BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.
Sapi adalah salah satu hewan yang sejak jaman dulu produknya sudah dimanfaatkan oleh manusia seperti daging dan susu untuk dikonsumsi, dimanfaatkan untuk membajak sawah oleh petani ataupun digunakan sebagai sarana upacara keagamaan. Ada berbagai jenis sapi di Indonesia seperti sapi bali, sapi madura, sapi peranakan ongole, sapi brahman, sapi silangan brahman, sapi fresian holstein, dan sapi limousin.
Menurut Hardjosubroto dalam Prasojo et al (2010) sapi potong merupakan hewan ternak dengan keanekaragaman jenis tinggi dan ditemukan hampir di semua negara, termasuk Indonesia. Ada tiga bangsa ternak sapi potong yang merupakan sapi potong yang telah lama ada di Indonesia yaitu sapi bali, sapi madura dan sapi peranakan ongole. Sapi bali merupakan sapi potong yang telah lama ada di Indonesia hasil domestikasi dari banteng (Bos-bibos banteng
1
dan memiliki potensi yang besar untuk mensuplai kebutuhan protein hewani. Di antara berbagai jenis sapi yang ada di Indonesia sapi bali memiliki keunggulan yaitu daging yang lebih tebal dan dengan tulang yang relatip lebih kecil. Hal ini juga menjadi pertimbangan bagi petani untuk mengembangkan produksi sapi bali.
Sapi bali adalah jenis sapi yang memiliki kemampuan beradaptasi dengan lingkungan baru. Kemampuan tersebut merupakan faktor pendukung keberhasilan budidaya sapi bali. Populasi sapi bali yang meningkat akan membantu mensukseskan program pemerintah untuk swasembada daging tahun 2014 (Ni’am et al, 2012). Sapi bali mempunyai sifat-sifat subur, cepat beranak (cicih), mudah beradaptasi dengan lingkungannya, dapat hidup di lahan kritis, dan mempunyai daya cerna yang baik terhadap pakan. Selain unggul sapi bali mempunyai harga yang stabil dan bahkan setiap tahunnya harganya cenderung meningkat (Batan, 2002).
Kemampuan memilih atau menyeleksi ternak untuk menghasilkan keturunan yang lebih baik dari tetuanya merupakan faktor yang sangat penting dalam manajemen pemuliabiakan sapi. Seleksi merupakan suatu tindakan terencana yang dilakukan untuk memilih ternak yang mempunyai sifat unggul dan mempunyai nilai ekonomi untuk dikembangkan. Pada dasarnya memilih ternak dapat dilakukan melalui cara visual atau kualitatif dan melalui cara pengukuran atau kuantitatif. Pemilihan secara visual (judging/tilik ternak) sering dilakukan peternak terutama sewaktu memilih ternak untuk dijadikan induk dan pejantan maupun bakalan untuk digemukkan. Seleksi dilakukan pada waktu memilih ternak sendiri maupun ternak yang dibeli dari tetangga atau pasar ternak. Karakter visual yang menjadi dasar memilih ternak meliputi bentuk tubuh, warna bulu, bentuk tanduk, bentuk kepala, bentuk moncong, panjang leher, warna rambut atau bulu, panjang ekor dan lain-lain. Bentuk luar ini selalu dihubungkan dengan potensi sifat unggul yang 2
diharapkan dimiliki oleh ternak tersebut. Pada umumnya sifat unggul yang diinginkan peternak adalah kecepatan pertumbuhan (Panjahitan, 2010).
