BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Di Jawa Barat banyak ragam seni tari yang hidup dan berkembang di masyarakat, di antaranya tari rakyat yang terdapat hampir disetiap daerah misalnya:
di Baduy (Banten Selatan) terdapat Angklung Huma, di daerah
Serang terdapat Ubrug, di daerah Rancakalong terdapat Tarawangsa, di daerah Sumedang terdapat Bangreng, di Karawang terdapat Banjet dan lain sebagainya. Dalam berbagai macam seni diatas terdapat dua macam fungsi seni yang terkandung di dalamnya. Pertama, seni tari yang bersifat kerohanian, artinya tari upacara agama dan adat, seperti pada upacara ngaseuk di Baduy dipertunjukan tari Angklung Huma, dan di Rancakalong pada upacara ngidep dipertunjukan tari Tarawangsa (Ngekngek). Kedua, tari yang bersifat keduniawian yaitu tari pergaulan dan tari hiburan, seperti halnya tari Banjet, Ubrug, Bangreng, Ketuk Tilu, Longser Bajidiran, Pencak Silat dan lain sebagainya. Ketuk tilu adalah salah satu bentuk tari pergaulan yang termasuk paling populer dipertunjukan sampai dekade 1970-an. Sebagai perkembangan selanjutnya antara lain muncul gaya kaleran yang terkenal dengan nama Bajidoran, dan penari wanitanya (Ronggeng) terkenal sangat atraktif dan mampu mengimbangi penari laki-lakinya yang sering disebut bajidor atau pamogoran.1
1
Iyus Rusliana, Penciptaan Tari Sunda gagasan global bersumber nilai lokal bandung, Bandung,Etnoteater Publisher, hlm. 53-54.
1
2
Pada perkembangan berikutnya munculah jenis tari baru yang sangat populer yaitu jaipongan. Rupanya pada awal kemunculan tari jaipongan ini, krtitikan, hujatan dan tudingan miring bermunculan, namun ternyata tari jaipongan inilah yang mampu menembus berbagai kalangan, dari kalangan muda sampai kalngan elite paling atas. Kehadiran jaipongan di arena tari Jawa Barat tidak bisa di pisahkan dari penciptanya yaitu Gugum Gumbira. Penari yang handal ini sangat getol menggeluti tari rakyat Jawa Barat, terbukti pada tahun 1970-an berhasil menciptakan sebuah tari hiburan pribadi yang digalinya dari ketuk tilu dan pencak silat yang diberi nama jaipongan.2 Kehadiran Jaipongan yang terus berkembang pesat dalam waktu yang relatif singkat didukung oleh kondisi sosial, ekonomi, dan politik yang pada saat itu dapat dikatakan ‟kondusif.‟ Terutama dalam bidang pembangunan ekonomi.3 Pembangunan di segala bidang sedang digalakkan, termasuk bidang Kesenian. Peningkatan penghasilan masyarakat sangat mendukung terhadap peningkatan apresiasi terhadap kesenian. Tampak adanya perkembangan dalam sektor kebudayaan dan kesenian yang cukup berarti, yaitu dengan adanya muhibahmuhibah seni ke luar negeri, maupun sebaliknya. Para pelaku seni dan budaya terus berupaya untuk meningkatkan kualitas seni dan budayanya (Lubis dkk., 2003: 429-430). Pada tahun 1986, Pemerintah telah bertekad untuk menggalakkan bisnis pariwisata. Penekanan Presiden mengenai hal itu disampaikan pada pembukaan Rapat Kerja Departemen Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi pada
2
Irawati Durban dan Soedarsono Tari Sunda : dulu, kini dan esok , 2005: Bandung P4ST UPI. hlm. 173-174. 3 Ricklefs, M.C. 2001. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi, hlm.593594.
3
tanggal 26 September 1986. Promosi pariwisata ke luar negeri terus digalakkan dengan menyajikan berbagai bentuk seni (Soedarsono, 2003: 234-235) termasuk Jaipongan sebagai materi pertunjukannya. Kehadiran Jaipongan merupakan sebuah realitas yang tidak dapat dipungkiri. Imaji Gugum dalam menciptakan Jaipongan tidak terlepas dari realitas sosial di sekelilingnya (Duvignaud, 1967: 47). Di sini, Gugum mampu melihat dan membaca keadaan masyarakat yang saat itu tengah mengalami perubahan dari masyarakat agraris menuju masyarakat industri. Kebutuhan terhadap seni pada masyarakat tipe ini adalah berbentuk hiburan ringan dalam waktu singkat, glamor, dan sedikit bernuansa erotis. Pada bentuk seni semacam ini, Gans (1975: 20) mengkategorikan sebagai seni pop yang mengutamakan profit karena sudah menjadi seni industri yang konsekuensinya harus mengikuti selera massa. Tarian wanita lebih ditonjolkan, karena wanita memiliki nilai estetika yang dianggap dapat bernilai jual.4 Jaipongan yang berkembang di masyarakat, pada kenyataanya lebih banyak ditampilkan oleh penari yang bertubuh seksi, sintal serta sering ditarikan dengan ekspresi yang sensual, sehingga goyangan tubuh secara spontan, seolaholah terkesan seronok dan menjadi goyangan sensasi. Selain itu, jaipongan selalu di identikan dengan„3G‟(geol, goyang dan gitek), karena baik dulu maupun sekarang gerak 3G pada Jaipongan merupakan sebuah kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dari sosok Ronggeng. Maka dari itu, tiga gerakan pinggul yang sensual itu selalu menjadi polemik dan juga selalu menjadi topik pembicraan yang hangat 4
Een Herdiani, S.Sen., M.Hum, Dari Ketuk Tilu hingga Jaipongan (1920-an -2000-an). (Disajikan dalam seminar Sejarah Nasional ke-9, 6 Juli 2010 di Hotel Bidakara Jakarta).
