BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Munculnya negara konstitusional pada dasarnya merupakan suatu proses sejarah. 1 Suatu proses sejarah perjuangan bangsa Indonesia menuju ‘negara konstitusional’ 2
yang
‘demokrasi’ 3
ialah
adanya
reformasi
dalam
sistem
pemerintahan atau sistem ketatanegaraan, yang dilaksanakan melalui perubahan konstitusi Indonesia, yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945). Gagasan perubahan UUD NRI 1945, baru menjadi kenyataan setelah runtuhnya kekuasaan Orde Baru yang sebelumnya selalu melakukan upaya sakralisasi terhadap UUD NRI 1945. 4 Dimulailah memasuki era baru supremasi hukum dengan melakukan serangkaian reformasi baik dibidang politik maupun reformasi sistem hukum yang dapat menjamin sendi-sendi kehidupan konstitusional yang berbasiskan kepada kedaulatan rakyat, dalam arti bahwa rakyat memiliki kekuasaan yang tertinggi dan mempunyai kewenangan untuk melakukan setiap pengawasan terhadap semua 1
C.F. Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern: Kajian Tentang Sejarah Dan BentukBentuk Konstitusi Dunia, Bandung: Nusa Media, , 2008, h. 21 2 Negara konstitusional di defenisikan sebagai negara yang memiliki kekuasaan-kekuasaan untuk memerintah, hak-hak pihak yang diperintah (rakyat), dan hubungan diantara keduanya. Lihat dalam C.F. Strong, ibid, h. 22 3 Makna atau pengertian demokrasi; adalah sistem politik mengenai pengikut sertaan rakyat atau warga dalam membuat keputusan. Lihat dalam Soehino, Hukum Tata Negara Perkembangan Sistem Demokrasi Di Indonesia, Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, 2010, h. 1, 4 Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum yang Demokratis, Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer, 2009, h. 102
Universitas Sumatera Utara
kebijakan-kebijakan politik yang dibuat oleh pemerintah dalam setiap sektor kehidupan bangsa. 5 Pengertian reformasi menyangkut empat aspek. Pertama, reformasi mengandung pertalian adanya inovasi dan transformasi. Kedua, kesuksesan reformasi membutuhkan perubahan yang sistematik dalam kerangka yang luas, dan perubahan tersebut harus dengan cara hati-hati dan direncanakan. Ketiga, tujuan reformasi adalah untuk mencapai efisiensi dan efektifitas. Kempat, reformasi haruslah dapat menanggulangi perubahan-perubahan lingkungan. 6 Perubahan ketiga terhadap UUD NRI 1945 menghasilkan suatu lembaga perwakilan yang baru dalam sistem parlemen Indonesia, yaitu lembaga Perwakilan Daerah, yang oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) membentuk lembaga perwakilan daerah tersebut menjadi Dewan perwakilan dan berkedudukan di pusat. Dewan perwakilan tersebut adalah Dewan Perwakilan Daerah (DPD). DPD merupakan lembaga perwakilan daerah yang berkedudukan sebagai lembaga negara, berdampingan dengan Dewan Perwakilan rakyat (DPR) dalam parlemen Indonesia dan menjadi bagian dari MPR, dimana MPR terdiri dari dua dewan perwakilan (DPR dan DPD), yang mana sebelum perubahan MPR terdiri dari DPR dan Utusan Daerah dan Utusan Golongan (tiga dewan perwakilan). Perletakan dasar konstitusional bagi pembentukan DPD sebagai bagian dari MPR dan berdampingan dengan DPR dalam parlemen Indonesia, melalui
5
Faisal Akbar Nasution dalam Refleksi Hukum dan Konstitusi di Era Reformasi, Editor: Budiman Ginting, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2002, h. 351-352 6 Budiman N.P.D Sinaga, Hukum Tata Negara Perubahan Undang-Undang Dasar, Jakarta: PT. Tatanusa, 2009, h. 2
Universitas Sumatera Utara
amandemen UUD NRI 1945 merupakan bagian dari pergeseran strategi konstitusionalisasi kehidupan bernegara dan berpemerintahan, sekaligus merupakan salah satu dimensi dari konstitusionalisme yang mencuat dalam rangka reformasi konstitusi di Indonesia, dimana MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan umum. 7 Lahirnya DPD dalam sistem ketatanegaraan Indonesia selalu membawa pertanyaan mengapa lembaga tersebut perlu ada, apa dasar filosofisnya atau gagasan apa yang menghendaki dilahirkannya lembaga baru tersebut. Apabila dilihat dalam tataran kepentingan umum maka pertanyaan yang akan muncul tentunya apa tujuan dan manfaatnya untuk masyarakat. Hal ini juga relevan jika kita melihatnya dalam konteks keberadaan DPD yang lahir pada saat proses amandemen terhadap UUD NRI 1945 dilakukan. Kelahiran DPD tentu saja semakin mewarnai ide dan gagasan ketatanegaraan Indonesia yang memang semakin bergema sejak era reformasi dimulai. Perdebatannya bukan saja pada fungsi dan peranannya tetapi juga pada landasan sistem parlemen yang dianut dan pilihannya mucul pada dua sistem yaitu sistem bikameral atau sistem unikameral. 8 Kehadiran DPD semula dimaksudkan membentuk sistem dua kamar (bikameral). Kenyataan DPR, DPD, dan MPR mempunyai lingkungan kerja sendirisendiri sehingga merupakan lingkungan jabatan yang masing-masing berdiri sendiri.
7
M. Soly Lubis, Hukum Tatanegara, Bandung : CV. Mandar Maju, 2008, h. 93 Dinoroy Marganda Aritonang, Kedudukan Dan Fungsi DPD Dalam Kerangka Kelembagaan Legislatif Indonesia, Bandung: STIA LAN Jurnal Ilmu Administrasi/Volume VI/No. 3 September 2009, h.267 8
Universitas Sumatera Utara
Dengan demikian, bukannya dua kamar yang terbentuk, melainkan badan perwakilan tingkat pusat bertambah sehingga menjadi tiga badan perwakilan dibandingkan dengan sebelumnya perubahan yang hanya terdiri dari dua badan perwakilan (MPR dan DPR). 9 Terbentuknya DPD sebagai majelis kedua dalam legislatif membawa perubahan dalam sistem parlemen Indonesia, dimana dulunya Utusan Daerah atau Senat berubah menjadi DPD, karena Utusan Daerah pada saat itu bukan murni dari daerah atau pilihan rakyat secara langsung, melainkan pilihan para ‘elite-elite politik’ 10 yang berada dipusat. Menurut ketentuan UUD NRI 1945 pasca perubahan, DPD semula didesain sebagai kamar kedua parlemen Indonesia di masa depan. Salah satu ciri bikameralisme yang dikenal di dunia ialah apabila kedua-dua kamar yang dimaksud sama-sama menjalankan fungsi legislatif sebagaimana seharusnya. Padahal, jika diperhatikan DPD sama sekali tidak mempunyai kekuasaan apapun di bidang ini. DPD hanya memberikan masukan pertimbangan, usul, ataupun saran, sedangkan yang berhak memutuskan adalah DPR, bukan DPD. Karena itu, keberadaan DPD di samping DPR tidak dapat disebut sebagai bikameralisme dalam arti yang lazim.
