, dengan kalimat sebagai berikut: “Hak atas tanah ini dibebani dengan Hak Guna Bangunan/Hak Pakai berdasarkan akta pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai Nomor .............. Tanggal .......... atas nama ......... yang dibuat oleh
88 PPAT ...... dan didaftarkan sebagai Hak Guna Bangunan/Hak Pakai Nomor .....” yang dibubuhi tanda tangan pejabat yang berwenang menandatangani buku tanah pada waktu pencacatatan dan cap dinas Kantor Pertanahan yang bersangkutan. (3) Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dibuatkan buku tanah, surat ukur tersendiri, dan diterbitkan sertifikatnya atas nama pemegang haknya. Pada peraturan ini lebih cenderung mengatur mengenai syaratsyarat yang harus dilampirkan pada saat permohonan pemberian Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik dimohonkan pada Kantor Pertanahan yang berwenang. Bahkan juga diatur bagaimana suatu permohonan harus di catat pada kolom sertifikat yang telah disediakan. Setelah mengetahui dasar hukum atas diberikannya Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik atas tanah, maka penulis juga akan menjelaskan mengenai dasar dimohonkannya Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik: (1)
Akta Sewa Menyewa Secara umum Sewa-menyewa diatur dalam Pasal 1548 sampai
dengan Pasal 1600 KUH Perdata. Sewa-menyewa adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kenikmatan suatu barang kepada pihak lain selama waktu tertentu, dengan pembayaran suatu harga yang disanggupi oleh pihak yang terahkir itu (Pasal 1548 KUH Perdata). Definisi lainnya menurut Algra,dkk dalam buku Salim H.S, menyebutkan bahwa “perjanjian sewamenyewa adalah persetujuan untuk pemakaian sementara suatu benda, baik bergerak maupun tidak bergerak, dengan pembayaran suatu harga
89 tertentu.”101 Perjanjian tersebut didasarkan pada adanya waktu tertentu. Dalam sewa-menyewa dikenal asas jual beli tidak memutuskan sewamenyewa,
hal
ini
dapat
diartikan
apabila
apa
yang
disewa
dipindahtangankan maka sewa-menyewa tidak akan berahkir. Begitupula dengan meninggalkan orang yang menyewakan atau penyewa maka sewa-menyewa tersebut akan tetap berlangsung. KUH Perdata di dalamnya tidak menjelaskan secara tegas tentang bentuk perjanjian sewa-menyewa yang dibuat oleh para pihak. Oleh karena itu perjanjian sewa-menyewa dapat dibuat dalam bentuk tertulis dan lisan. Dalam perjanjian sewa-menyewa bangunan, khususnya dalam praktik dibuat dalam bentuk tertulis dan isi perjanjian itu telah dirumuskan oleh para pihak, dan atau Notaris102 Dalam pengaturan hukum pertanahan di Belanda, hak sewa dikenal dengan Hak Erfpacht. Hak sewa memberikan hak penikmatan untuk menguasai dan menggunakan tanah milik orang lain. Dalam kenyataanya, hak ini sangat dekat dengan hak milik. Pada saat hak sewa itu timbul atau berlaku, pemiliknya tidak diperbolehkan unyuk menggunakan sendiri tanahnya itu.103 Pemberian Hak Guna Bangunan diatas Hak Milik ada yang melandasi perjanjian awalnya dengan sewa menyewa. Sedangkan ada juga yang langsung menggunakan perjanjian pendahuluan pemberian Hak Guna Bangunan diatas Hak Milik. Ada juga yang hanya mengunakan sewa-menyewa saja sebagai dasar pemberian Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik atas tanah. Akta ini memuat pasal yang pada intinya menjelaskan bahwa penyewa boleh memohonkan Hak Guna
101
Salim H.S. 2005. Hukum Kontrak Teori dan Tehnik Penyusunan Kontrak. Sinar Grafika, Mataram, hal. 58 102 Ibid, hal. 59 103 Arie S. Hutagalung, Op.cit, hal. 12
90 Bangunan seluas yang disewakan dan dengan masa yang tidak melebihi batas habis sewa menyewanya. Konsekuensi dari pasal tersebut adalah pemegang Hak Milik bersedia meminjamkan sertifikat asli dari tanah yang disewakan tersebut untuk permohonan Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik. Akta ini dibuat dengan bentuk akta notariil atau akta yang dibuat dihadapan notaris. Badriyah Harun menjelaskan yang dapat menjadi pemegang Hak Sewa ialah: a. Warga Negara Indonesia; b. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia; c. Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia; d. Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.104 (2)
Akta Perjanjian Pendahuluan Pemberian Hak Guna Bangunan di atas Tanah Hak Milik KUH Perdata tidak mengatur secara tegas mengenai perjanjian ini,
jadi dapat dikatakan bahwa perjanjian ini merupakan perjanjian tidak bernama. Perjanjian tidak bernama, adalah perjanjian-perjanjian yang belum ada pengaturannya secara khusus di dalam Undang-Undang, karena tidak diatur dalam KUHPerdata dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD). Lahirnya perjanjian ini didalam prakteknya adalah berdasarkan asas kebebasan berkontrak untuk mengadakan perjanjian. Tentang perjanjian tidak bernama diatur dalam Pasal 1319
104
Badriyah Harun, Op.cit, hal. 31
91 KUHPerdata, yaitu yang berbunyi: “semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan umum yang termuat dalam bab ini dan bab yang lain”. Perjanjian ini berisi mengenai dasar-dasar yang mengikat antara pemegang Hak Milik dan pemegang Hak Guna Bangunan. Sebagai salah satu dasar pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik. Berisikan mengenai jangka waktu, jumlah uang ganti rugi atas pemberian Hak Guna Bangunan tersebut dan janji-janji yang mengikat kedua belah pihak selama diberikannya Hak Bangunan atas tanah Hak Milik. Akta ini dibuat dengan bentuk akta notariil atau akta yang dibuat dihadapan notaris. (3)
Akta Kuasa. Secara umum Akta Kuasa diatur dalam Pasal 1792 KUHPerdata
“Pemberian kuasa ialah suatu persetujuan yang berisikan pemberian kekuasaan kepada orang lain yang menerimanya untuk melaksanakan sesuatu atas nama orang yang memberikan kuasa.” Pemberian kuasa ini dikarenakan pihak yang memberikan kuasa berhalangan hadir atau ada kepentingan lain yang tidak dapat ditinggalkan dalam rangka menlaksanakan sesuatu. Dalam akta sewa-menyewa maupun dalam akta perjanjian pendahuluan pemberian Hak Guna Bangunan atas Hak Milik atas tanah, ada klausul pasal yang menjelaskan kuasa dari pemegang tanah untuk
92 memohonkan sertifikat Hak Miliknya diproses guna pemberian Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik nya tersebut. Namun jikalau pada akta sewa menyewa maupun pada akta perjanjian pendahuluan pemberian Hak Guna Bangunan atas Hak Milik atas tanah tidak dicantumkan klausul untuk pemberian kuasa dan pemilik dapat datang langsung menghadap pada pejabat yang berwenang maka akta kuasa ini tidak perlu untuk dibuat. (4)
Akta Pemberian Hak guna bangunan di atas tanah hak milik Akta ini diatur dalam Pasal 95 ayat (1) huruf g Peraturan Menteri
Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang berbunyi : “Akta tanah yang dibuat oleh PPAT untuk dijadikan dasar pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah adalah: a. Akta Jual Beli; b. Akta Tukar-Menukar; c. Akta Hibah; d. Akta Pemasukan ke Dalam Perusahaan; e. Akta Pembagian Hak Bersama; f. Akta Pemberian Hak Tanggungan; g. Akta Pemberian Hak Guna Bangunan atas Tanah Hak Milik; h. Akta Pemberian Hak Pakai atas Tanah Hak Milik.” Sedangkan untuk bentuk dan tata cara pengisian daripada akta ini diatur dalam Pasal 96 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia No. 8 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
93 Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Akta ini dibuat sebagai landasan pokok pemberian Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang berwenang. Selain sebagai landasan pokok, proses pemberian Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik sudah dimulai pada saat akta ini di daftarkan pada Kantor Pertanahan yang berwenang. Penulis juga akan menjelaskan bagaimana proses permohonan pemberian Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik atas tanah di Kabupaten Badung, untuk dapat diketahui setiap tahap-tahap sampai dengan diberikannya Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik atas tanah. Proses tersebut adalah sebagai berikut : 1) Pembuatan akta sewa-menyewa dari pemegang dengan penyewa. Jika murni menggunakan sewa-menyewa maka hanya dibuat akta sewa menyewa saja, dan akan lebih baik jika disertai dengan pembuatan akta perjanjian pendahuluan pemberian Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik atas tanah, untuk secara lebih detail mengatur hal-hal penting dalam pemberian Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik atas tanah. 2) Pembuatan Kuasa untuk memohonkan Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik. 3) Pembayaran pajak-pajak yang timbul untuk sewa-menyewa sebesar 10% (sepuluh persen) dari total sewa-menyewa, yang mempunyai kewajiban di sini adalah Pemegang tanah atau yang menyewakan.