4
di berbagai kesempatan, khusunya antara orang-orang yang pro dan kontra. Terutama yang menilai tarian ini layak atau tidaknya untuk dipertontonkan dalam forum-forum “terhormat”.5 Seiring dengan perkembangan seni tari jaipongan, tanggapan dan juga kritikan bermunculan meraimaikan pergolakan keberadaan seni tari jaipongan ini. Sehingga dalam konteks ini Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan memberikan Imbauan agar setidaknya mengurangi gerakan yang erotis dan juga para penari jaipongan jangan menonjolkan auratnaya. Imbaun Pak Gubernur terhadap jaipongan ini, rupanya bukan yang pertama kali terjadi. Sebelumnya juga pernah terjadi semasa Gubernur Aang Kunaefi. Pada waktu itu jaipongan sedang marak di tengah masyarakat. Sikap dan penialai Gubernur seperti Pak Aang Kunaefi ketika itu tidak bisa membendung dan mencegah minat masyarakat pada jaipongan.6 Menyikapi kontroversi seputar imbauan Gubernur Jawa Barat tentang seni tari jaipongan, para seniman sepakat untuk bertemu langsung dengan pak Gubernur Ahmad Heryawan. Pertemuan itu diperlukan untuk menglarifikasi duduk persoalan agar tidak berlarut-larut sehingga citra kesenian khas sunda tersebut tetap terjaga. Menurut Gugum tarian jaipongan saat ini telah mengalami penggeseran dan cendrung mengeksploitasi gerakan 3G secara berlebihan. Namuan, beliau menyangkan penilaian itu hanya ditujukan kepada tari jaipongan
5
Endang Caturwati, 2006, Perempuan dan Ronggeng di Tatar Sunda Telaah Sejarah Budaya, Bandung:LBPB, hlm.90-95. 6 Pikiran Rakyat, 15 Februari 2009, “ Panggung Jaipong”.
5
tidak terhadap kesenian lain, misalnya musik dangdut, seni lukis, seni patung dan lainya.7 Setelah mengalami pertemuan antara para seninan Jawa Barat dengan Pak Gubernur yang banyak menyeret banyak pihak agar ada kejelasan mengenai kasus ini, akhirnya mendapat sebuah jawaban. Kehadiran Pak Gubernur didampingi ketua DPRD Jabar H.A.M. Ruslan, Kadispud Jabar H. Herdiwan, Ketua Golkar Uu Rukmana, dan Tjetje Hidayat di rumah Gugum Gumbira, atas undangan para seniman untuk meminta kejelasan dan mendengarkan kejelasan langsung seputar kontroversi pemberitaan sejumlah media cetak dan elektronik perihal tari jaipongan. Dipertemuanya dengan para seniman ini, Pak Gubernur menjelaskan dan mengkalrifikasi semua hal yang selama ini menjadi permasalahan. Pak gubernur juga menegaskan bahwa beliau menyukai seni budaya dan tari jaipongan. 8 Polemik yang tidak ada habisnya selalu mewarnai perjalanan tari jaipongan ini, polemik yang selalu menjadi buah bibir ini selalu ramai dibicarakan. Dari forum seminar di gedung mewah hingga obrolan kecil di warung kopi tidak bosan membicarakan jaipongan. Reaksi masyarakat terhadap tari jaipongan sungguh sangat luar biasanya, apalagi polemik ini diramaikan antara pihak yang mendukung dan juga pihak yang menolak. Maka dari itu, Pandangan Para Ulama khusnya Ulama di Jawa Barat (MUI Jabar) sangatlah penting dalam memberikan pandangannya terhadap seni tari Jaipongan ini yang bertujuan untuk menarik benang merah antara fenomena 7
Pikiran Rakyat, 9 Februari 2009, hlm. 1 dan7, “soal Jaipongan, Seniman Siap Temui Gubernur”. 8 Pikiran Rakyat, 10 Februari 2008, hlm. 7, “Gubernur Luruskan Polemik Jaipongan”.
6
budaya dengan keselarasan agama. Sehingga, nilai estetika sebuah kebudayaan dalam hal ini, tari jaipongan tetap terpelihara dan tidak bertentangan dengan nilainilai agama Islam. Berdaskan berbagai fakta dan pemaparan di atas, penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian yang berkaitan dengan: POLEMIK SENI TARI JAIPONGAN DI JAWA BARAT PADA TAHUN 1980- 2009.
1.2. Perumusan Masalah Pada rumusan masalah ini akan dikemukakan dalam bentuk pertanyaan mendasar yang akan dicari jawabannya dalam penelitian nanti. Adapun rumusan masalah tersebut antara lain sebagai berikut: 1. Bagaimana
Sejarah dan Perkembangan Seni Tari Jaipongan di Jawa
Barat? 2. Bagaimana Polemik Seni Tari Jaipongan di Jawa Barat pada tahun 19802009?
1.3. Tujuan Penelitian Tujuan suatu penelitian adalah upaya untuk memecahkan masalah. Arikunto (2002: 55) menambah, tujuan penelitian adalah rumusan kalimat yang menunjukan adanya sesuatu hal yang diperoleh setelah penelitian selesai. Adapun tujuan penelitian yang kami lakukan antara lain ssebagai berikut: 1. Untuk mengetahui Sejarah dan Perkembangan Seni Tari Jaipongan di Jawa Barat.
7
2. Untuk Mengetahui Polemik Seni Tari Jaipongan di Jawa Barat pada tahun 1980-2009 terkait isu kritikan Gubernur Jawa Barat terhadap seni Tari Jaipongan.