9
Bagir Manan, Konvensi Ketatanegaraan, Yogyakarta: FH UII PRESS, 2006, h. 11 Herbert Feith, dalam studinya yang mendalam tentang politik Indonesia sebelum tahun 1957 yang berjudul The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia. Ada dua corak pemimpin atau elite Indonesia. Pertama, pemimpin bertipe administrator yang mengutamanakan pendekatan rasionil, keteraturan dan realistis dalam kehidupan bernegara. Kedua, pemimpin bertipe “pengemban solidaritas” (“solidarity maker”) yang mementingkan dinamika hubungan emosionil dengan masyarakat, seperti melalui semangat persatuan dan jiwa revolusioner, sebagai alat buat melakukan perubahan-perubahan drastis. Dalam Alfian, Pemikiran Dan Perubahan Politik Indonesia, Jakarta: PT Gramedia, 1983, h.273 10
Universitas Sumatera Utara
Selama ini dipahami bahwa jika kedudukan kedua kamar itu di bidang legislatif sama kuat, maka sifat bikameralismenya disebut ‘strong becameralism’, tetapi jika kedua tidak sama kuat, maka disebut ‘soft becameralism’. Dalam pengaturan UUD NRI 1945 pasca perubahan Keempat, bukan saja bahwa struktur yang dianut tidak dapat disebut sebagai ‘strong becameralism’ yang kedudukan keduanya tidak sama kuatnya, tetapi bahkan juga tidak dapat disebut sebagai ‘soft becameralism’ sekalipun. 11 Struktur parlemen Indonesia berdasarkan UUD NRI 1945 setelah adanya perubahan keempat, dapat dikatakan bersifat trikameral atau terdiri atas tiga kamar atau institusi sekaligus. Hal ini dapat dibenarkan karena keberadaan MPR sebagai lembaga yang tersendiri disamping DPR dan DPD. UUD NRI 1945 sendiri masih memberikan wewenang kepada MPR secara terpisah dari kewenangan DPR maupun DPD. 12 Menurut Ginandjar Kartasasmita, bahwa sistem bikameral adalah wujud institusional dari lembaga perwakilan atau parlemen sebuah negara yang terdiri atas dua kamar (majelis). Majelis yang anggotanya dipilih dan mewakili rakyat yang berdasarkan jumlah penduduk secara generik disebut majelis pertama atau majelis rendah, dan dikenal juga sebagai House of Representatives. Majelis yang anggotanya
11
Jimly Asshiddiqie, Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945, dalam Makalah, Seminar Pembagunanan Hukum VIII Penegakan Hukum Dalam Era Pembagunan Berkelanjutan, di selenggarakan oleh Badan Pembina Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, Denpasar, 14-18 Juli 2003, h. 17-18 12 Riri Nazriyah, MPR RI Kajian Terhadap Produk Hukum dan Prospek di masa Depan, Yogyakarta: FH UII Press, 2007, h. 332
Universitas Sumatera Utara
dipilih atau diangkat dengan dasar lain (bukan jumlah penduduk), disebut sebagai majelis kedua atau majelis tinggi yang dikenal sebagai Sénat. 13 Menurut Bagir Manan, satu hal yang perlu di ketahui, sistem satu kamar atau dua kamar tidak terkait dengan landasan negara tertentu. Juga tidak terkait dengan bentuk negara, bentuk pemerintahan, atau sistem pemerintahan tertentu. Setiap negara memiliki pertimbangan sendiri-sendiri. Ada Negara menjalankan sistem dua kamar karena latar belakang kesejarahan. 14 Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, pelaksanaan sistem dua kamar pernah berlangsung pada saat berlakunya Kostitusi Republik Indonesia Serikat Tahun 1949 (Konstitusi RIS 1949). Keluarnya dekrit presiden tanggal 5 Juli 1959, yang memberlakukan kembali UUD NRI 1945 setelah Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 (UUDS 1950), menjadikan sistem parlemen dua kamar (bikameral) menjadi satu kamar (unikameral), atau dengan kata lain Senat ditiadakan, dan kembalinya utusan daerah dan golongan yang pada akhirnya ditiadakan setelah bergabung dengan fraksi-fraksi dalam DPR. Setelah pasca perubahan UUD NRI 1945, keberadaan DPD dalam sistem ketatanegaraan Indonesia mencerminkan sistem bikameral dimana kedudukan DPD sama dengan DPR dalam MPR, walaupun sistem parlemen tersebut tidak konsisten dalam pelaksanaannya.