94 4) Pembayaran pajak penyewa karena memperoleh hak sebesar nilai Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dikurangi Rp 60.000.000,- (enampuluh juta rupiah) potongan tidak kena pajak. Untuk daerah Kabupaten Badung sebesar 5% (lima Persen). 5) Pengecekan sertifikat, apabila sewa-menyewa tidak meliputi total keseluruhan luas Hak Milik maka harus dimohonkan pecah terlebih dahulu seluas yang disewa dari tanah sisa. 6) Pembuatan akta pemberian Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik yang dilakukan oleh PPAT yang berwenang. 7) Proses pendaftaran permohonan pemberian Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik di Kantor Badan Pertanahan Nasional yang berwenang. Selain dari proses yang telah dijelaskan diatas maka penulis akan terlebih dahulu menjelaskan mengenai sampel perbuatan hukum yang digunakan dalam penulisan ini. Sampel yang diambil sejumlah 3 (tiga) Perbuatan hukum yang dilakukan oleh masing-masing pihak dalam pemberian Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik atas tanah di Kabupaten Badung Bali. Pemberian Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik atas tanah dapat diberikan dengan menggunakan akta sewa menyewa sebagai dasar pemberiannya, namun ada juga yang menggunakan perjanjian pendahuluan pemberian Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik atas tanah. Oleh sebab itu penulis akan terlebih dahulu memaparkan sampel yang akan digunakan, adalah sebagai berikut: (1)
Duda I Wyn M, sebagai Pihak Pertama, adalah pemilik dari sebidang tanah. Tanah tersebut disewakannya kepada Pihak Kedua, Tuan SM.
95 Kemudian dilakukanlah pembuatan Akta Sewa-Menyewa dan di sertai juga dengan pembuatan akta perjanjian pendahuluan pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik. Duda I Wyn M dalam melakukan perbuatan hukum ini, tidak memerlukan persetujuan dari isterinya dikarenakan telah meninggal dunia, dan hanya mendapatkan persetujuan dari anak laki-laki satu-satunya Tuan I Md S. Tuan I Md S dihadirkan untuk membubuhkan tanda tangannya, dikarenakan Tuan I Md S adalah anak laki-laki satu-satunya. Bali merupaka salah satu adat yang menganut system Patrilenial. Anak laki-laki merupakan ahli waris utama dari apa yang miliki oleh kedua orang tuanya, dan mengingat usia Duda I Wy M yang sudah 66 tahun maka Tuan I Md S ikut mendatangani akta untuk mengetahui status tanah yang dimiliki ayahnya. Akta Sewa-menyewa ini dibuat dihadapan Notaris PR, SH, Notaris di Denpasar. Akta SewaMenyewa ini dilakukan atas sebidang tanah seluas 1125 M2 (seribu seratus duapuluh lima meter persegi) terletak di Kelurahan Kerobokan Kelod, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung, Propinsi Bali, tertera atas nama : I Wyn M. Akta ini dibuat untuk jangka waktu 25 (duapuluh lima) Tahun. Uang sewa untuk seluruh jangka waktu tersebut diberikan sebesar Rp. 250.000.000.- (duaratus limapuluh juta rupiah). Bentuk bangunan dan usaha yang akan dibentuk oleh pihak kedua tidak secara detail disebutkan, hanya disebutkan bahwa diatas tanah yang disewanya tersebut akan didirikan bangunan untuk tempat usaha, dimana usaha tersebut tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku, di desa setempat
96 dengan mengutamakan syarat-syarat yang telah disepakati bersama. Sehubungan dengan kuasa untuk mengurus serta mendirikan bangunan yang dimaksud, maka bersamaan dengan akta sewa menyewa tersebut kuasa itu diberikan kepada pihak kedua. Klausul mengenai pihak kedua akan memohonkan Hak Guna Bangunan atas tanah yang disewanya diatur dalam Pasal 7 pada akta sewa menyewa ini, yang berbunyi: Pihak Kedua dalam hal ini akan memohonkan Hak Guna Bangunan atas tanah yang disewa tersebut diatas Sertipikat Hak Milik dari Pihak Pertama, dan Pihak Kedua juga akan mencarikan dana atas Sertipikat Hak Guna Bangunan diatas hak milik tersebut untuk kedua Hal Tersebut masa sewa dalam Pasal 1 tersebut diatas dimana resiko sepenuhnya ada pada pihak kedua dan apabila sewa berahkir maka hak-hak pemilik tanah wajib dikembalikan seperti pada permulaan sewa dilakukan. Selain pembuatan akta sewa-menyewa dibuat juga akta perjanjian pendahuluan pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik. Perjanjian ini berisi tentang maksud kedua belah pihak, jangka waktu yang diberikan sama dengan jangka waktu pada akta sewa menyewa yaitu selama 25 (duapuluh lima) tahun. Apabila jangka waktu telah berakhir maka bangunan yang ada diatas tanah tersebut akan diserahkan pada pihak pertama tanpa ada ganti kerugian dalam bentuk dan berjumlah berapa pun juga. Perjanjian ini juga mengatur mengenai pemberian uang ganti kerugian sehubungan dengan pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik. Sedangkan untuk Akta Pemberian Hak Guna Bangunan atas Hak Milik dilaksanakan di PPAT Kabupaten Badung, Ni Kmg AS, SH, M.Kn
97 (2)
Desa Adat L adalah pemilik daripada tanah yang di sewa oleh PT. BMPR yang berkedudukan di Jakarta. Desa Adat L dalam melakukan perbuatan hukum ini menunjuk salah seorang melalui paruman desa adat, yang berhak mewakili desa dalam melaksanakan segala sesuatu yang dianggap perlu dalam pemberian Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik. PT BMPR juga menunjuk direkturnya untuk mewakili PT BMPR dalam permohonan pemberian Hak Guna Bangunan diatas Hak Milik. Dasar permohonan Hak Guna Bangunan atas Hak Milik atas tanah pada sampel kedua ini adalah Akta sewa-menyewa yang mana di dalamnya telah tertera hal-hal yang disepakati bersama oleh para pihak untuk memberikan Hak Guna Bangunan diatas Hak Milik atas tanah disertai dengan Akta Kuasa tertanggal yang sama yang dinomori setelah akta sewa menyewa ini. Akta Sewa-menyewa di buat dihadapan Notaris MWK, SH, Notaris di Kabupaten Badung. Akta tersebut tidaklah sama dengan akta sewamenyewa tanah pada umumnya dikarenakan dalam akta tersebut telah diatur klausul-klausul yang mencantumkan mengenai pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik
dengan kesepakatan yang
mendetail. Sewa-menyewa ini diberikan atas obyek tanah seluas 8500 M2 (delapan ribu limaratus meter persegi), dengan nilai sewa sebesar Rp. 27.625.000.000.- (duapuluh tujuh milyar enamratus duapuluh lima juta rupiah). Jangka waktu sewa-menyewa yang juga menjadi jangka waktu pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik diberikan selama 50 (limapuluh) tahun. Maksud dan tujuan pemberian Hak Guna Bangunan
98 atas Hak Milik atas tanah untuk dapat membangun bangunan Hotel, Kondominimum Hotel, dan/atau sarana penunjang akomodasi wisata. Sedangkan untuk akta pemberian Hak Guna Bangunan atas Hak Milik juga dibuat dihadapan MWK, SH selaku PPAT Kabupaten Badung. (3)
Tuan H adalah pemilik dari sebidang tanah yang akan di sewa oleh PT Z. Tuan H dalam melakukan perbuatan hukum ini mendapatkan persetujuan dari istri, kedua anak laki-lakinya, dan kedua menantunya. PT Z menunjuk Tuan K untuk mewakili dalam penandatangan akta yang diperlukan dalam pemberian Hak Guna Bangunan diatas Hak Milik atas tanah, selaku Direktur Utama untuk dan atas nama serta sah mewakili PT Z yang berkedudukan di Kabupaten Badung. Akta Sewa-Menyewa dan Akta Perjanjian Pendahuluan Pemberian Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik dibuat dihadapan IGA ERD, SH, M.Kn. selaku Notaris di Kabupaten Badung. Sewa-menyewa yang dibuat mengenai tanah ini juga mengatur mengandung klausul untuk dilakukannya
permohonan Hak
Guna Bangunan diatas tanah Hak Milik. Jangka waktu yang diberikan untuk sewa-menyewa dan sekaligus untuk Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik atas tanah adalah 30 (tigapuluh) tahun, namun jangka waktu itu diluar jangka waktu dari yang telah disepakati untuk masa pembangunan bangunan dan akan berahkir pada tahun 2043 (duaribu empatpuluh tiga). Uang ganti kerugian ataupun uang yang diberikan dalam jangka waktu sewa-menyewa adalah sebesar Rp.7.240.300.000.- (tujuh milyar duaratus empatpuluh juta tigartus ribu rupiah).- Namun selama masa pembangunan
99 pihak penyewa tidak membayarkan biaya sewa pada pihak yang menyewakan, hal ini telah disepakati bersama dan dituangkan dalam akta sewa menyewa. Sedangkan untuk Akta Pemberian Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik dibuat dihadapan I N EW, SH, M.Kn, PPAT di Kabupaten Badung. 3.2 Alasan Pemberian Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik 3.2.1 Alasan Pemegang hak Milik Apabila dasar permohonan dari pemberian Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik adalah dengan perjanjian sewa-menyewa maka, penyewa dan pihak yang menyewakan bersepakat untuk memohonkan Hak Guna Bangunan diatas Hak Milik yang disewanya. Penulis melakukan wawancara dengan Duda I Wyn M untuk mengetahui alasan dalam pemberian Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik atas tanah. Adapun yang menjadi alasan bagi pihak yang menyewakan atau pihak pemegang Hak Milik untuk memberikan Hak Guna Bangunan diatas Hak Milik yang disewakannya tersebut adalah: a) Berdasarkan perjanjian sewa-menyewa, maka apa pihak penyewa dapat memohonkan Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik atas tanah seperti apa yang sudah dituangkan dalam perjanjian sewa menyewa; b) Dari jangka waktu sewa-menyewa yang lama, 25 tahun, penyewa dapat mengusakan tanah yang disewanya tersebut semaksimal mungkin;