1.4. Langkah-langkah Penelitian Penelitian historis adalah suatu penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan apa-apa yang telah terjadi. Pross terjadi penyelidikan, pencatatan, analis, dan menginterpretasikan peristiwa-peristiwa masa lampau dan juga masa kini, bahkan secara terbatas bisa digunakan untuk mendeskripsikan halhal yang akan datang. Sanapiah Faishal (1984:41). Secara garis besar, penulis melaksanakan langkah-langkah metode historis (metode sejarah) seperti dikemukakan oleh Ismaun (1990: 64-67). Langkahlangkah yang penelitian sejarah yang penulis lakuakan melalui bebrapa tahapan sebagai berikut: 1.4.1. Heuristik Tahapan ini merupakan langkah awal bagi penulis dalam proses mencari dan mengumpulkan bahan-bahan informasi yang diperlukan yang berhubungan dengan masalah yang akan dibahas ataupun pertanyaan dalam rumusan permasalah yang akan dicari jawabanya dalam penulisan skripsi ini. Berdasarkan rumusan masalah yang ditetapkan, maka informasi yang diperlukan dalam penilitian ini adalah seputar pendapat para Ulama di jawa Barat tentang seni tari jaipongan. Hal ini dilakukan agar peneliti mengetahui pendapat Ulama yang pro dan kontra karena hal ini yang menurut saya menarik dan perlu dianggkat.
8
Selain itu yang harus dicari dan penting ditanyakan disini mengenai pandangan ketua Fatwa MUI JABAR menegenai pandangan ulama di atas tentang polemic mengenai isu yang sempat beredar pada tahun 1980-2009 yang menyeret Gubernur Aang Kunaefi dan Ahmad Heryawan terhadap kritikanya terhadap seni tari jaipongan tersebut. Semua ini bisa didapat dengan menggunakan studi literature maupun lisan, pada setudi literatur, penulis mencari bahan pustaka sebagai sumber data. Hal ini dilakukan karena penulis beranggapan bahwa bahan ataupun sumber tertulis merupakan sesuatu yang paling umum dipakai sebagai bahan kajian sejarah, seperti halnya dokumen, arsip, surat kabar, majalah, biografi, dan autobiografi. Dan pada sumber lisan penulis melakukan wawancara dengan dengan beberapa Ulama dan Ketua Fatwa MUI JABAR yang mewakili pandanganya sebagai Ulama. Selain itu penulis juga mewawancarai Bapak Gugum Gumbira sebagai seniman sunda yang memang pencetus tari jaipongan itu sendiri guna mencari informasi langsung dari pelaku sejarah itu sendiri agar data yang kami dapatkan sifatya primer. Setelah sumber-sumber yang berkaitan dengan masalah itu diperoleh dan terkumpul, kemudian penulis melakukan penelaahan serta pengklasifikasian terhadap sumber-sumber informasi yang ada sehingga benar-benar dapat diperoleh sumber yang relevan dengan masalah yang dibahas. Adapun sumber yang penulis peroleh disini yang termasuk kedalam katagari sumber primer yaitu, sumber tulisan berupa Koran-koran yang kami peroleh di Balai Iklan Pikiran Rakyat di Jl. Kopo no. 304 bandung. Adapun
9
sumber lisan mengenai peristiwa yang ingin kami teliti kami mendaptkan informasi lisan dari bebrapa responden dan informan diantaranya : 1. Bapak K.H Dr. Salim Umar (73 tahun) Ketua Fatwa MUI JABAR. 2. Bapak Drs. Enoh, M.Hum (63 tahun) Pembina Lembaga Seni Musli (LESBUMI)
Nahdatul Ulama (NU) JABAR.
3. Bapak Dr. H. Aziz Taufik Hirzi, Drs., M.Si (62 tahun) Ketua Lembaga Seni Muhammadiyah JABAR. 4. Bapak H. Erdian, S.Ag. (40 tahun) Sekretaris Pimpinan Wilayah Persatuan Islam (PERSIS) JABAR. 5. Gugum Gumbira Trisonjaya (69Tahun) seniman dan konseptor seni tari Jaipongan. Adapun sumber tertulis yang masuk ke dalam katagori sumber Primer adalah: 1. Pikiran Rakyat, 9 Februari 2009, hlm. 1 dan7, “soal Jaipongan, Seniman Siap Temui Gubernur”. 2. Pikiran Rakyat, 10 Februari 2008, hlm. 7, “Gubernur Luruskan Polemik Jaipongan. 3. Pikiran Rakyat, 15 Februari 2009, “ Panggung Jaipong”. 4. Pikiran Rakyat, 11 Februari 2009, hlm. 2, “Gubernur-Seniman tutup Polemik Jaipongan. Adapun sumber sekunder yang merupakan buku-buku sebagai penunjang dalam penelitian ini sebagai berikut:
10
1. Departemen Pendidikan Nasional, 2008, Kamu Besar Bahasa Indonesia edisi Keempat. Jakarta, 2008, PT Gramedia Pustaka Utama. 2. Dr. M. Quraish Shihab, 2007, Membumikan Al-Qur‟an, Bandung: Mizan. 3. Dyah Purwani Setianingsih, et.al, 2000, Kerajinan Tangan dan Kesenian Untuk SLTP Jilid 2, Jakarta: Erlangga. 4. E. Kosim, 1984, Metode Sejarah Asas Dan Proses, Bandung: Universitas Padjajaran, Fakultas Sastra, Jurusan Sejarah. 5. Endang Caturwati, 2006, Perempuan dan Ronggeng di Tatar Sunda Telaah Sejarah Budaya, Bandung: LBPB. 6. Endang Caturwati, 2007, Tari di tatar sunda, Bandung; Sunan Ambu Pers. 7. Endang Saifuddin Anshari, 1992, Kuliah al-Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada. 8. Endang Triningsih, 2000, Kerajina Tangan dan Kesenian, Semarang: MGMP SLTP N 18. 9. George Ritzer, 2004. Sosiologi Ilmu Pengetahuan berparadigma ganda, terj. Alimandan, Jakarta: Raja Grafindo Persada. 10. Hadi, S, Y,2007, Sosiologi Tari, Yogyakarta: Pustaka. 11. Helius Sjamsudin, 1996, Metodologi Sejarah, Jakarta:
Depdikbud, Proyek
Pendidikan Tenaga Akademik.