13
Ginandjar Kartasasmita, Pembahasan dalam Seminar sehari tentang, “Bikameralisme Di Indonesia”, Jakarta 2 Maret 2006, h. 2-3 14 Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, penerbit: Direktorat jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, 2001, h. 37
Universitas Sumatera Utara
Sebelum perubahan UUD NRI 1945 bahwa yang berwenang membentuk UU adalah DPR dan Presiden (dua lembaga negara yang memiliki kewenangan yang sama dalam legislatif), seiring dengan perubahan struktur ketatanegaraan Indonesia, dengan kehadiran DPD sebagai lembaga perwakilan daerah, maka setelah perubahan UUD NRI 1945 bahwa yang berwenang membentuk UU adalah DPR dan lembaga negara yang berwenang mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) adalah DPR, DPD, dan Presiden. Perubahan kewenangan tersebut mengisyarakat bahwa sistem parlemen yang dianut Indonesia adalah unikameral (satu lembaga negara dalam badan legislatif). Jika dilihat dari konteks legislasi (kewenangan mengajukan RUU) maka akan terlihat ada tiga lembaga negara yang memiliki kewenangan yang sama (DPR, DPD, dan Presiden). Dalam konteks kelembagaan dalam parlemen Indonesia terdapat tiga lembaga negara yaitu: MPR
yang terdiri dari DPR dan DPD dengan kewenangan yang
berbeda, jika dilihat dalam konteks ketatanegaraan ada tiga lembaga negara yang memiliki kewenangan dalam peraturan perundang-undangan yakni: MPR, DPR, dan Presiden. Sedangkan yang dkatakan legislatif adalah kekuasaan membuat, membentuk undang-undang. Sedangkan yang dikatakan lembaga perwakilan rakyat ialah dipilih melalui pemilihan umum, DPR adalah perwakilan secara poltik (political representation) dan DPD adalah perwakilan secara daerah/wilayah (territorial representation). Sistem perwakilan rakyat hanya dapat dikategorikan sebagai bikameral bila RUU dalam sebagian atau seluruh bidang pemerintahan harus mendapat persetujuan
Universitas Sumatera Utara
dari dua lembaga legislatif. Selebihnya tidak dapat disebut bikameral, karena untuk dapat diterapkan sebagai undang-undang hanya memerlukan pembahasan dan persetujuan satu lembaga legislatif sehingga hanya dapat disebut sistem unikameral saja. 15 Lebih lanjut H Subardjo berpendapat, sebenarnya sistem perwakilan rakyat atau sistem parlemen hanya dapat dibedakan menjadi dua tipe, yaitu pertama unikameral (suatu RUU hanya memerlukan pembahasan dan persetujuan satu lembaga legislatif), kedua bikameral (suatu RUU memerlukan pembahasan dan persetujuan dua lembaga legislatif. 16 Pembentukan DPD tidak hanya agar daerah ada yang mewakili serta ikut mengelola kepentingan daerah di tingkat pusat, tetapi juga untuk meningkatkan peran daerah dalam penyelenggaraan negara. DPD juga diarahkan untuk mengikutsertakan daerah dalam menentukan politik negara dan dalam pengelolaan anggaran negara, sesuai ruang lingkup tugas dan fungsi DPD sebagai lembaga legislatif, yakni membentuk undang-undang dan penyelenggaraan pemerintahan, serta mengambil putusan besar dan penggunaan anggara negara (terutama untuk kebutuhan daerahdaerah). Kehadiran DPD dalam sistem parlemen Indonesia menimbulkan tanda tanya seputar urgensinya. Kedudukan DPD dalam sistem parlemen dalam negara kesatuan republik Indonesia, dapat dilihat dalam pelaksanaan sistem perwakilan dalam sejarah pemerintahan Indonesia apakah menganut unikameral atau bikamreal. Peranann DPD
15
Jimly Asshiddiqie, op.cit H Subardjo, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Dan Penerapan Sistem Bikameral Dalam Lembaga Perwakilan Indonesia, Yogyakarta: Graha Ilmu 2012, h. 52 16
Universitas Sumatera Utara
dalam pelaksanaan check and balances pada sistem pemerintahan Indonesia, menjadi alat ukur seberapa besar kewenangan yang dimiliki dan apa yang sebenanya fungsi lembaga perwakilan tersebut dalam parlemen Indonesia. Keberadaan DPD sebagai lembaga negara diatur dalam pasal 2 ayat (1) 17 UUD NRI 1945 dan keberadaan tersebut diperjelas dalam pasal 222 18 UU No. 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD, Dan DPRD. Pembentukan DPD sebagai lembaga negara juga memiliki tugas, fungsi dan kewenangan yang diatur dalam pasal 22D 19 UUD NRI 1945. Melihat banyaknya pandangan yang menyatakan bahwa tidak konsisten penerapkan sistem parlemen dalam negara kesatuan Indonesia, yang menjadikan ketidak efektif fungsi dan peran lembaga perwakilan rakyat dalam parlemen Indonesia. Berdasarkan latar belakang sebagaimana dikemukakan diatas, penulis
17
Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan bahwa: Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang. 18 Pasal 222 menyatakan bahwa: kedudukan DPD merupakan lembaga perwakilan daerah yang berkedudukan sebagai lembaga Negara. 19 Pasal 22D ayat (1): Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Pasal 22D ayat (2): Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama. Pasal 22D ayat (3): Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai : otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti
Universitas Sumatera Utara
tertarik untuk membahas dan meneliti dengan mengambil judul Sistem Kameralisme Dalam Parlemen Indonesia (Kajian Hukum Normatif Terhadap Kedudukan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia).
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dikemukakan diatas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah, sebagai berikut: 1. Apa yang menjadi latarbelakang lahirnya kameralisme dalam Parlemen suatu negara? 2. Bagaimana pelaksanaan sistem bikameral dalam sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia? 3. Bagaimana kedudukan dan peranan DPD dalam pelaksanaan Check and Balances ?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah diatas yang menjadi fokus penelitian, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui apa yang menjadi latarbelakang lahirnya kameralisme dalam parlemen suatu negara. 2. Untuk
mengetahui
pelaksanaan
sistem
bikameral
dalam
sejarah
ketatanegaraan Republik Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
3. Untuk mengetahui kedudukan dan peranan DPD dalam pelaksanaan Check and Balances.
D. Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diambil dari penelitian yang penulis lakukan ini antara lain adalah sebagai berikut : 1. Secara teoritis: Hasil penelitian ini akan melahirkan beberapa konsep ilmiah yang pada gilirannya akan memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya yang berkaitan dengan Dewan Perwakilan daerah. 2. Secara Praktis: Sebagai pedoman dan masukan bagi Lembaga Hukum, Institusi Pemerintahan dan Penegak Hukum dikalangan masyarakat luas. Dan sebagai bahan kajian bagi kalangan akademisi untuk menambah wawasan dalam bidang ilmu hukum, khususnya ilmu hukum tatatnegara.
E. Keaslian Penulisan Berdasarkan pengamatan serta penelusuran yang dilakukan terhadap hasilhasil penelitian/tesis di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara (USU), dan di perpustakaan Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum USU. Hasil penelusuran tidak menemukan judul penelitian/tesis pada topik dan permasalahan yang sama. Penelitian terhadap kemiripan judul tersebut telah banyak diangkat di luar
Universitas Sumatera Utara
USU, namun peneliti mencoba menampilkan berbeda dari judul dan permasalahan. Sehingga penelitian ini dapat dikategorikan sebagai penelitian yang asli dan jauh dari unsur plagiat, dan ini dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.