100 c) Sebagai salah langkah supaya tanah yang dimiliknya tersebut tidak berpindah tangan namun tetap dapat menghasilkan uang.105 Selain melakukan wawancara dengan Duda I Wyn M penulis juga melakukan wawancara dengan Tuan H106. Tuan H pun sependapat dengan apa yang dikatakan Duda I Wyn M, alasan pemberian Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik adalah karena tanah yang dimilikinya telah disewa, oleh sebab itu pihak kedua yang menyewa tanahnya, dalam hal ini adalah PT Z, berhak sepenuhnya atas tanah tersebut sepanjang tidak bertentangan dengan hukum. Tuan H sebagai pemegang Hak Milik mengijinkan di atas tanah Hak Milik yang dimilikinya diberikan Hak Guna Bangunan asal tidak melebihi masa sewanya. Dalam klausul perjanjian yang dibuat telah dicantumkan apabila masa sewa telah selesai maka semua bangunan yang telah ada di atas tanah tersebut akan menjadi milik pemegang Hak Milik. Biasanya setelah di bangun untuk tempat dan sarana prasarana akomodasi pariwisata, seiring berjalannya waktu (selama perjanjian sewa) maka nilai tanah yang dimilikinya juga akan meningkat. Selain alasan tersebut di atas terdapat alasan yang sama seperti yang diungkapankan oleh Duda I Wyn M, yang menurut penulis merupakan alasan utama adalah pemegang Hak Milik masih memiliki tanah tersebut walaupun ada pihak lain yang memanfaatkan tanah tersebut secara maksimal,
105
Wawancara dilakukan penulis dengan Duda I Wyn M pada Tanggal 05 Oktober 2013. 106 Wawancara dilakukan penulis dengan Tuan H, pada tanggal 08 Oktober 2013
101 khususnya bagi orang Bali masih ada beberapa orang yang menjaga supaya tanah-tanah yang ada di Bali hendaknya masih dimiliki oleh orang-orang Bali itu sendiri. Hal ini seiring dengan tujuan guna meminimalisir peralihan tanah yang ada di Bali dengan adanya jual-beli tanah yang dimilik oleh penduduk bali pada pihak asing ataupun pada penduduk yang merupakan pendatang. Sehingga dapat disimpulkan alasan pemegang Hak Milik tersebut, yang mempertahankan kepemegangan atas tanahnya tersebut selain dapat meminimalisir adanya monopoli atau penguasaan tanah oleh pihak-pihak tertentu, juga untuk mempertahankan tanahnya supaya tidak beralih kepada pihak lain. 3.2.2 Alasan Pihak yang memohonkan Hak Guna Bangunan Penulis melakukan wawancara pada pihak yang memohonkan Hak Guna Bangunan pada sampel pertama, Tuan SM, melalui telepon. Hal ini dilakukan mengingat Tuan SM berdomisili di seputaran Jakarta.Tuan SM mengatakan pada penulis107, alasan untuk memohonkan Hak Guna Bangunan diatas tanah Hak Milik dilakukan untuk mendapatkan jaminan pasti akan bangunan yang akan didirikan diatas tanah Hak Milik. Mengingat jangka waktu yang sangat lama, pemberian Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik memberikan nilai tambah dari tanah yang disewanya. Pemberian Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik memberikan kesempatan untuk pihak yang memiliki Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik dapat mencarikan
107
2013
Wawancara dilakukan penulis dengan Tuan SM pada tanggal 06 Oktober
102 dana atas Hak Guna Bangunan tersebut. Sesuai dengan Pasal 4 UndangUndang Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, menyebutkan bahwa objek hak tanggungan dapat berupa Tanah Hak Milik, Hak Guna Bangunan, dan Hak Guna Usaha. Hak Guna Bangunan di atas hak milik dapat dijadikan agunan pembebanan Hak Tanggungan karena Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik termasuk dalam Hak Guna Bangunan secara umum. Pemberian Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik juga melindungi penyewa atau pihak yang memiliki Hak Guna Bangunan sebagai pegangan atau jaminan bahwa selama jangka waktu yang telah disepakati bersama, pihak petama tidak dapat memindahkan tanah tersebut ke tangan pihak lain, jikalau hal itu terjadi maka harus dengan persetujuan tertulis dari pihak yang mempunyai Hak Guna Bangunan. Dapat disimpulkan hal ini menjadi jaminan bahwa pihak pertama dengan adanya pemberian Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik tidak dapat dengan sesuka hatinya memperlakukan tanah yang dimilikinya dikarenakan telah terikat suatu perjanjian dengan pihak pemegang Hak Guna Bangunan. Pihak kedua dalam sampel kedua adalah PT BMPR yang berkedudukan di Jakarta, karena penulis sulit untuk mendapatkan informasi dari PT BMPR maka penulis juga melakukan wawancara dengan Notaris/PPAT MWK, SH108 yang dihadapannya telah dilakukan semua proses pemberian Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik. Beliau menjelaskan 108
Wawancara dilakukan penulis pada tanggal 09 Oktober 2013
103 salah satu alasan PT BMPR memohonkan Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik adalah supaya dapat mencarikan dana untuk kelangsungan usaha dan sebagai tambahan dana untuk pembangunan kondotel yang dimaksud dalam perjanjian yang telah di sepakati bersama. Selain dapat dicarikan dana, alasan lain yang dimiliki PT BMPR adalah karena faktor harga tanah dikawasan Kabupaten Badung, khususnya kawasan Kuta dimana Desa L merupakan kawasan Kuta, yang harganya hari demi hari semakin meningkat. Modal yang dimiliki oleh PT BMPR tidaklah cukup untuk membeli tanah. Opsi untuk sewa-menyewa atas tanah di Desa L, kemudian di mohonkannya Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik, membuat PT BMPR masih tetap bisa menjalankan usahanya dengan modal yang tidak begitu besar. PT Z, sebagai pihak kedua atas sampel ketiga, mengatakan hal yang serupa dengan apa yang menjadi alasan PT BMPR109, yaitu PT Z secara financial belum cukup mempunyai modal untuk membeli tanah sebagai tempat usaha. Oleh sebab itu dilakukanlah sewa-menyewa dan memohonkan Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik. Permohonan ini dilakukan dalam rangka pemenuhan kepentingan kedua belah pihak. Hal ini dirasakan manfaatnya karena tidak ada pihak yang merasa dirugikan. PT Z juga menambahkan bahwa atas tanah yang disewanya, adalah menjadi hak daripadanya mau diapakan saja selama jangka waktu sewa-menyewa yang telah disepakati dengan pihak pertama.
109
Wawancara dilakukan dengan PT Z pada tanggal 07 Oktober 2013
104 3.3 Hak Dan Kewajiban Bagi Pemegang Hak Guna Bangunan Di Atas Tanah Hak Milik 3.3.1 Kewajiban Bagi Pemegang Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik Secara umum penulis ingin memaparkan terlebih dahulu mengenai kewajiban pihak penyewa. Kewajiban penyewa pada umumnya penting untuk dibicarakan karena dari ketiga sampel yang penulis gunakan, ketiganya menggunakan perjanjian sewa menyewa sebagai dasar pemberian Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik. R. Subekti dalam bukunya yang berjudul “Aneka Perjanjian” memaparkan mengenai kewajiban-kewajiban si penyewa. R. Subekti dalam bukunya yang berjudul Aneka Perjanjian menjelaskan kewajiban utama dari penyewa adalah : 1. Memakai barang yang disewa sebagai seorang “bapak rumah yang baik”, sesuai dengan tujuan yang diberikan kepada barang itu menurut perjanjian-sewanya; 2. Membayar harga sewa pada waktu-waktu yang telah ditentukan menurut perjanjian.110 Kewajiban untuk menggunakan atau memakai barang yang disewa sebagai “bapak rumah yang baik” diartikan bahwa pihak penyewa harus memperlakukan tanah yang disewanya sebagaimana tanah tersebut adalah miliknya sendiri. Hal tersebut di kuatkan dengan pendapat Badriyah Harun yang mengatakan bahwa “kewajiban memelihara tanah ini tidak saja dibebankan kepada pemiliknya atau pemegang haknya yang bersangkutan,
110
43
R Subekti, 1992, Aneka Perjanjian, Bandung, PT Citra Aditya Bakti, hal.
105 juga menjadi beban pula dari setiap orang, badan hukum, atau instansi yang mempunyai suatu hubungan hukum dengan tanah itu.”111 Pihak penyewa juga hanya diperbolehkan mempergunakan tanah yang disewanya tersebut hanya untuk tujuan yang telah disepakati bersama. Jika penggunaan tanah oleh penyewa tidak sesuai dengan apa yang telah diperjanjikan bersama dan dari penggunaannya itu menimbulkan kerugian pihak yang menyewakan maka pihak yang menyewakan berhak untuk meminta pembatalan atas sewanya tersebut. Hal ini diatur dalam Pasal 1561 KUH Perdata. Selanjutnya R Subekti menambahkan untuk seorang penyewa tanah, “Pasal 1591 KUH Perdata diletakkan kewajiban atas ancaman membayar ganti rugi untuk melaporkan kepada si pemilik tanah tentang segala peristiwa yang dilakukan diatas pekarangan-pekarangan yang disewa.”112 Melaporkan kepada pemilik tanah diartikan bahwa pemilik tanah juga dapat mengetahui atas apa yang dilakukan oleh pihak penyewa atas tanah yang disewanya. Menurut Pasal 30 dan Pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang pemberian Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai, pemegang Hak Guna Bangunan berkewajiban : a. b.
c.