12. Irawati durban dan Soedarsono, 2005, Tari Sunda : dulu, kini dan esok , Bandung : P4ST UPI. 13. Ismaun, 1990, Pengantar Ilmu Sejarah, Bandung: IKIP Bandung. 14. Iyus Rusliana, 2009, Kompilasi Istilah Tari Sunda, Bandung: Jurusan Tari STSI Bandung .
11
15. Iyus Rusliana, Penciptaan Tari Sunda: gagasan global bersumber nilai lokal bandung, Bandung: Etnoteater Publisher. 16. Jakob Sumardjo, 2000, Filsafat Seni, Bandung: ITB. 17. Louis Gottschalk, 1985, Mengerti Sejarah, Jakrta:Universitas Indonesia (UI Press). 18. M. Qurais Shihab, 2000, Wawasan AL-Qur‟an, Bandung: Mizan. 19. M.M. Sharif, 1984, A bout Iqbal and His Trought, Terj. Yusuf Jamil,Iqbal tentang Tuhan dan Keindahan, Bandung: Mizan. 20. Nina Lubis, dkk, 2003, Kota Bontang Sejarah Sosial Ekonomi, Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Penelitian UNPAD. 21. R. Moh Ali, 2007, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: LkiS. 22. Rasjoyo, 1994, Pendidikan Seni Rupa untuk SMU Kelas I, Jakarta: Erlangga. 23. Ricklefs, M.C, 2001,
Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta:
Serambi. 24. Sartono Kartodirjo, 1993, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 25. Sidi Gazalba, dalam Enok Risdayah, 2003, Pengantar Budaya Sunda, Bandung: BAIK. 26. Soedarsono, 1972, Jawa dan Bali, Dua Pusat Perkembangan Drama Tari Tradisional di Indonesia. Yogyakart: Gadjah Mada University Press.
12
27. Sri Hermawati D.A., dkk, 2008, Seni Budaya Jilid 1 , Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional. 28. Sri Hermawati D.A., dkk, 2008, Seni Budaya Jilid 2, Jakarta : Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional. 29. Sugiyanto, et.al., 1999, Kerajinan Tangan dan Kesenian Untuk SLTP, Jilid I, Jakarta: Erlangga. 30. Sujarno dkk, 2003, seni pertunjukan tradisional, Nilai, Fungsi dan tantanganya, yogyakarta: kementrian kebudayaan dan pariwisata. Hlm. 1. 31. Syafi‟i Ma‟arif, Peta bumi intelektualisme Islam di Indonesia, Bandung: Mizan. 32. Tati Narwati, 2003, Wajah Tari Sunda Dari Masa Ke masa,Bandung: P4ST UPI. 33. Yusuf Al-Qordlowi, 2002, Fiqh al-Ghinawa al- Musiqy fi Dhau al-Qur'an wa asSunnah, Ter. LESPISI A. FulexBisyri, et, al., FikihMusik Dan LaguPerspektif alQur‟an Dan as-Sunnah, Bandung : Mujahid Press.
Adapun sumber sekunder dalam bentuk artikel maupun Koran-koran yang kami dapat baik dari perpustakaan maupun dari media elektronik seperti internet sebagai berikut: 1. Tateng Gunadi, “Tari Jaipong dan Formalisme Agama” artikel, di dalam http://tatenggunadi-rumahsastrabahasa.blogspot.com/2012/01/tari-jaipongdan-formalisme-agama.html yang di akes pada hari rabu 22 Mei 2013 pukul 07.30 Wib.
13
2. Een Herdiani, S.Sen., M.Hum, Dari Ketuk Tilu hingga Jaipongan (1920an -2000-an), (Disajikan dalam seminar Sejarah Nasional ke-9, 6 Juli 2010 di Hotel Bidakara Jakarta). 3. Pikiran Rakyat, 2 Januari 2009, hlm.1 dan 7, “Jabar Akan Miliki Kawasan Seni Budaya”. 4. Pikiran Rakyat, 7 Februari 2009, hlm. 31, “Seni Kesenian dan Ingatan Historis. 5. Atip Nurhari, 2010, Membangun moralitas seni melalui pendidikan, Jurnal, Vol. 1. 6. Lalan Ramlan, 2013, Jaipongan: Genre Tari Generasi Ketiga dalam Perkembangan Seni Pertunjukan Tari Sunda, Recital, Vol. 14 No. 1, Juni. 1.4.2. Kritik Dalam mencari kebenaran selalu dihadapkan dengan kebutuhan untuk membedakan mana yang benar dan mana yang tidak benar. Kritik sumber umumnya dilakuakn terhadap sumber-sumber pertama, di mana kritik ini menyangkut verifikasi sumber yaitu penyajian mengenai kebenaran atau ketepatan dari sumber itu. Adapun kegunaan pengujian tersebut dilakukan untuk mengetahui otoritas dan kredibilitas dari sumber yang diperoleh. Pada tahapan ini penulis mengktik sumber lisan yang penulis peroleh. Pertama dalam mengkrtisi hal ini pasti dilakukan kritik eksteren dengan melihat keadaan fisik narasumber yang akan diwawancarai, kesedian mereka untuk diwawancarai, dan sejauh mana mereka terkait dan ikut serta dalam sebuah perisitiwa itu menjadi pertimbangan pertama penulis. Untuk kritik internya sendiri penulis mengkritisi data-data yang
14