F. Kerangka Teori dan Konseptual 1.
Kerangka Teori Berkaitan dengan sejumlah permasalahan yang dijadikan obyek kajian
penelitian ini, maka penting untuk dilakukan eksplorasi berbagai teori ataupun doktrin dibidang hukum ketatanegaraan dan sistem demokrasi yang relevan bagi upaya menilai valid tidaknya Pelaksanaan Sistem Bikameral Di Indonesia jika melihat kedudukan dan peranan DPD dalam parlemen Indonesia. Berikut ini disajikan teori atau doktrin yang digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini dan dapat dijadikan acuan dalam membahas Sistem Kameralisme Dalam Parlemen Indonesia (Kajian Hukum Normatif Terhadap Kedudukan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia), dengan mengunakan pendekatan teori pemisahan kekuasaan (Separation of Power) sebagai grand theory, yang didukung oleh teori kedaulatan rakyat (demokrasi). Salah satu persoalan pokok suatu negara demokrasi adalah persoalan kekuasaan, utamanya persoalan kewenangan atau wewenang. 20 Oleh karena terjadinya penyimpangan kekuasaan dalam kekuasaan pemerintahan suatu negara, di
20
S.F Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 2003, h. 1.
Universitas Sumatera Utara
perlukan ada pemisahan kekuasaan atau
pembagian yang dapat membatasi
kekuasaan tersebut. Oleh Jhon Locke dan Monstesquieu memunculkan teori trias politica. Teori pemisahaan kekuasaan ini pada awalnya dikemukakan oleh “Jhon Locke” melalui Second Treaties of Civil Government (1690) berpendapat bahwa kekuasaan untuk menetapkan aturan hukum tidak boleh dipegang sendiri oleh mereka yang melaksanakannya. 21 Menurut Jhon Locke dalam karyanya Two Treaties of Government, kekuasaan negara dibedakan atas tiga macam: legislatif power (kekuasaan membuat undangundang); executive power (kekuasaan melaksanakan undang-undang); dan federative power (kekuasaan untuk melakukan hubungan diplomatic dengan negara asing). 22 Menurut teori ini, rakyatlah yang berdaulat dan mewakili kekuasaannya kepada suatu badan yaitu pemerintah. Bilamana pemerintah ini melaksanakan tugasnya tidak sesuai dengan kehendak rakyat, maka rakyat akan bertindak menganti pemerintah itu. 23 Menurut Montesquieu Dalam buku yang berjudul The Sprit of The Laws, perwujudan dari konsep Trias Politica, 24 adalah adanya pemisahan kekuasaan atau pembagian kekuasaan negara kedalam atau badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. 21
Charles Simabura, Parlemen Indonesia Lintas Sejarah dan Sistemnya, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2011, h. 22 22 Lihat Deliar Noer dalam Sumali, Reduksi Kekuasaan Eksekutif, Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, cetakan kedua, 2003, h. 9 23 Solly lubis, Ilmu Negara, Bandung: CV. Mandar Maju, 2007 24 Montesquieu yang nama lengkapnya: Charles-Louis de Secondat de la Brede et de Montesquieu, adalah pemikir bidang hukum dan politik era Aufklarung di prancis. Dalam karya monumentalnya L’Esprit des Lois (Roh Hukum). Lihat dalam Bernard L Tanya, Yoan N Simanjuntak, Markus Y Hage, Teori Hukum (Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang Dan Generasi), Yokyakarta: Genta Publishing, 2010, h. 81
Universitas Sumatera Utara
Monstesquieu berpendapat, kekuasaan negara dipisahkan secara tegas menjadi tiga, kekuasaan perundang-undangan (legislatif), kekuasaan melaksanakan pemerintahan (eksekutif), dan kekuasaan kehakiman (yudikatif) yang masing-masing kekuasaan itu dilaksanakan oleh suatu badan yang berdiri sendiri, maka hal ini akan menghilangkan kemungkinan timbulnya tindakan sewenang-wenang dari seorang penguasa. Pengertian dasar Trias Politica adalah pengawasan (check and balances) dari suatu cabang pada cabang yang lain. Bagi Montesquieu, Trias politica merupakan mekanisme yang dapat menjamin terwujudnya kehendak rakyat dalam sebuah masyarakat
yang
mempunyai
pemerintahan. 25
Pendeknya,
Trias
Politica
mempersempit kemungkinan lahirnya pemerintahan yang absolutistis. Monstesquieu menganggap pemisahaan kekuasaan yang ketat diantara tiga kekuasan itu, merupakan prasyarat kebebasan politik bagi warga negara. 26 Maksud dan tujuan Monstequieu dengan ajaran trias politikanya itu tercapaikah, yaitu meniadakan sistem absolutisme? Jawabnya tegas, tidak! Mengapa? Karena ajaran trias politika Mostesquieu itu hanya “mengalihkan absolutisme dari suatu badan yaitu raja kepada tiga badan. Yaitu badan legislatif, badan eksekutif, dan badan yudikatif”. Mengapa demikian? Karena “masing-masing badan mandiri, tidak
dapat
saling
mempengaruhi,
dan
tidak
dapat
saling
meminta
pertanggungjawaban”. 27 Dengan kata lain “mencegah dan menghindari jangan
25
Bernard L Tanya, Yoan N Simanjuntak, Markus Y Hage, Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang Dan Generasi, Yokyakarta: Genta Publishing, 2010, h. 85 26 Ibid, h. 86 27 H. Soehino,op.cit, h. 23
Universitas Sumatera Utara
sampai terjadi bahwa badan yang telah memegang satu kekuasaan Negara itu, memegang pula kekuasaan negara yang lain”. 28 Pemikiran mengenai perlunya mekanisme saling mengwasi dan kerja sama telah melahirkan teori-teori modifikasi atas ajaran pemisahaan kekuasaan yaitu teori pembagian kekuasaan (distribution of power) yang menekankan pada pembagian fungsi-fungsi pemerintahan. 29 Menurut teori distribution of power pemisahan kekuasaan tetap dijalankan namun dibarengi dengan mekanisme yang menekankan saling mengawasi antara cabang kekuasaan yang satu dengan cabang kekuasaan yang lain. 30 Dalam suatu negara yang menerapkan Separation of Power pada parlemen, tidak terlepas pada model kamar yang ada dalam parlemen, yang menjadi acuan dalam pembentukan suatu undang-undang dalam penyelenggaraan pemerintahan. Menurut C.F. Strong, suatu negara harus memiliki kekuasaan legislatif untuk membuat undang-undang, kekuasaan eksekutif untuk melaksanakan undang-undang, dan kekuasaan yudikatif untuk kekuasaan peradilan bagi yang melanggar undangundang. Dengan kata lain, bahwa suatu negara