111 112
Membayar uang pemasukan yang jumlah dan cara pembayarannya ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya; Menggunakan tanah sesuai dengan peruntukkannya dan persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam keputusan dan perjanjian pemberiannya; Memelihara dengan baik tanah dan bangunan yang ada diatasnya serta menjaga kelestarian lingkungan hidup;
Badriyah Harun, Op.cit, hal .8 Ibid, hal. 43-44
106 d.
e. f.
Menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan hak guna bangunan kepada Negara, pemegang hak pengelolaan, atau pemegang hak milik sesudah hak guna bangunan itu hapus; Menyerahkan sertipikat hak guna bangunan yang telah hapus kepada Kepala Kantor Pertanahan; Memberikan jalan keluar atau jalan air atau kemudahan lain bagi pekarangan atau bidang tanah yang terkurung oleh tanah Hak Guna Bangunan tersebut.113
Pada perjanjian sewa-menyewa dari ketiga sampel yang digunakan penulis ditemukan kesamaan atas hal yang mengatur mengenai kewajiban pemegang Hak Guna Bangunan diatas Hak Milik ditemukan kewajibankewajiban pihak kedua sebagai penyewa adalah: (1) Membayar uang sewa sebesar yang telah disepakati bersama. (2) Penyewa berkewajiban untuk menggunakan tanah yang disewanya tersebut untuk mendirikan bangunan dan tempat usaha, dimana usaha tersebut tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku, baik hukum formal maupun hukum adat yang berlaku, di desa setempat, dengan memakai syarat-syarat: a. Izin yang diperlukan dari instasi yang berwenang untuk mendirikan bangunan yang dimaksud diurus oleh dan atas biaya penyewa sendiri; b. Bentuk, ukuran dan bahan-bahan bangunan tersebut ditetapkan oleh penyewa sendiri; c. Dan apabila pihak kedua akan menambah, merubah bangunan yang telah ada, tanpa persetujuan pihak pertama;
113
Urip Santoso, Op.cit, hal. 113
107 d. Bangunan yang telah didirikan penyewa tersebut setelah masa sewa berahkir menjadi milik yang menyewakan tanpa kewajiban membayar ganti kerugian berupa apapun kepada penyewa. (3) Penyewa juga diwajibkan untuk merawat dan memelihara yang
disewanya
tersebut
dengan
sebaik-baiknya
apa
termasuk
bangunan yang didirikan diatas tanah tersebut dan semua biaya untuk itu ditanggung dan dibayar oleh penyewa sendiri. (4) Membayar beban pajak bumi dan bangunan yang dikenakan atas tanah yang disewanya, selama jangka waktu sewa menyewa berjalan. (5) Penyewa diwajibkan memenuhi peraturan-peraturan yang ada atau kelak diadakan oleh pihak yang berwajib mengenai pemakaian bangunan-bangunan dan pekarangan dan segala pelanggaran atas peraturan itu menjadi tanggungan dan pembayaran penyewa sendiri. (6) Pihak penyewa berkewajiban untuk membayar ongkos akta dan segala ongkos-ongkos yang berhubungan dengan permohonan hak guna bangunan diatas hak milik termasuk penghapusannya apabila sewa berahkir. (7) Mengenai jangka waktu, apabila berahkir atau batal maka apa yang telah di bangun oleh pihak penyewa maka akan menjadi hak dari pihak yang menyewakan. Penyewa diwajibkan mengosongkan
108 bangunan tersebut dari segenap penghuni dan barang-barang perabotannya dalam jangka waktu 1 (satu) bulan, terhitung dari hari berahkirnya atau batalnya sewa-menyewa ini dan menyerahkan tanah berikut bangunan tersebut kepada yang menyewakan dalam keadaan baik. Perjanjian pendahuluan Hak Guna Bangunan diatas Hak Milik juga mengatur mengenai kewajiban-kewajiban pemegang Hak Guna Bangunan. Kewajiban ini diatur dalam Pasal 4 mengenai kewajiban pihak kedua antara lain: (1) Pihak kedua berkewajiban untuk mengusahakan kelengkapan persyaratan yang diperlukan oleh pihak kedua sebelum tanggal penandatanganan; (2) Pihak kedua berkewajiban untuk membayar uang ganti kerugian sebagaimana disebutkan dalam salah satu pasal dalam perjanjian ini; (3) Pihak kedua berkewajiban untuk membuat dan menandatangani Akta Pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik bersama-sama dengan pihak pertama atau kuasa-kuasa mereka yang sah dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang berwenang pada Tanggal Penandatanganan; (4) Pihak kedua berkewajiban menyerahkan bangunan kepada pihak pertama sesuai ketentuan yang telah diatur, apabila jangka waktu
109 daripada Hak Guna Bangunan ini berakhir beserta perpanjangannya (bilamana ada). Akta pemberian Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik juga memuat beberapa kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh pemegang Hak Guna Bangunan. Kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi dapat terlihat pada Pasal 1: (1) Pasal 1 angka (4) mengatur bahwa pemegang Hak Guna Bangunan tidak diperbolahkan menghilangkan tanda-tanda batas obyek pemberian hak dan tidak diperbolehkan membangun bangunan yang melintasi batas obyek pemberian hak. (2) Pasal 1 angka (5) menerangkan bahwa dalam melaksanakan pembangunan pihak kedua wajib memenuhi segala ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pendirian bangunan dan rencana tata ruang wilayah dan wajib memiliki izin-izin yang disyaratkan. (3) Pasal 1 angka (7) juga menerangkan bahwa pihak kedua akan memelihara dan mengelola bangunan termasuk benda-benda serta sasarannya
dengan
sebaik-baiknya
dan
apabila
ternyata
ditelantarkan maka pihak kedua akan menyerahkan dan memberi kuasa kepada pihak pertama untuk mengelola dan memelihara hingga jangka waktu pemberian hak yang diberikan dengan akta ini berahkir.
110 (4) Pasal
1 angka (8)
mengatur bahwa pihak kedua tidak
diperkenankan untuk mengagunkan atau menjual dengan cara apapun juga tanpa terlebih dahulu memperoleh persetujuan tertulis dari pihak pertama. (5) Pasal 1 angka (9) menyetakan bahwa apabila jangka waktu berahkir maka pihak yang akan mendapatkan Hak Guna Bangunan akan mengosongkan bangunan yang ada di atas obyek pemberian hak dan menyerahkannya kepada pihak pemegang Hak Milik berikut benda-benda lain serta sarananya, tanpa pembayaran ganti rugi berupa apapun juga, atau membongkar bangunan yang ada di atas obyek pemberian hak dan menyerahkan kembali obyek pemberian hak tersebut kepada pihak pertama seperti keadaan semula. 3.3.2 Hak Bagi Pemegang Hak Guna Bangunan Di Atas Tanah Hak Milik Menurut Pasal 32 Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 tentang tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah: Pemegang Hak Guna Bangunan berhak menguasai dan mempergunakan tanah yang diberikan dengan Hak Guna Bangunan selama waktu tertentu untuk mendirikan dan mempunyai bangunan untuk keperluan pribadi atau usahanya serta untuk mengalihkan hak tersebut kepada pihak lain dan membebaninya dengan Hak Tanggungan.
111 Apa yang telah diungkapkan di atas adalah hak yang dapat dimiliki oleh pemegang hak guna bangunan secara umum, yang dapat diartikan bahwa apa yang menjadi hak bagi pemegang Hak Guna Bangunan secara umum tidaklah sama dengan apa yang dimiliki oleh pemegang Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik. Hak-hak pemegang Hak Guna Bangunan diatas Hak Milik, dapat ditemukan pada perjanjian sewa menyewa dan perjanjian pendahuluan pemberian hak guna bangunan di atas hak milik. Hak bagi pemegang Hak Guna Bagunan dalam perjanjian sewa menyewa dapat ditemukan pada: 1)
Pasal yang menyatakan bahwa penyewa dapat menggunakan tanah yang disewanya tersebut untuk mendirikan bangunan dan tempat usaha, di mana usaha tersebut tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku, baik hukum formal maupun hukum adat yang berlaku, di desa setempat, dengan memakai syarat-syarat.
2)
Klausul Pasal yang menjadi dasar penyewa untuk menndaftarkan Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik. Pasal ini menyatakan bahwa penyewa dalam hal ini akan memohonkan Hak Guna Bangunan atas tanah yang disewa tersebut di atas sertifikat Hak Milik tersebut. Pihak penyewa juga akan mencarikan dana atas sertifikat Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik tersebut, di mana untuk kedua hal tersebut pihak yang menyewakan menyetujuinya dan memberikan kuasa yang dibuat secara tersendiri untuk mengurus hal-hal tersebut di atas.
112 3)
Pasal yang menyatakan bahwa penyewa diperbolehkan untuk memindahkan hak sewa ini baik sebagian maupun seluruhnya kepada pihak lain asalkan dalam batas waktu sewa menyewa masih berlangsung dan dengan pemberitahuan kepada pihak pertama, karena pihak penyewa tidak dapat secara sepihak menghentikan perjanjian yang sedang berlangsung diatara pihak penyewa dan yang menyewakan. Pasal 1579 KUH Perdata mengatur bahwa “pihak yang menyewakan tidak dapat mengehentikan sewanya dengan menyatakan hendak memakai sendiri barangnya yang di sewakan, kecuali jika telah di perjanjikan sebaliknya”, Pasal tersebut memang mengatur tentang pihak yang menyewakan. Namun dapat juga disimpulkan bahwa pihak penyewa juga tidak diperkenankan mengentikan perjanjian sewa-menyewa yang ada secara sepihak.