penulis daptkan dari hasil wawancara, selanjutnya penulis bandingkan dengan sumber primer yang ada di dalam dokumen baik yang primer maupun yang sekunder. Sedangkan untuk sumber tulisan penulis hanya mengktisi bagian isi saja, hal ini dilakukan karena penulis tidak menemukan naskah yang diharuskanya untuk di kritisi secara fisik atau eksternya. Penulis dapat menggolongkan sumber tulis yang tergolong ke dalam sumber primer atau sekunder dengan mengkritisi bagian konten atau isinya saja, dalam artian apakah isi dari dokumen itu sudah jelas merepresentasi terhadap peristiwa yang kami teliti atau hanya sebagai pendukung saja. Maka dari itu, dalam tahapan kritik ini penulis mencoba membandingkan isi atau konten dari dokumen baik buku dengan peristiwa yang kami teliti. Dalam tahapan ini konsep jaringan sangat diperlukan untuk mengajar dan mengkorelasikan sumber baru yang terdapat dalam dokumen, sehingga sumber yang ada bisa di cek kebenaranya. 1.4.3. Interpretasi Dalam tahapan interpretasi berbagai fakta yang lepas satu sama lain dicoba dirangikaikan sehingga menjadi satu kesatuan yang selaras, dimana peristiwa satu dimasukan kedalam keseluruhan konteks peristiwa yang lain yang melingkupinya. Dalam tahap ini, penulis berusaha dan menafsirkan informasiinformasi yang sesuai dengan pokok bahsan, juga berusaha meminimalisir unsur subjektifitas dan berusaha seobjektif
mungkin mengungkapkan data dan
informasi. oleh karena itu diusahakan diadakan analisis dan sintetis. Proses analis dilakukan dengan menguraikan sumber-sumber yang seringkali mengundang
15
bebberapa kemungkinan dan proses sintesis dilakukan dengan pernyataan data atau fakta lalu diadakan interpretasi. Seni atau kesenian merupakan salah satu unsur kebudayaan yang universal. Seni merupakahan keahlian manusia dalam karyanya yang bermutu, dilihat dari segi kehalusan dan keindahan.9 Setiap bangsa, suku bansa, bahkan setiap diri manusia mempunyai seni. Demikian pula indonesia yang dihuni oleh ratusan suku bangsa mempunyai kesenian yang tentunya beraneka ragam. Jawa merupakan salah satu suku yang relatif besar di Indonesia juga memiliki kesenian dan dialek yang bermacam-macam. Hal itu bisa dilihat dari banyaknya hasil karyasuku tersebut yang masih bertahan hingga sekarang.10 Salah satu dari bentuk ekspresi seni yang berkembang di Indonesia adalah seni tari. Setiap suku di indonesia memiliki seni tari yang spesifik yang berkembang pada masing-masing suku. Tari atau tarian merupakan salah satu jenis ekspresi jiwa seni manusia yang diungkapkan melalui gerak-gerak dan ritme yang indah. Maksud indah disini adalah bukan hanya berarti bagus, tetapi indah yang memberikan kepuasan dan kesan yang baik pada orang lain sebagai penikmat seni. Gerak-gerak dan ritme yang indah itu sebenarnya merupakan pancaran jiwa manusia dan jiwa itu bisa berupa akal, kehendak dan emosi.11 Jaipong merupakan sebuah seni Tari dalam masyarakat Sunda di Jawa Barat. Jaipong adalah sebuah seni pertunjukan yang lahir dan berkembang di
9
Departemen Pendidikan Nasional, 2008, Kamu Besar Bahasa Indonesia edisi Keempat. Jakarta, 2008, PT Gramedia Pustaka Utama. 10 Sujarno dkk, 2003, seni pertunjukan tradisional, Nilai, Fungsi dan tantanganya, yogyakarta: kementrian kebudayaan dan pariwisata. Hlm. 1. 11 Soedarsono, 1972, Jawa dan Bali, Dua Pusat Perkembangan Drama Tari Tradisional di Indonesia. Yogyakart: Gadjah Mada University Press.hlm. 5.
16
daerah Jawa Barat, yaitu Bandung, Karawang, Subang, Bekasi, Purwakarta dan Indramayu. Sebagai sebuah seni pertunjukan, Jaipong mengandung unsur seni musik dan tari yang berakar dari beberapa seni pertunjukan tradisional Sunda, seperti Ketuk Tilu, Pencak Silat, Ronggeng, Topeng, Tayub, Bangreng dan Bajidor. Jaipong dapat diterima sebagai sebuah kesenian bagi kolektif Sunda secara emosional.
Secara emosional, Jaipong
mengalami perubahan
‟kepemilikan‟ dari milik individu menjadi milik bersama orang Sunda. Bahkan Jaipong telah menjadi salah satu identitas kesenian Sunda. Castell (2010) mengatakan, bahwa identitas manusia itu bersumber dari pemaknaan dan pengalaman.