dikatakan negara demokrasi
konstitusional (modern) terletak ditangan lembaga legislatif sebagai kekuasaan yang terdiri dari salah satu atau dua majelis dalam parlemen suatu negara yang merupakan hasil pilihan rakyat(demokrasi). 31
28
Ibid, h. 24 Sumali, ibid, h. 10 30 Ibid 31 C.F.Strong, ibid, h. 10-11 29
Universitas Sumatera Utara
Beberapa macam pembagian model kamar di parlemen yang di anut oleh negara-negara di dunia, yaitu: sistem satu kamar (unicameral), dua kamar (bikameral), tiga kamar (trikameral), dan empat kamar (tetrakameral). Dan sebagian besar negara di dunia mengunakan sistem unikameral dan bikameral dalam parlemen suatu negara. Dalam one cameral sistem atau unikameral, parlemen hanya terdiri dari satu kamar atau satu badan atau lembaga perwakilan, namun demikian sistem satu kamar mengunakan sistem komisi. 32 Dalam struktur parlemen tipe satu kamar ini, tidak dikenal adanya dua kamar atau dua majelis yang terpisah seperti adanya the House of Representatives dan Senate di kongres Amerika Serikat, ataupun Majelis Rendah (DPR) dan Majelis Tinggi (DPD) seperti di parlemen Indonesia. Tetapi justru sistem unikameral inilah yang sesungguhnya lebih popular karena sebagian besar negara dunia sekarang ini menganut sistem ini. 33 Sedangkan sistem bikameral lebih banyak dianut di negaranegara yang berbentuk federasi, seperti Amerika Serikat. Dengan sistem ini negara bagian dalam federasi terwakili dalam parlemen melalui senate, sedangkan rakyat secara keseluruhan terwakili dalam parlemen melalui house of representatives. 34 Sistem bikameral juga banyak dianut dalam sistem perwakilan suatu negara berbentuk kesatuan sepeti dalam parlemen negara Filipina. Perbincangan teoritis mengenai struktur organisasi parlemen ini biasanya dikenal dengan adanya dua sistem, yaitu sistem unikameral (satu kamar) dan sitem 32
H Subardjo, ibid, h. 47 Charles Simabura, ibid, h. 34 34 H Subardjo, ibid, h. 48 33
Universitas Sumatera Utara
bikameral (dua kamar) yang mempunyai fungsi sendiri-sendiri. Selama berabad-abad, kedua tipe struktur pengorganisasian demikian inilah yang biasa dikembangkan dimana-mana. Oleh karena itu, dalam berbagai literature politik, kedua sistem inilah yang dikenal. 35 Parlemen sebagai wujud dari perwakilan rakyat mengharuskan bahwa anggotanya mewakili seluruh rakyat. Pada mulanya Jean Jacques Rosseau sebagai pelopor gagasan kedaulatan rakyat tidak menginginkan adanya badan perwakilan rakyat. Ia mencita-citakan suatu bentuk “demokrasi langsung” (seperti terdapat di Jenewa dalam masa hidup Rosseau), dimana rakyat secara lansung merundingkan serta memutuskan soal-soal kenegaraan dan politik. 36 Teori tersebut memandang bahwa kekuasaan tertinggi di suatu negara ada pada rakyat, bukan raja ataupun negara. Rakyat adalah sumber kekuasaan negara. Penguasa negara atau penyelenggara negara hanyalah pelaksana dari pada apa yang diputuskan atau dikehendaki rakyat. Munculnya teori kedaulatan rakyat (demokrasi) ini merupakan reaksi atas kedaulatan raja dan negara. Menurut Aristoteles sebagaimana dikutip oleh I Gede Pantja Astawa bahwa “negara yang pemerintahannya dipegang oleh beberapa orang dibedakan berdasarkan sifatnya, yaitu: Pertama, negara yang pemerintahannya dipegang oleh beberapa orang dan sifatnya baik, karena pemerintahan ditunjukan untuk kepentingan umum maka negara tersebut disebut Aristrokrasi. Kedua, negara yang pemerintahannya dipegang 35
Jimly Asshiddiqie, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen Dalam Sejarah: Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara, Jakarta: UI Press, 1996, h. 33 36 Charles Simabura, Ibid, h. 27
Universitas Sumatera Utara
oleh beberapa orang, tetapi sifatnya jelek, karena pemerintahannya ditujukan untuk kepentingan yang memegang pemerintahan maka negara tersebut disebut Oligarki. 37 Aristokrasi adalah suatu negara yang pemerintahannya dipegang oleh beberapa orang atau sekelompok kecil orang (kalangan bangsawan) yang membentuk satu organ atau badan dalam suatu negara dengan tujuan yang baik untuk kepentingan umum. Demokrasi suatu negara yang pemerintahannya dipegang oleh rakyat tetapi sifat pemerintahannya jelek, karena pemerintahan hanya ditunjukan untuk kepentingan si pemegang kekuasaan saja yang notabene berasal dari rakyat. 38 Jadi dapat disimpulkan bahwa Bikameralisme merupakan suatu paham pengembangan sistem aristokrasi dan sistem demokrasi’ 39. Dalam melaksanakan kedaulatan rakyat, Menurut Miriam Budiharjo, parlemen/legislatif sebagai perwakilan rakyat, harus memilki tiga fungsi penting yaitu: 40 1. Menentukan policy (kebijakan) dan membuat undang-undang. Untuk itu lembaga perwakilan rakyat diberi hak inisiatif, hak untuk mengadakan amandemen
terhadap
rancangan
undang-undang
yang
disusun
oleh
pemerintah dan hak budget.
37
I Gde Pantja Astawa dan Sprin Na’a, Memahami Ilmu Negara dan Teori Negara, Bandung: PT Refika Aditama, 2009, h. 95 38 Ibid 39 Ibid 40 Miriam Budiharjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008, h. 182
Universitas Sumatera Utara
2. Mengontrol badan eksekutif dalam arti menjaga supaya semua tindakan eksekutif sesuai dengan kebijaksanaan yang telah ditetapkan. Untuk itu parlemen diberi hak control khusus. 3. Fungsi lainnya, meliputi fungsi ratifikasi (ratify), yaitu mensahkan perjanjian Internasional yang dibuat oleh eksekutif. Di Amerika, lembaga legislatif bahkan memiliki wewenang untuk meng-“impeach” dan menuntut pejabat tinggi termasuk Presiden.