Perjanjian pendahuluan pemberian Hak Guna Bangunan diatas Hak Milik tidak secara rinci mengatur mengenai hak-hak yang dimiliki oleh pemegang Hak Guna Bangunan. Hak-hak yang dimiliki oleh pemegang Hak Guna Bangunan dapat dilihat dari kewajiban-kewajiban dari pihak pertama dimana merupakan hak dari pihak kedua. Sementara itu dalam akta pemberian Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik, hak-hak yang dimiliki oleh pemegang Hak Guna Bangunan ada pada Pasal 2 yang menyatakan, bahwa mulai hari ini atau mulai pada saat penandatanganan akta ini objek pemberian hak dapat digunakan dan segala
113 keuntungan yang didapat dari dan segala kerugian/beban atas obyek pemberian hak tersebut di atas menjadi hak/beban pihak kedua. 3.4 Hak Dan Kewajiban Pemegang hak Milik Atas Tanah Yang Di Atasnya Diberikan Hak Guna Bangunan 3.4.1 Kewajiban Pemegang hak Milik Atas Tanah Yang Di Atasnya Diberikan Hak Guna Bangunan Kewajiban yang dimiliki oleh pemegang Hak Milik berkenaan dengan pemberian Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik dapat di lihat dalam perjanjian sewa-menyewa dan akta pemberian Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik. Dalam perjanjian sewa menyewa mengenai kewajiban yang hendaknya dipenuhi oleh pemegang Hak Milik dapat ditemukan pada: 1) Pasal yang menyatakan bahwa pihak yang menyewakan menjamin penyewa bahwa penyewa dapat menjalankan hak-haknya sebagai peyewa dari tanah tersebut tanpa mendapat gangguan hukum dari pihak lain. 2) Pasal yang menyatakan pihak yang menyewakan memberikan kuasa kepada penyewa untuk mengurus serta mendirikan bangunan yang dimaksud atas nama penyewa. Kewajiban di sini adalah memberikan kuasa tersendiri. 3) Pasal yang pada salah satu klausulnya menyatakan bahwa pihak yang menyewakan bersedia meminjamkan sertifikat hak milik tersebut di atas guna pengurusan permohonan pemberian Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik.
114 Perjanjian pendahuluan pemberian hak guna bangunan diatas Hak Milik mengatur mengenai kewajiban-kewajiban pihak pertama, antara lain : 1) Pihak pertama berkewajiban untuk meminjamkan asli sertipikat tanah serta membuat dan menandatangani akta pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik bersama-sama dengan pihak kedua atau kuasa-kuasa mereka yang sah dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang berwenang pada tanggal penandatanganan; 2) Selama berlakunya jangka waktu Hak Guna Bangunan atas tanah, pihak pertama dengan ini memberikan persetujuan kepada pihak kedua untuk melaksanakan semua hak dan kewajiban termasuk untuk mengangunkan
atau
menjual
Hak
Guna
Bangunan
tersebut
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi pemegang Hak Guna Bangunan. Sedangkan dalam akta pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik, kewajiban dari pemegang Hak Milik hanya sebatas pada pemberian jaminan pada pihak kedua mengenai status tanah yang dimilikinya sebagai dasar perlindungan hukum dari pihak kedua ketika menjalankan usahanya selama jangka waktu yang telah di sepakati bersama. 3.4.2
Hak Pemegang Hak Milik Atas Tanah Yang Di Atasnya
Diberikan Hak Guna Bangunan Hak-hak yang dimiliki oleh pemegang Hak Milik berkenaan dengan pemberian Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik dapat di lihat dalam perjanjian sewa-menyewa, perjanjian pendahuluan pemberian Hak Guna
115 Bangunan atas Hak Milik dan akta pemberian Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik. Hak dari pada pemegang Hak Milik dalam perjanjian sewa menyewa sampel yang pertama dapat ditemukan pada: 1) Pasal 2 berisikan mengenai jumlah uang sewa untuk jangka waktu yang telah ditentukan. Ditetapkan sejumlah uang untuk setiap are yang nantinya akan dikalikan dengan luas tanah yang akan disewa. Pasal tersebut juga menjelaskan bahwa jumlah uang tersebut telah diterima oleh pemegang Hak Milik sebelum penandatanganan perjanjian sewamenyewa ini dan telah diberikan kwitansi secara tersendiri. 2) Pasal 4 pada salah satu klausulnya menjelaskan bahwa pemegang Hak Milik dapat mengalihkan tanah yang dimiliki pada pihak lain dan perjanjajin sewa ini tetap berlangsung dan diteruskan dengan pemegang Hak Milik baru. 3) Pasal 13 menjelaskan bahwa apabila jangka waktu sewa-meyewa perjajian ini telah berahkir atau batal, dan apa yang telah di bangun oleh pihak penyewa menjadi hak pihak yang menyewakan, maka penyewa diwajibkan mengosongkan bangunan tersebut dari segenap penghuni dan barang-barang perabotnya dalam jangka waktu 1 (satu) bulan, terhitung dari hari berahkirnya atau batalnya sewa-menyewa ini dan menyerahkan tanah berikut bangunan tersebut kepada yang menyewakan dalam keadaan baik.
116 Sedangkan untuk hak pemegang Hak Milik dalam perjanjian pendahuluan pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik (sampel pertama dan ketiga), ditemukan dalam : 1) Pasal 5, mengenai uang ganti kerugian yang diberikan oleh pihak kedua kepada pihak pertama. Uang ganti kerugian ini diberikan sehubungan dengan pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah untuk jangka waktu tertentu yang dimaksudkan perjanjian ini. Selanjutnya pihak pertama mengakui dengan sah telah menerima dari pihak kedua uang sejumlah tersebut seperti yang telah disepakati bersama. Hak-hak pemegang Hak Milik pada akta pemberian Hak Guna Bangunan ata Hak Milik tercantum pada : 1) Salah satu klausul menyatakan bahwa pemberian Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik ini dilakukan dengan imbalan. Imbalan ini dimaksudkan sebagai hak yang diterima oleh pemegang Hak Milik. Pemegang Hak Milik mengaku telah menerima sepenuhnya uang tersebut di atas dari pihak kedua dan untuk penerimaan uang tersebut akta ini berlaku pula sebagai tanda penerimaan yang sah (kwitansi). 2) Pasal 1 angka (9) menyetakan bahwa apabila jangka waktu berahkir maka pihak yang akan mendapatkan Hak Guna Bangunan akan mengosongkan bangunan yang ada di atas obyek pemberian hak dan menyerahkannya kepada pihak pemegang Hak Milik berikut bendabenda lain serta sarananya, tanpa pembayaran ganti rugi berupa apapun juga.