Masyarakat Sunda memaknai Jaipong sebagai sebuah kesenian
Sunda. Jaipong menjadi salah satu identitas mereka. Identitas itu adalah sesuatu yang dibangun atau diciptakan, misalnya nama, bahasa atau kebudayaan. Identitas mengacu kepada aktor sosial. Artinya identitas tersebut bersumber dari pemaknaan individu sebagai aktor dan dibangun melalui sebuah proses yang disebut Castell (2010:6) sebagai individuasi (individuation). Penampilan karya seni seperti halnya jaipongan, yang dianggap melanggar nilai-nilai moralitas dan agama, dimana agama diakui sebagai seperangkat aturan yang mengatur keberadaan manusia di dunia. Agama mengemukakan aturanaturan
bagi manusia, baik dalam hal hubungan manusia dalam kehidupan
sosialnya, manusiadengan alam tempat ia hidup, dan manusia dengan Tuhannya (Zakiyuddin, 2003:28). Adanya konflik tentang penampilan karya seni yang tidak mengandung nilai-nilai moral bahkan melanggar agama menyebabkan perseteruan
17
yang hebat, sadis, tragis, bahkan saling mencemooh dan menyakiti. Kejadian tersebut merupakan peristiwa yang menunjukkan bahwa negara kita sedang menderita krisis nilai dan krisis kesadaran atau distorsi moral dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Krisis nilai, krisis kesadaran dan krisis moral yang terjadi akibat ulah manusia khususnya dalam menyangkut bidang seni merupakan persoalan yang menyesakkan dada bagi orang yang beraliran seni. Adanya krisis tersebut seolaholah memunculkan argumentasi yang kuat bahwa senilah yang menyebabkan merosotnya nilai-nilai moralitas dan merosotnya peradaban bangsa dan masyarakat. Padahal kalau dilihat dari filosofi estetika seni merupakan bentuk keindahan yang menjadikan manusia aktif dan kreatif. Keindahan seni mampu memberikan ide yang hampir tak terbatas. Bukan seni yang menyebabkan krisis nilai,
krisis
kesadaran,
dan
krisis
moral
tetapi
manusialah
sebagai
pencipta,pengguna, dan pelaku yang menyebabkan dari krisis tersebut.12 Demikian juga, Tajfel (1979) mendefenisikan identitas sosial sebagai pengetahuan individu dimana dia merasa sebagai bagian anggota kelompok yang memiliki kesamaan emosi serta nilai. Identitas seseorang juga merupakan konsep diri seseorang sebagai anggota kelompok (Abrams & Hogg, 1990). Identitas bisa berupa kebangsaan, ras, etnik, kelas, pekerja, agama, umur, gender, suku, keturunan dan lain-lain. Pendekatan dalam identitas sosial erat kaitannya dengan hubungan interrelationship, serta kehidupan alamiah masyarakat dan society (Hogg & Abrams, 1988). Identitas sosial juga dapat dilihat bagaimana kategori 12
hlm. 79.
Atip Nurhari, 2010, Membangun Moralitas Seni Melalui Pendidikan, Jurnal, Vol. 1,
18
sosial yang ada dalam masyarakat ternyata tidak terbentuk secara sejajar, tetapi juga menimbulkan status sosial dan kekuasaan. Reaksi masyarakat dari berbagai kalangan mengenai sajian tari Jaipongan sangat luar biasa. Sorotan tertuju pada masalah ”3G” (gitek, geol, dan goyang) dari para penari wanita yang dicuatkan oleh pemberitaan mass media. Padahal “3G” ini bukan konsep yang ada dalam tari Jaipongan, itu hanya asumsi para pemburu berita untuk memunculkan beritanya agar laku dibaca. Akibatnya, H. Aang Kunaefi yang menjabat sebagai Gubernur Jawa Barat saat itu, sempat mengeluarkan larangan secara lisan untuk tidak menyajikan Jaipongan dalam forum resmi pemerintah yang digelar di Pakuan maupun Gubernuran. Merespon masalah ini berbagai forum saresehan digelar oleh pihak pemerintah maupun swasta sebagai wujud kepedulian masyarakat terhadap seni tari aipongan. Kejadian serupa terjadi pada tahun 2009 yang melibatkan Gubernur Jabar Ahmad Heryaman karena marak beredar isu mengenai kritikan Aher terhadap seni tari jaipongan yang menuai tanggapan serius dari para seniman Sunda. Polemik itu berangsur membaik setelah diadakanya pertemuan yang melibatkan Pak Gubernur dengan para seniman sunda di Kediaman Gugum Gumbira. Hal seperti diatas juga sebenarnya pernah terjadi kepada Tati Saleh dan Yeti Mamat yang merupakan penari jaipongan era 1980. Mereka bisa tertunduk diam ketika istri gubernur jawabarat (waktu itu) melarang keduanya ahar tidak menari secara erotik dan sensual. Bahkan ketika dicekal pun, Tati Saleh masi juga
tidak mengerti apa yang salah pada tarianya sampai-sampai Ny Aang
Kunaefi (istri Gubernur) melarangnya untuk menari jaipongan di depan birokrat.
19
Bagi mereka sebenarnya goyang pinggul dan tebar pesona merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari olah tarian. Tetapi bagi istri Gubernur hal itu dianggap telah melecehkan nilai perempuan. Apa boleh buat, kekuasaan lebih menentukan otoritas dan Tati Saleh maupun Yeti Mamat dipaksa untuk di bawah otoritas itu. Sebenarnya kemunculan stigma seperti ini berakar dari asumsi mereka yang melihat gerakan penari jaipongan identik dengan Tarian para ronggeng yang merupakan
penari-penari
perempuan
seni
tradisi
yang
terkenal
denga
sensualitsnya. Citra ronggeng pada penari tradisi, khususnya sinden- penari jaipongan masih melekat sebagai muatan kuat daya tarik para peminatnya, yaitu laki-laki (bajidor). Menurut R.M. Soedarsona bahwa selama masih ada laki-laki, kesenian di Jawa Barat yang melibatkan penari perempuan sebagai penyemarak hiburan seperti halnya jaipongan ataupun sejenisnya, maka kesenian ini tidak akan punah. Eksistensi seks dalam tarian merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan sejak zaman dahulu kala, khususnya dari masa feodalisme, dimana pada saat itu seksualisme terlegitimasi oleh mitos-mitos. Selain itu dalam sajian pertunjukan jaipongan, peranan rias dan busana merupakan bagian yang paling penting bagi para sinden maupun penari untuk dapat mengubah penampilan dan membangkitkan rasa percaya diri. Mulai dari persoalan wajah, bentuk sanggul, model dan warna kebaya, serta corak kain yang dipakai sengaja dipasang sedemikian rupa untuk memikat penonton, khususnya para bajidor yang pada umunya adalah laki-laki yang tergila-gila oleh kecantikan, goyang pinggul serta