Menurut Moh. Mahmud MD, ada dua alasan dipilihnya kedaulatan rakyat (demokrasi) sebagai sistem bermasyarakat dan bernegara. Pertama, hampir semua negara di dunia ini telah menjadikan demokrasi sebagai asas yang fundamental. Kedua, demokrasi sebagai asas kenegaraan secara esensial telah memberikan arah bagi peranan masyarakat untuk menyelenggarakan negara sebagai organisasi tertingginya. 41 Organisasi tertinggi dalam suatu negara yang demokratis, tidak berada dan dijalankan oleh satu badan, tapi dilaksanakan oleh beberapa badan atau lembaga seperti yang dikemukakan ajaran trias polita. Negara yang menganut teori kedaulatan rakyat, bahwa kekuasaan dipegang dan dijalankan oleh beberapa lembaga yang terbentuk dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat (demokrasi), karena rakyatlah yang pada
dasarnya
memiliki
kekuasaan
maka
pelaksanaan
tugas
harus
41
Mahfud MD, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Yogyakarata: Gamma Media, 1999, h.4
Universitas Sumatera Utara
dipertanggungjawabkan kepada rakyat melalui mekanisme dan tata cara menurut konstitusi. Jadi negara demokrasi adalah negara yang diselenggarakan berdasarkan kehendak dan kemauan rakyat, jadi jalannya pemerintahan suatu negara dilakukan oleh rakyat itu sendiri atau atas persetujuan rakyat karena kedaulatan berada di tangan rakyat. Dalam kaitan tersebut Hendry B. Mayo memberi pengertian sebagai berikut. 42 “A democratic political sistem is one in which public policies are made on a majority basis, by representatives subject to effective popular control at periodic election which are conducted on the principle of political equality and under conditions of political freedom.” (Sistem politik demokratis adalah sistem yang menunjukan bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dlam suasana terjaminannya kebebasan politik).
Dalam prinsip negara berdasarkan kedaulatan rakyat (demokrasi), kekuasaan negara perlu dibatasi agar tidak terjadi tindakan sewenang-wenang oleh penguasa negara. Dengan mengacu pada Trias Politika yang dipelopori oleh Monstesquieu dan teori kedaulatan rakyat (demokrasi) oleh J.J.Rosseau dalam ketatanegaraan 42
Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi Di Indonesia, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2000, h.19
Universitas Sumatera Utara
Indonesia, maka dapat tarik kesimpulan bahwa tiga kekuasaan negara dalam pemerintahan Indonesia membagi kekuasaan negara dalam tiga badan yaitu : 1.
Legislatif, yaitu lembaga yang memiliki kekuasaan untuk membuat, menetapkan undang-undang dalam arti formil, dan mengatur dalam arti material yaitu setiap undang-undang yang dibuat oleh pemerintah mempunyai daya ikat terhadap semua atau sebagian penduduk wilayah (provinsi) dari suatu negara, serta mengawasi pelaksanaan undang-undang itu.
2.
Eksekutif, yaitu lembaga yang memiliki kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang.
3.
Yudikatif, yaitu lembaga yang memiliki kekuasaan mengeksekusi atau menghukum bagi yang melanggar undang-undang, dan mengadili perselisihan antara lembaga-lembaga dan lainnya yang diatur dalam konstitusi dan menyelesaikan berdasarkan peraturan hukum dengan seadil-adilnya.
Berdasarkan pandangan teoritis yang dikemukan diatas, bahwa pada dasarnya sistem parlemen/pewakilan dalam sistem pemerintahan suatu negara harus memiliki prinsip-prinsip kedaulatan rakyat (demokrasi), pemisahan kekuasaan dan pelaksanaan check and balances antara lembaga-lembaga negara dalam penyelenggaraan pemerintahan suatu negara berdasarkan konstitusi, pemilihan umum (perwakilan) yang demokrasi, adanya pemerintahan pusat dan pemerintahan lokal. Pemisahan kekuasahan tersebut terdiri dari badan pembuat undang-undang (legislatif), badan pelaksana undang-undang (Eksekutif) , dan kekuasaan mengadili bagi pelanggaran
Universitas Sumatera Utara
undang-undang (yudikatif), yang diatur dalam konstitusi dalam suatu negara. Adanya landasan negara, bentuk negara, bentuk pemerintahan, sistem pemerintahan, dan sistem parlemen atau sistem perwakilan harus disesuaikan dengan keinginan suatu negara dengan melihat sejarah pemerintahan atau sejarah ketatanegaraan negara.
2.
Kerangka Konseptual Dalam kerangka konseptual, peneliti menggabungkan teori dan konsep dalam
penelitian hukum, dimana teori dan konsep (pandangan-pandangan dan doktrindoktrin) yang digunakan menjadi referensi bagi peneliti dalam menyusun konsep penelitian. Dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum, peneliti akan menemukan ide konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi. Pemahaman akan pandangan-pandangan dan doktri-doktrin tersebut merupakan sandaran bagi peneliti dalam membangun suatu argumuntasi hukum dalam memecahkan isu yang dihadapi. 43 Untuk menghindari perbedaan pengertian terhadap istilah yang dipergunakan dalam penelitian ini, berikut ini adalah konsepsi dan defenisi operasional dari istilah tersebut yang akan dijelaskan dalam permasalahan yang diangkat.
43
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008,
hal. 95
Universitas Sumatera Utara
Agar terdapat persamaan persepsi dalam membaca rencana penelitian ini, maka dipandang perlu untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan konsep dibawah ini: a. Sistem Menurut Wayne Sandholts, Sistem dalam hal in diartikan secara sempit sebagai mekanisme berdasarkan suatu tata aturan. Antara tata aturan dengan kelembagaan sesungguhnya merupakan suatu kesatuan, karena kelembagaan dapat didefenisikan sebagai suatu struktur aturan yang diformalisasi dalam seperangkat produk hukum. 44 b. Kameralisme Kameralisme merupakan wujud dari model-model majelis atau kamar pada lembaga perwakilan rakyat dalam parlemen. Penerapan paham kameralisme dalam parlemen di umpamakan, apakah dalam parlemen suatu negara mengunakan satu kamar (unikameral), dua kamar (bikameral), tiga kamar (trikameral), atau empat kamar (tentrakameral). Pilihan suatu negara dalam menerapkan paham kameralisme dalam parlemen, merupakan kehendak suatu negara karena dilatar belakangi sejarah ketatanegaraan, bukan karena landasan negara, bentuk negara, bentuk pemerintahan, bentuk sistem pemerintahan negara. Seperti yang dikemukakan oleh Bagir manan sebelumnya,
44
Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Dan Pilar-Pilar Demokrasi, Jakarta: Kostitusi Press, 2005, h. 105
Universitas Sumatera Utara
bahwa sejarah pemerintahan atau sejarah ketatanegaraan negara yang dapat menentukan apakah mengunakan sistem parlemen satu kamar, dua kamar atau lebih. Dalam kaitannya dengan keberadaan DPD sebagai kamar kedua dalam parlemen Indonesia, maka terarah untuk memfokuskan pada pelaksanaan sistem bikameral dalam dalam parlemen negara kesatuan, namun dapat dilihat parlemen pada