117 BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEMEGANG HAK GUNA BANGUNAN DI ATAS TANAH HAK MILIK DAN PEMEGANG HAK MILIK ATAS TANAH YANG DI ATASNYA DIBERIKAN HAK GUNA BANGUNAN 4.1 Perlindungan Hukum terhadap pemegang hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik atas Tanah Penulis menjadikan perjanjian-perjanjian yang dibuat antara pihak yang memiliki Hak Milik dengan pihak yang memohonkan Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik sebagai dasar pengukur sejauh mana, perjanjian-perjanjian tersebut beserta klausul-klausul yang ada didalamnya melindungi kepentingan para pihak sehingga seiring berjalannya waktu yang sangat panjang dari sewa-menyewa ataupun kerjasama yang dijalin antara kedua belah pihak merasa terlindungi. Penulis akan mengulas satu persatu perjanjian yang digunakan pada setiap sampel dan ditemukan kelebihan dan kekurangan masing-masing perjanjian dan supaya dapat menarik sebuh kesimpulan untuk di kemudian hari mengenai pemberian Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik yang baik dan mengakomodir kepentingan kedua belah pihak. (1)
Sampel Pertama, Duda I Wyn M dengan Tuan SM
Perjanjian pertama yang dibuat dalam pemberian Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik adalah sewa-menyewa tanah. Pasal 3 sewa menyewa ini mengatakan bahwa :
117
118 Pihak pertama dengan ini menjamin kepada pihak kedua, bahwa tanah tersebut tidak dikenakan sitaan, tidak digunakan sebagai jaminan atau dibebani dengan beban-beban lainnya, belum pernah dimohonkan untuk pemberian Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, atau pembebanan lainnya, kepada pihak lain kecuali kepada penyewa dan karenanya menjamin bahwa pihak kedua dapat menjalankan hak-haknya sebagai pemegang Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik atas tanah tersebut tanpa mendapat gangguan dari pihak pertama, ahli warisnya atau siapapun juga.” Pasal 3 ini menjamin bahwa pihak pertama sebagai pemegang Hak Milik menjamin bahwa dari tanah tersebut adalah tanah yang bebas. Bebas dalam artian bahwa tanah tersbeut tidak dalam sengketa, jamina hutang, dan tidak juga pernah dimohonkan Hak Guna Bangunan sebelumnya. Pemberian jaminan ini dimaksudkan supaya pihak kedua merasa yakin bahwa memang pihaknyalah yang akan berhak secara penuh atas tanah yang disewanya tersebut. Selain pada Pasal 3, Pasal 4 menambahkan : selama penyewa memenuhi kewajiban-kewajibannya sebagai penyewa dengan tertib, maka yang menyewakan atau mereka yang mendapatkan hak-haknya tidak berhak untuk membatalkan sewamenyewa ini. Sewa menyewa ini tidak juga berakhir apabila salah satu pihak meninggal dunia, dalam hal mana sewa menyewa ini dengan sendirinya diteruskan dan berlaku untuk antara pihak yang masih hidup dengan para ahli waris dari pihak yang meninggal dunia itu atau antara sesama ahli waris mereka bilamana kedua-duanya meninggal dunia. Apabila yang telah disewa, dijual kepada pihak lain, maka sewa menyewa ini tetap berlangsung dan diteruskan oleh pihak kedua dengan pemilik baru. Jaminan yang diberikan pihak yang menyewakan disertai syarat apabila penyewa mememuhi kewajiban-kewajibannya sebagai penyewa yang tertib, maka berdasar dari hal tersebut maka penyewa tidak berhak untuk membatalkan sewa. Klausul Pasal 4 yang menyebutkan bahwa apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak meninggal dunia maka akan diteruskan
119 oleh ahli warisnya atau sesama ahli waris apabila keduanya meninggal dunia, menjadi jaminan bahwa jangka waktu sewa menyewa yang telah disepakati bersama tidak akan putus apabila salah satu diantara kedua belah pihak meninggal dunia. Mengingat usia seseorang tidak ada yang pernah tau, maka isi dari pasal tersebut menjadi jaminan dari keberlangsungan masa sewa. Pasal selanjutnya yang juga menjadi jaminan perlindungan hukum adalah Pasal 5 yang berbunyi : “yang menyewakan menjamin penyewa bahwa penyewa dapat menjalankan hak-haknya sebagai penyewa dari tanah tersebut tanpa mendapat gangguan hukum dari pihak lain.” Walaupun telah dijelaskan pada Pasal 3 bahwa pihak pertama atau pihak yang menyewakan menjamin pihak penyewa atas segala hal yang berkaitan dengan tanah tersebut dan akan bebas gangguan dari pihak yang menyewakan beserta para ahli waris dan siapapun juga, Pasal 5 kembali menegaskan bahwa pihak penyewa akan dapat menjalankan hak-haknya sebagai penyewa tanpa mendapatkan gangguan hukum dari pihak lain. Menurut penulis sendiri, adanya Pasal 3 dan Pasal 5 ini mempunyai arti yang sama sehingga seharusnya dapat dijadikan satu pasal saja yang mencakup isi dan penegasan atas jaminan pihak pertama kepada pihak kedua untuk dapat menggunakan tanah yang disewanya dan bebas dari gangguan dari pihak manapun. Perjanjian yang selanjutnya ditandatangani oleh para pihak adalah perjanjian pendahuluan pemberian Hak Guna Bangunan diatas tanah Hak Milik. Perjanjian ini juga memuat klausul-klausul yang jadi perlindungan hukum bagi kedua belah pihak. Namun penulis pada kesempatan pertama ini
120 akan membahas mengenai perlindungan terhadap pihak yang mendapatkan Hak Guna Bangunan. Pasal 1 pada perjanjian ini mengatur mengenai janji untuk memberikan Hak Guna Bangunan atas tanah dan untuk menerima Hak Guna Bangunan atas tanah, janji yang diberikan oleh pihak pertama kepada pihak kedua adalah, janji untuk mengikatkan diri kepada pihak kedua untuk memberikan Hak Guna Bangunan atas tanah dan menyerahkan tanahnya hanya pada pihak kedua untuk jangka waktu 25 (duapuluh lima tahun). Pasal 6 mengatur mengenai pernyataan dan jaminan dari pihak pertama, yang berbunyi : Pihak pertama dengan ini menyatakan dan menjamin pihak kedua: a. Bahwa pihak pertama adalah benar pemilik dan berhak penuh atas tanah berserta segala sesuatu yang didirikannya dan/atau tertanam diatasnya; b. Bahwa tidak ada orang atau pihak lain yang ikut mempunyai suatu hak atau kepentingan dengan nama apapun atas tanah beserta segala sesuatu yang didirikan dan/atau tertanam diatasnya; c. Bahwa pihak pertama berhak untuk memberikan hak guna bangunan atas tanah dan menyerahkan tanah kepada pihak kedua berdasarkan akta ini; d. Bahwa pihak pertama berhak untuk menandatangani akta ini; e. Bahwa tanah berserta segala sesuatu yang didirikan dan/atau tertanam diatasnya, belum pernah dijual/dioperkan oleh pihak pertama dengan cara apapun kepada orang atau pihak lain; f. Bahwa tanah beserta segala sesuatu yang didirikan dan/atau tertanam diatasnya tidak tersangkut dalam suatu perkara atau sengketa; g. Bahwa tanah beserta segala sesuatu yang didirikan dan/atau tertanam diatasnya tidak berada dalam suatu sitaan; h. Bahwa tanah beserta segala sesuatu yang didirikan dan/atau tertanam diatas tidak dijaminkan atau dipertanggungkan dengan cara bagaimanapun kepada orang atau pihak lain; i. Bahwa pihak kedua sekarang dan dikemudian hari sehubungan dengan pemberian hak guna bangunan atas tanah, tidak akan mendapat suatu tuntutan dan/atau gugatan dalam bentuk dan berjumlah berapapun dari orang atau pihak lain; j. Bahwa akta ini berlaku sah dan mengikat pihak pertama.
121 Dari klausul-klausul yang ada pada pasal yang telah disebutkan diatas dapat dilihat bahwa secara rinci pihak pertama menjamin atas tanah yang diperjanjikannya dengan pihak kedua atau pihak yang akan memperoleh hak guna bangunan. Hal-hal yang dijamin sama halnya dengan apa yang ada pada perjanjian sewa menyewa. Akta selanjutnya yang dibuat adalah akta pemberian Hak Guna Bangunan atas Hak Milik, merupakan sebuah bentuk yang baku yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional sesuai dengan Pasal 96 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia No. 8 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, dimana dalam lampiran pasal tersebut dijelaskan mengenai tata cara pengisian blanko akta seperti yang dimaksud. Untuk perlindungan hukum dalam akta ini berarti digunakan juga oleh sampel kedua dan ketiga, karena bentuknya sama. Dibuat dihadapan PPAT yang berwenang di Kabupaten Badung. Pasal 3 berbunyi : “Pihak pertama menjamin, bahwa objek pemberian hak tidak tersangkut dalam suatu sengketa, bebas dari sitaan, tidak terikat sebagai jaminan untuk sesuatu utang yang tidak tercatat dalam sertipikat, dan bebas dari beban-beban lainnya yang berupa apapun.” Inti daripada Pasal 3 ini sama halnya dengan apa yang telah diperjanjikan oleh para pihak dalam akta-akta yang sebelumnya telah ditandatangani. Berarti dalam setiap akta pihak pertama menjamin mengenai bebasnya tanah
122 tersebut dari segala macam hal dan pihak kedua dapat menggunakan dan memanfaatkan tanah tersebut secara bebas selama jangka waktu yang telah disepakati dan selama masih sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perlindungan hukum bagi pemegang Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik, lebih ditekankan pada adanya jaminan dari pihak pertama atau pemegang Hak Milik yang menyatakan bahwa selama jangka waktu yang telah disepakati bersama pihak kedua dapat mempergunakan tanah tersebut dengan bebas tanpa mendapatkan gangguan dari pihak manapun. (2)
Sampel Kedua, Desa Adat L dengan PT BMPR
Perjanjian yang dibuat antara Desa adat L dan PT BMPR adalah perjanjian sewa menyewa dan kuasa. Sewa menyewa menjadi dasar utama diberikannya hak guna bangunan atas tanah hak milik. Perjanjian yang dibuat dihadapan Notaris MWK, SH, Notaris di Kabupaten Badung ini dalam menyebutkan perlindungan hukum yang diberikan untuk pemegang Hak Guna Bangunan atas tanah di temukan dalam Pasal 3 yang menyatakan bahwa memang benar apa yang disewakan dalam akta ini benar merupakan milik pihak pertama sehingga dengan demikian hanya pihak pertama sendirilah yang berhak untuk memindahtangankannya; apa yang disewakan tersebut bebas dari segala sitaan, ikatan dari jaminan sesuatu utang terhadap pihak manapun; dan pihak kedua dapat menjalankan hak-haknya sebagai penyewa tanah tersebut tanpa mendapat gangguan hukum dari pihak lain. Hal ini ditegaskan dan menjadi jaminan pihak pertama karena mengingat jangka