20
eksploitasi gerakan tubuh sinden. Oleh karenanya bagian-bagian tubuh tertentu dibentuk dengan khusu agar dapat memberikan kesan seksi dan merangsang.13 Kejadian diatas bisa saja yang menyebabkan kritikian bermunculan ternadap pelaku seni jaipongan. Sepeerti banyak ditulis dalam buku pro dan kontra selalu mewarnai perjalan seni tari pertujukan rakyat ini. Hal ini seolah-olah Persoalan-persoalan yang muncul dan menjadi kontroversi di dalam kehidupan umat Islam terutama yang berkaitan dengan hiburan dan seni. Hal ini disebabkan banyaknya manusia yang sudah terjebak pada kelalaian dan melampaui batas dalam menyikapi hiburan dan seni yang erat hubunganya dengan perasaan, hati, akal dan pikiran.Namun pada kenyataanya, hiburan dan seni ini telah terkontaminasi oleh kemewahan hedonisme daripada sisiestetika yang indah dan lurus14 Maka dari itu, dalam menganalis polemik di atas menganai seni tari jaipongan, penyusun menggunakan teori tantangan (challenge) dan respon (response) dari sejarawan arnold j. Toynbee.15 Tantangan dan respon adalah sebuah dimensi kausalitas pertarungan ide, wacana, atau gerakan yang lahir dalam satu kebudayaan atau pemikiran yang satu sama lainya saling terkait dan kemudian saling bersifat reaktif. Teori ini memberikan sebuah kerangka pikir, bahwa munculnya setiap ide, wacana atau suatu gerakan pemikiran memiki relasi 13
Srintil ( media Perempuan Multikultural, 2004, Politik tubuh seksualitas perempuan seni, Depok: Kajian Perempuan Desantara. Hlm.37-50. 14 Yusuf Al-Qordlowi, 2002, Fiqh al-Ghinawa al- Musiqy fi Dhau al-Qur'an wa asSunnah, Ter. LESPISI A. FulexBisyri, et, al., FikihMusik Dan LaguPerspektif al-Qur‟an Dan asSunnah, Bandung : Mujahid Press, hlm. 15. 15 Arnold J. Toynbee, The Study of History, vol 1, London: Oxfrod Universitypress, 1955, h. 23 Arnold J. Toynbee dan Sarah Marshal Toynbee. Minatnya terhadap sejarah diilhami dan banyak dipengaruhi oleh ibunya dan pamanya, seorang pelayar yang banyak berlayar kemanca negara. Pendidikan tingginya diraih dari 0xfrod University, Inggris. Lihat dalam A, Syafi‟i Ma‟arif. Peta bumi intelektualisme Islam di Indonesia, Bandung Mizan, hlm. 75.
21
yang saling berkait dengan berbagai faktor-faktor penyebab. Oleh sebab itu, segala bentuk gerakan dan pemikiran yang kemudian berujung pada munculnya kebudayaan “baru” akan melahirkan sebuah konsekkuensi logis yang akan mengambil posisi dalam bentuk atau pola respon dan tantangan terhadap situasi dan kondisi sosial-politik yang mengitarinya.16 Teori Challange end Response juga bisa diartikan sebagai teori yang menggambarkan tentang hubungan sebab akibat yang dimunculkan oleh suatu kejadian.17 Munculnya kritikan dari berbagai kalangan, dimulai dari kalangan elit pemerintahan dan elite politik hingga masyarakat biasa terjadi karena Jaipongan sebagai seni tari pertunjukan rakyat di sajikan dengan etika yang buruk. Apalagi pelaku jaipongan selalu dikaitkan dengan ronggeng atau perempuan nakal, sehingga jaipongan ini banyak menimbulkan respon yang beragam baik masyarkat yang setuju dengan sajian jaipongan ini maupun masyrakat yang menantang keras adanya sajian jaipongan yang seronok sebagai pembangkit gairah para lelaki hidung belang. Kalau sudah seperti ini yang menjadi perhatian adalah pendapat para ulama dalam menggapi hal ini, bisa saja tanggapan para ulama ini pula sebagai respon dari polemik yang terjadi terhadap seni tari jaipongan di Jawa Barat. Seperti
halnya dengan ungkapan inna al-„ulama waratsa al-anbiya‟
(sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi), menurut Ibn Hajar al-Asqalani (773-852 H), dalam Fath Al-Bariy, adalah sebagian dari hadits yang ditemukan 16
R. Moh Alo, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: LkiS, 2007, hlm. 65. George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan berparadigma ganda, terj. Alimandan jakarta Raja Grafindo Persada, 2004 hlm. 26. 17
22
dalam beberapa kitab hadits. Diperkuat juga dalam Al-Qur‟an dengan firman Allah: Kemudian Kami wariskan Al-Kitab kepada yang Kami pilih dari hambahamba Kami (QS 35:32). Juga pada Surat Al-Baqarah ayat 213, yang berkesimpulan bahwa Tuham mengutus nabi-nabi dan memberikan mereka kitabkitab suci agar masing-masing, melalui kitab suci memberikan keputusan atau pemecah terhadap apa-apa yang diperselisihkan atau dipersoalkan dalam masyarakat mereka. Berangkat dari kedua ayat tersebut, juga dari ungkapan “para ulama adalah pewaris para nabi”, dapat dipahami bahwa para ulama melalui pemahaman, pemaparan, pengamalan kitab suci bertugas memberikan petunjuk dan bimbingan guna mengatasi perselisihan pendapat, problem-problem sosial yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.18 Dari berbagai polemik yang melingkipi kehidupan sosial dalam masyarakat seharunya ulama mampu menegahi semua aspek sosial ini secara bujaksana. Sebagimana tugas dan amanahnya sebagai pewaris para nabi seperti halnya MUI sebagai Majelis yang mewakili dan mewadahi semua fatwa dari para ulama lain seharusnya mampu memberikan tanggapan mengenai hal ini. 1.4.4. Historiografi Tahapan historiografi merupakan tahapan terakhir
dari keseluruhan
prosedur penelitian sejarah. Di sinilah, penulis harus mengarahkan seluruh daya pikiranya. Yang jelas bukan saja ketrampilan teknis penggunaan kutipan-kutipan atau catatan-catatan, tetapi yang terutama penggunaan pikiran-pikiran kritis dan
18
Dr. M. Quraish Shihab, 2007, Membumikan Al-Qur‟an, Bandung: Mizan, hlm 374.