negara
serikat sebagai
bahan
tambahan
untuk
memperkuat
paham
bikameralisme yang diterapkan pada negara kesatuan. Bikameralisme adalah komponen yang esensial pada separation of power atau pemisahan kekuasaan dalam kerangka pandangan tersebut, seperti yang dituliskan oleh James Madison dalam Federalist No. 51, “Dalam pemerintahan Republik, kekuasaan legislatif
perlu
menonjol. Memperbaiki kesulitan ini adalah dengan
membagi legislatif ke dalam cabang-cabang yang berbeda; dan membuat mereka, dengan perbedaan cara pemilihan dan perbedaan prinsip-prinsip dalam bertindak, seperti mempunyai sedikit hubungan dengan yang lainnya sebagai sifat dasar dari fungsi-fungsi mereka yang lazim dan ketergantungan mereka yang biasa pada masyarakat yang akan mengakui”. 45 Sistem bikameral adalah sistem dua kamar dalam parlemen suatu negara dimana terdapat dua lembaga dalam badan legislatif yang memiliki kekuasaan untuk membentuk undang-undang, mengawasi pelaksanaan dari undang-undang yang 45
Barbara Sinclair dalam Tim Peneliti; Satya Arinanto, Reni Dwi Purnomowati, LuluMariana, Bani Arofah, Struktur Organisasi dan Kerangka Prosedural bagi Penyempurnaan Rancangan Kelembagaan DPD RI: Parliamentary Reform Initiatives and DPD Empowerment Sekretariat Jenderal DPD RI bekerja sama dengan United Nations Development Programme 2006, h. 38
Universitas Sumatera Utara
dibentuk dan saling mempengaruhi dalam suatu ‘kebijakan politik’ 46, dalam rangka untuk menciptakan check and balances dalam parlemen suatu negara. c. Kedudukan Menurut Philipus M. hadjon, makna kedudukan suatu lembaga negara dapat dilihat dari dua sisi, yaitu: pertama, kedudukan diartikan sebagai suatu posisi yaitu posisi lembaga negara dibandingkan dengan lembaga-lembaga negara lain. Kedua, kedudukan lembaga negara diartikan sebagai posisi yang didasarkan pada fungsi utamanya. 47 Peranan dapat diartikan, bahwa setiap lembaga negara memiliki peranan dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam suatu negara, peran lembaga negara tidak terlepas dari kewenangan yang diberikan oleh konstitusi (UUD NRI 1945) sebagai pelaksana kedaulatan rakyat. Secara
teoritik,
keberadaan
lembaga
negara
sebagai
lembaga
parlemen/legislatif serta peranannya dapat ditarik ke beberapa hal. Salah satunya adalah semangat demokrasi. Semangat demokrasi menjadi alasan bagi keberadaan
46
Menurut Carl J. Fredrich, Kebijakan adalah konsep serangkaian konsep tindakan yang diusulkan oleh seorang atau sekelompok orang atau pemerintahn dalam satu lingkungan tertentu dengan menunjukkan hambatan-hambatan dan peluang, terhadap usulan tersebut dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Kebijakan (policy) adalah seperangkat keputusan yang diambil oleh pelaku-pelaku politik dalam rangka memilih tujuan dan bagaimana cara untuk pencapaian tujuan. Politics, Polity, dan Policy adalah kehidupan politik ”political life” yangmengambarkan kekuatan-kekuatan politik yang ada dan bagaimana perhubungannya serta bagaimana pengaruh mereka di dalam perumusan dokumen-dokumen kebijakansanaan politik. Dengan demikian , bahwa kebijakan politik adalah kebijakan negara, kebijakan pemerintah, atau kebijakan publik (public policy) adalah serangkaian tidakan yang ditetapkan dan dilaksanakan oleh pemerintahn dengan tujuan tertentu demi kepentingan masyarakat. Lihat dalam Solly Lubis, Kebijakan Publik, Bandung: Mandar Maju, 2007, h. 3, 5, 7, 9 47 Philipus M. Hadjon, Lembaga Tertinggi dan Lembaga-Lembaga Tinggi Negara Menurut UUD NRI 1945, Surabaya: Bina Ilmu, 1992, h.x
Universitas Sumatera Utara
lembaga parlemen/legislatif karena salah satu prasyarat mutlak demokrasi adalah kebutuhan akan partisipasi yang baik dalam menjalankan prinsip kedaulatan rakyat. 48 Kedudukan dan peranan suatu lembaga negara yang diatur dalam konstitusi, memiliki hubungan dengan lembaga-lemabaga negara lainya dengan kewenangan yang diberikan konstitusi untuk menjalankan fungsinya sebagai lembaga negara dalam kaitanya untuk menjalankan kekuasaan negara. d. DPD DPD adalah lembaga perwakilan daerah yang berkedudukan sebagai lembaga negara yang berdampingan dengan DPR di MPR. Anggota DPD dipilih melalui pemilihan umum dengan calon perseorangan, yang sebagaimana diatur dalam pasal 22C UUD NRI 1945. Memiliki kewenangan yang diatur dalam pasal 22D UUD NRI 1945. Untuk selanjutnya mengenai Tugas dan Kewenangan DPD lebih jauh dijelaskan dalam Undang-Undang. Keberadaan Kedudukan DPD dalam lembaga perwakilan rakyat tercermin dalam pasal 2 ayat (1) UUD NRI 1945 yang berbunyi: MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Kedudukan DPD diatur dalam BAB IV tentang Susunan dan Kedudukan DPD dalam UU No. 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Dalam
48
Saldi Isra dan Zainal Arifin Mochtar, ibid, h. 118
Universitas Sumatera Utara
pasal 222 yang berbunyi: DPD merupakan lembaga perwakilan daerah yang berkedudukan sebagai lembaga Negara. e.
Parlemen Indonesia Parlemen adalah sebuah badan legislatif, yang terdiri atas beberapa kamar
atau majelis, dan biasanya berbentuk unikameral atau bikameral meskipun terdapat beberapa model yang lebih rumit. Istilah parlemen dan legislatif memiliki makna yang berbeda tergantung pada sistem yang digunakan. Dalam sistem presidensial seperti Amerika, Kongres (parlemen) dianggap sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pemerintahan. Lembaga legislatif dimaknai sebagai kekuasaan pemerintah yang mengurusi pembuatan hukum, sejauh hukum tersebut memerlukan kekuatan undang-undang (statutory force). Sedangkan dalam tradisi sistem parlementer terdapat perbedaan antara lembaga pemerintah dan parlemen. pemerintah dalam arti sempit memiliki fungsi eksekutif dan pengertiannya tidak mencakup fungsi lembaga legislatif yang disebut parlemen. 49 Parlemen adalah badan perwakilan rakyat, badan legislatif, dan badan perwakilan. Parlemen suatu negara adalah suatu badan kekuasaan dalam sistem pemerintahan, yang menjelma sebagai lembaga negara yang memiliki kekuasaan merumuskan dan membentuk undang-undang serta mengawasi jalannya undang-
49
Charles Simabura, Ibid. h. 26
Universitas Sumatera Utara
undang. Sebagai badan parlemen, selain hal tersebut juga sebagai lembaga mewakili rakyat dalam memenuh tugas dan kewajiban dalam menyelenggarakan pemerintahan. Parlemen Indonesia adalah Lembaga Perwakilan Rakyat (di pusat) yang terdiri dari MPR, DPR dan DPD, dalam hal ini lembaga legislatif adalah DPR, dan DPD sebagai lembaga pendamping DPR, serta DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat (di daerah) dalam pelaksanaan tugasnya dimuat dalam UUD NRI 1945 dan undang-undang tertentu.