123 waktu perjanjian sewa menyewa ini cukup panjang, maka pihak pertama harus secara tegas menjamin dan memberikan perlindungan hukum terhadap pihak kedua supaya dapat menjalankan usahanya, dalam hal ini telah ditentukan usaha tersebut adalah pembangunan hotel dan kondotel berserta sarana pendukungnya. Perlindungan hukum yang diberikan pihak yang menyewakan terhadap pihak penyewa dilanjutkan pada Pasal 6 angka 6.2 yang menyatakan bahwa pihak pertama menjamin bahwa pihak kedua akan dapat menikmati sepenuhnya tanah yang disewanya tersebut tanpa mendapat gangguan dari pihak manapun dan karena alasan apapun juga, termasuk tidak akan dipaksa untuk pindah ke tempat lain baik oleh pihak pertama, ahli waris Pihak Pertama maupun pihak-pihak lainnya. Jaminan ini sama halnya dengan yang dijelaskan pada Pasal 3 hanya ditambahkan mengenai tidak dipaksa untuk pindah ketempat lain baik oleh pihak pertama, ahli waris pihak pertama maupun pihak-pihak lainnya. Pasal 12 angka 12.1 terdapat klausul yang menyatakan bahwa apabila kedua belah pihak sepakat untuk memperpanjang jangka waktu maka pihak kedua adalah pihak yang mempunyai prioritas untuk memperpanjang jangka waktu sewa tersebut. Prioritas disini diartikan bahwa, pihak kedua adalah pihak yang harus diutamakan apabila ingin memperpanjang jangka waktu sewa dan tidak di sewakan kepada pihak lain. Hal ini berkaitan dengan kepemilikan pihak kedua terhadap bangunan yang di bangun diatas tanah hak milik pihak pertama, dan keberlajutan dari usaha yang dijalankan pihak
124 kedua. Begitu juga yang dijamin oleh pihak pertama apabila pihak pertama berkeinginan untuk menjual tanah tersebut, maka pihak kedua adalah pihak yang mendapat hak utama untuk membelinya. Diberikannya pihak kedua hak utama dalam membeli tanah juga untuk berkelanjutannya usaha pihak kedua. Akta pemberian Hak Guna Bangunan diatas Hak Milik yang dibuat dihadapan PPAT yang berwenang dalam hal ini MWK, SH sama bentuk dan isi dari apa yang dibuat pada sampel pertama, perbedaan data hanya pada para pihak, objek, dan nominal imbalan atas tanah tersebut. Sampel kedua menjadi menarik untuk dibahas perlindungan hukumnya dikarenakan penulis menemukan suatu hal yang tidak sesuai dengan apa yang diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang pemberian Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas tanah Pasal 29 yang berbunyi : (1) Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik diberikan untuk jangka waktu paling lama tiga puluh tahun. (2) Atas kesepakatan antara pemegang Hak Guna bangunan dengan pemegang Hak Milik, Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik dapat diperbaharui dengan pemberian Hak Guna Bangunan baru dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah dan hak tersebut wajib didaftarkan. Jangka waktu pemberian Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik atas tanah dalam sample kedua ini adalah 50 (limapuluh) tahun sesuai dengan jangka waktu sewa menyewa yang telah disepakati bersama. Terlepas dari asas kebebasan berkontrak yang dimiliki kedua belah pihak dalam membuat suatu perjanjian dan menentukan apa yang ada di dalam perjanjian tersebut, tentu saja tidak bisa mengesampingkan apa yang telah diatur oleh peraturan
125 perundang-undangan yang berlaku. Syarat sahnya suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang mengemukakan empat syarat,yaitu : 1. Adanya kesepakatan kedua belah pihak 2. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum 3. Adanya suatu hal tertentu. 4. Adanya sebab yang halal. Penulis berpendapat apabila jangka waktu yang disepakati bersama dalam perjanjian sewa menyewa tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang pemberian Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas tanah. Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan syarat keempat yang menyebutkan bahwa suatu perjanjian dilakukan dengan adanya sebab yang halal. Sebab yang halal dapat dikatakan bahwa apa yang menjadi isi dari perjanjian yang dibuat oleh kedua belah pihak tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Sebab yang halal diatur dalam Pasal 1335 hingga 1337 KUHPerdata, Pasal 1335 KUHPerdata menyatakan bahwa :“Suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidaklah mempunyai kekuatan”. Pasal 1335 KUHPerdata juga menjelaskan kriteria suatu sebab yang halal adalah: 1. Bukan tanpa sebab; 2. Bukan sebab yang palsu; 3. Bukan sebab yang terlarang.
126 Mengenai suatu sebab yang terlarang diatur dalam pasal 1337 KUHPerdata yang menyatakan bahwa: “suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan keusilaan baik atau ketertiban umum.” Penjelasan di atas sebetulnya tidak juga menjelaskan bagaimana undang-undang tidak memberikan batasan mengenai makna sebab yang tidak terlarang. “melalui rumusan negative mengenai sebab yang terlarang, undang-undang juga tidak menjelaskan bagaimana alasan atau sebab yang menjadi dasar pembentukan suatu perjanjian dapat digali atau ditetapkan hingga memang benar bahwa sebab itu adalah terlarang.”114 Jika pengaturan jangka waktu yang diberikan tidak sesuai (50 Tahun) maka tentu saja hal ini bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai pemberian Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik. Pemberian Hak Guna Bangunan sendiri sebelumnya pernah diatur dalan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM) Pasal 22 ayat (1) huruf b yang menyatakan : Hak Guna Bangunan dapat diberikan dengan jumlah 80 (delapanpuluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 50 (limapuluh) tahun dan dapat diperbaharui selama 30 (tiga puluh) tahun; Berpegangan dengan apa yang diatur dalam UUPM maka dapat diberikan Hak Guna Bangunan selama 50 tahun pada saat pemberian pertama bahkan dapat langsung sekaligus diperbaharui selama 30 tahun sehingga
114
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2010, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Jakarta, Rajawali Pers, hal. 163
127 menjadi 80 tahun. Namun kemudian sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Perkara Nomor 21-22/PUU-V/2007 Perihal Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tertanggal 25 Maret 2008 memutuskan bahwa apa yang di atur dalam Pasal 22 ayat (1) sepanjang menyangkut kata-kata “di muka sekaligus” dan “berupa: a. Hak Guna Usaha dapat diberikan dengan jumlah 95 (Sembilan puluh lima) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 60 (enam puluh) tahun dan dapat diperbaharui selama 35 (tiga puluh lima) tahun; b. Hak Guna Bangunan dapat diberikan dengan jumlah 80 (delapan puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 50 (lima puluh) tahun dan dapat diperbaharui selama 30 (tiga puluh) tahun; dan c. Hak Pakai dapat diberikan dengan jumlah 70 (tujuh puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 45 (empatpuluh lima) tahun dan dapat diperbaharui selama 25 (duapuluh lima) tahun”; Pasal 22 ayat (2) sepanjang menyangkut kata-kata”di muka sekaligus”; Pasal 22
ayat
(4)
sepanjang
menyangkut
kata-kata
“sekaligus
dimuka”
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai hukum yang mengikat. Jadi dapat disimpulkan, pemberian jangka waktu Hak Guna Bangunan itu sendiri dapat diberikan selama 50 tahun dan dapat diperbaharui sekaligus di muka selama 30 taun menjadi 80 tahun hanya berlaku sejak diundangkannya
UUPM
sampai
dikeluarkannya
Putusan
Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia. Mengingat suatu aturan hukum bersifat tidak berlaku surut, maka sepanjang jangka waktu dari diundangkannya UUPM
128 sampai diputuskan Mahkamah Konstitusi Pemberian Hak Guna Bangunan selama 50 tahun dibenarkan, dan masih bisa dijalankan, namun setelah dikeluarkan putusan Mahkamah Konstitusi tertanggal 25 Maret 2008 maka tidak dibenarkan lagi untuk memberikan Hak Guna Bangunan selama 50 tahun. Setelah dikeluarkannya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, pemberian Hak Guna Bangunan kembali pada peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Hak Guna Bangunan yang terdahulu untuk mengisi kekosongan hukum. Peraturan perundang-undangan yang dimaksud adalah Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang pemberian Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai, terutama Pasal 29 yang mengatur mengenai Jangka waktu pemberian Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik atas tanah. Pemberian jangka waktu yang tidak sesuai dapat berakibat perjanjian yang digunakan sebagai dasar pemberian Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik batal demi hukum. “Suatu perjanjian dapat dikatakan batal demi hukum dalam pengertian tidak dapat dipaksakan pelaksanaanya jika terjadi pelanggaran terhadap syarat obyektif dari sahnya suatu perikatan.”115 “Tentang perjanjian yang isinya tidak halal, perjanjian yang demikian itu tidak boleh dilaksanakan karena melanggar hukum atau kesusilaan.”116
115
Ibid, hal.183 Batal dan Pembatalan suatu Perjanjian, URL http://www.blogprinsip.blogspot.com/2012/10/batal-dan-pembatalan-suatuperjanjian.html 116
:
129 Miftahul Huda dalam tulisannya yang berjudul Batal Demi Hukum, berpendapat mengenai akibat dari batal demi hukum, yaitu : batal karena hukum atau batal demi hukum (nietigheid van rechtswege) berakibat suatu perbuatan untuk sebagian atau keseluruhan bagi hukum dianggap tidak pernah ada (dihapuskan) tanpa diperlukan suatu keputusan hakim atau keputusan suatu badan pemerintahan batalnya sebagian atau seluruh akibat ketetapan itu.117 Suatu perjanjian yang batal demi hukum pun sebenarnya tidak seketika dan sekaligus menjadi tidak berlaku apabila mengandung suatu kausa yang tidak halal. Karena membutuhkan pembatalan oleh pengadilan, seperti yang di jelaskan oleh Miftahul Huda berikut : Pada dasarnya dalam sistem hukum kita tidak mengenal ketetapan batal demi hukum dalam arti bahwa perbuatan demi hukum dalam arti bahwa perbutan dianggap tidak ada tanpa pembatalan yang dilakukan pengadilan atau intstansi yang kompeten. Contohya sebuah kontrak yang dianggap tidak memenuhi kausa yang halal adalah batal demi hukum namun tanpa permohonan dan pernyataan pengadilan bahwa kontrak itu batal demi hukum maka kontrak itu belum batal demi hukum. Artinya ketetapan batal demi hukum memerlukan pembatalan oleh pengadilan, begitu pula sebuah peraturan perundang-undangan yang tidak sah adalah memerlukan pembatalan baik melalui mekanisme judicial review di Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi.118 Apabila dikemudian hari terjadi suatu masalah dan salah satu pihak menyadari bahwa produk hukum yang dimilikinya cacat akan hukum. Maka pihak yang paling dirugikan adalah pemegang Hak Guna Bangunan. Mengapa demikian? Karena pihak pemegang Hak Milik adalah pemegang hak atas tanah yang paling kuat, hak-hak atas tanah tersebut tidak juga hilang. Berbeda halnya dengan pemegang Hak Guna Bangunan yang terbatas, hanya
117 118
Miftahul Huda, “Batal Demi Hukum”,Majalah Konstitusi, Juni 2013 Ibid.