23
anlisisnya karena pada akhirnya penulis harus menghasilkan suatu sintesis dari seluruh hasil penelitianya.19 Dalam tahapan ini penulis menggabungkan semua fakta-fakta yang ada, yang telah melalui tahapan penafsiran sehingga menjadi kesatuan yang utuh yang dapat menghasilkan jawaban dari apa yang menjadi pertanyaan pada latar belakang. Sehingga kemahiran penulis dalam merangkai sebuah peristiwa sangat diperlukan untuk menorehkan sebuah kisah yang selaras.
1.5. Kajian Pustaka Telah menjadi sebuah aksioma di dunia akademis, bahwa tidak ada satupun bentuk karya atau penelitian seseorang yang terputus dari usaha intelektual generasi sebelumnya. Artinya, tidak ada sebuah pemikiran yang benarbenar baru dan orisinil yang tanpa terikat dengan pemikiran sebelumnya. Yang ada adalah kesinambungan pemikiran dan kemudian dilakukan elaborasi dan pengembangan. Skripsi ini juga merupakan mata rantai intelektualisme dan pemikiran atau penelitian sebelumnya, khususnya mengenai seni tari Jaipongan. Sejauh pengetahuan penulis telah banyak karya ilmiah yang mengkupas tentang seni tari Jaipongan baik sejarah dan juga perkembanganya di Jawa Barat. Diantara karya-karya tersebut adalah “Kesenian Jaipongan: Sebuah Revoluisi dalam Gerak
tahun 1970-2010” karya Gressandi Putra, “Perancangan
Kampanye Tari Jaipong Sebagai Daya Tarik Tarian Tradisional” karya Karina Dwi Garini, “Management Communication “Papa Agit” in Preserving the Art of 19
Helius Sjamsudin, 1996, Metodologi Sejarah, Jakarta: Depdikbud, Proyek Pendidikan Tenaga Akademik, hlm. 153.
24
Jaipongan Dance on the Padepokan Sekar Panggung” karya Aditya Julistia Ferizal, Jaipongan: Genre Tari Generasi Ketiga dalam Perkembangan Seni Pertunjukan Tari Sunda karya Lalan Ramlan, Dari Ketuk Tilu hingga Jaipongan (1920-an -2000-an) karya Een Herdiani, S.Sen., M.Hum. Adapun karya ilmiah yang membahas Polemik seni tari Jaiponganya itu sendiri penulis rasa belum ada. Sepengetahuan penulis sampai saat ini, yang selalu disinggung dalam pembuatan karya Ilmiah mengenai seni tari Jaipongan hanya dari sudut sejarah dan perkembanganya saja seperti halnya karya ilmiah di atas, walaupun ada hanya dibahas sekilas saja dan tidak secara mendalam. Beda halnya dengan penulis yang mengkaji polemik seni tari Jaipongan secara mendalam. Apalagi penulis melibatkan
para Ulama di Jawa Barat untuk memandang
polemik tersebut. Secara Metode jelaslah metode yang digunakan penulis yaitu metode sejarah sehingga dalam penulisan karya ilmiah ini penulis membatasi sejarah dan perkembanagan seni tari Jaipongan dengan Periodesasi waktu. Sehingga karya ilmiah ini benar-benar merupakan karya ilmiah Sejarah. Dengan demikian, penelitian yang mengkaji Polemik seni tari Jaipongan di Jawa Barat pada tahun 1980-2009, bukanlah merupakan pengulangan terhadap pembahasan yang pernah ada sebelumnya.
25
1.6. Sistematiaka Penulisan Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: Bab I
Pendahulun yang meliputi: Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah,
Tujuan
Penelitian,
Langkah-langkah
Penelitian
dan
Sistematika Penulisan. Bab II
SENI TARI JAIPONGAN DI JAWA BARAT : Seni (penertian seni, macam-macam seni, sifat dasar seni dan fungsi seni), Tari (pengertian tari, macam gerak tari dan fungsi tari), Seni Jaipongan di Jawa Barat (sejarah seni tari jaipongan), (perkembanfan seni tari jaipongan di Jawa Barat tahun 1980-2009: kondisi seni jawabrata sebelum munculnya seni tari jaipongan, kreasi awal seni tari jaipongan, sumber dasar (gerak, musik dan busana) seni tari jaipongan).
Bab III
POLEMIK SENI TARI JAIPONGAN DI JAWA BARAT PADA TAHUN 1980-2009: (polemic yang mewarnai perjalanan seni tari jaipongan pada tahun 1980-2009), (pandangan Gugum Gumbira Selaku seniman dan Konseptor seni tari Jaipongan), ( pro dan kontra para ulama: Ulama yan pro terhadap imbauan dan Kritakan Gubernur Jawa Barat mengenai Jaipongan (Dr. H. Aziz Taufik Hizri, Drs. M.Si (62 tahun) Selaku ketua Lembaga Seni Muhammadiyah JABAR), H. Erdian, S.Ag Sekretasris PW PERSIS JABAR. Ulama yang Kontra terhadap imbauan dan Kritakan Gubernur Jawa Barat mengenai Jaipongan (Drs. Enoh, M.Hum Pembina Lesbumi NU
26
JABAR). Pandangan K.H. Dr. Salim Umar Ketua Fatwa MUI JABAR. Bab IV
Kesimpulan dan Saran
Daftar Pustaka Lampiran-lampiran