G. Metode Penelitian 1.
Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam
pokok permasalahan ini adalah
penelitian normatif, hal ini dimaksudkan agar peneliti sejauh mungkin dapat mengetahui apa yang menjadi alat ukur dalam membahas penelitian ini, sehingga dapat mencari setitik kebenaran tujuan dalam penelitian ini. Menurut Bagir manan, penelitian normatif adalah penelitian terhadap kaedah dan asas hukum yang ada. 50 Menurut Haryono, suatu penelitian normatif tentu harus mengunakan pendekatan perundang-undangan, karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi focus sekaligus tema sentral suatu penelitian. 51 Menurut Kusumadi Pudjosewojo, penelitian normatif yang mengunakan pendekatan
50
Bagir manan dalam Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian hukum Normatif: Suatu tinjauan Singkat, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994, h. 13 51 Haryono dalam Johnny Ibrahim, Teori Dan MetodologiPenelitan Hukum Normatif, Malang: Bayumedia Publisshing, 2010, h. 302
Universitas Sumatera Utara
sejarah memungkinkan seseorang peneliti untuk memahami hukum secara lebih mendalam tentang suatu sistem atau lembaga, atau suatu pengaturan hukum tertentu sehingga dapat memperkecil kekeliruan, baik dalam pemahaman maupun penerapan suatu lmbaga atau ketentuan hukum tertentu. 52 Jenis penelitian dalam pokok permasalahan ini adalah penelitian normatif, dimana dengan melakukan identifikasi masalah sebagaimana yang telah disebut diatas, yang menjadi fokus dalam penelitian ini ialah pada taraf sinkronisasi dari peraturan perundang-undangan, yakni taraf sinkronisasi secara vertical dan secara horizontal. 53 Sejauh mana pengaturan lembaga perwakilan rakyat yang konsisten dan sinkron, baik secara vertical maupun secara horizontal, antara yang satu dengan yang lain dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Penelitian ini juga bersifat deskriptif kualitatif, dikatakan demikian karena penulis lebih awal untuk mengetahui dan memaparkan informasi secara teoritis dan sistematis mengenai kedudukan dan peranan DPD dalam pelaksanaan sistem
bikameral di parlemen
Indonesia. 2.
Sumber Data Sumber data yang dibutuhkan dalam penelitian ini diperoleh dari
perpusatakaan dan dokumen-dokumen resmi. Jenis sumber data yang diperoleh dalam 52
Kusumadi Pudjosewojo dalam Johnny Ibrahim, ibid, h. 318 Penelitian taraf sinkronisasi secara vertikaldilakukan dengan menguji asas-asas atau normanorma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Penelitian taraf sinkronisasi secara horizontal dilakukan dengan menguji sejauh mana suatu peraturan perundang-undangan yang mengatur pelbagai bidang yang mempunyai hubungan fungsional adalah konsisten. Lihat dalam Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitan Hukum, Jakarta: UI-Press, 1986, h. 256 53
Universitas Sumatera Utara
penelitian ini, terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Kedua data tersebut diperlukan untuk menjawab permasalahan yang menjadi fokus penelitian ini, antara lain berupa: a. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan merupakan landasan utama yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu terdiri dari UUD NRI 1945, Konstitusi RIS 1949, UUDS 1950 dan UUD NRI 1945 Pasca Amandemen serta peraturan organik lainya (organieke wetordening) seperti: UU Nomor 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD, Dan DPRD, UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum anggota DPR, DPD, dan DPRD, UU No. 12 Tahun 2012 Tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan. b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian terdahulu (karya ilmiah) berupa buku-buku teks, jurnal ilmiah dan laporan hasil penelitian yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti. c. Bahan hukum tertier yaitu bahan-bahan yang memberi petunjuk-petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan/atau bahan hukum sekunder seperti: kamus hukum, ensiklopedia, dan media internet sebagai bahan penunjang informasi dalam melengkapi data dalam penelitian ini. 3.
Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan pengumpulan data studi dokumen, yaitu dilakukan dengan menginventarisir
Universitas Sumatera Utara
berbagai bahan hukum yakni bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier melalui penelusuran kepustakaan (library research), yakni dengan cara membaca, mempelajari, meneliti, mengidentifikasi, dan menganalisis literature-literatur, baik peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen maupun buku-buku teks, serta karya ilmiah lainya dengan cara menfotocopy, menyalin atau memindahkan data yang relevan dengan kebutuhan dalam penelitian ini. 4.
Analisis Data Menganalisis bahan-bahan hukum yang telah terkumpul dan mengelolah secara sistematis. Sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum tersebut dengan mengunakan analisis kualitatif. Analisis secara kualitatif dimaksudkan dengan menganalisis data berdasarkan pandangan teori dan bahan hukum yang ada maka dapat ditarik kesimpulan sehingga dapat dikemukakan yang perlu dalam penelitan ini. Kemudian dianalisis dengan mengunakan pendekatan perundangundangan (Statute Aprroach) yakni untuk memahami hierarki, dan asas-asas dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan isu yang diteliti. Dan pendekatan historis (Historical Approach) yakni usaha mengambil kesimpulan berdasarkan interpretasi sejarah ketatanegaraan, tujuan dibentuknya
Universitas Sumatera Utara
suatu lembaga negara dan juga memprediksi hal-hal yang akan terjadi di masa akan datang. 54 Adapun kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam analisis data, yakni: Memilih pasal-pasal yang berisi kaedah-kaedah hukum dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas. Membuat sistematika dari pasal-pasal tersebut sehingga menghasilkan klasifikasi tertentu dan mempermudah dalam penelitian. Mengkaitkan bahan-bahan hukum yang ada dengan kaedah-kaedah hukum tersebut.
54
Lihat dalam Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, h. 96, 126
Universitas Sumatera Utara