130 berdasarkan perjanjian sewa-menyewa dan akta pemberian Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik. Jika kedua akta itu dimohonkan pembatalan di pengadilan, tentu saja pemegang Hak Guna Bangunan tidak mempunyai hak lagi atas tanah dan bangunan tersebut. Sampai hal itu terjadi tentu saja akta pemberian Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik tersebut tidak dapat memberikan perlindungan hukum karena pemegang Hak Guna Bangunan akan dirugikan. (3)
Sampel Ketiga, Tuan H dengan PT Z
Pada sampel ketiga ini, perjanjian yang dibuat pertama adalah perjanjian sewa-menyewa. Jaminan yang diberikan oleh pihak pertama sama halnya dengan pihak pertama dari sampel-sampel yang sebelumnya. Hanya saja diubah redaksionalnya, penggunaan kata-kata dan kalimat disesuaikan dengan kebiasaan yang digunakan oleh Notaris bersangkutan yang membuat suatu perjanjian. Jaminan ini dituangkan dalam Pasal 4 perjanjian sewamenyewa, yang bunyinya : Pihak Pertama memberi jaminan kepada Pihak Kedua bahwa apa yang disewakan adalah memang benar merupakan milik Pihak Pertama, bebas dari sengketa, bebas dari sitaan, dan pihak kedua selama perjanjian ini berlaku dapat mempergunakan tanah yang disewanya tanpa mendapatkan gangguan dari siapapun juga yang mengaku turut mempunyai hak atas tanah tersebut, yang akan dipergunakan oleh pihak kedua sebagai tempat usaha dan kegiatan lain berhubungan dengan usaha tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selama pihak kedua memenuhi kewajiban-kewajibannya sebagai penyewa secara tertib, maka pihak kedua ditanggung tidak akan dapat dipaksakan pindah tempat oleh pihak pertama atau ahli warisnya atau oleh pihak ketiga.
131 Perjanjian berikutnya yang dibuat oleh kedua belah pihak adalah perjanjian pendahuluan pemberian Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik. Apa yang dijamin pihak pertama sebagai perlindungan hukum bagi pihak kedua sama dengan apa yang ada dalam sampel pertama, begitu pula dengan akta pemberian Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik berisi sama dengan sampel pertama dan kedua. 4.2 Perlindungan Hukum terhadap pemegang Hak Milik atas tanah yang diatasnya diberikan Hak Guna Bangunan Dalam paparan kali ini penulis tidak menguraikan secara satu persatu sebagaimana yang telah penulis uraikan diatas. Penulis menulis secara umum atau secara keseluruhan karena didapati hal-hal yang serupa antara sampelsampel yang ada. Perjanjian sewa-menyewa dan perjanjian pendahuluan pemberian Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik memuat hal-hal yang sama, tidak ada jaminan yang mendasar yang dapat mencerminkan adanya perlindungan hukum yang dapat melindungi pihak pemegang Hak Milik. Jaminan dari pihak kedua hanya terdapat dalam perjanjian pendahuluan pemberian Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik, yang menyatakan bahwa pihak kedua dengan ini menyatakan da menjamin pihak pertama; a. Bahwa pihak kedua berhak untuk menandatangani akta ini; b. Bahwa pihak kedua akan mengusahakan agar persyaratan yang diperlukan
oleh
penandatanganan;
pihak
kedua
dilengkapi
sebelum
tanggal
132 c. Bahwa setalah semua persyaratan yang dimaksud dalam sub b dipenuhi, pihak kedua akan membuat dan menandatangani akta pemberian hak guna bangunan atas tanah hak milik bersama-sama dengan Pihak pertama atau kuasa-kuasa mereka yang sah dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang berwenang pada tanggal penandatanganan; d. Bahwa akta ini berlaku sah dan mengikat pihak kedua. Selain daripada apa yang tertulis diatas, penulis tidak bisa menemukan adanya jaminan bagi pihak pemegang Hak Milik dari pihak kedua atau pihak yang mendapatkan Hak Guna Bangunan. Padahal dari Hak Guna Bangunan yang diberikan dapat dipindahkan ke tangan pihak ketiga, bahkan dari Hak Guna Bangunan tersebut dapat dijadikan anggunan akan suatu hutang di bank. Pemasangan Hak Tanggungan atas sertipikat Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik memang tidak secara detail di atur. Aturan yang digunakan adalah pembebanan Hak Tanggungan pada sertipikat Hak Guna Bangunan secara umum, karena memang sertipikat Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik termasuk dalam cakupan sertipikat Hak Guna Bangunan pada umumnya. Akibat jangka panjang yang dirasakan adalah apabila suatu saat pihak kedua gagal memenuhi kewajibannya atas hutang yang telah dimilikinya dengan pihak ketiga sehingga tejadi penyitaan terhadap Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik. Penyintaan dalam hal ini yang disita adalah kepemilikan bangunan selama sisa jangka waktu yang telah diperjanjikan dengan pihak pertama. Memang hal ini tidak mempunyai
133 dampak secara langsung terhadap pihak pertama atau pihak pemegang Hak Milik, pihak pertama hanya akan merasa terganggu dengan adanya penyitaan dari pihak ketiga, dan apabila ingin menjual tanah tersebut tentu saja tidak mudah karena di atasnya masih terpasang Hak Guna Bangunan di atas tanah dan dari Hak Guna Bangunan itu masih dibebani Hak Tanggungan.
134 BAB V PENUTUP 5.1 Simpulan Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan dari bab-bab terdahulu maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Hak dan kewajiban dari pemegang Hak Guna Bangunan di atas tanah hak milik dan hak dan kewajiban pemegang Hak Milik yang di atasnya diberikan Hak Guna Bangunan dan pemegang Hak Guna Bangunan dapat dilihat di dalam akta sewa-menyewa, akta perjanjian pendahuluan pemberian Hak Guna Bangunan, dan akta pemberian hak guna bangunan di atas tanah Hak Milik. 2. Perlindungan hukum bagi kedua belah pihak dapat diberikan jika hak dan kewajiban masing-masing pihak juga dijalankan. Selain daripada itu perlindungan hukum diberikan dapat diberikan ketika proses pemberian Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sesuai aturan yang berlaku diartikan bahwa dalam pembuatan sewa menyewa dan/atau perjanjian pendahuluan pemberian Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik atas tanah, serta akta pemberian Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik memenuhi segala aturan yang menyangkut mengenai pemberian Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik. Baik aturan mengenai siapa yang dapat menjadi subyek daripada pemegang Hak Guna Bangunan sampai dengan jangka waktu yang dapat diberikannya Hak Guna Bangunan tersebut. Jangka waktu pemberian Hak
134
135 Guna Bangunan yang diberikan pada sampel ke 2 yang memberikan Hak Guna Bangunan selama 50 tahun tentu saja sudah tidak sesuai dengan aturan yang berlaku. Jika tidak memenuhi aturan yang berlaku tentu saja pemberian Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik tidak dapat memberikan perlindungan hukum bagi kedua belah pihak, terutama pemegang Hak Guna Bangunan
yang telah mengeluarkan materi (uang) untuk
memperoleh Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik pihak lain dan membangun untuk tujuan usaha yang dimaksud. 5.2 Saran-Saran Adapun saran-saran yang dapat diberikan dari kesimpulan di atas mengenai perlindungan hukum bagi pemegang Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik atas tanah di Kebupaten Badung adalah sebagai berikut : 1. Bagi Notaris/PPAT yang membuat perjanjian yang menjadi dasar-dasar pemberian Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik seharusnya mencakup secara rinci mengenai hak dan kewajiban antara kedua belah pihak sehingga mencerminkan keadilan dan kepastian bahwa kedua belah pihak menjamin akan mematuhi hak dan kewajiban yang telah diatur tersebut. Begitu pula bagi pemegang Hak Guna Bangunan dalam hal pemberian uang kompensasi atau ganti rugi atas pemberian Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik diberikan dengan nilai wajar. Nilai wajar dapat dijelaskan bahwa dengan jumlah tertentu bisa dirasakan manfaatnya sama besar dengan apa yang didapat oleh pemegang Hak Guna Bangunan selama jangka waktu pemberiannya. Bisa juga ditambahkan klausul adanya bagi
136 hasil dari usaha yang dijalankan oleh pemegang Hak Guna Bangunan dengan prosentase yang disepakati kedua belah pihak dan diterimakan setiap bulannya. 2. Pemberian Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik sebaiknya diatur dalam peraturan perudang-undangan tersendiri supaya dapat memberikan perlindungan hukum secara maksimal terhadap kedua belah pihak. Jika sudah diatur secara rinci dan disosialisasikan dengan baik pasti pelaksanaanya juga akan baik pula. Hal ini mengacu apa yang diamanatkan oleh Pasal 24 ayat (4), dan Pasal 44 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996, yang mengatakan bahwa Pemerintah hendaknya segera menerbitkan Keputusan Presiden yang mengatur mengenai tata cara pemberian dan pendaftaran Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik. pada Mengingat esensi dari pemberian Hak Guna Bangunan diatas Hak Milik adalah pemilik tanah masih mempunyai hak sepenuhnya atas tanah tersebut hanya saja diatas tanah yang dimilikinya masih bisa diusahakan oleh pihak lain dengan memperoleh Hak Guna Bangunan.