Warwick et. al. (1990) mengatakan bahwa laju pertumbuhan sebelum dewasa kelamin dapat digunakan sebagai kriteria seleksi untuk mengetahui produktivitas ternak. Kemampuan berproduksi dapat diketahui dengan mengukur berat pada umur tertentu, pengukuran berat dikombinasikan dengan dimensi tubuh lebih menggambarkan kondisi fisik ternak tersebut
Kebanyakan petani di Bali menjual sapi-sapinya untuk memenuhi kebutuhan hidup, tanpa memperhatikan apakah sapi tersebut masih produktif atau tidak. Karena faktor tersebut banyak sapi-sapi yang seharusnya masih bisa dijadikan induk dijual untuk nantinya disembelih guna memenuhi kebutuhan daging masyarakat. Hal tersebut akan berpengaruh terhadap peluang untuk mendapatkan bibit yang unggul. Petani dalam memilih bibit umumnya dilakukan secara kualitatif, padahal ukuran secara kuantitatif juga sangat berguna untuk pemilihan bibit maupun calon indukan dan sebagai pertimbangan untuk dilakukan penggantian indukan.
Dimensi tubuh merupakan faktor yang erat hubungannya dengan penampilan dan sifat produksi seekor ternak. Dimensi tubuh dapat digunakan untuk menduga berat badan ternak sapi dan seringkali dipakai sebagai parameter teknis dalam penentuan sapi bibit berdasarkan mutu genetisnya (Santosa, 1991). Salah satu pengukuran dimensi tubuh yang dapat dilakukan adalah pengukuran dimensi kedalaman tubuh pada induk sapi serta pedetnya, agar diketahui apakah ada hubungan antara dimensi kedalaman tubuh induk sapi dengan dimensi kedalaman pedetnya. Diharapkan nantinya dapat dipakai sebagai acuan untuk perbaikan genetik ternak, serta diperoleh
3
data akurat yang dapat digunakan dalam pendewasaan dan akan berdampak pada perbaikan produktifitas bibit sapi bali.
1.2 Rumusan Masalah
Dari uraian diatas maka timbul suatu pertanyaan apakah ada hubungan antara dimensi kedalaman tubuh pada induk sapi bali dengan pedetnya.
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara dimensi kedalaman tubuh pada induk sapi bali dengan pedetnya
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi kepada peternak untuk dapat memudahkan memilih induk dan bibit yang unggul berdasarkan dimensi kedalaman tubuh sehingga tujuan untuk meningkatkan produktivitas sapi bali dapat lebih efektif dan efisien.
1.5 Kerangka Konsep
Pertumbuhan mempunyai tahap cepat dan tahap lambat, tahap tumbuh cepat terjadi sebelum dewasa kelamin dan tahap tumbuh lambat terjadi setelah dewasa kelamin dan batas antara kedua tahap ini disebut titik belok. Pola pertumbuhan umumnya pada ternak saat fase tumbuh cepat adalah eksponensial, sedangkan pola pertumbuhan pada saat fase tumbuh lambat adalah logistik atau para bola, gabungan antara kedua kurva ini berbentuk sigmoid (Sampurna, 2013).
4
Lama kebuntingan di pengaruhi oleh breed, jenis kelamin dan jumlah anak yang dikandung serta faktor lain yaitu umur induk, musim, sifat genetik dan letak geografis (Jainudeen dan Hafez, 2000).
Secara visual yaitu dari warna, bulu, bentuk tubuh, tanduk dan kaki, secara kuantitatif dapat dilakukan dengan pengukuran dimensi tubuh, salah satunya adalah dengan mengukur dimensi kedalaman tubuh. Ukuran-ukuran dimensi tubuh ini berhubungan dengan produktifitas ternak. Dimensi kedalaman tubuh merupakan salah satu ukuran tubuh yang dapat digunakan sebagai indikator produktifitas ternak karena dengan melihat dimensi dalam maka dapat dilihat keberhasilan suatu manajemen pemeliharaan serta mampu digunakan untuk penentuan harga jual (Adryani, 2012).
1.6 Hipotesis
Dari uraian di atas dapat dibuat suatu hipotesis yaitu : 1.
Terdapat perbedaan dimensi kedalaman tubuh antara pedet jantan dan betina pada sapi bali.
2.
Terdapat hubungan antara dimensi kedalaman tubuh induk dengan pedet pada sapi bali.
5